Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Air merupakan salah satu sumber daya alam yang penting manfaatnya bagi semua
makhluk hidup, terlebih lagi manusia. Sebagai makhluk yang diberi kelebihan berupa akal,
manusia mampu untuk mengelola sumber daya air sehingga dapat memaksimalkan fungsi
air bagi kehidupan manusia. Selain berperan penting bagi kehidupan, penataan lingkungan
yang buruk dapat menyebabkan hilangnya fungsi air dan mendatangkan musibah.
Permasalahan air yang sering terjadi sebagai akibat dari buruknya lingkungan adalah banjir.
Banjir sering kali terjadi didaerah yang tidak dapat menyerap atau mengalirkan air hujan,
sehingga air hujan yang turun akan menjadi aliran permukaan. Salah satu hal yang menjadi
penyebab banjir adalah alih fungsi lahan. Kondisi tanah yang masih alami, penuh dengan
rerumputan dan pohon akan mempermudah air hujan untuk meresap ke dalam tanah dan
mengurangi aliran permukaan yang terjadi di saat hujan. Perubahan muka tanah dengan
berbagai macam perkerasan diatasnya akan menyulitkan air hujan untuk meresap dan air
hujan yang turun seluruhnya akan menjadi aliran permukaan. Alih fungsi lahan identik
dengan perubahan muka tanah menjadi kawasan perumahan, tempat usaha, atau fasilitas
umum lainnya.
Kota Samarinda telah berkembang dari kota sedang menjadi kota besar
sebagaimana berkembangnya kotakota besar di Indonesia, yang membutuhkan peningkatan
penyediaan sarana dan prasarana bagi kehidupan penduduk (sosial-ekonomi), dengan
perwujudan semakin masifnya kawasan terbangun yang berada pada kawasan-kawasan
tangkapan air (catchment area). Dilema antara kepentingan pengembangan wilayah
(infrastruktur) dengan upaya pelestarian lingkungan di Kota Samarinda sebagaimana telah
digambarkan, mewakili kompleksitas konflik antara pembangunan dengan lingkungan yang
menuntut penyelesaian secara cermat. Pengembangan infrastruktur kota yang mengancam
kelestarian sumber daya lahan dalam meresapkan air hujan di Kota Samarinda mutlak harus
berdampingan dengan upaya konservasi, karena pembangunan berkelanjutan yang selaras
dengan keberlanjutan ekologi merupakan kunci keberhasilan dari pengembangan wilayah
(Sonny, 2002). Dalam teoritis Perubahan Penggunaan Lahan atau Perubahan tata guna
lahan adalah berubahnya penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang
lain diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke
waktu berikutnya atau berubahnya fungsi lahan suatu daerah pada kurun waktu yang
berbeda. Perubahan fungsi tutupan lahan dari kawasan konservasi (lahan hijau) menjadi
kawasan terbangun (permukiman) akan memperberat tekanan terhadap kondisi lingkungan
antara lain pengaruhi besarnya laju erosi dan sedimentasi di wilayah hulu, menimbulkan
banjir dan genangan diwilayah hilir, serta tanah longsor dan kekeringan.
Di Kota Samarinda, telah banyak di bangun perumahan dengan merubah bentuk
muka tanah, dari lahan pertanian atau kebun menjadi kawasan perumahan. Karena
tingginya kebutuhan tempat tinggal, daerah tersebut berubah menjadi kawasan perumahan.
Dengan adanya perumahan tersebut, secara langsung telah merubah bentuk muka tanah.
Perubahan muka tanah yang terjadi menimbulkan permasalahan bagi lingkungan,
khususnya dibidang air. Kondisi muka tanah yang berubah menjadi perumahan,
menyebabkan air hujan sulit untuk meresap dan menjadi aliran permukaan. Jika saluran
drainase kurang memadai, air hujan yang turun akan meluap dan dapat menimbulkan banjir
di perumahan. Berdasarkan masalah diatas, perlu adanya kajian banjir terhadap
pembangunan perumahan dan solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan banjir di
perumahan.
1.2 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pengaruh pembangunan perumahan terhadap daerah resapan air


2. Mengetahui peran Pemerintah dalam menjaga ketersediaan daerah resapan air
3. Mengetahui sikap masyarakat dalam menjaga ketersediaan daerah resapan air
BAB II
LANDASAN TEORI

1.1 Pengertian Daerah Resapan Air

Resapan berhubungan dengan sesuatu yang meresap. Menurut Scanlon, Keese, L.


