Anda di halaman 1dari 14

4/3/2019 Budaya Ruang Ketiga dari Homi K.

Bhabha - Brikolase

 Top Menu

 (https://www.facebook.com/brikolase/?fref=ts)  (https://twitter.com/brikolase)

(http://www.brikolase.com/)

 Main Menu 

Budaya Ruang Ketiga dari Homi K. Bhabha


 August 21, 2016 (http://www.brikolase.com/2016/08/21/budaya-ruang-ketiga-dari-homi-k-bhabha/) 
Yongky Gigih Prasisko (http://www.brikolase.com/author/yongky-g-prasiskogmail-com/)

Pertemuan yang Konfliktual dan Antagonistik

Buku Homi K. Bhabha The Location of Culture (1994) merupakan kumpulan tulisan yang telah
diterbitkan pada beberapa karya antologi maupun jurnal, serta diseminarkan pada beberapa acara
akademik baik di Amerika maupun Australia. Jadi, buku ini tidak bisa dipahami sebagai satu kesatuan
ide yang runut. Secara umum, buku ini merupakan tawaran Bhabha berupa perspektif dalam melihat,
membaca, dan menganalisa fenomena budaya pada era kontemporer.

www.brikolase.com/2016/08/21/budaya-ruang-ketiga-dari-homi-k-bhabha/ 1/14
4/3/2019 Budaya Ruang Ketiga dari Homi K. Bhabha - Brikolase

Di dalamnya, Bhabha membahas berbagai macam fenomena budaya seperti kolonialisme,


nasionalisme, historiografi, migran, modernitas bahkan posmodernitas. Pada kesempatan kali ini,
saya tidak hendak memberikan penjelasan pada setiap persoalan budaya yang dibahas oleh Bhabha,
tetapi yang ingin saya jelaskan adalah ide Bhabha yang berupa tawaran rumusan teoretis dalam
melihat fenomena budaya tersebut. Ide ini merangkum semua penjelasan dalam kumpulan tulisan
Bhabha yang cukup rumit dan kompleks. Ide itu dinamakan dengan perspektif poskolonial.

Mengawali penjelasan perihal poskolonial, kita harus memahami dulu mengapa perspektif ini
diperlukan, atau terlebih dahulu mengetahui latar belakang dan konteks di baliknya. Bhabha
menjelaskan fenomena budaya kontemporer diisi dengan migrasi dari berbagai daerah dengan latar
belakang budaya yang berbeda. Maka dari itu, pertemuan dan perjumpaan berbagai macam budaya
yang beragam ini tak terhindarkan.

Pertemuan itu kerap berlangsung secara konfliktual dan antagonistik, daripada bersifat kompromis
dan dialogis. Migrasi, salah satunya didorong oleh praktik penjajahan. Bangsa Eropa datang ke Asia
dan Afrika demi maksud yang seolah-olah mulia, yakni misi pemberadaban, misi suci atau mission
sacreé, yang membenarkan praktik eksploitasi, dehumanisasi, dan perang di baliknya. Fenomena
perbudakan juga mendorong peristiwa migrasi, contohnya peristiwa middle passage voyage, yakni
pengiriman jutaan budak yang dibawa dari Afrika ke Dunia Baru – Amerika.

Beranjak pada zaman yang lebih kekinian, lalu lintas ekonomi, pelarian politik ataupun pengungsian
menjadi faktor pendorong migrasi. Berangkat dari latar belakang inilah perlu adanya perumusan
kembali perihal perspektif dalam melihat fenomena budaya. Perspektif lama, yang disebut-sebut
Bhabha, antara lain adalah ide tentang modernitas dan kemajuan. Modernitas merupakan ide
tentang universalisme dan totalitas, sedangkan kemajuan adalah pemikiran yang mengasumsikan
bahwa sejarah bersifat teleologis dan evolutif. Sederhananya, sejarah bergerak menuju tujuan
tertentu yang lebih tinggi dan beradab.

Hasrat, Permainan Tanda, dan Kuasa Agensi

Poskolonial adalah sebuah perspektif, Bhabha menyebutnya dengan beberapa istilah antara lain
kritik poskolonial, dunia poskolonial, wacana poskolonial, subjek poskolonial, teks poskolonial atau
ruang dan waktu poskolonial. Dalam merumuskan cara pandang poskolonial ini, Bhabha
menggunakan beberapa teori, yang utama, antara lain psikoanalisa Jacques Lacan, dekonstruksi
Derrida, dan sedikit sentuhan pos-struktural dari Roland Barthes.

