KELOMPOK 7
Anggota:
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAUAN ALAM
UNIVERSITASS NEGERI PADANG
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat disusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran
maupun materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa membantu kita dalam memahami mata kuliah Geologi Fiska bagi pembaca
dan teruma untuk kami sebagai penulis. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih
banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
27 September 2021
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DARFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Siklus hidrologi dan Air Tanah
2.2Resivitas Batuan
2.3 Geologi Regional
3.1 Geolistrik
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Air yang berada di wilayah jenuh di bawah permukaan tanah disebut air tanah. Secara
global, dari keseluruhan air tawar yang berada di planet bumi lebih dari 97 % terdiri atas air
tanah. Tampak bahwa peranaan air tanah di bumi sangat penting. Air tanah dapat dijumpai
dihampir semua tempat di bumi. Ia dapat ditemukan di bawah gurun pasir yang paling
kering sekalipun. Demikian juga di bawah tanah yang membeku karena tertutup lapisasn
salju atau es. Sumbangan terbesar air tanah berasal dari daerah arid dan semi-arid serta
daerah lain yang mempunyai formasi geologi paling sesuai untuk penampungan air tanah.
Air di bumi yang meliputi air laut, air danau, dan air sungai akan mengalami penguapan
yang disebabkan oleh pemanasan sinar matahari. Dalam hidrologi, penguapan dari badan air
secara langsung disebut evaporasi. Penguapan air yang terkandung dalam tumbuhan disebut
transpirasi. Jika penguapan dari permukaan air bersama-sama dengan penguapan dari
tumbuh-tumbuhan disebut evapotranspirasi. Penguapan air dari dedaunan dan batang pohon
yang basah disebut intersepsi. Hujan dalam istilah hidrologi disebut presipitasi yakni tetes
air dari awan yang jatuh kepermukaan tanah.
Hujan yang turun ke permukaan bumi jatuh langsung kepermukaan tanah,permukaan air
danau,sungai,laut,hutan,atau perkebunan. Air yang meresap ke tanah akan terus sampai
kedalaman tertentu dan mencapai permukaan air tanah (ground water) yang disebut
perkolasi. Jika aliran tanah muncul atau keluar akan menjadi mata air (spring). Mata air yang
keluar dengan cara rembesan disebut seepage.
1.2 Rumusan Masalah
A. Pengertian Hidrologi
Secara etimologi, berasal dari dua kata yaitu hidro = air, dan logos = ilmu. Dengan
demikian secara umum hidrologi dapat berarti ilmu yang mempelajari tentang air.
Menurut Marta dan Adidarma (1983), hidrologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
terjadinya pergerakan dan distribusi air dibumi, baik di atas maupun dibawah permukaan
bumi, tentang sifat fisik, kimia air serta reaksi terhadap lingkungan dan hubungannyadalam
kehidupan.
Hidrologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang kehadiran dan gerakan air di
alam. Studi hidrologi meliiputi berbagai bentuk air serta menyangkut perubahan –
perubahan antara lain dalam keadaan cair, padat gas, dalam atmosfer, diatas dan bawah
permukaan tanah, distribusinya, penyebarannya gerakannya dan lain sebagainya.
Secara umum keberadaan air tanah dibagi dalam 2 tipe yaitu pada vadoze zone dan
phreatic zone. Padavadoze zone dibagi menjadi 3 : soil water, intermediate vadoze zone
dan air kapiler. Pada phreatic zone atau saturated zone (zona jenuh air) terdapat air tanah
(groundwater).
Muka air tanah (watertable) merupakan pemisah antara zona air tanah atau phreatic
water dengan pipa kapiler. Muka air tanah (water table) secara teoritis merupakan
perkiraan elevasi air permukaan pada sumur yang merembes pada jarak yang pendek ke
zona jenuh. Jika air tanah mengalir horizontal, elevasi muka air sumur sangat berhubungan
dengan muka airtanah.
B. Siklus Hidrologi
Siklus hidrologi adalah sebuah proses pergerakan air dari bumi ke armosfer dan
kembali lagi ke bumi yang berlangsung secara kontinyu (Triadmodjo, 2008). Selain
berlangsung secara kontinyu, siklus hidrologi juga merupakan siklus yang bersifat konstan
pada sembarang daerah (Wisler dan Brater, 1959). Siklus hidrologi dimulai dengan
terjadinya penguapan air ke udara. Air yang menguap tersebut kemudian mengalami proses
kodensasi (penggumpalan) di udara yang kemudian membentuk gumpalan – gumpalan
yang dikenal dengan istilah awan (Triadmodjo, 2008).
