Anda di halaman 1dari 38

SALSA NABILA IR

190610094
KEL 8

MODUL 3
Infeksi / Inflamasi Sistem Respirasi Bagian Bawah
SKENARIO 3 : Batuk Berdarah

Seorang laki-laki berusia 65 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan batuk berdahak sudah
sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan tambahan yang dirasakan oleh pasien yaitu sesak napas yang
terus menerus, tidak dipengaruhi oleh cuaca dan aktivitas, nyeri dada dijumpai. Dari anamnesis
juga didapatkan adanya riwayat batuk produktif persisten selama 5 bulan, hidung tersumbat, dan
sesak napas. Dari anamnesis juga diketahui bahwa pasien bukan perokok tanpa paparan
lingkungan yang signifikan.

Pemeriksaan fisik pada pasien dijumpai nadi 80 x/menit, respiratory rate 28x/menit. Pada
pemeriksaan auskultasi paru didapatkan crackles, tidak ada fase mengi atau ekspirasi
memanjang. Pemeriksaan makroskopis sputum didapatkan sputum 3 lapisan, yaitu mukoid,
mukopurulen dan viskosa. Dokter melakukan tatalaksana awal dan selanjutnya merujuk ke
poliklinik paru RS untuk dilakukan pemeriksaan penunjang berupa bronchoscopy dan Ro
dada. Hasil pemeriksaan didapatkan adanya pelebaran saluran napas bawah dengan
penimbunan mucous seperti honeycombsappearance. Pemeriksaan spirometri menunjukkan
penurunan ratio FEV1/FVC. Dokter mencurigai adanya infeksi di saluran nafas bawah dan
berencana memberikan antibiotik sesuai dengan bakteri penyebabnya agar mencegah
komplikasi.

Bagaimana anda menjelaskan penyakit yang diderita pasien tersebut?


JUMP 1 : TERMINOLOGI
1. Crackles : Bunyi yang tidak berkelanjutan akibat penundaan pembukaan kembali
jalur nafas.
2. Mukoid : Sputum dalam keadaan berlendir kental.
3. Mukopurulen : Sputum hijau dengan nanah dalam keadaan kental yang terjadi karena
infeksi berulang dan menimbulkan bau tak sedap.
4. Viskosa : Sputum lengket yang memiliki derajat viskositas yang tinggi.
5. Bronkoskopi : Tindakan medis yang bertujuan untuk melakukan visualisasi trakea dan
bronkus, melalui bronkoskop.
6. Honeycomb appearance: Gambaran menyerupai sarang lebah di paru pada saat rontgen
toraks.

JUMP 2 DAN 3 : RUMUSAN MASALAH DAN HIPOTESA


1. Apa yang penyebabpasienmengalamikeluhananyeri dada dansesaknafas?
-sesaknafas : penempitanjalannafaskarnahipersekresi mucus.
- nyeri dada : adanyadistensisalurannafasudaraperifer.

2. Apapenyebabbatukberdahak?
Penyebabumumbatukberdahakadalahinfeksioleh virus
ataubakteri.Ketikasaluranpernapasanterinfeksi, misalnyasaatsedang flu,
tubuhakanmemproduksilebihbanyaklendir.
Fungsinyaadalahuntukmenjebakdanmengeluarkanorganismepenyebabinfeksi.Batukbertuj
uanuntukmengeluarkanlendirtersebut.
Olehkarenaitu, orang yang mengalamibatukberdahakdisarankanuntukmembuangdahak,
bukanmenelannya.Menelannyajustruakanmemperlambatpenyembuhan.

3. Apasajajenisinfeksisalurannapasbawah?
1. Bronkiektasis, terjadiketikasaluranudara di paru-parurusak, melebar,
danmenebalsecarapermanensehinggabakteridanlendirmenumpuk, lalumenyatu di paru-
paru yang menyebabkanterjadinyapenyumbatandaninfeksisaluranudara.
2. Pneumonia, adalahinfeksidanperadangan yang terjadipadaparu-parubagiandalam,
tepatnya di kantungudaradanjaringansekitarnya. Sebagianbesarkasus pneumonia
disebabkanolehbakteri Streptococcus pneumonia.
3. Bronkitis, adalahperadanganbronkus yang disebabkanolehinfeksisaluranpernapasan.
Kondisiinimembuatsaluranudara di paru-parumenjadilebihkecil,
danmenghasilkanlebihbanyaklendirdaribiasanya.
4. Bronkiolitis, adalahinfeksi yang menyebabkansaluranudaraterkecil di paru-paru
(bronkiolus) meradangsehinggamengurangijumlahudara yang masuk.
Bronkiolitisdisebabkanoleh virus pernapasan syncytial (RSV) yang
menyebarmelaluitetesancairandaribatukataubersin orang yang terinfeksi. 
5. Tuberkulosisatau TBC adalahinfeksimenular yang biasanyamenyerangparu-paru.
Bakteri yang menyebabkan TBC menyebardarisatu orang ke orang
lainmelaluibatukataubersin. 

4. Apaindikasidilakukannyapemeriksaan bronchoscopy?
Indikasitindakanbronkoskopidenganmenggunakanbronkoskopikaku:
1. mengatasidanpenangananbatukdarahmasif
2. mengeluarkanbendaasingdarisaluranpernapasan
3. penanganan stenosis salurannapas
4. penanganansumbatansalurannapasakibatneoplasma
5. pemasangan stent bronkus
6. laser bronchoscopy
Indikasitindakan diagnostikpadabronkoskopiantara lain:
1. batuk
2. batukdarah
3. mengidan stridor
4. gambaranfotothoraks yang abnormal
5. Apa penyebabbarukproduktifpersistenselama 5bulandanhidungtersumbat?
Karena terjadinyaperubahansekresisel Goblet
dimanaproduksimukusmenjadiberlebihdanlebihkentalsehinggadapatmenyebabkanhidungt
ersumbatdan mucus
tersebuttelahmenganggusaluranpernafasansehinggatubuhmenkompensasiuntukmembersih
kansalurannafaskarenamukustadidenganbatuk.
Pada skenariodisebutkanbahwaterjadipelebaran di
saluranoernafasanbawah,halinimenyebabkanlebihbanyaklendirberkumpul di
sana,sehinggabronkuslebihrawanterkenainfeksi,akibatnyaterjadibatuk yang
persistenatauproduktif yang lebih lama.

6. Mengapaterjadipelebaransalurannafasbawahdenganpenimbunan mucus?
Terjadikerusakandindingbronkusdanmengalamiperadangankroniskehilanganketeganga
ndindingbronkus area yang terkenamenjadilebardanlemasmembentukkantong yang
menyerupaibalonkecil.
Bronkus yang mengalamipelebaranmembuatlebihbanyaklendir/mucus yang
berkumpulsehinggabronkusterkenainfeksilebihbanyakbronkus yang tekena mucus
yang terkumpulakanlebihbanyak.
PenambahanlendirKarenamenyebabkankumanberkembangbiak yang
seringmenyumbatbronkusdanmemicupenumpukansekresi yang terinfeksi.

7. Bagaimanahasilpemeriksaanfisikdanhasilpemeriksaanauskultasipadapasientersebut?
- Nadi : 80x / menit (normal)
- RR : 28x / menit (takipneu)
- Hemoptysis :nekrosismukosabronkus yang mengecil. pembuluhdarah>pendarahan
- Crackles :dihasilkanolehgelembunggelembungudara yang melaluisekret
jalannafas /jalannafastibatibaterbuka.

8. Apamaksuddaripemeriksaanspirometriyaitupenurunan ratio FEV1/FVC?


Pemeriksaanspirometrimenunjukkanpenurunan ratio FEV1/FVC
artinyamengalamiGangguanobstruktifpadaparu,
dimanaterjadipenyempitansalurannapasdangangguanaliranudara di dalamnya,
akanmempengaruhikerjapernapasandalammengatasiresistensinonelastikdanakanbermanif
estasipadapenurunan volume dinamik.
Dan jugaPenurunan FEV1/FVC
menunjukkanbahwasaluranudaratersebuttertutuplendirdimanasalurannapaskolapssaateksp
irasipaksa.

9. Pemeriksaanpenunjangapa yang dilakukanpadalaki – lakitersebut ?


- Pemeriksaan lab darahrutin, mikrobiologi sputum dantes
skrinningautoimum
- CT Scan :untukmelihadilatasibronkus - pemeriksaanspirometri
- Analisa gas darah

10. Apakah diagnosis penyakit dari pasien tersebut?


Kemungkinan diagnosis penyakit pasien tersebut adalah bronkiektasis. Bronkiektasis
adalah kelainan kronik yang ditandai dengan dilatasi bronkus secara permanen, disertai
proses inflamasi pada dinding bronkus dan parenkim paru sekitarnya.
Dimana berdasarkan gejala pasien yaitu batuk produktif persisten selama 5 bulan, sesak
nafas terus-menerus (tidak dipengaruhi oleh cuaca dan aktivitas), nyeri dada, dan
berdasarkan anamnesis pasien bukan perokok juga tanpa paparan lingkungan yang
signifikan.Gejala batuk kronis yang produktif/berdahak, sesak nafas, dan nyeri dada
merupakan gejala dari bronkiektasis, walaupun gejala tersebut tidak spesifik (dapat
ditemukan pada penyakit infeksi paru lain).
Sesak nafas tidak dipengaruhi cuaca dan aktivitas (bukan asma)
Pasien bukan perokok dan tidak terpapar polusi tertentu yang signifikan (bukan PPOK)
Berdasarkan pemeriksaan auskultasi paru didapatkan crackles/ronki basah yang juga
dapat ditemukan pada pasien bronkiektasis. Pemeriksaan makroskopis sputum didapatkan
sputum 3 lapisan, yaitu mukoid, mukopurulen, dan viskosa. Sputum 3 lapis ini khas pada
bronkiektasis (meskipun tidak selalu dijumpai). Berdasarkan pemeriksaan penunjang
didapatkan pelebaran saluran nafas bawah dengan penimbunan mukus seperti
honeycombs appearance (sarang tawon), dimana honeycombs appearance ini gambaran
yang khas pada bronkiektasis. Pada pasien juga ditemukan penurunan rasio FEV1/FVC
pada pemeriksaan spirometri, ini menunjukkan adanya keterbatasan aliran nafas.

JUMP 4 : SKEMA

Infeksi Saluran Nafas


Mikroorganisme
Bagian Bawah

Infeksi Respiratorik
Akut pada Anak

Berdasarkan Letak Anatomi

Parenkim Paru Bronkus Pleura

Efusi Pleura
Pneumonia Abses Paru Bronkiolitis Bronkitis Akut

Etiologi dan Patogenesis

Manifestasi Klinis,
Pemeriksaan Fisik, dan
Pemeriksaan Penunjang

Tatalaksana

JUMP 5 : LEARNING OBJECTIVE


1. Mikroorganisme Penyebab Infeksi/Inflamasi pada Sistem Pernafasan
2. Infeksi Respiratorik Akut (IRA) pada Anak
3. Infeksi Saluran Pernafasan Bagian Bawah pada Parenkim Paru
 Pneumonia
 Abses Paru
4. Infeksi Saluran Pernafasan Bagian Bawah pada Bronkus
 Bronkiolitis
 Bronkitis Akut
5. Infeksi Saluran Pernafasan Bagian Bawah pada Pleura
 Efusi Pleura

JUMP 7 SHARING INFORMATION

LO 1 Mikroorganisme penyebab infeksi/inflamasi pada


system pernapasan.

 Definisi

Infeksi daluran napas bawah merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus,
jamur, dan protozoa yang menyerang saluran napas bagian bawah, seperti bronkus,
bronkiolus, dan parenkim paru. Sebagian besar infeksi ini disebabkan oleh bakteri.7,8

Secara umum, semua bakteri patogen harus mempunyai kemampuan tertentu selaras
dengan patogenesis penyakit, yaitu masuk ke dalam pejamu, bertahan pada pintu
masuk sel pejamu, evasi atau sirkumvensi terhadap mekanisme pertahanan tubuh,
menimbulkan gejala klinis, dan keluar dari pejamu untuk melanjutkan siklus infeksi
berikutnya. Proses terjadinya penyakit infeksi merupakan resultan fungsi faktor
virulensi yang bersifat mosaik serta merupakan bagian integral dari respon tubuh
pejamu yang juga bersifat mosaik.7

 Epidemiologi
Dari data SEAMIC Health Statistics 2001, influenza dan pneumonia merupakan
penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia,
nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand, dan nomor 3 di Vietnam.1

Laporan WHO tahun 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat
penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut, termasuk pneumonia
dan influenza. Insidens infeksi saluran napas bawah khususnya pneumonia komunitas
di Amerika Serikat adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun, dan merupakan
penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara tersebut.
Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah sekitar 15%.1

Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001 menyebutkan bahwa
penyakit infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab
kematian di Indonesia. Di SMF Paru RSUP Persahabatan tahun 2001, infeksi juga
merupakan penyakit paru utama. Lima puluh delapan persen di antara pasien rawat
jalan adalah kasus infeksi, dan 11.6% di antaranya kasus nontuberkulosis. Pada
pasien rawat inap, 58.8% kasus infeksi dan 14.6% di antaranya infeksi
nontuberkulosis. Di RSUP H. Adam Malik Medan, 53.8% kasus infeksi dan 28.6% di
antaranya infeksi nontuberkulosis. Di RSUD Dr.Soetomo Surabaya didapatkan
sekitar 180 pneumonia komunitas dengan angka kematian antara 20-35%.1

 Etiologi

Infeksi saluran napas bawah dapat disebabkan oleh berbagai macam organisme, yaitu
bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Namun penyebab yang paling sering adalah
bakteri, di antaranya adalah bakteri gram positif dan negatif.1

Berdasarkan responnya terhadap pewarnaan Gram, bakteri dapat dibagi menjadi 2


kelompok, yaitu bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Bakteri gram positif
merupakan bakteri yang dapat mempertahankan warna gentian ungu dan iodium
(lugol) setelah dicuci sejenak dengan alkohol atau aseton. Bakteri gram negatif tidak
dapat mempertahankan warna kompleks gentian ungu dan iodin dan menjadi
transparan setelah dicuci dengan alkohol. Akan tetapi, dapat diwarnai dengan warna
yang berlawanan, yaitu safranin yang berwarna merah. Oleh karena itu, pada
mikroskop cahaya, bakteri gram negatif terlihat ungu sedangkan bakteri gram negatif
terlihat merah.9

 Bakteri Gram Positif

Hal yang mendasari perbedaan respon bakteri terhadap pewarnaan gram adalah
komponen dinding selnya. Bakteri gram positif mempunyai komponen dinding sel
yang meliputi lapisan peptidoglikan yang terdiri atas rangka N- asetilglukosamin dan
asam N-asetilmuramat yang sama pada setiap spesies, dan rantai samping tetrapeptida
yang bervariasi pada setiap spesies. Pada bakteri gram positif, rantai sampingnya
berupa L-lisin pada posisi 3 dan asam diaminofilik atau asam amino lainnya pada
posisi yang sama. 5,9

Komponen dinding sel lainnya yang terdapat pada bakteri gram positif adalah asam
teikoat dan teikuronat. Asam teikoat dan teikuronat merupakan polimer kapsuler yang
terdiri dari residu gliserofosfat atau ribitol fosfat. Polialkohol ini dihubungkan dengan
ikatan fosfodiester dan biasanya mempunyai gula lain yang terikat bersamanya.
Karena struktur tersebut bermuatan negatif, asam teikoat berperan dalam memberikan
muatan negatif pada permukaan bakteri. Struktur lainnya adalah polisakarida seperti
manosa, arabinosa, ramnosa, asam glukoronat, dll. 5,9

Bakteri gram positif penyebab infeksi saluran napas bawah antara lain Streptococcus
pneumoniae, Staphylococcus aureus, Chlamydia pneumoniae, dan Legionella
pneumophila. Organisme-organisme ini merupakan penyebab infeksi saluran napas
bawah yang biasanya didapat dari komunitas seperti community acquired pneumonia
(CAP). 3
 Bakteri Gram Negatif

Bakteri gram negatif mempunyai struktur yang sedikit berbeda dengan bakteri gram
positif. Perbedaan tersebut terletak pada ketebalan peptidoglikan dan struktur lain
yang hanya dimiliki oleh bakteri gram negatif seperti lipoprotein, membran luar, dan
lipopolisakarida.9

Membran luarnya terdiri atas lapisan lipid bilayer. Bagian dalamnya mempunyai
struktur yang sama dengan membran biologis lainnya, tetapi bagian luarnya
mempunyai struktur yang berbeda yang terdiri atas lipopolisakarida. Keunikan dari
membran luar ini adalah dapat mengeksklusi molekul dan dapat melindungi diri dari
substansi yang berbahaya bagi bakteri seperti garam empedu.5,9

Membran luar ini juga dapat mengeksklusi molekul hidrofilik dengan baik. Akan
tetapi, membran luar mempunyai kanal khusus yang terdiri atas molekul protein yang
disebut porin. Porin, protein yang dikode oleh gen tertentu, memungkinkan terjadinya
difusi pasif molekul hidrofilik yang memiliki berat molekul rendah seperti gula, asam
amino, dan ion-ion tertentu. Molekul antibiotik yang besar menembus membran luar
dengan lambat. Hal inilah yang menyebabkan banyak bakteri gram negatif yang
resisten terhadap beberapa antibiotik.5,9