Flint, E. Flint, Gaye, Edmunds dan Simmers (2006:3337) “Recharge can be defined
generally as addition of water to an aquifer or, more strictly, addition of water from the
overlying unsaturated zone or surface water body”. Resapan adalah penambahan air ke
aquifer dari tubuh air permukaan. Menurut Asdak (2007 : 246) aquifer adalah kantong air
yang berada dalam tanah. Kantong ini merupakan suatu formasi geologi yang mempu
menyimpan dan mengalirkan air tanah. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan
tanah atau batuan di bawah permukaan tanah (UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air). Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan) masuk ke dalam
tanah (Asdak, 2007:228). Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut menunjukkan bahwa
infiltrasi merupakan bagian dari resapan air untuk menghasilkan air tanah. Proses aliran air
ke dalam tanah (infiltrasi) mengakibatkan penambahan air ke aquifer (resapan). Hasil
penambahan air pada aquifer adalah air tanah.
Kualitas resapan air pada suatu lahan dimungkinkan sama atau berbeda dengan
lahan lainnya. Hal itu akan menyebabkan adanya daerah resapan. Daerah resapan
merupakan semua wilayah yang memungkinkan untuk meresapkan air, baik yang memiliki
kualitas baik atau buruk. Daerah resapan berbeda dengan kawasan resapan. Menurut
Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Nasional
menyebutkan bahwa, “kawasan resapan air adalah kawasan bercurah hujan yang tinggi,
berstruktur tanah yang mudah meresapkan air dan mempunyai geomorfologi yang mampu
meresapkan air hujan secara besar-besaran”. Berdasarkan pengertian tersebut, kawasan
resapan cenderung mengacu pada pengertian wilayah yang memiliki potensi resapan air
yang besar.
Daerah resapan memiliki arti yang lebih luas dan berkaitan dengan kondisi resapan
potensial dan kondisi resapan aktual suatu lahan. Untuk lebih jelas mengenai keduanya,
dideskripsikan sebagai berikut:

a. Kondisi Resapan Potensial


Penentuan kondisi resapan potensial didasarkan pada pernyataan Muta’ali (2012:168)
bahwa dalam menajemen daya dukung kawasan resapan air terdapat sistem yang harus
diperhatikan, salah satunya adalah sistem supply. Sistem supply pada kawasan resapan air
terdiri dari karakter dan potensi resapan air meliputi curah hujan tinggi, struktur tanah
mudah meresapkan tanah (water holding capacity), geologi atau geohidrologi khususnya
struktur dan ketebalan aquifer serta geomorfologi khususnya aspek kemiringan lereng.
Sistem supply menunjukkan seberapa besar kemampuan kawasan resapan air dalam
menampung dan menyimpan curah hujan sehingga menjadi potensi sumber daya air dapat
dimanfaatkan untuk wilayah tersebut dan bawahannya. Berdasarkan pernyataan tersebut,
disimpulkan bahwa dalam kawasan resapan memiliki ketersediaan air dalam jumlah
tertentu. Ketersediaan ini menjadi dasar penentuan kondisi resapan potensial. Ketersediaan
air tanah karena resapan dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik, yaitu curah hujan, struktur
tanah, geologi dan geomorfologi. Beberapa faktor fisik tersebut dinilai untuk
mengambarkan seberapa besar potensi resapan yang mungkin terjadi pada suatu lahan.
Penilaian tersebut adalah teknik untuk menentukan kelas kondisi resapan potensial. Suatu
lahan yang memiliki faktor fisik yang berpengaruh baik terhadap resapan menunjukkan
kondisi resapan potensial yang besar. Keadaan sebaliknya akan menunjukkan kondisi
resapan potensial yang kecil. Lebih lanjut mengenai pengaruh baik atau buruk suatu
karakteristik fisik terhadap kondisi resapan potensial akan dijelaskan berikut ini :