Awan yang terbentuk kemudian jatuh kembali ke bumi dalam bentuk hujan atau salju
yang disebabkan oleh adanya perubahan iklim dan cuaca. Butiran – butiran air tersebut
sebagian ada yang langsung masuk ke permukaan tanah (infiltrasi), dan sebagian mengalir
sebagai aliran permukaan. Aliran permukaan yang mengalir kemudian masuk ke dalam
tampungan – tampungan seperti danau, waduk, dan cekungan tanah lain dan selanjutnya
terulang kembali rangkaian siklus hidrologi.
Gambar 2. Siklus Hidrologi
1) Presipitasi
Triadmodjo (2010) mendefinisikan presipitasi sebagai sebuah proses turunnya air dari
atmosfer ke permukaan bumi. Jumlah presipitasi yang turun ke bumi tidak tetap bentuk
dan jumlahnya. Bentuk preseiptasi yang jatuh ke bumi dapat berupa hujan (air), salju,
kabut, embun, dan hujan es. Bervariasinya bentuk dan jumlah presipitasi yang jatuh ke
bumi ini disebabkan oleh faktor – faktor klimatologi di atmosfer, seperti tekanan
atmosfer, angin, dan temperatur (Triadmodjo, 2008).
2) Infiltrasi
Infiltrasi adalah proses masuknya air ke dalam tanah melalui permukaan tanah (Sri
Harto, 1983). Proses infiltrasi dapat berlangsung secara vertikal dan horisontal
(Triadmodjo, 2008). Proses infiltrasi secara vertikal disebabkan oleh adanya gaya
gravitasi dan dikenal dengan sebutan perkolasi. Proses infiltrasi yang terjadi secara
horisontal disebabkan oleh adanya gaya kapiler yang dikenal sebagai aliran antara
(interflow).
3) Evaporasi
Sri Harto (1983) mendifinisikan evaporasi (penguapan) sebagai sebuah proses
pertukaran molekul air di permukaan menjadi molekul uap air di atmosfer.Triadmodjo
(2010) menjelaskan bahwa dalam hidrologi penguapan dibedakan menjadi evaprasi dan
transpirasi. Evaporasi adalah penguapan yang terjadi pada permukaan air, sedangkan
transpirasi adalah penguapan yang terjadi melalui peranan tanaman. Transpirasi dapat
terjadi mengingat jumlah air hujan yang turun tidak sepenuhnya dapat mengalir,
melainkan ada beberapa jumlah air hujan yang tertahan pada tanaman.
Menurut Sri Harto, proses evaporasi sendiri terbagi atas dua kejadian yang
berkesinambungan, yaitu interface evaporation dan vertical vapor transfer (Wieringa,
1978). Interface evaporation adalah transformasi air menjadi uap air di permukaan,
sedangkan vertical vapor trasfer adalah proses pemindahan lapisan udara yang kenyang
uap air dari proses interface evaporation.
4) Evapotranspirasi
Evapotranspirasi adalah evaporasi dari permukaan lahan yang ditumbuhi tanaman
(Triadmodjo, 2008). Pengertian evapotranspirasi secara sederhana adalah proses
evaporasi dan transpirasi yang terjadi secara bersamaan. Evapotranspirasi menjadi unsur
yang sangat penting dalam sebuah siklus hidrologi, karena evapotranspirasi bernilai sama
dengan kebutuhan air konsumtif yang didefinisikan sebagai penguapan total dari lahan
dan air yang diperlukan tanaman (Triadmodjo, 2008).
C. Air Tanah
Air tanah merupakan komponen dari suatu daur hidrologi (hydrologic cycle) yang
melibatkan banyak aspek bio-geo-fisik, bahkan aspek politik dan sosial budaya yang
sangat menentukan keterdapatan air tanah di suatu daerah. Siklus hidrologi
menggambarkan hubungan antara curah hujan, aliran permukaan, infiltrasi,
evapotranspirasi, dan air tanah. Sumber air tanah berasal dari air yang ada di permukaan
tanah (air hujan, air danau, dan sebagainya) kemudian meresap ke dalam tanah/akifer dan
mengalir menuju ke daerah pelepasan.
