Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

ANTIBIOTIK GOLONGAN SEFALOSPORIN

OLEH:

NAMA : NURUL WIDOWATY ABRIE


KELAS :A
NIM : 2320192020

PROGRAM STUDI D-III ANALIS KESEHATAN


FAKULTAS SAINS TEKNOLOGI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BINA MANDIRI
GORONTALO
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Tuhan Semesta Alam. Atas segala karunia

nikmat-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Makalah yang berjudul “Antibiotik Golongan Sefalosporin” disusun dalam rangka

memenuhi salah satu tugas mata kuliah Bakteriologi III Teori.

Meski telah disusun secara maksimal, namun penyusun sebagai manusia

biasa menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Karena itu

penysun mengharapkan kritik dan saran yang membangun sebagai bahan evaluasi

diri. Demikian apa yang bisa penulis sampaikan, semoga bermanfaat.

Gorontalo, April 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................ 2
1.3 Tujuan.................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 3
2.1 Sejarah Perkembangan Sefalosporin................................................... 3
2.2 Tipe Aksi Sefalosporin........................................................................ 3
2.3 Spektrum Sefalosporin........................................................................ 3
2.4 Struktur Sefalosporin........................................................................... 5
2.5 Klasifikasi dan Golongan Sefalosporin............................................... 6
2.6 Mekanisme Kerja Sefalosporin............................................................ 9
2.7 Sifat Farmakologi Sefalosporin........................................................... 10
2.8 Efek Samping dan Toksisitas............................................................... 12
2.9 Cara Penggunaan Klinik Sefalosporin................................................. 13
2.10 Interaksi Obat..................................................................................... 14
BAB III PENUTUP........................................................................................... 16
3.1 Kesimpulan.......................................................................................... 16
3.2 Saran..................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Menkes (2011) terapi penyakit infeksi dengan menggunakan
antibiotik sampai sekarang terus berkembang, penggunaannyapun meningkat.
Penyakit infeksi di Indonesia masih termasuk kedalam sepuluh penyakit
terbanyak. Peresepan antibiotik di Indonesia yang cukup tinggi dan kurang
bijak akan meningkatkan terjadinya resistensi. Berbagai penelitian
menunjukan bahwa telah muncul mikroba yang resisten. Sampai hari ini
ketergantungan kita terhadap antibiotik tidak dapat dipungkiri. Di tahun 1998,
di United States, dilaporkan sekitar 80 juta resep antibiotic diterbitkan untuk
keperluan penyembuhan penyakit infeksi pada manusia, dan hal itu equivalen
dengan sekitar 12.500 ton antibiotik dalam 1 tahun.
Antibiotik turunan sefalosproin merupakan antibiotic yang paling banyak
digunakan untuk pengobatan penyakit infeksi. Sefalosporin merupakan
antibiotik spektrum luas yang digunakan untuk terapi septikemia, pneumonia,
meningitis, infeksi saluran empedu, peritonitis, dan infeksi saluran urin.
Aktivitas farmakologi dari sefalosporin sama dengan penisilin, diekskresi
sebagian besar melalui ginjal. Kemampuan sefalosporin melintas sawar otak
sangat rendah kecuali pada kondisi inflamasi; sefotaksim merupakan
sefalosporin yang baik untuk infeksi sistem saraf pusat (misalnya meningitis)
(Badan POM RI, 2015).
Antibiotik ini mempunyai spectrum antibacterial yang luas dan lebih
resisten terhadap beta lactam daripada penisilin. Pasien yang alergi terhadap
biasanya tahan terhadap antibiotik ini. Sefalosproin termasuk antibiotik beta
lactam dengan struktur, khasiat, dan sifat yang banyak mirip penisilin.
Sefalosporin berasal dari fungus Cephalosporium acremonium yang diisolasi
pada tahun 1984 oleh Brotzu. Dengan adanya perkembangan dan penelitian
baru dari tahun ketahun dalam makalah ini akan membahas mengenai
sefalosporin.