1) Topografi
Kondisi topografi yang berpengaruh dalam resapan air adalah kemiringan lereng.
Derajat/prosentase kemiringan lereng yang berbeda akan menyebabkan nilai infiltrasi yang
berbeda. Pada lereng yang kemiringannya curam, air hujan yang jatuh di atasnya akan
semakin banyak yang menjadi runoff dan sedikit yang meresap ke dalam tanah. Hal ini
karena tarikan gaya gravitasi terhadap air pada permukaan lahan yang memiliki kemiringan
lereng curam lebih besar daripada tarikan gaya gravitasi didalam tanah dan gaya kapiler
tanah.

2) Tanah
Tanah memiliki ciri morfologi dan karakteristik yang beraneka ragam
yang berpengaruh terhadap resapan air. Penilaian daerah resapan air dapat menggunakan
salah satu parameter yang berhubungan dengan karakteristik tanah yaitu jenis tanah atau
dapat menggunakan nilai permeabilitas tanah. Menurut Darmawijaya (1990:189)
permeabilitas tanah atau derajat penglulusan air adalah kualitas tanah yang diukur dengan
derajat peresapan air
melalui satuan massa tanah dalam satuan waktu pada temperatur dan keadaaan air tertentu.
Berdasarkan pernyataan tersebut, keadaan temperatur dan air yangberbeda pada jenis tanah
yang sama memungkinkan nilai permeabilitas yangberbeda. Penelitian ini menggunakan
permeabilitas tanah untuk mengetahuikelas infiltrasi lahan. Permeabilitas tergantung pada
struktur dan tekstur daritiap jenis tanah (Wibowo, 2006: 4).

3) Curah hujan
Kondisi curah hujan suatu lahan akan berpengaruh terhadap kemampuan lahan dalam
meresapkan air. Lahan dengan berbagai besaran curah hujan yang berbeda-beda dalam
suatu periode tertentu akan mempengaruhi volume air yang dapat diresapkan tanah pada
suatu lahan. Dalam Permen Kehutanan RI No. P.32/ MENHUT-II/2009 disebutkan bahwa
secara potensial, infiltrasi akan lebih besar untuk hujan dengan periode waktu terjadinya
lebih panjang. Sehubungan dengan kondisi yang demikian maka dalam kaitannya dengan
infiltrasi ini, faktor hujan dikembangkan sebagai faktor ”hujan infiltrasi” atau disingkat
”RD” yaitu jumlah hujan tahunan X jumlah hari hujan/100. Berdasarkan pada pernyataan
dan formula hujan infiltrasi tersebut dapat disimpulkan bahwa hujan infiltrasi menunjukkan
volume hujan dalam periode tertentu. Periode hujan yang lebih panjang adalah hujan yang
terjadi dalam jangka waktu yang lebih lama atau memiliki hari hujan yang lebih banyak.
Kondisi itu juga menunjukkan bahwa periode hujan
yang lebih panjang sama dengan intensitas hujan yang rendah. Hal tersebut dikarenakan
intensitas hujan yang rendah dipengaruhi oleh hari hujan dalam jumlah banyak
dibandingkan tebal hujan yang tidak terlalu besar