Secara garis besar, Bhabha menggunakan psikoanalisa Lacan, terutama pemikirannya tentang proses
identifikasi, yang melibatkan hasrat (desire) dan permintaan (demand). Konsep ini berada dalam
payung teori perkembangan subjek. Konsep ini nantinya akan menjelaskan bagaimana subjek
kolonial terbentuk. Pembentukan subjek, menurut Lacan pada umumnya, terdiri atas tiga fase: nyata
(real), cermin, dan simbolik. Fase real adalah pengalaman subjek ketika belum bisa membedakan

www.brikolase.com/2016/08/21/budaya-ruang-ketiga-dari-homi-k-bhabha/ 2/14
4/3/2019 Budaya Ruang Ketiga dari Homi K. Bhabha - Brikolase

dirinya dengan realitas, khususnya dengan tubuh ibunya. Tahap ini juga disebut dengan fase pra-
bahasa, ketika subjek belum mengenal bahasa, subjek belum merasakan keutuhan dirinya –secara
fisik fragmentaris, secara mental penuh dalam arti kurang (lack).

Berikutnya, yakni fase cermin, inilah fase ketika subjek mulai menganggap dirinya sebagai sesuatu
yang utuh –secara fisik, memiliki tangan, kaki, kepala dan badan- seperti melihat dirinya di dalam
cermin, fase ketika subjek bisa mengenali dirinya, yang berbeda dengan yang lain. Tahap ketiga
adalah fase simbolik, yakni ketika subjek mengenali dirinya melalui bahasa, dan ia mulai
menempatkan dirinya (atau ditempatkan) pada masyarakat.

Subjek yang dibahas Bhabha lebih banyak membicarakan subjek dalam fase simbolik. Contoh paling
sederhana adalah gagasan Franz Fanon tentang negating activity, ketika membahas orang Negro.
Orang Negro menyadari dirinya sebagai subjek ketika ia mengetahui apa pandangan orang kulit putih
tentang dirinya, bukan karena penegasan dirinya. Di sinilah poin ketika orang Negro ditempatkan
dalam norma kolonialisme. Subjek terus mengidentifikasi dirinya dalam hubungannya dengan yang
lain, intinya hasrat subjek merupakan hasrat terhadap pengakuan yang lain.

Persoalan hasrat psikoanalisis ditempatkan Bhabha dalam konteks historis, yakni dalam fenomena
kolonialisme. Bhabha melihat subjek dalam kondisi kolonialisme dengan berangkat dari persoalan
mentalnya. Subjek yang terjajah memiliki kondisi budaya yang berbeda dengan penjajah. Para
penjajah memiliki otoritas dalam mengkonstruksi wacana dominan untuk merepresentasikan
realitas, khususnya kaum terjajah. Oleh karena perbedaan konteks historis dan kultural antara
penjajah dan yang terjajah, maka wacana representasi dominan menjadi terbelah dan berlipat.

Latar belakang sosial dan fakta historis telah memunculkan persoalan mental subjek. Wacana
dominan mencoba untuk menyeragamkan individu menjadi representasi kolektif, dan persoalan
mental subjek membuat representasi menjadi terbelah. Prosesnya, secara psikoanalisis, yakni
wacana representasi adalah sebuah permintaan (demand) akan identitas, subjek mengkonvensinya
dan ia menjadi ada/eksis, namun ada yang masih tersisa dalam diri subjek ketika mengkonvensi
dirinya, yakni hasrat. Hasrat inilah yang membuat subjek selalu kurang (lack).

Bhabha menjelaskan bahwa wacana –stereotip dan citra– akan selalu diancam efektifitasnya oleh
lack. Penanda dalam wacana kolonial akan selalu tergelincir. Proses ini dapat dijelaskan melalui
istilah metafora dan metonimi. Dalam psikoanalisa Lacan, metafora merupakan proses
ketergelinciran penanda karena mekanisme pemadatan (condensation) –penanda bisa digantikan
oleh penanda lain- dan metonimi berdasarkan mekanisme pengalihan (displacement) –penanda
selalu dialihkan ke penanda lain.

Wacana kolonial, persoalan mental dan ketergelinciran penanda kemudian akan membentuk subjek.
Bhabha membaca, dalam wacana kolonial, kemunculan subjek yang ambigu, problematis, terbelah
atau ganda. Subjek ini berpotensi mengacaukan wacana kolonial yang sifatnya tertutup, ia mampu
membuat wacana menjadi terbelah dan berlipat dalam ranah operasionalnya. Subjek ini berada
dalam ambang (liminal) budaya yang saling bertemu, ia eksis dalam apa yang disebut Bhabha

www.brikolase.com/2016/08/21/budaya-ruang-ketiga-dari-homi-k-bhabha/ 3/14
4/3/2019 Budaya Ruang Ketiga dari Homi K. Bhabha - Brikolase

sebagai momen transit –perlintasan ruang dan waktu– sehingga ia mengalami suatu keadaan
disorientasi atau keterasingan. Namun, kondisi ini tidak dianggap sebagai sebuah kelemahan, tetapi
ia dianggap sebagai suatu modal perlawanan demi pembebasan dari wacana dominan.