Menurut Direktorat Geologi Tata Lingkungan dan Kawasan Pertambangan (2004),
aliran air tanah di dalam akifer memerlukan waktu lama bisa puluhan sampai ribuan tahun
tergantung dari jarak dan jenis batuan yang dilaluinya. Pada dasarnya air tanah termasuk
sumber daya alam yang dapat diperbaharui akan tetapi jika dibandingkan dengan waktu
umur manusia, air tanah bisa digolongkan kepada sumber daya alam yang tidak
terbaharukan.
Air tanah adalah semua air yang terdapat pada lapisan pengandung air (akifer) di bawah
permukaan tanah, mengisi ruang pori batuan dan berada di bawah muka air tanah. Akifer
merupakan suatu formasi geologi yang jenuh air yang mempunyai kemampuan untuk
menyimpan dan meluluskan air dalam jumlah cukup dan ekonomis, serta bentuk dan
kedalamannya terbentuk ketika terbentuknya cekungan air tanah. Cekungan air tanah
adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian
hidrogeologis seperti proses penambahan (recharge), pengaliran, dan pelepasan
(discharge) air tanah berlangsung. Potensi air tanah di suatu cekungan sangat tergantung
pada porositas dan kemampuan batuan untuk melalukan dan meneruskan air. Air tanah
mengalir dengan kecepatan yang berbeda pada jenis tanah yang berbeda. Pada tanah
berpasir air tanah bergerak lebih cepat dibandingkan pada tanah liat.
Ditinjau dari kedudukan terhadap permukaan, air tanah dapat dibedakan menjadi :
Air tanah dangkal (phreatic), umumnya berasosiasi dengan akuifer tak tertekan, yakni
yang tersimpan dalam akuifer dekat permukaan hingga kedalaman tergantung
kesepakatan 15 – 40m. air tanah dangkal umumnyadimaanfaatkan oleh masyarakat
(miskin) dengan membuat sumur gali.
Gambar 5. Air Tanah Dangkal
Air Tanah dalam, umumnya dengan akuifer tertekan, yakni tersimpan dalam akuifer pda
kedalaman lebih dari 40m (apabila kesepakatan air dangkal hingga kedalaman 40m).
Mata air adalah air tanah yang keluar dengan sendirinya ke permukaan.
2.2 Resistivitas Batuan
Resistivitas Batuan Suatu sifat materi batuan yang menghambat aliran listrik yang
melaluinya menjadi dasar pengukuran nilai resistivitas batuan. Beberapa faktor seperti
resistivitas larutan yang mengisi pori-pori batuan, jenis mineral penyusun batuan, porositas
batuan dan derajat kejenuhan batuan mempengaruhi resistivitas batuan. Faktor banyak atau
sedikitnya kandungan air dalam tanah turut berpengaruh terhadap nilai resistivitas tanah.
Semakin banyak kandungan air dalam suatu medium maka nilai resistivitasnya juga akan
semakin kecil. Bahan yang memiliki resistivitas kurang dari 10 -8 Ωm diklasifikasikan
sebagai konduktor. Konduktor berisi banyak elektron bebas dengan mobilitas yang sangat
tinggi .Isolator memiliki resistivitas lebih 10-7 Ωm, dicirikan oleh ikatan ionik sehingga
elektron-elektron valensi tidak bebas bergerak. Serta diantara keduanya adalah bahan
semikonduktor, jumlah elektron bebasnya lebih sedikit. Batuan dan mineral dapat
dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan nilai resistivitas listriknya, yaitu:
Pada dasarnya meskipun air tanah bukan konduktor listrik yang baik, air tanah secara
umum berisi campuran terlarut yang dapat menambah kemampuannya untuk menghantar
listrik. Harga tahanan jenis batuan tergantung macam-macam materialnya, densitas, porositas,
ukuran dan bentuk pori-pori batuan, kandungan air, kualitas dan suhu.
Table 1. Variasi Resistivitas Beberapa Jenis Material (Telford dan Sheriff, 1990).
Batuan beku terbentuk sebagai akibat pembekuan magma pada permukaan bumi.
Berdasarkan letak kejadiannya, batuan beku dibagi menjadi 2 yaitu:
Terbentuk sebagai akibat magma atau lava yang mengalir ke permukaan bumi
kemudian mendingin dan membeku dengan cepat, dicirikan dengan komposisi kristal
yang sangat halus. Contoh: obsidian, batu apung, pitchstone, lava, perlit, felsit, dan
basal.