2. Penggunaan Lahan
Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya merangkum semua tanda
pengenal biosfer, atmosfer, tanah, geologi, timbulan (relief), hidrologi, populasi tumbuhan,
dan hewan serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini, yang bersifat mantap atau
mendaur (Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 17 Tahun 2009 tentang
Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah).
Menurut Arsyad (2010: 310) yang termasuk didalam lahan juga hasil kegiatan manusia di
masa lalu dan sekarang seperti hasil reklamasi laut, pembersihan vegetasi dan juga hasil
yang merugikan seperti tanah tersalinasi. Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang
mencakup sifat iklim, relief, tanah, air, vegetasi serta hasil campur tangan manusia, yang
mana sifat itu melekat pada suatu lingkungan fisik yang membedakannya dengan
lingkungan fisik yang
lain.
Penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi
(campurtangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik
materiil maupun spirituil. (Arsyad, 2010: 311). Penggunaan lahan dapat dikelompokan ke
dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan
pertanian. Arsyad (2010: 311) menyebutkan bahwa penggunaan lahan pertanian dibedakan
berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau atas
jenis tumbuhan atau tanaman yang terdapat diatas lahan tersebut. Berdasarkan hal ini
dikenal macam penggunaan lahan seperti tegalan, sawah, kebun kopi, kebun karet, padang
rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang dan sebagainya. Dit. Land Use
(1967) dalam Arsyad (2010: 311) menyebutkan bahwa penggunaan lahan bukan pertanian
dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota atau desa (permukiman), industri, rekreasi,
pertambangan, dan sebagainya.
Penggunaan lahan adalah suatu perlakuan manusia terhadap lahan baik dalam
bentuk pelestarian ataupun eksploitasi untuk mengambil manfaat dari suatu lahan.
Perlakuan tersebut berhubungan dengan daerah resapan, karena setiap perlakuan terhadap
lahan akan memiliki dampak secara langsung ataupun tidak langsung terhadap kemampuan
lahan dalam meresapkan air.
3. Distribusi Keruangan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia distribusi dapat diartika “persebaran benda di
suatu wilayah geografi tertentu”. Definisi tersebut menunjukkan bahwa kata distribusi
terkait dengan kajian geografi, terutama berhubungan dengan sebaran suatu benda atau
fenomena. Menurut Yunus (2010:49- 50) pola keruangan (spatial pattern) dapat diartikan
sebagai kekhasan sebaran keruangan (special spatial distribution) gejala geosfera
dipermukaan bumi. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa sebaran suatu fenomena
geosfer memiliki suatu pola keruangan tertentu. Untuk melakukan analisis pola keruangan,
harus mengetahui konsep yang digunakan yaitu pola (pattern) dan ruang (space). Pola
dalam geografi dapat diartikan sebagai abstraksi suatu fenomena dalam bentuk titik, garis
maupun bidang. Ruang merupakan suatu tempat yang menjadi wadah dari suatu fenomena.
Berdasarkan pengertian itu, diketahui bahwa dalam melakukan analisis suatu fenomena
terkait dengan polanya, maka fenomena tersebut harus dibatasi oleh suatu ruang. Hal ini
dilandasi karena keberagaman ruang di permukaan bumi, sehingga suatu fenomena tertentu
dimungkinkan memiliki pola yang berbeda pada ruang yang berbeda. Menurut Yunus
(2010:50) untuk mengetahui distribusi keruangan suatu fenomena dibutuhkan beberapa
tahapan. Tahapan tersebut yaitu
(1) mengabstarksikan kenampakan yang akan diteliti menjadi bentuk elementer sepertititik,
garis atau bidang;
(2) mengklasifikasikan kekhasan sebaran dari elemen pembentuk ruang;
(3) menjawab perntanyaan geografis 5W+1H, yaitu what, where, when, why, who dan how.
Dengan tahapan tersebut, suatu fenomena geografis akan dapat dengan mudah untuk
dianalisis distribusi keruangannya. Pada akhirnya suatu
fenomena tersebut akan dapat dipahami lebih lanjut untuk dicarikan solusinya.
4. Daerah Aliran Sungai (DAS)
DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai
dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air
yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat
merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan (Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan RI No.P.32/Menhut-
II/2009: 8, Tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan Dan Lahan
Daerah Aliran Sungai). Nugraha, dkk (2006: 2) menyatakan bahwa Daerah Aliran Sungai
(DAS) adalah suatu kawasan ekosistem yang dibatasi oleh topografi pemisah air
(punggung-punggung bukit) dan berfungsi sebagai penampung, penyimpan dan penyalur
air dalam sistem sungai dan keluar melalui satu outlet tunggal. Dari definisi ini dapat
diketahui bahwa suatu DAS adalah suatu sistem sungai yang menuju pada satu outlet,
didalamnya terjadi interaksi antar komponen alam, yang mana antara suatu sistem tersebut
dipisahkan dari wilayah DAS dengan batas alam berupa igir, punggung bukit dan gunung.
DAS merupakan suatu ekosistem dimana didalamnya terjadi suatu proses interaksi antara
faktor-faktor biotik, nonbiotik dan manusia (Suripin, 2001: 183). Di dalam DAS terdapat
tumbuhan, hewan, tanah, air dsb, dimana semua komponen itu saling berpengaruh.
Ekosistem terdiri atas komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk
satu kesatuan yang teratur. Dengan demikian tidak ada satu komponen pun yang dapat
berdiri sendiri, melainkan semuanya mempunyai keterkaitan dengan komponen yang lain
secara langsung atau tidak langsung, besar atau kecil.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengaruh Pembangunan Perumahan Terhadap Daerah Resapan Air