1
1.2 Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini, sebagai berikut:
a. Bagaimana Sejarah Perkembangan Sefalosporin?
b. Bagaimana tipe aksi dari Sefalosporin?
c. Bagaimana spectrum aktivitas dari Sefalosporin?
d. Bagaimana Struktur Sefalosporin?
e. Apa saja Klasifikasi dan Penggolongan Sefalosporin?
f. Bagaimana Mekanisme Kerja Sefalosporin?
g. Bagaimana Sifat Farmakologi dari Sefalosporin?
h. Apa saja Efek Samping dan Toksisitas Sefalosporin?
i. Bagaimana Cara Penggunaan Klinik Sefalosporin?
j. Bagaimana interaksi obat sefalosporin?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini, sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui Sejarah Perkembangan Sefalosporin.
b. Untuk mengetahui tipe aksi dari Sefalosporin.
c. Untuk mengetahui spectrum aktivitas dari sefalosporin.
d. Untuk mengetahui Struktur Sefalosporin.
e. Untuk mengetahui Klasifikasi dan Penggolongan Sefalosporin.
f. Untuk mengetahui Mekanisme Kerja Sefalosporin.
g. Untuk mengetahui Sifat Farmakologi dari Sefalosporin.
h. Untuk mengetahui Efek Samping dan Toksisitas Sefalosporin.
i. Untuk mengetahui cara Penggunaan Klinik Sefalosporin.
j. Untuk mengetahui interaksi obat Sefalosporin.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Perkembangan Sefalosporin
Penemuan antibiotik β-laktam merupakan terobosan yang luar biasa
dalam pembuatan obat. Penisilin yang ditemukan oleh Alexander Fleming
pada tahun 1928 terbukti efektif dalam melawan bakteri gram positif.
Berbagai penelitian lebih lanjut terhadap penisilin menjadi populer pada masa
itu. Meksipun demikian, penisilin umumnya memiliki keterbatasan dalam
melawan bakteri gram negatif. Dan seiring dengan penggunaannya, beberapa
bakteri gram positif menjadi resistan terhadap penisilin dengan menghasilkan
enzim penisilinase yang menghidrolisis cincin β-laktam pada penisilin.
Pada tahun 1945, Giuseppe Brotzu,
seorang profesor Hygiene dari University
of Cagliari, Italia, berhasil mengisolasi
strain Cephalosporium acremonium,
sejenis mold dari air laut dekat saluran
pembuangan limbah di Cagliari, Sardinia.
Percobaan yang dilakukannya
membuktikan bahwa fungi ini
menghasilkan senyawa yang efektif dalam
melawan Salmonella tylhi (sejenis bakteri
gram negatif). Pada tahun 1948, Brotzu
mempublikasikan penemuannya, akan tetapi kurang menarik perhatian. Atas
usul British Medical Research Council, Brotzu kemudian mengirimkan
kultur C. acremonium, yang kemudian diklasifikasi ulang sebagai
Acremonium chrysogenium pada tahun 1971 oleh Gams, kepada Howard
Florey di Oxford.
Guy Newton dan Edward Abraham di Sir William Dunn School of
Pathology, University of Oxford pada tahun 1951 berhasil menemukan
senyawa antibiotik yang dihasilkan oleh kultur Acremonium yang kemudian
diberi nama sefalosporin C. Pada tahun 1955, antibiotik sefalosporin C

3
menunjukkan spektrum aktivitasnya yang lebar, termasuk banyak strain
Staphylococcus aureus yang sensitif dan resistan terhadap penisilin.
Riset dan pengembangan industri produksi sefalosporin semakin
marak mengingat potensi yang besar dari sefalosporin. Proses produksi yang
pertama melibatkan Glaxo, dari Inggris, dan Ely Lilly, dari Amerika Serikat,
sebagai yang pertama bernegosiasi dengan NRDC (National Research
Development Corporation). Pada tahun 1985, gen biosintetik β-laktam
pertama, pcbC (encoding cyclase) berhasil dikloning dari A. chrysogenum.
Perkembangan ini cukup berarti bagi industri sefalosporin mengingat
pembuatan enzim yang diperlukan bagi industri ini menjadi lebih mudah.
2.2 Tipe Aksi Sefalosporin
Menurut Katzung (1998) Sefalosporin sering digunakan pada kasus ISK
karena mempunyai efek bakterisid yang kuat terutama sefalosporin generasi
yang ketiga (sefoperazon, sefotaksim, seftazidim, seftizoksim, seftriakson,
sefiksim dan moksalaktam). Cara kerja sefalosporin ialah dengan menghambat
sintesis dinding sel bakteri. Waktu paruh sefalosporin berkisar antara 1-3 jam,
tetapi untuk seftriakson bisa mencapai 8 jam.
2.3 Spektrum Sefalosporin
Golongan Sefalosporin ini berspektrum luas, contohnya Seftriakson dan
cefotaxim adalah obat antibiotik beta-laktam golongan sefalosporin generasi
ketiga berspektrum luas yang efek kerjanya dapat mencapai sistem saraf pusat,
keduanya dapat digunakan secara intravena ataupun intramuskuler. Dalam 1
gram seftriakson intravena terdapat sekitar 60-140 µg/mL seftriakson dalam
serum. Obat golongan ini dapat melakuan penetrasi ke dalam jaringan, cairan
tubuh, cairan serebrosinal serta dapat menghambat bakteri pathogen gram
negatif dan positif (Triono dkk, 2016).
Seftriakson memiliki waktu paruh selama 7-8 jam, sedangkan cefotaxim
2-4 jam. Seftrikason dan cefotaxim dapat diusntikkan setiap 12-24 jam dalam
dosis 15-50 mg/kg/hari. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar puncak
dalam serum darah 1-2 jam setelah dilakukan injeksi intra muscular. Cara
kerja seftriakson dan cefotaxim analog dengan penisilin yakni menghambat

4
sintesis dinding sel bakteri dengan cara menghambat transpeptidasi
peptidoglikan dan mengaktifkan enzim autoloitik dalam dinding sel yang
menyebabkan rudapaksa sehingga bakteri mati (Triono dkk, 2016).
Seftriakson dan cefotaxim mempunyai berat molekul 400-450, dapat
larut dalam air serta relatif stabil terhadap peruhanan pH dan suhu. Seftriakson
dieksresikan melalui saluran empedu, sehingga tidak diperlukan penyesuaian
dosis pada gagal organ ginjal. Cefotaxim diekskresikan 60-90% melalui ginjal.
Sefalosporin menyebabkan sensitisasi dan menimbukan berbagai reaksi
hipersensitivitas termasuk anafilaksis, demam, kemerahan di kulit,
granulositopenia dan anemia hemolotik. Siprofloksasin termasuk antibiotik
golongan kuinolon generasi kedua sedangkan ofloksasin adalah generasi
pertama yang berspektrum luas. Siprofloksasin dan ofloksasin memiliki daya
antibakteri terhadap gram negatif lebih kuat dibandingkan bakteri gram positif
(Triono dkk, 2016).
2.4 Struktur Sefalosporin
Sefalosporin berasal dari fungus Cephalosporium acremonium yang
diisolasi pada tahun 1948 oleh Brotzu. Inti dasar sefalosporin C ialah asam 7-
amino-sefalosporanat (7-ACA: 7- aminocephalosporanic acid) yang
merupakan kompleks cincin dihidrotiazin dan cincin betalaktam. Sefalosporin
C resisten terhadap penilisilinase, tetapi dirusak oleh sefalosporinase.
Hidrolisis asam sefalosporin C menghasilkan 7-ACA yang kemudian dapat
dikembangkan menjadi berbagai macam antibiotik sefalosporin.  Modifikasi
R1 pada berbagai pada posisi 7 cincin betalaktam dhubungkan dengan aktivitas
antimikroba, sedangkan substitusi R2 pada posisi 3 cincin hidrotiazin
mempengaruhi metabolisme dan farmakokinetiknya. Struktur umum
sefalosporin yaitu:

5
2.5 Klasifikasi dan Golongan Sefalosporin
Dari berbagai penggolongan yang ada, maka yang paling banyak
dipergunakan adalah klasifikasi cephalosporin menjadi beberapa generasi
berdasarkan aktifitas spektrum anti mikrobial.
2.5.1 Cephalosporins generasi I
Menunjukan aktifitas pada bakteri gram positif, contohnya antara
lain: Cefazolin, Cefadroxil, Cephalothin, Cephalexin.

*Dari: Mandell, Douglas and Bennet, Principles and Practice of Infectious Diseases 7th Ed
2.5.2 Cephalosporin generasi II
Memiliki kemampuan aktifits terhadap basil Gram negatif namun
dengan tetap mempertahankan kemampuan terhadap cocci Gram positif.