Batuan sedimen (endapan) terbentuk sebagai akibat pengendapan material yang berasal
dari pecahan, bongkah batuan yang hancur karena proses alam, kemudian terangkut
oleh air, angin, es, dan terakumulasi dalam satu tempat (cekungan), kemudian
termampatkan menjadi satu lapisan batuan baru. Batuan sedimen mempunyai ciri
berlapis sebagai akibat terjadinya perulangan pengendapan. Batuan sedimen dapat
dibagi menjadi batuan sedimen klastik, batuan sedimen organik, dan batuan sedimen
kimia.
Terbentuk sebagai akibat kompaksi (pemadatan) dari material batuan beku, batuan
sedimen lain, dan batuan malihan, dengan ukuran butir beragam. Karena pembentukan
tersebut diakibatkan oleh angin, air, atau es, maka disebut juga batuan sedimen
mekanik. Contoh: batu gamping, batu pasir, batu lempung, breksi, konglomerat, tilit,
batu lanau, arkosa (batu pasir felspar), arenaceous (serpih pasiran), argillaceous (serpih
lempungan), dan carbonaceous (serpih gampingan).
Batuan sedimen yang mengandung sisa organisme yang terawetkan (fosil). Contoh:
batu gamping gastropoda, batu gamping kerang, batu gamping amonit, batu gamping
koral (terumbu), batu gamping foram, batu gamping alga, batu bara, dan radiolarit
(mengandung fosil radiolaria).
Batuan sedimen kimiawi yaitu yang tersangkut dalam bentuk larutan kemudian
diendapkan secara kimia di tempat lain. Contoh: batu gamping kristalin, travertin, tufa
(stalaktit dan stalagmit), dolomit, gypsum, anhidrit dan halit (batu garam).
Batuan metamorf atau malihan berasal dari batuan beku atau sedimen yang termalihkan
di dalam bumi sebagai akibat tekanan dan temperatur yang sangat tinggi yang
mengakibatkan perubahan sifat fisik dan kimia dari batuan asal. Contoh: marmer
malihan dari batu gamping, kuarsit malihan dari batu pasir kuarsa, dan genes malihan
dari granit
Sesar Opak
Sesar adalah suatu rekahan pada batuan yang terbentuk ketika salah satu bagian yang
retak bergeser relatif terhadap bagian yang lain. Sesar terjadi karena batuan mengalami efek
tegangan yang melampaui kekuatan elastisitasnya. Pergeseran blok batuan yang retak tersebut
dapat terjadi dalam ukuran jarak yang sangat kecil sampai dengan skala yang lebih besar atau
disebut dengan daerah sesar skala regional. Setiap sesar mempunyai komponen-komponen
berupa dua buah blok batuan yang tersesarkan, strike dan sudut kemiringan (dip). Komponen
sesar yang menggantung pada bidang sesar disebut hanging wall, sedangkan komponen alas
bidang sesar disebut foot wall. Strike merupakan jurus bidang sesar yang diukur 29 dari arah
utara ke timur dengan sudut antara 0o sampai 360o . Dip sesar merupakan sudut yang
dibentuk oleh bidang terhadap bidang horizontal dengan sudut antara 00 sampai 90 0 .
Gambar 6. Komponen-Komponen Sesar (Rakhman, 2010 )
A = Hanging Wall
B = Foot Wall
C = Bidang Sesar
Sesar Opak merupakan sesar normal. Sesar normal disebut juga sesar turun disebabkan
oleh tensional stress yang seolah-olah menarik atau memisahkan bidang, seperti juga halnya
kalau bidang mengalami gaya dari bawah. Umumnya dua atau lebih sesar normal dengan
jurus sejajar dan kemiringan berlawanan membentuk segmen naik atau turun pada bidang.
Blok yang turun dinamakan graben dan blok yang naik dinamakan horst. Sesar normal
didefinisikan sebagai sesar yang hanging wall-nya relatif turun terhadap foot wall, seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2.
Geografi yang khas dari Pulau Sumatera yaitu adanya Pegunungan Bukit Barisan
disebelah barat pulau ini dan memanjang pada seluruh panjang pulau dalam bentuk
sabuk yang sempit, paralel, dan umumnya berjarak hanya beberapa puluh kilometer
dari pantai baratdaya.
Pulau Sumatra terletak di sebelah baratdaya Kontinen Sundaland dan merupakan jalur
konvergensi antara Lempeng Hindia-Australia yang menyusup di sebelah barat
Lempeng Sundaland/Lempeng Eurasia. Konvergensi lempeng menghasilkan subduksi
sepanjang Palung Sunda dan pergerakan lateral menganan dari Sistem Sesar Sumatra
(Darman dan Sidi, 2000).
