PENDAHULUAN
Penyakit layu yang disebabkan bakteri Ralstonia solanacearum hingga saat ini masih
menjadi kendala utama dalam budidaya kacang tanah. Layu bakteri merupakan penyakit yang
mendunia, penyebarannya ke seluruh dunia baik wilayah tropis maupun sub tropis. Di sebagian
besar negara produsen kacang tanah seperti Australia, Fiji, beberapa negara di Afrika meliputi
Lybia, Uganda, Somalia, Ethiopia, Zimbabwe, dan Afrika Selatan; serta di Asia meliputi China,
Malaysia, Vietnam, Indonesia, Philipina, Thailand, Sri Langka, Papua New Guinea, Taiwan,
Jepang, dan India, penyakit tersebut menjadi penyebab utama penurunan produksi (Mehan et al.
1994). Di daerah sentra produksi kacang tanah di Jawa Tengah seperti Pati dan Banjarnegara,
bakteri layu menjadi faktor utama penyebab rendahnya hasil panen (Nugrahaeni 2011).
Kehilangan hasil kacang tanah karena penya-kit layu berkisar 10–30% bahkan mencapai 60%
pada tingkat serangan parah seperti terjadi di Vietnam dan Indonesia (Mehan et al. 1994). Di
China, kehilangan hasil kacang tanah akibat layu bakteri di estimasi mencapai 50.000 ton per
tahun (Boshou 1999). Besarnya nilai kehilangan hasil tersebut dipengaruhi beberapa faktor
seperti seperti tingkat virulensi patogen, kondisi lingkungan seperti cuaca, ketahanan varietas,
cara budidaya dan teknologi pengendalian (Elphinstones 2005).
R. solanacearum pada umumnya menyerang kacang tanah yang ditanam pada musim
kemarau awal atau akhir musim hujan, dengan kondisi lahan masih lembab dan cuaca bersuhu
hangat. Gejala infeksinya muncul secara tiba-tiba, batang menjadi layu dan lunglai dengan
warna daun tetap hijau. Fase kritis tanaman terhadap infeksi biasanya pada umur 2–3 minggu.
Pada tingkat serangan ringan gejala layu hanya terlihat pada sebagian cabang, sedangkan
serangan parah menyebabkan kerusakan sistemik seluruh batang dan cabang menjadi layu,
kemudian tanaman mengering dan akhirnya mati. Tanaman kacang tanah yang terserang,
biasanya tidak dapat sembuh (Mehan et al. 1994, Hayward 1995). Pengendalian penyakit layu
pada kacang tanah sejauh ini belum dila-kukan secara kimia walaupun teknologi tersebut
handal dan bakterisida yang efektif tersedia dengan berbagai merk dagang, namun teknologi
kimiawi tersebut tidak sesuai untuk petani dengan sumber dana terbatas. Mengingat R.
solanacearum merupakan pato-gen yang terdiri atas beragam strain dan sejauh ini belum
dilakukan pengendalian secara serius oleh petani, maka beberapa komponen pengendalian
alternatif seperti penggunaan varietas tahan, pemilihan lahan bebas penyakit (non infeksi),
pergiliran tanaman dengan jenis bukan inang, penggunaan benih sehat, pengendalian hayati,
pestisida nabati poten-sial sebagai bakterisida, dan pengendalian kimiawi dengan antibiotik
sangat potensial diterapkan di lapangan.
SEBARAN GEOGRAFIS
R. solanacearum pertama kali ditemukan berasal dari lokasi mana belum jelas, tetapi
Hayward (1991) menyatakan bahwa secara geografis tempat ditemukan bakteri tersebut adalah
hutan belantara di benua Amerika Selatan dan Indonesia. Van Breda de Haan
KERUGIAN HASIL
Kerugian hasil kacang tanah akibat penyakit layu bervariasi antara 10–30%, bahkan pada
varietas rentan yang terserang parah kerugiannya mencapai 60% (Mehan et al. 1994). Besarnya
nilai kerugian hasil tersebut dipengaruhi beberapa faktor meliputi faktor lingkungan seperti
iklim lokal, tipe tanah, teknis budidaya, jenis varietas yang ditanam, dan virulensi atau tingkat
keganasan strain R. solanacearum (Elphinstones 2005).