Struktur lain yang melengkapi membran luar bakteri gram negatif adalah
lipopolisakarida (LPS). Lipopolisakarida pada bakteri gram negatif terdiri atas
kompleks glikolipid yang disebut dengan lipid A. Lipid A tertanam pada membran
luar bagian luar. Lipopolisakarida berguna untuk menjalankan fungsi protein
membran luar lainnya. Lipopolisakarida disebut juga endotoksin dari bakteri gram
negatif karena ia terikat kuat pada permukaan sel dan akan dilepaskan hanya jika sel
tersebut mengalami lisis. Saat LPS terlepas menjadi lipid A dan polisakarida, semua
toksisitas berkaitan dengan bentuk awalnya.5

Molekul lain yang terdapat pada dinding sel bakteri gram negatif adalah lipoprotein
yang berikatan silang dengan membran luar dan lapisan peptidoglikan. Fungsinya
adalah untuk menstabilisasi membran luar dan lapisan peptidoglikan.5

SUMBER : Jurnal Pola kepekaan..., Ria Subekti, FK UI, 2009

LO 2 Infeksi respiratorik akut pada anak

 Definisi dan Etiologi

Infeksi respiratorik akut (IRA) diklasifikasikan menjadi infeksi

respiratorik akut atas dan infeksi respiratorik akut bawah. Saluran napas atas

meliputi jalan napas dari hidung sampai pita suara pada laring, termasuk sinus

paranasalis dan telinga tengah. Saluran napas bawah meliputi lanjutan jalan

napas dari trakhea dan bronkus sampai ke bronkiolus dan alveoli. 3

Infeksi respiratorik akut bawah merupakan suatu infeksi atau

peradangan pada satu atau kedua parenkim paru yang disebabkan oleh

beberapa mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit atau dapat

juga disebabkan oleh bahan kimia korosif yang terhirup. Definisi lain IRA

bawah adalah suatu inflamasi pada alveolus dan bronkiolus terminal sebagai

respon akibat invasi oleh suatu mikroba yang masuk ke dalam paru melalui

penyebaran hematogen atau inhalasi.2,9,12

IRA bawah secara radiologis dibagi menjadi dua manifestasi:


interstisial dan alveolar. Infiltrat interstisial difus cenderung terdapat pada

infeksi viral, sedangkan konsolidasi lobar menunjukkan infeksi bakterial.

Infiltrat alveolar terdapat pada IRA bawah viral dan bakterial. Pada gambaran

radiologi paru, ukuran dan bentuk infiltrat berubah-ubah selama perjalanan

penyakit dan mempengaruhi gambaran radiologisnya.

Etiologi pasti infeksi respiratorik akut bawah jarang diketahui, karena

pada anak sulit mendapatkan spesimen atau sputum secara langsung dari

saluran napas bawah. Kuman patogen yang sering ditemukan adalah

Streptococcus pneumoniae, Moraxella catharalis, Haemophillus influenzae,

Mycoplasma pneumoniae, dan Chlamydia pneumoniae. Sedangkan virus

adalah Respiratory syncytial virus (RSV) serta Influenzae A dan B. M.

pneumoniae dan C. pneumoniae menjadi penyebab tersering pada anak usia

sekolah atau di atas 5 tahun, namun jarang pada anak usia prasekolah.

 Patogenesis

Infeksi respiratorik akut bawah merupakan inflamasi pada jaringan

paru yang terjadi karena adanya peradangan pada ruang alveolar dan

menyebabkan terganggunya pertukaran udara. Terdapat lima gambaran

patologi utama yang fatal yaitu 1) bronkiolitis akut, dimana terjadi kerusakan

epitel bersilia yang superfisial dan reversibel disertai dengan infiltrasi sel

mononuklear; 2) nekrotisasi bronkiolitis, meluas sampai ke dalam lapisan

submukosa saluran pernapasan dan tidak reversibel; 3) pneumonia interstisial,

merupakan kelainan difus dimana terjadi respon inflamasi dengan sel

mononuklear yang dominan dan melibatkan septum alveolus peribronkial; 4)


pneumonia alveolus, alveolus terisi oleh lapisan sel-sel degeneratif dan

inflamasi dari sel-sel mononuklear atau polimorfonuklear dengan atau tanpa

membran hialin; dan 5) kerusakan alveolus difus, dimana terjadi membran

hialin.12,14

Terdapat 4 stadium pada pneumonia lobaris, yaitu 1) Stadium

kongestif terjadi dalam 24 jam pertama, 2) Stadium hepatisasi merah terjadi

pada hari kedua dan ketiga, 3) Stadium hepatisasi abu-abu terjadi dua sampai

tiga hari setelah hepatisasi merah. 4) Stadium resolusi dengan terjadinya

resorpsi dan perubahan struktur paru.1,15

 Faktor Risiko

Terdapat berbagai faktor risiko infeksi respiratorik akut bawah yang

dapat dikelompokkan menjadi faktor sosiodemografik dan faktor gizi.22

Polusi udara meningkatkan kejadian IRA dengan menurunkan

kemampuan pertahanan imun spesifik dan nonspesifik. Polusi udara dapat

menyebabkan eksaserbasi penyakit saluran nafas dengan merusak pertahanan

paru. Partikel dalam polusi udara menyebabkan penumpukan di saluran nafas

bawah dan akan menyebabkan kerusakan fungsi mukosiliar, meningkatkan

perlekatan kuman ke sel epitel, meningkatkan permiabilitas sel epitel maupun

alveolus dan pada akhirnya mempengaruhi sel inflamasi di paru23. Dalam

penelitian di India, sepertiga kasus IRA menggunakan lampu minyak tanah

sebagai sumber penerangan utama dan 93,2% kasus menggunakan bahan

bakar kayu untuk memasak. Sebagian besar anak berumur di bawah lima

tahun menghabiskan sebagian besar waktu bersama ibunya sambil memasak,


sehingga banyak terpapar polusi bahan bakar tersebut. Sepertiga kasus tidak

mempunyai jendela dirumahnya. Karena anak-anak tersebut terpapar oleh

faktor-faktor risiko di atas secara terus menerus, 14,42% kasus sebelumnya

pernah menderita pneumonia, dan 5 kasus mempunyai riwayat pneumonia

pada saudara kandung dengan 2 kematian saudara kandung.

 Diagnosis

Diagnosis klinis ditegakkan dengan adanya batuk, sesak napas dan

ronki, serta distress respirasi, namun prediktor yang baik adalah takipneu.

Pada balita takipneu dan retraksi adalah indikator pneumonia.39

Pemeriksaan fisik awal penting untuk mengidentifikasi dan mengatasi distress

respirasi, hipoksemia, dan hiperkarbia, dengan tanda-tanda merintih, napas

cuping hidung, takipnea, dan retraksi. Saturasi oksigen diukur dengan pulse

oksimetri.1 Pemeriksa akan lebih mudah mengamati usaha napas dan frekuensi

napas (RR) dalam semenit saat pasien tenang. Kriteria WHO untuk takipnea

adalah RR> 50x/menit untuk bayi kurang dari usia 12 bulan, RR>40x/menit

pada anak 1 sampai 5 tahun, dan RR>30x/menit pada anak >5 tahun. 5 Pada

bayi, pengamatan ini meliputi usaha napas saat diberi minum, kecuali pada

bayi dengan takipnea hebat. Bayi akan baik saat istirahat namun mengalami

sesak hebat saat diberi minum. Pada bayi dan anak, perkusi mungkin tidak

jelas bila kelainan hanya pada sebagian kecil paru. Pada anak yang lebih

besar, perkusi redup dan pada palpasi didapatkan stem fremitus yang

melemah, suara napas menurun. Bila kelainan paru jelas, dapat muncul

retraksi interkostal, suara friction rub karena keterlibatan pleura. Temuan fisik
yang lain meliputi wheezing fokal atau bunyi seperti bersiul dan menurunnya

suara napas pada satu lapangan paru. Infeksi paru yang difus akan

menghasilkan ronki yang rata atau wheezing.1,8

Secara praktis penyebab IRA bawah dapat diduga berdasarkan data

klinis dan epidemiologi, hasil foto dada, laboratorium darah lengkap, dan

kadar protein C reaktif. Tes antibodi dapat membantu menentukan penyebab

IRA karena virus, antara lain digunakan untuk RSV, virus Parainfluenzae tipe

1, 2, dan 3, virus Influenzae A dan B, serta Adenovirus. Tes serologi untuk

IgM atau peningkatan titer IgG menunjukkan infeksi oleh Mycoplasma dan

Chlamydia.39-40

 Penatalaksanaan

Pengobatan didasarkan atas umur anak, keadaan klinis, serta faktor

epidemiologi. Tata laksana meliputi terapi suportif dan terapi etiologik. Terapi

suportif berupa oksigenasi, pemberian makanan atau cairan secara memadai

serta koreksi asam basa dan elektrolit sesuai kebutuhan. Jika penyakitnya berat

dan

sarana tersedia, alat bantu napas mungkin diperlukan terutama dalam 24-48

jam 39,41,42
pertama.

Secara ideal terapi diberikan pada anak dengan IRA sesuai dengan

kuman penyebabnya. Karena organisme penyebab pasti yangbiasanya tidak

diketahui maka pasien diberikan antibiotika secara empiris. IRA yang

disebabkan oleh virus seharusnya tidak diberikan antibiotika, namun pasien


dapat diberi antibiotika apabila terdapat kesulitan membedakan infeksi virus

dengan bakteri, disamping kemungkinan infeksi bakteri sekunder tidak dapat

disingkirkan.

 Komplikasi

Komplikasi pneumonia antara lain efusi, abses paru, dan nekrosis paru.

Nekrosis paru merupakan suatu komplikasi yang jarang dari pneumonia

bakterial dimana terjadi likuefaksi dan nekrosis jaringan paru yang disebabkan

oleh toksin dari organisme yang sangat virulen. Anak-anak yang mengalami

komplikasi ini pada umumnya tampak sakit berat. Kelainan ini dapat terlihat

dengan CT-scan dada. Penanganannya terdiri dari antibiotika jangka panjang

(biasanya 4 minggu) yang diberikan secara parenteral.

 Pencegahan

Untuk mengurangi risiko anak menderita IRA, secara umum dapat

dilakukan perbaikan pada kondisi-kondisi, antara lain:

 Aspek anak: Pencegahan berat badan lahir rendah dan malnutrisi,

termasuk mencegah terjadinya anemia pada anak; mempromosikan

pemberian ASI; pemberian vaksin polisakarida pneumokokus pada

anak berumur di atas 2 tahun dan vaksin konjugat pneumokokal,

influenza dan vaksin lainnya untuk bayi; pemberian vitamin A, D, asam

folat, zat besi, kalsium dan mikronutrien (seperti seng) pada anak.

 Aspek keluarga/lingkungan rumah: Karena infeksi yang dapat

ditularkan melalui droplet, maka mencuci tangan dengan seksama dan

kebersihan pribadi secara baik (seperti menggunakan masker serta


menutup mulut dan hidung saat bersin atau batuk) penting dilakukan;

tidak merokok di dalam rumah; pengurangan pemakaian bahan bakar

biomassa dan perbaikan ventilasi udara; edukasi kepada orang tua.

 Aspek lingkungan: Peningkatan pendidikan dan pelayanan keluarga

berencana, sehingga dapat mengurangi jumlah anggota keluarga,

peningkatan status sosial ekonomi masyarakat.

SUMBER : Jurnal undip.ac.id Rony Antonius

LO 3 Infeksi pernapasan parenkim paru :

A. Pneumonia

 Definisi

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Walaupun banyak

pihak yang sependapat bahwa pneumonia merupakan suatu keadaan inflamasi,

berdasarkan gejala dan tanda klinis, ditandai dengan batuk, sesak nafas, demam

(Anonimc, 2003).

Pneumonitis seringkali digunakan untuk menyatakan peradangan paru non

spesifik yang etiologinya tidak diketahui. Pneumonia merupakan penyakit yang sering

terjadi dan setiap tahunnya menyerang 1% dari seluruh penduduk di Amerika. Meskipun

telah ada kemajuan dalam bidang antibiotik, namun Pneumonia tetap merupakan

penyebab kematian terbanyak keenam di Amerika Serikat (Sylvia dkk, 2005).

Pneumonia termasuk salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan bawah akut (ISPBA).
Pneumonia merupakan radang paru yang disebabkan mikroorganisme (bakteri, virus,

jamur dan parasit). Proses peradangan akan menyebabkan jaringan paru yang berupa

alveoli (kantung udara) dapat dipenuhi cairan ataupun nanah. Akibatnya kemampuan

paru sebagai tempat pertukaran gas terutama oksigen (O 2) akan terganggu. Kekurangan

oksigen (O2) dalam sel-sel tubuh akan menganggu proses metabolisme tubuh. Bila

pneumonia tidak ditangani dengan baik, proses peradangan akan terus berlanjut dan

menimbulkan berbagai komplikasi seperti, selaput paru terisi cairan atau nanah (Efusi

pleura atau empiema), jaringan paru bernanah (abses paru), jaringan paru kempis

(pneumothoraks). Bahkan bila terus berlanjut dapat terjadi penyebaran infeksi melalui

darah (sepsis) ke seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan kematian (Dahlan dan

Soemantri, 2001).

Kelompok pneumonia berat adalah penderita yang mengalami batuk atau

kerusakan pernafasan disertai salah satu tanda bahaya diatas atau mengalami retraksi

dinding dada bagian bawah kedalam. Biasanya keadaan ini disebabkan oleh masuknya

bakteri kedalam tubuh, sehingga diperlukan antibiotik dalam penanganannya dan harus

dirawat di rumah sakit. Jenis obat yang digunakan untuk kasus yang seperti ini adalah

kotrimoksazole, amoksisilin peroral. Alternatif lain adalah penisilin dan seftriaksone

secara intramuscular (Anonim, 1985).

 Etiologi

Tanda serta gejala yang sering terjadi dan dijumpai pada kasus pneumonia adalah

demam yang cukup tinggi, batuk berdahak (lendir berwarna kehijauan atau nanah), nyeri

dada, sesak nafas, sakit kepala, nafsu makan berkurang, kekakuan sendi, kekakuan otot,

kulit lembab, batuk berdarah (Misnadiarly, 2008).


Pneumonia yang ada di masyarakat pada umumnya, disebabkan oleh bakteri,

virus atau mikoplasma (bentuk pemeliharaan antara bakteri dan virus). Bakteri yang

umum adalah streptococcus pneumonia, staphylococcus aureus, Klebsiella sp,

Pseudomonas sp, Virus misalnya virus influenza (Misnadiarly, 2008).

 Patofisiologi

Pada kondisi normal, saluran pernafasan mempunyai mekanisme yang efektif

untuk melindungi diri dari infeksi oleh bakteri atau mikroba lain. Partikel besar pertama

kali disaring di jalan nafas. Ketika partikel kecil terhirup, sensor sepanjang saluran nafas

terpicu adanya reflek bentuk atau bersin yang melawan partikel tersebut untuk keluar

lagi. Bakteri dan agen infeksi lain akan dilawan di kantung alveoli oleh sistem imun

tubuh, magrofag dan sel darah putih. Sistem pertahanan ini pada keadaan normal

menjaga paru-paru agar tetap steril, tetapi jika system ini lemah atau rusak, maka

bakteri, virus dan negatif lain penyebab pneumonia akan masuk, menginfeksi dan

menyebabkan terjadinya inflamasi di bagian dalam paru-paru (Anonima, 2003).

 Diagnosis

Setelah mengetahui gejala klinis dan kelainan fisik melalui pemeriksaan fisik

yang dilakukan oleh dokter, masih diperlukan pemeriksaan penunjang seperti rongent

dan labolatorium. Hal ini perlu dilakukan untuk memperkuat diagnosis apakah seseorang

menderita pneumonia atau tidak (Misnadiarly, 2008).

Gambaran yang diperoleh dari hasil rongsen memperlihatkan kepadatan pada

bagian paru-paru. Kepadatan terjadi karena paru-paru dipenuhi sel radang dan cairan

yang sebenarnya merupakan reaksi tubuh untuk mematikan kuman. Akibatnya fungsi

paru-paru terganggu, penderita mengalami kesulitan bernafas karena tidak ada oksigen
pada paru-paru (Misnadiarly, 2008).

Pemeriksaan penunjang lainnya yaitu pemeriksaan labolatorium berupa

pemeriksaan hitung sel daerah tepi, pemeriksaan terhadap kuman (mikrobiologi)

mikroskopis ataupun kultur kuman yaitu pemeriksaan utama pra terapi dan untuk

evaluasi terapi selanjutnya (Misnadiarly, 2008).

Pada penderita pneumonia, jumlah leukosit (sel darah putih) dapat melebihi batas

normal (10.000/mikroliter). Menurut ahli paru-paru, perlu dilakukan pengambilan

sputum/ dahak untuk dikultur dan ditest resistensi kuman untuk dapat mengetahui

mikroorganisme penyebab pneumonia tersebut. Pengambilan sputum dapat dilakukan

dengan cara yaitu dibatukkan atau didahului dengan proses perangsangan untuk

mengeluarkan dahak dengan menghirup NaCl 3% dan dahak dapat diperoleh dengan

menggunakan alat tertentu seperti protective brush (semacam sikat untuk mengambil

sputum pada saluran nafas bawah). Sputum yang telah diambil dimasukkan ke dalam

botol steril dan ditutup rapat, tidak boleh lebih dari 24 jam diperiksa ke labolatorium

(Misnadiarly, 2008).

 Tatalaksana terapi

Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti infeksi

pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotika yang dimulai secara empiris dengan

antibiotika spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah bakteri patogen

diketahui, antibiotika diubah menjadi antibiotika yang berspektrum sempit sesuai

patogen.

Terapi Pendukung

Terapi pendukung pada pneumonia meliputi:

a) Pemberian oksigen yang dilembabkan pada pasien yang menunjukkan tanda sesak,
hipoksemia.

b) Bronkodilator pada pasien dengan tanda bronkhospasme

c) Fisioterapi dada untuk membantu pengeluaran sputum

d) Nutrisi
e) Hidrasi yang cukup, bila perlu secara parenteral

f) Pemberian antipiretik pada pasien dengan demam

SUMBER : Jurnal ums.ac.id

B. Abses paru
 Definisi
Abses paru adalah suatu kavitas  dalam jaringan paru yang berisi material purulent
berisikan sel radang  akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses terinfeksi.
       Bila diameter kavitas < 2 cm dan jumlahnya banyak (multiple small abscesses)
dinamakan “necrotising pneumonia”. Abses besar atau abses kecil mempunyai manifestasi
klinik berbeda namun mempunyai predisposisi yang sama dan prinsip diferensial diagnose
sama pula. Abses timbul karena aspirasi benda terinfeksi, penurunan mekanisme pertahanan
tubuh atau virulensi kuman yang tinggi. Pada umumnya kasus Abses paru ini berhubungan
dengan karies gigi, epilepsi tak terkontrol, kerusakan paru sebelumnya dan penyalahgunaan
alkohol. Pada negara-negara maju jarang dijumpai kecuali penderita dengan gangguan
respons imun seperti penyalahgunaan obat, penyakit sistemik atau komplikasi dari paska
obstruksi. Pada beberapa studi didapatkan bahwa kuman aerob maupupn anaerob dari koloni
oropharing yang sering menjadi penyebab abses paru.
Penelitian pada penderita Abses paru nosokonial ditemukan kuman aerob seperti
golongan enterobacteriaceaeyang terbanyak. Sedangkan penelitian dengan teknik biopsi
perkutan atau aspirasi transtrakeal ditemukan terbanyak adalah kuman anaerob.
       Pada umumnya para klinisi menggunakan kombinasi antibiotik sebagai terapi seperti
penisilin, metronidazole dan golongan aminoglikosida pada abses paru. Walaupun masih
efektif, terapi kombinasi masih memberikan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1.      Waktu perawatan di RS yang lama
2.      Potensi reaksi keracunan obat tinggi
3.      Mendorong terjadinya resistensi antibiotika.
4.      Adanya super infeksi bakteri yang mengakibatkan Nosokonial Pneumoni.
       Terapi ideal harus berdasarkan penemuan kuman penyebabnya secara kultur dan
sensitivitas. Pada makalah ini akan dibahas Abses paru mulai patogenesis, terapi dan
prognosa sebagai penyegaran teori yang sudah ada.

 Etiologi
Kuman atau bakteri penyebab terjadinya Abses paru bervariasi sesuai dengan peneliti
dan teknik penelitian yang digunakan. Finegolal dan fisliman mendapatkan bahwa
organisme penyebab abses paru lebih dari 89 % adalah kuman anaerob. Asher dan Beandry
mendapatkan bahwa pada anak-anak kuman penyebab abses paru terbanyak adalah
stapillococous aureus.

 Patologi
Abses paru timbul bila parenkim paru terjadi obstruksi, infeksi kemudian proses
supurasi dan nekrosis.Perubahan reaksi radang pertama dimulai dari suppurasi dan
trombosis pembuluh darah lokal, yang menimbulkan nekrosis dan likuifikasi. Pembentukan
jaringan granulasi terjadi mengelilingi abses, melokalisir proses abses dengan jaringan
fibrotik. Suatu saat abses pecah, lalu jaringan nekrosis keluar bersama batuk, kadang terjadi
aspirasi pada bagian lain bronkus terbentuk abses baru. Sputumnya biasanya berbau busuk,
bila abses pecah ke rongga pleura maka terjadi empyema.

 Patofisiologi
Garry tahun 1993 mengemukakan terjadinya abses paru disebutkan sebagai berikut :
a.       Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada penderita dengan faktor
predisposisi. Bakteri mengadakan multiplikasi dan merusak parenkim paru dengan proses
nekrosis. Bila berhubungan dengan bronkus, maka terbentuklah air fluid level bakteria
masuk kedalam parenkim paru selain inhalasi bisa juga dengan penyebaran hematogen
(septik emboli) atau dengan perluasan langsung dari proses abses ditempat lain (nesisitatum)
misal abses hepar.
b.      Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberkolosis dengan kavitas,
akibat inhalasi bakteri mengalami proses keradangan supurasi. Pada penderita emphisema
paru atau polikisrik paru yang mengalami infeksi sekunder.
c.       Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlajut sampai proses abses paru.
Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkogenik. Gejala yang sama juga
terlihat pada aspirasi benda asing yang belum keluar. Kadang-kadang dijumpai juga pada
obstruksi karena pembesaran kelenjar limphe peribronkial.
d.      Pembentukan kavitas pada kanker paru.
Pertumbuhan massa kanker bronkogenik yang cepat tidak diimbangi peningkatan suplai
pembuluh darah, sehingga terjadi likuifikasi nekrosis sentral. Bila terjadi infeksi dapat
terbentuk abses.

 Manifestasi Klinis
 Gejala klinis :
Gejala klinis yang ada pada abses paru hampir sama dengan gejala pneumonia pada
umumnya yaitu:
a.       Panas badan
Dijumpai berkisar 70% – 80% penderita abses paru. Kadang dijumpai dengan temperatur  >
400C.
b.      Batuk, pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan rongga abses dengan
bronkus batuknya menjadi meningkat dengan bau busuk yang khas (Foetor ex oroe (40-
75%).
c.       Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oero dijumpai berkisar 40 – 75%
penderita abses paru.
d.      Nyeri dada (± 50% kasus)
e.       Batuk darah (± 25% kasus)
f.       Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan berat badan.
Pada pemeriksaan dijumpai tanda-tanda proses konsolidasi seperti redup, suara nafas yang
meningkat, sering dijumpai adanya jari tabuh serta takikardi.

 Gambaran Radiologis
Pada foto torak terdapat kavitas dengan dinding tebal dengan tanda-tanda konsolidasi
disekelilingnya. Kavitas ini bisa multipel atau tunggal dengan ukuran f 2 – 20 cm.
Gambaran ini sering dijumpai pada paru kanan lebih dari paru kiri. Bila terdapat hubungan
dengan bronkus maka didalam kavitas terdapat Air fluid level. Tetapi bila tidak ada
hubungan maka hanya dijumpai tanda-tanda konsolidasi (opasitas).

 Pemeriksaan laboratorium
a.       Pada pemeriksaan darah rutin. Ditentukan leukositosis, meningkat lebih dari
12.000/mm3 (90% kasus) bahkan pernah dilaporkan peningkatan sampai dengan
32.700/mm3. Laju endap darah ditemukan meningkat > 58 mm / 1 jam.
Pada hitung jenis sel darah putih didapatkan pergeseran shit to the left
b.      Pemeriksaan sputum dengan pengecatan gram tahan asam dan KOH merupakan
pemeriksaan awal untuk menentukan pemilihan antibiotik secara tepat.
c.       Pemeriksaan kultur bakteri dan test kepekaan antibiotikan merupakan cara terbaik
dalam menegakkan diagnosa klinis dan etiologis.

 Diagnosa
Diagnosa abses paru tidak bisa ditegakkan hanya berdasarkan kumpulan gejala seperti
pneumonia dan pemeriksaan phisik saja.
Diagnosa harus ditegakkan berdasarkan :
1. Riwayat penyakit sebelumnya.
Keluhan penderita yang khas misalnya malaise, penurunan berat badan, panas badan yang
ringan, dan batuk yang produktif.
Adanya riwayat penurunan kesadaran berkaitan dengan sedasi, trauma atau serangan
epilepsi. Riwayat penyalahgunaan obat yang mungkin teraspirasi asam lambung waktu tidak
sadar atau adanya emboli kuman diparu akibat suntikan obat.
2. Hasil pemeriksaan fisik yang mendukung adanya data tentang penyakit dasar yang
mendorong terjadinya abses paru.
3. Pemeriksaan laboratorium sputum gram, kultur darah yang dapat mengarah pada
organisme penyebab infeksi.
4. Gambaran radiologis yang menunjukkan kavitas dengan proses konsolidasi disekitarnya,
adanya air fluid level yang berubah posisi sesuai dengan gravitasi.
5. Bronkoskopi
Fungsi Bronkoskopi selain diagnostik juga untuk melakukan therapi drainase bila kavitas
tidak berhubungan dengan bronkus.