Subduksi dari Lempeng Hindia-Australia dengan batas Lempeng Asia pada masa
Paleogen diperkirakan telah menyebabkan rotasi Lempeng Asia termasuk Sumatra
searah jarum jam. Perubahan posisi Sumatra yang sebelumnya berarah E-W menjadi
NW-SE dimulai pada Eosen atau Oligosen. Perubahan tersebut juga mengindikasikan
meningkatnya pergerakan sesar mendatar Sumatra seiring dengan rotasi. Subduksi
obliquedan pengaruh sistem mendatar Sumatra menjadikan kompleksitas regim stress
dan pola strain pada Sumatra (Darman dan Sidi, 2000).
Secara fisiografi, Pulau Sumatera menurut Van Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona
fisiografi (Gambar 2.1), yaitu:
1) Zona Jajaran Barisan
2) Zona Semangko
3) Zona Pegunungan Tigapuluh
4) Zona Kepulauan Busur Luar
5) Zona Paparan Sunda
6) Zona Dataran Rendah dan Berbukit
Gambar 8. Zona fisiografi Pulau Sumatera (van Bemmelen, 1949)
Berdasarkan pembagian zona di atas dan sesuai dengan letak geografisnya, daerah
penelitian termasuk ke dalam Zona Fisiografi Dataran Rendah dan Berbukit. Zona
ini dicirikan oleh morfologi perbukitan homoklin dengan elevasi 40 – 200 m di atas
permukaan dan zona ini tersebar luas di sebelah Pantai Timur Pulau Sumatera
B. Stratigrafi Regional
Secara umum, sedimentasi di Cekungan Sumatera Selatan terjadi dalam dua fase
(Jackson, 1961 dalam Koesoemadinata, et al., 1976) , yaitu:
1) Fase Transgresi
Fase Transgresi di Cekungan Sumatera Selatan ditandai dengan pengendapan
Kelompok Telisa secara tidak selaras di atas batuan Pra-Tersier. Selama fase
pengendapan yang terjadi pada fase transgresi, penurunan dasar cekungan lebih
cepat daripada proses sedimentasi, sehingga terbentuk urutan fasies non marin,
transisi, laut dangkal dan laut dalam (Pulunggono, 1969; De Coster, 1974;
Koesoemadinata, et al., 1976).
2) Fase Regresi
Fase Regresi di Cekungan Sumatera Selatan ditandai dengan pengendapan
Kelompok Palembang. Fase ini merupakan kebalikan dari fase transgresi, dimana
pengendapan lebih cepat dibandingkan dengan penurunan dasar cekungan, sehingga
terbentuk urutan seperti fasies laut dangkal, transisi dan non marin (Pulunggono, 1969;
De Coster, 1974; Koesoemadinata, et al., 1976).
Stratigrafi regional Cekungan Sumatera Selatan masih menjadi perdebatan, karena
banyak pendapat mengenai stratigrafi regional. Daerah penelitian merupakan bagian
dari Cekungan Sumatera Selatan. Stratigrafi regional Cekungan Sumatera Selatan
(Ryacudu, 2005) dari tua ke muda (Gambar 2.2)terdiri dari Formasi Lahat/Lemat,
Formasi Talangakar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat,
Formasi Muara Enim, Formasi Kasai.
Formasi Lahat/Lemat
Formasi ini mewakili awal pengendapan Tersier di Cekungan Sumatera Selatan.
Bagian bawah formasi ini terdiri dari breksi vulkanik dan aglomerat dengan
fragmen utama berupa batuan beku andesit/basaltis, tufa, batupasir tufaan, kadang
dijumpai intrusi dan aliran lava. Endapan darat dan batuan vulkanik ditafsirkan
diendapkan bersamaan dengan terjadinya orogenesa Kapur Akhir – Awal
Tersier yang ditandai dengan ditemukannya batuan beku berumur 60,3 ± 1,2
Ma di Pegunungan Garba (Pardede, 1986). Anggota atas Formasi Lahat/Lemat
terdiri dari dua bagian (De Coster, 1974) yang disebut“Young Lemat“.
Bagian atas terdiri dari batuan klastik halus dan terdiri dari serpih abu-abu
kecoklatan, kadang berselang-seling dengan lapisan serpih tufaan, batulanau dan
batupasir serta sisipan tipis batubara. Anggota ini diinterpretasikan diendapkan
dalam lingkungan air tawar hingga payau. Anggota bawah berupa klastik kasar
terdiri atas batupasir, batulempung, fragmen batuan, breksi, “granite wash“,
kadang dijumpai sisispan batubara dan tufa. Anggota ini diendapkan dalam
lingkungan darat.Umur Formasi Lahat/Lemat masih menjadi perdebatan karena
Musper (1937), Marks (1956), Spruyt (1956) menginterpretasikannya berumur
Eosen-Oligosen, sedangkan De Coster (1974) menginterpretasikannya berumur
Paleosen-Oligosen. Formasi ini memiliki hubungan tidak selaras dengan unit batuan
di bawah dan di atasnya.