6
Kelompok Cefamycin juga dimasukan dalam Cephalosporins generasi
kedua. Cefamycin dikenal dengan kemampuannya dalam mengatasi bakteri
anaerob Gram negatif, misalnya Bacteroides spp. Adapun yang termasuk
dalam Cephalosporins generasi kedua misalnya: Cefuroxime, Cefotetan,
Cefoxitin, Cefaclor, Cefprozil, dan Loracarbef

2.5.3 Cephalosporins generasi III


Memiliki kemampuant terhadap bacil Gram negatif yang telah
ditingkatkan , namun beberapa senyawa dalam kelompok ini mengalami
pengurangan kemapuan terhadap cocci Gram positif. Ceftazidime yang
merupakan golongan ini memiliki kemampuan terhadap Pseudomonas
aeruginosa. Adapun yang termasuk dalam Cephalosporins generasi II
diantaranya: Ceftazidime, Cefotaxime, Ceftriaxone, Cefixime, dan Cefdinir.

7
*Dari: Mandell, Douglas and Bennet, Principles and Practice of Infectious Diseases 7th Ed
2.5.4 Cephalosporins Generasi IV
Generasi ke empat memiliki spektrum terluas dari semua generasi
Cephalosporins. Yang termasuk dalam golongan ini adalah Cefepime dan
Cefpirome. Memiliki kemampuan terhadap hampir semua Bacilli Gram
negatif termasuk Pseudomonas aeruginosa namun tetap mempertahankan
kemampuan terhadap cocci Gram positif. Cephalosporins generasi III dan
generasi IV biasa juga disebut sebagai “Extended Spectrum
Cephalosporins”.

*Dari: Mandell, Douglas and Bennet, Principles and Practice of Infectious Diseases 7th Ed
2.5.5 MRSA Active Cephalosporins
Meliputi ceftaroline dan ceftobiprole. Kemampuan unik dari kelompok
ini adalah kemampuannya dalam menghadapi MRSA. Selain itu obat
golongan ini juga memiliki kemampuan untuk menghadapi Streptococcus
pneumoniae dan Enterococcus faecalis. Aktifitas terhadap bacilli Gram
negatif sama dengan cephalosporins generasi III.

8
*Dari: Mandell, Douglas and Bennet, Principles and Practice of Infectious Diseases 7th Ed
2.6 Mekanisme Kerja Sefalosporin
Mekanisme antibakterial golongan Cephalosporins sama seperti obat
antibiotika golongan β lactam lainnya. Pertumbuhan bakteri dihambat dengan
mempengaruhi proses pada sinteis dinding sel. Target utamanya adalah
struktur ikatan Peptidoglycan. Peptidoglycan merupakan rantai polisakarida
yang terdiri dari N-acetylglucosamine (NAG) dan N-acetylmuramic (NAM).
Rantai polisakarida tersusun bersilangan pada sisi pentapepetida dari NAM
dan membentuk struktur menyerupai sarang. Struktur ini menyusup ke dalam
membran sitoplasma dengan bantuan kerja berbagai enzim, termasuk
transpeptidase, carboxypeptidase, dan endopeptidase. Cincin lactam yang ada
pada penicillin dan cephalosporin suatu konformasi yang mirip dengan
terminal d-alanine-d-alanine pentapeptide. Antibiotik membentuk ikatan
kovalen dengan enzim-enzim tersebut, terutama transpeptidase sehingga
terjadi penurunan aktifitas enzim. Enzim-enzim tersebut itulah yang dikenal
dengan istilah PBP (Penicillin Binding Protein).
Letak dari PBP antara kuman Gram positif dan kuman Gram negatif
berbeda. Pada kuman gram positif, PBP terletak pada permukaan luar dari sel.
Sedangkan pada kuman Gram negatif, adanya lapisan lipopolisakarida
menyebabkan cephalosporins harus melakukan penetrasi ataupun berdifusi
untuk dapat mencapai PBP. PBP yang menjadi sasaran bervariasi menurut

