Anda di halaman 1dari 9

Hernia Nukleus Pulposus

A. Definisi
Hernia nukleus pulposus merupakan suatu keadaan patologis dimana terjadi
protusi dari anulus fibrosus beserta nukleus pulposus ke dalam lumen kanalis
vertebralis. HNP dapat terjadi pada semua segmen vertebra, tetapi yang paling
sering terjadi yaitu pada segmen lumbal. Kasus HNP yang paling sering terjadi
adalah pada diskus intervertebralis L5-S1, kemudian disusul oleh herniasi pada
diskus intervertebralis L4-L5, L3-L4, L2-L3, dan L1-L2. Herniasi pada diskus
intervertebralis segmen thorakal relatif jarang, sedangkan pada segmen servikal
dapat mengenai diskus intervertebralis C5-C6 atau C6-C7 (Nasikhatussoraya, 2016).
B. Epidemiologi
HNP merupakan salah satu penyebab dari nyeri punggung bawah dan masih
menjadi salah satu masalah kesehatan yang utama. Insiden HNP di Amerika Serikat
adalah sekitar 5% dari populasi orang dewasa. Terdapat kurang lebih 60-80%
individu yang pernah mengalami nyeri punggung dalam hidupnya. Nyeri punggung
bawah merupakan 1 dari 10 penyakit terbanyak di Amerika Serikat dengan angka
prevalensi berkisar sekitar 7,6-37% dimana insiden tertinggi dijumpai pada usia 45-
60 tahun. Pada penderita dewasa tua, nyeri punggung bawah dapat mengganggu
aktivitas sehari-hari pada 40% penderita dan menyebabkan gangguan tidur pada
20% penderita dimana pasien akan mencari pertolongan medis, dan 25% diataranya
perlu rawat inap untuk evaluasi lebih lanjut (Pinzon, 2012).
Prevalensi HNP berkisar antara 1-2% dari populasi. Kejadian HNP yang
paling sering (90%) yaitu mengenai diskus intervertebralis L5-S1 dan L4-L5,
kemudian daerah servikalis (C6-C7 dan C5-C6) dan paling jarang terkena yaitu di
daerah torakalis (Mahadewa & Maliawan, 2009). Prevalensi tertinggi terjadi antara
usia 30-50 tahun, dengan rasio pria dua kali lebih besar daripada wanita. Pada umur
25-55 tahun, sekitar 95% kejadian HNP terjadi pada daerah lumbal. HNP di atas
daerah tersebut lebih sering terjadi pada usia di atas 55 tahun. Penelitian dari
Dammers dan Koehler dalam (Pinzon, 2012) pada 1431 pasien dengan herniasi
diskus lumbalis, memperlihatkan bahwa pasien HNP L3-L4 secara bermakna berasal
dari usia tua dibandingkan dengan pasien HNP L4-L5.

1
C. Etiologi
Herniasi dapat terjadi baik pada usia muda atau usia tua. Pada usia muda
umumnya disebabkan oleh trauma dan kolumna vertebra yang mendapat beban berat
sehingga menyebabkan penonjolan diskus intervertebra. Pada usia tua disebabkan
proses degenerasi diskus intervertebra yang dimulai dengan kekakuan diskus,
kemudian diikuti oleh kehilangan elastisitas nukleus pulposus serta degenerasi
tulang rawan sendi (Nasikhatussoraya, 2016).
Penyebab HNP biasanya didahului dengan perubahan degeneratif yang
terjadi oleh karena proses penuaan dan kebanyakan oleh karena adanya suatu trauma
berulang yang mengenai diskus intervetebralis sehingga menimbulkan sobeknya
anulus fibrosus. Pada kebanyakan pasien gejala trauma bersifat singkatdan gejala ini
disebabkan oleh cedera diskus yang tidak terlihat selama beberapa bulan atau tahun
(Nasikhatussoraya, 2016).
D. Faktor risiko
Faktor risiko penderita HNP dapat dibagi atas :
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah seperti:
 Umur
Semakin umur bertambah, risiko makin tinggi
 Jenis kelamin
Laki-laki lebih banyak daripada wanita
 Riwayat akibat cedera punggung atau HNP sebelumnya.
2. Faktor risiko yang dapat diubah
 Aktivitas dan pekerjaan
Misalnya duduk dalam waktu lama, mengangkat ataupun menarik
beban yang berat, terlalu sering memutar punggung ataupun
membungkuk, latihan fisik terlalu berat dan berlebihan, paparan pada
vibrasi yang konstan
 Olahraga tidak menentu
Misalnya memulai aktivitas fisik yang sudah sekian lama tidak
dilakukan dengan berlatih berlebih dan berat dalam jangka waktu
yang cukup lama
 Merokok
Dimana nikotin dalam rokok dapat mengganggu kemampuan diskus

