Buku Kajian Wedharaga Full
Buku Kajian Wedharaga Full
SERAT WEDHARAGA
ii
iii
SERAT WEDHARAGA
R. Ng. RANGGAWARSITA III
2017
iv
v
KATA PENGANTAR
Bagi orang yang sudah pintar maka seyogyanya juga jangan memamerkan
ilmunya. Suka pamer sejatinya sebuah indikasi kalau ilmunya belum
penuh. Ibarat jung kurang isi, maka akan meninbulkan suara gemericik.
Berbeda dengan yang penuh, suaranya tidak banyak.
Untuk lebih mendapat manfaat dari kearifan kuno yang terangkum dalam
serat Wedharaga sekaligus menikmati keindahan sastra dari pujangga
besar Ranggawarsita, silakan membaca kajian ini hingga tuntas.
Mirenglor, 2017,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vi
TRANSLITERASI ARAB-LATIN vii
TRANSLITERASI JAWA-LATIN viii
PUPUH GAMBUH 1
Kajian Wedharaga (1): Rare Kang Kalimput 2
Kajian Wedharaga (2):Amardhukun Ngumbar Sanggup 4
Kajian Wedharaga (3): Den Sumendhe Aja Kibir 6
Kajian Wedharaga (4;5): Ana Masakalane 8
Kajian Wedharaga (6): Wiwit Nom Amandeng Laku 11
Kajian Wedharaga (7): Akanthi Awas Emut 13
Kajian Wedharaga (8): Aja Kesed Lan Sungkanan 15
Kajian Wedharaga (9): Becik Ipil-Ipil Kawruh 17
Kajian Wedharaga (10): Simpenen Ing Pungkur 19
Kajian Wedharaga (11):Lumuh Katon Balilu 21
Kajian Wedharaga (12):Anganggowa Duga Prayoga 23
Kajian Wedharaga (13):Angarah Warak Wuruk 25
Kajian Wedharaga (14;15): Ngaku Putus Tanda Bodho 27
Kajian Wedharaga (16):Peksa Unggul Wekasan Asor 30
Kajian Wedharaga (17;18): Wekasan Kether Tan Ethor 32
Kajian Wedharaga (19;20): Badhar Tyas Kabalabar 35
Kajian Wedharaga (21;22): Adreng Ngumbar Arubiru 38
Kajian Wedharaga (23;24): Den Bisa Matrap Unggah-ungguh 41
Kajian Wedharaga (25): Den Bisa Tepa Slira 44
Kajian Wedharaga (26;28):Tandha Durung Kamot 46
Kajian Wedharaga (29;31): Jun Kurang Isi 49
Kajian Wedharaga (32;33):Empan Papan Wiraos 52
Kajian Wedharaga (34;35): Tanazul Taraqqi 56
Kajian Wedharaga (36;38): Mung Met Marta Karahayon 59
vii
Untuk kata-kata Arab yang ditulis dalam huruf latin dan diindonesiakan,
tulisan ini memakai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
Disempurnakan. Untuk kata-kata yang belum diindonesiakan bila ditulis
dalam huruf latin mempergunakan transliterasi sebagai berikut:
Transliterasi kata-kata Jawa yang ditulis dalam hurf latin adalah sebagai
berikut.
= Ha = Da = Pa = Ma
= Na = Ta = Dha = Ga
= Ca = Sa = Ja = Ba
= Ra = Wa = Ya = Tha
= Ka = La = Nya = Nga
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 1
PUPUH
GAMBUH
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 2
Hati menjadi tidak peka terhadap benar dan salah, malah cenderung
melakukan pembenaran terhadap sebuah kesalahan dengan berbagai dalih.
Hati yang telah lumpuh kekuatannya ini juga kehilangan kemampuan
mawas diri, sehingga bukannya sadar atas kesalahannya alih-alih
menularkan kesalahan kepada orang lain dan mencari pengikut.
Tan-tan tuman (tetap tahan) amamatuh (terbiasa), temah (hingga)
lumaku (berlaku) ginuron (sebagai guru). Tetap tahan (dalam tindak
salah) karena terbiasa, hingga berlaku sebagai guru.