Pada tahun 2000, tercatat sebagian wilayah Kota Samarinda masih berupa lahan
kosong yang belum terbangun (80 %) yang masih berupa semak, sawah, tegalan, kebun,
vegetasi hijau dan rawa. Sementara lahan terbangun yang ada di Kota Samarinda pada
tahun 2000 masih terpusat pada wilayah perkotaan Samarinda berupa jenis penggunaan
lahan permukiman, perdagangan, pemerintahan, pendidikan dan industri. Selain berada
pada kawasan perkotaan, guna lahan permukiman dan perdagangan juga berada di kawasan
pinggiran Kota Samarinda yang memiliki pola linear disepanjang jaringan jalan Kota
Samarinda. Pada tahun 2016, perubahan guna lahan di wilayah Kota Samarinda terlihat
cukup signifikan, terutama pada aktifitas guna lahan permukiman berupa pembukaan
kawasan-kawasan perumahan baru yang menyebar di setiap wilayah kecamatan di Kota
Samarinda, disamping aktifitas guna lahan permukiman, aktifitas guna lahan perdagangan
dan jasa, serta guna lahan industri juga mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan
yang berada di beberapa kawasan strategis perkotaan dan pinggiran Kota Samarinda.
Kondisi ini apabila tidak dikelola dengan baik akan berdampak buruk bagi Kota Samarinda,
karena akan menyebabkan menurunnya kualitas lahan dalam menyerap air kedalam tanah.
No Jenis Penggunaan LUAS (Ha)
Lahan 2000 2006 2010 2011 2014 2016
I. Lahan Pertanian 53.651 37.985 34.782 33.435 31.470 30.398
1 Lahan Sawah 33.815 8.753 7.562 6.729 5.520 7.630

2 Lahan Bukan 19.836 29.232 27.220 26.706 25.950 22.768


Sawah
II Bukan Pertanian 18.149 33.815 37.018 38.365 40.330 41.402

3 Rumah, Bangunan 6.797 23.050 24.967 25.944 27.953 29.126


dan Halaman
4 Rawa-Rawa 1.677 357 362 297 250 147

5 Lainnya 9.675 7.408 11.689 12.124 12.127 12.129

JUMLAH 71.800 71.800 71.800 71.800 71.800 71.800

Tabel 3.1 Komposisi Perubahan Guna Lahan Kota Samarinda Tahun 2000 dan Tahun
2016
(Badan Pertanahan Kota Samarinda, 2017)