Bagaimana subjek ini berproses dalam wacana yang merepresinya? Untuk menjawab ini, mari kita
masuk pada pemikiran Jacques Derrida.

Secara umum, yang saya tangkap, pemikiran Derrida yang digunakan oleh Bhabha adalah perihal
permainan tanda. Permainan tanda mengasumsikan suatu entitas/eksistensi tidak menempati ruang
yang tetap, penanda diandaikan sebagai topeng. Istilah Derrida yang digunakan Bhabha untuk
menjelaskan posisinya adalah entre/antara, kehadirannya menaburkan kebingungan antara yang
berlawanan dan berdiri di antara yang berlawanan sekaligus. Gayatri C. Spivak membahasakannya
sebagai ruang catachresis, yakni ruang penyelewengan kata/makna ketika subjek tidak ingin
mendiami suatu wacana dan mengkritiknya dari luar. Ini merupakan prinsip dekonstruksi
poskolonial.

Posisi ini juga dijelaskan Bhabha melalui pemikiran Barthes tentang kebisingan teks (writing aloud), ia
merupakan kemungkinan diskursif, sesuatu yang tak beraturan, yang dinamai dengan non-kalimat. Ia
belum menjadi bahasa, sesuatu yang mungkin menjadi bahasa tetapi sekarang berada di luarnya.
Secara umum, posisinya tidak berada dalam penanda apapun, ia berada di luar penanda dan terus-
menerus menggoyahkan struktur makna yang mapan. Posisinya merupakan gerakan penandaan
ambivalen, gerakan tak menentu dan tegang yang membuka ruang hibrid. Menariknya, ia tidak
hendak membalikkan posisi, atau menghancurkan wacana secara anarkis, tetapi ia hanya ingin
bermain-main dengan penanda, mengungkap ambiguitasnya, dan tujuannya yang paling penting
adalah membuka ruang perbedaan budaya.

Perbedaan budaya merupakan satu konsep penting dari Bhaba. Ia membedakan perbedaan budaya
(cultural di erence) dengan pluralitas budaya (cultural diversity). Pluralitas/keberagaman budaya
mengasumsikan budaya sebagai objek epistemologis, objek pengetahuan empiris. Ia merupakan
konstruksi budaya berdasarkan perbedaan etnis, estetik maupun etik. Ia juga menganggap budaya
sebagai produk natural yang menjurus pada pemahaman multikulturalisme.

Sedangkan perbedaan budaya adalah ekspresi budaya melalui sistem bahasa/tanda, yang memuat
relasi kuasa di dalamnya. Ia merupakan proses penandaan yang membedakan, mendiskriminasi atau
menjustifikasi relasi produksi. Sederhananya, perbedaan budaya mengasumsikan budaya sebagai
sebuah ekspresi atau praktik penandaan. Pertemuan budaya-budaya yang berbeda, salah satunya
dalam kondisi kolonialisme, akan menjadi antagonistik dan konfliktual jika budaya masih dimaknai
sebagai sesuatu yang natural dan tertutup.

Bhabha mencontohkan fenomena nasionalisme Serbia, bahwa nasionalisme dimaknai sebagai


penegasan etnis asli yang menjadi identitas nasional. Pada akhirnya, penegasan etnis asli/natural
tersebut mengakibatkan praktik ekstrim pembunuhan etnis lain dalam batas suatu negara demi
mencapai ide nasionalisme. Pada lain pihak, ruang perbedaan budaya memungkinkan munculnya

www.brikolase.com/2016/08/21/budaya-ruang-ketiga-dari-homi-k-bhabha/ 4/14
4/3/2019 Budaya Ruang Ketiga dari Homi K. Bhabha - Brikolase

ruang hibrid, ruang ketiga, ruang antara ataupun ruang/dunia yang melampaui. Ia memungkinkan
perlintasan tanda dan ragam ekspresi budaya bergabung serta berkombinasi satu sama lain demi
sebuah pengakuan dan kebebasan terhadap keberagaman ekspresi manusia yang demokratis, juga
pengalaman manusia yang dinamis. Selama ini, orang yang terjajah, migran, pelarian, budak,
perempuan merupakan golongan minoritas yang kurang mendapatkan ruang untuk berekspresi dan
pengakuan. Melalui ruang perbedaan budaya, mereka bisa menuliskan pengalamannya, dan
memungkinkan praktik negosiasi dengan status quo.