Formasi Talangakar
Formasi ini terbagi atas dua anggota yaitu GRM dan TRM (Spruyt, 1956;
Pulunggono, 1984):
a. Gritsand Member (GRM),Anggota bawah Formasi Talangakar ini disusun
oleh sedimen klastik kasar seperti batupasir konglomeratan, batupasir kuarsa,
serpih dan sisipan batubara dengan struktursedimen berupa struktur perlapisan
bersusun, perlapisan silang-siur dan sejajar.
b. Transitional Member (TRM), Anggota atas Formasi Talangakar ini tersusun oleh
sedimen klastik sedang-halus seperti perselingan batupasir, serpih, batulanau,
sisipan batubara, batulempung karbonan, serta hadirnya glaukonit yang
melimpah. Lingkungan pengendapan anggota satuan ini adalah lingkungan
transisi-laut dangkal berumur Miosen Awal.
Formasi Baturaja
Formasi Baturaja memiliki umur Miosen Awal-Miosen Tengah bagian
bawah (Gafoer, 1988). Formasi ini diendapkan selaras di atas FormasiTalangakar dan
tersingkap dengan baik di Sub-Cekungan Palembang Selatan. Formasi ini sangat
berkembang di daerah tinggian, berupa batugamping terumbu dan batugamping
paparan, sedangkan di bagian dalam cekungan satuan ini berkembang sebagai
fasies karbonat berupa mudstone atau wackestone.
Formasi Gumai
Formasi Gumai yang terdapat di Cekungan Sumatera Selatan memiliki umur
Miosen Tengah. Formasi ini tersusun atas sedimen klastika halus berupa
serpih, napal, batulempung gampingan, batulanau dengan foraminifera plankton
yang melimpah. Formasi ini mewakili fase trangresi maksimum di Cekungan Sumatera
Selatan.
Formasi Kasai
Formasi Kasai atau Palembang Atas diendapkan selaras di atas Formasi
Muara Enim, tersusun oleh perselingan konglomerat, batupasir tufaan, tufa dan
batulempung tufaan dengan kandungan moluska air tawar dan fosil kayu yang
tersilisifikasi (silicified wood).
Kandungan tufa yang sangat dominan pada formasi ini menandai adanya
aktivitas vulkanik yang semakin meningkat pada Pliosen Akhir.Umur formasi ini
adalah Miosen Akhir-Pliosen dengan ciri-ciri litologi yang menunjukkan lingkungan
pengendapan darat.
Akhir pengendapan Formasi Kasai ditandai dengan peristiwa tektonik
kompresi yang mengakibatkan pengangkatan dan terlipatnya sedimen Tersier.
Pengendapan selanjutnya adalah sedimen kuarter dan terjadi aktivitas volkanik di
Cekungan Sumatera Selatan.
1. Busur Luar Sunda, berupa busur non-vulkanik yang terletak di luar pantai barat
Pulau Sumatera,. Cekungan depan busur, terletak di antara busur non-vulkanik
dan busur vulkanik Sumatera.
2. Cekungan belakang busur, meupakan hasil depresi batuan dasar di kaki Pegunungan
Barisan
3. Jalur Pegunungan Barisan, merupakan jalur busur vulkanik.
4. Cekungan intermontane atau intra-arc basin.
Cekungan Sumatera Selatan memiliki empat arah struktur geologi yang dapat
dibedakan menjadi:
a) Pola Jambi
Pola Jambi memiliki arah struktur geologi yang berarah timurlaut – baratdaya dan
sangat baik diamati di Sub-Cekungan Jambi. Pembentukan pola struktur ini
berhubungan dengan pembentukan Sistem Paleogen Graben yang disebut Graben
Ketaling yang berarah Timurlaut – Baratdaya. Selain terdapat di Jambi, pola struktur
berarah Timurlaut-Baratdaya juga berkembang di Sub-Cekungan Sumatera Selatan
seperti Graben Tanjung Miring. Perkembangan arah struktur ini disebabkan oleh
kehadiran sesar normal sejak Paleogen pada periode tektonik kompresi Plio-Pleistosen
yang berhubungan dengan sesar mendatar. Namun, intensitas perlipatan yang terbentuk
tidak terlalu kuat.