Berdasarkan Tabel 3.1 komposisi penggunaan lahan di kota Samarinda pada tahun 2000
sampai dengan tahun 2016, menunjukan bahwa perubahan penggunaan lahan pertanian
terus mengalami penurunan pada tahun 2000 seluas 53.651 ha, menjadi 30.398 ha pada
tahun 2016. Dilihat dari prosentasi dengan luas wilayah kota Samarinda yang sebelum
mencapai 74,72 % turun menjadi 42,33 % dari total luas wilayah kota Samarinda.
Penggunanan lahan bukan pertanian meningkat pada tahun 2000 seluas 18.149 ha atau
25,27 % dari total luas wilayah Kota Samarinda menjadi 41.402 ha pada tahun 2016 atau
57,66 % dari luas kota Samarinda, perubahan ini terutama lahan terbangun berupa rumah
dan bangunan dari 6.797 ha pada tahun 2000 menjadi 29.126 ha pada tahun 2016. Dalam
arti bahwa perubahan tata guna lahan dari lahan pertanian kepenggunaan lahan non
pertanian di kota Samarinda selama kurun waktu 15 tahun intensitasnya sangat tinggi.
Berdasarkan gambar 1 dan gambar 2, terlihat komposisi perubahan guna lahan
khususnya pada jenis penggunaan lahan permukiman memiliki peningkatan yang cukup
signifikan. Kondisi tersebut terlihat dari sebaran guna lahan permukiman pada tahun 2000
yang sebelumnya hanya memusat pada sekitar area sungai Mahakam, dan pada tahun 2016
tersebar pada beberapa wilayah utara dan selatan Kota Samarinda yang tadinya merupakan
area dengan jenis penggunaan lahan sawah dan lahan bukan sawah (area terbuka) yang
berfungsi sebagai resapan air (catchment area) dan telah berubah fungsi menjadi lahan
terbangun, sehingga meningkatkan intensitas air limpasan (run off) lebih besar dan
terjadinya air genangan atau banjir

3.2 Faktor Penyebab Perubahan Penggunaan Lahan di Kota Samarinda


Pertumbuhan Kota Samarinda yang semakin pesat, memberikan dampak tersendiri terhadap
karakteristik perubahan penggunaan lahan di Kota Samarinda. Keberadaan Kota Samarinda
sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Timur, menjadi daya tarik sendiri bagi para
pendatang yang berada di luar wilayah Kota Samarinda dan Propinsi Kalimantan Timur
untuk mencari pekerjaan. Urbanisasi yang terjadi di Kota Samarinda selalu mengalami
peningkatan setiap tahunnya.Alasan mencari pekerjaan dan merantau merupakan faktor
utama yang menjadi penyebab tingginya angka urbanisasi yang ada di Kota Samarinda.
Peningkatan urbanisasi yang terdapat di Kota Samarinda, secara tidak langsung akan
berdampak pada kebutuhan akan lahan permukiman. Meningkatnya kebutuhan lahan akan
permukiman berdampak pada berkembangya pembukaan lahan-lahan baru yang ada di
Kota Samarinda yang digunakan untuk kegiatan areal permukiman dan perumahan
Penggunaan lahan permukiman yang meningkat tersebut juga memiliki dampak yang
signifikan terhadap munculnya pusat-pusat aktivitas perekonomian baru seperti kegiatan
perdagangan dan jasa.Disamping adanya urbanisasi, pembangunan Kota Samarinda yang
belum merata membuat keadaan pembangunan di pusat-pusat perkotaan Samarinda
menjadi padat. Proses pembangunan tersebut berdampak terhadap menurunnya lahan-lahan
perkotaan yang semula berupa lahan pertanian mengalami perubahan fungsi menjadi lahan
permukiman dan perdagangan. Kondisi yang ada saat ini di Kota Samarinda adalah mulai
terbukanya lahan-lahan baru di pinggiran Kota Samarinda yang sebelumnya berupa lahan
kosong sekarang berubah fungsi menjadi lahan permukiman dan perdagangan. Kota
Samarinda yang mulai megalami pertumbuhan yang pesat memiliki daya tarik tersendiri
bagi para pendatang yang berasal dari Kota Samarinda ataupun dari luar Provinsi
Kalimantan Timur untuk menjadikan Kota Samarinda sebagai tempat mencari lapangan
pekerjaan. Pertumbuhan penduduk yang meningkat dari tahun ke tahun berdampak pada
peningkatan akan kebutuhan permukiman, yang secara tidak langsung akan mengurangi
keberadaan lahan kosong yang memiliki fungsi kegiatan pertanian, perkebunan serta
kegiatan lainnya.

