Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH INTERMEDIATE

TRAINING (LK II)

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI) TINGKAT NASIONAL

KODE : I

“Meminimalisir Konflik SARA Dengan Belajar Di Desa Mbawa, Kecamatan


Donggo”

OLEH:

FIRDAN

DELEGASI HIMPUNAN

MAHASISWA ISLAM CABANG

BIMA

KOMISARIAT STKIP BIMA


KATA PENGANTAR

Bismillahirohmanirrohim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Puji syukur kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan rahmat hidayah
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan tepat.sholawat serta salam
tetap tercurahkan kepada junjung alam Nabi besar Muhammad SAW yang telah
menuntun kita dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang seperti yang
kita imani sampai detik hari ini, semoga kita di berikan syafaatnya pada yaumul
akhir nanti.

Terima kasih saya khaturkan kepada seluruh motivator dan inspirator


khususnya kedua orang tua, kanda serta Yunda yang telah mendorong dan
Membimbing dalam menyusun makalah” ’’Meminimalisir Konflik Sara Dengan
Belajar Di Desa Mbawa Kec.Donggo”

Makalah ini membahas tentang isu SARA yang dimana bertujuan untuk
meminimalisir konflik yang mungkin hadir dari SARA tersebut, katakanlah
seperti disintegrasi, konflik antara suku, ras dan agama.

Pembuatan makalah yang berjudul ’’Meminimalisir Konflik Sara Denagn


Belajar Di Desa Mbawa Kec.Donggo’’. Merupakan sebagai persyaratan awal
untuk bisa mengikuti Intermedite Training (LK II) Himpunan Mahasiswa Islam
Tingkat Nasional yang diadakan oleh HMI Cabang Lombok Tengah.

Akhirnya penulis ucapkan Alhamdulillahi Rabbil „alamin. semoga


makalah ini jadi bahan pertimbangan.

Bima, 07 Rabi`ul awal 1441 H


04 November 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ......................................................................................i


Kata Pengantar ........................................................................................ii
Daftar Isi ...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...............................................................................1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................2
C. Tujuan .............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Sara ..............................................................................3
B. Topografi Desa Mbawa .................................................................5
C. Meminimalisir konflik sara terhadap penanaman nilai-nilai pancasila
dengan belajar di desa mbawa.........................................................9
BAB III PENUTUP
A. Kesipulan .......................................................................................10
B. Saran................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................11
Curiculum Vitae .......................................................................................12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah suatu negara yang sangat kaya dan beraneka
ragam. Dibuktikan dengan banyaknya potensi yang ada di dalamnya
seperti SDM dan SDA yang berlimpah ditambah lagi dengan adanya
budaya, bahasa, suku, agama dan kepercayaan. Itu menjadikan indonesia
menjadi suatu wilayah yang sangat khas dibandingkan negara-negara lain
karena keberagamannya.
Berbicara keberagaman sama halnya kita membicarakan tentang
potensi-potensi dalam suatu daerah yang pada dasarnya sangat urgen.
Dengan keberagaman yang dimiliki, indonesia sebagai suatu negara dirasa
sangatlah kuat. Kenapa.? Sebab indonesia mampu bertahan dengan
keadaannya yang beragam. Beda kepala beda pemikiran, dan ketika
presepsi berbeda maka akan timbul kecenderungan menghakimi. Seperti
yang dikatakan oleh ibnu al ghazali bahwa “pada dasarnya kita tidak
dikendalikan oleh apa yang kita anggap benar dan salah, tetapi kita
dikendalikan oleh apa yang kita sukai dan apa yang tidak kita sukai”.
Sehingga yang pada awalnya suatu keberagaman dirasa sangat
menguntungkan malah menjadi boomerang terhadap suatu wilayah yang
bisa menimbulkan kecenderungan-kecenderungan yang buruk, katakanlah
konflik yang disebabkan oleh Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan atau
yang sering kita kenal dengan isu SARA.
Berangkat dari masalah yang mungkin saja bisa timbul dari
konflik-konflik keberagaman, seperti kebebasan beragama, memiliki hak
untuk rasa aman, hak untuk berinteraksi sosial, dan hak-hak lainnya. Maka
lahirlah pluralis dalam segi agama dan sosial.
Berangkat dari inilah kemudian muncullah suatu kerangka yang
menuntut adanya interaksi antara kelompok yang berbeda dengan landasan
saling menghormati dan toleransi antara satu dengan yang lain.