b) Pola Lematang
Pola Lematang memiliki arah struktur geologi relatif N300°E atau berarah
baratbaratlaut-timurtenggara. Pola utama ini dikenal sebagai bagian dari Sistem Sesar
Lematang (Pulunggono, 1984) yang sangat dominan ditemukan di Sub-Cekungan
Palembang. Manifestasi pola ini ditemukan berupa perlipatan yang berasosiasi dengan
sesar anjak dan disebabkan oleh tektonik kompresi Plio-Pleistosen, tetapi juga
berhubungan dengan graben Paleogen dan arah half graben. Pola ini dapat diamati pada
Sesar lematang, Sesar Musi, Sesar Kepayang, Sesar Saka dan Sesar Lampung Selatan
(Pulunggono et al., 1992)
c) Pola Sunda
Pola Sunda memiliki arah struktur geologi utara-selatan. Pola ini sangat khas
ditemukan di cekungan belakang busur di Pulau Sumatera. Pola ini di Cekungan
Sumatera Selatan dapat diamati di Benakat Gulley-Kikim, Palembang dan Sesar Pantai
Timur (Pulunggono et al., 1992). Pola ini juga sangat baik ditemukan di Cekungan
Bengkulu (Lemigas, 1995). Pola ini dimanifestasikan sebagai dengan sesar normal dan
terkatifkan kembali pada Zaman Plio-Pleistosen sebagai sesar mendatar.
d) Pola Sumatera
Pola Sumatera memiliki arah struktur geologi baratlaut-tenggara. Pola ini
umumnya berkembang di Bukit Barisan dan juga merupakan batas selatan Cekungan
Sumatera Selatan. Perlipatan yang berkembang di Bukit Barisan memiliki arah yang
sama dibandingkan dengan Pola Sesar Sumatera.Perlipatan yang terbentuk di Cekungan
Sumatera Selatan akibat orogenesa Plio-Pleistosen dan menghasikan tiga antiklinorium
besar (Shell 1978 dalam Zuhri, 1990) yaitu Antiklinorium Muara Enim, Antiklinorium
Pendopo, Antiklinorium Palembang.
BAB III
METODELOGI
3.1 Geolistrik
Geolistrik adalah salah satu metode eksplorasi geofisika untuk menyelidiki keadaan
bawah permukaan dengan menggunakan sifat-sifat kelistrikan batuan (Kanata, Bulkis dan
Zubaidah. 2008).
Penggunaan geolistrik pertama kali dilakukan oleh Conrad Schlumberger pada tahun
1912. Geolistrik merupakan salah satu metoda geofisika untuk mengetahui perubahan
tahanan jenis lapisan batuan di bawah permukaan tanah dengan cara mengalirkan arus
listrik DC (‘Direct Current’) yang mempunyai tegangan tinggi ke dalam tanah. Injeksi
arus listrik ini menggunakan 2 buah elektroda arus A dan B yang ditancapkan ke dalam
tanah dengan jarak tertentu. Semakin panjang jarak elektroda AB akan menyebabkan
aliran arus listrik bisa menembus lapisan batuan lebih dalam.
Dengan adanya aliran arus listrik tersebut maka akan menimbulkan tegangan listrik di
dalam tanah. Tegangan listrik yang terjadi di permukaan tanah diukur dengan
penggunakan multimeter yang terhubung melalui 2 buah ‘Elektroda Tegangan’ M dan N
yang jaraknya lebih pendek dari pada jarak elektroda AB. Bila posisi jarak elektroda AB
diubah menjadi lebih besar maka tegangan listrik yang terjadi pada elektroda MN ikut
berubah sesuai dengan informasi jenis batuan yang ikut terinjeksi arus listrik pada
kedalaman yang lebih besar.
Resistivitas Semu
Bumi diasumsikan sebagai bola padat yang bersifat homogen, dengan asumsi ini maka
seharusnya resistivitas yang terukur merupakan resistivitas sebenarnya. Akan tetapi pada
kenyataannya bumi terdiri atas lapisanlapisan dengan ρyang berbeda-beda, sehingga
potensial yang terukur merupakan pengaruh dari lapisan-lapisan tersebut. Dengan
demikian harga resistivitas yang terukur bukan merupakan harga resistivitas untuk satu
lapisan saja, tetapi beberapa lapisan, sehingga nilai resistivitas yang terukur ditunjukkan
dalam persamaan (1)
Dengan ρa adalah resistivitas semu yang bergantung pada spasi elektroda,∇V adalah
beda potensial, I adalah arus.Nilai resistivitas semu tergantung pada geometri dari susunan
elektroda yang digunakan, yang didefinisikan dengan faktor geometri K [7]. Berdasarkan
besaran fisis yang diukur, susunan elektroda Schlumberger bertujuan untuk mengetahui
gradien potensial listrik. Faktor geometri dapat ditentukan melalui persamaan (2).