BIOEKOLOGI PATOGEN
Identitas Patogen
Patogen penyebab penyakit layu adalah bakteri Ralstonia solanacearum Smith-Yabuuchi.
Nama tersebut mengalami beberapa kali perubahan, sebagai hasil kajian molekuler yang
didasarkan pada analis DNA bakteri. Semula bakteri tersebut dinamakan Bacillus
solanacearum, kemudian menjadi Burkholderia solanacearum, berubah menjadi Pseudomonas
solanacearum dan nama mutakhir menurut Yabuuchi et al. (1995) adalah Ralstonia
solanacearum. Secara taksonomi bakteri tersebut diklasifikasikan sebagai berikut:
Bangsa : Bakteri
Filum : Proteobakteria
Klas : Betaproteobakteria
Ordo : Burkholderiales
Famili : Burkholderiaceae
Marga : Ralstonia
Spesies : solanacearum
R. solanacearum termasuk kelompok bakteri Gram negatif, morfologi sel berbentuk batang
pendek, sel tunggal berukuran 0,5–0,7 x 1,5–2,0 μm, tidak membentuk spora, dan tidak
berkapsul. Bakteri dapat bergerak dengan menggunakan bulu getar (flagela) tunggal atau lebih
yang terletak pada salah satu ujung sel polar (Gambar 1). Tans-Kersten et al. (2001)
menyatakan bahwa flagela berfungsi untuk bergerak cepat ke arah rangsangan inang, dan
kecepatan tersebut sangat menentukan virulensi atau keganasan bakteri pada tahap awal infeksi
dan kolonisasinya pada inang. Menurut Anitha et al. (2003) bahwa isolat virulen pada
umumnya tidak memiliki flagel dan tidak mampu bergerak (non-mobil). Pada isolat avirulen
atau tidak ganas, bakteri mampu bergerak dengan menggunakan 1–4 buah flagel polar.
Jenis Inang
Bukan hanya kacang tanah yang menjadi tempat hidup bakteri layu, komoditas lain yang
bernilai ekonomis tinggi seperti terung Solanum melongena, kentang Solanum tuberosum,
tomat Lycopersicon esculentum, pisang Musa paradisiaca, dan tembakau Nicotiana tabacum
merupakan inang utama R. solanacearum (EPPO 2004). Sebelumnya Kelman et al. (1994)
melaporkan bahwa penyakit layu pada tanaman lada, cabai, jahe, wijen, dan anturium juga
disebabkan oleh R. solanacearum. Menurut Elphinstone (2005) R. solanacearum memiliki
kisaran inang sangat luas, dapat menginfeksi 200 spesies tanaman dari 53 famili.
Tabel 1. Tanaman budi daya dan gulma yang berperan sebagai inang R. solanacearum
No Spesies Nama umum No Spesies Nama umum
1 Lycopersicon esculentum Tomat 21 Gladiolus communis Gladiol
2 Nicotiana tabacum Tembakau 22 Ocimum sp. Kemangi
3 Solanum melongena Terung 23 Crotalaria juncea Turi
4 Solanum tuberosum Kentang 24 Amaranthus spinosus Orok-orok,
eceng-eceng
5 Musa spp Pisang 25 Ageratum conizoydes Bayam duri
6 Heliconia sp. Bunga 26 Ageratum conizoydes Jotang
matahati
7 Anthurium spp Anturium 27 Bidens pilosa Buntut tikus
8 Arachis hypogaea Kacang tanah 28 Euphorbia prunifolia Platilian
9 Capsicum annuum Cabai 29 E. hirta Nanangkaan
10 Gossypium spp Kapas 30 Pyllanthus niruri Meniran
11 Hevea brasiliensis Karet 31 Portulaca oleracea Krokot
12 Ipomoea batatas Ubi jalar 32 Polygonum sp. Aseman,
dandang
13 Ricinus communis Jarak biji 33 Galinsoga parviflora Beribil, jakut
14 Zingiber offiChinale Jahe 34 Eupatorium odora Kirinyuh
15 Manihot esculenta Ubi kayu 35 Cleome viscosa Buntut kucing
16 Curcuma domestica Kunyit 36 Boerhavia erecta Cakaran
17 Eugenia aromaticum Cengkih 37 Lantana camara Tembelekan
18 Marantha arundinacea Garut 38 Basilicum sp. Selasih
19 Sesamum indicum wijen 39 Centela asiatica pegagan
20 Pogostemon cablin nilam
Sumber: Machmud et al. (1993), Kelman et al. (1994), Mehan et al. (1994), Arwiyanto (1997), Asman et al. (1998),
Adhi et al. (1998), Supriadi (1999), Denny (2000), EPPO (2004), Mulya et al. (2000), Supriadi (2000), Supriadi dan
Hadipoentyanti (2000), Supriadi et al. (2001), Wuryandari (2004), Nasrun et al. (2007).