1
Ringkasnya, seluruh komponen plural yang terlibat didalamnya memiliki
kedudukan yang sama. Sama dalam artian sama-sama berhak untuk di
hormati, sama- sama untuk di hargai, sama- sama untuk diayomi oleh
negara. Sampai disini kita dapat melihat dengan jelas. Keberadaan posisi
pluralisme selanjtnya sejatinya adalah dalam ranah sosial bukanyang lain.
Dalam menyikapi keberagaman tersebut bisa kita meminimalisir
sedemikian rupa agar konflik-konflik tersebut bisa di redam. Begitu
banyak wilayah-wilayah yag ada di indonesia yang mencerminkan budaya
dan nilai pluralis tinggi dan patut untuk menjadi teladan terhadap wilayah-
wilayah indonesia secara keseluruhan. Salah satunya adalah desa Mbawa,
Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Pluralisme.?
2. Apa itu SARA.?
3. Seberapa besar ancaman SARA terhadap keadaan suatu bangsa.?
4. Apakah Desa Mbawa merupakan solusi yang tepat.?

C. Tujuan
Berangkat dari uraian tersebut, bahwasannya masyarakat sudah
seharusnya membekali diri dengan pahaman yang lebih maju dan
mendalam dalam menyikapi isu SARA. Keberadaan pluralis dan suatu
wilayah akan tentu dijumpai, sehingga masyarakat harus mampu
menyesuaikan diri dengan keadaan sosial kemasyarakatan. Maksutnya
apa.? Agar konflik-konflik SARA tidak menjadi senjata yang akan
membuat suatu negara hancur. Dengan cara apa.? Menanamkan pahaman
pancasila, sikap toleransi yang tinggi. Katakanlah seperti yang dilakukan
oleh masyarakat di desa mbawa, kecamatan donggo, kabupaten bima,
provinsi nusa tenggara barat.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian SARA
Keberadaan SARA dalam suatu negara seperti kotak pandora, yang
manakala bisa menguntungkan suatu negara ketika dimanfaatkan dengan
baik dan bisa juga merugikan suatu negara ketika tidak dimanfaatkan
dengan baik. Namun pernahkan terlintas dalam benak pikiran pembaca
bahwa SARA itu apa sih.?
SARA adalah akronim dari Suku Ras Agama dan Antar golongan.
Isu SARA adalah pandangan ataupun tindakan yang didasari dengan
pikiran sentimen mengenai identitas diri yang menyangkut keturunan,
agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Yang digolongkan
sebagai sebuah tindakan SARA adalah segala macam bentuk tindakan baik
itu verbal maupun nonverbal yang didasarkan pada pandangan sentimen
tentang identitas diri atau golongan.
SARA dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni:
1. Individual. Di mana tindakan SARA dilakukan oleh individu atau
golongan dengan tindakan yang bersifat menyerang, melecehkan,
mendiskriminasi, atau menghina golongan lainnya.
2. Institusional. Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan oleh
institusi atau pemerintah melalui aturan atau kebijakan yang bersifat
diskriminatif bagi suatu golongan.
3. Kultural. SARA yang dikatagorikan di sini adalah tindakan
penyebaran tradisi atau ide-ide yang bersifat diskriminatif antar
golongan.
Begitu urgennya isu SARA ini dalam mengawal keberlangsungan
suatu bangsa. Dengan kecenderunga-kecenderungan yang mungkin saja
bisa timbul, misalnya disintegrasi suatu bangsa, konflik-konflik sosial-
politik. Belum lagi indon esia sedang dihadapkan tahu-tahun politik,
seperti baru-baru kemarin menyelenggarakan pesta demokrasi legislatif