3.3 Peran Pemerintah Dalam Menjaga Ketersediaan Daerah Resapan Air


Pemerintah harus mempunyai kemampuan yang cukup besar untuk mengontrol
situasi daerah rawan bencana. Kemampuan itu meliputi perencanaan dan persiapan respons
bencana, bantuan koordinasi, kebijakan rekontruksi dan mengatasi masalah populasi.
Pemerintah dengan sebuah pengembangan program manajemen bencana dapat melakukan
koordinasi yang baik. Berdasarkan pada hukum kemanusiaan internasional, pemerintah
nasional merupakan pihak utama yang harus merespon bencana alam. Wilayah daerah dan
bencana merupakan sebuah upaya pengujian kumpulan kebijakan, praktik dan
profesionalitas manajemen tanggap darurat dari sebuah perspektif pemerintah lokal. Upaya
tersebut difokuskan pada pemerintah lokal sebagai level pertama tahap bencana. Respons
merupakan hal yang penting untuk meminimalisir korban-korban dan mengoptimalkan
kemampuan komunitas untuk merespons. Upaya tanggap darurat bencana secara
kewilayahan bergantung pada pemerintah local.
Dalam prinsip Good Governance dinyatakan bahwa tata kelola pemerintahan dapat
terbangun dengan kolaborasi unsur Pemerintah, swasta dan partisipasi publik. Studi ini
menganalisis bagaimana pengelolaan permasalahan banjir di Kota Samarinda dengan
pendekatan berbasis pemberdayaan masyarakat, melalui inovasi pembuatan sumur resapan
dan lubang biopori. Metode kajian menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan
analisa terhadap data sekunder dari hasil penelitian terdahulu. Hasil studi dapat disimpulkan
bahwa pengelolaan banjir dapat dilakukan dengan berbasis pemberdayaan masyarakat
melalui sumur resapan biopori, dimana mengacu pada tiga dimensi pemberdayaan, yakni
enabling (capacity building), dengan mengedukasi masyarakat, empowering dengan
mengoptimalisasi peran komunitas dan organisasi masyarakat sipil, serta protecting/
maintaining melalui kebijakan dan petunjuk teknis pembuatan sumur resapan biopori yang
dapat diintegrasikan sebagai persyaratan teknis dalam mendirikan suatu bangunan (IMB).
Kehadiran pemerintah dalam mengelola daerah resapan air salah satunya adalah dari peran
peningkatan daya dukung Daerah Aliran Sungai. Amanat itu didelegasikan kepada
pemerintah daerah berdasarkan Ketentuan Pasal 18 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air. Dalam riset (Aipassa dan Karno 2012), dijelaskan fenomena
terjadinya banjir yang merupakan suatu bencana yang sering terjadi pada beberapa Daerah
Aliran Sungai (DAS) di beberapa daerah khususnya di wilayah Kota Samarinda
dipengaruhi oleh adanya kontribusi aliran permukaan (surface run-off) yang relatif besar
dan laju tanah yang tererosi sebagai sumber pendangkalan alur sungai. Hal ini juga
diperburuk oleh pembukaan lahan bervegetasi rapat, kegiatan pertambangan batu bara yang
tidak berwawasan lingkungan, pembukaan lahan untuk pemukiman dan sebagainya.
Sedangkan program pengendalian banjir Kota Samarinda sejauh ini sudah dilakukan oleh
Pemerintah Kota Samarinda, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur maupun dari
Pemerintah Pusat. Sasaran yang hendak dicapai dari program tersebut adalah cukup jelas
untuk mengendalikan banjir Kota Samarinda dengan tujuan untuk mengamankan hasil-hasil
pembangunan dari bahaya banjir. Dalam perencanaan pengendalian banjir suatu kota, hal
yang perlu mendapat perhatian secara khusus adalah upaya pengendalian banjir, baik
sebagai akibat dari perubahan tata guna lahan, masalah drainase, pembebasan lahan untuk
menanggulangi banjir, meluasnya wilayah permukiman di kawasan daerah Aliran Sungai
(DAS) dan daerah terbuka hijau serta akibat menurunnya kapasitas pengaliran sungai-
sungai yang berfungsi sebagai saluran, agar terwujud suatu lingkungan yang bebas dari
banjir. pendekatan yang umumnya dilakukan oleh pemerintah Samarinda dalam
pengelolaan banjir adalah dengan pendekatan teknis, yakni dengan melakukan normalisasi
sungai dan drainase, pembuatan kanal dan daerah reservoar/ waduk, dan sejenisnya.

