Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

“ADHD”

KELAS III C NERS


KELOMPOK 6:
NUR FADILLAH M.DIRAN (2018 01 121)
RAHMA (2018 01 126)
SEPTIANA (2018 01 134)
YELCI KALOAN (2018 01 136)

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIDYA NUSANTARA PALU
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Kami panjatkan atas
terselesaikannya Laporan Pendahuluan ini dengan judul “ADHD” sebagai hasil
penugasan mata kuliah “Keperawatan Anak” oleh dosen kepada Kami.
Dengan terselesaikannya makalah ini kami berharap semoga laporan ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
makalah ini tidaklah luput dari kekurangan, oleh karena itu kami
memohon maaf atas segala kekurangan tersebut dan kami harapkan saran dan
kritik untuk perbaikan laporan ini.
Demikian dari kami, atas perhatian kritik dan saran kami ucapkan terima
kasih.

Penyusun

Kelompok 6
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................................
B. Tujuan............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Singkat AIDS....................................................................................
B. Konsep Medis.................................................................................................
1. Definisi......................................................................................................
2. Etiologi......................................................................................................
3. Patofisiologi...............................................................................................
4. Pathway.....................................................................................................
5. Manifestasi Klinis......................................................................................
6. Klasifikasi..................................................................................................
7. Pencegahan................................................................................................
8. Penatalaksanaan.........................................................................................
9. Komplikasi.................................................................................................
10. Pemeriksaan Penunjang............................................................................
C. Terapi Komplementer....................................................................................
D. Pencegahan Primer, Sekunder, Tersier..........................................................
E. Asuhan Keperawatan Secara Teori................................................................
1. Pengkajian.................................................................................................
2. Diagnosa....................................................................................................
3. Rencana Keperawatan...............................................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................................
B. Saran...............................................................................................................

DAFTAR PUSTAK...............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Attention Deficit Hyperactive Disorder (ADHD) berawal dari hasil
penelitian Prof. George F. Still, seorang dokter Inggris pada tahun 1902.
Penelitian terhadap sekelompok anak yang menunjukkan suatu
ketidakmampuan abnormal untuk memusatkan perhatian yang disertai dengan
rasa gelisah dan resah. Anak-anak itu mengalami kekurangan yang serius
dalam hal kemauan yang berasal dari bawaan biologis. Gangguan tersebut
diakibatkan oleh sesuatu di dalam diri si anak dan bukan karena faktor-faktor
lingkungan.
Pada anak yang mengalami kondisi Atteintion Deficit Hyperactive
Disorder (ADHD) terjadi penurunan kontrol diri dan aktivitas yang
berlebihan pada pasien secara nyata. Sehingga pasien biasanya  bertindak
nekat, kurang sopan dan selalu menyela pembicaraan. Kurangnya perhatian,
serta sulit untuk berkonsentrasi dan menghindari tugas yang berhubungan
dengan daya konsentrasi yang tinggi, mudah marah dan susah untuk bergaul
dan hampir tidak disukai oleh teman sebayanya.
Perilaku yang sering dianggap masalah pada penderita Atteintion
Deficit Hyperactive Disorder (ADHD) adalah sulitnya berkonsentrasi,
memusatkan perhatian serta mengalami gangguan komunikasi. Biasanya hal
tersebut sering membuat orang tua kewalahan dan khawatir. Hal ini
dikarenakan anak mengalami keterlambatan dalam memahami pembelajaran
yang telah diajarkan dan selalu beralih perhatian dan konsentrasi. Perilaku
tersebut sering dikenal dengan gangguan konsentrasi, pemusatan perhatian
yang disertai dengan hyperaktifitas.

B.Tujuan
1. Untuk mengetahui Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
2. Untuk mengetahui Autism
BAB II
PEMBAHASAN
A. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
1. Definisi
Sebagian besar profesional sekarang percaya bahwa ADHD terdiri dari
tiga masalah pokok: (1) kesulitan dalam perhatian berkelanjutan, (2)
pengendalian atau penghambatan impuls, dan (3) kegiatan berlebihan.
Beberapa periset seperti Barkley, menambahkan masalah lain seperti: (4)
kesulitan mematuhi peraturan dan instruksi, dan (5) adanya variabilitas
berlebih dalam merespon situasi, khususnya pekerjaan sekolah. ADHD
merupakan suatu gangguan perkembangan yang mengakibatkan
ketidakmampuan mengatur perilaku, khususnya untuk mengantisipasi
tindakan dan keputusan masa depan. anak yang mengidap ADHD relatif
tidak mampu menahan diri untuk merespon situasi pada saat itu. Mereka
benar-benar tidak bisa menunggu (Martin, 1998).
Attention Deficit Hyperactivity Disorder merupakan kesulitan dalam
memusatkan perhatian dan mempertahankan fokus pada kebanyakan tugas.
Seorang anak penyandang ADHD cenderung bergerak terus secara konstan
dan tidak bisa tenang, sehingga mereka sering kesulitan untuk belajar di
sekolah, mendengar dan mengikuti instruksi orang tua dan bersosialisasi
dengan teman sekelasnya. Anak penyandang ADHD menunjukkan
kurangnya perhatian, impulsifitas dan perilaku hiperaktif. Anak penyandang
ADHD memiliki berbagai masalah untuk dapat berfungsi dalam kehidupan
sehari-hari. Masalah ini termasuk kesulitan akademik, masalah dalam
berteman, dan menjaga persahabatan, masalah keluarga, dan perilaku
melawan terhadap orang dewasa dalam hal hubungan dengan orang lain,
mereka sering kali bersikap bossy, dan agresif yang mengakibatkan mereka
dihindari oleh kebanyakan teman sekelasnya (Flanagen, 2005).
Taylor (1998) mengatakan yang dimaksud dengan gangguan pemusatan
perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) atau Attention Deficit Hyperactivity
Disorder (ADHD) – yang kemudian sering disebut dengan hiperaktivitas,
digunakan untuk menyatakan suatu pola perilaku seseorang yang
menunjukkan sikap tidak mau diam, tidak menaruh perhatian dan impulsive
(semaunya sendiri). Anak-anak yang hiperaktif selalu bergerak, tidak mau
diam bahkan dalam berbagai situasi, misalnya ketika sedang mengikuti
pelajaran di kelas yang menuntut untuk bersikap tenang. Anak-anak
hiperaktif tidak dapat menikmati asyiknya bermain atau memainkan
permainan yang sesuai dengan usianya dan akan bergerak dari satu
permainan ke permainan yang lain. Hal ini mengisyaratkan bahwa anak-
anak hiperaktif tidak memperoleh kepuasaan sebanyak yang
dikehendakinya.
Penelitian menunjukkan bahwa ADHD terdapat pada 3-5% dari
populasi. ADHD adalah masalah kesehatan mental yang paling sering
terjadi pada anak-anak. ADHD lebih sering terjadi pada anak laki-laki
daripada perempuan (Flanagen, 2005).

2. Faktor Penyebab
Belum dapat dipastikan penyebab sebenarnya dari ADHD. Flanagen
(2005) menyebutkan bahwa terdapat beberapa hipotesis penelitian dengan
dukungan kuat berkaitan dengan faktor penyebab, yaitu:
a. Keturunan/faktor genetik
Anak penyandang ADHD kebanyakan memiliki hubungan
kekerabatan yang dekat dengan individu yang tampak memiliki
gejala serupa.hubungan kekerabatan yang dimaksud meliputi orang
tua, paman, atau bibi. Anak yang mengidap ADHD empat kali
lebih mungkin memiliki orang tua yang mengidap ADHD daripada
anak normal. Martin, 1998 menyebutkan bahwa sejumlah
penelitian menegaskan unsur genetis yang kuat sebagai penyebab
pada adanya gangguan perhatian. Jika seorang anak kembar identik
mengidap ADHD, maka kembar ynag satu akan berisiko memiliki
gejala kurang perhatian yang lebih tinggi.
b. Defisit neurotransmitter
Dua neurotransmiter pada otak tampaknya berperan dalam
regulasi jumlah pembangkitan dan perhatian. Kedua neurotransmiter
tersebut adalah noradrelanine dan dopamine. Walaupun mustahil
melakukan penelitian secara langsung terhadap pengaruh kedua
neurotransmiter ini terhadap perilaku anak, ada beberapa bukti tidak
langsung yang mendukung pendapat bahwa neurotransmiter berperan.
Konsumsi pengobatan stimulan memengaruhi regulasi kedua
neurotransmiter ini. noradrenaline membangkitkan sel berikutnya,
sedangkan dopamine mengurangi respons yang tak diinginkan.
c. Kelambatan perkembangan sistem pembangkitan di otak
Ada beberapa indikasi bahwa anak yang mengidap ADHD
menderita kelambatan pembangkitan yang membuat mereka tidak
sensitif terhadap rangsangan yang datang. Jadi, hiperaktivitas yang
mereka alami mungkin mencerminkan pencairan rangsangan dan bukan
karena rangsangan yang berlebihan
d. Perkembangan orak yang abnormal
Otak yang abnormal merujuk pada tidak berfungsinya lobus
frontal. Lobus frontal adalah area pada orak yang mengumpulkan input
auditori dan visual yang berlebihan. Hal ini menunjukkan bahwa lobus
ini dibombardir dengan banyak informasi yang tidak tersaring dan tidak
sesuai. Otak penderita ADHD tidak mempunyai kegiatan kimiawi yang
cukup untuk mengatur dan mengendalikan apa yang si penderita
lakukan atau pikirkan. Pengobatan akan menaikkan aktivitas otak dan
memberikan tambahan ëenergi pada otak untuk mengendalikan pikiran
dan tingkah laku. Pada otak penderita ADHD kegiatan / aktivitas
otaknya lebih sedikit (warna merah/oranye/putih) dibandingkan dengan
otak anak yang tidak menderita ADHD. 
3. Simtom dan Diagnosis
Anak-anak dengan ADHD biasanya menampakkan perilaku yang
dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori utama, yaitu :
a. Kurangnya kemampuan memusatkan perhatian
Gejala ini dapat muncul dalam perilaku  :

1). Ketidak mampuan memperhatikan detil atau melakukan


kecerobohan dalam mengerjakan tugas, bekerja, atau
aktivitas lain.

2). Kesulitan memelihara perhatian terhadap tugas atau aktivitas


bermain

3). Kadang terlihat tidak perhatian terhadap tugas atau aktivitas


bermain.

4). Tidak mengikuti perintah dan kegagalan menyelesaikan tugas.

5). Kesulitan mengorganisasikan tugas dan aktivitas

6). Kadang menolak, tidak suka, atau enggan terlibat dalam tugas
yang memerlukan proses mental yang lama

b. Hiperaktivitas-Impulsivitas.
Perilaku yang disebabkan oleh hiperkativitas-impulsivitas antara lain:
1). Gelisah atau sering menggeliat di tempat duduk

2). Sering meninggalkan tempat duduk di kelas atau situasi lain dimana
seharusnya duduk tenang

3). Berlari berlebihan atau menanjat-manjat yang tidak tepat sutuasi

4). Kesulitan bermain atau terlibat dalam aktivitas yag menyangkan


Berdasarkan PPDGJ III, gangguan ini dapat ditegakkan dengan
memenuhi kriteria umum mengenai gangguan hiperkinetik (F90).Pedoman
diagnostik:

a. Ciri-ciri utama ialah berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan.


Kedua ciri ini menjadi syarat  mutlak untuk diagnosis dan haruslah nyata
ada pada lebih dari satu situasi (misalnya di rumah, di kelas, di klinik)
b. Berkurangnya perhatian tampak jelas dari terlalu dini dihentikannya
tugas dan ditinggalkannya suatu kegiatan sebelum tuntas selesai. Anak-
anak ini sering kali beralih dari satu kegiatan ke kegiatan lain, rupanya
kehilangan minatnya  terhadap tugas yang satu karena perhatiannya
tertarik pada hal lain. Berkurangnya ketekunan dan perhatian ini
seharunya hanya didiagnosis bila sifatnya berlebihan bagi anak dengan
usia atau IQ yang sama.
c. Hiperaktivitas dinyatakan dalam kegelisahan yang  berlebihan,
khususnya dalam situasi yang menuntut keadaan relatif tenang. Hal ini
tergantung pada situasinya, mencakup anak itu berlari-lari atau
melompat-lompat sekeliling ruangan, ataupun bangun dari duduk/kursi
dalam situasi yang menghendaki anak itu tetap duduk, terlalu banyak
bicara dan ribut, atau kegugupan/kegelisahan dan berputar-putar atau
berbelit-belit. Tolok ukur untuk penilaiannya ialah bahwa suatu aktivitas
disebut berlebihan dalam konteks apa yang diharapkan pada suatu situasi
dalam konteks apa yang diharapkan pada suatu situasi dan dibandingkan
dengan anak-anak-anak yang sama umur dan nilai IQ-nya. Ciri khas
perilaku ini paling nyata di dalam suatu situasi yang berstruktur dan
diatur yang menuntun suatu tingkat sikap pengendalian diri yang tinggi.
d. Gambaran penyerta tidaklah cukup bahkan tidak diperlukan bagi suatu
diagnosis, namun demikian ia ia dapat mendukung. Kecerobohan dalam
hubungan-hubungan sosial, kesembronoan dalam situasi yang berbahaya
dan sikap yang secara impulsif melanggar tata tertib sosial (yang
diperlihatkan dengan mencampuri urusan atau mengganggu kegiatan
orang lain, terlampau cepat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
belum lengkap diucapkan orang, atau tidak sabar menunggu gilirannya),
kesemuanya merupakan ciri khas dari anak-anak dengan gangguan ini.
e. Gangguan belajar serta kekakuan motorik sangat sering terjadi dan
haruslah di catat secara terpisah bila ada; namun demikian tidak boleh
dijadikan bagian dari diagnosis aktual mengenai gangguan hiperkinetik
yang sesungguhnya.
f.Gejala-gejala dari gangguan tingkah laku bukan merupakan kriteria
eksklusi ataupun kriteria iklusi untuk diagnosis utamanya,tetapi ada
tidaknya gejala-gejala itu dijadikan dasar untuk subdivisi utama dari
gangguan tersebut.

4. Penanganan
Terdapat beberapa penanganan yang dapat dilakukan untuk
mengembalikan fungsi kerja anak yang mengidap ADHD dengan beberapa
terapi, yaitu :
a. Terapi Bermain
Terapi bermain sering digunakan untuk menangani anak-anak
dengan ADHD. Melalui proses bermain anak-anak akan belajar banyak
hal, diantaranya :
1). Belajar mengenal aturan
2). Belajar mengendalikan emosi
3). Belajar menunggu giliran
4). Belajar membuat perencanaan
5). Belajar beberapa cara untuk mencapai tujuan melalui proses bermain
C. Terapi Medis
Beberapa bukti ilmiah menunjukkan bahwa ADHD berhubungan
dengan fungsi otak, terutama pada bagian yang bertanggung jawab
mengatur pemusatan perhatian, konsentrasi, pengaturan emosi, dan
pengendalian perilaku. Terapi medis biasanya berupa pemberian beberapa
macam obat dengan sasaran area tersebut, yaitu membantu memusatkan
perhatian dan mengendalikan perilaku, termasuk perilaku agresif.
D. Terapi Back in Control
Beberapa penelitian terakhir membuktikan bahwa cara terbaik
untuk menangani anak dengan  ADHD adalah dengan mengkombinasikan
beberapa pendekatan dan metode penanganan. Program terapi “Back in
Control” dikembangkan oleh Gregory Bodenhamer. Program ini berbasis
pada sistem yang berdasar pada aturan, jadi tidak tergantung pada
keinginan anak untuk patuh. Program ini lebih cenderung ke sistem
training bagi orang tua yang diharapkan dapat menciptakan sistem aturan
yang berlaku di rumah sehingga dapat mengubah perilaku anak.
Peningkatan efektivitas program, sebaiknya dilakukan dengan
kerja sama antara orang tua dengan pihak sekolah untuk melakukan
proses yang sama bagi anaknya ketika dia di sekolah. Orang tua harus
selalu melakukan monitoring dan evaluasi secara berkelanjutan dan
konsisten atas program yang dijalankan. Begitu juga ketika program ini
dilaksanakan bersama-sama dengan pihak sekolah  maka orang tua sangat
memerlukan keterlibatan guru dan petugas di sekolah untuk melakukan
proses monitoring dan evaluasi. Dalam program ini, yang harus dilakuan
orang tua adalah :
 Buat aturan sejelas mungkin sehingga pengasuh pun dapat mendukung
pelaksanaan tanpa banyak penyimpangan.
 Jalankan aturan tersebut dengan ketat
 Jangan memberi imbalan atau hukuman atas tanggapan terhadap aturan
itu. Jalankan saja sesuai yang sudah ditetapkan
 Jangan pernah berdebat dengan anak tentang sebuah aturan. Gunakan
kata-kata kunci yang tidak akan diperdebatkan.
B. Autism
1. Definisi
Autism berasal dari kata Auto yang berarti sendiri. Penyandang autisme
seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Istilah autism baru diperkenalkan
sejak tahun 1943 (Handojo, 2006). Autis atau autism adalah salah satu dari
lima tipe gangguan perkembangan pervasif (PDD), yang ditandai tampilnya
abnormalitas pada domain interaksi sosial. Autism merupakan tipe yang
paling populer dari PDD. Autism mengacu pada problem dengan interaksi
sosial, komunikasi, dan bermain imajinatif yang mulai muncul sejak anak
berusia di bawah 3 tahun. Anak penyandang autism mempunyai
keterbatasan pada level aktivitas dan interest. Hampir 75% dari anak autis
pun mengalami beberapa derajat retardasi mental (Priyatna, 2010).
Autism merupakan sebuah sindrom patologis yang jarang namun serius,
menimpa individu di masa kanak-kanak, dicirikan kondisi penarikan diri
total, kurangnya kemampuan meresponse secara sesuai atau kurangnya
minat kepada orang lain, gangguan komunikasi dan linguistik serius, dan
kegagalan untuk mengembangkan attachment normal (Reber & Reber,
2010)
Perilaku autism digolongkan dalam dua jenis, yaitu perilaku yang
eksesif (berlebihan) dan perilaku yang defisit (berkekurangan). Yang
termasuk perilaku eksesif adalah hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa
menjerit, menendang, menggigit, mencakar, memukul, dsb. Sering juga
terjadi anak menyakiti diri sendiri (self abuse). Perilaku defisit ditandai
dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai (naik ke pangkuan
ibu bukan untuk kasih sayang tapi untuk meraih kue), defisit sensoris
sehingga dikira tuli, bermain tidak benar, dan emosi yang tidak tepat,
misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan melamun
(Handojo, 2006).
2. Faktor Penyebab
Sampai saat ini, para ilmuwan belum yakin pada apa yang menjadi
penyebab autism, tetapi kemungkinan besar berhubungan erat dengan
faktor genetika dan pengaruh lingkungan. Penelitian pada individu dengan
autism menemukan adanya penyimpangan di beberapa area pada otak.
Penelitian lain menunjukkan bahwa individu dengan autism mempunyai
level abnormal dari serotonin atau neurotransmitter lain di otak (Priyatna,
2010).
Hal ini menunjukkan bahwa kelainan autism dapat saja timbul akibat
terjadi disrupsi perkembangan otak normal pada masa awal pekembangan
janin yang disebabkan karena adanya cacat pada gen yang mengatur
pertumbuhan otak dan gen yang mengatur bagaimana neuron saling
berkomunikasi satu sama lain (Priyatna, 2010).
Beberapa ahli menyebutkan autism disebabkan karena multifaktorial.
Beberapa peneliti mengungkapkan terdapat gangguan biokimia, ahli lain
berpendapat bahwa autism disebabkan oleh psikiatri / jiwa. Ahli lainnya
berpendapat bahwa disebabkan oleh kombinasi makanan yang salah atau
lingkungan yang terkontaminasi zat-zat yang beracun yang mengakibatkan
kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan masalah pada tingkah laku
dan fisik termasuk autism (Handojo, 2006).
Banyak pakar telah sepakat bahwa pada otak anak autism dijumpai
suatu kelainan pada otaknya. Ada tiga lokasi di otak yang ternyata
mengalami kelainan neuro-anatomis. Sebab timbulnya kelainan tersebut
belum dapat dipastikan. Banyak teori yang diajukan oleh para pakar, mulai
dengan penyebab genetika, infeksi virus dan jamur, kekurangan nutrisi dan
oksigenasi, serta akibat polusi udara, air dan makanan. Diyakini bahwa
gangguan tersebut terjadi pada fase pembentukan organ-organ
(organogenesis) yaitu pada usia kehamilan antara 0-4 bulan. Organ otak
sendiri baru terbentuk pada usia kehamilan setelah 15 minggu (Handojo,
2006).
Dari penelitian yang dilakukan oleh para pakar ditemukan beberapa
fakta yaitu adanya kelainan anatomis pada lobus parietalis, cerebellum dan
sistem limbiknya. 43% penyandang autism mempunyai kelainan pada lobus
parietalis otaknya, yang menyebabkan anak cuek terhadap lingkungannya.
Kelainan juga ditemukan pada otak kecil (cerebellum), terutama pada lobus
ke VI dan VII. Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris, daya
ingat, berpikir, belajar berbahasa dan proses atensi. Juga didapatkan jumlah
sel Purkinye di otak kecil yang sangat sedikit, sehingga terjadi gangguan
keseimbangan serotonin dan dopamin. Akibtanya terjadi gangguan atau
kekacauan lalu-lalang impuls di otak. Ditemukan pula kelainan pada sistem
limbik yaitu pada hippocampus dan amygdala. Akibatnya terjadi gangguan
fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi. Anak kurang dapat
mengendalikan emosinya, seringkali terlalu agresif atau sangat pasif.
Amygdala juga bertanggung jawab terhadap berbagai rangsang sensoris
seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, dan rasa takut.
Hippocampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan daya ingat.
Terjadilah kesulitan dalam menyimpan informasi baru. Perilaku yang
diulang-ulang, aneh dan hiperaktif juga disebabkan gangguan hippocampus
(Handojo, 2006).
Sementara itu, beberapa faktor risiko yang mungkin untuk autism meliputi:
a. Telat menjadi orang tua (advanced age of parents)
Menurut hasil penelitian, kombinasi dari hereditas dan mutasi genetik
spontan adalah akar dari sebagian besar kasus autism. Mutasi genetik
tersebut terjadi diduga akibat tren masyarakat saat ini, yaitu melambatkan
diri untuk menikah, hamil, dan punya anak karena alasan tertentu.
Minoritas kaum autism disebabkan oleh mutasi yang diwarisi dari salah
satu orang tua (kebanyakan dari ibu). Keturunannya mempunyai
kesempatan 50% untuk mewarisi mutasi tersebut. Orang tua memiliki
mutasi seperti itu tetapi tidak menampilkan simtom yang parah bagi
dirinya sendiri.
b. Mutasi genetik spontan dengan penyebab yang tidak diketahui
Setidaknya 15% dari anak dengan autism memiliki mutasi-mutasi genetik
yang bukan merupakan warisan dari orang tua mereka. Mutasi baru yang
spontan ini seringkali ditemukan pada anak yang megidap autism klasik.
Anak-anak yang sedang tumbuh hanya berpeluang sekitar 1% untuk
mempunyai mutasi spotan. Anak-anak autism mempunyai mutasi, tetapi
tidak semua dari mereka berbagi mutasi yang sama. Dalam hal ini ada
banyak mutasi berbeda yang terjadi di kalangan anak dengan autism.
c. Genetika dan autism versus hereditas dan autism
Hanya sebagian kecil anak mengidap autism karena keturunan, sementara
yang lainnya berhubungan erat dengan faktor genetika.
d. Bobot bayi lahir rendah (BBLR) dan lahir prematur

Temuan hasil penelitian untuk risiko BBLR dan lahir prematur dengan
autism adalah:
1) BBLR dengan bobot kurang dari 5,5 pound mempunyai resiko 2,3 kali
lebih besar untuk mengidap autism dibandingkan dengan bayi lahir
normal.
2) Bayi perempuan dengan BBLR mempunyai resiko tiga kali atau
bahkan lebih tinggi untuk mengembangkan autism, dibandingkan bayi
laki-laki BBLR.
3) Risiko dari BBLR dan lahir prematur tidak Cuma autism, tetapi dapat
pula autism yang disertai dengan gangguan perkembangan lainnya.
Bayi dengan bobot lahir kurang dari 2.500 g dan kelahiran prematur pada
kehamilan kurang dari 33 minggu berhubungan dengan resiko
peningkatan sekitar dua kali lipat untuk mengidap autism.
3. Simtom dan Diagnosis
Simtom-simtom utama dalam autism adalha ketidakmampuan untuk
berhubungan dengan orang lain, berbagai masalah komunikasi, mencakup
kegagalan untuk mempelajari bahasa atau ketidakwajaran bicara seperti
ekolalia dan pembalikan kata ganti, serta mempertahankan kesamaan, yaitu
suatu keinginan obsesif untuk mempertahankan rutinitas sehari-hari dan
lingkungan sekelilingnya selalu sama persis (Davidson, Neale & Kring,
2010).
Untuk dapat mengenal autism dengan baik diperlukan diagnosis yang
luas, karena individu dengan autism (1) ada yang mempunyai IQ yang tinggi
dan ada pula yang mengidap retardasi mental, (2) ada yang senang ngobrol
(chatty) dan ada juga yang pendiam sediam-diamnya, (3) ada yang
berperilaku metodis dan ada pula yang acak-acakan (disorganized). Karakter
pokok dari autism antara lain: (1) adanya gangguan pada domain interaksi
sosial, (2) bermasalah dengan komunikasi verbal dan nonverbal, dan (3)
tampilnya suatu aktivitas dengan interest yang tidak biasa, repetitif, atau
sangat unik dan boleh jadi tidak kita pahami sama sekali (Priyatna, 2010).
Munculnya perilaku-perilaku tersebut pada setiap individu dengan
autism bervariasi, mulai dari level rendah sampai ke level cacat (disable).
Saat masih berusia infant, anak dengan autism sudah mulai menampilkan
perilaku tidak responsif terhadap orang lain, atau dia hanya berfokus dengan
intent pada satu item tertentu dengan mengesampingkan kehadiran orang
lain untuk jangka waktu yang lama. Menginjak usia anak-anak, individu
dengan autism boleh jadi mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang
normal seperti anak lain seusianya. Namun secara perlahan terjadi
penarikan-penarikan dan kemudian dia pun menjadi tidak peduli terhadap
keterlibatan sosial (Priyatna, 2010).
Anak-anak dengan autism dapat:
a. Gagal merespons saat dipanggil namanya sendiri dan seringkali
menghindari kontak mata dengan orang lain.
b. Mengalami kesulitan untuk menafsirkan apa yang sedang dipikirkan atau
dirasakan oran lain. Mereka tidak mampu memahami isyarat-isyarat sosial
yang berlaku, cenderung bersikap cuek saat ada yang mengajak bercakap
kepadanya, tidak memperhatikan raut muka lawan bicara untuk
menyesuaikan perilaku yang harus ditampilkan, serta kurangnya rasa
empati.
Anak dengan autism suka melakukan gerak repetitif seperti melompat-
lompat, berputar-putar, ataupun menampilkan perilaku menganiaya dirinya
sendiri seperti menggigit lengan sendiri atau membenturkan kepalanya. Mereka
terlambat menguasai kealian dalam berbicara dari anak-anak lain seusianya.
Anak dengan autism tidak tahu cara bermain secara interakif dengan anak lain.
Banyak anak dengan autism yang mengalami penurunan sensitivitas terhadap
nyeri, tetap bereaksi over-sensitive terhadap suara, sentuhan, atau rangsangan
sensori lain. Anak-anak dengan autism pun beresiko lenih tinggi untuk
mengalami beberapa kondisi penyerta (co-existing conditions) lainnya,
termasuk sindrom kerapuhan X (yang menyebabkan retardasi mental), tuberous
sclerosis, kejang epilepsi, sindrom Tourette, ketidakmampuan belajar, dan
gangguan defisit atensi (Priyatna, 2010).
Derajat keparahan dan simtom dari autism sangat bervariasi, terutama
pada pengidap autism ringan. Perilaku inti autism antara lain:
a. Ketidakmampuan untuk membangun hubungan pertemanan dengan
kawan-kawan sebayanya.
b. Sulit memulai suatu percakapan, dan setelah terjadi percakapan pun
kembali dia kesulitan untuk tetap nyambung
c. Tidak adanya atau kurangnya kemampuan untuk bermain imajinatif dan
sosial saat dia bermain dengan anak-anak lain seusianya
d. Penggunaan bahasa yang stereotip, repetitif, dan tidak biasa.
e. Pola interest (minat) yang sangat ketat dan tidak boleh diganggu siapa
pun, dengan intensitas dan fokus yang abnormal
f. Preokupasi (keasyikan) pada objek tertentu atau subjek tertentu
g. Kepatuhan yang tidak fleksibel terhadap suatu rutinitas atau ritual
tertentu.
Gejala autism dapat timbul sejak lahir dan anak tidak pernah
mengalami perkembangan perilaku yang normal. Namun ada juga anak
yang sejak lahir tampak normal dan baru pada usia sekitar dua tahun terjadi
hambatan perkembangan pada perilakunya dan bahkan kemudian terjadi
kemunduran (regresi). Kesulitan dalam diagnosis dapat terjadi jika selain
autism, anak juga menderita gangguan lain seperti hiperaktivitas, epilepsi,
retardasi mental, sindroma Down, dan lain sebagainya. Hal ini terjadi karena
seringkali perhatian tertuju pada gangguan penyerta, sehingga gangguan
autismnya sendiri luput terdiagnosis (Handojo, 2006).
Sementara itu, kriteria gangguan autistik dalam DSM-IV-TR
(Davidson, Neale & Kring, 2010), yaitu:
a. Terdapat enam atau lebih dari kriteria pada (1), (2), dan (3) di bawah
ini, dengan minimal dua kriteria dari (1) dan masing-masing satu dari
(2) dan (3):
(1) Hendaya dalam interaksi sosial yang terwujud dalam minimal dua
dari kriteria berikut:
- Hendaya yang tampak jelas dalam penggunaan perilaku
nonverbal seperti kontak mata, ekspresi wajah, dan bahasa
tubuh
- Kelemahan dalam perkembangan hubungan dengan anak-anak
sebaya sesuai dengan tahap perkembangan
- Kurang melakukan hal-hal atau aktivitas bersama orang lain
secara spontan
- Kurangnya ketimbalbalikan sosial atau emosional
(2) Hendaya dalam komunikasi seperti terwujud dalam minimal satu
dari kriteria berikut:
- Keterlambatan atau sangat kurangnya bahasa bicara tanpa
upaya untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa
bicara (gerakan nonverbal)
- Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi
- Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang
- Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa
meniru.
(3) Perilaku atau minat yang diulang-ulang atau stereotip, terwujud
dalam minimal satu dari kriteria berikut ini:
- Mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara yang
sangat khas dan berlebih-lebihan
- Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang
tak ada gunanya
- Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang
- Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian dari suatu
benda.
b. Keterlambatan atau keberfungsian abnormal dalam minimal satu dari
bidang berikut yang berawal sebelum usia tiga tahun, yaitu interaksi
sosial, bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain, atau permainan
imajinatif (cara bermain yang kurang variatif).
c. Bukan disebabkan oleh sindrom Rett atau gangguan disintegratif di
masa kanak-kanak.
4. Penanganan
Penanganan yang paling menjanjikan untuk autism adalah penanganan
yang berciri psikologis, melibatkan prosedur modeling dan pengondisian
operant. Meskipun prognosis anak-anak autism secara umum tetap buruk,
penelitian mutakhir menunjukkan bahwa penanganan behavioral intensif
yang melibatkan orang tua sebagai terapis anak dapat memungkinkan
beberapa anak tersebut berpartisipasi dengan baik dalam hubungan sosial
yang normal. Berbagai penanganan dengan obat-obatan telah diberikan,
namun terbukti kurang efektif dibanding intervensi behavioral (Davidson,
Neale & Kring, 2010).
Autis masih menjadi misteri yang belum terpecahkan sepenuhnya oleh
kedokteran. Para pakar belum sepakat soal penyebab penyakit ini. Namun,
sebagian pakar setuju bahwa sindrom autis terjadi karena kelainan pada
otak. Hingga kini, bisa tidaknya autis di sembuhkan (total) juga masih
menjadi pertentangan dalam dunia kedokteran dan psikologi. Namun orang
tua hendaknya harus mencoba berbagai terapi. Penanganan yang diberikan
juga harus di sesuaikan dengan gejala yang di perlihatkan oleh anak
tersebut. Anak autis yang memiliki inteligensi rata-rata, mampu
berkomunikasi dan tidak memiliki perilaku yang melukai diri sendiri
maupun orang lain. Hal tersebut berbeda fokus penanganannya dengan anak
autis yang memiliki mental retardasi, tidak berbicara, serta memiliki
perilaku yang melukai diri sendiri atau orang lain. Saat ini ada berbagai
terapi autis, baik yang diakui oleh dunia medis maupun yang masih
berdasarkan disiplin ilmu tradisional. Diharapkan dengan mencoba terapi ini
anak yang mengalami autis bisa berkembang lebih baik. (Kosasih, 2012).
Macam-macam terapi autis di antaranya sebagai berikut:
1. Metode ABA (Applied Behavioral Analysis)
Kelebihan metode ini dari metode lain adalah sifatnya yang
sangat terstruktur, kurikulumnya jelas dan keberhasilannya bisa
dinilai secara objectif. Dan penatalaksanaannya dilakukan selama
4-8 jam sehari. Dalam metode ini, anak dilatih berbagai macam
keterampilan yang berguna bagi hidup bermasyarakat, misalnya
berkomunikasi, berinteraksi, berbicara dan berbahasa. Di Indonesia
metode ini lebih dikenal dengan metode Lovaas (mama orang yang
mengembangkannya) di Yayasan Autis Indonesia (YAI).
2. Masuk kelompok khusus
Di kelompok ini mereka mendapatkan kurikulum yang
khusus dirancang secara individual. Mereka yang belum siap
masuk ke dalam kelompok bermain, bisa diikutsertakan kedalam
kelompok khusus. Disini anak akan mendapatkan penanganan
terpadu yang melibatkan berbagai tenaga ahli seperti psikeater,
psikologi, terapis wicara, terapis okupasi, dan ortopedagok.
Sayangnya tidak semua penyandang autis bisa mengikuti
pendidikan formal meskipun tingkat kecerdasannya masih bisa
masuk ke sekolah luar biasa atau SLB dikarenakan jika perilaku si
anak tidak bisa diperbaiki seperti agresif, hiperaktif, dan tidak bisa
berkonsentrasi.
3. Penggunaan alat bantu
Banyak anak autism belajar lebih baik dengan menggunakan
penglihatannya. Dengan memperlihatkan gambar anak dapat
berkonsentrasi. Alat bantu visual dapat kita buat dengan menggunakan
benda konkret, foto berwarna atau gambar. Alat bantu visual dapat
membantu anak mengerti tentang sesuatu yang akan terjadi yaitu
dengan menggunakan urutan gambar, misalnya gambar aktivitas
makan.
4. Terapi-terapi lainnya, dibagi menjadi :
a. Terapi akupuntur: metode tusuk jarum ini diharapkan bisa
menstimulasi sistem saraf pada otak hingga dapat bekerja kembali.
b. Terapi musik: musik diharapkan memberikan getaran gelombang
yang akan berpengaruh terhadap permukaan membran otak.
c. Terapi perilaku: tujuannya agar anak dapat memfokuskan
perhatian, bersosialisai dengan lingkungannya unutk meningkatkan
pemahaman dan kepatuhan anak terhadap aturan. Terapi ini
umumnya mendapatkan hasil yang signifikan bila dilakukan secara
instensif, teratur, dan konsisten pada usia dini. Terapi perilaku
terdiri dari terapi wicara, terapi okupasi dan menghilangkan
perilaku asosial.
d. Terapi anggota keluarga: orang tua yang memiliki anak autis harus
mendampingi dan memberi perhatian penuh pada anak hingga
terbentuk ikatan emosional yang kuat (Kosasih, 2012).
DAFTAR PUSTAKA

Davidson, G. C., Neale, J. M., & Kring, A. M. (2010). Psikologi abnormal (ed.
9.). Terjemahan oleh Noermalasari Fajar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Handojo, Y. (2006). Autisma. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer
Kosasih, E. (2012). Cara bijak memahami anak berkebutuhan khusus.
Bandung: Yrama Widya
Priyatna, A. (2010). Amazing autism!. Jakarta: Kompas Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai