Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH RADIOFARMASI

DIAGNOSIS PARU MENGGUNAKAN RADIOFARMAKA

Disusun Oleh :

1. Meisy Lantika Afriani(2016210148)


2. Nadiah Putri Shafira (2016210164)
3. Ratih Gia Nurfani (2016210188)

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PANCASILA

JAKARTA

2020
Kata Pengantar

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat
pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai “MAKALAH
RADIOFARMASI : DIAGNOSIS PARU MENGGUNAKAN RADIOFARMAKA”.

Perkembangan radiofarmaka untuk tujuan terapi maupun diagnosis semakin luas ketika
kemudian diketahui adanya fenomena baru dalam mekanisme lokalisasi sediaan radiofarmaka
di dalam tubuh. Lokalisasi radiofarmaka pada organ target tidak hanya berdasarkan proses
fisiologis dan metabolisme biasa, tetapi beberapa jenis anomali organ dapat memberikan
”sinyal” yang dapat menarik, mengakumulasi dan menahan secara spesifik senyawa substrat
tertentu, sehingga radiofarmaka dengan struktur substrat tersebut akan terlokalisasi pada
organ target secara spesifik pula. Tulisan ini menjelaskan pengertian radiofarmaka dan
mekanisme lokalisasinya serta salah satu sediaan radiofarmaka yang digunakan untuk
diagnosis paru, 99mTc-etambutol. Akhirnya, penulis menulis menyadari bahwa buku ini masih
jauh dari sempurna. Kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan makalah ini di masa
akan dating sangat penulis harapkan. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. 

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh
karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya. 

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian. 

Jakarta, Maret 2020

Penulis kelompok 6

ii
Daftar Isi

Kata Pengantar....................................................................................................................ii

Daftar Isi............................................................................................................................iii

BAB 1 Pendahuluan...........................................................................................................1

A. Latar Belakang........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan....................................................................................................2

BAB 2 Isi............................................................................................................................3

A. Pengertian Radiofarmaka.......................................................................................3
B. Lokalisasi Radiofarmaka........................................................................................4
C. 99mTc-etambutol....................................................................................................5
D. Scintigraphy pada 99mTc-etambutol.....................................................................7

BAB 3 PENUTUP..............................................................................................................9
A. Kesimpulan.............................................................................................................9
B. Saran.......................................................................................................................9
Daftar Pustaka....................................................................................................................10

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penggunaan radiofarmaka domestik di Indonesia dimulai pada tahun 1966
dengan dioperasikannya Reaktor TRIGA Mark II di Bandung untuk produksi
radioisotop. Berbagai macam produk radioisotop yang dihasilkan digunakan untuk
penelitian di bidang biologi (24Na, 32P, 51Cr, 131
I), pertanian (32P), hidrologi (24Na, 82Br
dan 51Cr) sementara berbagai produk radiofarmaka bertanda 99m
Tc atau 131
I digunakan
di bidang kesehatan. Sejak saat itu teknologi proses dan aplikasi radiofarmaka
domestik terus berkembang, dan dewasa ini di samping radioisotop yang dapat
dipandang sebagai generasi pertama seperti disebutkan di atas. Beberapa jenis
radioisotop medik generasi baru produk domestik tersebut telah digunakan lebih
lanjut untuk pembuatan sediaan radiofarmaka, sementara beberapa yang lain masih
dalam taraf kemantapan teknik produksi untuk sampai pada prosedur baku dengan
reprodusibilitas yang baik.
99m
Radiofarmaka Tc-Etambutol adalah suatu sediaan kit-diagnostik yang
berbasis pada obat anti tuberculosis, etambutol digunakan untuk deteksi penyakit
yang disebabkan karena infeksi oleh bakteri tuberculosis (TB) ekstra paru (selain
organ paru) yang tidak dapat dideteksi dengan modalitas lain seperti tes mantuk, uji
apus sputum, pemeriksaan darah dan pemeriksaan penunjang seperti foto Rontgen
(sinar-x), ultrasonografi (USG) dan CT-scan. Jika kit etambutol ditandai/ dicampur
99m 99m
dengan radioaktif Tc kemudian diinjeksikan kepada pasien maka Tc-etambutol
akan ter uptake/ tertangkap oleh bakteri TB yang ada pada organ dan jaringan.
99m
Adanya Tc yang memancarkan sinar gamma akan tertangkap oleh kamera gamma
sehingga dapat diperoleh gambaran (pencitraan) organ yang terinfeksi TB . Tujuan
penelitian adalah untuk menentukan biodistribusi dan uptake pada paru-paru setelah
99m
injeksi radiofarmaka Tc-etambutol ke dalam tubuh pasien. Penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat untuk dokter, dapat mengetahui seberapa  banyak
99m
biodistribusi radioafarmaka Tc-etambutol, sehingga dapat menentukan jenis
gangguan pada fungsi paru serta dapat membantu dalam mengambil keputusan
diagnosis yang tepat pada pasien Tbc khususnya yang akan menjalani terapi.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Radiofarmaka?
2. Ada berapa kemungkinan terjadinya mekanisme lokalisasi?
3. Apa yang dimaksud dengan 99mTc-etambutol

