Anda di halaman 1dari 5

Area Licensing Scheme dan Electronic Road Pricing

Sebagai Kebijakan TDM di Singapura

Oleh : Purwadi Nugroho (0404010597)

Dasar Teori TDM

Adanya tuntutan besar akan mobilitas dan fleksibilitas pada jaman modern ini membuat
semakin banyak orang yang melakukan perjalanan dengan kendaraan pribadi. Hal itu juga
dipengaruhi oleh kemajuan ekonomi dan kemudahan dalam kepemilikan kendaraan. Pertumbuhan
jumlah kendaraan pribadi tersebut menyebabkan jumlah kendaraan di jalan meningkat sehingga
menimbulkan kemacetan, terutama pada jam-jam puncak ( peak hour) , seperti yang ditunjukkan
pada pagi hari ketika orang berangkat kerja. Untuk mengatasi masalah tersebut, ada 3 bentuk
kebijakan yang dapat dilakukan, yaitu penambahan jumlah suplai (dalam hal ini adalah jalan dan
fasilitas transportasi lainnya), peningkatan efektifitas suplai eksisting, dan pengendalian demand
melalui transport demand management.

Transportation Demand Management (TDM) adalah suatu kebijakan yang yang dilaksanakan
dengan tujuan untuk mempengaruhi pengendara atau pengguna jalan agar mengurangi perjalanan
dengan menggunakan kendaraan pribadi, atau untuk memindahkan perjalanan itu baik dalam fungsi
ruang maupun waktu . Konsep TDM dipicu oleh terjadinya krisis minyak pada tahun 1973 di
Amerika Serikat. Akibat krisis itu, diperlukan adanya suatu alternatif kebijakan untuk mengatur
jumlah penumpang dalam satu kendaraan, sehingga jumlah kendaraan yang digunakan dapat
ditekan, dan jumlah energi (bahan bakar) yang digunakan akan lebih hemat. Sekarang, konsep ini
terus berkembang karena adanya masalah global warming, pertumbuhan jumlah kendaraan,
dan kurangnya sumber daya yang dibutuhkan untuk melayani jumlah kendaraan yang ada.

Ada beberapa kebijakan TDM yang dilakukan, beberapa diantaranya adalah:

1. Menambah fasilitas untuk pejalan kaki seperti trotoar atau jalan khusus pejalan kaki.
2. Menambah fasilitas kendaraan transportasi umum
3. Manajemen biaya parkir kendaraan
4. Melakukan Congestion pricing-toll pada jalan-jalan sibuk
5. Manajemen jam kerja

Area Licensing Scheme (ALS) di Singapura


Sistem ini diatarbelakangi oleh kebijakan Singapura pada tahun 1970-an yang berusaha
menggunakan lahan Singapura seefektif mungkin, meningkatkan kompetensi ekonomi negara
melalui penghematan bahan bakar, dan mengatasi masalah kemacetan yang melanda Singapura.
Sangat terbatasnya lahan di Singapura menyebabkan pelebaran dan penambahan jalan sebagai
solusi kemacetan dianggap tidak memungkinkan. Untuk itu, pemerintah Singapura memutuskan
untuk melakukan kebijakan TDM Sistem ALS pertama kali diajukan pada tahun 1973. Setelah dua
tahun dilakukan dialog publik dan penelitian, sistem ALS dimodifikasi dari bentuk semula dan resmi
dioperasikan pada tahun 1975.

Area Licensing Scheme ( ALS ) diperkenalkan di Singapura pada tahun 1975 dengan melakukan
pungutan pada kendaraan yang melalui area CBD di Singapura. Sistem ini adalah sistem congestion
pricing yang pertama kali diaplikasikan di dunia. Ketika pertama kali diaplikasikan, ALS meliputi
daerah CBD seluas 6 Km2 lalu berkembang menjadi 7,5 Km2. Daerah cakupannya dapat dilihat pada
peta berikut, dengan nama Restricted Zone (RZ)

Gambar 1. Peta daerah Restricted Zone di Singapura

Ada 34 titik akses menuju RZ disiapkan oleh pemerintah. Pada setiap titik, ada petugas
kepolisian yang mengawasi secara visual kendaraan yang masuk RZ dengan dibantu oleh kamera
untuk merekam pelanggaran yang terjadi. Untuk bisa memasuki RZ, pengguna kendaraan bermotor
harus membeli lisensi yang dijual seharga US$3 per hari. Lisensi itu dijual di pompa bensin, kantor
pos, stan khusus, dan toko-toko umum. Lisensi itu ditempelkan pada kaca depan mobil atau pada
setir motor pada hari-hari kerja antara jam 07.30 sampai jam 10.15. Dan, seiring dengan kebutuhan,
sejak tahun 1994, jam berlaku itu ditambah dari jam 07.30 sampai dengan 18.30.

Pada masa-masa awal berlakunya sistem ini, mobil pribadi dengan penumpang lebih dari 4
orang, kendaraan umum, serta kendaraan untuk kepentingan umum (ambulan, pemadam
kebakaran, mobil patroli,dll) dapat memasuki zona tanpa bayaran. Namun sejak 1989, hanya bus
dan kendaraan untuk kepentingan umum saja yang tidak perlu membayar. Hal itu dilakukan karena
ternyata banya pengguna bus yang menumpang kendaraan pribadi untuk menghindari biaya.

Pada tahun 1994, dilakukan diferensiasi jenis lisensi kendaraan. Sejak saat itu, ada 2 jenis utama
lisensi, yaitu lisensi yang digunakan untuk ijin harian dan lisensi untuk waktu puncak. Selain itu,
lisensi juga dibedakan untuk setiap jenis kendaraan, dan ada variasi warna untuk setiap bulan.
Perbedaan – perbedaan itu dilakukan untuk memudahkan petugas dalam mengawasi kendaraan.
Perubahan lain yang dilakukan adalah sistem penilangan. Sejak 1994, kendaraan yang ditilang tidak
dihentikan pada titik masuk, tetapi pelat kendaraannya akan dicabut. Selanjutnya pengendara yang
melanggar harus menjalani sidang dan membayar denda. Hal ini dilakukan untuk mempermudah
pengaturan arus kendaraan pada titik masuk RZ.

Walaupun sistem ALS cukup sederhana, menurut data statistik pada buku “The Journey -
Singapore's Land transport Story" sistem ini sangat sukses. Sebelum sistem ini berlaku pada tahun
1975, jumlah kendaraan yang masuk ke CBD setiap harinya antara jam 07.30 – 09.30 adalah 32.500
kendaraan. Jumlah itu lalu menurun drastis pada tahun 1975 menjadi hanya 7.700 kendaraan,
dengan reduksi sebesar 76 %, dan 9% dari jumlah itu beralih menggunakan transportasi umum. Pada
tahun 1983, jumlah pengguna kendaraan umum meningkat mencapai 70 % dari total perjalanan di
RZ. Lalu, pada tahun 1994 dimana ada perubahan waktu aktif ALS menjadi hampir 1 hari penuh
(07.30 – 06.30), jumlah kendaraan yang masuk dan keluar berkurang sebesar 9,3%. Selain itu, sistem
ini juga sukses menurunkan angka pertumbuhan kendaraan dari 7% menjadi 4% per-tahun.

Gambar 2. Grafik jumlah kendaraan rata-rata perhari untuk tahun yang bersangkutan. Warna biru
menunjukkan jumlah populasi dan warna merah menunjukkan jumlah kendaraan masuk ke Restricted Zone

Electric Road Pricing (ERP)

Setelah aktif selama lebih dari 10 tahun, sistem ALS diperbaharui menjadi sistem ERP pada
bulan September 1998. Sistem ERP sudah direncanakan selama 10 tahun dan mengalami pengujian
(termasuk pengujian dengan kendaran kecepatan tinggi mobil sport )dan revisi berkali-kali sebelum
akhirnya digunakan. Pada sistem ini, sistem ALS dikembangkan dengan menggunakan sistem
komputer automatis, sehingga pada titik masuk RZ, kendaraan tidak perlu memperlambat kendaraan
untuk diperiksa oleh petugas. Singapura sekali lagi menjadi yang pertama dalam menggunakan
sistem ini.

Pada sistem ini, fungsi lisensi tertulis digantikan oleh alat bernama In-Vehicle Unit (IU). Alat ini
dipasang pada kaca depan mobil, dan didalamnya dimasukan kartu yang disebut Cashcard
dimasukkan. Karena kepemilikan IU adalah wajib, warga negara asing dapat memilih untuk menyewa
IU atau membayar biaya harian sebesar S$5, flat.

Gambar 3. Gerbang masuk Restricted Zone (RZ) dengan teknologi ERP

Pada sistem ini di setiap titik masuk terdapat gerbang dengan sensor khusus dan dilengkapi
kamera untuk merekam pelat nomor kendaraan yang tidak mempunyai IU atau cashcard . Ketika
kendaraan melalui gerbang, sejumlah nilai kredit pada cashcard akan berkurang. Lalu, sensor pada
gerbang akan mengirim sinyal ke IU dan selanjutnya IU akan menampilkan jumlah pembayaran yang
dilakukan serta sisa kredit yang dimiliki. Jumlah itu bervariasi dari S$0.5 sampai S$4.00. Seluruh
peralatan dibuat, diinstalasi dan dirawat oleh Philips Singapore Pte Ltd, Mitsubishi Heavy Industries
Ltd, Miyoshi Electronic Corporation dan CEI Systems and Engineering . Sejak 2005 pemerintah
mengembangkan rencana untuk mengaplikasikan teknologi Global Positioning System (GPS)
menggantikan gerbang yang ada dengan alasan fleksibilitas.

Sistem ERP adalah sistem yang tidak populer dikalangan pengemudi karena adanya variasi tarif
dan mahalnya tarif. Walaupun begitu, sistem ini cukup sukses. Menurut data dari Land Transport
Authority (LTA), dinas perhubungan Singapura, terjadi pengurangan kendaraan sebesar 25.000
kendaraan pada jam sibuk setiap harinya. Jumlah kendaraan perhari juga menuun dari 270.000
menjadi 230.000 kendaraan. Selain itu, juga ada peningkatan kecepatan kendaraan pada jam sibuk
sebesar 20%.

Walaupun begitu, sistem ini tidak sempurna. Hal itu ditunjukkan dengan adanya kemacetan
pada daerah diluar RZ, dan adanya kemacetan bottleneck pada jalan yang lebih kecil. Contoh yang
paling jelas terjadi pada jalan Thomson dan Jalan Serangoon. Untuk mengatasi masalah itu, LTA
membuat gerbang pada jalan Thomson, dan melebarkan jalan Serangoon. Masalah yang sama yang
terjadi pada daerah lain mendorong LTA untuk berencana memperluas daerah RZ. Namun hal itu
langsung mendaat kritik dari pengguna jalan, dan akhirnya dibatalkan. LTA akhirnya memutuskan
untuk memperlebar beberapa jalan yang bermasalah, yaitu jalan Brandell, Jalan Pan Island, dan
pembangunan jalan Kallang-Paya Lebar.

Anda mungkin juga menyukai