B. Kegunaan Geolistrik
Kegunaan dari metode geolistrik itu sendiri yaitu agar dapat mengetahui karakteristik
lapisan batuan bawah permukaan sampai kedalaman sekitar 300 m sangat berguna untuk
mengetahui kemungkinan adanya lapisan akifer yaitu lapisan batuan yang merupakan
lapisan pembawa air. Umumnya yang dicari adalah ‘confined aquifer’ yaitu lapisan akifer
yang diapit oleh lapisan batuan kedap air (misalnya lapisan lempung) pada bagian bawah
dan bagian atas. ‘Confined’ akifer ini mempunyai ‘recharge’ yang relatif jauh, sehingga
ketersediaan air tanah di bawah titik bor tidak terpengaruh oleh perubahan cuaca setempat.
Metode geolistrik digunakan untuk eksplorasi diantaranya adalah:
1) Eksplorasi Batubara
Salah satu metoda geofisika yang dapat digunakan untuk memperkirakan
keberadaan dan ketebalan batu bara di bawah permukaan adalah metoda geolistrik
tahanan jenis. Metoda geolistrik dapat mendeteksi lapisan batu bara pada posisi
miring, tegak dan sejajar bidang perlapisan di bawah permukaan akibat perbedaan
resistansi perlapisan batuan yang satu dengan yang lain, karena pada umumnya batu
bara memiliki harga resistansi tertentu.
2) Eksplorasi Geothermal
Dalam eksplorasi panas bumi digunakan metode geolistrik tahanan jenis untuk
memetakan harga tahanan jenis batuan di daerah penelitian dalam rangka
menentukan daerah konduktif yang merupakan batas reservoir sistem panas bumi.
Peninjauan yang dilakukan dengan cara profiling untuk memperoleh gambaran
umum daerah prospek panas bumi.
3) Eksplorasi Mineral
Dalam eksplorasi mineral digunakan metode geolistrik polarisasi terimbas.
Mengenai polarisasi yang terjadi pada batuan dan tanah adalah melingkupi
penyebaran atau difusiion-ion menuju mineral-mineral logam dan pergerakan ion-
ion didalam pore-filling elektrolit. Yang menjadi efek utama atau mekanisme utama
yang terjadi dalam suatu proses polarisasi adalah polarisasi elektroda atau electrode
polarization dan polarisasi membrane atau membrane polarization.
4.1 Kesimpulan
siklus hidrologi yaitu bahwasanya matahari sangat berperan dalam kelangsungan
terjadinya hidrologi.Terdapat lapisan yang berupa pasir yang bercampur dengan lempung,
dan aluvium serta terdapat kerikil pada lintasan tiga. Pasir merupakan material batuan yang
dapat meloloskan air, namun dengan adanya sisipan lempung maka pada lapisan ini dapat
menyimpan air dan mengalirkannya namun dalam jumlah yang terbatas.
4.2 Saran
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan dan ketidak
sempurnaan. Oleh karna itu, pembaca melengkapi bila terdapat kekurangan dalam
penulisan.
DAFTAR PUSTAKA
Grandis, H., 2006, Diktat Kuliah Geo-Elektromagnet, Departemen Geofisika, FIKTM, Institut
Teknologi Bandung, Bandung.
Kruseman, G.P. , & M.A de Ridder, 1994,Analysis & Evaluation of Pumping Test Data,
Publication 47, Wegeningen, The Netherlands.
Milsom, John. 1939. Field Geophysics, University College, London.
Reynolds, J.M., 1997, An Introduction to Applied and Enviromental Geophysics, John Wiley
andSons Inc., England.
Taib, MIT., 2000, Diktat Kuliah Eksplorasi Geolistrik, Departemen Teknik Geofisika,
FIKTM, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Telford, W.M., Geldart, L.P., and Sheriff, R.E. 1990. Applied Geophysics 2nd Edition.
Cambridge University Press, New York.
Van Bemmelen, R. W. 1949. General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes,
Martinus Nijhoff, The Haque.