9
type dan jumlahnya. Cocci gram positif dan gram negatif biasanya memiliki 3
– 5 PBP sedangkan bacilli gram negatif umumnya memiliki 7 – 10 PBP. Obat
Cephalosporins memiliki afinitas berbeda terhadap berbagai PBP tersebut.
Dalam konsentrasi rendah, cephalosporins cenderung terikat pada PBP 3 pada
kuman bacilli gram negatif. Apa yang sesungguhnya terjadi setelah
pembentukan ikatan kovalen antar cephalosporins dan PBP sehingga
menyebabkan terjadinya lisis dan kematian sel belum sepenuhnya dipahami.
Secara keseluruhan, cephalosporins dianggap sebagai obat bakterisidal.
2.7 Sifat Farmakologi Sefalosporin
Cephalosporins adalah senyawa polar yang larut dalam air. Untuk
generasi I, II, dan III tersedia dalam bentuk sediaan oral dan parenteral.
Sedangkan untuk generasi IV dan MRSA active cephalosporin hanya tersedia
untuk penggunaan parenteral. Untuk lebih mudahnya dapat dilihat pada tabel-
tabel berikut.

*Dari: Mandell, Douglas and Bennet, Principles and Practice of Infectious Diseases 7th Ed

10
*Dari: Mandell, Douglas and Bennet, Principles and Practice of Infectious Diseases 7th Ed
Semua formulasi parenteral tersedia untuk pemberian secara
intramuscular maupun secara intra vena. Semua formulasi parenteral kecuali
cephradine, stabil pada larutan yang disimpan dalam suhu ruangan selama 24
jam atau lebih. Sedangkan sediaan oral tersedia dalam bentuk tablet, kapsul
maupun suspensi. Sebagian besar Cephalosporin dieliminasi melalui ginjal,
dengan waktu paruh 1 hingga 2 jam. Mekanisme utama untuk ekskresi melalui
ginjal itu terutama melalui sekresi tubulus. Pemberian Probenecid dapat
memperpanjang waktu paruh beberapa obat Cephalosporins.
2.8 Efek Samping dan Toksisitas
Sama halnya dengan obat-obat antibiotik golongan β lactam lainnya,
efek samping Cephalosporins yang paling sering dijumpai adalah reaksi

11
hipersensitifitas. Namun angka kejadian reaksi hipersensitifitas akibat
Cephalosporins tidaklah sebesar pada Penicillin. Reaksi hipersensitifitas yang
berat dapat menyebabkan anaphylaxis, serum sickness ataupun angioedema.
Reaksi silang antara obat-obat cephalosporin sedang dalam tahap penelitian.
Penggunaan skin test untuk memprediksi kemungkinan terjadinya reaksi
hipersensitifitas tidaklah cukup meyakinkan. Pada saluran cerna dapat muncul
berbagai keluhan, diantaranya diare. Efek pada susunan saraf sangat jarang
dan sama seperti pada beta lactam lainnya.

*Dari: Mandell, Douglas and Bennet, Principles and Practice of Infectious Diseases 7th Ed
2.9 Cara Penggunaan Klinik Sefalosporin
2.9.1 Cephalosporin Generasi I
Terutama digunakan sebagai alternatif pengganti penicillin untuk
mengatasi infeksi staphylococcal dan nonenterococcal streptococcal,
termasuk pula infeksi pada kulit dan jaringan lunak (soft tissue). Cefazolin
yang dikombinasikan dengan probenecid dalam dosis sehari sekali sangat
efektif untuk infeksi kulit dan soft tissue. Cefazolin juga direkomendasikan
untuk antibiotika profilaksis untuk prosedur implantasi, serta berbagai
prosedur bedah lainnya.

12
2.9.2 Cephalosporin Generasi II
Karena memiliki potensi untuk melawan S. Pneumoniae, H. influenzae
dan M. Catarrhalis, maka Cephalosporins generasi II banyak dipergunakan
untuk mengatasi berbagai infeksi saluran pernafasan. Cefuroxime dapat
digunakan untuk penatalaksanaan meningitis, community acquired
pneumonia (walau sudah tak direkomendasikan lagi), juga untuk berbagai
infeksi yang serius yang disebabkan oleh kuman yang susceptible. Tetapi
cefuroxime tidak dapat digunakan untuk penatalaksanaan infeksi
nosokomial. Sediaan oral cephalosporin generasi II efektif untuk berbagai
infeksi ringan dan sedang di masyarakat.
2.9.3 Cephalosporin Generasi III
Generasi III Cephalosporins digunakan untuk berbagai infeksi yang
berat yang disebabkan oleh organisme yang telah resisten terhadap berbagai
macam obat antibiotik. Tetapi strain yang mengekspresikan “Extended
Spectrum β-Lactamase” (ESBL) tidaklah termasuk yang bisa ditangani oleh
antibiotik ini. Penggunaan generasi III cephalosporins untuk infeksi oleh
kuman golongan enterobacter haruslah dihindari walaupun jika hasil
pemeriksaan secara in vitro terhadap isolat menunjukan masih susceptible
karena adanya resiko resistensi. Ceftriaxone dan Cefotaxime dapat
digunakan untuk mengatasi meningitis, termasuk meningitis yang
disebabkan oleh pneumococci, meningococci, H. influenzae dan kuman
enteric batang gram negatif yang susceptible, tetapi tidak untuk L.
Monocytogenes.
2.9.4 Cephalosporins Generasi IV
Cefepime adalah salah satu contoh dari obat cephalosporin generasi
IV. Cefepime memiliki afinitas yang baik untuk Pseudomonas aeruginosa,
Enterobacteriaceae, Staph. aureus dan Strep. Pneumoniae. Juga sangat aktif
dalam menghadapi haemophillus dan neisseria.
2.9.5 Cephalosporin Active Against MRSA
Antibiotik golongan β-lactam yang mempunyai kemampuan untuk
melawan MRSA saat ini sedang dalam pengembangan. Ceftaroline dan

13
Ceftobiprole, keduanya memiliki peningkatan kemampuan untuk terikat
dengan PBP 2a yang biasanya berperan dalam mekanisme resistensi
methicillin pada staphylococci.

*Dari: Mandell, Douglas and Bennet, Principles and Practice of Infectious Diseases 7th Ed
2.10 Interaksi Obat
Penggunaan bersama dengan antacid dapat meningkatkan konsentrasi
plasma dari sefaklor, sefdinir, dan sefodoksim, tetapi penggunaan
bersamaan dengan antihistamin 2 dapat menurunkan konsentrasi plasma
serosoksim dan sefuroksim. Suplemen zat besi dapat menurunkan absorbs di
lambung dari sefuroksim dan sefpodoksim. Efek seperti disulfiran dapat
terjadi apabila digunakan bersamaan dengan etanol serta merangsang

14
terjadinya hipoprotombinemia. Hindari penggunaan dengan aminoglikosid
karena dapat menimbulkan terjadinya nefrotoksik (Yagiela, 2004).

15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari makalah yang dibuat dapat disimpulkan bahwa sefalosporin
ditemukan pada tahun 1945 oleh Giuseppe Brotzu mempunyai efek
bakterisidal dengan cara kerja spectrum luas. Sefalosporin dibagi menjadi
beberapa generasi berdasarkan aktifikas spectrum antimikroba dengan
menghambat pertumbuhan bakteri dengan mempengaruhi proses pada sintesis
dinding sel, yang menjadi target utamanya adlaah struktur ikatan
peptidoglikan.
3.2 Saran
Karena keterbatasan pengetahuan serta referensi, maka saya
menyarankan kepada para pembaca tidak hanya menjadikan makalah ini
sebagai panduan tapi sebaiknya dilengkapi dari berbagai sumber lain.

16
DAFTAR PUSTAKA

Badan POM RI, 2015. Sefalosporin. Pusat Informasi Obat Nasional.


Guilfoile Patrick. 2007. Antibiotic-Resistant Bacteria. Infobase Publishing.
Katzung, B,. G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik, (4th ed), (Anwar Agoes).
Palembang.
Mandell GL, Bennett JE, Dollin R. Mandell, Douglas, and Bennett’s. 2010.
Principle and Practice of Infectious Diseases. 7th ed. Philadephia: Elsevier
Churchil Livingstone.
Triono, Aviv, and Akhmad Edy Purwoko. "Efektifitas Antibiotik Golongan
Sefalosporin dan Kuinolon terhadap Infeksi Saluran Kemih." Mutiara
Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan 12.1 (2016): 6-11.
Yagiela, John; Dowd, Frank; Neidle. 2004. Pharmacology and Therapeutics for
Dentistry; Westline Industrial Drive St Louis Missouri.

17

Anda mungkin juga menyukai