Contoh praktik negosiasi dan gerakan pengacauan wacana yang paling kentara dalam pembahasan
Bhabha ialah mimikri. Mimikri merupakan cara merepresentasikan (mode of representation), ia
cenderung mengulang atau meniru daripada mempresentasikan kembali, ia menampakkan
kemiripan yang parsial, sehingga ia tetap berbeda –hampir sama tetapi tak cukup sama (kamuflase).
Kehadirannya bersifat tak utuh/tak lengkap atau sebagian (metonimi), tanda artikulasinya bersifat
ganda.

Mimikri muncul atau diproduksi pada ambang, perbatasan atau di sekitar ambivalensi wacana, oleh
karena itu efektifitasnya diukur dari kelicinannya. Mimikri memiliki efek mengacaukan wacana
dominan, maksudnya pengacauan terhadap efektifitas kuasa wacana dominan. Ia membuat kuasa
wacana menjadi retak, ambigu, dan terbelah. Dalam hal strategi kekuasaan, mimikri merupakan
sebuah ancaman terhadap keberhasilannya. Bhabha menjelaskan mimikri dalam konteks
kolonialisme.

Strategi wacana kolonialisme antara lain mengkonstruksi stereotip, meng-eksklusi-kan orang yang
terjajah, membuat representasi batas atau identitas yang diskriminatif. Mimikri muncul dalam batas
wacana antara penjajah dan terjajah –kutipan menarik dari Heidegger yakni suatu batas bukanlah
tempat di mana sesuatu berhenti, tetapi suatu batas merupakan asal dari sesuatu yang mulai
menampakkan dirinya. Di mana ada batas di situ akan lahir sesuatu yang baru, lain atau berbeda.

Bhabha, dalam konteks kolonialisme, mengatakan bahwa mimikri mewujud dalam kelompok
intelektual pribumi yang dididik oleh sekolah-sekolah kepunyaan pemerintah Inggris –untuk konteks
di India-, mereka dipersiapkan untuk menjadi penerjemah dan dipekerjakan di dalam departemen.
Mereka berpenampilan/tampak seperti orang Inggris –moralnya, intelektualnya, opininya- tetapi
mereka bukan orang Inggris –warna kulit dan darah orang India. Mereka adalah produk dari strategi
kolonialisme untuk membentuk subjek yang berpihak pada pemerintahan Inggris, untuk
menjalankan kuasanya. Tidak hanya itu, proyek misionaris kristenisasi juga merupakan strategi
kontrol sosial melalui pembentukan moral orang pribumi yang sesuai dengan wacana dominan
pemerintahan Inggris. Strategi ini menjadi tidak efektif karena ancaman mimikri, yang mampu
membuat wacana terbelah dan ambivalen.

Poin penting dalam mimikri adalah ia merupakan produk yang lahir di ruang ambang, ia
memproduksi tanda wacana dominan dengan memplesetkannya atau menggelincirkannya –tidak
selalu berefek mengejek. Kehadiran mimikri bersifat ganda sekaligus parsial sehingga ia mampu
menggoyahkan kemapanan wacana dominan, serta mengganggu efektifitas strategi kekuasaannya.

www.brikolase.com/2016/08/21/budaya-ruang-ketiga-dari-homi-k-bhabha/ 5/14
4/3/2019 Budaya Ruang Ketiga dari Homi K. Bhabha - Brikolase

Setelah menjelaskan perihal posisi dan cara representasinya, maka pertanyaan berikutnya adalah
tentang agen atau agensi (agency) subjek. Poin utama Bhabha dalam menjelaskan agensi yakni
uraian tentang cultural translation (penerjemahan budaya). Agensi merupakan otoritas, kuasa
ataupun otonomi subjek dalam berhadapan dengan wacana yang melingkupinya. Agensi juga
mengasumsikan bahwa subjek tidak begitu saja (di)tunduk(kan) oleh wacana, tetapi ia secara aktif
terus memaknai wacana yang menempanya. Contoh Bhabha, yang saya tangkap, perihal praktik
agensi subjek adalah cerita tentang proyek misionaris Anund Messeh yang bertemu dengan
sekelompok orang di bawah pohon di luar kota Delhi. Mereka adalah orang pribumi kelas bawah yang
sedang belajar buku Inggris –sebenarnya buku itu adalah Kitab Injil yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Hindi, yang didapatkan dari orang Eropa.