 Diagnosa Banding :
1.    Karsimoma bronkogenik yang mengalami kavitasi, biasanya dinding kavitas tebal dan
tidak rata. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan sitologi/patologi.
2.    Tuberkulosis paru atau infeksi jamur
Gejala klinisnya hampir sama atau lebih menahun daripada abses paru. Pada tuberkulosis
didapatkan BTA dan pada infeksi jamur ditemukan jamur.
3.    Bula yang terinfeksi, tampak air fluid level. Di sekitar bula tidak ada atau hanya sedikit
konsolidasi.
4.    Kista paru yang terinfeksi. Dindingnya tipis dan tidak ada reaksi di sekitarnya.
5.    Hematom paru. Ada riwayat trauma. Batuk hanya sedikit.
6.    Pneumokoniosis yang mengalami kavitasi. Pekerjaan penderita jelas di daerah berdebu
dan didapatkan simple pneumoconiosis pada penderita.
7.    Hiatus hernia. Tidak ada gejala paru. Nyeri restrosternal dan heart burn bertambah
berat pada waktu membungkuk. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan barium foto.
8.    Sekuester paru. Letak di basal kiri belakang. Diagnosis pasti dengan bronkografi atau
arteriografi retrograd.
 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Abses paru harus berdasarkkan pemeriksaan mikrobiologi dan data
penyakit dasar penderita serta kondisi yang mempengaruhi berat ringannya infeksi paru.
Ada beberapa modalitas terapi yang diberikan pada abses paru :

1. Medika Mentosa
Pada era sebelum antibiotika tingkat kematian mencapai 33% pada era antibiotika maka
tingkat kkematian dan prognosa abses paru menjadi lebih baik.
Pilihan pertama antibiotika adalah golongan Penicillin pada saat ini dijumpai peningkatan
Abses paru yang disebabkan oleh kuman anaerobs (lebih dari 35% kuman gram negatif
anaerob). Maka bisa dipikrkan untuk memilih kombinasi antibiotika antara golongan
penicillin G dengan clindamycin atau dengan Metronidazole, atau kombinasi clindamycin
dan Cefoxitin.
Alternatif lain adalah kombinasi Imipenem dengan B Lactamase inhibitase, pada penderita
dengan pneumonia nosokomial yang berkembang menjadi Abses paru.
Waktu pemberian antibiotika tergantung dari gejala klinis dan respon radiologis penderita.
Penderita diberikan terapi 2-3 minggu setelah bebas gejala atau adanya resolusi kavitas, jadi
diberikan antibiotika minimal 2-3 minggu.

2. Drainage
Drainase postural dan fisiotherapi dada 2-5 kali seminggu selama 15 menit diperlukan untuk
mempercepat proses resolusi Abses paru.
Pada penderita Abses paru yang tidak berhubungan dengan bronkus maka perlu
dipertimbangkan drainase melalui bronkoskopi.
3. Bedah
Reseksi segmen paru yang nekrosis diperlukan bila:
a.       Respon yang rendah terhadap therapi antibiotika.
b.      Abses yang besar sehingga mengganggu proses ventilasi perfusi
c.       Infeksi paru yang berulang
d.      Adanya gangguan drainase karena obstruksi.
SUMBER : i-putu-juniartha-semara-putra-poltekkes-denpasar-jurusan-keperawatan

LO 4 Infeksi pernapasan pada bronkus:


A. Bronkiolitis
Bronkiolitis adalah infeksi saluran napas kecil atau bronkiolus yang disebabkan oleh virus,
biasanya dialami lebih berat pada bayi dan ditandai dengan obstruksi saluran napas dan
mengi. Penyebab paling sering adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV). Episode mengi dapat
terjadi beberapa bulan setelah serangan bronkiolitis.

Episode pertama serangan, yang biasanya paling berat, terjadi paling sering pada bayi usia
2 sampai 6 bulan. Kejadian bronkiolitis dapat terjadi pada bulan pertama kehidupan dan
episode berulang akan terjadi di tahun kedua kehidupan oleh virus yang sama.

 EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI


Bronkiolitis umumnya disebut sebagai disease of infancy, umumnya mengenai bayi dengan
insidens puncak pada usia 2 sampai 6 bulan; lebih dari 80% kasus terjadi pada tahun
pertama kehidupan.
Di AS kejadian bronkiolitis lebih sering terjadi pada anak laki-laki, pada anak yang tidak
diberi ASI dan tinggal di lingkungan padat penduduk.1,2,3 Risiko lebih tinggi pada anak
dari ibu usia muda atau ibu yang merokok selama kehamilan.2,3
Etiologi utama epidemi bronkiolitis adalah RSV Sekitar 75,000 – 125,000 anak di bawah
1 tahun dirawat di Amerika Serikat akibat infeksi RSV setiap tahun.1,2,3 Infeksi saluran
napas bawah disebabkan oleh RSV pada 22,4 dari 100 anak pada tahun pertama
kehidupan. 1,3 Dari semua infeksi RSV pada anak di bawah 12 bulan, sepertiga kasus
diikuti penyakit saluran napas bawah.3 Meskipun tingkat serangan RSV menurun seiring
dengan bertambahnya usia, frekuensi infeksi saluran napas bawah pada anak terinfeksi
RSV tidak berkurang hingga usia 4 tahun.

 PATOFISIOLOGI
Bronkiolitis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang disebabkan
virus, parainfluenza, dan bakteri. Bronkiolitis akut ditandai obstruksi bronkiolus yang
disebabkan oleh edema, penimbunan lendir, serta debris-debris seluler. Proses patologis
yang terjadi akan mengganggu pertukaran gas normal di dalam paru. Ventilasi yang
makin menurun pada alveolus akan mengakibatkan terjadinya hipoksemia dini.

 DIAGNOSIS
Gejala pada anak dengan bronkiolitis antara lain mengi (yang tidak membaik dengan tiga
dosis bronkodilator kerja cepat), ekspirasi memanjang, hiperinflasi dinding dada,
hipersonor pada perkusi, retraksi dinding dada, crackles atau ronki pada auskultasi, sulit
makan, menyusu atau minum.

Klinisi harus dapat menegakkan diagnosis bronkiolitis dan menilai derajat keparahan
berdasarkan riwayat penyakit serta pemeriksaan klinis; pemeriksaan laboratorium dan
radiologis tidak harus rutin dilakukan. Di samping itu, faktor risiko penyakit lain perlu
diperhatikan, seperti usia kurang dari
12 minggu, riwayat prematuritas, penyakit jantung-paru yang mendasari, serta
imunodefisiensi.

 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding utama bronkiolitis pada anak adalah asma. Kedua penyakit ini sulit
dibedakan pada episode pertama, namun adanya kejadian mengi berulang, tidak adanya
gejala prodromal infeksi virus, dan adanya riwayat keluarga dengan asma dan atopi dapat
membantu menegakkan diagnosis asma.

Beberapa penyakit-penyakit lain harus dibedakan dari bronkiolitis. Kelainan anatomi


seperti cincin vaskuler dapat menyebabkan obstruksi saluran napas dan gangguan
inspirasi ataupun ekspirasi. Benda asing harus dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding. Penyebab mengi lain yang sering pada bayi muda adalah Gastroesophageal
Refux Disease (GERD). Pneumonia bakterialis harus dibedakan dengan bronkiolitis
karena terkait dengan perbedaan tatalaksana, walaupun pada pneumonia jarang sekali
ditemukan mengi.

 TATALAKSANA
Infeksi virus RSV biasanya bersifat self limiting, sehingga pengobatan biasanya hanya
suportif.

Prinsip Pengobatan:
1. Oksigenasi
Pemberian oksigen dilakukan pada semua anak dengan mengi dan distres pernapasan
berat, metode yang direkomendasikan adalah dengan nasal prongs, kateter nasal, atau
kateter nasofaringeal dengan kadar oksigen 30 – 40%. Apabila tidak ada oksigen, anak
harus ditempatkan dalam ruangan dengan kelembapan udara tinggi, sebaiknya dengan
uap dingin (mist tent) untuk mencairkan sekret di tempat peradangan.Terapi oksigen
diteruskan sampai tanda hipoksia hilang. Penggunaan kateter nasal >2 L/menit dengan
maksimal 8-10 L/menit dapat menurunkan kebutuhan rawat di Paediatrics Intensive Care
Unit (PICU).Penggunaan kateter nasal serupa efektifnya dengan nasal CPAP bahkan
mengurangi kebutuhan obat sedasi.

Pemberian oksigen suplemental pada anak dengan bronkiolitis perlu memperhatikan


gejala klinis serta saturasi oksigen anak, karena tujuannya adalah untuk pemenuhan
kebutuhan oksigen anak yang terganggu akibat obstruksi yang mengganggu perfusi
ventilasi paru.5,9 Transient oxygen desaturation pada anak umum terjadi saat anak
tertidur, durasinya <6 detik, sedangkan hipoksia pada kejadian bronkiolitis cenderung
terjadi dalam hitungan jam sampai hari.

2. Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk koreksi asidosis metabolik dan respiratorik yang
mungkin timbul dan mencegah dehidrasi akibat keluarnya cairan melalui mekanisme
penguapan tubuh (evaporasi) karena pola pernapasan cepat dan kesulitan minum. Jika
tidak terjadi dehidrasi, dapat diberikan cairan rumatan, bisa melalui intravena maupun
nasogastrik. Pemberian cairan melalui lambung dapat menyebabkan aspirasi, dapat
memperberat sesak, akibat tekanan diafragma ke paru oleh lambung yang terisi cairan.
Pemberian cairan melalui jalur nasogastik atau intravena perlu pada anak bronkiolitis
yang tidak dapat dihidrasi oral.

3. Bronkodilator dan Kortikosteroid Albuterol dan epinefrin, serta


kortikosteroid sistemik tidak harus diberikan. Beberapa penelitian meta-analisis dan
systematic reviews di Amerika menemukan bahwa bronkodilator dapat meredakan gejala
klinis, namun tidak mempengaruhi penyembuhan penyakit, kebutuhan rawat inap,
ataupun lama perawatan, sehingga dapat disimpulkan tidak ada keuntungannya,
sedangkan efek samping takikardia dan tremor dapat lebih merugikan.
Sebuah penelitian randomized controlled trial di Eropa pada tahun 2009 menunjukkan
bahwa nebulisasi epinefrin dan deksametason oral pada anak dengan bronkiolitis dapat
mengurangi kebutuhan rawat inap, lama perawatan di rumah sakit, dan durasi penyakit.

Nebulisasi hypertonic saline dapat diberikan pada anak yang dirawat. Nebulisasi ini
bermanfaat meningkatkan kerja mukosilia saluran napas untuk membersihkan lendir dan
debris-debris seluler yang terdapat pada saluran pernapasan.

4. Antivirus
Ribavirin adalah obat antivirus bersifat virus statik. Penggunaannya masih kontroversial
baik efektivitas maupun keamanannya. The American Academy of Pediatrics
merekomendasikan penggunaan ribavirin pada keadaan yang diperkirakan akan menjadi
lebih berat seperti pada penderita bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis kistik,
penyakit paru kronik, imunodefisiensi, dan pada bayi-bayi prematur. Ribavirin dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penderita bronkiolitis dengan penyakit
jantung jika diberikan sejak awal. Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer
aerosol dengan dosis 20 mg/mL diberikan dalam 12-18 jam per hari selama 3- 7 hari.

5. Antibiotik
Anti-bakterial tidak perlu karena sebagian besar kasus disebabkan oleh virus, kecuali bila
dicurigai ada infeksi tambahan. Terapi antibiotik sering digunakan berlebihan karena
khawatir terhadap infeksi bakteri yang tidak terdeteksi, padahal hal ini justru akan
meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut;
sehingga penggunaannya diusahakan hanya berdasarkan indikasi. Pemberian antibiotik
dapat dipertimbangkan untuk anak dengan bronkiolitis yang membutuhkan intubasi dan
ventilasi mekanik untuk mencegah gagal napas. Antibiotik yang dipakai biasanya yang
berspektrum luas, namun untuk Mycoplasma pneumoniae diatasi dengan eritromisin.

6. Fisioterapi
Fisioterapi dada pada anak bronkiolitis dengan teknik vibrasi ataupun perkusi atau teknik
pernapasan pasif tidak lebih baik selain pengurangan durasi pemberian terapi oksigen.
Penghisapan sekret daerah nasofaring untuk meredakan sementara kongesti nasal atau
obstruksi saluran napas atas, namun sebuah studi retrospektif menyatakan deep
suctioning berhubungan dengan durasi rawat inap lebih lama pada anak usia 2 – 12 bulan.

 PENCEGAHAN
Salah satu bentuk pencegahan terhadap RSV adalah higiene perorangan meliputi
desinfeksi tangan menggunakan alcohol based rubs atau dengan air dan sabun sebelum
dan sesudah kontak langsung dengan pasien atau objek tertentu yang berdekatan dengan
pasien. Perlindungan terhadap paparan asap rokok serta polusi udara serta pemberian ASI
eksklusif selama 6 bulan mencegah kejadian bronkiolitis. Perlu dilakukan edukasi
anggota keluarga mengenai diagnosis, tatalaksana, dan pencegahan bronkiolitis sesuai
evidence-base.

 PROGNOSIS
Beberapa studi telah mencatat peningkatan risiko asma bronkiale pada anak-anak yang
awalnya menderita bronkiolitis, meskipun tidak jelas apakah karena bronkiolitis atau
faktor risiko lain seperti kecenderungan genetik untuk asma dan faktor lingkungan seperti
asap rokok. Pada sebagian besar kasus, mengi biasanya disebabkan oleh virus. Riwayat
episode mengi berulang dan keluarga atau riwayat penyakit asma, riwayat alergi, atau
eksim membantu mendukung diagnosis asma. Beberapa bayi akan memiliki episode
berulang mengi selama masa kanak-kanak. Tatalaksana episode mengi yang dipicu virus
sama dengan asma bronkial.

SUMBER : Jurnal Irwan Junawanto, Ivon Lestari Goutama, Sylvani Alumni


Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Indonesia

B. Bronchitis akut
 Definisi
Bronkitis akut adalah infeksi saluran pernapasan bawah yang melibatkan saluran
napas besar (bronkus) tanpa bukti pneumonia yang terjadi tanpa adanya penyakit
paru obstruktif kronik.
Bronkitis akut adalah diagnosis klinis yang ditandai oleh batuk akut, dengan atau
tanpa produksi sputum, dan tanda-tanda infeksi saluran pernapasan bawah tanpa
adanya penyakit paru-paru kronis, seperti penyakit paru obstruktif kronik, atau
penyebab yang dapat diidentifikasi, seperti pneumonia atau sinusitis

 Epidemiologi
Batuk adalah alasan yang paling umum untuk kunjungan
 Sekitar 5% orang dewasa melaporkan episode bronkitis akut setiap tahun,
dan hingga 90% dari mereka mencari konsultasi medis.
 Virus sebagai menyebabkan 85% hingga 95% kasus bronkitis akut pada
orang dewasa.
 Bakteri terisolasi biasanya commensals dari oropharynx.
 Bronkitis akut adalah alasan paling umum kelima mengapa orang dewasa
berkunjung kedokter keluarga
 Rata-rata, setiap serangan menghasilkan 2 hingga 3 hari libur kerja.

 Faktor-faktor risiko
faktor risiko untuk bronkitis akut, yaitu :
 Perokok : Jika Anda merokok atau hidup dengan perokok, anda memiliki
risiko lebih tinggi terkena bronkitis akut dan bronkitis kronis.
 Sistem kekebalan tubuh yang melemah:
 Orang lanjut usia, bayi berumur di bawah 12 bulan, dan anak-anak sangat
mudah terkena infeksi saluran pernapasan dikarenakan lemahnya sistem
kekebalan tubuh.
 Terpapar oleh bahan kimia pada saat bekerja:
 Risiko terkena bronkitis meningkat apabila Anda bekerja di area yang
tercemar seperti pabrik biji-bijian, pabrik tekstil, atau terpapar oleh uap zat
kimia.
 Refluks pada perut:
 Rasa mulas yang parah pada perut dan mengganggu tenggorokan Anda
akan membuat Anda mudah terkena bronkitis.
 Usia: Orang yang berusia 50 tahun lebih

 Etiologi
Bronkitis akut umumnya disebabkan oleh virus.
brokitis akut karena bakteri biasanya dikaitkan dengan Mycoplasma
pneumoniae, Bordetella pertussis, atau Corynebacterium diphtheriae.

Bronkitis akut paling sering disebabkan oleh


• infeksi virus.
• Virus yang paling sering diidentifikasi adalah rhinovirus, enterovirus,
influenza A dan B, parainfluenza, coronavirus, metapneumovirus manusia, dan
virus syncytial pernapasan.
• Bakteri hanya terdeteksi pada 1% hingga 10% dari kasus bronkitis akut.
• Bakteri atypi, (seperti Mycoplasma pneumoniae, Chlamydophila
pneumoniae, dan Bordetella pertussis) adalah penyebab jarang pada bronkitis akut

 Diagnosis
Anamnesis ( Riwayat penyakit )
• Batuk adalah gejala utama dan bersifat akut
diagnosis yang paling mendekati dengan bronkitis akut adalah infeksi saluran
pernapasan atas (flu) dan pneumonia.
• Bronkitis akut dan flu biasa adalah penyakit self-limited yang tidak
memerlukan pengobatan antibiotik
• Pneumonia, terapi standarnya adalah antibiotik
• Gejala bronkitis akut yang lain
• produksi sputum,
• dyspnea,
• hidung tersumbat,
• sakit kepala, dan
• demam. ( demm > 37,8 C pertimbangkan influenza atau pneumonia.
• nyeri dada di dinding atau dada saat batuk
• Sputum purulen ( tidak berkolerasi dengan infeksi bakteri

 Pemeriksaan fisik
• Pasien dengan bronkitis akut :
• Tampak sakit ringan
• Demam pada sepertiga pasien.
• Auskultasi paru:
• Biasanya suara napas normal
• kadang mengi, serta ronki yang biasanya membaik dengan batuk.