2
menyerap nutrisi yang diperlukan dari darah
 Berat badan yang berlebihan
Terutama beban ekstra di perut yang menyebabkan strain pada
punggung bawah
 Batuk dalam waktu yang lama dan berulang-ulang.
E. Klasifikasi
HNP terbagi dalam 4 grade berdasarkan keadaan herniasinya, yaitu:
1. Protrusi diskus intervertebralis: nukleus terlihat menonjol ke satu arah
tanpa kerusakan annulus fibrosus.
2. Prolaps diskus intervertebral: nukleus berpindah, tetapi masih dalam
lingkaran anulus fibrosus.
3. Extrusi diskus intervertebral: nukleus keluar dari anulus fibrosus dan
berada di bawah ligamentum longitudinalis posterior.
4. Sequestrasi diskus intervertebral: nukleus telah menembus ligamentum
longitudinalis posterior.

Gambar 2.1 Klasifikasi HNP


(Milette, 2000)
Tabel 2.1 Klasifikasi Degenerasi Diskus Berdasarkan Gambaran MRI

(Milette,200)

3
Nukleus pulposus yang mengalami herniasi ini dapat menekan nervus di
dalam medulla spinalis jika menembus dinding diskus (annulus fibrosus); hal ini
dapat menyebabkan nyeri, rasa tebal, rasa keram, atau kelemahan. Rasa nyeri dari
herniasi ini dapat berupa nyeri mekanik, yang berasal dari diskus dan ligamen;
inflamasi, nyeri yang berasal dari nucleus pulposus yang ekstrusi menembus annulus
dan kontak dengan pembuluh darah; dan nyeri neurogenik, yang berasal dari
penekanan pada nervus.
F. Patofisiologi HNP
Penyebab dari HNP lumbal sering dihubungkan dengan proses degenerasi
diskus intervertebralis dan faktor mekanik, seperti tekanan yang berlebihan atau
peregangan yang berlebihan pada diskus intervertebralis. Cedera gerakan fleksi
dapat terjadi pada saat pasien yang bersangkutan sedang membungkuk sambil
melakukan suatu aktivitas berat, misalnya mengangkat beban berat, terjatuh dalam
posisi duduk, ataupun terpeleset. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat mengakibatkan
cedera gerakan fleksi yang memicu timbulnya HNP lumbosakral tanpa ada cedera-
cedera sebelumnya.
Faktor lain yang berperan dalam patogenesis HNP lumbosakral melibatkan
proses degenerasi diskus intervertebralis. Secara molekuler proses degenerasi terjadi
apabila terproduksinya komponen-komponen matriks yang abnormal atau terjadinya
peningkatan mediator-mediator yang bertugas mendegradasi matriks, seperti Tumor
Necrosis Factor-α (TNF-α), Matrix Metalloproteinases (MMPs), Interleukin-1 (IL-
1), dan menurunnya Tissue Inhibitors of Metalloproteinases (TIMPs). Akibat dari
proses degenerasi diskus, kadar proteoglikan dan air di dalam nukleus pulposus
menjadi turun. Sebagian besar HNP terjadi pada daerah lumbal L4 - L5 atau L5 - S1.
Herniasi diskus antara L5 - S1 dapat menekan akar saraf S1, sedangkan herniasi
diskus antara L4 - L5 menekan ke akar saraf L5. Kandungan air diskus berkurang
seiring dengan bertambahnya usia (dari 90% pada masa bayi menjadi 70% pada usia
dewasa tua sampai lanjut paling sering 30
– 50 tahun) dan jumlah kolagen bertambah menjadi lebih kasar serta mengalami
hialinisasi. Mukopolisakarida berkurang bersama dengan rasio jumlah karatan sulfat
yang dibandingkan dengan kondroitin sulfat yang meningkat. Ukuran molekular dari
proteoglikan menjadi lebih kecil dan lebih dapat menempel pada serabut kolagen.
Elastisitas, viskositas, dan kapasitas untuk berikatan dengan air pada proteoglikan juga
berkurang serta turut andil dalam menyebabkan HNP yang disertai penekanan pada akar

4
saraf spinalis (Nasikhatussoraya, 2016; Pinzon, 2012).
Harsono dalam (Nasikhatussoraya, 2016) memaparkan bahwa HNP
lumbosakral didahului oleh adanya gaya traumatik seperti mengangkat benda berat,
aktivitas berlebihan, menegakkan badan waktu terpeleset yang mengakibatkan
sobekan pada anulus fibrosus yang bersifat sirkumferensial. Sobekan tersebut
ditandai dengan terbentuknya nodus Schmorl yang dapat menyebabkan inflamasi
dan nekrosis pada tulang vertebra, sehingga terjadinya low back pain subkronis atau
kronis yang kemudian disusul oleh nyeri sepanjang tungkai dan dikenal sebagai
ischialgia. Jebolnya nukleus pulposus ke arah posterolateral menyebabkan nukleus
pulposus menekan radiks dan arteri radikularis yang berada pada lapisan dura.
Apabila tempat herniasinya berada di tengah, maka tidak ada radiks yang terkena
karena tidak adanya kompresi pada kolumna anterior.
Prolapsus secara horizontal memiliki dua bentuk yang disebut dengan
nuclear herniation mengarah ke bagian posterior dan annular protrusion dengan
pembengkakan serabut anulus. Herniasi diskus hampir selalu terjadi ke arah
posterior atau posterolateral. Hal ini dikarenakan ligamentum longitudinalis anterior
lebih kuat dibandingkan ligamentum longitudinalis posterior. Herniasi tersebut
biasanya menggelembung berupa massa padat dan tetap menyatu pada badan diskus,
walaupun fragmen-fragmennya terkadang dapat menekan keluar dan masuk
menembus ligamentum longitudinalis posterior lalu berada bebas ke dalam kanalis
spinalis (Nasikhatussoraya, 2016).
G. Manifestasi klinis HNP lumbosakral
HNP lumbosakral dapat bermanifestasi sebagai suatu sindrom yang terdiri
dari kumpulan gejala, seperti: (1) Nyeri punggung bawah yang dapat meluas ke area
gluteal, paha bagian posterior, area cruris sampai ke area pedis, (2) Kekakuan akibat
refleks spasme dari otot-otot paravertebra yang dapat mencegah pasien berdiri tegak
dengan sempurna, serta (3) Timbulnya gejala berupa parestesia, kelemahan otot-otot
sekitar punggung dan kaki, atau kelemahan dari refleks tendo Achilles
(Nasikhatussoraya, 2016).
Apabila stres vertikal yang kuat mengenai kolumna vertebra maka nukleus
pulposus dapat menonjol ke luar melalui anulus fibrosus. Peregangan dari anulus
fibrosus menyebabkan nyeri yang sangat sebagai nyeri punggung bawah yang
terlokalisir. Sementara itu, karena peregangan yang sangat kuat, maka anulus
fibrosus dapat ruptur atau pecah sehingga material diskus akan ekstrusi sehingga

5
menekan radiks saraf dan menimbulkan nyeri yang dirasakan sebagai nyeri
radikular, yaitu sciatica. Sciatica disebut juga sebagai ischialgia merupakan nyeri
pinggang yang menjalar ke bawah pada aspek posterior pada tungkai bawah.
Sciatica juga dapat diartikan sebagai nyeri pada distribusi dari saraf iskhiadikus.
Sciatica sering disertai dengan rasa tebal (numbness) serta kesemutan (tingling)
(Nasikhatussoraya, 2016).
Mekanisme nyeri pada HNP lumbosakral sangat kompleks dan belum
sepenuhnya diketahui. Hipotesis yang banyak dipaparkan oleh para ahli adalah
interaksi antara faktor kompresi mekanis, inflamasi, serta respon
imun (Nasikhatussoraya, 2016).
1. Faktor kompresi mekanis
Nyeri neuropati pada HNP lumbosakral dianggap hanya disebabkan
oleh faktor kompresi mekanis oleh diskus intervertebralis yang menekan
saraf iskhiadikus. Namun, akhir-akhir ini banyak penelitian membuktikan
bahwa kompresi mekanis lebih berperan pada terjadinya defisit neurologis
daripada nyeri. Faktor inflamasi serta respon imun lebih berperan penting
dalam proses terjadinya nyeri. Penekanan radiks saraf iskhiadikus
diasumsikan menyebabkan nyeri neuropati sehingga diharapkan nyeri akan
menghilang apabila penekanan tersebut dihilangkan.
2. Faktor inflamasi
Hasil pemeriksaan histologi pada akar saraf posterior saat dilakukan
laminektomi menunjukkan adanya proses inflamasi yang mendukung teori
bahwa inflamasi lebih berperan sebagai sumber nyeri radiks saraf daripada
faktor kompresi mekanis. Nukleus pulposus adalah mediator inflamasi utama
yang poten dan berperan pada stadium awal pada HNP lumbosakral. Pada
model binatang coba, nukleus pulposus menyebabkan reaksi inflamasi pada
radiks saraf yang ditunjukkan dengan demielinisasi, penurunan aliran darah
ke ganglia dorsalis, peningkatan tekanan endoneural, serta penurunan
kecepatan hantar saraf. Pada proses inflamasi, banyak mediator inflamasi
yang berperan diantaranya: Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α),
Prostaglandin, Interleukin-6 (IL-6), Interleukin-1β (IL-1β), Phospholipase
A2 (PLA2), serta Nitric Oxide (NO), dimana TNF-α memiliki peran yang
sangat penting dalam terjadinya nyeri neuropati.

6
3. Faktor sistem imun
Nukleus pulposus mensekresikan substansi yang dapat menginduksi
reaksi autoimun pada herniasi diskus, terutama diskus yang mengalami
ekstrusi. Reaksi inflamasi dalam keadaan normal merangsang terjadinya
respon imun, tetapi pada pasien HNP terjadi respon imun yang abnormal
dimana terbentuk antibodi terhadap jaringan saraf normal, hal tersebut
berhubungan dengan skiatika kronis. Glycosphingolipid (GSL) terdapat pada
berbagai sel di dalam sistem saraf tepi serta saraf pusat.
Mekanisme nyeri dimulai dari stimulasi pada nosiseptor oleh stimulus
noksious di jaringan. Nosiseptor merupakan serabut saraf aferen primer
dengan terminal perifer (reseptor) yang mempunyai respons berbeda terhadap
rangsang noksious yang berupa faktor kompresi mekanik, mediator
inflamasi, atau respon sistem imun. Rangsangan noksious tersebut kemudian
dirubah menjadi potensial aksi. Tahap awal dari mekanisme nyeri ini
dinamakan sebagai tranduksi atau aktivasi reseptor. Tahap kedua disebut
sebagai transmisi, merupakan konduksi impuls dari neuron aferen primer ke
kornu dorsalis dari medula spinalis. Pada kornu dorsalis tersebut, neuron
aferen primer akan bersinaps dengan neuron susunan saraf pusat. Pada tahap
ini jaringan neuron tersebut akan naik ke atas di medula spinalis menuju
batang otak dan thalamus. Tahap ketiga adalah modulasi yaitu aktivitas saraf
yang bertujuan untuk mengontrol adanya transmisi nyeri. Modulasi berkaitan
dengan suatu jaras tertentu di sistem saraf pusat yang secara selektif
menghambat transmisi nyeri di medula spinalis. Proses terakhir adalah
persepsi, dimana pesan nyeri ditransmisikan menuju ke otak dan
menghasilkan suatu interpretasu sebagai pengalaman yang tidak
menyenangkan (Nasikhatussoraya, 2016).
Pada kasus nyeri punggung bawah ketakutan dalam bergerak atau
yang dikenal sebagai fear avoidance digunakan untuk menjelaskan ketakutan
untuk bergerak atau merasakan nyeri sebagai akibat dari melakukan suatu
aktivitas. Teori fear avoidance belief dikembangkan oleh Vlaeyen dan
Linton. Ketakutan dalam bergerak ini menyebabkan seseorang akan
membatasi pergerakannya. Ketakutan dalam bergerak ini menjadi determinan
utama untuk disabilitas pada pasien dengan nyeri punggung bawah.

7
Pada saat stimulus nyeri yang dibawa oleh serabut saraf aferen
memasuki kornu dorsalis medula spinalis, terdapat beberapa serabut yang
berproyeksi ke alfa motorneuron segmen yang sama sehingga otot-otot
punggung mengalami hiperaktivitas dalam bentuk spasme otot, sebagai
akibat dari adanya nyeri. Pada otot yang spasme akan dilepaskan zat kimia
yang kembali menyebabkan rasa nyeri bila konsentrasi zat tersebut cukup
tinggi. Hal ini disebut sebagai pain- spasm-pain model. Spasme otot itu
sendiri dianggap suatu refleks protektif terhadap daerah lesi untuk
menghindari terjadinya cedera tambahan lebih lanjut. Otot yang mengalami
spasme akan mengalami gangguan pada fungsi normalnya dalam hal
kontraksi dan relaksasi yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kemampuan
gerakan anggota tubuh. Hal ini mengakibatkan keterbatasan gerak pada
daerah otot yang mengalami spasme, mempengaruhi Range of Motion
(ROM) dari anggota tubuh yang terlibat (Nasikhatussoraya, 2016).
H. Diagnosis
Berikut pemeriksaan fisik yang digunakan untuk mendiagnosis pasien dengan
radicular low back pain menurut North American Spine Society.
1. Diagnostic Method : physical exam menggunakan pemeriksaan spesifik
seperti :
a. Straight Leg Raise (SLR) Test : Positif nyeri menjalar dari pinggang
hingga tungkai bawah dengan area dermatome L5 pada sudut 300.
b. Crossed Lasegue’s Sign : Positif nyeri menjalar dari pinggang hingga
tungkai bawah dengan diangkatnya tungkai sisi kontralateral.
c. Manual Muscle Testing (MMT) : Positif terjadi penurunan pada kekuatan
otot dorsiflexor dan external hallucis longus.
d. Sensory Testing : Positif gangguan sensasi pada dermatome L5 – S1.
e. Flip Test (Sitting SLR Test) : Positif nyeri menjalar hingga ketungkai
bawah, dilakukan pada pasien dengan SLR dibawah 450.
f. Valsalva Maneuver : Positif jika menunjukkan nyeri dari pinggang
bawah hingga tungkai bawah oleh impuls batuk.
g. Slump Test : Positif nyeri menjalar dari pinggang hingga tungkai bawah
dalam posisi slump, dan berkurang saat dilakukan ekstensi cervical
menandakan adanya gangguan tension.
h. Deep Tendon Reflexes : Positif terjadi penurunan refleks tendon achiles.

8
i. Lumbar ROM : Positif terjadi nyeri menjalar dari pinggang hingga
tungkai bawah terutama selama gerakan fleksi lumbar (96% kasus).
j. Femoral Nerve Stretch : Positif nyeri menjalar hingga tungkai bawah
menandakan adanya lesi pada L4/L5.
2. Diagnostic Challenges: Kesulitan dalam melakukan maneuver pemeriksaan
secara tepat oleh karena aktualitas nyeri pasien yang relatif tinggi.
3. Diagnostic Reasoning :
a. SLR, Crossed Lasegue memiliki Grade Recommendation A (Level I
Evidence).
b. MMT & Sensory Testing memiliki Grade Recommendation A (Level I
Evidence) dan spesifik untuk mengetahui level herniasi.
c. Flip Test memiliki Grade Recommendation B dengan level evidence I,
namun tidak lebih baik daripada Supine SLR.
d. Deep Tendon Reflex & ROM memiliki Grade Recommendation I
(insufficient) namun memiliki level evidence I.
e. Slump Test memiliki Grade Recommendation I (insufficient) dengan
level evidence III.
f. Femoral Nerve Stretch memiliki Grade Recommendation I
(insufficient) dengan level evidence III untuk Lesi level diatas.

Anda mungkin juga menyukai