Singkat cerita Anund Messeh hendak mengkonversi mereka menjadi Kristen dengan prosedur baptis
dan sakramen. Mereka dengan senang hati menerima ajakan Anund Messeh dan sangat ingin
dibaptis, tetapi mereka tidak mau melakukan sakramen, yang mensyaratkan untuk memakan daging
sapi. Dalam tradisi Hindu, hewan sapi merupakan makhluk sakral, dan kebanyakan dari mereka
adalah vegetarian. Mereka mau melakukan semua tradisi Kristen kecuali sakramen, karena sakramen
bertentangan dengan tradisi Hindu. Dalam kasus ini, Bhabha menunjukkan adanya tegangan antara
dua budaya yang saling bertemu, yang membuktikan bahwa subjek memiliki agensi ketika
berhadapan dengan wacana lain.

Bentuk agensi subjek dalam ruang ambang adalah praktik penerjemahan budaya. Bhabha
mengatakan penerjemahan budaya bersifat menyelewengkan, mengalihkan atau bahkan bisa sampai
menyesatkan wacana yang mapan. Satu contoh yang diberikan Bhabha adalah novel karya Salman
Rushdie berjudul The Satanic Verses. Praktik Salman Rushdie dalam menerjemahkan ulang sejarah
sekaligus ajaran Islam, dalam novel tersebut, menuai kecaman, hujatan serta ancaman dari
kelompok Islam, khususnya di Timur Tengah.

Intinya, novel tersebut menyebut seorang tokoh, pembawa wahyu, bermana Mahound, yang
dianggap merujuk pada Nabi Muhammad. Ada beberapa wahyu yang dianggap sebagai kesalahan
yang disebabkan oleh gangguan setan. Sahabat sang nabi pun ada yang meragukan penyampaian
wahyunya yang tidak utuh dan telah diubah. Novel itu juga menyebutkan seorang pelacur yang
namanya sama dengan istri sang nabi. Dalam hal ini penerjemahan budaya dianggap sebagai sesuatu
yang menyesatkan, di mana kitab suci yang sakral dan sejarah Islam tidak membolehkan sebuah
tafsir yang liberal dan demokratis. Bhabha memandang persoalan novel ini tidak sesederhana
sebagai salah tafsir, pelanggaran hal yang sakral, atau bid’ah, tetapi hal ini dipandang sebagai bentuk
kemungkinan hibriditas yang mengartikulasikan penandaan dalam ambiguitas dan kedinamisan.
Hasrat poskolonial adalah selalu ingin mencerabut, melampaui serta melintasi batas-batas budaya
yang mapan. Hasrat tersebut terwujud dalam praktik penerjemahan budaya.

Penerjemahan budaya merupakan karakter performatif komunikasi antarbudaya. Bhabha


menjelaskan penerjemahan budaya nantinya akan membentuk ruang yang tak bisa diterjemahkan
atau dipahami. Bhabha memberi contoh puisi dari Derek Walcot yang menunjukkan adanya kata-kata

www.brikolase.com/2016/08/21/budaya-ruang-ketiga-dari-homi-k-bhabha/ 6/14
4/3/2019 Budaya Ruang Ketiga dari Homi K. Bhabha - Brikolase

yang tak bisa dipahami atau diterjemahkan, beberapa di antaranya yakni z’ananas, z’aman, grigri,
cerise. Kata-kata tersebut merupakan penanda yang muncul dari orang Karibia (St. Lucia) ketika
menandai sesuatu dalam percampuran bahasa Karibia, Inggris, dan Perancis.

Sesuatu yang bisa didapat dari kasus tersebut adalah bahwa ada agensi subjek yang aktif yang
selama ini tidak dianggap atau kurang dipertimbangkan. Praktik penerjemahan budaya kerap
dianggap sebagai sesuatu yang salah, aneh, dan anomali yang mesti dibenahi. Penerjemahan budaya
adalah konsekuensi dari komunikasi lintas budaya yang tak terhindarkan, maka dari itu setiap
penegasan klaim kebenaran dari wacana budaya tertentu akan selalu mendiskriminasi pihak lain.
Narasi sejarah perlu dirumuskan kembali dengan melihat realitas atau fenomena budaya
kontemporer dengan konteks pertemuan beragam budaya serta dengan mempertimbangkan praktik
penerjemahan budaya.

Praktik penerjemahan budaya mengasumsikan bahwa nama/tanda yang muncul dari praktik
penandaan bukanlah merupakan suatu klaim kebenaran, tetapi suatu praktik penerjemahan. Dari sini
kemudian muncul pertanyaan poskolonial berikutnya yakni tentang otoritas. Otoritas membahas
perihal siapa yang berhak menamai, merepresentasikan, dan menandai realitas. Dalam pandangan
Edward W. Said, otoritas ini dimiliki oleh pihak Barat atau kelompok penjajah melalui intelektual,
karya, serta aktivitas di pusat studi dan dokumentasi di Eropa. Otoritas dalam hal ini bersifat
diskriminatif dengan meng-eksklusi-kan suara dari kaum terjajah. Inilah yang membenarkan praktik
eksploitasi, penindasan, dan perbudakan atas nama wacana pemberadaban. Otoritas dalam
pandangan poskolonial menganggap praktik penandaan sebagai praktik penerjemahan budaya, jadi
setiap penandaan yang muncul bukan merupakan sesuatu yang asli/natural yang memiliki hak atas
kebenaran, tetapi merupakan hasil komunikasi antarbudaya yang selalu memiliki relasi/kaitan
dengan yang lain. Otoritas dalam hal ini selalu berada dalam tegangan proses pemaknaan, ia menjadi
sesuatu yang terus-menerus diterjemahkan.

Waktu Patah pada Perspektif Poskolonial

Dari tadi kita membahas bagaimana Bhabha merumuskan ruang dalam perspektif poskolonial, kali
ini kita akan menuju pada ide Bhabha tentang waktu. Secara eksplisit, Bhabha menyebut waktu
dalam ruang perlintasan, antara atau ambang sebagai waktu-jeda (time-lag). Waktu-jeda merupakan
temporalitas yang patah (discontinue), silang sengkarut, tumpang-tindih, bolak-balik, dan maju-
mundur. Dalam fenomena pertemuan antarbudaya, waktu-jeda telah menggoyahkan mitos sejarah
tentang kemajuan atau evolusi. Kemajuan sejarah mengasumsikan bahwa sejarah bergerak menuju
pada tujuan tertentu (teleologis). Jeda dalam temporalitas yang patah membuat wacana kembali
dipertanyakan, waktu di mana subjek menemukan agensinya dalam memproduksi/menterjemahkan
tanda, waktu ketika makna ditangkap tidak dalam konteks historisnya, tetapi dari relasinya dengan
tanda/makna lain.

Contoh yang cukup menarik adalah cerita tentang roti chapati. Para pejuang India, yang berniat untuk
memberontak terhadap pemerintah Inggris, mencoba mengkonsolidasikan para pejuang lain dengan
distribusi roti. Chapati dibawa oleh seorang pembawa pesan dan disebarkan secara estafet. Distribusi

www.brikolase.com/2016/08/21/budaya-ruang-ketiga-dari-homi-k-bhabha/ 7/14
4/3/2019 Budaya Ruang Ketiga dari Homi K. Bhabha - Brikolase

roti dengan cepat menyebar, dengan mengelabui pemerintah Inggris, bahwa secara implisit krisis
atau pemberontakan akan segera terjadi dan semua orang India diharapkan siap-siap terhadap krisis
ini. Secara historis, chapati merupakan makanan orang India, ia juga disajikan sebagai makanan di
kantor pemerintah. Chapati juga digunakan sebagai ritual untuk mengusir wabah atau
menyembuhkan penyakit.

Penyebaran chapati bagi orang India membuat silang sengkarut makna, mereka memaknainya
dengan berbagai versi, namun juga ada yang memaknainya sebagi fierry cross atau tanda peringatan
untuk pemberontakan. Di sini kita melihat bahwa makna chapati didapatkan dari sirkulasinya dengan
makna/simbolik lain dalam waktu-jeda. Maknanya datang secara tiba-tiba dan menyeruak. Makna
simbolik chapati dikaitkan dengan prajurit pribumi bentukan Inggris dan penjuang India, penjajahan
dan eksploitasi Inggris, relasi pribumi dan penjajah. Chapati berhasil menyatukan mental orang India
yang vis a vis dengan penjajah Inggris. Ada agensi politik yang secara samar terkandung dalam simbol
chapati untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Inggris.

Rekapitulasi rumusan perspektif poskolonial antara lain adalah posisi ambivalen, ruang ambang,
waktu-jeda, penerjemahan budaya, dan perbedaan budaya. Perspektif ini bisa digunakan untuk
menjelaskan fenomena budaya pada era kontemporer. Pandangan ini juga bernada anjuran untuk
melihat dan merumuskan kembali narasi sejarah, identitas bangsa, serta nasionalisme berdasarkan
sudut pandang yang lebih demokratis. Pada akhir pembahasan, Bhabha menganjurkan sudut
pandang dalam melihat keberagaman manusia sebagai komunitas-komunitas. Konsep masyarakat
ataupun bangsa bersifat men-totalisasi, membungkam, dan meng-eksklusi-kan suara-suara
minoritas. Dengan sudut pandang komunitas ini, kita bisa melihat bagaimana kelompok orang
memaknai kebersamaan pengalamannya, menyatukan mentalnya secara simbolik, serta
mengartikulasikan budayanya. Dengan begitu, rumusan narasi sejarah, budaya maupun bangsa bisa
lebih mengakomodasi kompleksitas dan keberagaman ekspresi manusia pada era kontemporer.

Terakhir, saya memakai frasa ‘budaya ruang ketiga’ karena saya anggap ia paling mampu mewakili
kompleksitas tema pembahasan dalam buku ini. Ruang ketiga juga merupakan istilah dari Bhabha,
yang juga disebut setara dengan istilah lain seperti ruang ambang (liminal), ruang antara (in–
between). Ruang ketiga adalah ruang yang mucul dari batas wacana mapan, biasanya, meskipun
tidak selalu, batas ini bersifat oposisi biner, ia menggoyahkan batas dominan tersebut. Budaya yang
muncul dalam ruang ketiga antara lain adalah budaya hibrid dan mimikri. Sebagai konsekuensi dari
komunikasi antarbudaya, ruang ketiga merupakan pertimbangan dalam merumuskan kebudayaan
pada era kontemporer, pertimbangan dalam merumuskan narasi sejarah, identitas bangsa maupun
nasionalisme, yang menjadi pokok-pokok bahasan dalam buku ini.

Saya juga berharap bahwa rumusan konsep dalam buku ini tidak begitu saja digunakan sebagai teori,
yang bersifat ideologis, lalu diterapkan secara verifikatif kepada berbagai data historis dan
kontekstual. Konsep-konsep yang ditawarkan dalam buku ini bersifat anjuran, atau bisa dikatakan
hipotesis, yang memungkinkan untuk dikritisi secara reflektif dengan mempertimbangkan
perkembangan konteks serta sejarah fenomena budaya di masyarakat, di belahan dunia yang
berbeda. Sebuah buku hendaknya diperlakukan sebagai pintu masuk menuju perdebatan diskursif

www.brikolase.com/2016/08/21/budaya-ruang-ketiga-dari-homi-k-bhabha/ 8/14
4/3/2019 Budaya Ruang Ketiga dari Homi K. Bhabha - Brikolase

berikutnya. Persoalan dan kondisi di Indonesia, dari kolonialisme sampai pada era demokrasi,
memungkinkan untuk dirumuskan dengan titik pijak pada konsep-konsep yang ditawarkan dalam
buku ini. Maka dari itu, kita mulai mengembangkan pengetahuan dengan mengambil jarak dari buku.

Bacaan terkait

(http://www.brikolase.com/2019/03/26/laporan-
(http://www.brikolase.com/2018/09/15/penelitian-
dan-pertanyaan-serta-pernyataan- belanda-dekolonisasi-atau-
diskusi-meja-bundar-niod-31- rekolonisasi-sejarah/)
januari-2019/) Penelitian Belanda: Dekolonisasi atau
Rekolonisasi Sejarah?
Laporan dan Pertanyaan serta Pernyataan (http://www.brikolase.com/2018/09/15/penelitian-
Diskusi Meja Bundar NIOD 31 Januari 2019 belanda-dekolonisasi-atau-rekolonisasi-
(http://www.brikolase.com/2019/03/26/laporan-
sejarah/)
dan-pertanyaan-serta-pernyataan-diskusi-
meja-bundar-niod-31-januari-2019/)

Yongky Gigih Prasisko


(http://www.brikolase.com/author/yongky-g-
prasiskogmail-com/)
Pemred Media Brikolase.

POSTED UNDER DIKTAT KEBUDAYAAN (HTTP://WWW.BRIKOLASE.COM/CATEGORY/DIKTAT-KEBUDAYAAN/)

TAGGED BHABHA (HTTP://WWW.BRIKOLASE.COM/TAG/BHABHA/) POSTKOLONIAL

(HTTP://WWW.BRIKOLASE.COM/TAG/POSTKOLONIAL/)

 Dunia Milik Kita oleh Paduan Suara Dialita Matrilineal pada Sistem Budaya Patriarki
(http://www.brikolase.com/2016/08/16/dunia- (http://www.brikolase.com/2016/08/28/matrilinea

www.brikolase.com/2016/08/21/budaya-ruang-ketiga-dari-homi-k-bhabha/ 9/14
4/3/2019 Budaya Ruang Ketiga dari Homi K. Bhabha - Brikolase

milik-kita-oleh-paduan-suara-dialita/) pada-sistem-budaya-patriarki/) 

PEMBACA BRIKOLASE

Kepada pembaca yang ingin berlangganan konten terbaru dari Brikolase, silahkan ketik alamat email
anda di kolom yang tersedia di bawah ini. Kami akan selalu memperbarui tulisan tentang
perkembangan seni dan budaya kontemporer, khususnya di Indonesia.

Join 17 other subscribers

Alamat email anda

Mulai berlangganan

PRODUK

(http://www.brikolase.com/wp-content/uploads/2018/08/Buku-SN.jpg)

BUAT WEBSITE KLIK LOGO DI BAWAH INI

(https://idwebhost.com/a /15057)

HALAMAN FB

www.brikolase.com/2016/08/21/budaya-ruang-ketiga-dari-homi-k-bhabha/ 10/14
4/3/2019 Budaya Ruang Ketiga dari Homi K. Bhabha - Brikolase

www.brikolase.com/2016/08/21/budaya-ruang-ketiga-dari-homi-k-bhabha/ 11/14
4/3/2019 Budaya Ruang Ketiga dari Homi K. Bhabha - Brikolase

Brikolase
875 likes

Like Page Contact Us

CUITAN

www.brikolase.com/2016/08/21/budaya-ruang-ketiga-dari-homi-k-bhabha/ 12/14
4/3/2019 Budaya Ruang Ketiga dari Homi K. Bhabha - Brikolase

Tweets by @brikolase
Brikolase
@brikolase
Asiiik #4

Mengapa Kita Harus Menyudahi Pemberitaan Prostitusi


Vanessa? feat Nirmala, Mbak Fili dan Sasa Tato

Jangan lupa like, comment dan subscribe ya. Untuk


mendukung program ini.youtube.com/watch?v=pl8FAN…

YouTube @YouTube

Feb 9, 2019

B ik l

SOROTAN ISU

(http://www.brikolase.com/wp-
content/uploads/2018/08/Decolonization-Violence-
and-War.jpg)PENELITIAN BELANDA TENTANG
KEKERASAN DAN PERANG DI INDONESIA TAHUN
1945-1950

Proyek penelitian ini bertajuk Dekolonisasi,


Kekerasan dan Perang di Indonesia 1945-1950. Tiga
lembaga sebagai pelaksana antara lain Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV,
Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara), Nederlands Instituut voor Militaire
Historie (NIMH, Institut Belanda untuk Sejarah Militer), dan Instituut voor Oorlogs-, Holocaust- en
Genocidestudies (NIOD, Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Perang, Holocaust, dan Genosida).
Dengan dukungan dana dari pemerintah Belanda, penelitian ini berlangsung selama 4 tahun sejak
September 2017 sampai 2021. Secara keseluruhan, proyek penelitian ini terdiri dari penyelidikan:
Saksi & Rekan Sezaman; Dampak Akibat Perang Dekolonisasi; Studi Regional; Peperangan
Asimetris; Penelitian Komparatif mengenai Perang-Perang Dekolonisasi; Konteks Politik
Internasional; Konteks Politik Administratif Belanda & Hindia-Belanda; Kekerasan, Bersiap dan

www.brikolase.com/2016/08/21/budaya-ruang-ketiga-dari-homi-k-bhabha/ 13/14
4/3/2019 Budaya Ruang Ketiga dari Homi K. Bhabha - Brikolase

Berdaulat. Masa Peralihan 1945-1946; terakhir Sintesis Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di
Indonesia 1945-1950. Peneliti Indonesia, antara lain dari UGM, turut digaet dalam sub-proyek Studi
Regional dan Kekerasan, Bersiap, Berdaulat.

Kumpulan bacaan lihat di sini (http://www.brikolase.com/category/penelitian-1945-1950/)

Brikolase

Brikolase adalah pusat studi yang didirikan untuk merespon berbagai macam isu kontemporer dan
global, dengan mengkaji ekspresi seni dan budaya dalam konteks masyarakat Indonesia.

Sekretariat 

Pogung Dalangan, Gang Semar, nomor 300 B, RT 10 RW 50, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta
Perum Jember Indah 2b/21, Sumbersari, Jember
 

Desain web YGP


Proudly powered by WordPress (http://wordpress.org). | Theme: Awaken by ThemezHut
(http://themezhut.com/themes/awaken).

www.brikolase.com/2016/08/21/budaya-ruang-ketiga-dari-homi-k-bhabha/ 14/14

Anda mungkin juga menyukai