Karena sudah terbiasa dalam kesalahan dan tidak bisa mawas diri,
akhirnya malah berlaku sebagai guru. Mengajarkan kesalahan kepada
orang lain, mencari-cari pengikut, membuat ajaran baru. Banyak tingkah
layaknya orang pandai, pamer pengetahuan sesat dan tak tahu malu. Itulah
sifat anak muda yang gegabah terhadap pengetahuan. Jika tak segera
diperingatkan berbagai penyimpangan akan dia lakukan lagi.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 4
Trakadhang amardhukun,
dhokohan tyas asring ngumbar sanggup,
iku aja kongsi mangkono yen keni,
kinira-kira kang patut,
apa kalumrahaning wong.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Kadang-kadang membuka praktik dukun,
hatinya bernafsu mengumbar kemampuan.
Itu jangan sampai demikian itu kalau bisa.
Dikira-kira yang patut (dalam berbuat),
apa yang biasa dikerjakan orang.
dukun tenung, dukun ramal, dan lain-lain. Jadi memang ada dua macam
dukun, kita sebut saja dhukun putih dan dhukun hitam.
Meski demikian karena profesi dukun itu tidak ada sertifikatnya, maka
banyak orang mengaku-aku pintar dan sanggup menjadi dukun, seperti
ditunjukkan oleh tingkah polah tokoh kita ini, si anak muda yang kadang
amardhukun (membuka praktik dukun) tadi. Dia sangat bernafsu mencari
korban dan mengumbar kesanggupan, mempertontonkan kemampuan
kepada orang-orang. Padahal sudah kita ketahui bahwa kemampuannya tak
seberapa, bahkan kerap berbuat salah dan melanggar aturan.
Iku (itu) aja (jangan) kongsi (sampai) mangkono (demikian itu) yen
(kalau) keni (bisa). Itu jangan sampai demikian itu kalau bisa.
Maka Ki Gambuh (penggubah serat ini) mengingatkan, jangan sampai
terjadi yang demikian itu. Upayakan sebisa-bisanya jangan sampai
terjerumus ke perbuatan yang sangat tidak pantas ini.
Kinira-kira (dikira-kira) kang (yang) patut (patut, pantas), apa (apa)
kalumrahaning (yang biasanya, kelaziman) wong (orang). Dikira-kira
yang patut (dalam berbuat), apa yang biasa dikerjakan orang.
Menjadi orang yang hidup dalam masyrakat hendaklah dapat mengira-
ngira, menduga-duga, apa saja yang patut dilakukan. Apa saja yang biasa
dilakukan atau menjadi kelaziman bagi orang-orang di lingkungan itu.
Jangan berbuat aneh-aneh yang memberi kesan congkak dan
menyombongkan diri, apalagi jika sampai mengaku-aku pintar, jangan
sampai yang demikian itu terjadi. Itu sifat tidak elok dan justru
kontraproduktif.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 6
dukun pun tidak boleh mengklaim sendiri, harus sudah ditunjuk oleh orang
penting atau yang berwajib.
Kita tidak bisa menilai keadaan masa lalu ketika serat ini ditulis, yakni
kira-kira 150 tahun yang lalu. Di zaman itu dukun adalah satu-satunya
alternatif selain kyai-kyai di pesantren (yang masih jarang) sebagai tempat
bertanya dan mencari solusi dari masalah kehidupan, masalah
penyembuhan, saran yang berkaitan dengan problem-problem sosial, dan
sebagainya. Banyak masalah yang ternyata dapat diselesaikan dengan baik
oleh dukun-dukun itu. Walau demikian tidak menutup kemungkinan
munculnya dukun-dukun palsu seperti kasus yang dibahas dalam bait ini.
Samonowa (sungguhpun demikian) durung (belum) patut (patut), wong
(orang) anom (muda) ahlul (ahli) mangkono (yang demikian).
Sungguhpun demikian belum patut, orang muda ahli yang demikian
(dukun).
Seungguhpun demikian, walau bener-bener mempunyai ilmu, orang muda
belum patut menjadi ahli dalam hal perdukunan. Selain sering disebut
wong pinter, dukun juga sering disebut wong tuwa, artinya sudah kaya
pengalaman dan pantas menjadi paran pitakon, tempat bertanya. Kalau
yang menjadi dukun anak muda akan kelihatan janggal. Sekali lagi dukun
yang dimaksud di sini adalah dukun putih, seperti yang telah kami jelaskan
dalam bait ke-2.
Ing tembe (kelak) yen (jika) wus (sudah) pikun (tua sekali), pantes
(pantas) bae (saja) ulah (menekuni) idu wilut (idu wilut). Kelak jika sudah
tua sekali, pantas saja menekuni idu wilut.
Arti dari idu wilut adalah ludah ampuh. Hal ini berkaitan dengan praktik
penyembuhan yang sekarang dikenal dengan nama suwuk, yakni
mendoakan air putih dengan doa-doa kemudian ditiup di atasnya, kadang
dengan menyemburkan air ludah.
Bangsa (Bermacam-macam) bincil (perhitungan primbon) ambabatang
(ramal-meramal) ngusadani (penyembuhan). Bermacam-macam
perhitungan primbon, ramal-meramal dan penyembuhan.
Bincil adalah segala hal berkaitan dengan perhitungan hari, yang bisa
berupa peringatan hari-hari orang meninggal, mencari hari-hari baik,
menghindari hari buruk. Dasar dari perhitungan ini adalah kitab primbon.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 10
Mangkene patrapipun,
wiwit anom amandengalaku,
ngungurangi mangan turu sawatawis,
amemekak hawa napsu,
dhasarana andhap asor.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Seperti inilah sikap yang baik,
sejak muda memusatkan perhatian pada tingkah laku.
Mengurangi makan dan tidur sampai secukupnya saja,
menahan dengan sangat hawa nafsu
mendasari setiap perbuatan dengan rendah hati.
.
Kajian per kata:
Mangkene (seperti inilah) patrapipun (sikap yang baik), wiwit (sejak)
anom (muda) amandengalaku (memusatkan perhatian pada tingkah laku).
Seperti inilah sikap yang baik, sejak muda memusatkan perhatian pada
tingkah laku.
Jika ingin menjadi orang besar yang dikagumi orang, yang mempunyai
banyak penggemar, yang menjadi panutan banyak orang (seperti para
dukun itu) maka harus menjaga sikap yang baik. Sejak muda harus sudah
memperhatikan, memusatkan perhatian pada tingkah laku yang benar.
Sejak muda harus membiasakan diri dengan kebiasaan baik agar kelak
ketika tua tidak malas atau kikuk ketika harus melakukan kebaikan. Apa
saja kebiasaan yang harus diamalkan sejak muda itu?
Ngungurangi (mengurangi) mangan (makan) turu (tidur) sawatawis
(secukupnya), amemekak (menahan dengan sangat) hawa napsu (hawa
nafsu), dhasarana (didasari) andhap asor (sikap rendah hati). Mengurangi
makan dan tidur sampai secukupnya saja, menahan dengan sangat hawa
nafsu dan mendasari setiap perbuatan dengan rendah hati.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 12
Pada bait ini disebutkan tiga kebiasaan yang harus diamalkan sejak muda
agar menjadi ringan dilakukan ketika tua karena sudah terbiasa dan
menjadi akhlak sehri-hari.
Yang pertama, mengurangi makan dan tidur sampai pada level
secukupnya. Ada anjuran Nabi berkaitan dengan makan yang amat bagus;
makanlah hanya ketika lapar dan berhentilah sebelum kenyang. Jika anak
muda bisa mempraktikan ini saja sudah sangat bagus. Dalam hal tidur juga
janganlah berlebihan tapi lakukan secukupnya sekadar menjaga kebugaran
tubuh. Jika sudah cukup tidur hendaklah bangun untuk melakukan
kegiatan yang bermanfaat.
Yang kedua, menahan dengan sangat keinginan hawa nafsu. Kata mekak
biasa dipakai untuk menghentikan kuda dengan cara menarik tali kekang
sehingga kuda dengan terpaksa berhenti. Perumpamaan ini diambil karena
sifat keduanya yang mirip (antara kuda dan hawa nafsu), yakni kalau tidak
dikekang akan lari terus. Maka mengendalikan hawa nafsu memang harus
dengan sedikit menahan sakit dan mengabaikan keinginan.
Yang ketiga, mendasari setiap perbuatan dengan sikap rendah hati. Tidak
pamer, tidak sombong, tidak umuk, tidak jumawa tetapi menyembunyikan
kemampuan apabila tidak diperlukan.
Inilah tiga sikap yang harus dimiliki anak muda dalam kehidupan. Untuk
diketahui ini hanyalah dasar-dasar atau permulaan saja. Masih banyak hal
yang harus dilakukan bagi mereka yang sungguh-sungguh peduli dengan
masa depannya kelak. Kita akan melanjutkan pada kajian berikutnya.
Sampai jumpa!
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 13
dongkol. Jika begitu mana ada orang yang dengan senang hati akan
berbagi ilmu dengan orang yang demikian?
Sakadare (sekadarnya) angingimpun (mengumpulkan), nimpeni
(memanfaatkan) kagunaning (kepandaian) wong (orang). Sekadarnya
mengumpulkan, memanfaatkan kepandaian orang.
Dalam hal pengetahuan juga hendaknya rajin mengumpulkan ilmu,
bertanya tentang sesuatu kepada yang ahli tentang ini, bertanya kepada
yang ahli tentang itu, selanjutnya kumpulkan jawabannya. Jika mungkin
pelajari kitab dari ahli ini, juga pelajari kitab dari ahli itu, dan kumpulkan
kesimpulan mereka. Inilah yang disebut memanfaatkan ilmu orang lain
untuk menambah pengetahuan. Yang demikian itu disebut mengutip, itu
boleh dilakukan dan tidak melanggar etika. Yang tidak boleh adalah
menjiplak, atau plagiat, yakni mengakui karya orang lain sebagai hasil
karyanya.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 17
.
Kajian per kata:
Karana (sebab, karena) ing (dalam) tumuwuh (kehidupan), akeh (banyak)
lumuh (tidak mau) katona (terlihat) mbalilu (bodoh). Sebab di dalam
kehidupan, banyak orang tidak mau kelihatan bodoh.
Bodoh itu sifat yang tidak populer dan sering menjabi bahan bullying sejak
masih anak-anak. Di sekolah-sekolah pun para mengajarkan agar para
murid agar rajin belajar supaya tidak bodoh. Mereka memperolok orang
bodoh dengan kalimat: bodho longa-longo kaya kebo pakanane suket ijo
sak tompo. Silahkan dipahami sendiri kalimat tersebut karena
terjemahannya tak semenghina dalam bahasa asalnya.
Fenomena di atas terpatri dalam benak setiap anak sampai dewasa, maka
takkan ada seorangpun yang mau kelihatan bodoh. Kesadaran ini sudah
mengendap di alam bawah sadar, yang takkan mudah untuk diubah.
Marma (maka) tansah (selalu) mintonken (mempertontonkan) kawruh
(pengetahuan) pribadi (diri), amrih (agar) den (di) alema (puji) punjul
(lebih). Maka selalu mempertontonkan pengetahuan sendiri, agar dipuji
sebagai punyak kelebihan.
Yang sebaliknya anak yang pintar akan selalu dipuji teman disayang guru,
mudah mendapat teman dan takkan ada yang memperolok. Kesadaran ini
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 22
juga akan dibawa sampai tua, maka setiap orang berusaha kelihatan pintar
agar selalu mendapat pujian sebagai orang yang lebih dari sesamanya.
Akibatnya banyak orang yang berlagak pintar demi meraih simpati.
Mempunyai pengetahuan sedikit saja sudah banyak bicara. Baru tahu satu
hal sudah menyalahkan hal lainnya. Baru memahami satu kebenaran sudah
merasa paling benar. Semua muara dari sikap sok pintar pada dasarnya
hanya satu: gila pujian.
Tan (tak) wruh (mengetahui) bakal (akan) kajalomprong (terjerumus).
(Dia) tak mengetahui akan terjerumus.
Orang-orang yang bersikap seperti itu tidak mengetahui bahwa sikap
tersebut sangat merugikan dirinya sendiri, menjerumuskan dalam kerugian
yang besar. Mengapa demikian? Jawabnya ada pada kajian berikutnya.
Sampai jumpa!
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 23
Aja (jangan) pijer (sering) umbag (pamer) umuk (besar mulut), mundhak
(agar jangan) kawiyak (terbongkar) yen (kalau) bodho (bodoh). Jangan
sering pamer dan besar mulut, agar jangan terbongkar kalau bodoh.
Orang pandai yang sejati akan bersikap seperti yang telah diuraikan pada
bait sebelumnya, yakni berhati-hati, awas eling dan dapat mengira-ngira
akibat dari perbuatannya. Sikap ini dinamakan duga lan prayoga.
Tentang sikap pamer dan besar mulut, telah kami tegaskan berkali-kali
bahwa yang demikian bukanlah ciri-ciri dari orang pandai. Janganlah
sekal-kali bersikap demikian. Tidak ada keuntungannya dalam pamer
ilmu, malah orang-orang menjadi tahu bahwa sebenarnya kita bodoh.
Seperti halnya orang takkan tahu isi dari sebuah tong manakala belum
mengetuknya. Sesudah diketuk-ketuk dan keluarlah bunyi nyaringnya baru
orang paham: oh kosong .....
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 27
Panengeran yang dimaksud dalam bait ini adalah tentang apakah seseorang
berbohong perihal kemampuan yang dimilikinya. Klaim yang dia ucapkan
bahwa dia ahli dalam bidang ini-itu apakah benar? Ada tanda-tanda untuk
mengetahui hal tersebut.
Peten (ambilah) saking (dari) sambang liring (sekilas pandangan) nayeng
wadi (mimik muka yang mengandung rahasia). Ambilah dari cara melihat
dan mimik muka yang rahasia.
Pet artinya ambil, sambang liring artinya cara melihat, gerak mata, naya
ing wadi = nayeng wadi artinya mimik muka rahasia. Jadi tanda-tanda itu
ambilah dari cara dia melihat, gerak mata dan mimik atau air muka pada
saat dia berbicara. Jika kita awas dan teliti niscara akan terlihat jelas
apakah seseorang benar-benar mempunyai kemampuan seperti yang dia
klaim atau hanya berbohong.
Cara ini terlampau sulit bagi orang awam, dan hanya dapat dilakukan oleh
orang yang menguasai ilmu gerak wajah. Namun pada umumnya orang
Jawa yang dewasa menguasai hal seperti ini. Inilah yang dinamakan
sasmita (isyarat), yakni apa yang tersirat dari yang tersurat. Oleh karena
itu di Jawa sering kita mendengar perkataan tanggap ing sasmita artinya
paham apa yang tersirat. Sasmita ini bisa berupa isyarat yang sengaja
diberikan oleh seseorang yang sedang bicara, atau juga bisa tidak sengaja
tetapi tetap mengungkap gejolak apa yang ada di hati seseorang.
Yen (kalau) wong (orang) ngaku (mengaku) sarwa (serba) putus (ahli),
iku (itu) mratandhani (menandakan) bodho (bodoh). Kalau orang
mengaku serba ahli, itu menandakan ia bodoh.
Bagi orang awam ada penanda yang umum dan lebih mudah namun
kurang akurat: siapapun yang mengaku-ngaku ahli, itu pertanda bahwa dia
bodoh. Setiap orang pasti ingin menyembunyikan kelemahan dirinya,
dalam soal ilmu kelemahan yang tampak adalah kebodohan, maka wajar
jika kemudian seseorang mengaku pintar agar tidak dianggap bodoh.
Lamun (jika) wong (orang) ngaku (mengaku) cukup (cukup),
mratandhani (menandakan) kukurangan (kekurangan) iku (itu). Jika
orang mengaku cukup, menandakan bahwa dia kekurangan.
Demikian juga dalam hal kekurangan yang lain. Soal harta misalnya,
seseorang akan menyembunyikan kemiskinannya dengan bergaya hidup
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 29
selama ini tidak dikenalnya lantas mengira bahwa orang lain juga tidak
mengerti akan hal itu. Jadilah dia berlagak seolah hanya dirinya yang tahu.
Maka tak aneh kalau Ki Gambuh pun pernah mengalaminya.
Paksa (memaksakan) unggul (unggul) wekasan (akhirnya) malah (malah)
katinggil (katenggel, terpukul), panggilesing (tergilas) jabung alus (orang
yang dekat), winangsulan (diulang lagi) tyas (hati) kaleson (sudah lesu).
Memaksakan unggul akhirnya malah terpukul, tergilas oleh orang dekat,
(ingin) mengulang lagi hati sudah lesu.
Inilah pengalaman Ki Gambuh di masa dahulu, memaksakan penampilan
akhirnya malah terpukul. Tenggel adalah memotong atau memukul sesuati
tepat sasaran, telak, pas di tengah secara melintang. Katenggel atau
katinggil artinya terpukul secara telak, tentu amat menyakitkan.
Jabung adalah sejenis perekat, njabung alus adalah kata majemuk yang
merupakan idiom, artinya merapatkan diri, menempel dengan halus.
Panggilesing jabung alus artinya yang menggilas atau memukul telak
tadi adalah orang dekat. Hal ini membuat Ki Gambuh benar-benar syok
dan lemah lunglai sehingga tak berdaya lagi untuk bangkit. Kaleson adalah
ungkapan untuk perasaan hati yang lesu, tidak semangat lagi.
Mangkono (demikian) kang (yang) tinemu (ditemukan, terjadi), marmane
(oleh karena) wong (orang) ngaurip (berkehidupan) punika (itu), aja
(jangan) pisan (sekali-kali) paksa (memaksakan) ambeg (berwatak)
kumalikih (sombong). Demikian yang terjadi, oleh karena itu orang
berkehidupan itu, jangan sekali-kali memaksakan berwatak sombong.
Demikian itulah yang terjadi jika suka umuk di atas kemampuan sendiri.
Oleh karena dalam kehidupan ini jangan sekali-kali mendahului proses,
tak sabar untuk segera memetik hasil, memaksakan diri tampil seolah
sudah berhasil, bahkan terkesan meremehkan kemampuan orang lain.
Angaku (mengaku) sarwa (serba) linuhung (lebih unggul, lebih hebat),
wekasan (akhirnya) kether (terbengkelai) tan (tidak) ethor (becus).
Mengaku serba lebih hebat, akhirnya terbengkelai karena tidak becus.
Mengaku-aku serba hebat dan unggul dibanding orang lain hanya demi
decak kagum. Akhirnya ketika tiba saatnya harus membuktikan
kemampuannya justru yang terjadi adalah urusannya terbengkelai karena
sebenarnya dia tak mampu.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 34
Kether artinya tak tertangani karena tak mampu. Ethor varian kasar dari
kata ethes, artinya cakap, terampil. Tan ethor artinya tak becus, dalam
bahasa Jawa istilah lainnya adalah ora jegos (tidak bisa, konotasinya
kasar).
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 35
Ana (ada) kang (yang) wus (sudah) kadulu (terlihat), suteng(anak) carik
(jurutulis) kadhinginan (terlalu cepat, mendahului) tuwuh (tumbuh). Ada
yang sudah terlihat, anak jurutulis yang terlalu cepat tumbuh.
Ada contoh lain selain Ki Gambuh sendiri. Dia adalah anak jurutulis yang
terlalu cepat tumbuh. Maksudnya dia melakukan apa yang sudah
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 36
Berlagak berani ketika tidak ada musuh, namun jika kepergok marabahaya
tak dapat menyelesaikan masalah. Angas adalah sifat sok berani,
mengaku-aku berani dalam perkataan, alias omong besar.
Temah (hingga) kasebut (disebut) wong (orang) gemblung (sinting),
kinira (dikira) yen (kalau) lara (sakit) panon (penglihatan, pikiran, otak).
Hingga disebut orang sinting, dikira kalau sakit otaknya.
Orang seperti itu perilakunya mirip orang sinting. Tidak dapat dipegang
kata-katanya. Banyak orang mengira kalau dia sakit otaknya. Memang
tidak ada baiknya sifat umuk itu, sehingga sering disamakan dengan orang
sinting. Mungkin ini berlebihan tetapi yang jelas sama meresahkan dengan
kelakuan orang tak waras.
Yang lebih parah dari sikap seperti ini adalah ia akan menyeret watak
buruk lain untuk berkumpul dalam satu tubuh. Apa saja watak buruk yang
akan diundang oleh sifat umuk kumalungkung ini? Nantikan kajian
berikutnya.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 38
Orang seperti ini sikapnya sombong sekali, merasa benar sendiri melebihi
orang lain dalam segala hal. Mereka mengklaim kebenaran sudah menjadi
milik mereka.
Saliring (sembarang) utameng (yang utama) kawruh (pengetahuan),
pangrasane (perasaannya, dianggapnya) padha (semua) kasor (kalah).
Sembarang yang utama dalam pengetahuan, dianggapnya semua kalah
(darinya).
Hal-hal yang menjadi keutamaan dalam pengetahuan mereka merasa ahli,
menurut anggapannya yang lain semua kalah.
Itulah watak tak baik dan kurang elok yang sering menjangkiti anak muda
yang ilmunya baru setengah jalan. Sungguh bahwa watak yang demikian
itu akan mengenai sebagian besar dari kita. Jika itu terjadi janganlah
terlalu khawatir, tetaplah terus belajar dengat giat. Insya Allah akan
sembuh dengan bertambahnya ilmu pengetahuan. Namun jika berhenti di
tahap itu, celakalah!
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 41
Jika kita mampu menghargai orang lain dengan sikap hormat yang
melebihi harkat dan martabatnya, maka yang demikian itu disebut murah
hati.
Tanggap (tranggap) ing (pada) reh (hal) ngarah-arah (berhati-hati)
ngirih-ngirih (secara halus). Tanggap pada hal berhati-hati (bertindak)
secara halus.
Selanjutnya kita harus bisa bersikap hati-hati dalam membawa diri, tidak
tergesa-gesa, selalu waspada dan ingat, bertindak dengan halus tidak
gegabah atau sembrono. Itu semua dilakukan agar kita tidak menyakiti
orang lain. Ibarat membawa semak berduri di tengah keramaian, kita harus
hati-hati melangkah agar duri-duri yang kita bawa tidak melukai orang
sekitar. Tidak perlu mendesak-desak orang, bila perlu menunggu jalannya
sepi agar kita tak menyakiti orang lain. Seperti itulah seharusnya kita
membawa diri, karena banyak organ kita yang lebih tajam dari duri tadi.
Lidah misalnya, adalah benda tertajam di dunia karena mampu mengoyak
hati yang tersembunyi jauh di rongga dada. Maka sudah selayaknya kita
berhati-hati.
Satiba telebing tanduk (dalam berbuat apapun), tumindak (dilakukan)
lawan (dengan) angawon (mengalah). Dalam berbuat apapun, dilakukan
dengan mengalah.
Satiba telebing tanduk artinya perbuatan yang spontan, yang dilakukan
tanpa berpikir dulu, artinya perbuatan itu sudah menjadi akhlak yang
merasuk dalam jiwa sehingga melahirkan perbuatan spontan. Gatra ini
mengisyaratkan seseorang yang sudah terbiasa mengarah-arah ngirih-irih
tersebut dalam setiap perbuatannya spontan sudah dilakukan dengan
mengalah. Dengan kata lain mengalah sudah menjadi wataknya hingga
dapat dilakukan dengan spontan, tanpa mikir-mikir dulu.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 44
dengan maksud hati. Jadi gatra di atas bermakna barang siapa mengetahui
dirinya, dapat menerapkan tepa slira, maka akan mengarahkan pada
kecocokan hati dengan orang lain.
Yekti (sungguh) datan (tidak) adoh (jauh) lan (dengan) badan (badan,
diri) pribadi (sendiri). Sungguh (rasanya) takkan jauh dengan diri sendiri.
Apapun yang dirasakan orang lain sungguh tak jauh dengan rasa kita
sendiri. hal ini masih berkaitan dengan tepa slira tadi. Misalnya kita tak
suka dicaci maki, maka orang lain pun juga tidak suka. Jika kita tidak
suka melihat orang sombong, maka orang di sekitar kita juga tidak suka
melihat kita sombong. Prinsip tepa slira berusaha menerapkan perasaan
pada diri sendiri seandainya orang lain berlaku seperti yang kita lakukan.
Pada umumnya orang bersikap sama, tak jauh dari diri kita sendiri. Maka
apapun yang jika dilakukan orang kita merasa tidak suka, janganlah kita
juga melakukan hal yang sama.
Lamun (jika) kanthi (disertai) awas (waspada) emut (eling), salamet
(selamat) tumekaning (sampai) ndon (tujuan). Jika disertai waspada dan
ingat, akan selamat sampai tujuan.
Dalam berbagai kesempatan Ranggawarsita selalu mengingatkan agar kita
selalu waspada dan ingat. Arti kedua kata itu sudah sering kita bahas
dalam kajian ini. Namun tidak ada salahnya kami ulang kembali agar
tertanam dalam hati. Ingat berarti mengingat diri sendiri, menjaga diri dari
keinginan hati yang melampaui batas, jadi ingat lebih ditujukan ke dalam.
Waspada lebih ditujukan ke luar dalam menghadapi berbagai godaan dan
halangan yang datang dari luar.
Jika kita bisa memadukan tiga hal di atas, tepa slira, waspada dan ingat,
maka hidup kita akan selamat sampai tujuan.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 46
Suatu hari dia bertemu dengan seorang tua yang sudah pikun. Tanpa
unggah-ungguh dan sopan santun pemuda itu menunjukkan kepandaiannya
lahir dan batin. Anak muda memang tidak sabaran. Ketika melihat sesuatu
yang berbeda dari apa yang diketahuinya biasanya langsung bereaksi
dengan cara yang kurang patut. Misalnya, menyalahkan, mencela atau
menggurui. Ini reaksi yang wajar dari seorang yang kurang sempurna
ilmunya, tanda tak luas wawasannya, menunjukkan kerdilnya pikiran dan
dangkalnya pengetahuan. Mereka tidak mempertimbangkan ada kebenaran
lain yang diluar pengetahuannya.
Kaki (kakek) tuwa (tua) alon (pelan, halus) muwus (berkata), mengko ta
(sebentar) wong (orang) bagus (tampan) anom (muda). Manira (saya)
takon (bertanya) tuhu (yang sebenarnya), lagi (baru) pira (berapa)
umurira (umurmu) bagus (bagus, tampan). Kakek tua itu berkata dengan
pelan halus, “Sebentar anak muda. Saya bertanya yang sebenarnya, baru
berapa umurmu cah bagus?”
Menanggapi ketidak sopanan orang muda tadi kakek tua berkata dengan
halus, “Sebentar anak muda. Ke sinilah dahulu. Duduklah di sini! Saya
ingin bertanya baru berapa umurmu bocah bagus?”
Bocah bagus, atau cah bagus adalah panggilan sayang para orang tua
kepada anak-anak muda. Namun panggilan ini sering kali dipakai sebagai
cara untuk membujuk anak-anak nakal agar mau dinasehati. Tampaknya
kakek tua sedang melakukan itu.
Winangsulan (dijawab) uwis (sudah) telung puluh (tiga puluh) warsi
(tahun), kaki (kakek) tuwa (tua) mesem (tersenyum) muwus (berkata),
layak (pantas) durung (belum) bisa (bisa) amot (memuat). Dijawab (oleh
orang muda itu), “Sudah tiga puluh tahun.” Kakek tua tersenyum sambil
berkata, “Pantas belum bisa memuat (pengetahuan)!”
Ketika orang muda itu menjawab sudah tiga puluh umurnya, kakek tua
hanya berkata setengah bergumam, “Oh pantas belum bisa memuat
(pengetahuan)!” Tiga puluh tahun ternyata belum mencapai usia yang
matang dalam berilmu, itulah pendapat si kakek tua. Lalu berapakah usia
seseorang mencapai kematangan pikir dan kedewasaan sikap? Nantikan
dalam kajian berikutnya.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 49
Kita akan mengelaborasi kajian tentang hal ini pada saatnya nanti, kalau
sudah ada halaman yang tersedian khusus untuk kajian falsafah. Saat ini
masih dalam tahap pengembangan. Sementara kita cukupkan sekian
dahulu kajian bait ini. Semoga dapat memberi manfaat untuk Anda para
pembaca.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 56
selamat, walau demikian ada peribahasa, daripada hanya kata lebih baik
ada tanda bukti kesungguhan.
Walau tak mampu memberi apa-apa, yang beliau inginkan hanyalah agar
semua selamat. Seperti peribahasa daripada hanya kata lebih baik ada
tanda dan bukti kesungguhan, serat Wedharaga yang ditujukan untuk para
muda inilah tanda dan bukti itu.
Titenana (ingat-ingatlah) ala nganggur (timbang nganggur, sambil lalu),
begja (beruntung) kang (yang) gelem (mau) anganggo (memakai,
mematuhi). Ingatlah sambil lalu, beruntung yang mau mematuhi.
Tidak usah serius amat, sambil lalu saja amat-amatilah, beruntung yang
mau memakai petuah ini.
Tursan (terusan) rong (liang) sapteng (tujuh dalam) lebu (masuk), Ki
Pujangga (Ki Pujangga) panggupitanipun (menggubahnya). Terusan
liang ada tujuh jalan masuk, Ki Pujangga menggubahnya.
Tursan rong sapteng lebu adalah candra sengkala, penanda tahun
dituliskannya serat ini, jika dinyatakan dalam angka adalah tahun 1799
Jawa, atau 1870 Masehi.
Tawi (tawa, hambar) tawar (tanpa rasa) ing (dalam) surasa (makna) tanpa
(tanpa) manis (manis). Hambar tanpa rasa dalam makna tanpa manis.
Memang hanya hambar perkataan sang Pujangga, tak ada bunga-bunga
manisnya. Bukan sebuah petuah yang menggetarkan jiwa, bukan sebuah
rangkaian kata yang menggores rasa. Ki Pujangga tak mampu membuat
yang seperti itu.
Marma (karena sebab) kongsi (sampai) karya (membuat) pemut
(peringatan), mung (hanya) met (mencari) marta (indah, hidup)
karahayon (keselamatan). Karena sebab sampai membuat peringatan ini,
hanya mencari hidup penuh keselamatan.
Karena sebab sampai dibuatnya karya ini hanya untuk peringatan,
hanyalah upaya untuk mencari keselamatan bagi semua. Dan inilah
hasilnya, Serat Wedharaga karya Ki Ranggawarsita yang digubah pada
tahun 1870 Masehi. Ketika itu usia Ki Ranggawarsita sudah 68 tahun.
Beliau meninggal pada tahun 1873 M dan dimakamkan di Palar.
Kajian Sastra Klasik Serat Wedharaga 62
Bait ini adalah penutup dari Serat Wedharaga. Dengan berakhirnya kajian
ini maka tuntas sudah kita kaji serat Wedharaga karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, pujangga dari Kasunanan Surakarta Adiningrat.
TAMMAT.