3
dan eksekutif, dan di tahun 2020 disambut dengan pentas pemilihan kepala
daerah kabupaten. Terkadang SARA menjadi instrumen yang serinbg
digunakan dalam melancarkan strategi politik.
Ketika Isu SARA dibawah ke ranah sosial, akan memberikan
dampak buruk jika digunakan untuk asas kepentingan. Katakanlah seperti
kasus Ahok, dan kasus-kasus yang tidak nampak seperti gerakan 212, dan
moment pemilihn legislatif. Sehingga SARA menjadi alat yang
menguntungkan untuk para kaum-kaum yang berkepentinga. Faktor apa
saja yang menyebabkan Keberadaan SARA ini sebagai suatu Ancaman.?
Dalam mengukur seberapa besar ancaman yang bisa timbul karena
unsur SARA ini, maka kita harus tahu betul faktor apa saja yang
menyebabkan isu SARA ini sangat sensitif.
Biasanya konflik SARA timbul akibat adanya stigma yang
mengatakan bahwa keberadaan suatu masyarakat adat sangat penting
dibandikan dengan masyarakat lainnya. Dilanjutkan dengan hukum rimba,
yang dimana asas mayoritas lebih kuat dibandingkan suara minoritas.
Sehingga minoritas tertindas dan terkucilkan. Terlebih lagi sentimen-
sentimen tentang agama menjadi suatu pemicu lahirnya konflik. Dengan
kata lain faktor-faktor yang mempengaruhi konflik atas isu SARA
yaitu,ego kultural, minimnya paham pluralis, kecenderungan/fanatisme
agama, jumlah dominasi suatu pahaman, dan kurangnya penanaman nilai
pancasila. Dan ketika itu tidak diatasi secara maksimal, maka akan
menyebabkan dampak yang buruk terhadap keberlangsungan suatu bangsa.
Dampak dari tindakan SARA adalah konflik antar golongan yang
dapat menimbulkan kebencian dan berujung pada perpecahan. Contohnya
pada kasus konflik Tragedi Sampit yang terjadi pada 2001 silam. Konflik
ini terjadi antara Suku Dayak dan Suku Madura di mana SARA adalah
biang dari masalahnya. Warga Madura dinilai gagal dalam beradaptasi
dengan Warga Dayak kemudian muncullah diskriminasi antar golongan
hingga pecah konflik dan akhirnya memakan korban hingga 500 orang.
Contoh lain dari kasus SARA adalah Kerusuhan Mei 1998.
Kerusuhan ini merupakan kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang
terjadi di Indonesia pada 13 Mei-15 Mei 1998, khususnya di Ibu Kota
Jakarta dan juga terjadi di beberapa daerah lain di Indonesia. Banyak
sasaran perusakan adalah milik etnis Tionghoa. Lebih jauh, juga
ditemukan sejumlah kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan
Tionghoa.
Kasus SARA yang cukup menggemparkan publik pada kurun
waktu beberapa tahun ini adalah dikuaknya kasus sindikat penebar ujaran
kebencian bernama Saracen. Polisi membongkar sindikat penebar ujaran
kebencian bernama Saracen ini pada pertengahan 2017 lalu. Dipimpin oleh
Jasriadi, jaringan ini ternyata telah memproduksi dan menyebarkan konten
kebencian bernada SARA sejak November 2015.
Polisi mengungkapkan, Saracen sebagai salah satu jaringan
penebar kebencian melalui media sosial (medsos). Di dunia maya, peran
para sindikat penebar kebencian ini saling berkaitan. Grup-grup medsos
diibaratkan pasar. Para pembuat meme, narasi dan gambar di-posting di
grup. Ada 800 ribu akun medsos yang berkaitan dengan grup Saracen.
Akun-akun ini bersama-sama menyebar konten kebencian dan berita
hoaks, walau pemilik akun tak saling mengenal. Bahkan, konten hinaan
terhadap Presiden Jokowi yang diunggah Muhammad Farhan Balatif juga
tersebar di "pasar" Saracen.

B. Kemajemukan Masyarakat Desa Mbawa


Desa Mbawa adalah salah satu desa yang terletak di
Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara
Barat, Indonesia. Desa ini memiliki kodepos 84162. Dengan topografi
lingkungan yang memungkinkan keasrian SDA nya masih terjaga dengan
baik, dibuktikannya dengan tumbuh lebatnya pepohonan dan terjaganya
aliran-aliran air yang ada di sana.
Selain pemandangan hijau dan suasana alam yang tenang, setiap
pengunjung di Desa Mbawa akan disuguhkan pemandangan teluk Bima
yang begitu indah dari jauh. Untuk berkunjung di desa ini, pengunjung
harus menggunakan mantel atau jaket karena udaranya sangat dingin,

5
karena letaknya diperkirakan 1.500 Mdpl. Setiap pojok jalan warga
setempat sangat ramah menyapa siapa saja yang hadir. (US/ID)
Selain itu juga, Keunikan warga Mbawa tercermin pada ketahanan
budaya, pluralitas agama dan kemajemukan praktik ritualnya. Kendati
berbeda agama, namun etos toleran melekat pada kehidupan masyarakat
yang mendiami dataran tinggi bagian barat Kabupaten Bima itu.
Mbawa memantulkan pesan-pesan moral di tengah cuaca
intoleransi yang akut beberapa tahun terakhir ini, bahwa saling menolong
dan menghargai antar sesama manusia, meskipun berbeda agama sungguh
indah. Di desa ini terdapat penganut Islam, Kristen Katolik, Kristen
Protestan, termasuk kepercayaan lokal (parafu). Keberagaman ini tak
menghalangi warga Mbawa untuk saling menebar kasih antar sesama.
Keramahan warga yang identik dengan pakaian tradisional
berwarna hitam itu sangat memperkaya keistimewaan Mbawa. Para
pengunjung akan merasakan atmosfir yang khas di kampung yang berhawa
sejuk ini.
Ketika kita memijak tanah Mbawa, aroma kontemplasi khas
pedesaan sangat terasa. Salah satu kearifan lokal masyarakat Mbawa
dalam menjaga toleransi antar umat beragama, yakni ritual Raju, sebuah
doa lintas iman saat musim tanam yang diikuti oleh kalangan penganut
Islam, Kristen, dan parafu. Disini terjadi persilangan spiritual dalam
bentuk sintesis mistik (mystic synthesis), sehingga melahirkan inklusivitas
beragama.
Dalam disertasinya di Universitas Udayana – Denpasar
berjudul Praktik Budaya Raju dalam Pluralitas Dou Mbawa Di Bima,
Nusa Tenggara Barat (2016), Abdul Wahid menulis, praktik budaya Raju
adalah ritual utama dan besar bagi Dou Mbawa (orang Mbawa). Mereka
yang berbeda agama melaksanakan praktik itu secara bersama-sama dan
periodik (setiap menjelang musim tanam), tanpa dilandasi dan dikendalai
oleh perbedaan ajaran agama yang mereka anut. Hal ini dimungkinkan
karena Dou Mbawa pendukung praktik budaya Raju yang berbeda agama
itu diikat oleh prinsip Mori Sama (hidup bersama) dan satu spiritualitas
lokal yang masih hidup bersumber dari kepercayaan Parafu.
Dalam catatan Abdul Wahid (2016), praktik budaya Raju
memainkan peranan penting dalam dinamika masyarakat. Prosesi ini
berlangsung selama 3 sampai 9 hari yang dimulai dari persiapan
(pengkondisian) sampai kepada puncak ritual, mengambil tempat di
ketinggian di mana Uma Ncuhi (rumah adat) terletak. Dalam
prosesinya, Sando (tetua adat) memimpin dengan pembacaan mantra-
mantra yang diiringi tarian-tarian khas seperti Mpisi dan Kalero,
sesajian, Kasaro (doa-doa), pujian kesyukuran, dan perbincangan-
perbincangan.
Praktik dan kreasi budaya ini bersumber dari kepercayaan leluhur,
bergulir dan membentuk jalinan dalam perpaduan unik tradisi dan agama.
Dalam jalinan itu terkandung sistem kepercayaan, pandangan dunia, visi
sosial atau cita-cita hidup, serta gambaran mengenai kesejahteraan dan
kedamaian, tulis Abdul Wahid (Direktur Alam Tara Institute) yang juga
dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram.
Ketika ada perayaan hari-hari besar keagamaan yang dilaksanakan
di tempat ibadah masing-masing, kohesi masyarakat Mbawa terikat intim
dalam peleburan suka cita bersama. Mereka yang berlatar belakang beda
agama saling mengapresiasi, dan saling mengunjungi. Saat hari raya Idul
Fitri maupun hari raya Natal, masyarakat Mbawa saling memahami, dan
mengundang satu sama lain.
Potret toleransi pun terlihat pada unit keluarga, misalnya dalam
satu rumah terdiri dari beragam keyakinan, namun tetap harmonis dan
rukun, apalagi memang mereka serumpun, satu darah. Watak pluralitas
masyarakat Mbawa didorong oleh kesadaran yang lebih membatinkan
ruang titik temu (Kalimatun Sawa’) daripada terjebak dalam rasisme
teologis.
Kesadaran titik temu menghadir dalam bentuk percakapan seputar
cinta kasih tanpa harus memaksakan keseragaman. Bahkan ada beberapa
orang Katolik di Mbawa, memakai nama bernuansa islami, walaupun

7
katakanlah sudah dibaptis. Nama-nama yang berciri Islam seperti Ibrahim,
Muhammad, Ahmad, Ismail terdengar disana.
Dalam penelitian bertajuk Kearifan Lokal Masyarakat Desa
Mbawa Toleransi Beragama dalam Mewujudkan Toleransi Beragama,
yang dimuat di Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan (2016), I Made Purna
mencatat nama-nama anggota masyarakat Mbawa yang menggunakan dua
agama seperti nama Yohanes Ibrahim, Anderias Ahmad, Bernadus Abu
Bakar Wrg Prote, Petrus Herman Fabianus Tabi, Ignatius Ismail, Matinus
Tamrin, Markus Jafar dan lain-lain. Untuk kaum perempuan akan
memakai nama seperti Kristin Siti Hawa, Marta Maemunah, Marta
Hadijah, Anastasia Nuraini dan lain-lain. Pada umumnya nama-nama
tersebut digunakan oleh pemeluk agama Khatolik dan Protestan sebagai
bentuk pengejawantahan terhadap sikap toleransi.
Lebih daripada itu, ikatan historis-emosional Dou Mbawa yang
berlandaskan prinsip – seperti disebut Abdul Wahid sebagai Mori
Sama (hidup bersama) bukan hanya dimanifestasikan dalam pesta Raju,
tapi juga mewujud dalam tradisi Mbolo Weki (rapat bersama) untuk
mendukung suksesnya acara Rawi Rasa (hajatan). Ketika menjelang acara
sunatan, pernikahan, syukuran panen, kenduri, dan lain-lain, kerukunan
antar umat beragama bersahutan dengan jiwa gotong-royong dan
pengarusutamaan etika komunal untuk saling membantu, tanpa sekat-sekat
agama.
Karakter toleran warga Mbawa pun diaksentuasi saat pembangunan
sarana ibadah seperti masjid dan gereja. Artinya, warga antar umat
beragama saling bekerjasama dan berkolaborasi dalam nafas kebajikan
universal. Kearifan lokal yang diprasastikan oleh warga Mbawa membuat
geliat kehidupan masyarakat berlangsung dinamis dan cinta damai.
Mbawa memang hanyalah sebuah desa kecil, namun mata air
kearifannya dalam mengelola keberagaman dapat dialirkan ke titik-titik
nusantara yang masih dihadapkan dengan gelombang intoleransi. Mbawa
adalah sumber inspirasi dalam menjaga kerukunan lintas-batas hingga
mengikat tali-temali kebangsaan dalam koridor Bhineka Tunggal Ika.

8
C. Meminimalisir Konflik SARA Terhadap Penanaman Nilai-Nilai
Pancasila Dengan Belajar Di Desa Mbawa
Berangkat dari uraian di atas, ada beberapa tawaran yang berusaha
penulis tawarkan dalam mengatasi konflik SARA, yaitu penanaman
kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Karena lahirnya suatu konflik itu disebabkan karena pemahaman
masyarakat terhadap nilai-nilai dalam bermasyarakat itu belum sampai.
Itulah yang harus dibenahi oleh stateholdere dalam mengatasi
permasalahan bangsa sekarang. Memang betul penanaman kembali nilai-
nilai pancasila sudah digalangkan, yaitu pada masa kepemimpinan pak
jokowidodo selaku presiden periode 2014-2019. Namun program tersebut
tidak berjalan secara maksimal dan cenderung masif dan stagna. Sebab
hanya daerah-daerah yang berpusat di ibu kota yang memperoleh program
tersebut.
Dalam prakternya juga tidak maksimal, seakan-akan nilai-nilai
dalam pancasila hanya bersifat seremonial dan tanpa makna. Dibuktikan
banyaknya para kader partai yang menyeruakan saya pancasilais, malah
cenderung menjadi pelaku tindak kriminal dan korupsi. Katakanlah kader
partai PPP pak Rommy, dan kemenpora imam nahrowi yang menjadi pusat
perhatian media hari ini.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Indonesia adalah satu kesatuan wilayah paada suatu negara dengan
keberagaman yang dimilikinya baik dari suku ras agama dan budaya serta
antara golongan berusaha menawarkan konsep yang dikenal sebagai
bhineka tunggal ika. Dilain sisi keberagaman memiliki dampak negatif
pada suatu negara atau wilayah. Kata kanlah seperti konflik horizontal dan
vertikal merupaka buah dari keragaman tersebut.
Di era sekarang banyak para pelaku dalam aksinya melibatkan
SARA sebagai salah satu yang digunakan dalam memecahkan suatu
bangsa. Seperti konflik Wamena, Papua, Ambon, Aceh dan lai-lain.
Sederetan kasus tersebut wajib menjadi bahan pembelajaran bagi kita
bahwa keberadaan SARA sangat sensitif ketika disentuh.
Berkaca dari isu SARA tersebut, kita harus jeli dalam
meminimalisir konflik akibatnya. Dengan kata lain, lahirnya konflik
SARA itu akibat ketidak sampaian atau ketidak sepahaman presfektif
masyarakat dalam berkehidupan bermasyarakat dan bernegara. Utnuk bisa
memninimalisir konflik SARA, maka sudah seharusnya penanaman 4 Pilar
Kebangsaan terlebih khususnya penanaman ideologi negara (Pancasila)
wajib dilakukan. Dengan dilakukannya gerakan-gerakan semacam itu,
yakin dan percaya SARA bukan lagi menjadi bahan untuk dijadikan
sumber konflik, tetapi menjadi bahan persatuan dan kesatuan bangsa.

B. Saran
Adapun saran yang penulis bisa tawarkan adalah perlu adanya
gerakan-gerakan nyata dalam menanamkan ideologi bangsa ini. Mulai dari
penanaman kurikulum wajib yang memuat tentang penanaman kembali
ideologi pancasila. Gerakan-gerakan indroktinisasi semacam itu wajib di
daur ulang dalam menjaga keutuhan suatu bangsa.

10
DAFTAR PUSTAKA

Soeprapto, sri. januari 2003. ”pendidikan pancasila”. Universitas terbuka, jakarta


Nugroho, dimas ongky. Maret 2018. “anak muda dan masa depan indonesia “.
Mijan pustaka, bandung.
Huntington, Samuel P. 1996. The Clash of Civilization and Remarking of World
Order. New York: Simon & Schuster
p. hungtington, samuel. 1 maret 1996. ”benturan peradaban” New York: Simon &
Schuster
http//geotisme.co.id
http//id.m.wikipedia.org
Curiculum Vitae

DATA PRIBADI
Nama : Firdan
Alamat Tinggal : Sadia
No. Hp : 085337823371
Email : AdrianAlhabsi@Gmai.com
Tempat, Tanggal Lahir : Bima, 31 Desember 1997
Riwayat Pendidikan
Sekolah Dasar : 2001-2006
SMP : 2006-2012
SMA : 2012-2015
Perguruan Tinggi : STKIP Bima
Pengalaman Organisasi
Internal : HMPS-PM (Jurusan Matematika)
Eksternal : HMI (Himpunan Mahasiswa Islam)

11

Anda mungkin juga menyukai