3.4 Sikap Masyarakat Dalam Menjaga Ketersediaan Daerah Resapan Air

Dalam penanganan bencana peran masyarakat menjadi elemen yang paling penting
karena kekuatan pemerintah semata sangatlah kecil jika dibandingkan dengan tantangan
yang begitu besar. Peran masyarakat dalam penanganan bencana dapat diwujudkan dalam
beberapa bentuk, seperti relawan lapangan dengan menyumbangkan tenaga dengan
keahlian.

Untuk perusahaan, lebih banyak lagi yang dapat dilakukan, misalnya sebuah
perusahaan di Bekasi dapat menghemat ribuan meter kubik air per bulan hanya dari
mendaur ulang air bekas wudu karyawannya.

Kedua, resapan air. Selain membuat sumur resapan, cara sederhana untuk
meresapkan air, yang dapat dilakukan bahkan di permukiman padat sekalipun adalah
dengan membuat lubang sedalam minimal 1 meter, kemudian dipenuhi batu atau kerikil
dan mengalirkan air hujan langsung ke dalamnya. Prinsipnya adalah meresapkan air hujan
ke dalam tanah secara langsung sehingga tidak melimpas ke gorong-gorong yang akhirnya
menggenangi jalan dan membuat banjir cileuncang.

Pada gilirannya, air hujan yang meresap ini akan mengisi sumur-sumur dangkal
penduduk. Resapan air tanah dalam memang membutuhkan teknologi khusus. Pada saat ini
tengah dikaji secara intensif upaya-upaya pengisian kembali akuifer dalam secara artifisial
oleh beberapa institusi.
Ketiga, tidak membuang sampah atau limbah ke perairan umum. Menjaga kualitas
air permukaan sangat penting bagi pasokan air baku yang mencukupi. Kualitas dan
kuantitas air permukaan yang mencukupi akan menjamin pasokan air baku untuk PDAM
sehingga tersedia air yang cukup untuk memenuhi kebutuhan, bahkan pada saat kemarau
sekalipun.

Keempat, menanam pohon keras. Rasanya tidak perlu lagi diulas di sini betapa
pentingnya fungsi tanaman keras bagi peresapan air, menjaga kelembaban udara, pemasok
oksigen, ataupun pemberi keteduhan. Dengan menanam pohon keras di lahan terbatas
sekalipun berarti Anda turut menabung air untuk hari ini dan hari esok.

UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air merupakan salah satu undang-undang yang
pertama memuat mengenai peran masyarakat, bahkan diatur dalam bab tersendiri. Apabila
merasa dirugikan oleh suatu pihak mengenai sumber daya air ini, masyarakat dapat melapor
kepada pihak berwenang.

Ketentuan mengenai sanksi di dalam undang-undang ini juga sangat keras, yaitu
sanksi pidana. Apabila, misalnya, suatu perusahaan membuat sumur bor dan kemudian
sumur-sumur rumah tangga di sekitarnya menjadi kering, hal tersebut adalah perbuatan
pidana karena terjadi kerusakan sumber daya air. Demikian pula apabila suatu perusahaan
membuang limbah ke perairan umum.

Sekali lagi, upaya bersama seluruh masyarakat dalam mengatasi ketersediaan air ini
sangat penting. Kesadaran semua pihak akan kondisi sumber daya air serta upaya-upaya
yang terfokus, baik secara bersama-sama maupun perseorangan, diharapkan dapat
menjamin tersedianya sumber air yang cukup untuk masyarakat ataupun untuk berbagai
keperluan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai