Anda di halaman 1dari 71

i

SERI KAJIAN SASTRA KLASIK

SERAT WEDHARAGA
ii
iii

SERI KAJIAN SASTRA KLASIK

SERAT WEDHARAGA
R. Ng. RANGGAWARSITA III

TERJEMAH DAN KAJIAN DALAM BAHASA INDONESIA OLEH:


BAMBANG KHUSEN AL MARIE

2017
iv
v

KATA PENGANTAR

Serat Wedharaga terdiri dari 38 bait (pada) dengan tembang Gambuh.


Salah satu karya R. Ng. Ranggawarsita III yang berisi nasihat bagi anak
muda. Sebaiknya di kala muda giat belajar dan rajin supaya kelak
mendapat pengetahuan yang cukup. Selain itu ditekankan adab bagi para
pelajar dan ahli ilmu, yakni jangan suka menunjukkan ilmunya kepada
orang banyak. Jauhi sifat suka pamer ilmu, sebaliknya perbanyaklah
bertanya. Jangan merasa tidak nyaman kalau dikatakan bodoh, karena
justru bagi orang yang bodoh kesempatan untuk belajar akan terbuka lebar.

Bagi orang yang sudah pintar maka seyogyanya juga jangan memamerkan
ilmunya. Suka pamer sejatinya sebuah indikasi kalau ilmunya belum
penuh. Ibarat jung kurang isi, maka akan meninbulkan suara gemericik.
Berbeda dengan yang penuh, suaranya tidak banyak.

Untuk lebih mendapat manfaat dari kearifan kuno yang terangkum dalam
serat Wedharaga sekaligus menikmati keindahan sastra dari pujangga
besar Ranggawarsita, silakan membaca kajian ini hingga tuntas.

Akhirul kalam, semoga bermanfaat.

Mirenglor, 2017,

Bambang Khusen Al Marie.


vi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vi
TRANSLITERASI ARAB-LATIN vii
TRANSLITERASI JAWA-LATIN viii
PUPUH GAMBUH 1
Kajian Wedharaga (1): Rare Kang Kalimput 2
Kajian Wedharaga (2):Amardhukun Ngumbar Sanggup 4
Kajian Wedharaga (3): Den Sumendhe Aja Kibir 6
Kajian Wedharaga (4;5): Ana Masakalane 8
Kajian Wedharaga (6): Wiwit Nom Amandeng Laku 11
Kajian Wedharaga (7): Akanthi Awas Emut 13
Kajian Wedharaga (8): Aja Kesed Lan Sungkanan 15
Kajian Wedharaga (9): Becik Ipil-Ipil Kawruh 17
Kajian Wedharaga (10): Simpenen Ing Pungkur 19
Kajian Wedharaga (11):Lumuh Katon Balilu 21
Kajian Wedharaga (12):Anganggowa Duga Prayoga 23
Kajian Wedharaga (13):Angarah Warak Wuruk 25
Kajian Wedharaga (14;15): Ngaku Putus Tanda Bodho 27
Kajian Wedharaga (16):Peksa Unggul Wekasan Asor 30
Kajian Wedharaga (17;18): Wekasan Kether Tan Ethor 32
Kajian Wedharaga (19;20): Badhar Tyas Kabalabar 35
Kajian Wedharaga (21;22): Adreng Ngumbar Arubiru 38
Kajian Wedharaga (23;24): Den Bisa Matrap Unggah-ungguh 41
Kajian Wedharaga (25): Den Bisa Tepa Slira 44
Kajian Wedharaga (26;28):Tandha Durung Kamot 46
Kajian Wedharaga (29;31): Jun Kurang Isi 49
Kajian Wedharaga (32;33):Empan Papan Wiraos 52
Kajian Wedharaga (34;35): Tanazul Taraqqi 56
Kajian Wedharaga (36;38): Mung Met Marta Karahayon 59
vii

Transliterasi Arab ke Latin

Untuk kata-kata Arab yang ditulis dalam huruf latin dan diindonesiakan,
tulisan ini memakai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
Disempurnakan. Untuk kata-kata yang belum diindonesiakan bila ditulis
dalam huruf latin mempergunakan transliterasi sebagai berikut:

‫ = ا‬a, i, u ‫=ر‬r ‫ = غ‬gh


‫=ب‬b ‫=ز‬z ‫=ف‬f
‫=ت‬t ‫= س‬s ‫=ق‬q
‫ = ث‬ts ‫ = ش‬sy ‫=ك‬k
‫=ج‬j ‫ = ص‬sh ‫=ل‬l
‫=ح‬h ‫ = ض‬dl ‫=م‬m
‫ = خ‬kh ‫ = ط‬th ‫=ن‬n
‫=د‬d ‫ = ظ‬dh ‫=ؤ‬w
‫ = ذ‬dz ‫‘=ع‬ ‫=ه‬h
‫=ي‬y
viii

Transliterasi Jawa ke Latin

Transliterasi kata-kata Jawa yang ditulis dalam hurf latin adalah sebagai
berikut.
= Ha = Da = Pa = Ma
= Na = Ta = Dha = Ga
= Ca = Sa = Ja = Ba
= Ra = Wa = Ya = Tha
= Ka = La = Nya = Nga
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 1

PUPUH

GAMBUH
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 2

Kajian Wedharaga (1): Rare Kang Kalimput


Bait ke-1, Serat Wedharaga, karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, Pupuh
Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o):

Ki Gambuh karya pemut,


limuting tyas rare kang kalimput,
lacut maring reh sumirang murang niti,
tan-tan tuman amamatuh,
temah lumaku ginuron.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Ki Gambuh memberi peringatan,
tentang anak muda yang gelap hatinya karena tertutup.
Terlanjur mengarah pada hal yang sekehendak sendiri melanggar
aturan.
Tetap tahan (dalam tindak salah) karena terbiasa,
hingga berlaku sebagai guru.

Kajian per kata:


Ki Gambuh (Ki Gambuh, nama orang) karya (membuat, memberi) pemut
(peringatan), limuting (gelapnya) tyas (hati) rare (anak muda) kang
(yang) kalimput (tertutup, khilaf). Ki Gambuh memberi peringatan,
tentang anak muda yang gelap hatinya karena tertutup.
Ki Gmbuh di sini adalah nama yang dipakai sebagi kata ganti aku, yang
berarti Ki Ranggawarsita sendiri. Beliau hendak memberi peringatan
tentang adanya anak muda yang gelap hatinya karena tertutup.
Lacut (terlanjur) maring (mengarah) reh (dalam hal) sumirang
(sekehendak) murang (melanggar) niti (aturan). Terlanjur mengarah pada
hal yang sekehendak sendiri melanggar aturan.
Anak muda itu tertutup hatinya karena seringkali berbuat sekehendak
sendiri, melanggar aturan semau-maunya. Seperti yang sudah kita kaji
bersama dalam karya Ki Ranggawarsita yang lain, apabila seseorang
memelihara perbuatan salah maka hatinya akan tertutup dan dipenuhi
kegelapan, tyas limut kalimput.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 3

Hati menjadi tidak peka terhadap benar dan salah, malah cenderung
melakukan pembenaran terhadap sebuah kesalahan dengan berbagai dalih.
Hati yang telah lumpuh kekuatannya ini juga kehilangan kemampuan
mawas diri, sehingga bukannya sadar atas kesalahannya alih-alih
menularkan kesalahan kepada orang lain dan mencari pengikut.
Tan-tan tuman (tetap tahan) amamatuh (terbiasa), temah (hingga)
lumaku (berlaku) ginuron (sebagai guru). Tetap tahan (dalam tindak
salah) karena terbiasa, hingga berlaku sebagai guru.
Karena sudah terbiasa dalam kesalahan dan tidak bisa mawas diri,
akhirnya malah berlaku sebagai guru. Mengajarkan kesalahan kepada
orang lain, mencari-cari pengikut, membuat ajaran baru. Banyak tingkah
layaknya orang pandai, pamer pengetahuan sesat dan tak tahu malu. Itulah
sifat anak muda yang gegabah terhadap pengetahuan. Jika tak segera
diperingatkan berbagai penyimpangan akan dia lakukan lagi.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 4

Kajian Wedharaga (2):Amardhukun Ngumbar Sanggup


Bait ke-2, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Wedharaga,
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita:

Trakadhang amardhukun,
dhokohan tyas asring ngumbar sanggup,
iku aja kongsi mangkono yen keni,
kinira-kira kang patut,
apa kalumrahaning wong.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Kadang-kadang membuka praktik dukun,
hatinya bernafsu mengumbar kemampuan.
Itu jangan sampai demikian itu kalau bisa.
Dikira-kira yang patut (dalam berbuat),
apa yang biasa dikerjakan orang.

Kajian per kata:


Trakadhang (terkadang, kadang-kadang) amardhukun (membuka praktik
dukun), dhokohan (lahap, bernafsu) tyas (hati) asring (sering) ngumbar
(mengumbar, menawarkan) sanggup (kemampuan). Kadang-kadang
membuka praktik dukun, hatinya bernafsu mengumbar kemampuan.
Arti dukun menurut KBBI adalah orang yang mengobati, menolong orang
sakit, memberi jampi-jampi (mantra, guna-guna, dan sebagainya), namun
dalam budaya Jawa arti dhukun yang paling tepat adalah orang pintar.
Bisa pintar ilmu pengobatan seperti dhukun jampi, bisa pintar menolong
persalinan dan perawatan bayi baru lahir seperti dhukun bayi, bisa pintar
dalam ilmu fengsui Jawa, yakni ahli primbon dan perhitungan hari.
Semua hal-hal di atas positif dan berguna bagi banyak orang. Oleh karena
itu profesi dukun sangat dihormati dalam masyarakat Jawa zaman dahulu
kala. Hal itu dapat kita ketahui dari panggilam mereka yang umumnya di
panggil mbah, artinya yang dituakan.
Meski demikian ada juga profesi yang juga sering dinamai dukun tetapi
berkaitan dengan dunia hitam, seperti dukun santet, dukun pengasihan,
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 5

dukun tenung, dukun ramal, dan lain-lain. Jadi memang ada dua macam
dukun, kita sebut saja dhukun putih dan dhukun hitam.
Meski demikian karena profesi dukun itu tidak ada sertifikatnya, maka
banyak orang mengaku-aku pintar dan sanggup menjadi dukun, seperti
ditunjukkan oleh tingkah polah tokoh kita ini, si anak muda yang kadang
amardhukun (membuka praktik dukun) tadi. Dia sangat bernafsu mencari
korban dan mengumbar kesanggupan, mempertontonkan kemampuan
kepada orang-orang. Padahal sudah kita ketahui bahwa kemampuannya tak
seberapa, bahkan kerap berbuat salah dan melanggar aturan.
Iku (itu) aja (jangan) kongsi (sampai) mangkono (demikian itu) yen
(kalau) keni (bisa). Itu jangan sampai demikian itu kalau bisa.
Maka Ki Gambuh (penggubah serat ini) mengingatkan, jangan sampai
terjadi yang demikian itu. Upayakan sebisa-bisanya jangan sampai
terjerumus ke perbuatan yang sangat tidak pantas ini.
Kinira-kira (dikira-kira) kang (yang) patut (patut, pantas), apa (apa)
kalumrahaning (yang biasanya, kelaziman) wong (orang). Dikira-kira
yang patut (dalam berbuat), apa yang biasa dikerjakan orang.
Menjadi orang yang hidup dalam masyrakat hendaklah dapat mengira-
ngira, menduga-duga, apa saja yang patut dilakukan. Apa saja yang biasa
dilakukan atau menjadi kelaziman bagi orang-orang di lingkungan itu.
Jangan berbuat aneh-aneh yang memberi kesan congkak dan
menyombongkan diri, apalagi jika sampai mengaku-aku pintar, jangan
sampai yang demikian itu terjadi. Itu sifat tidak elok dan justru
kontraproduktif.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 6

Kajian Wedharaga (3): Den Sumendhe Aja Kibir


Bait ke-3, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Wedharaga,
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita:

Kang wus kaprah kalaku,


inganggoa sapakolehipun,
mung patrape den sumendhe aja kibir,
manawa kena sesiku,
wekasan rinasan ing wong.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Yang sudah lumrah terjadi,
pakailah sedapat-dapatnya.
Hanya perilakunya hendaklah bersandar (pada Allah), jangan
sombong.
Bila terkena murka Tuhan,
akhirnya menjadi gunjingan orang.

Kajian per kata:


Isi bait ini masih berkaitan dengan bait sebelumnya tentang anak muda
yang mengumbar kesanggupan kepada banyak orang. Yang demikian itu
bukanlah perilaku yang baik. Jadi orang hendaklah berlaku seperti
umumnya orang kebanyakan saja. Tidak usah aneh-aneh.
Kang (yang) wus (sudah) kaprah (lumrah) kalaku (terjadi), inganggoa
(pakailah) sapakolehipun (sedapatnya). Yang sudah lumrah terjadi,
pakailah sedapat-dapatnya.
Yang sudah lumrah dalam hal pengetahuan seseorang biasanya
mengamalkan sedapatnya saja, ada adanya saja sesuai kemampuan. Tidak
perlu umuk dan pamer kemampuan. Bila ada yang meminta dan bisa
mengerjakan ya dikerjakan. Tidak usah menjanjikan bisa melakukan ini-
itu padahal tidak bisa.
Yang dimaksud mengikuti kelumrahan bukan berarti permisif terhadap
tindak-tindak tercela yang umum di masyarakat, tetapi terhadap hal-hal
baik yang sudah berlaku dalam masyarakat itu. Adapun terhadap
kemungkaran tetap berlaku kewajiban amar ma’ruf nahi munkar sesuai
kemampuan masing-masing.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 7

Mung (hanya) patrape (perilakunya) den (hendaklah) sumendhe


(bersandar) aja (jangan) kibir (sombong). Hanya perilakunya hendaklah
bersandar (pada Allah), jangan sombong.
Harus senantiasa ingat bahwa semua terjadi karena kehendak Allah
semata. Sandarkanlah upaya kita kepadaNya. Jangan berlaku sombong
dengan mengklaim kepandaian sebagai usahanya semata.
Manawa (bila) kena (kena) sesiku (murka Tuhan, kutukan), wekasan
(akhirnya) rinasan (menjadi pembicaraan tak baik, menjadi gunjingan) ing
(di) wong (orang). Bila terkena murka Tuhan, akhirnya menjadi gunjingan
orang.
Karena berlaku sombong dan pamer dapat membuat dirinya keweleh, alias
terbongkar kedoknya. Selain itu juga mengundang murka Tuhan, kelak
bila terkena kutukan akibat perbuatannya yang gegabah itu hanya akan
menjadi gunjingan orang.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 8

Kajian Wedharaga (4;5): Ana Masakalane


Bait ke-4;5, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat
Wedharaga, karya Raden Ngabehi Ranggawarsita:

Nadyan dadiya dhukun,


lamun ana masakalanipun,
pinilala dening wong agung kang wajib.
Samonoa durung patut,
wong anom ahlul mangkono.

Ing tembe yen wus pikun,


pantes bae ulah idu wilut.
Bangsa bincil ambabatang ngusadani.
Mbok munia theyot theblung,
tan ana wong amaido.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Walau menjadi dukun,
namun tetap ada masakalanya (saatnya),
dipilih oleh orang besar yang berwajib.
Sungguhpun demikian belum patut,
orang muda ahli yang demikian (dukun).

Kelak jika sudah tua sekali,


pantas saja menekuni idu wilut.
Bermacam-macam perhitungan primbon, ramal-meramal dan
penyembuhan.
Berkata apapun,
tak ada yang menyangkal.

Kajian per kata:


Nadyan (walau) dadiya (menjadi) dhukun (dukun), lamun (namun) ana
(ada) masakalanipun (masakalanya, saatnya), pinilala (dipilih) dening
(oleh) wong (orang) agung (besar) kang (yang) wajib (berwajib). Walau
menjadi dukun, namun tetap ada masakalanya (saatnya), dipilih oleh
orang besar yang berwajib.
Agar tidak rancu dan bias untuk pengertian istilah dukun mohon mengacu
pada bait ke-2, seperti yang telah kami jelaskan secara singkat. Menjadi
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 9

dukun pun tidak boleh mengklaim sendiri, harus sudah ditunjuk oleh orang
penting atau yang berwajib.
Kita tidak bisa menilai keadaan masa lalu ketika serat ini ditulis, yakni
kira-kira 150 tahun yang lalu. Di zaman itu dukun adalah satu-satunya
alternatif selain kyai-kyai di pesantren (yang masih jarang) sebagai tempat
bertanya dan mencari solusi dari masalah kehidupan, masalah
penyembuhan, saran yang berkaitan dengan problem-problem sosial, dan
sebagainya. Banyak masalah yang ternyata dapat diselesaikan dengan baik
oleh dukun-dukun itu. Walau demikian tidak menutup kemungkinan
munculnya dukun-dukun palsu seperti kasus yang dibahas dalam bait ini.
Samonowa (sungguhpun demikian) durung (belum) patut (patut), wong
(orang) anom (muda) ahlul (ahli) mangkono (yang demikian).
Sungguhpun demikian belum patut, orang muda ahli yang demikian
(dukun).
Seungguhpun demikian, walau bener-bener mempunyai ilmu, orang muda
belum patut menjadi ahli dalam hal perdukunan. Selain sering disebut
wong pinter, dukun juga sering disebut wong tuwa, artinya sudah kaya
pengalaman dan pantas menjadi paran pitakon, tempat bertanya. Kalau
yang menjadi dukun anak muda akan kelihatan janggal. Sekali lagi dukun
yang dimaksud di sini adalah dukun putih, seperti yang telah kami jelaskan
dalam bait ke-2.
Ing tembe (kelak) yen (jika) wus (sudah) pikun (tua sekali), pantes
(pantas) bae (saja) ulah (menekuni) idu wilut (idu wilut). Kelak jika sudah
tua sekali, pantas saja menekuni idu wilut.
Arti dari idu wilut adalah ludah ampuh. Hal ini berkaitan dengan praktik
penyembuhan yang sekarang dikenal dengan nama suwuk, yakni
mendoakan air putih dengan doa-doa kemudian ditiup di atasnya, kadang
dengan menyemburkan air ludah.
Bangsa (Bermacam-macam) bincil (perhitungan primbon) ambabatang
(ramal-meramal) ngusadani (penyembuhan). Bermacam-macam
perhitungan primbon, ramal-meramal dan penyembuhan.
Bincil adalah segala hal berkaitan dengan perhitungan hari, yang bisa
berupa peringatan hari-hari orang meninggal, mencari hari-hari baik,
menghindari hari buruk. Dasar dari perhitungan ini adalah kitab primbon.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 10

Ambabatang adalah berkaitan dengan ramal-meramal nasib seseorang.


Biasanya berdasar ilmu astrologi Jawa karena pathokannya biasanya
waktu lahir.
Ngusadani adalah praktik penyembuhan, membuat jampi-jampi, jamu dan
mantera-mantera. Ini pun juga sering dilakukan dukun, justru kebanyakan
dukun membuka praktik penyembuhan ini karena zaman dahulu memang
belum ada dokter.
Mbok munia (berkata) theyot theblung (apapun), tan (tak) ana (ada)
wong (orang) amaido (menyangkal). Berkata apapun, tak ada yang
menyangkal.
Theyot theblung adalah bunyi kodok bersahutan di kolam atau ketika
banjir. Maksud Ki Pujangga adalah kalau sudah tua pantas kalau membuka
praktik dukun, walau ibarat berbunyi seperti kodok pun takkan ada orang
yang menyangkal. Ini adalah sindiran keras bagi praktik perdukunan di
masa itu yang begitu dipercaya orang, bahkan ketika si dukun ngomong
yang tak jelas seperti bunyi kodok di kolam orang juga tidak menyangkal.
Dalam dua bait ini Ki Ranggawarsita mengkritik praktik perdukunan yang
asal-asalan. Selain si dukun yang masih muda dan belum pantas jika
membuka praktik perdukunan juga disinggung sedikit tentang pandangan
masyarakat kepada dukun yang asal percaya saja.
Untuk selanjutnya Ki Ranggawarsita memberi saran bagi anak muda atau
bagi siapapun yang berkaitan dengan sikap yang benar yang harus
ditempuh dalam menjalani kehidupan. Nantikan dalam bait-bait
berikutnya.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 11

Kajian Wedharaga (6): Wiwit Nom Amandeng Laku


Bait ke-6, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Wedharaga,
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita:

Mangkene patrapipun,
wiwit anom amandengalaku,
ngungurangi mangan turu sawatawis,
amemekak hawa napsu,
dhasarana andhap asor.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Seperti inilah sikap yang baik,
sejak muda memusatkan perhatian pada tingkah laku.
Mengurangi makan dan tidur sampai secukupnya saja,
menahan dengan sangat hawa nafsu
mendasari setiap perbuatan dengan rendah hati.

.
Kajian per kata:
Mangkene (seperti inilah) patrapipun (sikap yang baik), wiwit (sejak)
anom (muda) amandengalaku (memusatkan perhatian pada tingkah laku).
Seperti inilah sikap yang baik, sejak muda memusatkan perhatian pada
tingkah laku.
Jika ingin menjadi orang besar yang dikagumi orang, yang mempunyai
banyak penggemar, yang menjadi panutan banyak orang (seperti para
dukun itu) maka harus menjaga sikap yang baik. Sejak muda harus sudah
memperhatikan, memusatkan perhatian pada tingkah laku yang benar.
Sejak muda harus membiasakan diri dengan kebiasaan baik agar kelak
ketika tua tidak malas atau kikuk ketika harus melakukan kebaikan. Apa
saja kebiasaan yang harus diamalkan sejak muda itu?
Ngungurangi (mengurangi) mangan (makan) turu (tidur) sawatawis
(secukupnya), amemekak (menahan dengan sangat) hawa napsu (hawa
nafsu), dhasarana (didasari) andhap asor (sikap rendah hati). Mengurangi
makan dan tidur sampai secukupnya saja, menahan dengan sangat hawa
nafsu dan mendasari setiap perbuatan dengan rendah hati.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 12

Pada bait ini disebutkan tiga kebiasaan yang harus diamalkan sejak muda
agar menjadi ringan dilakukan ketika tua karena sudah terbiasa dan
menjadi akhlak sehri-hari.
Yang pertama, mengurangi makan dan tidur sampai pada level
secukupnya. Ada anjuran Nabi berkaitan dengan makan yang amat bagus;
makanlah hanya ketika lapar dan berhentilah sebelum kenyang. Jika anak
muda bisa mempraktikan ini saja sudah sangat bagus. Dalam hal tidur juga
janganlah berlebihan tapi lakukan secukupnya sekadar menjaga kebugaran
tubuh. Jika sudah cukup tidur hendaklah bangun untuk melakukan
kegiatan yang bermanfaat.
Yang kedua, menahan dengan sangat keinginan hawa nafsu. Kata mekak
biasa dipakai untuk menghentikan kuda dengan cara menarik tali kekang
sehingga kuda dengan terpaksa berhenti. Perumpamaan ini diambil karena
sifat keduanya yang mirip (antara kuda dan hawa nafsu), yakni kalau tidak
dikekang akan lari terus. Maka mengendalikan hawa nafsu memang harus
dengan sedikit menahan sakit dan mengabaikan keinginan.
Yang ketiga, mendasari setiap perbuatan dengan sikap rendah hati. Tidak
pamer, tidak sombong, tidak umuk, tidak jumawa tetapi menyembunyikan
kemampuan apabila tidak diperlukan.
Inilah tiga sikap yang harus dimiliki anak muda dalam kehidupan. Untuk
diketahui ini hanyalah dasar-dasar atau permulaan saja. Masih banyak hal
yang harus dilakukan bagi mereka yang sungguh-sungguh peduli dengan
masa depannya kelak. Kita akan melanjutkan pada kajian berikutnya.
Sampai jumpa!
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 13

Kajian Wedharaga (7): Akanthi Awas Emut


Bait ke-7, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Wedharaga,
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita:

Akanthi awas emut,


aja tinggal wiweka ing kalbu.
Mituhua wawarah kang makolehi.
Den taberi anguguru,
aja isin atatakon.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Disertai awas dan eling,
jangan meninggalkan kewaspadaan dalam hati.
Patuhilah nasihat yang bermanfaat.
Harap rajin dalam menuntut ilmu,
jangan malu-malu dalam bertanya.

Kajian per kata:


Akanthi (diserti) awas (waspada) emut (ingat), aja (jangan) tinggal
(meninggalkan) wiweka (kewaspadaan, kehati-hatian) ing (dalam) kalbu
(hati). Disertai awas dan eling, jangan meninggalkan kewaspadaan dalam
hati.
Waspada lebih ditujukan ke luar dalam menghadapi berbagai godaan dan
halangan yang muncul. Emut (ingat) berarti mengingat diri sendiri,
menjaga diri dari keinginan hati yang melampaui batas, jadi ingat lebih
ditujukan ke dalam. Sedangkan wiweka lebih bermakna menjaga
kewaspadaan hati, jangan sampai hati terlena dengan bujukan dari luar
(kadang bersifat sangat halus), sehingga terjerumus dalam perbuatan
tercela.
Mituhuwa (patuhilah) wawarah (nasihat) kang (yang) makolehi
(bermanfaat). Patuhilah nasihat yang bermanfaat.
Jika mendengar nasihat yang bermanfaat dan benar jangan ragu untuk
mematuhinya dari manapun datangnya nasihat itu. Kata sayidina Ali r.a.,
seorang muslin paling berhak atas hikmat, sehingga apabila menemukan di
mana saja maka dia berhak mengambilnya.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 14

Den (harap) taberi (rajin) anguguru (berguru, menuntut ilmu), aja


(jangan) isin (malu) atatakon (bertanya). Harap rajin dalam menuntut
ilmu, jangan malu-malu dalam bertanya.
Taberi artinya telaten dan ajeg (kontinyu), tidak sering mbolos atau
seenaknya saja dalam mengikuti pelajaran, rajin dan perhatian terhadap
ajaran guru. Jangan malu-malu untuk bertanya apabila belum mengerti
benar tentang segala sesuatu.
Karena saat serat ini digubah belum banyak didirikan sekolah formal dan
kalaupun ada peserta didiknya juga hanya dari kalangan bangsawan, maka
nasihat tentang pelajaran dalam serat ini lebih ditujukan pada anak muda
yang menuntut ilmu secara non formal. Oleh karena itu istilah yang
dipakai adalah anguguru, artinya mencari guru untuk diambil ilmunya.
Ada banyak orang yang bersedia menerima murid pada waktu itu. Konsep
yang diterapkan adalah suwita atau ngenger, yakni ikut menumpang hidup
di rumah sang guru dan membantu segala kerepotan sambil belajar.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 15

Kajian Wedharaga (8): Aja Kesed Lan Sungkanan


Bait ke-8, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Wedharaga,
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita:
Wong amarsudi kawruh,
titirona ing reh kang rahayu,
aja kesed sungkanan sabarang kardi,
sakadare angingimpun,
nimpeni kagunaning wong.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Bagi orang yang berupaya memperdalam pengetahuan,
tirulah dalam segala hal yang baik.
Jangan malas dan enggan dalam sembarang pekerjaan
Sekadarnya mengumpulkan,
memanfaatkan kepandaian orang.

Kajian per kata:


Wong (orang) amarsudi (berupaya memperdalam) kawruh (pengetahuan),
titirona (tirulah) ing reh (dalam hal semua) kang (yang) rahayu (baik,
selamat). Bagi orang yang berupaya memperdalam pengetahuan, tirulah
dalam segala hal yang baik.
Belajar yang paling gampang adalah meniru, namun yang cara yang
demikian memerlukan contoh atau teladan. Jika ada yang bisa diteladani
maka jangan membuang kesempatan, contohlah apapun yang baik darinya.
Bila perlu bergurulah kepada pribadi-pribadi yang telah teruji dalam hal
kebaikan sifat dan perilakunya. Selain mendapat teladan juga mendapat
berkah dari kebaikan sang guru. Karena seperti halnya sifat buruk yang
bisa menular sifat-sifat baik pun demikian adanya.
Aja (jangan) kesed (malas) sungkanan (enggan) sabarang (dalam
sembarang) kardi (pekerjaan). Jangan malas dan enggan dalam
sembarang pekerjaan.
Sebagai murid harus rajin dalam menuntut ilmu dan menjalankan perintah
guru. Jika berguru secara non formal maka harus rajin membantu
kerepotan guru agar beliau berkesan hatinya dan berkenan menurunkan
ilmunya. Jangan memperlihatkan sifat malas, dan enggan dalam
melakukan pekerjaan. Hal itu membuat yang melihat pun tak senang dan
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 16

dongkol. Jika begitu mana ada orang yang dengan senang hati akan
berbagi ilmu dengan orang yang demikian?
Sakadare (sekadarnya) angingimpun (mengumpulkan), nimpeni
(memanfaatkan) kagunaning (kepandaian) wong (orang). Sekadarnya
mengumpulkan, memanfaatkan kepandaian orang.
Dalam hal pengetahuan juga hendaknya rajin mengumpulkan ilmu,
bertanya tentang sesuatu kepada yang ahli tentang ini, bertanya kepada
yang ahli tentang itu, selanjutnya kumpulkan jawabannya. Jika mungkin
pelajari kitab dari ahli ini, juga pelajari kitab dari ahli itu, dan kumpulkan
kesimpulan mereka. Inilah yang disebut memanfaatkan ilmu orang lain
untuk menambah pengetahuan. Yang demikian itu disebut mengutip, itu
boleh dilakukan dan tidak melanggar etika. Yang tidak boleh adalah
menjiplak, atau plagiat, yakni mengakui karya orang lain sebagai hasil
karyanya.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 17

Kajian Wedharaga (9): Becik Ipil-Ipil Kawruh


Bait ke-9, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Wedharaga,
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita:

Tinimbang lan anganggur,


kaya becik ipil-ipil kawruh,
angger datan ewan panasten sayekti,
kawignyane wuwuh-wuwuh,
wekasan kasub kinaot.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Daripada menganggur,
lebih baik mengumpulkan sedikit-sedikit pengetahuan.
Asalkan tidak gampang iri hati dan panas hati benar-benar,
kepandaiannya bertambah-tambah.
Akhirnya terkenal (dari) yang lain.

Kajian per kata:


Tinimbang (daripada) lan anganggur (menganggur), kaya (sepertinya)
becik (lebih baik) ipil-ipil (mengumpulkan sedikit-sedikit) kawruh
(pengetahuan). Daripada menganggur lebih baik mengumpulkan sedikit-
sedikit pengetahuan.
Ipil-ipil adalah mengumpulkan sesuatu sedikit demi sedikit. Tentu
perbuatan ini terkesan tidak serius, namun jika dilihat dari konteks
kehidupan menjadi sangat bermanfaat. Misalnya ketika sedang duduk-
duduk menunggu kereta lewat daripada hanya diam iseng-iseng bertanya
kepada sesama penunggu. Barangkali ada salah satu penunggu yang
mempunyai kisah atau pengetahuan yang belum kita mengerti. Maka
sambil menunggu datangnya kereta kita bisa mendengar kisah-kisah yang
penuh hikmat. Walau ilmu yang kita dapat dari pertemuan singkat itu
hanya sedikit tetapi lebih baik daripada hanya duduk diam saja. Dalam
banyak peristiwa kesempatan seperti itu akan ada, manfaatkanlah
sebisanya.
Angger (asalkan) datan (tidak) ewan (gampang iri hati) panasten (panas
hati) sayekti (benar-benar), kawignyane (kepandaiannya) wuwuh-wuwuh
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 18

(bertambah-tambah). Asalkan tidak gampang iri hati dan panas hati


benar-benar, kepandaiannya bertambah-tambah.
Dalam mencari ilmu terhadap sesama, baik dengan cara bertanya seperti di
atas atau dengan memperhatikan atau dengan sengaja ingin mempelajari
yang harus dipunyai adalah sikap tawadlu’. Kita takkan mendapat ilmu
kalau kita gampang iri hati atau gampang panas hati jika melihat
kesuksesan orang.
Misalnya ketika piknik kok melewati peternakan bebek yang sukses, maka
jangan ragu untuk bertanya kepada si empunya ternak dengan rendah hati.
Siapa tahu kelak ilmu yang kita dapat bermanfaat. Namun kalau kita iri
tentu yang terjadi bukan bertanya tetapi malah mencemooh, “Aduh ternak
kok ya bebek! Bikin bau aja!”
Sikap yang rendah hati atau tawadlu’ tadi akan membuat pengetahuan kita
bertambah karena orang menjadi tidak segan untuk berbagi ilmu.
Sebaliknya sikap iri dan panas hati akan menjauhkan diri dari ilmu, meski
dekat pun takkan terambil wong gayanya pura-pura tak butuh. Piye jal?
Wekasan (akhirnya) kasub (terkenal) kinaot (yang lain). Akhirnya
terkenal (dari) yang lain.
Apabila kita rajin mengumpulkan pengetahuan dengan cara tersebut kelak
juga akan banyak pengetahuan yang kita miliki. Nama kita akan dikenal
lebih daripada orang lain, karena kita menjadi banyak teman akibat sering
bertanya tadi. Sebuah sikap yang dobel manfaat.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 19

Kajian Wedharaga (10): Simpenen Ing Pungkur


Bait ke-10, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Wedharaga,
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita:
Lamun wus sarwa putus,
kapinteran simpenen ing pungkur,
bodhonira katokna ing ngarsa yekti,
gampang traping tindak-tanduk,
amawas pambekaning wong.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Jika sudah ahli,
kepandaianmu simpanlah di belakang.
Kebodohanmu perlihatkan di muka sebenarnya (ini),
memudahkan menerapkan langkah,
dalam memahami perangai orang.

Kajian per kata:


Lamun (jika) wus (sudah) sarwa (serba) putus (ahli), kapinteran
(kepandaian) simpenen (simpanlah) ing (di) pungkur (belakang). Jika
sudah ahli, kepandaianmu simpanlah di belakang.
Putus artinya sudah pintar, sudah ahli, sudah menguasai ilmu tertentu. Jika
sudah ahli dalam satu ilmu sembunyikan keahlian itu jauh di belakang agar
tak terlihat orang. Etika orang berilmu memang tidak perlu memamerkan
ilmunya kepada banyak orang.
Bodhonira (kebodohanmu) katokna (perlihatkan) ing (di) ngarsa (muka)
yekti (sebenarnya), gampang (memudahkan) traping (menerapkan)
tindak-tanduk (langkah), amawas (memahami) pambekaning (perangai)
wong (orang). Kebodohanmu perlihatkan di muka sebenarnya (ini),
memudahkan menerapkan langkah, dalam memahami perangai orang.
Sebaliknya pada hal-hal yang kita masih bodoh tampakkanlah kebodohan
itu kepada banyak orang. Menampakkan di sini bukan berarti kita pura-
pura bodoh tetapi dengan tetap memperbanyak bertanya dalam hal yang
kita tidak tahu. Karena ilmu pengetahuan itu luas, seseorang yang sudah
ahli dalam satu ilmu belum tentu ahli dalam ilmu lainnya, maka pada hal-
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 20

hal yang belum tahu tersebut jangan sungkan-sungkan untuk tetap


bertanya agar pengetahuan semakin banyak.
Sikap yang demikian itu lebih baik daripada memamerkan sedikit yang
kita sudah tahu, lebih nyaman bagi orang lain dan memudahkan bagi kita
melangkah dalam kehidupan. Hidup menjadi tidak terbebani serta lebih
mudah dalam bergaul mengenal watak orang lain.
Inilah etika yang dipegang teguh para ahli ilmu, ibarat batang padi
semakin berisi semakin menunduk. Sebaliknya orang-orang bodoh justru
berlagak pintar dengan banyak bicara hal yang dia tidak paham benar,
ibarat tong kosong jika diketuk nyaring bunyinya.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 21

Kajian Wedharaga (11):Lumuh Katon Balilu


Bait ke-11, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Wedharaga,
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita:
Karana ing tumuwuh,
akeh lumuh katona mbalilu,
marma tansah mintonken kawruh pribadi,
amrih den alema punjul,
tan wruh bakal kajalomprong.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Sebab di dalam kehidupan,
banyak orang tidak mau kelihatan bodoh.
Maka selalu mempertontonkan pengetahuan sendiri,
agar dipuji sebagai punyak kelebihan
(Dia) tak mengetahui akan terjerumus.

.
Kajian per kata:
Karana (sebab, karena) ing (dalam) tumuwuh (kehidupan), akeh (banyak)
lumuh (tidak mau) katona (terlihat) mbalilu (bodoh). Sebab di dalam
kehidupan, banyak orang tidak mau kelihatan bodoh.
Bodoh itu sifat yang tidak populer dan sering menjabi bahan bullying sejak
masih anak-anak. Di sekolah-sekolah pun para mengajarkan agar para
murid agar rajin belajar supaya tidak bodoh. Mereka memperolok orang
bodoh dengan kalimat: bodho longa-longo kaya kebo pakanane suket ijo
sak tompo. Silahkan dipahami sendiri kalimat tersebut karena
terjemahannya tak semenghina dalam bahasa asalnya.
Fenomena di atas terpatri dalam benak setiap anak sampai dewasa, maka
takkan ada seorangpun yang mau kelihatan bodoh. Kesadaran ini sudah
mengendap di alam bawah sadar, yang takkan mudah untuk diubah.
Marma (maka) tansah (selalu) mintonken (mempertontonkan) kawruh
(pengetahuan) pribadi (diri), amrih (agar) den (di) alema (puji) punjul
(lebih). Maka selalu mempertontonkan pengetahuan sendiri, agar dipuji
sebagai punyak kelebihan.
Yang sebaliknya anak yang pintar akan selalu dipuji teman disayang guru,
mudah mendapat teman dan takkan ada yang memperolok. Kesadaran ini
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 22

juga akan dibawa sampai tua, maka setiap orang berusaha kelihatan pintar
agar selalu mendapat pujian sebagai orang yang lebih dari sesamanya.
Akibatnya banyak orang yang berlagak pintar demi meraih simpati.
Mempunyai pengetahuan sedikit saja sudah banyak bicara. Baru tahu satu
hal sudah menyalahkan hal lainnya. Baru memahami satu kebenaran sudah
merasa paling benar. Semua muara dari sikap sok pintar pada dasarnya
hanya satu: gila pujian.
Tan (tak) wruh (mengetahui) bakal (akan) kajalomprong (terjerumus).
(Dia) tak mengetahui akan terjerumus.
Orang-orang yang bersikap seperti itu tidak mengetahui bahwa sikap
tersebut sangat merugikan dirinya sendiri, menjerumuskan dalam kerugian
yang besar. Mengapa demikian? Jawabnya ada pada kajian berikutnya.
Sampai jumpa!
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 23

Kajian Wedharaga (12):Anganggowa Duga Prayoga


Bait ke-12, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Wedharaga,
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita:
Lamun pinter satuhu,
tan mangkono ing reh patrapipun,
kudu nganggo watara duga prayogi,
pinter angaku balilu,
dennya met kagunaning wong.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Jika benar-benar pandai,
tidak demikian dalam perilakunya.
Harus memakaui pengamatn dan perkiraan mana yang selayaknya,
pandailah mengaku bodoh.
Agar mendapat kepandaian orang.

Kajian per kata:


Lamun (jika) pinter (pandai) satuhu (benar-benar), tan (tidak) mangkono
(demikian) ing reh (dalam hal) patrapipun (perilakunya). Jika benar-
benar pandai, tidak demikian dalam perilakunya.
Bait ini melanjutkan isi bait sebelumnya yang menguraikan sifat-sifat
orang yang mempertontonkan ilmunya. Mencari pujian dari orang lain
dengan cara pamer kepandaian. Sebenarnya jika seseorang benar-benar
pandai justru tidak demikian perilakunya.
Kudu (harus) nganggo (memakai) watara (pengamatan) duga (perkiraan)
prayogi (mana yang selayaknya), pinter (pandai) angaku (mengaku)
balilu (bodoh). Harus memakaui pengamatn dan perkiraan mana yang
selayknya, pandailah mengaku bodoh.
Orang yang sudah ahli akan penuh perhitungan dalam bertindak,
mengamati dan memperkirakan segala akibat dari perilakunya. Dapat
menduga-duga sikap apa yang seyogyanya diambil ketika bersama banyak
orang. Dalam banyak kesempatan tidak merasa perlu untuk pamer. Toh
baru sedikit yang ia ketahui, masih banyak pengetahuan lain yang belum
sempat dipelajarinya. Justru pada setiap kesempatan jika bisa ia
mengambil pelajaran dari orang lain dalam bidang yang baru. Maka ia tak
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 24

segan-segan untuk menunjukkan bahwa ia tidak mengerti dalam bidang


baru itu. Dia tak malu untuk disebut bodoh.
Dennya (agar) met (mendapat) kagunaning (kepandaian) wong (orang).
Agar mendapat kepandaian orang.
Dengan cara demikian dia mendapat kesempatan untuk bertanya tanpa
sungkan kepada orang lain. Yang ditanya pun dengan sukarela akan
berbagi ilmu karena merasa pengetahuannya dihargai. Lain halnya kalau
seseorang bersikap sombong, tertutup baginya kesempatan untuk belajar
ilmu baru karena calon gurunya pun ogah melayani. Ini sebuah kerugian
besar jikalau dia menyadari.
Sampai di sini kita sudah tahu manfaat dari sikap rendah hati dan
mengakui kebodohan. Bodoh sesungguhnya bukan suatu aib. Yang
memalukan adalah sikap pemalas dan sombong, malas untuk belajar dan
menyombongkan sedikit ilmu.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 25

Kajian Wedharaga (13):Angarah Warak Wuruk


Bait ke-13, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Wedharaga,
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita:
Angarah warah wuruk,
lamun seje murad maksudipun,
rasakena ing ati dipun nastiti,
aja pijer umbag umuk,
mundhak kawiyak yen bodho.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Mengharap nasihat dan pengajaran,
bila berbeda maksud tujuannya,
direnungkan dalam hati secara teliti.
Jangan sering pamer dan besar mulut,
agar jangan terbongkar kalau bodoh.

Kajian per kata:


Angarah (mengharap) warah (nasihat) wuruk (dan ajaran), lamun (bila)
seje (beda) murad maksudipun (maksud tujuannya), rasakena
(direnungkan) ing (dalam) ati (hati) dipun nastiti (secara teliti).
Mengharap nasihat dan pengajaran, bila berbeda maksud tujuannya,
direnungkan dalam hati secara teliti.
Seorang yang cinta ilmu pengetahuan akan sangat mendambakan seorang
guru yang berkenan mengajar padanya. Maka jika melihat seorang yang
cerdik-cendekia yang dia harapkan hanyalah nasihat dan ajarannya. Tak
peduli apakah sang guru ia sepakati ilmunya dia tetap akan mendengarkan
apa yang diajarkan. Jika ternyata dia mendapati maksud dan tujuan yang
berbeda dalam ajaran sang guru dia tidak serta-merta membantah, tetapi
merenungkan dalam hati terlebih dahulu, dipikirkan dengan akal-budi
secara teliti dan cermat.
Bagaimanapun ajaran sang guru yang kepada kita telah berkenan membagi
ilmu harus kita hargai. Kalau dalam budaya Jawa ada istilah, kapundhi ing
mustaka dadosa jejimat, artinya diletakkan di atas kepala menjadi
pegangan hidup. Inilah etika seseorang ketika menerima ilmu dari orang
lain.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 26

Aja (jangan) pijer (sering) umbag (pamer) umuk (besar mulut), mundhak
(agar jangan) kawiyak (terbongkar) yen (kalau) bodho (bodoh). Jangan
sering pamer dan besar mulut, agar jangan terbongkar kalau bodoh.
Orang pandai yang sejati akan bersikap seperti yang telah diuraikan pada
bait sebelumnya, yakni berhati-hati, awas eling dan dapat mengira-ngira
akibat dari perbuatannya. Sikap ini dinamakan duga lan prayoga.
Tentang sikap pamer dan besar mulut, telah kami tegaskan berkali-kali
bahwa yang demikian bukanlah ciri-ciri dari orang pandai. Janganlah
sekal-kali bersikap demikian. Tidak ada keuntungannya dalam pamer
ilmu, malah orang-orang menjadi tahu bahwa sebenarnya kita bodoh.
Seperti halnya orang takkan tahu isi dari sebuah tong manakala belum
mengetuknya. Sesudah diketuk-ketuk dan keluarlah bunyi nyaringnya baru
orang paham: oh kosong .....
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 27

Kajian Wedharaga (14;15): Ngaku Putus Tanda Bodho


Bait ke-14;15, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat
Wedharaga, karya Raden Ngabehi Ranggawarsita:
Panengeraning wong iku,
adat ana panggrayanganipun,
peten saking sambang liring nayeng wadi,
yen wong ngaku sarwa putus,
iku mratandhani bodho.

Lamun wong ngaku cukup,


mratandhani kukurangan iku,
wong ngungasken kakendelan tandha jirih,
wong angakukiyat pengkuh,
tandha apes amalendo.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Cara mengetahui ciri-ciri orang itu,
biasanya ada yang dijadikan perkiraan.
Ambilah dari cara melihat dan mimik muka yang rahasia.
Kalau orang mengaku serba ahli,
itu menandakan ia bodoh.

Jika orang mengaku cukup,


menandakan bahwa dia kekurangan.
Orang yang menyombongkan keberanian menandakan dia takut.
Orang yang mengaku kuat dan sentosa,
pertanda dia lemah dan tak dapat diandalkan.

Kajian per kata:


Panengeraning (cara mengetahui ciri-ciri) wong (orang) iku (itu), adat
(biasanya) ana (ada) panggrayanganipun (yang dijadikan perkiraan).
Cara mengetahui ciri-ciri orang itu, biasanya ada yang dijadikan
perkiraan.
Panengeran dari kata tenger artinya tanda. Setiap orang mempunyai tanda-
tanda yang menunjukkan watak, sifat, perilakunya secara umum.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 28

Panengeran yang dimaksud dalam bait ini adalah tentang apakah seseorang
berbohong perihal kemampuan yang dimilikinya. Klaim yang dia ucapkan
bahwa dia ahli dalam bidang ini-itu apakah benar? Ada tanda-tanda untuk
mengetahui hal tersebut.
Peten (ambilah) saking (dari) sambang liring (sekilas pandangan) nayeng
wadi (mimik muka yang mengandung rahasia). Ambilah dari cara melihat
dan mimik muka yang rahasia.
Pet artinya ambil, sambang liring artinya cara melihat, gerak mata, naya
ing wadi = nayeng wadi artinya mimik muka rahasia. Jadi tanda-tanda itu
ambilah dari cara dia melihat, gerak mata dan mimik atau air muka pada
saat dia berbicara. Jika kita awas dan teliti niscara akan terlihat jelas
apakah seseorang benar-benar mempunyai kemampuan seperti yang dia
klaim atau hanya berbohong.
Cara ini terlampau sulit bagi orang awam, dan hanya dapat dilakukan oleh
orang yang menguasai ilmu gerak wajah. Namun pada umumnya orang
Jawa yang dewasa menguasai hal seperti ini. Inilah yang dinamakan
sasmita (isyarat), yakni apa yang tersirat dari yang tersurat. Oleh karena
itu di Jawa sering kita mendengar perkataan tanggap ing sasmita artinya
paham apa yang tersirat. Sasmita ini bisa berupa isyarat yang sengaja
diberikan oleh seseorang yang sedang bicara, atau juga bisa tidak sengaja
tetapi tetap mengungkap gejolak apa yang ada di hati seseorang.
Yen (kalau) wong (orang) ngaku (mengaku) sarwa (serba) putus (ahli),
iku (itu) mratandhani (menandakan) bodho (bodoh). Kalau orang
mengaku serba ahli, itu menandakan ia bodoh.
Bagi orang awam ada penanda yang umum dan lebih mudah namun
kurang akurat: siapapun yang mengaku-ngaku ahli, itu pertanda bahwa dia
bodoh. Setiap orang pasti ingin menyembunyikan kelemahan dirinya,
dalam soal ilmu kelemahan yang tampak adalah kebodohan, maka wajar
jika kemudian seseorang mengaku pintar agar tidak dianggap bodoh.
Lamun (jika) wong (orang) ngaku (mengaku) cukup (cukup),
mratandhani (menandakan) kukurangan (kekurangan) iku (itu). Jika
orang mengaku cukup, menandakan bahwa dia kekurangan.
Demikian juga dalam hal kekurangan yang lain. Soal harta misalnya,
seseorang akan menyembunyikan kemiskinannya dengan bergaya hidup
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 29

mewah, entah bagaimana caranya. Memamerkan barang-barang berharga


demi menutupi keadaan yang sesungguhnya.
Wong (orang) ngungasken (menyombongkan) kakendelan (keberanian)
tandha (pertanda) jirih (takut). Orang yang menyombongkan keberanian
menandakan dia takut.
Dalam hal keberanian juga berlaku demikian, orang yang penakut akan
berteriak lantang agar dikira pemberani. Namun jika dihadapkan
marabahaya dia akan lari duluan dengan berbagai alasan.
Wong (orang) angaku (mengaku) kiyat (kuat) pengkuh (sentosa), tandha
(pertanda) apes amalendo. Orang yang mengaku kuat dan sentosa,
pertanda dia lemah dan tak dapat diandalkan.
Orang yang lemah akan mengaku kuat agar meraih kepercayaan, namun
jika tiba waktunya dia tidak dapat diandalkan. Kata malendo sering
dilafalkan maletho, mletho, artinya tak dapat diandalkan.
Tanda-tanda di atas adalah kesimpulan yang digeneralisir, namun cukup
shahih sebagai informasi awal sebagai upaya berjaga-jaga (waspada)
apabila bertemu dengan orang yang berperilaku demikian. Untuk
menyimpulkan watak seseorang dengan tepat tentu dibutuhkan pengenalan
yang panjang, namun sebagai upaya untuk menjaga diri beberapa pathokan
di atas layak dipegang bagi orang awam.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 30

Kajian Wedharaga (16):Peksa Unggul Wekasan Asor


Bait ke-16, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Wedharaga,
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita:
Wong ngaurip wus tamtu,
akeh padha arebut piyangkuh.
Lumuh lamun kasor kaseser sathithik.
Nanging singa peksa unggul,
ing wekasan dadi asor.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Orang hidup sudah pasti,
banyak yang berebut kebanggaan.
Tak mau kalah walau hanya tergeser sedikit saja.
Tetapi siapa yang memaksakan unggul,
pada akhirnya menjadi hina.

Kajian per kata:


Wong (orang) ngaurip (hidup) wus (sudah) tamtu (pasti), akeh (banyak)
padha (yang) arebut (berebut) piyangkuh (kebanggaan). Orang hidup
sudah pasti, banyak yang berebut kebanggaan.
Merupakan hal yang biasa, dan juga bukan suatu hal buruk jika orang
hidup di dunia mencari kebanggaan. Bagaimanapun segala pencapaian
manusiawi, entah ilmu, harta, kedudukan dan pangkat adalah hal yang
menunjukkan suatu prestasi. Tidak sembarang orang dapat melakukan hal
itu, jadi wajar apabila yang demikian itu menjadi kebanggaan. Bahkan
semangat dalam mencari hal-hal di atas adalah sebuah kebaikan.
Lumuh (tak mau) lamun (jika) kasor (kalah) kaseser (tergeser) sathithik
(sedikit). Tak mau kalah walau hanya tergeser sedikit saja.
Juga bukan suatu hal aneh jika manusia tak mau kalah dalam hal-hal di
atas, bahkan tergeser sedikit pun bisa membuat hati resah. Perasaan seperti
ini menimbulkan semangat untuk berkompetisi sehat antara sesama
manusia. Berusaha lebih unggul dan enggan kalah adalah energi positif
untuk kemajuan seseorang.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 31

Nanging (tetapi) singa (siapa yang) peksa (memaksakan) unggul


(unggul), ing (pada) wekasan (akhirnya) dadi (menjadi) asor (hina).
Tetapi siapa yang memaksakan unggul, pada akhirnya menjadi hina.
Namun persoalannya akan menjadi lain manakala dalam meraih
kebanggan tersebut dilakukan dengan memaksakan diri. Tidak sabar dalam
mengikuti proses yang harus ditempuh. Belum-belum sudah
memaklumatkan diri dengan klaim-klaim kemampuan yang palsu, belum-
belum sudah berlagak sebagai orang pandai, bergaya bak orang kaya,
angkuh layaknya pejabat. Jika demikian yang dituai bukanlah kemuliaan,
melainkan cibiran dan kehinaan.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 32

Kajian Wedharaga (17;18): Wekasan Kether Tan Ethor


Bait ke-17;18, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat
Wedharaga, karya Raden Ngabehi Ranggawarsita:
Ingkang mangkono iku,
badaningong pribadi ing dangu.
Paksa unggul wekasan malah katinggil.
Panggilesing jabung alus,
winangsulan tyas kaleson.

Mangkono kang tinemu,


marmane wong ngaurip punika,
aja pisan paksa ambeg kumalikih.
Angaku sarwa linuhung,
wekasan kether tan ethor.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Yang demikian itu,
diri saya sendiri (mengalami) dahulu.
Memaksakan unggul akhirnya malah terpukul.
Tergilas oleh orang dekat,
(ingin) mengulang lagi hati sudah lesu.

Demikian yang terjadi,


oleh karena itu orang berkehidupan itu,
jangan sekali-kali memaksakan berwatak sombong.
Mengaku serba lebih hebat,
akhirnya terbengkelai karena tidak becus.

Kajian per kata:


Ingkang (yang) mangkono (demikian) iku (itu), badaningong (diri saya)
pribadi (sendiri) ing (ketika) dangu (dahulu). Yang demikian itu, diri saya
sendiri (mengalami) dahulu.
Ki Gambuh (penggubah serat ini) pernah mengalami yang demikian itu,
yakni memaksakan diri tampil hebat seolah paling unggul.
Memang sikap seperti itu acapkali menjangkiti anak muda yang belum
berpengalaman dalam kehidupan terutama mereka yang baru mempelajari
pengetahuan baru. Karena kaget dan takjub akan ilmu barunya yang
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 33

selama ini tidak dikenalnya lantas mengira bahwa orang lain juga tidak
mengerti akan hal itu. Jadilah dia berlagak seolah hanya dirinya yang tahu.
Maka tak aneh kalau Ki Gambuh pun pernah mengalaminya.
Paksa (memaksakan) unggul (unggul) wekasan (akhirnya) malah (malah)
katinggil (katenggel, terpukul), panggilesing (tergilas) jabung alus (orang
yang dekat), winangsulan (diulang lagi) tyas (hati) kaleson (sudah lesu).
Memaksakan unggul akhirnya malah terpukul, tergilas oleh orang dekat,
(ingin) mengulang lagi hati sudah lesu.
Inilah pengalaman Ki Gambuh di masa dahulu, memaksakan penampilan
akhirnya malah terpukul. Tenggel adalah memotong atau memukul sesuati
tepat sasaran, telak, pas di tengah secara melintang. Katenggel atau
katinggil artinya terpukul secara telak, tentu amat menyakitkan.
Jabung adalah sejenis perekat, njabung alus adalah kata majemuk yang
merupakan idiom, artinya merapatkan diri, menempel dengan halus.
Panggilesing jabung alus artinya yang menggilas atau memukul telak
tadi adalah orang dekat. Hal ini membuat Ki Gambuh benar-benar syok
dan lemah lunglai sehingga tak berdaya lagi untuk bangkit. Kaleson adalah
ungkapan untuk perasaan hati yang lesu, tidak semangat lagi.
Mangkono (demikian) kang (yang) tinemu (ditemukan, terjadi), marmane
(oleh karena) wong (orang) ngaurip (berkehidupan) punika (itu), aja
(jangan) pisan (sekali-kali) paksa (memaksakan) ambeg (berwatak)
kumalikih (sombong). Demikian yang terjadi, oleh karena itu orang
berkehidupan itu, jangan sekali-kali memaksakan berwatak sombong.
Demikian itulah yang terjadi jika suka umuk di atas kemampuan sendiri.
Oleh karena dalam kehidupan ini jangan sekali-kali mendahului proses,
tak sabar untuk segera memetik hasil, memaksakan diri tampil seolah
sudah berhasil, bahkan terkesan meremehkan kemampuan orang lain.
Angaku (mengaku) sarwa (serba) linuhung (lebih unggul, lebih hebat),
wekasan (akhirnya) kether (terbengkelai) tan (tidak) ethor (becus).
Mengaku serba lebih hebat, akhirnya terbengkelai karena tidak becus.
Mengaku-aku serba hebat dan unggul dibanding orang lain hanya demi
decak kagum. Akhirnya ketika tiba saatnya harus membuktikan
kemampuannya justru yang terjadi adalah urusannya terbengkelai karena
sebenarnya dia tak mampu.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 34

Kether artinya tak tertangani karena tak mampu. Ethor varian kasar dari
kata ethes, artinya cakap, terampil. Tan ethor artinya tak becus, dalam
bahasa Jawa istilah lainnya adalah ora jegos (tidak bisa, konotasinya
kasar).
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 35

Kajian Wedharaga (19;20): Badhar Tyas Kabalabar


Bait ke-19;20, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat
Wedharaga, karya Raden Ngabehi Ranggawarsita:
Ana kang wus kadulu,
suteng carik kadhinginan tuwuh,
ngaku putus patrape kurang patitis,
manut ngelmuning guyeng dul,
amangeran luncung bodhol.

Badhar tyas kabalawur,


baladheraning wong ambabangus,
angas ungus ing wuwus tan anguwisi,
Temah kasebut wong gemblung,
kinira yen lara panon.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Ada yang sudah terlihat,
anak jurutulis yang terlalu cepat tumbuh.
Mengaku ahli tingkahnya kurang tepat,
menuruti ajarannya santri Dul,
mendewakan badut keparat.

Terbongkar hatinya bingung,


(itulah) sekotor-kotornya manusia yang menghasut-hasut.
Berlagak-lagak berani dalam perkataan (tetapi) tidak
menyelesaikan.
Hingga disebut orang sinting,
dikira kalau sakit otaknya.

Kajian per kata:

Ana (ada) kang (yang) wus (sudah) kadulu (terlihat), suteng(anak) carik
(jurutulis) kadhinginan (terlalu cepat, mendahului) tuwuh (tumbuh). Ada
yang sudah terlihat, anak jurutulis yang terlalu cepat tumbuh.
Ada contoh lain selain Ki Gambuh sendiri. Dia adalah anak jurutulis yang
terlalu cepat tumbuh. Maksudnya dia melakukan apa yang sudah
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 36

disebutkan dalam bait sebelumnya, yakni terlalu cepat ingin menikmati


hasil berupa kesuksesan dalam pengetahuan.
Ngaku (mengaku) putus (ahli) patrape (tingkahnya) kurang (kurang)
patitis (tepat), manut (menurut) ngelmuning (ilmunya) guyeng Dul (santri
Dul), amangeran (mendewakan) luncung bodhol (badut keparat).
Mengaku ahli tingkahnya kurang tepat, menuruti ajarannya santri Dul,
mendewakan badut keparat.
Mengaku-aku sudah ahli namum kelakuannya kurang pas (tepat). Dia
memakai ajaran santri Dul. Siapakah dia? Santri Dul disebut dalam kitab
Wedatama sebagai seorang yang belajarnya belum tuntas namun sudah
kembali ke desanya untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama. Akibatnya
karena yang mengajarkan ilmunya belum sempurna ajarannya pun tidak
jelas. Namun anehnya banyak juga pengikutnya yang fanatik.
Selengkapnya tentang santri Dul ini silakan membaca kajian kami dalam
serat Wedatama yang kajiannya sudah khatam. Tokoh santri Dul ini
tampaknya bukan tokoh nyata, namun namanya sering dipakai untuk
menyebut orang yang sok pintar seperti yang sedang kita bahas ini.
Karkono Kamajaya dalam Lima Karya Ranggawarsita menerjemahkan
luncung bodhol sebagai badut keparat. Amangeran luncung bodhol
artinya mendewakan badut keparat. Sangat mungkin yang dimaksud oleh
gatra ini sebagai luncung bodhol adalah santri Dul, karena pengikutnya
memang sangat menurut dan mengidolakannya.
Badhar (terbongkar) tyas (hati) kabalawur (blawur, bingung),
baladheraning (kotor-kotornya) wong (orang) ambabangus (menghasut-
hasut). Terbongkar hatinya bingung, (itulah) sekotor-kotornya manusia
yang menghasut-hasut.
Bila terbongkar kedoknya yang hanya umuk, omong kosong itu, hatinya
menjadi bingung. Itulah orang yang kata-katanya lebih panjang dari
akalnya. Kemana-mana menghasut-hasut, sungguh kotor perbuatannya.
Ambaladher artinya kotor seperti lumpur kubangan, jika dipijak kaki akan
terperosok ke dalam. Itulah perumpamaan orang yang kata-katanya tak
sepadan dengan kemampuan.
Angas ungus (berlagak-lagak berani) ing (dalam) wuwus (perkataan) tan
(tidak) anguwisi (menyelesaikan). Berlagak-lagak berani dalam
perkataan (tetapi) tidak menyelesaikan
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 37

Berlagak berani ketika tidak ada musuh, namun jika kepergok marabahaya
tak dapat menyelesaikan masalah. Angas adalah sifat sok berani,
mengaku-aku berani dalam perkataan, alias omong besar.
Temah (hingga) kasebut (disebut) wong (orang) gemblung (sinting),
kinira (dikira) yen (kalau) lara (sakit) panon (penglihatan, pikiran, otak).
Hingga disebut orang sinting, dikira kalau sakit otaknya.
Orang seperti itu perilakunya mirip orang sinting. Tidak dapat dipegang
kata-katanya. Banyak orang mengira kalau dia sakit otaknya. Memang
tidak ada baiknya sifat umuk itu, sehingga sering disamakan dengan orang
sinting. Mungkin ini berlebihan tetapi yang jelas sama meresahkan dengan
kelakuan orang tak waras.
Yang lebih parah dari sikap seperti ini adalah ia akan menyeret watak
buruk lain untuk berkumpul dalam satu tubuh. Apa saja watak buruk yang
akan diundang oleh sifat umuk kumalungkung ini? Nantikan kajian
berikutnya.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 38

Kajian Wedharaga (21;22): Adreng Ngumbar Arubiru


Bait ke-21;22, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat
Wedharaga, karya Raden Ngabehi Ranggawarsita:
Saengga tunggal laku,
lan kang asring gumaib ing kawruh.
Turtan wikan wiwekaning reh nayadi.
Adreng ngumbar arubiru,
amberat berawaning wong.

Saking lobaning kalbu,


mung kalebu lebdeng bek kung lur kung,
kumalungkung ngaku ngungkuli sakalir,
saliring utameng kawruh,
pangrasane padha kasor.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Sehingga satu perbuatan,
dengan yang sering berlagak tahu dalam pengetahuan.
Padahal tidak mengetahui cara berhati-hati dengan muka manis.
Bernafsu mengumbar kerusuhan,
menyepelekan kehebatan orang lain.

Karena tamaknya hati,


hanya termasuk pintar membiarkan (orang) sedih bertambah
kesedihannya.
Sombong sekali mengaku melebihi (orang lain) dalam segala hal.
Sembarang yang utama dalam pengetahuan,
dianggapnya semua kalah (darinya).

Kajian per kata:


Saengga (sehingga) tunggal (satu) laku (perbuatan), lan (dan) kang
(yang) asring (sering) gumaib (umuk, sombong, berlagak tahu tentang
ilmu gaib) ing (dalam) kawruh (pengetahuan). Sehingga satu perbuatan,
dengan yang sering berlagak tahu dalam pengetahuan.
Dalam bait sebelumnya telah diuraikan tentang orang yang berlagak ahli
dalam pengetahuan, padahal belajarnya belum tuntas, ilmua belum
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 39

sempurna baru setengah-setengah. Dalam bait ini disebutkan orang yang


sejenis dengan itu, satu perbuatan dengan perilaku yang demikian itu.
Turtan (padahal tidak) wikan (mengetahui, pandai) wiwekaning (berhati-
hati) reh nayadi (dalam hal bermuka manis). Padahal tidak mengetahui
cara berhati-hati dengan muka manis.
Yakni orang yang tidak menguasai dalam hal bermuka manis kepada
orang lain. Dalam kajian serat Wedatama telah kami uraikan tentang
perlunya bersikap manis, sesadon ingadu manis, kepada setiap orang
walaupun dalam hati kita jengkel. Kemampuan bersikap manis ini
menjadi tanda dari orang-orang berilmu. Nah, anak-anak muda yang tidak
sabar dalam proses dan bersikap sok ahli tadi tidak akan sampai tahap
bermuka manis ini. Jangankan membuat senang orang lain, yang ada justru
membuat jengkel karena perbuatan sok pintarnya.
Adreng (bernafsu) ngumbar (mengumbar) arubiru (rusuh), amberat
(menghilangkan, menyingkirkan) berawaning (kehebatan, keunggunlan)
wong (orang). Bernafsu mengumbar kerusuhan, menyepelekan kehebatan
orang lain.
Mereka itu sudah sangat bernafsu mengumbar rusuh, suka menyepelekan
kehebatan orang lain. Kalau karena pendapatnya berbeda kemudian terjadi
ribut-ribut mereka ini senang sekali. Bahkan sangat suka memcari-cari
perbedaan agar muncul keributan, supaya perjuangan mereka menegakkan
kebenaran (versi mereka) menjadi lebih dramatik, sehingga mereka
tampak hebat dan heroik.
Saking (karena) lobaning (tamaknya) kalbu (hati), mung (hanya) kalebu
(termasuk) lebdeng (pintar) bek (membiarkan) kung (sedih) lur
(mengulur, memperpanjang) kung (sedih). Karena tamaknya hati, hanya
termasuk pintar membiarkan (orang) sedih bertambah kesedihannya.
Hal itu muncul karena hati mereka tamak akan kehebatan, terlalu bernafsu
(adreng) meraih kebaikan. Oleh karena itu apabila karena sikapnya itu
seseorang menjadi susah mereka tak reda, malah akan memperpanjang
kesedihan orang lain itu. Seolah orang lain itu pantas menerima perlakuan
tak bijak darinya.
Kumalungkung (sombong sekali) ngaku (mengaku) ngungkuli (melebihi)
sakalir (segala hal). Sombong sekali mengaku melebihi (orang lain) dalam
segala hal.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 40

Orang seperti ini sikapnya sombong sekali, merasa benar sendiri melebihi
orang lain dalam segala hal. Mereka mengklaim kebenaran sudah menjadi
milik mereka.
Saliring (sembarang) utameng (yang utama) kawruh (pengetahuan),
pangrasane (perasaannya, dianggapnya) padha (semua) kasor (kalah).
Sembarang yang utama dalam pengetahuan, dianggapnya semua kalah
(darinya).
Hal-hal yang menjadi keutamaan dalam pengetahuan mereka merasa ahli,
menurut anggapannya yang lain semua kalah.
Itulah watak tak baik dan kurang elok yang sering menjangkiti anak muda
yang ilmunya baru setengah jalan. Sungguh bahwa watak yang demikian
itu akan mengenai sebagian besar dari kita. Jika itu terjadi janganlah
terlalu khawatir, tetaplah terus belajar dengat giat. Insya Allah akan
sembuh dengan bertambahnya ilmu pengetahuan. Namun jika berhenti di
tahap itu, celakalah!
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 41

Kajian Wedharaga (23;24): Den Bisa Matrap Unggah-


ungguh
Bait ke-23;24, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat
Wedharaga, karya Raden Ngabehi Ranggawarsita:
Tur maksih sasar-susur,
saraseng ros tan pati tinemu.
Wekasane mung kudu den alem bangkit,
inganthukan bae munthuk.
Tandha lamun durung kamot.

Marma utama tuhu,


yen abisa matrap unggah-unggah.
Tanggap ing reh ngarah-arah ngirih-ngirih.
Satiba telebing tanduk,
tumindak lawan angawon.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Padahal masih tersesat-sesat,
rasa intinya tak begitu didapat.
Akhirnya hanya harus dipuji agar semangatnya muncul,
diangguki saja sudah berbesar hati.
Pertanda kalau (dalam dirinya) belum memuat (banyak
pengetahuan).

Oleh karena itu yang utama sebenarnya,


kalau bisa menerapkan sopan-santun.
Tanggap pada hal berhati-hati (bertindak) secara halus.
Dalam berbuat apapun,
dilakukan dengan mengalah.

Kajian per kata:


Tur (padahal) maksih (masih) sasar-susur (tersesat-sesat), saraseng (rasa
dalam) ros (inti) tan (tak) pati (begitu) tinemu (diperoleh, didapat).
Padahal masih tersesat-sesat, rasa intinya tak begitu didapat.
Dalam bait sebelumnya diuraikan tentang kegagalan seseorang dalam
bersikap manis kepada orang lain, wiweka reh nayadi. Hal ini tidak aneh
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 42

karena orang mampu bersikap manis, menyenangkan hati orang lain


adalah mereka yang sudah putus (khatam, ahli) dalam pengetahuan.
Orang yang sudah tuntas belajar dan sempurna ilmunya takkan mencari
pujian dari orang lain. Dia bertindak atas dasar keperluan, kewajiban dan
tugas yang diembannya. Namun sebaliknya orang yang belum sempurna
ilmunya hanya berbuat karena mencari pengakuan saja. Gatra berikut
menggambarkan watak mereka yang sebenarnya rapuh dan reaktif.
Wekasane (akhirnya) mung (hanya) kudu (harus) den alem (dipuji)
bangkit (semangatnya muncul), inganthukan (diangguki) bae (saja)
munthuk (besar hati). Akhirnya hanya harus dipuji agar semangatnya
muncul, diangguki saja sudah berbesar hati.
Mereka hanya akan muncul semangatnya jika dipuji orang lain. Jika
orang-orang mengamini perkataannya, mengangguk-angguk setiap
mendengar petuahnya, maka kelakuannya menjadi-jadi. Mencari sensasi
ke sana kemari, mencari pengakuan hebat, mencari pengikut banyak,
bangga jika ditakuti orang, besar hatinya jika bisa mempermalukan orang
lain. Segala upaya pada pokoknya untuk memperbesar ego semata-mata.
Tandha (tanda) lamun (kalau) durung (belum) kamot (memuat).
Pertanda kalau (dalam dirinya) belum memuat (banyak pengetahuan).
Orang yang berwatak demikian menandakan dalam dirinya belum termuat
pengetahuan yang sejati. Hatinya tidak tenang karena disetir oleh pujian
orang, oleh hasratnya untuk dikagumi, oleh nafsu untuk mengalahkan
orang lain. Orang seperi itu segala tindakannya hanya merupakan reaksi
dari keadaan sekitarnya, ibaratnya menari dengan gendang orang lain.
Marma (oleh karena itu) utama (utama) tuhu (sebenarnya), yen (kalau)
abisa (bisa) matrap (menerapkan) unggah-unggah (unggah-ungguh,
sopan santun). Oleh karena itu yang utama sebenarnya, kalau bisa
menerapkan sopan-santun.
Oleh karena itu sebenarnya yang utama dalam hidup ini adalah sebisa-
bisanya menerapkan sopan santun dalam bergaul dengan sesama orang.
Unggah-ungguh adalah mampu menerapkan derajat diri sendiri sedikit
lebih rendah dari pada orang lain yang sebenarnya sederajat, inilah yang
disebut dengan menghargai orang lain.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 43

Jika kita mampu menghargai orang lain dengan sikap hormat yang
melebihi harkat dan martabatnya, maka yang demikian itu disebut murah
hati.
Tanggap (tranggap) ing (pada) reh (hal) ngarah-arah (berhati-hati)
ngirih-ngirih (secara halus). Tanggap pada hal berhati-hati (bertindak)
secara halus.
Selanjutnya kita harus bisa bersikap hati-hati dalam membawa diri, tidak
tergesa-gesa, selalu waspada dan ingat, bertindak dengan halus tidak
gegabah atau sembrono. Itu semua dilakukan agar kita tidak menyakiti
orang lain. Ibarat membawa semak berduri di tengah keramaian, kita harus
hati-hati melangkah agar duri-duri yang kita bawa tidak melukai orang
sekitar. Tidak perlu mendesak-desak orang, bila perlu menunggu jalannya
sepi agar kita tak menyakiti orang lain. Seperti itulah seharusnya kita
membawa diri, karena banyak organ kita yang lebih tajam dari duri tadi.
Lidah misalnya, adalah benda tertajam di dunia karena mampu mengoyak
hati yang tersembunyi jauh di rongga dada. Maka sudah selayaknya kita
berhati-hati.
Satiba telebing tanduk (dalam berbuat apapun), tumindak (dilakukan)
lawan (dengan) angawon (mengalah). Dalam berbuat apapun, dilakukan
dengan mengalah.
Satiba telebing tanduk artinya perbuatan yang spontan, yang dilakukan
tanpa berpikir dulu, artinya perbuatan itu sudah menjadi akhlak yang
merasuk dalam jiwa sehingga melahirkan perbuatan spontan. Gatra ini
mengisyaratkan seseorang yang sudah terbiasa mengarah-arah ngirih-irih
tersebut dalam setiap perbuatannya spontan sudah dilakukan dengan
mengalah. Dengan kata lain mengalah sudah menjadi wataknya hingga
dapat dilakukan dengan spontan, tanpa mikir-mikir dulu.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 44

Kajian Wedharaga (25): Den Bisa Tepa Slira


Bait ke-25, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Wedharaga,
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita:
Sapa wruh kembang tepus,
iku bisa angarah panuju.
Yyekti datan adoh lan badan pribadi.
Lamun kanthi awas emut,
salamet tumekaning ndon.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Siapa yang mengetahui kembang tepus,
itu bisa mengarahkan pada cocoknya hati.
Sungguh (rasanya) takkan jauh dengan diri sendiri.
Jika disertai waspada dan ingat,
akan selamat sampai tujuan.

Kajian per kata:


Sapa (siapa) wruh (mengetahui) kembang (kembang) tepus (tepus, nama
bunga), iku (itu) bisa (bisa) angarah (mengarahkan) panuju (cocoknya
hati). Siapa yang mengetahui kembang tepus, itu bisa mengarahkan pada
cocoknya hati.
Frasa kembang tepus ini juga terdapat dalam Kidung Suksma Wedha
namun dalam redaksi yang berbeda, yakni sapa weruh kembang tepus
kaki, sasat weruh reke artadaya. Ahmad Chojim dalam Mistik dan
Makrifat Sunan Kalijaga memaknai kembang tepus sebagai kalimat
metafor, kalimat perumpamaan. Yaitu perumpamaan bagi asal-usul
manusia.
Kamajaya dalam Lima Karya Pujangga Ranggawarsita mengartikan
sebagai berikut. Kembang tepus adalah nama jenis kembang. Tepus = tepa,
ukur = ukuran panjang, luas, dan tebal dari sesuatu. Di sini kembang tepus
dipakai untuk memperingatkan orang agar perbuatan dan tindakannya
memakai ukuran diri sendiri. Peribahasa: Ukur baju badan sendiri (Jawa:
tepa salira).
Panuju artinya hal-hal yang membuat hati bersetuju, sesuai yang
dimaksud. Kata ini sering dipakai dalam bentuk lain, nuju prana, pas
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 45

dengan maksud hati. Jadi gatra di atas bermakna barang siapa mengetahui
dirinya, dapat menerapkan tepa slira, maka akan mengarahkan pada
kecocokan hati dengan orang lain.
Yekti (sungguh) datan (tidak) adoh (jauh) lan (dengan) badan (badan,
diri) pribadi (sendiri). Sungguh (rasanya) takkan jauh dengan diri sendiri.
Apapun yang dirasakan orang lain sungguh tak jauh dengan rasa kita
sendiri. hal ini masih berkaitan dengan tepa slira tadi. Misalnya kita tak
suka dicaci maki, maka orang lain pun juga tidak suka. Jika kita tidak
suka melihat orang sombong, maka orang di sekitar kita juga tidak suka
melihat kita sombong. Prinsip tepa slira berusaha menerapkan perasaan
pada diri sendiri seandainya orang lain berlaku seperti yang kita lakukan.
Pada umumnya orang bersikap sama, tak jauh dari diri kita sendiri. Maka
apapun yang jika dilakukan orang kita merasa tidak suka, janganlah kita
juga melakukan hal yang sama.
Lamun (jika) kanthi (disertai) awas (waspada) emut (eling), salamet
(selamat) tumekaning (sampai) ndon (tujuan). Jika disertai waspada dan
ingat, akan selamat sampai tujuan.
Dalam berbagai kesempatan Ranggawarsita selalu mengingatkan agar kita
selalu waspada dan ingat. Arti kedua kata itu sudah sering kita bahas
dalam kajian ini. Namun tidak ada salahnya kami ulang kembali agar
tertanam dalam hati. Ingat berarti mengingat diri sendiri, menjaga diri dari
keinginan hati yang melampaui batas, jadi ingat lebih ditujukan ke dalam.
Waspada lebih ditujukan ke luar dalam menghadapi berbagai godaan dan
halangan yang datang dari luar.
Jika kita bisa memadukan tiga hal di atas, tepa slira, waspada dan ingat,
maka hidup kita akan selamat sampai tujuan.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 46

Kajian Wedharaga (26;28):Tandha Durung Kamot


Bait ke-26;28, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat
Wedharaga, karya Raden Ngabehi Ranggawarsita:
Dongeng jaman karuhun,
mbokmanawa pantes dadi pemu.,
Ana janma bagus anom sarwa wasis,
nanging kuciwa kasebut,
tukang sual juru waon.

Sawiji dina nuju,


temu lawan wong tuwa wus pikun.
Mintoaken kabangkitan lair-batin.
Kaki tuwa alon muwus,
mengko ta wong bagus anom.

Manira takon tuhu,


lagi pira umurira bagus.
Winangsulan uwis telung puluh warsi,
kaki tuwa mesem muwus,
layak durung bisa amot.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Ada cerita dari zaman dahulu,
barangkali pantas menjadi peringatan.
Ada seorang yang tampan masih muda serta cakap,
tetapi yang mengecewakan dia disebut,
tukang mencari masalah dan suka mencela.

Suatu hari kebetulan,


bertemu dengan orang tuwa yang sudah pikun.
(Pemuda itu)menunjukkan kepandaian lahir batin.
Kakek tua itu berkata dengan pelan halus,
“Sebentar anak muda tampan.

Saya bertanya yang sebenarnya,


baru berapa umurmu cah bagus?”
Dijawab (oleh orang muda itu), “Sudah tiga puluh tahun.”
Kakek tua tersenyum sambil berkata,
“Pantas belum bisa memuat (pengetahuan)!”
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 47

Kajian per kata:


Dongeng (cerita) jaman (zaman) karuhun (dahulu), mbokmanawa
(barangkali) pantes (pantas) dadi (menjadi) pemut (peringatan). Ada cerita
dari zaman dahulu, barangkali pantas menjadi peringatan.
Dongeng adalah cerita didaktik yang sering dipakai oleh para orang tua
zaman dulu untuk menyampaikan pesan atau petuah. Pesan-pesan itu
dibingkai dalam cerita agar berkesan mendalam. Umumnya dongeng
ditujukan untuk anak-anak yang belum begitu berkebang pikirannya.
Karena itu dongeng sering berbentuk fabel semisal Kancil Nyolong
Timun, Timun Emas, Kancil dan Buaya.
Dengan dongeng pesan-pesan disampaikan dengan berkesan tanpa harus
menggurui. Kadang seorang anak yang pikirannya sudah berkembang
membantah dongeng tersebut karena sering tidak masuk akal, seperti
binatang kok bisa bicara, dll. Orang tua zaman dahulu hanya menjawab
singkat, “Ini kan hanya dongeng, dipaido kenging!”
Dalam bait ini Ki Gambung juga hanya menyampaikan dongeng, jadi
Anda pun boleh membantahnya, tetapi lebih baik dengarkalah, barangkali
bisa menjadi peringatan bagi kita semua.
Ana (ada) janma (seorang) bagus (tampan) anom (masih muda) sarwa
(serta) wasis (cakap), nanging (tetapi) kuciwa (yang mengecewakan)
kasebut (disebut), tukang (tukang) sual (mencari masalah) juru (suka)
waon (mencela). Ada seorang yang tampan masih muda serta cakap,
tetapi yang mengecewakan dia disebut, tukang mencari masalah dan suka
mencela.
Ada seorang pemuda yang tampan dan cakap serta pintar. Namun ada hal
yang mengecewakan darinya. Dia disebut-sebut orang suka mencari
persoalan dengan orang lain. Dan juga suka mencela sesama. Ini adalah
khas perilaku anak muda yang suka mengikuti gejolak hati, seperti yang
sudah kita sebutkan wataknya dalam bait-bait yang lalu.
Sawiji (suatu) dina (hari) nuju (di saat, kebetulan), temu (bertemu) lawan
(dengan) wong (orang) tuwa (tuwa) wus (sudah) pikun (pikun).
Mintoaken (dari kata mitontonaken, menunjukkan) kabangkitan
(kepandaian) lair –batin (lahir batin). Suatu hari kebetulan, bertemu
dengan orang tuwa yang sudah pikun.(Pemuda itu)menunjukkan
kepandaian lahir batin.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 48

Suatu hari dia bertemu dengan seorang tua yang sudah pikun. Tanpa
unggah-ungguh dan sopan santun pemuda itu menunjukkan kepandaiannya
lahir dan batin. Anak muda memang tidak sabaran. Ketika melihat sesuatu
yang berbeda dari apa yang diketahuinya biasanya langsung bereaksi
dengan cara yang kurang patut. Misalnya, menyalahkan, mencela atau
menggurui. Ini reaksi yang wajar dari seorang yang kurang sempurna
ilmunya, tanda tak luas wawasannya, menunjukkan kerdilnya pikiran dan
dangkalnya pengetahuan. Mereka tidak mempertimbangkan ada kebenaran
lain yang diluar pengetahuannya.
Kaki (kakek) tuwa (tua) alon (pelan, halus) muwus (berkata), mengko ta
(sebentar) wong (orang) bagus (tampan) anom (muda). Manira (saya)
takon (bertanya) tuhu (yang sebenarnya), lagi (baru) pira (berapa)
umurira (umurmu) bagus (bagus, tampan). Kakek tua itu berkata dengan
pelan halus, “Sebentar anak muda. Saya bertanya yang sebenarnya, baru
berapa umurmu cah bagus?”
Menanggapi ketidak sopanan orang muda tadi kakek tua berkata dengan
halus, “Sebentar anak muda. Ke sinilah dahulu. Duduklah di sini! Saya
ingin bertanya baru berapa umurmu bocah bagus?”
Bocah bagus, atau cah bagus adalah panggilan sayang para orang tua
kepada anak-anak muda. Namun panggilan ini sering kali dipakai sebagai
cara untuk membujuk anak-anak nakal agar mau dinasehati. Tampaknya
kakek tua sedang melakukan itu.
Winangsulan (dijawab) uwis (sudah) telung puluh (tiga puluh) warsi
(tahun), kaki (kakek) tuwa (tua) mesem (tersenyum) muwus (berkata),
layak (pantas) durung (belum) bisa (bisa) amot (memuat). Dijawab (oleh
orang muda itu), “Sudah tiga puluh tahun.” Kakek tua tersenyum sambil
berkata, “Pantas belum bisa memuat (pengetahuan)!”
Ketika orang muda itu menjawab sudah tiga puluh umurnya, kakek tua
hanya berkata setengah bergumam, “Oh pantas belum bisa memuat
(pengetahuan)!” Tiga puluh tahun ternyata belum mencapai usia yang
matang dalam berilmu, itulah pendapat si kakek tua. Lalu berapakah usia
seseorang mencapai kematangan pikir dan kedewasaan sikap? Nantikan
dalam kajian berikutnya.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 49

Kajian Wedharaga (29;31): Jun Kurang Isi


Bait ke-29;31, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat
Wedharaga, karya Raden Ngabehi Ranggawarsita:
Maksih cilik ususmu,
baya lagi sadami gengipun.
Yen nyabranga luwih saking seket warsi,
wus gedhe dawa ususmu.
Barang kapinteran kamot.

Mokal lamun alimut,


jroning layang Nitisastra iku.
Gajeg ana pralampitane kang muni,
upama jun kurang banyu,
kocak-kocik kendhit ing wong.

Manawa kebak kang jun,


yekti anteng den indhit ing lambung.
Iku bae kena kinarya palupi,
pedah apa umbak umuk,
mundhak kaeseman ing wong.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Masih kecil ususmu,
paling-paling baru sebatang padi besarnya.
Kalau sudah melewati lebih dari lima puluh,
sudah besar dan panjang ususmu.
Sembarang pengetahuan termuat.

Tak masuk akal jika (engkau) tak tahu,


dalam serat Panitisastra itu.
Kiranya ada perumpamaan yang berbunyi,
seumpama guci kurang air,
kocak-kocak jika dipinggang orang.

Jika klenthing itu penuh,


sungguh akan tenang kalau dibawa di pinggang.
Hal itu saja bisa dibuat sebagai contoh,
manfaat apa yang diperleh dengan pamer dan banyak mulut,
hanya ditertawakan orang.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 50

Kajian per kata:


Maksih (masih) cilik (kecil) ususmu (ususmu), baya (paling) lagi (baru)
sadami (sebatang padi) gedhene (besarnya). Masih kecil ususmu, paling-
paling baru sebatang padi besarnya.
Kalimat cilik usus di atas adalah ungkapan tentang seseorang yang belum
berpengalaman dalam kehidupan. Sebaliknya di Jawa ada ungkapan dawa
ususe, artinya orang yang sabar dan telaten dalam melakukan sesuatu,
tidak grusa-grusu (tergesa-gesa) serta pemikirannya jauh ke depan.
Yen (kalau) nyabranga (melintas) luwih (lebih) saking (dari) seket (lima
puluh) warsi (tahun), wus (sudah) gedhe (besar) dawa (panjang) ususmu
(ususmu). Kalau sudah melewati lebih dari lima puluh, sudah besar dan
panjang ususmu.
Di sini ada kata dawa usus, artinya sudah diterangkan di atas. Menurut Ki
Gambuh yang menggubah serat ini batas kedewasaan seseorang dimulai
dari usia 50 tahun. Lebih dari usia itu seharusnya sudah matang dalam
pemikiran dan dewasa dalam tindakan, bijak dalam perilaku, bijaksana
dalam pertimbangan. Kalau sudah lebih dari 50 tahun kok belum
mempunyai ciri-ciri tersebut, yang bersangkutan sedang mengalami idiot
spiritual.
Barang (sembarang) kapinteran (pengerahuan) kamot (termuat).
Sembarang pengetahuan termuat.
Pada usia itu seharusnya pengetahuan seseorang sudah sempurna karena
sudah tiba waktu baginya untuk mengajarkan pada seseorang segala
kepandaian yang ia miliki. Meski mencari ilmu bisa dilakukan sampai ajal
namun pada usia tersebut seseorang seharusnya sudah mulai membagikan
ilmunya kepada orang lain.
Mokal (tak masuk akal) lamun (jika) alimut (gelap, tak tahu), jroning
(dalam) layang (serat, kitab) Nitisastra (panitisastra) iku (itu). Tak masuk
akal jika (engkau) tak tahu, dalam serat Panitisastra itu.
Limut artinya gelap, dalam gatra ini bermakna gelap pengetahuan atau
tidak tahu. Nitisastra adalah nama serat yang berisi ajaran dalam hidup
bermasyarakat, nama serat itu lengkapnya sebenarnya Panitisastra,
digubah oleh Yasadipura I.
Gajeg (kiranya, kalau tak salah) ana (ada) pralampitane (perumpamaan)
kang (yang) muni (berbunyi), upama (seumpama) jun (klenthing, guci
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 51

tanah liat) kurang (kurang) banyu (air), kocak-kocik (kocak-kocak)


kendhit (di pinggang) ing wong (orang). Kiranya ada perumpamaan yang
berbunyi, seumpama guci kurang air, kocak-kocak jika dipinggang orang.
Jun atau disebut juga klenthing adalah guci dari tanah liat/tembikar tempat
air. Sering dipakai untuk membawa air dari sumber air kala belum ada
sumur. Biasanya para ibu rumah tangga membawanya dengan dijepit di
pinggang dengan tangan. Cara membawa dengan posisi ini disebut
ngendhit.
Dalam serat Panitisastra ada sebuah perumpamaan tentang penguasaan
ilmu seseorang. Diibaratkan ilmu seseorang laksana klenthing yang diisi
air. Jika air tidak penuh ketika dibawa akan kocak dan berbunyi, krucuk-
krucuk. Berisik suaranya.
Manawa (jika) kebak (penuh) kang jun (klenthing itu), yekti (sungguh)
anteng (tenang) den indhit (dibawa) ing (di) lambung (pinggang). Jika
klenthing itu penuh, sungguh akan tenang kalau dibawa di pinggang.
Sebaliknya jika klenthing itu penuh, sungguh akan tenang tak bersuara
kalau dibawa di pinggang. Tidak terdengar bunyi krucuk-krucuk lagi.
Dalam bahasa Indonesia ada pepatah yang artinya sama, tong kosong
nyaring bunyinya. Artinya jika seseorang tak berilmu alias kosong
otaknya, justru akan nyaring suaranya.
Iku (itu) bae (saja) kena (bisa) kinarya (dibuat) palupi (contoh), pedah
(manfaat) apa (apa) umbag (sombong, pamer) umuk (banyak mulut),
mundhak (malah, hanya tambah) kaeseman (disenyumi, ditertawakan) ing
wong (orang). Hal itu saja bisa dibuat sebagai contoh, manfaat apa yang
diperleh dengan pamer dan banyak mulut, hanya ditertawakan orang.
Dari kejadian sederhana tersebut sebenarnya kita sudah dapat mengambil
pelajaran. Tidak ada manfaat dari suka pamer dan omong besar, hanya
mengungkap bahwa kita kosong dari pengetahuan. Akibatnya orang-orang
pun tertawa, tersenyum sinis melihatnya.
Kaeseman artinya diberi senyuman, artinya mereka menertawakan secara
halus. Dalam hati mereka berkata, “Oh maklum , orang kurang
pengertian!”
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 52

Kajian Wedharaga (32;33):Empan Papan Wiraos


Bait ke-32;33, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat
Wedharaga, karya Raden Ngabehi Ranggawarsita:
Wong anom meneng ngungun,
kaluhuran sabda alon mundur.
Iing wekasan mari dennya mbek gumaib,
mung lukita kang ginilut,
empan papaning wiraos.

Malah wiwit anggayuh,


tuturutan pangkating ngelmu.
Kasampurnan pamoring kawula Gusti,
mahasucekken Datipun,
pangrakiting reh tan keron.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Orang muda terdiam keheranan,
teratasi perkataannya (oleh kakek tua), lalu mundur perlahan.
Pada akhirnya sembuh dari watak sok pintar,
hanya kitab-kitab yang tekun dipelajari,
serta cara menempatkan diri yang diasah.

Bahkan mulai menggapai,


urutan derajat yang lebih tinggi dalam ilmu.
Kesempurnaan kesatuan kawula-Gusti,
(dengan tetap) mensucikan DzatNya,
agar pelaksanaanya tidak keliru.

Kajian per kata:


Wong (orang) anom (muda) meneng (diam) ngungun (keheranan),
kaluhuran (teratasi, diungguli) sabda (dalam perkataan) alon (perlahan)
mundur (mundur). Orang muda terdiam keheranan, teratasi perkataannya
(oleh Kakek tua), lalu mundur perlahan.
Si pemuda terdiam mendengar ucapan kakek tua, setengah keheranan
dengan perilakunya sendiri. Karena merasa kalah dalam kebijaksanaan,
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 53

menyadari kesalahan sikapnya dan berniat memperbaikinya. Dia perlahan


mundur dan memperdalam lagi pengetahuannya.
Ing (pada) wekasan (akhirnya) mari (sembuh) dennya (darinya) mbek
(watak) gumaib (sombong, sok pintar), mung (hanya) lukita (kitab-kitab)
kang (yang) ginilut (diperlajari), empan (cara menerapkan) papaning
(papan, tempat) wiraos (dirasakan, diasah agar peka). Pada akhirnya
sembuh dari watak sok pintar, hanya kitab-kitab yang tekun dipelajari,
serta cara menempatkan diri yang diasah.
Setelah peristiwa itu, dia sembuh dari watak sok pintar. Kemudian
memperdalam ilmu, menyempurnakan pengetahuan dengan mengkaji
kitab-kitab. Mengkaji di sini maksudnya dengan berguru kepada ahlinya,
bukan sekedar membaca di kamar. Zaman dahulu belum seperti sekarang
ketika kitab-kitab banyak berserak di toko buku. Dahulu mengkaji kitab
harus kepada yang empunya kitab, ialah para cerdik pandai yang
berkaitan.
Apa yang diperdalam berkaitan dengan ilmu empan papan, yakni
kemampuan untuk bersikap dan menempatkan diri pada tempat yang
benar. Untuk dapat menguasai hal ini harus mempunyai empati kepada
orang lain, tepa slira, serta mulat sarira hangrasa wani. Arti tepa slira
sudah kita jelaskan dalam bait yang lalu, yakni mampu menerapkan akibat
segala tindak-tanduk kepada diri sendiri atau dalam bahasa Indonesia
disebut tenggang rasa.
Mulat sarira hangrasa wani adalah filosofi Jawa yang bermakna mampu
melihat nilai diri sendiri dan berani mengoreksi kesalahan sendiri.
Misalnya dalam kasus orang yang suka umuk tadi, setelah mulat sarira,
melihat diri sendiri ternyata ditemukan bahwa dirinya telah berbuat yang
tidak patut, maka tahap selanjutnya adalah hangrasa wani, berani
mengoreksi kesalahan tersebut. Dengan menyingkirkan rasa malu dan
gengsi bersedia untuk memperbaiki diri, belajar lagi agar ilmu lebih
sempurna. Orang muda yang diceritakan dalam bait ini tampaknya telah
berhasil melewati tahap ini.
Malah (bahkan) wiwit (mulai) anggayuh (menggapai), tuturutan (urutan)
pangkating (derajat yang lebih tinggi) ngelmu (dalam ilmu). Bahkan
mulai menggapai urutan derajat yang lebih tinggi dalam ilmu.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 54

Bahkan setelah selesai mengatasi egonya, si orang muda mulai menggapai


derajat keilmuan yang lebih tinggi. Inilah sikap seorang pelajar sejati,
kecanduan ilmu pengetahuan. Semakin banyak mereguk ilmu semakin
haus, laksana minum air laut. Namun dalam hal ini kecanduan tersebut
bersifat positif. Meski demikian harus tetap awas. Apapun yang overdosis
sangat membahayakan. Orang yang bijaksana tahu kapan waktunya harus
berhenti. Namun ilmu apakah yang derajatnya lebih tinggi itu?
Kasampurnan (kesempurnaan) pamoring (kesatuan) kawula (kawula)
Gusti (Gusti), mahasucekken (mensucikan) Datipun (DzatNya),
pangrakiting (pelaksanaanya) reh tan (agar tidak) keron (keliru).
Kesempurnaan kesatuan kawula-Gusti, (dengan tetap) mensucikan
DzatNya, agar pelaksanaanya tidak keliru.
Adalah kesempurnaan kesatuan kawula-Gusti. Amor adalah bersama atau
bercampur atau bersatu dalam kesatuan. Pamoring artinya kesatuannya
antara kawula-Gusti, makhluk dan Allah Sang Pencipta. Namun
hendaknya diingat bahwa kesatuan di sini bukan seperti yang sering
disebut dengan manunggaling kawula-Gusti. Dalam syari’at Islam, agama
yang dianut Ki Gambuh penggubah serat ini, konsep manunggaling
kawula-Gusti adalah konsep batil. Yang benar adalah konsep satunggaling
kawula-Gusti.
Inti dari konsep satunggaling kawula-Gusti adalah penyadaran akan
realitas bahwa kita dan Tuhan itu satu dan tidak pernah terpisah.
Dikatakan dalam Al Quran bahwa Allah lebih dekat daripada urat leher
kita sendiri. Namun adakalanya manusia jauh dari Tuhan karena dirinya
sendiri yang merasa jauh.
Apabila kita sudah menyadari bahwa antara kita dan Tuhan itu dekat dan
satu wujud. Bahwa wujud kita adalah WujudNya yang dipinjamkan, kalau
dalam falsafah Jawa disebut nyawa mung gadhuhan, maka pada titik itulah
realitas satunggaling kawula-Gusti merasuk dalam jiwa kita.
Konsep inilah yang sesuai dengan akidah Islam dan tidak mengotori
kesucian Dzat Allah. Dalam penerapannya pun takkan sesat karena tidak
akan pernah ada anggapan bahwa dirinya adalah Tuhan. Syari’at tetap
dilaksanakan karena merupakan bentuk perekat atas realitas satunggal
tersebut.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 55

Kita akan mengelaborasi kajian tentang hal ini pada saatnya nanti, kalau
sudah ada halaman yang tersedian khusus untuk kajian falsafah. Saat ini
masih dalam tahap pengembangan. Sementara kita cukupkan sekian
dahulu kajian bait ini. Semoga dapat memberi manfaat untuk Anda para
pembaca.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 56

Kajian Wedharaga (34;35): Tanazul Taraqqi


Bait ke-34;35, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat
Wedharaga, karya Raden Ngabehi Ranggawarsita:
Pangracutan pangukut,
myang pambabarira tan keliru,
panarikan patrape tanajul tarki,
ing sangkan paran sumurup,
tan kalendhon nora kadho.

Lamun mangkono patut,


tinirua tepaning tumuwuh,
tan lyan saking sambadeng badan pribadi,
binudi sidaning sadu,
aneng kene kana kanggo.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Agar cara melepaskan dan mengemas,
dan penjabarannya tidak keliru.
Penerapan amalan tanazul taraqqi,
dalam asal dan tujuan ketahuilah,
agar tidak keliru dan tidak ada kekhawatiran.

Jika demikian patutlah,


ditiru oleh sesama manusia.
Tak lain dari kekuatan diri sendiri (masing-masing),
diupayakan tercapainya ketenangan batin.
(Watak ini) ada di sini dan di sana berguna.

Kajian per kata:


Pangracutan (melepaskan) pangukut (mengemas, menggulung), myang
(dan) pambabarira (penjabarannya) tan (tidak) keliru (keliru). Agar cara
melepaskan dan mengemas, dan penjabarannya tidak keliru.
Dalam bait sebelumnya sudah diuraikan akidah yang benar berkaitan
dengan relasi kawula-Gusti. Yang demikian itu perlu ditegaskan agar tidak
keliru dalam penerapannya. Berkaitan dengan hal tersebut muncul istilah
angracut dan angukut. Angracut artinya melepaskan. Banyak yang salah
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 57

paham dengan mengatakan bahwa yang dimaksud angracut adalah


melepaskan jiwa (sukma) untuk kemudian bergabung dengan Tuhan. Yang
demikian itu tidak benar dan tidak mungkin. Para filosof sejak zaman
prasejarah sepakat bahwa berpindahnya jiwa dari tubuh selama seseorang
masih hidup adalah mustahil.
Yang benar angracut di sini berarti melepaskan ego atau kedirian sehingga
ketika seorang hamba dalam beribadah sudah sangat ikhlas yang terjadi
adalah kedekatan yang sempurna dengan Tuhan. Dirinya menjadi tiada,
yang ada adalah segala kehendakNya. Inilah yang dimaksud dengan
angracut.
Sedangkan yang dimaksud mangukut adalah mengemasi hawa nafsu. Kala
seorang pedagang kaki lima yang berdagang siang hari, maka pada sore
hari dia mengemasi dagangannya, ini disebut mengukut, mengemasi.
Mangukut hawa nafsu artinya hawa nafsu dilarang buka lapak dalam diri.
Dua istilah tersebut kadang dipertukarkan sesuai konteks, karena
pengertiannya hampir sama. Itulah pengertian yang benar dan tidak
bertentangan dengan syariat. Hendaknya berhati-hati dalam perkara
akidah, karena jika salah rusaklah seluruh amal.
Panarikan (penarikan, penerapan) patrape (perilaku, amalan) tanajul
(tanazul) tarki (taraqqi), ing (dalam) sangkan (asal) paran (tujuan)
sumurup (diketahui), tan (tidak) kalendhon (keliru) nora (tidak) kadho
(khawatir). Penerapan amalan tanazul taraqqi, dalam asal dan tujuan
ketahuilah, agar tidak keliru dan tidak ada kekhawatiran.
Istilah tanajul tarki yang dimaksud adalah istilah dari bahasa Arab
tanazul taraqqi. Sebelum mengupas makna gatra ini ada baiknya kita
mengerti beberapa istilah yang dipakai dalam gatra tersebut.
Sekarang kita mulai akan membahas relasi kawula-Gusti dalam bentuk
yang berbeda dari sebelumnya, yakni tanazul-taraqqi. Taraqqi adalah
upaya seorang hamba menuju derajat ilahiyah dengan cara melakukan
kewajiban syariat dan amalan-amalan yang dianjurkan dengan penuh
keikhlasan dan cinta kasih kepada Tuhan. Tanazul adalah tanggapan
Tuhan atas upaya makhluknya tersebut. Tanggapan ini bisa berupa
perhatian dan pertolongan agar sang hamba semakin mudah
mendekatiNya.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 58

Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan bahwa jika seorang hamba


mendekat kepada Tuhan sejarak sehasta Tuhan akan merespon dengan
mendekati hambanya sejarak sedepa, jika seorang hamba mendekat kepada
Tuhan dengan berjalan maka Tuhan akan membalas dengan mendekat
secara berlari. Relasi tanggap-aksi inilah yang disebut tanazul-taraqqi.
Sedangkan istilah sangkan-paran sangat berkaitan dengan kesadaran asal-
usul dan tujuan. Sangkan artinya tempat kita berasal, yakni Tuhan. Paran
artinya tujuan hidup kita, yakni Tuhan juga. Istilah sangkan paran sangat
bersesuaian dengan kalimat yang sering kita baca saat ada musibah,
innalillahi wa inna ilaihi raji’uun. Dari Allah kita berasal dan kepadaNya
kita akan kembali.
Istilah-istilah di atas perlu kita pahami agar dalam pengamalan sehari-hari
tidak keliru dan menimbulkan kekhawatiran dalam hati.
Lamun (jika) mangkono (demikian) patut (patut, pantas), tinirua (ditiru,
diteladani) tepaning (sesama) tumuwuh (makhluk, manusia). Jika
demikian patutlah, ditiru oleh sesama manusia.
Bait sebelumnya menceritakan tentang kisah pemuda yang sadar dari sikap
omong besar dan kemudian belajar kembali sampai mencapai tingkat ilmu
yang tinggi. Apa yang dilakukan tersebut patutlah ditiru oleh sesama
manusia.
Tan (tak) lyan (lain) saking (dari) sambadeng (kekuatan) badan (diri)
pribadi (sendiri), binudi (diupayakan) sidaning (jadinya, tercapainya)
sadu (kesabaran, ketenangan), aneng (ada) kene (di sini) kana (di sana)
kanggo (berguna). Tak lain dari kekuatan diri sendiri (masing-masing),
diupayakan tercapainya ketenangan batin. (Watak ini) ada di sini dan di
sana berguna.
Hendaklah seseorang mencontoh sesuai kekuatan diri masing-masing.
Upayakan tercapainya ketenangan hati (sadu budi). Tak ada salahnya
melakukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mencapai hal ini karena
watak yang demikian akan sangat berguna di alam sini (dunia) dan di alam
sana (akhirat).
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 59

Kajian Wedharaga (36;38): Mung Met Marta Karahayon


Bait ke-36;38, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat
Wedharaga, karya Raden Ngabehi Ranggawarsita:
Ki Gambuh bisa muwus,
anglakoni dhewe durung kaur.
Dangdang sumyang watak wantune wong langip.
Tan kawawa wuwur sembur,
pitutur bae yen kanggo.

Amung amrih rahayu,


ewadene ing babasanipun,
alah kandha ana ing tandha lan yekti.
Titenana ala nganggur,
begja kang gelem anganggo.

Tursan rong sapteng lebu,


Ki Pujangga panggupitanipun.
Tawi tawar ing surasa tanpa manis.
Marma kongsi karya pemut,
mung met marta karahayon.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Ki Gambuh hanya bisa berkata,
menjalani sendiri belum sempat.
Hanya banyak bicara seperti watak tabiatnya orang lemah.
Tak kuasa memberi saran dan doa,
petuah ini saja jika berguna.

Hanya agar selamat,


walau demikian ada peribahasa,
daripada hanya kata lebih baik ada tanda bukti kesungguhan.
Ingatlah sambil lalu,
beruntung yang mau mematuhi.

Terusan liang ada tujuh jalan masuk,


Ki Pujangga menggubahnya.
Hambar tanpa rasa dalam makna tanpa manis.
Karena sebab sampai membuat peringatan ini,
hanya mencari hidup penuh keselamatan.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 60

Kajian per kata:


Ki Gambuh (Ki Gambuh, penggubah serat ini) bisa (hanya bisa) muwus
(berkata), anglakoni (menjalani) dhewe (sendiri) durung (belum) kaur
(sempat). Ki Gambuh hanya bisa berkata, menjalani sendiri belum
sempat.
Ki Gambuh sendiri belum bisa melaksanakan apa yang beliau tulis ini,
baru sebatas berkata-kat dengan menuangkan ke dalam karya sastra ini.
Gatra ini adalah ungkapan kerendahan hati dari penggubah karya-karya
klasik yang selalu menyejukkan, rendah hati tanpa sikap arogan. Dalam
banyak karya sastra akan ditemukan pernyataan seperti ini, amat jauh
berbeda dengan yang kita lihat di medsos.
Dangdang sumyang (istilah untuk beramai-ramai) watak (watak) wantune
(tabiat) wong (orang) langip (lemah). Hanya banyak bicara seperti watak
tabiatnya orang lemah.
Dangdang adalah tempat menanak nasi. Sumyang, umyung artinya ramai-
ramai. Umumnya dangdang atau dandang dipakai untuk menanak nasi
dalam jumlah besar pada acara hajatan. Banyak orang terlibat di dapur
sehingga suaranya sangat ramai. Ungkapan dangdang sumyang dipakai
untuk menggambarkan suara yang ramai, gayeng.
Maksud gatra ini adalah Ki Pujangga baru bisa berama-ramai seperti
watak orang lemah. Orang lemah yang dimaksud adalah lemah dalam
kehendak, sudah berniat melakukan tapi tekadnya kurang kuat. Dan tentu
saja kalimat ini hanya ungkapan kerendahan hati dari Ki Ranggawarsita
saja.
Tan (tak) kawawa (kuasa) wuwur sembur (istilah untuk saran dan doa),
pitutur (petuah) bae (saja) yen (jika) kanggo (berguna). Tak kuasa
memberi saran dan doa, petuah ini saja jika berguna.
Wuwur sembur adalah saran dan do’a, sesuatu yang diharapkan dari para
orang tua ketika seseorang mempunyai keperluan atau persoalan. Dalam
kedua hal ini Ki Pujangga juga tak sanggup, hanya mampu memberi
petuah jika berkenan mengambil manfaat darinya.
Amung (hanya) amrih (agar) rahayu (selamat), ewadene (walau
demikian) ing (ada di) babasanipun (peribahasa), alah (daripada) kandha
(kata) ana (ada) ing tandha (tanda) lan (dan) yekti (bukti). Hanya agar
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 61

selamat, walau demikian ada peribahasa, daripada hanya kata lebih baik
ada tanda bukti kesungguhan.
Walau tak mampu memberi apa-apa, yang beliau inginkan hanyalah agar
semua selamat. Seperti peribahasa daripada hanya kata lebih baik ada
tanda dan bukti kesungguhan, serat Wedharaga yang ditujukan untuk para
muda inilah tanda dan bukti itu.
Titenana (ingat-ingatlah) ala nganggur (timbang nganggur, sambil lalu),
begja (beruntung) kang (yang) gelem (mau) anganggo (memakai,
mematuhi). Ingatlah sambil lalu, beruntung yang mau mematuhi.
Tidak usah serius amat, sambil lalu saja amat-amatilah, beruntung yang
mau memakai petuah ini.
Tursan (terusan) rong (liang) sapteng (tujuh dalam) lebu (masuk), Ki
Pujangga (Ki Pujangga) panggupitanipun (menggubahnya). Terusan
liang ada tujuh jalan masuk, Ki Pujangga menggubahnya.
Tursan rong sapteng lebu adalah candra sengkala, penanda tahun
dituliskannya serat ini, jika dinyatakan dalam angka adalah tahun 1799
Jawa, atau 1870 Masehi.
Tawi (tawa, hambar) tawar (tanpa rasa) ing (dalam) surasa (makna) tanpa
(tanpa) manis (manis). Hambar tanpa rasa dalam makna tanpa manis.
Memang hanya hambar perkataan sang Pujangga, tak ada bunga-bunga
manisnya. Bukan sebuah petuah yang menggetarkan jiwa, bukan sebuah
rangkaian kata yang menggores rasa. Ki Pujangga tak mampu membuat
yang seperti itu.
Marma (karena sebab) kongsi (sampai) karya (membuat) pemut
(peringatan), mung (hanya) met (mencari) marta (indah, hidup)
karahayon (keselamatan). Karena sebab sampai membuat peringatan ini,
hanya mencari hidup penuh keselamatan.
Karena sebab sampai dibuatnya karya ini hanya untuk peringatan,
hanyalah upaya untuk mencari keselamatan bagi semua. Dan inilah
hasilnya, Serat Wedharaga karya Ki Ranggawarsita yang digubah pada
tahun 1870 Masehi. Ketika itu usia Ki Ranggawarsita sudah 68 tahun.
Beliau meninggal pada tahun 1873 M dan dimakamkan di Palar.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 62

Bait ini adalah penutup dari Serat Wedharaga. Dengan berakhirnya kajian
ini maka tuntas sudah kita kaji serat Wedharaga karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, pujangga dari Kasunanan Surakarta Adiningrat.

TAMMAT.

Mirenglor, 27 Oktober 2017

Bambang Khusen Al Marie

Anda mungkin juga menyukai