Anda di halaman 1dari 37

rPENGARUH PERBEDAAN SURFAKTAN TERHADAP UJI

KARAKTERISTIK FISIK SEDIAAN SHAMPO MINYAK SERAI WANGI

( Cymbopogon nardus L)

PROPOSAL

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan oleh :

Adella Rista Gunawan

NIM : 218054

PROGRAM STUDI DIPLOMA TIGA FARMASI

POLITEKNIK KATOLIK MANGUNWIJAYA SEMARANG

SEMARANG

2021
PENGARUH PERBEDAAN SURFAKTAN TERHADAP UJI

KARAKTERISTIK FISIK SEDIAAN SHAMPO MINYAK SERAI WANGI

( Cymbopogon nardus L)

PROPOSAL

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan oleh :

Adella Rista Gunawan

NIM : 218054

PROGRAM STUDI DIPLOMA TIGA FARMASI

POLITEKNIK KATOLIK MANGUNWIJAYA SEMARANG

SEMARANG

2021

i
PERSETUJUAN PEMBIMBING

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH PERBEDAAN SURFAKTAN TERHADAP UJI

KARAKTERISTIK FISIK SEDIAAN SHAMPO MINYAK SERAI WANGI

( Cymbopogon nardus L)

Diajukan oleh :

Adella Rista Gunawan

NIM : 218054

Disetujui pada tanggal ……………………………….

Mengetahui,
Pembimbing, Kaprodi Diploma Tiga Farmasi
Politeknik Katolik Mangunwijaya

( apt. Sisca Devi, M.Pharm. Sci ) ( apt. Septiana Laksmi Ramayani, M.Sc )

ii
INTISARI

Tanaman serai wangi ( Cymbopogon nardus L ) di Indonesia dikenal


sebagai salah satu bumbu penyedap masakan karena memiliki bau yang khas.
Serai wangi juga dapat bermanfaat sebagai insektisida alami karena mengandung
sitronella. Penggunaan sitronella memerlukan formulasi seperti sediaan shampo
untuk meningkatkan efektifitas. Bahan tambahan yang penting dalam formula
shampo salah satunya surfaktan ( Surface – active agent ) berguna untuk
menurunkan tegangan permukaan dan menghasilkan busa yang membantu
membersihkan kotoran baik berupa air maupun lemak pada kulit kepala sampai
ujung rambut. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui pengaruh
perbedaan penggunaan jenis surfaktan pada formulasi shampo minyak serai wangi
( Cymbopogon nardus L ) terhadap karakteristik fisik sediaan shampo.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan acak
lengkap. Formulasi sediaan shampo menggunakan 3 jenis surfaktan berbeda yaitu
surfaktan anionik, surfaktan non ionik dan surfaktan amfoterik. Shampo akan
dilakukan evaluasi karakteristik fisik meliputi : organoleptis, homogenitas, pH,
viskositas, daya busa dan daya tercuci. Hasil pengujian selanjutnya dianalisis
menggunakan du acara yaitu pendekatan teoritis yang membandingkan hasil
dengan pustaka dan pendekatan statistic menggunakan uji Analysis of Varian
(ANOVA) dengan taraf kepercayaan 95%.
Kata kunci : Minyak serai wangi, shampo, natrium lauril sulfat, cocamide
DEA, kokamidopropil betaine.

iii
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul .................................................................................................

Halaman Persetujuan Proposal ........................................................................

Intisari ..............................................................................................................

Daftar Isi ..........................................................................................................

Daftar Gambar .................................................................................................

Daftar Tabel .....................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................

A. Latar Belakang ...............................................................................

B. Perumusan Masalah........................................................................

C. Tujuan Penelitian ...........................................................................

D. Manfaat Penelitian .........................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS .......................................

A. Tinjauan Pustaka ............................................................................

1. Serai Wangi..............................................................................

2. Destilasi / Penyulingan ............................................................

3. Shampo ....................................................................................

4. Surfaktan ..................................................................................

5. Pengujian Karakteristik Fisik Shampo.....................................

6. Monografi Bahan......................................................................

B. Hipotesis.........................................................................................

iv
BAB III METODE PENELITIAN...................................................................

A. Jenis dan Rancangan Penelitian .....................................................

B. Variabel Penelitian .........................................................................

C. Definisi Operasional ......................................................................

D. Bahan dan Alat Penelitian .............................................................

E. Tata Cara Penelitian .......................................................................

F. Analisis Data ..................................................................................

G. Jadwal Penelitian ...........................................................................

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tanaman Serai Wangi.....................................................................

vi
DAFTAR TABEL

Tabel I. Rancangan Penelitian Shampo Minyak Serai Wangi .......................

Tabel II. Formula Shampo Minyak Serai Wangi .............................................

Tabel III. Jadwal Penelitian.............................................................................

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Prevalensi kasus infeksi kutu rambut di Indonesia menurut Nurjanah et al

(2019) mencapai 2.000.000 kasus per tahun. Parasit tersebut diperkirakan

menyerang anak - anak berusia 3 – 11 tahun dengan persentase sekitar 10 –

40%. Kejadian infeksi kutu rambut terbesar ditemukan pada daerah dengan

populasi padat sehingga memudahkan kutu rambut menular.

Penggunaan insektisida kimia dalam jumlah banyak dengan jangka waktu

panjang akan memberikan dampak buruk bagi kesehatan seperti mengiritasi

kulit, kerusakan rambut dan resistensi kutu (Hardiyanti et al., 2015).

Insektisida alami dapat dipilih sebagai alternatif untuk mengobati infeksi kutu

rambut karena memiliki efek samping relatif kecil. Salah satu bahan yang

memiliki manfaat sebagai insektida alami yaitu minyak serai wangi.

Bedasarkan penelitian Sulaswatty et al (2019) komponen senyawa utama yang

terkandung minyak serai wangi yaitu sitronella, geraniol dan sitronelol.

Minyak serai wangi memiliki kemampuan menghilangkan kutu sebesar 73,3%

(Rahayu and Widyoningsih, 2016). Bentuk sediaan yang cocok untuk

meningkatkan efektifitas penggunaan minyak serai wangi yaitu shampo.

Keunggulan shampo yaitu mudah digunakan serta cepat membersihkan kotoran

maupun kutu pada rambut. Komponen penting dalam sediaan shampo salah

satunya surfaktan ( Surface – active agent ) karena memiliki gugus hidrofilik

dan gugus lipofilik.

1
2

Surfaktan pada sediaan shampo berfungsi untuk menurunkan tegangan

permukaan, penstabil formulasi serta menghasilkan busa yang dapat menyerap

minyak maupun kotoran pada rambut (D’Sousza and Rathi, 2015). Jenis

surfaktan yang digunakan pada penelitian ini ada 3 yaitu surfaktan anionik, non

ionik dan amfoterik. Natrium lauril sulfat merupakan salah satu surfaktan

anionik yang memiliki sifat hidrofil sehingga mudah dibilas setelah digunakan.

Surfaktan non ionic contohnya cocamide DEA menghasilkan foam stabilizer

serta memberi efek emmolient pada rambut. Surfaktan amfoterik contohnya

kokamidopropil betaine yang memiliki daya busa stabil serta daya busa stabil.

Setiap jenis surfaktan memiliki mekanisme kerja, muatan ion, keunggulan,

kelemahan dan fungsi yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat mempengaruhi

karakteristik fisik sediaan shampo khususnya tingkat viskositas dan daya busa

yang dihasilkan. Bedasarkan latar belakang tersebut maka peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian pengaruh perbedaan jenis surfaktan terhadap

karakteristik sediaan shampo minyak serai wangi.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

Bagaimana pengaruh jenis surfaktan anionik, non ionik dan amfoterik terhadap

karakteristik fisik sediaan shampo minyak serai wangi ?


3

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah :

Mengetahui pengaruh penggunaan jenis surfaktan anionik, non ionik dan

amfoterik terhadap karakteristik fisik sediaan shampoo minyak serai wangi

D. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui perbedaan jenis surfaktan yaitu surfaktan anionik, non ionik

dan amfoterik terhadap karakteristik fisik sediaan shampo minyak serai

wangi ( Cymbopogon nardus L ).

2. Memberikan pengetahuan dalam bidang teknologi farmasi tentang

penggunaan surfaktan pada sediaan shampo minyak serai wangi

( Cymbopogon nardus L ).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Serai Wangi

Serai wangi ( Cymbopogon nardus L ) merupakan tanaman yang berasal

dari Srilanka yang sekarang banyak tumbuh di Asia, Amerika dan Afrika.

Varietas serai wangi dibagi menjadi 2 jenis yaitu varietas lena batu dan

varietas mahapengiri. Tanaman serai wangi dapat hidup di daerah panas

maupun dingin (Fatimah, 2012). Serai wangi dapat diklasifikasikan menurut

Ditjenbun (2006) sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Sub Kingdom : Tracheobionta

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Bangsa : Cyperales

Suku : Poaceae

Genus : Cymbopogon Spreng.

Spesies : Cymbopogon nardus L. Rendle.

Serai wangi merupakan tanaman menyerupai rumput tegak, batang warna

merah berumpun, bau khas, bunga malai berbulir, daun tunggal dengan

panjang kurang lebih 60 – 90 cm dan lebar daun 2 -5 cm. Cara tanaman serai

tumbuh dengan menghasilkan tunas akar. Tanaman serai dapat tumbuh subur

4
5

dengan pH tanah 6,0 – 7,5 serta terpapar sinar matahari dan curah hujan yang

cukup untuk membantu proses fotosintesis (Syukur and Trisilawati, 2019).

Serai wangi yang siap dipanen pada usia 4 – 8 bulan dari waktu tanam, hal ini

baik dilakukan karena serai wangi menghasilkan minyak atsiri dengan kualitas

tinggi dalam jumlah banyak (Ginting, 2004). Berikut serai wangi dapat dilihat

pada gambar 1.

Gambar 1. Tanaman Serai Wangi

(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2021)

Hasil penyulingan minyak serai wangi menurut Guenther (1990)

menghasilkan kadar sitronella 7 – 15% dan geraniol 55 – 65%. Kandungan

senyawa yang dihasilkan serai wangi memiliki banyak manfaat seperti sebagai

antiseptik, obat gosok, jamu, campuran obat kumur dan insektisida alami.

Mekanisme kerja minyak serai wangi sebagai insektisida yaitu menghambat

enzim asetilkolinesterase dengan melakukan fosforilasi asam amino. Sehingga

terjadi akumulasi asetilkolin yang menyebabkan serangga mengalami

keracunan (Abdillah, 2004).


6

2.Destilasi / Penyulingan

Destilasi merupakan proses pemisahan komponen pada simplisia berupa

cairan atau padatan yang dibedakan bedasarkan titik didih dari masing -

masing zat tersebut (Depkes RI, 2012). Metode destilasi air (water

distillation) banyak dipilih untuk mengambil minyak atsiri dari suatu simplisia

kering maupun basah. Simplisia yang akan disuling kontak langsung dengan

air atau terendam sempurna tergantung pada bobot jenis dan jumlah sampel

yang akan disuling dibantu dengan proses pemanasan.

3.Shampo

Shampo merupakan produk perawatan rambut yang digunakan untuk

membersihkan kulit kepala beserta rambut dari kotoran, polutan, kulit mati,

sebum dan keringat berminyak lainnya termasuk produk perawatan rambut

digunakan seperti hair spray, oil ataupun spray secara baik dana man (Andre

et al., 2001). Mengikuti perkembangan zaman banyak peneliti maupun

industri menciptakan shampo yang disesuaikan dengan permasalahan rambut.

Shampo yang diproduksi umumnya memiliki fungsi untuk mempercantik

rambut dan mengatasi permasalahan rambut seperti dermatitis yang

disebabkan infeksi mikroorganisme seperti jamur, bakteri dan kutu.

Formulasi untuk shampo harus mengandung bahan – bahan yang berfungsi

sebagai surfaktan, thickners, foaming agent, stabilizer,conditioning agent,

opacifier, viscosity modifier, pengatur pH, pengatur viskositas, parfum dan

pengawet (Rantika, 2017).


7

Menurut Poucher (2000) Syarat shampo yang baik harus memiliki syarat

sebagai berikut :

1. Shampo dapat membersihkan dan menghilangkan sebum berlebihan serta

segala kotoran pada kulit kepala sampai ujung rambut.

2. Shampo dapat menghasilkan busa yang cepat, lembut berlebih dan mudah

dihilangkan saat dibilas dengan air.

3. Shampo harus tetap stabil seperti tidak berpengaruh oleh wadah, memiliki

viskositas dan pH konstan, dapat mempertahankan aroma parfum yang.

4. Shampo membuat rambut menjadi lembut, harum, berkilau dan mudah

diatur.

5. Shampo tidak menimbulkan efek samping seperti iritasi pada kulit kepala

maupun pedih apabila terkena mata.

4.Surfaktan

Shampo harus mengandung detergen sintetis atau surfaktan sebagai

pembersih utama. Molekul surfaktan memiliki 2 bagian yaitu kepala polar

yang bersifat hidrofilik (menarik air) dan ekor non – polar yang bersifat

hidrofobik (menarik minyak). Fungsi utama surfaktan pada sediaan shampo

yaitu membantu mengikat sebum atau kotoran berminyak agar dapat larut

dengan air. Mekanisme surfaktan membentuk busa dengan cara gelembung

udara dalam larutan surfaktan mengalami penyerapan (adsorpsi) pada batas

lapisan antar muka. Gelembung yang terbentuk akan bergerak ke permukaan

cairan. Fungsi lain surfaktan yaitu meningkatkan viskositas pada lapisan antar

muka antara udara dengan cairan sehingga menghasilkan busa yang stabil.
8

Bedasarkan karakteristik muatannya, surfaktan sintetis dibagi menjadi 4 jenis

yaitu surfaktan anionik, kationik, non ionik dan amfoterik (Schramm Laurier.,

2006). Berikut uraian mekanisme kerja surfaktan :

a. Anionik

Surfaktan anionik adalah surfaktan yang paling umum digunakan untuk

formulasi shampo pembersih. Jenis surfaktan ini tergolong dalam

kelompok polar hidrofilik (fase air) bermuatan negatif, turunan dari fatty

alcohol sulfate sehingga sangat baik untuk menghilangkan sebum dari

rambut dan kulit kepala. Penggunaan surfaktan anionik secara berlebihan

dapat menyebabkan rambut menjadi kasar, kusam dan mudah kusut karena

terjadi reaksi alkali. Contoh surfaktan anionik antara lain lauryl sulfate,

laureth sulfate, sarcosines dan sulfosuccinates (D’Sousza and Rathi,

2015).

b. Kationik

Surfaktan kationik memiliki muatan positif sehingga penggunaannya

kurang diminati karena tidak kompatibel dengan surfaktan anionik serta

daya busa dan daya bersih rendah sehingga bekerja kurang efektif.

Keunggulan surfaktan kationik memiliki efek melembutkan dan

membantu mengembalikan tekstur rambut yang rusak. Contoh surfaktan

kationik antara lain long chain amino esters dan ammonioester (D’Sousza

and Rathi., 2015).


9

c. Non – ionik

Surfaktan non-ionik merupakan detergen yang umum digunakan setelah

detergen anionik. Karakteristik surfaktan tersebut yaitu tidak memiliki

muatan molekul sehingga penggunaannya dapat dikombinasikan dengan

surfaktan anionik sebagai surfaktan sekunder. Menurut

penelitian Nasmety et al (2019) surfaktan non-ionik memiliki keunggulan

sebagai emmolient (melembabkan), daya busa yang stabil serta efek iritasi

terhadap kulit dan membrane mukosa rendah. Contoh surfaktan non-ionik

antara lain polyoxyethylene fatty alcohol, polyoxyethylene sorbitol esters

dan alkanolamide (D’Sousza and Rathi., 2015).

d. Amfoterik

Surfaktan amfoterik merupakan detergen yang memiliki muatan positif

dan negatif sehingga dapat bekerja pada pH yang berbeda. Pada pH asam

akan bekerja sebagai surfaktan kationik, sedangkan pada pH basa akan

bekerja sebagai surfaktan anionik. Selain itu surfaktan amfoterik memiliki

sifat kompatibel dengan bahan lain, sebagai pengemulsi yang baik serta

memiliki tingkat iritasi rendah terhadap kulit dan membran mukosa.

Kekurangan surfaktan amfoterik yaitu memiliki harga yang relatif cukup

mahal sehingga penggunaan untuk sediaan pembersih memerlukan

kombinasi menggunakan surfaktan lain. Contoh surfaktan amfoterik yang

umum digunakan antara lain kokamidopropil betaine dan sodium

lauraminopropionate (D’Sousza and Rathi., 2015).


10

5.Pengujian Karakteristik Fisik Shampo

a.Pengamatan Organoleptis

Pengamatan orgaoleptis dilakukan untuk melihat tampilan fisik sediaan

menggunakan bantuan panca indera secara makroskopis meliputi

pengamatan bentuk, bau, warna dan tekstur sediaan saat digunakan

(Lachman et al., 1994).

b.Uji Homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk memastikan sediaan yang telah dibuat

tercampur merata (homogen). Sediaan yang baik harus menunjukan susunan

yang homogen dan bebas dari partikel yang menggumpal. Homogenitas

penting dalam sediaan karena berkaitan dengan keseragaman kandungan

jumlah zat aktif dalam setiap penggunaan sediaan topikal (Lachman,

Lieberman and Kanig, 1994).

c.Pengukuran Daya Busa

Daya busa merupakan parameter penting dalam menentukan mutu sediaan

pembersih. Busa yang terbentuk stabil dapat dipengaruhi oleh konsentrasi

surfaktan, kandungan saponin dan viskositas sediaan. Produk pembersih

dengan busa yang berlebihan dapat menyebabkan iritasi kulit karena

terjadi reaksi alkali atau pH sediaan terlalu basa (Schramm Laurier, 2006).

Busa sediaan shampo yang stabil harus mampu bertahan antara 60 – 70%

dari volume awal setelah 5 menit pengujian. Kemampuan surfaktan

membentuk busa pada sediaan shampo berkisar 1,3 – 22 cm (Etika, 2019).


11

d.Pengukuran Viskositas

Viskositas merupakan pernyataan tahanan untuk mengalir dari suatu

sistem dibawah kecepatan geser yang digunakan (Sinala and Junaedi, 2020).

Peningkatan gaya geser akan berbanding lurus dengan peningkatan viskositas.

Hal ini berlaku untuk larutan dengan tipe newton. Larutan non – newton tidak

berbanding lurus dengan kecepatan gaya geser. Semakin kental suatu cairan

maka semakin besar kekuatan yang diperlukan untuk cairan tersebut dapat

mengalir (Martin et al., 2012). Faktor yang mempengaruhi viskositas antara

lain suhu, tekanan, kelarutan ,berat molekul, konsentrasi larutan dan

penambahan bahan lain.

Viskositas suatu sediaan dapat berpengaruh pada proses preformulasi,

proses pembuatan, pengemasan dan pemakaian sediaan. Kualitas viskositas

yang baik pada sediaan topikal yaitu memiliki konsistensi tinggi saat

dilakukan pengemasan dan penyimpanan, tetapi memiliki konsistensi rendah

saat sediaan dituang maupun digunakan. Viskositas juga menentukan lama

lekatnya sediaan sehingga mampu menghantarkan zat aktif dengan baik

(Sinala and Junaedi, 2020). Nilai viskositas sediaan shampo yaitu 400 – 4000

cPs (Andre.O, Marc and Howard.I, 2001).

e.Pengukuran Derajat Keasaman (pH)

Uji derajat keasaman (pH) digunakan untuk mengetahui kesesuaian pH

sediaan dengan bagian tubuh yang akan kontak langsung. Hasil uji pH yang

didapat pada sediaan topikal akan berpengaruh dengan efektivitas zat aktif,

stabilitas zat aktif dan kenyamanan sediaan saat digunakan. Sediaan topikal
12

yang memiliki pH terlalu asam akan menyebabkan iritasi, sedangkan sediaan

yang memiliki pH terlalu basa akan menyebabkan kulit menjadi kering atau

bersisik (Andre.O, Marc and Howard.I, 2001). pH suatu sediaan dipengaruhi

oleh sifat fisika kimia bahan dan cara pembuatan sediaan. Nilai pH yang

dianjurkan untuk sediaan shampo yaitu 5,0 – 9,0 (BSN, 1992).

f.Uji Daya Tercuci

Uji daya tercuci dilakukan untuk mengetahui kemampuan sediaan topikal

mudah dicuci menggunakan air setelah pemakaian. Daya tercuci sediaan

topikal dipengaruhi oleh sifat fisika dan kimia zat aktif, penambahan

surfaktan, basis sediaan sebagai zat pembawa dan kondisi daerah kulit

(Anugrah, 2019). Persyaratan pengujian daya tercuci yang baik adalah kurang

dari 30 detik (Legifani, 2018).

6. Monografi Bahan

a. Natrium lauril sulfat (Sodium Lauryl Sulfat)

Natrium lauril sulfat merupakan jenis surfaktan yang sangat umum

digunakan dalam produk pembersih karena keunggulannya menghasilkan

busa yang stabil serta memberi efek kental pada produk. Pemerian berupa

serbuk kristal berwarna putih / kuning muda, lembut menyerupai sabun

dan memiliki rasa pahit. Mudah larut dalam air, dapat membentuk

utanopaselen, hampir tidak dapat larut dalam kloroform dan eter. Fungsi

sebagai pembersih, pengemulsi dan penetrasi kulit (Depkes RI,2014).

Menurut Rowe et al., (2009) konsentrasi natrium lauril sulfat yang

digunakan sebagai surfaktan pada sediaan shampo yaitu ± 10%.


13

b. Cocamide DEA

Cocamide DEA atau Coconut fatty acid diethanolamide merupakan suatu

produk yang dihasilkan dari pengolahan minyak nabati yaitu minyak

kelapa yang mengalami proses acidification yaitu fatty acid ditambahkan

dengan senyawa amine. Cocamide DEA digunakan untuk meningkatkan

dan menstabilkan daya busa pada produk pembersih (Andersen et al,

1996). Pemerian berupa cairan kental dengan aroma sepeti amoniak. Larut

dalam etanol ,air dan pelarut organik lainnya. Fungsi sebagai surfaktan,

pengemulsi dan meningkatkan viskositas (Depkes RI , 2014). Menurut

Andre et al (2001) konsentrasi cocamide DEA yang digunakan untuk

mendapatkan hasil sediaan shampo yang stabil yaitu 3 %.

c. Kokamidopropil betaine

Kokamidopropil betaine merupakan surfaktan dengan sifat pembusa,

pembasah dan pengemulsi yang baik. Memiliki sifat lembut, daya busa

stabil dan kompatibel apabila dikombinasikan dengan surfaktan jenis lain.

Kokamidopropil betaine umumnya digolongkan ke dalam surfaktan

amfoterik karena alkyl betaine memiliki muatan positif sehingga dapat

dianggap sebagai surfaktan kationik, namun pada kondisi pH netral dan

basa memiliki muatan negatif. Keunggulan kokamidopropil betaine tidak

begitu mengiritasi karena memiliki efek antiiritan yang mirip dengan

wheat protein sehingga melindungi kulit dan mata. Menurut Andre et al

(2001) konsentrasi kokamidopropil betaine yang digunakan untuk

mendapatkan hasil sediaan shampo yang stabil yaitu 6,7%.


14

d. CMC Na (Natrium Carboxymethyle Cellulose)

CMC Na memiliki pemerian berupa serbuk putih berbentuk granula,

berwarna putih sampai kekuningan, higroskopis, tidak berbau dan tidak

berasa. Kelarutan : mudah terdispersi dalam air maupun air panas, tidak

larut dalam etanol, eter dan pelarut organik lain. CMC Na memiliki fungsi

meningatkan viskositas dan pengemulsi. Konsentrasi yang digunakan

sebagai pengemulsi yaitu 0,25 – 1 % (Rowe et al., 2009). CMC Na banyak

digunakan dalam formulasi sediaan topikal karena bersifat meningkatkan

viskositas (viscosity – increasing properties) sehingga bahan tambahan

mudah tercampur dan dituang pada saat digunakan.

e. Metil paraben

Metil paraben memiliki pemerian berupa serbuk hablur putih, tidak

berbau, tidak berasa. Sangat sukar larut dalam air, larut dalam 3,5 bagian

etanol (95%) P, dalam 3 bagian aseton P, dalam 140 bagian gliserol P dan

dalam 40 bagian minyak lemak, mudah larut dalam larutan alkali

hidroksida. Metil Paraben digunakan sebagai bahan pengawet sediaan

topikal dengan konsentrasi 0,02 – 0,3% (Rowe et al., 2009).

f. Menthol (Mentholum)

Menthol memiliki pemerian berupa serbuk hablur heksagonal atau

berbentuk jarum, tidak berwarna, bau khas seperti minyak permen. Sukar

larut dalam air dan sangat mudah larut dalam etanol. Menthol berfungsi

sebagai zat tambahan dengan memberikan sensasi rasa dingin (Depkes

RI., 2014).
15

g. Aquadest

Aquadest adalah air yang dimurnikan dengan metode destilasi, dibuat

dari air yang memenuhi persyaratan air murni. Pemerian berupa cairan

jernih, tidak berbau dan tidak berasa, memiliki pH 7, merupakan pelarut

yang bersifat netral. . Fungsi : sebagai bahan pelarut (Depkes RI ., 2014).

B. HIPOTESIS

Jenis surfaktan anionik, non ionik dan amfoterik berpengaruh terhadap

karakteristik fisik sediaan shampo minyak serai wangi yaitu pada uji viskositas,

pH, daya tercuci dan daya busa, tetapi tidak berpengaruh pada organoleptis dan

homogenitas.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental dengan rancangan

penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) searah satu

faktor. Penelitian menggunakan 3 jenis surfaktan berbeda, kemudian dilakukan

pengamatan terhadap karakteristik fisik sediaan shampoo minyak serai wangi

dengan 3 replikasi. Rancangan penelitian dapat dilihat pada tabel I.

Tabel I. Rancangan Penelitian Shampo Minyak Serai Wangi

Formula I Formula II Formula III


Karakteristik R1 R2 R3 R1 R2 R3 R1 R2 R3
Organoleptis OI1 OI2 OI3 OII1 OII2 OII3 OIII1 OIII2 OIII3
Homogenitas HI1 HI2 HI3 HII1 HII2 HII3 HIII1 HIII2 HIII3
pH Sediaan PI1 PI2 PI3 PII1 PII2 PII3 PIII1 PIII2 PIII3
Viskositas VI1 VI2 VI3 VII1 VII2 VII3 VIII1 VIII2 VIII3
Daya Busa BI1 BI2 BI3 BII1 BII2 BII3 BIII1 BIII2 BIII3
Daya Tercuci TI1 TI2 TI3 TII1 TII2 TII3 TIII1 TIII2 TIII3

Keterangan :
Formula 1 : Surfaktan anionik ( natrium lauril sulfat)
Formula 2 : Surfaktan non ionik (cocamide DEA)
Formula 3 :Surfarktan amfoterik (kokamidopropil betaine)
R : Replikasi

16
17

B. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini meiputi :

1. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penggunaan 3 jenis surfaktan yang

berbeda dalam pembuatan sediaan shampo minyak serai wangi yaitu

surfaktan anionik (natrium lauril sulfat), surfaktan non-ionik (cocamide DEA)

dan surfaktan amfoterik (kokamidopropil betaine).

2. Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah karakteristik fisik shampo minyak

serai wangi yang meliputi organoleptis, homogenitas, pH, viskositas, daya

busa dan daya tercuci.

3. 3. Variabel Terkendali

Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah formula shampo minyak serai

wangi meliputi metode pembuatan serta alat dan bahan yang digunakan.

C. Definisi Operasional

1. Tanaman serai wangi yang digunakan dalam penelitian didapatkan dari

Dusun Bandungan Kabupaten Semarang. Kriteria serai wangi yang akan

digunakan yaitu tanaman serai segar memiliki daun panjang kurang lebih 60 –

90 cm, batang besar berwarna merah dan akar yang kuat, dipanen dengan cara

memotong batang serai wangi usia 4 bulan.

2. Minyak atsiri serai wangi diperoleh menggunakan metode destilasi air untuk

menghasilkan minyak atsiri serai wangi murni berwarna kuning mengandung

banyak sitronella.
18

3. Jenis surfaktan yang digunakan yaitu natrium lauril sulfat dengan konsentrasi

10%, cocamide DEA dengan konsentrasi 3% dan kokamidopropil betaine

dengan konsentrasi 6,7%.

4. Pengujian karakteristik fisik sediaan shampo meliputi organoleptis,

homogenitas, pH, viskositas, daya busa dan tercuci.

5. Persyaratan karakteristik fisik, yaitu :

a. Organoleptis memenuhi syarat bentuk, bau, warna dan tekstur.

b. Homogenitas memenuhi syarat jika tidak ada partikel kasar serta tidak

terjadi pemisahan fase.

c. pH sediaan memenuhi syarat sesuai dengan pH shampo 5,0 – 9,0.

d. Viskositas memenuhi syarat apabila viskositas sediaan masuk dalam

rentang 400 – 4000 cps.

e. Daya busa memenuhi syarat apabila busa dalam keadaan stabil dalam

pengulangan waktu 3 kali yaitu menit 1, menit ke 3 dan menit ke 5.

Selisih setiap pengukuran dinyatakan dalam satuan sentimeter (cm).

Tinggi busa stabil antara 1,3 – 22 cm.

f. Daya tercuci memenuhi syarat apabila sediaan shampo tidak

meninggalkan noda pada telapak tangan.


19

D. Bahan dan Alat

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah serai

wangi, air, natrium lauril sulfat, cocamide DEA, kokamidopropil betaine,

CMC Na, metil paraben, menthol, aquadest, asam klorida pekat, toluene,

etil asetat dan asam sulfat campuran pekat - vanili.

Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah neraca

digital, rangkaian destilasi air, tabung reaksi, kotak sinar UV, alat uji KLT,

gelas ukur, beaker glass, object glass, batang pengaduk, pipet tetes, mortir,

stamper, cawan poselin, penangas air, kertas saring, corong kaca, kompor,

PH meter, stopwatch, kaca pembesar, buret, statif, klem,vortex,viskometer

brookfield, tabung reaksi, penggaris dan botol shampo 100 ml.

E. Tata Cara Penelitian

1. Determinasi Tanaman

Determinasi tanaman minyak serai wangi (Cymbopogon nardus L Rendle)

dilakukan di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan

Alam (MIPA) Universitas Negeri Semarang untuk memperoleh kebenaran

tentang tanaman agar tidak menjadi kesalahan dalam pengumpulan bahan.

2. Preparasi Serai Wangi

Tanaman serai wangi segar dipanen dengan cara memotong batang serai

wangi, selanjutnya dilakukan sortasi basah terlebih dahulu dari bagian yang

tidak terpakai maupun kotoran yang menempel. Cuci bersih batang serai wangi

menggunakan air mengalir dan didiamkan hingga air cucian hilang, lalu
20

dikeringkan dengan cara dijemur dibawah sinar matahari selama 4 – 5 jam,

apabila musim hujan dapat diangin – anginkan dalam ruangan selama 2 hari.

Tujuan dikeringkan yaitu agar minyak atsiri yang dihasilkan lebih banyak karena

akan berpengaruh pada rendemen minyak serai. Usahakan penyimpanan serai

wangi tidak lebih dari 2 hari karena akan menurunkan volume dan kadar minyak

yang diperoleh.

3. Destilasi Serai Wangi

Penyulingan dimulai dengan mempersiapkan rangkaian destilasi lalu

ditimbang serai wangi sebanyak 250 g dipotong dengan ukuran 2 cm dan

dimasukan ke dalam labu alas bulat 1000 mL. Kemudian menyiapkan air

sebanyak 500 mL sebagai pelarut yang digunakan untuk merendam serai wangi.

Penimbangan bahan umumnya menggunakan perbandingan 1 : 2 (Rusli, 2010).

Potongan serai wangi selanjutnya dilakukan destilasi selama ±3 – 4 jam

menggunakan titik didih dibawah 100° C yaitu dengan rentang 80 - 90° C.

Prinsip pengambilan minyak serai wangi menggunakan destilasi air yaitu

pemisahan senyawa dengan perbedaan titik didih. Bahan yang memiliki titik

besar maka hasil pemisahan (fase air dan fase minyak) yang diperoleh semakin

murni (Syukur and Trisilawati, 2019). Minyak serai wangi yang dihasilkan

selanjutnya dilakukan uji organoleptis untuk mengetahui tampilan fisik dan

perhitungan rendemen untuk mengetahui persentase minyak serai wangi yang

dihasilkan dari proses destilasi air.


21

Perhitungan rendemen minyak atsiri menggunakan persamaan :

Rendemen (%) = A x 100%


B
Keterangan :
A : Berat minyak yang dihasilkan (gram)
B : Berat sampel yang akan di ekstraksi (gram)

4. Uji Kualitatif Fitokimia

a. Uji Saponin

Dimasukan 2 mL minyak atsiri ke dalam tabung reaksi kemudian

ditambahkan aquadest 10 mL, selanjutnya dikocok kuat – kuat selama 10

detik. Senyawa saponin dapat ditandai dengan terbentuknya buih stabil

dengan tinggi 1 – 10 cm. Ketegasan hasil saponin dapat diuji dengan

menambahkan beberapa tetes HCl encer buih tidak hilang (Harbone,

1987).

b. Uji Kromatografi Lapis Tipis

Dimasukan eluen dalam chamber berisi toluene dan etil asetat

dengan perbandingan (93 : 7), kemudian lakukan penjenuhan

menggunakan kertas saring hingga larutan membasahi kertas saring hingga

ujung. Langkah selanjutnya siapkan fase diam silica gel f254 ukuran 10

cm x 3 cm yang telah diaktifkan dengan cara di oven selama 5 menit pada

suhu 105º C, setelah plat KLT diaktifkan ditotolkan sampel minyak serai

wangi menggunakan pipa kapiler dan pembanding citral. Lempeng KLT

dimasukan ke dalam chamber berisi fase gerak yang telah dijenuhkan, lalu

diamati kenaikan eluen sampai batas yang ditentukan. Keringkan plat KLT

lalu diamati hasilnya dibawah box sinar uv 254 nm untuk memperejelas


22

bercak dilakukan penyemprotan penampak bercak (vanili – H2SO4 pekat)

dan dioven kembali selama 5 menit pada suhu 105º C. Noda yang

terbentuk diamati kembali dan dihitung nilai Rf. Hasil Rf kemudian

dibandingkan dengan pustaka (Harbone, 1987). Berikut rumus untuk

menghitung Rf :

Rf = Jarak yang ditempuh (cm)


Jarak yang ditempuh fase gerak (cm)

5.Formulasi Shampo Minyak Serai Wangi

Formulasi pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh

perbedaan jenis surfaktan terhadap karakteristik fisik shampo anti kutu minyak

sereh serai wangi. Formulasi ini merupakan hasil modifikasi dari formula Badia

et al (2019). Shampo anti kutu minyak serai wangi akan dibuat sebanyak masing

– masing 100 mL dilakukan 3 kali replikasi. Formulasi shampo minyak serai

wangi dapat dilihat pada tabel II.

Tabel II. Formula Shampo Minyak Serai Wangi

Jumlah Bahan (%)


Nama Bahan Formula 1 Formula 2 Formula 3
Minyak Serai wangi 4% 4% 4%
Natrium lauril sulfat 10% - -
Cocamide DEA - 3% -
Kokamidopropil betaine - - 6,7%
CMC Na 1% 1% 1%
Metil Paraben 0,02% 0,02% 0,02%
Menthol 0,25% 0,25% 0,25%
Aquadest ad 100% ad 100% ad 100%
23

6. Pembuatan Shampo Minyak Serai Wangi

a. Penggunaan Surfaktan Natrium lauril sulfat

Natrium lauril sulfat dalam beaker glass lalu dilarutkan menggunakan

aquadest sebanyak 20 mL hingga homogen. Siapkan beaker glass berbeda

masukan metil paraben larutkan dengan menggunakan 4 mL aquadest aduk

hingga homogen (campuran I). Siapkan mortir masukan CMC Na

tambahkan air panas 2 mL aduk hingga mengembang membentuk

muchilago. Tambahkan minyak serai wangi sedikit demi sedikit aduk

hingga homogen, selanjutnya masukan campuran I (natrium lauril sulfat dan

metil paraben) ke dalam mortir aduk kembali hingga homogen. Terakhir

tambahkan menthol aduk pelan sampai homogen.

b. Penggunaan Surfaktan Cocamide DEA

Siapkan mortir masukan CMC Na ditambahkan 2 mL air panas aduk

hingga mengembang, larutkan metil paraben dalam beaker glass

menggunakan aquadest sebanyak 4 mL kemudian campurkan ke dalam

CMC Na yang sudah mengembang aduk hingga homogen (Campuran I).

Menthol dilarutkan menggunakan cocamide DEA kemudian dicampurkan

ke dalam campuran I dan ditambahkan minyak serai wangi sedikit demi

sedikit lalu di campur hingga homogen.

c. Penggunaan Surfaktan Kokamidopropil betaine

Siapkan mortir masukan CMC Na ditambahkan 2 mL air panas aduk

hingga mengembang, larutkan metil paraben dalam beaker glass

menggunakan aquadest sebanyak 4 mL kemudian campurkan ke dalam


24

CMC Na yang sudah mengembang aduk hingga homogen (Campuran I).

Tambahkan kokamidopropil betaine ke dalam campuran I, lalu masukan

minyak serai wangi sedikit demi sedikit dan terakhir tambahkan menthol

lalu di campur hingga homogen.

7. Pengujian Shampo Minyak Serai Wangi

a. Organoleptis

Uji organoleptis dilakukan untuk melihat tampilan fisik sediaan dengan

cara melakukan pengamatan bentuk, bau, warna dan tekstur sediaan yang

digunakan pada rambut kepala menggunakan panca indera (Lachman et al.,

1994).

b. Homogenitas

Sediaan shampo yang akan diuji homogenitas dilakukan dengan cara

mengoleskan sampel sebanyak 0,5 g pada object glass, lalu diamati ada

tidaknya partikel atau fase yang belum tercampur secara homogen

menggunakan kaca pembesar. Jika terjadi perubahan homogenitas

menandakan terjadinya ketidak rataan bahan dan zat aktif (Lachman et al.,

1994).

c. pH

Uji daya pH sediaan shampo dilakukan dengan cara menyalakan pH meter

kemudian mencelupkan elektroda pH meter pada sediaan shampoo.

Pengujian dinyatakan selesai apabila telah didapatkan nilai pH yang

konstan. Nilai yang dianjurkan untuk sediaan shampo pH 5,0 – 9,0 (BSN,

1992).
25

b. Viskositas

Pengujian viskositas sediaan shampo menggunakan viskometer

Brookfield. Pengukuran dilakukan dengan cara menuangkan shampo dalam

beakerglass sebanyak 100 mL, selanjutnya dipasang spindel, kemudian

diturunkan ke dalam sediaan hingga batas yang ditentukan. Atur kecepatan

untuk memutar spindle. Angka konstan yang tertera pada monitor diartikan

sebagai hasil viskositas (Sinala and Junaedi, 2020) . Nilai yang dianjurkan

untuk kekentalan sediaan shampoo yaitu 400 – 4000cps (Andre et al., 2001).

c. Daya busa

Pengukuran tinggi busa menggunakan tes Ross Miles. Tes tersebut

menggunakan tabung yang diisi dengan sediaan shampo sebanyak 1 mL,

kemudian ditambah dengan 5 mL aquadest. Tabung reaksi kemudian

dilakukan uji menggunakan mesin vortex selama 2 menit. Sediaan yang

telah di uji, lalu diamati tinggi busa yang terbentuk hingga menit ke – 5.

Waktu yang dipilih disesuaikan dengan kemampuan busa stabil saat shampo

digunakan ke rambut yaitu 5 menit (Ratnawulan, 2009). Busa dinyatakan

stabil apabila mampu mempertahankan ukuran lapisan film dari gelembung.

Persentase busa stabil yaitu 60 – 70% dari tinggi busa awal.

Stabilitas busa yang terbentuk dihitung menggunakan rumus :

% Busa yang hilang = (tinggi busa awal – tinggi busa akhir) x 100%
(tinggi busa awal)
26

d. Daya Tercuci

Daya tercuci diukur dengan cara meletakkan 1 g sediaan ke telapak

tangan kemudian dialiri air secara terukur menggunakan buret yang

terpasang pada statif klem, kemudian diamati volume air mengalir untuk

membersihkan sediaan. Kriteria sediaan yang baik akan mudah dibilas, tidak

meninggalkan bekas dan tidak memerlukan waktu yang lama (Lachman et

al., 1994)

F. Analisis Data

Hasil pengujian karakteristik fisik sediaan shampo minyak serai

wangi yang dihasilkan dilakukan analisis menggunakan dua cara yaitu :

1. Pendekatan Teoritis

Data yang diperoleh akan dilakukan pendekatan teoritis dengan cara

membandingkan dengan persyaratan literatur yang ada meliputi

organoleptis, homogenitas, pH, viskositas, daya busa dan daya tercuci.

2. Pendekatan Statistika

Data yang diperoleh dari hasil pengujian nilai normalitas dan homogenitas

sediaan shampo kemudian dianalisis secara statistik. Nilai pengujian

normalitas dan homogenitas (p>0,05) dianalisis menggunakan metode

Analysis of Variant (ANOVA). Apabila tidak memenuhi syarat normalitas

dan homogenitas digunakan Kruskall – Wallis dengan taraf kepercayaan 95

% untuk mengetahui karakteristik fisik sediaan shampo minyak serai wangi

yang paling baik dari ketiga formula yang dibuat.


27

G. Jadwal Penelitian

Penyusunan proposal hingga pelaksanaan penelitian dilakukan dalam jangka

waktu 7 bulan. Proposal dimulai dari penetapan judul hingga penyusunan laporan

akhir. Berikut jadwal penelitian dapat dilihat pada tabel III.

Bulan
No Kegiatan Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei
1. Penetapan Judul 
2. Penyusunan    
Proposal
3. Ujian Proposal 
4. Pengumpulan 
Bahan
5. Pelaksanaan 
Penelitian
6. Pengolahan Data 
Penelitian
7. Pembuatan 
Laporan KTI
8. Pelaksanaan 
Ujian KTI
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah (2004) ‘Membasmi Aedes Aegypti Dengan Ekstrak Sereh’, in Abdillah


(ed.) Suplemen Hikmah Edisi Minggu. Suplemen Hikmah Edisi Minggu, p. 12.
Agnes Berta Nasmety, Kharisma Ardea Pramesti, I. Z. S. (2019) ‘Pengaruh
Konsentrasi Cocamide Dea Sebagai Surfaktan Pada Pembuatan Sampo Ekstrak
Daun Alamanda’, Indonesian Journal On Medical Science, 6(2), pp. 78–82.
Andersen, F. A. (1996) ‘Amended final report on the safety assessment of
Cocamide DEA’, Journal of the American College of Toxicology, 15(6), pp. 527–
542. doi: 10.3109/10915819609008729.
Andre.O, B., Marc, P. and Howard.I, M. (2001) Handbook of Cosmetic Science &
Technology, Handbook of Cosmetic Science & Technology.
Anugrah, F. (2019) ‘Formulasi dan Uji Stabilitas Krim Ekstrak Daun Teh Hijau
(Camellia Sinensis L) Sebagai Tabir Surya’, Universitas Al - Ghifari Bandung, 1,
pp. 42–43.
BSN (1992) Sni 06-2692-1992 tentang Shampo, SNI. Jakarta: Badan Standarisasi
Nasional.
D’Sousza, P. and Rathi, S. K. (2015) ‘Shampoo and Conditioners: What a
Dermatologist Should Know?’, Indian Journal of Dermatology, 3. doi:
10.4103/0019-5154.156355.
Dapertemen Kesehatan Republik Indonesia (2014) ‘Farmakope Farmasi Indonesia
V’, pp. 1–1436.
Depkes RI, 2012 (2012) Farmakognosi dan Fitokimia. Cetakan pe, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Cetakan pe. Edited by L. H. Endarini. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Ditjenbun (2006) Statistik Perkebunan Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal
Perkebunan Republik Indonesia.
Etika, A. (2019) ‘FORMULASI DAN UJI AKTIVITAS SEDIAANSAMPO
ANTIKETOMBEPERASANJERUK PURUT ( Citrus hystrix DC)
TERHADAPPERTUMBUHAN JAMUR Candida albicans SECARA IN
VITRO’, FORMULASI DAN UJI AKTIVITAS SEDIAANSAMPO
ANTIKETOMBEPERASANJERUK PURUT (Citrus hystrix DC)
TERHADAPPERTUMBUHAN JAMUR Candida albicans SECARA IN VITRO.
Fatimah, N. (2012) ‘Seraiwangi : Tanaman perkebunan yang potensial’,
Seraiwangi : Tanaman perkebunan yang potensial., 1.
Ginting, S. (2004) ‘Pengaruh Lama Penyulingan Terhadap Rendemen Dan Mutu
Minyak Atsiri Daun Sereh Wangi’, e-USU Repository, pp. 1–22.
Guenther, E. (1990) Minyak Atsiri. Jilid IV A. Edited by K. S. Jakarta: UI Press.
Harbone (1987) Metode fitokimia : penuntun cara modern menganalisis
tumbuhan. Edited by P. Kosasih and S. Iwang. Bandung: ITB Press.
Hardiyanti, N. I. et al. (2015) ‘Penatalaksanaan Pediculosis Capitis’, Fakultas
Kedokteran, Universitas Lampung, 4(9), pp. 47–52.
Lachman, L., Lieberman, H. . and Kanig, L. (1994) Teori dan Praktek Farmasi
Industri II Cetakan - 1. II. Jakarta: UI Press.

28
29

Legifani, M. E. (2018) ‘Karakteristik dan Uji Stabilitas Sediaan Krim Ekstrak


Etanol Daun Kersen (Muntingia calabura L.)’, Polteknik Kesehatan Kemenkes
Kupang, 1, pp. 23–24.
Nurjanah, N. G. et al. (2019) ‘Uji Efektivitas Daya Insektisida Ekstrak Etanol
Daun Serai Wangi terhadap Kutu Rambut (Pediculus Humanus Capitis)’,
Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Bandung, (2), pp. 196–202.
Rahayu, Y. sapto E. and Widyoningsih (2016) ‘Efektifitas Formulasi Ekstrak
Sereh Wangi Dan Minyak Kelapa Murni Sebagai Pembasmi Kutu Rambut’,
Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA), IX(1), pp. 46–54.
Rantika, N. (2017) ‘Mengenal Produk Perawatan Rambut yang Baik’,
Farmasetika.com (Online), 2(4), p. 4. doi: 10.24198/farmasetika.v2i4.15892.
Ratnawulan, S. (2009) ‘Pengembangan Ekstrak Etanol Kubis (Brassica oleracea
var. Capitata l.) Asal Kabupaten Bandung Barat dalam Bentuk Sampo
Antiketombe terhadap Jamur Malassezia furfur’, Farmaka Uniersitas Padjajaran.
Available at: http://drpmi.unpad.ac.id/archives/3358/.
Rowe, C. R. et al. (2009) Handbook of Pharmaceutical Excipients Sixth Edition.
Sixth Edit, PRS Publishing Pharmaceutical Press. Sixth Edit. Edited by R. C.
Rowe. America: Pharmaceutical Press and America Pharmacist Association.
Rusli, M. . (2010) Sukses Memproduksi Minyak Atsiri. Cetakan Pe. Edited by M. .
Rusli. Jakarta: Agro Media Pustaka.
Schramm Laurier (2006) Emulsions, Foams, and Suspensions: Fundamentals and
Applications. First Edit. Edited by Laurier L. SchrammLaurier. Weinheim
Germany: John Wiley & Sons.Inc Companies. Available at:
https://www.wiley.com/en-bb/Emulsions,+Foams,+and+Suspensions:
+Fundamentals+and+Applications-p-9783527606887.
Sinala, S. and Junaedi (2020) Farmasi Fisika, Farmasi Fisika. Edited by S. Sinala
and Junaedi. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Available at:
file:///C:/Users/CINDY/Downloads/07-Farmasi-Fisik-E1_Reviewed_adhi.pdf.
Sulaswatty, A. et al. (2019) Minyak Serai Wangi dan Produk Turunannya,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Available at:
http://www.penerbit.lipi.go.id/data/naskah1562653977.pdf.
Syukur, C. and Trisilawati, O. (2019) ‘Sirkuler Informasi Teknologi Tanaman
Rempah dan Obat Seraiwangi Andropogon nardus L.’, Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat, pp. 9–12.
Tee, S. A. and Badia, E. (2019) ‘Uji Efektivitas Shampo Antikutu Rambut
Ekstrak Daun Sirsak ( Annonna muricata L .) Secara In Vitro’, Jurnal Warta
Farmasi, 8(2), pp. 1–9.
Teglia, A. and Secchi, G. (1994) New protein ingredients for skin detergency:
native wheat protein–surfactant complexes. International Journal of Cosmetics
Science. doi: https://doi.org/10.1111/j.1467-2494.1994.tb00100.x.

Anda mungkin juga menyukai