 Diferensial diagnosis
1. Pneumonia
Penting untuk menyingkirkan pneumonia.
• Biasanya dgn demam tinggi;
• Tampak sakit sedang sampai berat;
• Hipoksia;
• Tanda-tanda konsolidasi paru-paru: ,
• bunyi napas bronkial,
• ronki, egofoni, dan
• peningkatan fremitus taktil

• Pneumonia tidak mungkin pada orang dewasa lanjut usia yang memiliki
tanda-tanda vital yang normal dan temuan pemeriksaan paru-paru normal.

 Pemeriksaan laboratorium
• Pemeriksaan laboratorium biasanya tidak diindikasikan dalam evaluasi
bronkitis akut.
leukositosis ditemukan pada sekitar 20% pasien;
• leukositosis lebih menunjukan adanya infeksi bakteri dibandingkan
dengan bronkitis.
• Pemeriksaan identifikasi untuk influenza dan pertusis ( kecurigaan tinggi)
• Biomarker :
• Pemeriksaan C-reaktif protein :
• untuk memandu penggunaan antibiotik pada pasien dengan infeksi saluran
pernafasan tidak dapat disimpulkan, meskipun peningkatan kadar protein C-
reaktif dikaitkan dengan peningkatan kemungkinan pneumonia
• pneumonia dapat dikesampingkan pada pasien dengan tingkat protein C-
reaktif kurang dari 50 mcg per mL dan tidak ada dyspnea atau demam
• Pemeriksaan prokalsitonin:
• berguna dalam diferensiasi pneumonia dan bronkitis akut.

 PEMERIKSAAN RADIOLOGI
 Foto torak
Terutama digunakan untuk menyingkirkan pneumonia.

• Pemeriksaan radiologi tidak diperlukan pada pasien dengan gejala


bronkitis akut yang memiliki tanda-tanda vital normal dan pemeriksaan paru-paru
normal.
• Pengecualian untuk aturan ini adalah pasien yang lebih tua dari 75 tahun,
yang mungkin hadir dengan tanda-tanda yang lebih halus dari pneumonia dan
cenderung kurang demam atau takikardi.

 Penatalaksanaan bronchitis akut


 Penatalakasanaan suportif dan simtomatis adalah tatalaksana prioritas
untuk bronkitis akut.
 Peran antibiotik terbatas.
 Penatalaksanaan antibiotik diindikasikan hanya:
jika pasien dalam kondisi umum yang buruk:
malnutrisi, campak, rakhitis, anemia berat, penyakit jantung, pasien lanjut
usia, dll.
 jika pasien mengalami dyspnoea, demam > 38,5 ° C dan sputum purulen:
kemungkinan infeksi sekunder dengan Haemophilus influenzae atau
dengan pneumokokus.

 Prognosis
Biasanya prognosis bronkitis akut baik jika ditatlaksanan dengan baik.

 Komplikasi
• Bila infeksi tidak teratasi dapat berlanjut menjadi pneumonia
• Selain itu dapat terjasi
• Bronkitis kronis
• Bronkiektasis

SUMBER : http://paru.fk.unand.ac.id/

LO 5 Infeksi pernapasan pada pleura

A.Efusi pleura

1. Definisi Efusi Pleura

Efusi pleura berasal dari dua kata, yaitu efusion yang berarti ekstravasasi cairan

ke dalam jaringan atau rongga tubuh, sedangkan pleura yang berarti membran tipis yang

terdiri dari dua lapisan yaitu pleura viseralis dan pleura parietalis. Sehingga dapat

disimpulkan efusi pleura merupakan ekstravasasi cairan yang terjadi diantara lapisan

viseralis dan parientalis. Efusi pleura dapat berupa cairan jernih, transudat, eksudat,

darah, dan pus (Diane, 2000).

Efusi Pleura adalah pengumpulan cairan dalam rongga pleura yang terletak

diantara permukaan viseral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi

biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain (Suzzane, 2002).


Rongga pleura dalam keadaan normal berisi sekitar 10-20 ml cairan yang

berfungsi sebagai pelumas agar paru-paru dapat bergerak dengan lancar saat bernapas.

Cairan yang melebihi normal akan menimbulkan gangguan jika tidak bisa diserap oleh

pembuluh darah dan pembuluh limfe (Syahruddin et al, 2009).

2. Klasifikasi Efusi pleura

Menurut (Mansjoer, 2001) secara umum diklasifikasikan sebagai transudat dan

eksudat, tergantung dari mekanisme terbentuknya serta profil kimia cairan efusi tersebut.

a. Efusi pleura Transudat

Pada efusi pleura jenis transudat ini keseimbangan kekuatan menyebabkan

pengeluaran cairan dari pembuluh darah. Mekanisme terbentuknya transudat karena

peningkatan tekanan hidrostatik (CHF), penurunan onkotik (hipoalbumin) dan tekanan

negatif intra pleura yang meningkat. Biasa terjadi pada penderita gagal jantung, sindroma

nefrotik,hipoalbuminemia, dan sirosis hepatis. Ciri-ciri cairan transudat serosa jernih, bj

biasanya rendah (dibawah1.012),

terdapat limposit dan mesotel tetapi tidak ada netrofil, protein <3%.

b. Efusi pleura Eksudat

Eksudat ini terbentuk karena penyakit dari pleura itu sendiri yang berkaitan

dengan peningkatan permaebilitas kapiler atau drainase limfatik yang kurang. Biasa

terjadi pada penderita pneumonia bakterialis, karsinoma, infark paru, dan pleuritis. Ciri-

ciri eksudat berat jenis>1.015, kadar protein>3%, rasio protein pleura berbanding LDH

serum 0.6, warna keruh.

3. Penatalaksanaan

Menurut Mansjoer (2001) penatalaksanaan pada efusi pleura ini adalah bertujuan
untuk menemukan penyebab dasar, untuk mencegah penumpukan kembali cairan dan

untuk menghilangkan ketidaknyamanan serta dipsneu (sesak napas).

a. Thorakosentasis adalah drainase cairan jika efusi pleura menimbulkan gejala subyektif

seperti nyeri, dispnea, dan lain-lain. Cairan dikeluarkan segera untuk mencegah

meningkatnya edema paru dan untuk keperluan analisis.

b. Pemberian antibiotik dengan pengawasan dokter.

c. Pleurodesis adalah tindakan untuk mengurangi penumpukan cairan pleura dirongga

pleura dengan menyatukan lapisan visceral dan lapisan pariental pleura untuk mencegah

pembentukan efusi berlebihan dan mencegah pneumotoraks berulang.

d. Tirah baring adalah pasien berbaring dalam jangka waktu yang lama (bed rest)

e. Biopsi dan aspirasi pleura untuk mengetahui adanya keganasan

4. Pemeriksaan Penunjang

Pada kasus dengan jumlah cairan yang sedikit USG toraks sangat membantu

untuk memastikan cairan dan sekaligus sebagai penanda lokasi. Apabila tidak terlihat

pada foto toraks dapat dideteksi dengan CT-scan toraks. Langkah pertama dalam analisa

cairan pleura adalah pemeriksaan laboratorium klinik untuk membedakan antara

transudat atau eksudat kemudian dapat dilanjutkan pada pemeriksaan kultur mikrobiologi.

Tetapi pada stadium lanjut yang perlu dilakukan adalah biopsi dan aspirasi pleura untuk

pemeriksaan patologi anatomi. Diagnosa efusi pleura ganas adalah dengan penemuan sel

ganas pada cairan pleura atau jaringan pleura (Syahruddin et al, 2009).

Evaluasi cairan pleura ganas dapat dilakukan dengan pemeriksaan patologi anatomi

dengan metode pemeriksaan sitologi dan pemeriksaan histoblok sel. Pemeriksaan sitologi

adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mencari dan menilai setiap struktur sel yang
ditemukan untuk deteksi kanker serta kelainan genetik dan hormonal. Dilanjutkan dengan

pemeriksaan histologi bloksel dimana pada tehnik pemeriksaan ini menggunakan bahan

sisa dari pemeriksaan sitologi (Boon &Drijver, 2006).

SUMBER : http://repository.unimus.ac.id

Anda mungkin juga menyukai