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini yaitu:
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan radiofarmaka
2. Mengetahui salah satu jenis sediaan radiofarmaka yang dapat digunakan sebagai
diagnosis paru.

2
BAB II
ISI

A. Pengertian Radiofarmaka

Secara sederhana sediaan radiofarmaka dapat didefinisikan sebagai sediaan


radioaktif terbuka yang dipergunakan secara in vivo untuk tujuan diagnosis dan/atau
terapi. Sebagai suatu sediaan radioaktif yang digunakan dalam diagnosis dan terapi
untuk manusia maka sediaan radioafarmaka harus memenuhi kriteria yang diatur dan
ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, Kementerian Kesehatan maupun
Badan Pengawas Tenaga Nuklir.

Gambar 1. Korelasi dan perbedaan antara sediaan radiofarmaka dengan sediaan obat

Perkembangan teknologi kedokteran nuklir telah mendorong dan menuntut


pengembangan jenis dan karakter baru sediaan radiofarmaka, dari jenis radiofarmaka
yang sederhana menjadi jenis radiofarmaka target spesifik. Dari radiofarmaka perunut
fisiologis konvensional dengan karakter biodistribusi dan lokalisasi yang berbasis
sifat-sifat fisika dan kimia melalui proses fisiologis dan metabolisme normal menjadi
radiofarmaka target molekuler spesifik dengan karakter biodistribusi atau lokalisasi

3
berdasarkan interaksi biokimia atau interaksi biologis yang spesifik antara molekul
substrat dengan molekul pada jaringan organ target.

B. Lokalisasi Radiofarmaka

Yang dimaksud dengan lokalisasi radiofarmaka adalah pengumpulan atau akumulasi


radiofarmaka di dalam organ tubuh tertentu setelah radiofarmaka tersebut dimasukkan ke
dalam tubuh, baik secara oral maupun injeksi. Pemahaman mengenai fenomena dan
mekanisme lokalisasi ini diperlukan agar efek keradioaktifan sediaan radiofarmaka yang
dimasukkan ke dalam tubuh dapat dibatasi hanya pada jaringan atau organ tubuh yang
dikehendaki saja. Mekanisme lokalisasi memberikan konsekuensi akumulasi atau
penangkapan radiofarmaka dalam organ dapat terjadi dalam 3 kemungkinan berikut ini :

1. Radiofarmaka terakumulasi pada jaringan target normal


Dalam hal jaringan target normal tidak dipengaruhi oleh keadaan patologis
yang tertentu, maka radiofarmaka yang mengalami metabolisme atau
proses fisiologis normal akan terakumulasi pada jaringan target tertentu
secara otomatis mengikuti proses fisiologis yang semestinya. Jaringan
target yang mengalami gangguan atau anomali dari keadaan normal tidak
dapatmengakumulasi radiofarmaka sebagaimana mestinya. Di sisi lain,
bila jaringan target normal dipengaruhi oleh keadaan patologis
(disekitarnya) maka keadaan patologis tersebut menimbulkan reaksi
internal dalam jaringan targert normal sebagai upaya tubuh untuk
melindungi diri dari pengaruh keadaan patologis tersebut. Reaksi internal
tersebut mengakibatkan akumulasi yang lebih kuat pada jaringan target
normal.

Gambar 2. Pengelompokan mekanisme lokalisasi radiofarmaka

4
2. Radiofarmaka terakumulasi pada membran sel/jaringan target yang
patologis.
Keadaan patologis yang tertentu pada sel atau jaringan (misalnya
terjadinya kanker) akan mendorong pembentukan antigen atau
receptorprotein atau zat lainnya pada membrane sel atau jaringan tersebut,
yang secara spesifik akan menarik dan mengikat suatu substrat tertentu
yang terbawa oleh aliran darah. Dengan demikian apabila struktur
radiofarmaka mengandung struktur substrat antibodi atau strukur protein
tertentu maka radiofarmaka akan terakumulasi pada membran sel/jaringan
patologis melalui

3. Radiofarmaka terakumulasi pada jaringan target yang abnormal atau


jaringan target yang patologis.
Beberapa macam sediaan radiofarmaka mengandung struktur senyawa
substrat yang dapat merupakan indikator prognostik dari (atau untuk) jenis
kanker tertentu.

99m
C. Tc-etambutol

Radiofarmaka 99mTc-Etambutol adalah suatu sediaan kit-diagnostik yang


berbasis pada obat anti tuberculosis, etambutol digunakan untuk deteksi penyakit yang
disebabkan karena infeksi oleh bakteri tuberculosis (TB) ekstra paru (selain organ
paru) yang tidak dapat dideteksi dengan modalitas lain seperti tes mantuk, uji apus
sputum, pemeriksaan darah dan pemeriksaan penunjang seperti foto Rontgen (sinar-
x), ultrasonografi (USG) dan CT-scan. Pemeriksaan tersebut lebih mudah dan cepat
dilakukan dan relatif non-invasif, tetapi hasilnya tidak menjanjikan dan kurang
memberikan hasil yang dapat meyakinkan para dokter dalam menegakkan diagnosis
penyakit TB ekstra paru. Jika kit etambutol ditandai/ dicampur dengan radioaktif 99m
Tc kemudian diinjeksikan kepada pasien maka 99mTcetambutol akan ter uptake/
tertangkap oleh bakteri TB yang ada pada organ dan jaringan. Adanya 99mTc yang
memancarkan sinar gamma akan tertangkap oleh kamera gamma sehingga dapat
diperoleh gambaran (pencitraan) organ yang terinfeksi TB.

Selain dari itu radiofarmaka tersebut dapat juga terakumulasi kedalam organ-
organ lain seperti diantaranya ginjal, hati, empedu, usus dan jaringan lain namun

5
akumulasi tertinggi pada organ/jaringan targetnya. Hal ini merupakan efek dari
farmako kinetik 99mTc-etambutol, walaupun demikian risiko efek radiasi ini sudah
dipertimbangkan dan dinyatakan aman karena sudah memenuhi persyaratan dari
Komite Etik Penelitian Kesehatan Kedokteran Nuklir, karena selain
penggunaanaktivitas 99mTc nya rendah, mempunyai waktu paruh pendek hanya 6
jam dan 99mTc merupakan pemancar sinar gamma murni. Metode deteksi infeksi
tuberculosis menggunakan teknik kedokteran nuklir merupakan suatu teknik runut
metode yang paling tepat dan akurat, menggunakan radiofarmaka dengan metode
pencitraan oleh kamera gamma. Teknik ini dapat mendeteksi infeksi TB pada tahap
awal yaitu dimulai dari munculnya penyakit didasarkan pada perubahan fisiologi
organ tubuh yang terinfeksi tuberculosis. Pada teknik ini etambutol ditandai dengan
unsur radioaktif 99mTc yang memancarkan sinar gamma berperan sebagai perunut
dan memudahkan observasi dengan alat kamera gamma. Sementara itu, etambutol
bertindak sebagai pembawa untuk mencapai sasaran yang diinginkan sehingga
diperoleh gambaran organ yang dapat memberikan informasi mengenai morfologi
serta fungsi dari organ tersebut.

99m
Sebagai sediaan radiofarmaka baru, Tc-etambutol harus mengalami
serangkaian pengujian untuk keamanannya sebelum radiofarmaka tersebut menjadi
sediaan radiofarmaka siap pakai. Salah satu dari pengujian tersebut adalah
menentukan waktu berapa lama stabilitas kit etambutol dalam penyimpanan dan
99m
stabilitas Tc-etambutol pasca penandaan. Pada kegiatan penelitian ini dilakukan
99m
penentuan stabilitas kit etambutol terhadap penyimpanan, stabilitas Tc-etambutol
99m
pasca penandaan serta penandaan kit etambutol dengan Tc aktivitas tinggi.
99m
Penentuan stabilitas sediaan radiofarmaka Tc-etambutol dan penandaan kit
etambutol dengan radionuklida 99mTc aktivitas tinggi dilakukan dengan cara pengujian
99m
kemurnian radiokimia terhadap kompleks Tc-Etambutol menggunakan metode
kromatografi. Kestabilan kit etambutol dalam penyimpanan sangat diperlukan yaitu
untuk menentukan masa kadaluwarsa sediaan radiofarmaka. Sedangkan kestabilan
kompleks 99mTc-etambutol pasca penandaan diperlukan untuk mengetahui batas waktu
berapa lama sediaan radiofarmaka masih dapat dipakai (di injeksikan kepada pasien)
di rumah sakit jika radofarmaka setelah ditandai dengan 99mTc.

6
D. Scintigraphy pada 99mTc-etambutol
Skintigrafi 99mTc-EMB ditafsirkan secara visual oleh dua orang spesialis kedokteran
nuklir. Penafsiran gambar adalah sebagai berikut :
1) Pemindaian normal, jika tidak ada peningkatan patologis penggunaan 99mTc-
EMB. Penyerapan tinggi normal terlihat di ginjal dan kandung kemih, hati,
dan limpa. Ada serapan dari 99mTc-EMB dalam tulang, sumsum tulang, dan
jaringan lunak.
2) Positif scan, jika pengambilan patologis 99mTc-EMB terlihat di tulang
belakang dan secara bertahap meningkat seiring waktu.
3) Pemindaian negatif, jika serapan patologis 99mTc-EMB terlihat meningkat
pada 1 jam dan secara bertahap menurun (dicuci) pada gambar 3 jam.

Pada penelitian yang dilakukan sebelumnya, menunjukkan kinerja diagnostik 99mTc-


EMB skintigrafi pada STB yang dicurigai secara klinis, dengan sensitivitas,
spesifisitas, PPV, NPV dan akurasi 90,91%, 71,43%, 93,75%, 62,5%, dan 87,5%,
masing-masing. Hanya 2/32 (6,25%) subjek dengan scintigraphy 99mTc-EMB positif
tidak memiliki STB pada hasil histopatologis (false positive atau nondiagnostic).

Skintigrafi 99mTc-EMB positif palsu dapat disebabkan oleh:

1) Hipervaskularisasi pada infeksi tulang belakang yang tidak spesifik akan


menyebabkan akumulasi 99mTc-EMB baik dalam 1 jam dan 3 jam setelah
injeksi.
2) Ada beberapa kesulitan untuk mendapatkan biopsi spesimen yang adekuat dari
jaringan pascaoperasi.
3) Kultur dapat mengidentifikasi basil tahan asam yang andal membutuhkan
keberadaan setidaknya 104 basil tahan asam per mililiter dari specimen

Ada 3 dari 8 (37,5%) subjek dengan 99mTc-EMB negatif scintigraphy menunjukkan


histopatologis positif untuk STB (false negatif). Bisa saja scintigraphy 99mTc-EMB
negative karena:

1) Persaingan antara 99mTc-EMB dan anti-TB obat-obatan (EMB) yang


diberikan sebelum pemindaian 99mTc-EMB. [16]
2) Dosis EMB yang berlabel 99mTc hanya 2 mg lebih sedikit dibandingkan
dosis EMB sebagai obat anti-TB (15–25 mg / kg berat badan)

7
3) Sejumlah kecil bakteri di lokasi lesi di waktu pencitraan. Jumlah bakteri
setidaknya harus 104 untuk dapat dicitrakan.
4) jaringan nekrotik pada pasien dengan STB tidak akan menyerap 99mTc-
EMB.
5) Pada tahap awal dari penyakit ini, sebagian besar M. tuberculosis berada di
makrofag dengan hasil serapan rendah 99mTc-EMB.

Studi ini menunjukkan tingginya PPV dari skintigrafi 99mTc-EMB Berdasarkan PPV
tinggi, kita dapat menyimpulkan bahwa jika ada pasien dengan STB yang dicurigai
secara klinis memiliki 99mTc-EMB positif scintigraphy, artinya pasien dapat
langsung diobati obat anti-TB tanpa diagnostik sitologis. Padahal kalau sabar dengan
dugaan STB menunjukkan scintigraphy 99mTc-EMB negatif, itu berarti penyebab
STB lain harus dipertimbangkan.

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan makalah diatas bisa disimpulkan beberapa hal seperti berikut :
99m
1. Radiofarmaka Tc-Etambutol adalah suatu sediaan kit-diagnostik yang berbasis
pada obat anti tuberculosis, etambutol digunakan untuk deteksi penyakit yang
disebabkan karena infeksi oleh bakteri tuberculosis (TB) ekstra paru (selain organ
paru) yang tidak dapat dideteksi dengan modalitas lain seperti tes mantuk, uji apus
sputum, pemeriksaan darah dan pemeriksaan penunjang seperti foto Rontgen
(sinar-x), ultrasonografi (USG) dan CT-scan.
2. Pemahaman mengenai mekanisme lokalisasi radiofarmaka sangat diperlukan
dalam kaitannya dengan pemilihan jenis sediaan yang akan digunakan dalam
menangani suatu kasus yang tertentu, baik untuk tujuan diagnosis maupun terapi.
Dalam kaitannya dengan pengembangan jenis radiofarmaka baru, maka desain
radiofarmaka baru tersebut perlu didasari dengan pertimbangan potensi
mekanisme lokalisasi yang sesuai dengan peruntukannya nantinya. Perlu juga
dipahami bahwa ada faktor di luar proses lokalisasi itu sendiri yang juga
berpengaruh pada hasil pencitraan yang menjadi cerminan dari realitas lokalisasi
yang terjadi. Misalnya, adanya pengotoran radiokimia, yang mungkin saja terjadi
dalam proses penyediaan radiofarmakanya, akan berpotensi menunjukkan
penyimpangan biodistribusi dari mekanisme lokalisasi yang diharapkan.
Mekanisme lokalisasi juga berkaitan erat dengan masalah waktu. Karena itu
pemilihan waktu tunggu pasca pemberian radiofarmaka sampai dengan
pengambilan citra lokalisasi, baik dengan kamera SPECT ataupun kamera PET,
juga perlu diperhatikan.

B. Saran
Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat banyak
kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis aka memperbaiki makalah tersebut
dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang membangun dari para
pembaca.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Roseliana, A., Witarti, W., Lestari, E., Sriyani, M. E., & Widjaksana, W. (2019).
Determination Stability of 99mTc-Etambutol Radiopharmaceuticals for
Tuberculosis Detected. JKPK (Jurnal Kimia dan Pendidikan Kimia), 4(1), 48-56.
2. Soenarjo, S. (2015). Mekanisme lokalisasi sediaan radiofarmaka pada organ
target. Jurnal Radioisotop dan Radiofarmaka, 17(1).
3. Diah, L. H., & Kartamihardja, A. H. S. (2019). The role of Technetium-99m-
Ethambutol scintigraphy in the management of spinal tuberculosis. World journal
of nuclear medicine, 18(1), 13.

10

Anda mungkin juga menyukai