Gulma yang tumbuh bersama kacang tanah memiliki peran penting dalam daur penyakit
layu. Gulma selain menjadi pesaing kacang tanah dalam mendapatkan bahan makanan, air dan
ruang; juga berguna sebagai tempat hidup bakteri dan menjadi sumber infeksi penyakit.
Seringkali, gulma yang terinfeksi bakteri tersebut tidak menunjukkan gejala layu. Gulma yang
biasanya tumbuh bersama kacang tanah seperti Ageratum cony-zoides, Crotalaria juncea, dan
Croton hirtus adalah inang alternatif bagi R. solanacearum (Mehan et al. 1994, Denny 2000).
Adanya kemungkinan benih terinfeksi dan tidak menunjukkan gejala perubahan fisik, perlu
mendapat perhatian sebab biji terinfeksi dapat membawa bakteri dan akan menghasilkan
tanaman baru dalam kondisi terinfeksi. Gejala penyakit yang berasal dari benih membawa
patogen biasanya dapat diketahui sekitar 2–4 minggu setelah tanam. Hasil penelitian Zhang et
al. (1993) tentang pengaruh biji terinfeksi terhadap penularan bakteri menunjukkan bahwa
walaupun bakteri dapat dideteksi dalam biji kacang tanah yang baru saja dipanen dari tanaman
sakit tidak berarti biji tersebut mampu menular-kan penyakit layu. Hal itu disebabkan setelah
periode pengeringan, penurunan kadar air biji akan mempengaruhi daya hidup bakteri dalam
biji.
Daur Penyakit
R. solanacearum merupakan bakteri penghuni rizosfer atau tanah sekitar perakaran dan
penularannya melalui tanah dan biji kacang tanah. Di lapangan, sumber penularan
R. solanacearum penyebab layu pada kacang tanah merupakan strain dari kelompok ras 1
(Hayward 1991). Ras 1 terdiri strain yang menginfeksi inang solanaceae dan bukan solanaceae
seperti kacang tanah, buncis, kecipir, bunga matahari, dahlia, lili, anturium, dan strawberi. Ras
1 areal sebarannya meliputi wilayah tropis dan sub tropis pada bebe-
Berdasarkan sistem biovar, terdapat lima kelompok biovar R. solanacearum. Biovar 1 atau
Bv-1 bereaksi negatif terhadap tiga jenis disakarida dan tidak mengoksidasi tiga jenis alkohol.
Bv-2 bereaksi positif dapat menggunakan disakarida dan negatif terhadap alkohol. Bv-3 dapat
menggunakan disakarida dan juga dapat mengoksidasi alkohol. Bv-4 bereaksi negatif terhadap
disakarida dan positif mengoksidasi beberapa alkohol. Bv-5 positif menggunakan disakarida
dan hanya mengoksidasi mannitol (Tabel 3). Strain penyebab layu pada kacang tanah di Asia
dan Afrika pada umumnya termasuk kelompok Bv-3 dan Bv-4, sementara Bv-1 terdapat di
Amerika Serikat (Mehan et al. 1994). Menurut Machmud (1993) Bv-3 merupakan strain yang
dominan menginfeksi kacang tanah di sejumlah negara Asia seperti China, Indonesia, dan
Malaysia. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Bv-3 lebih virulen daripada Bv-4.
PENGENDALIAN PENYAKIT
Pengendalian penyakit tanaman terutama ditekankan melalui pengelolaan penyakit terpadu,
dengan menerapkan beberapa komponen teknologi pengendalian yang efektif dan dapat
diintegrasikan dengan teknis budidaya tanaman. Mengingat R. solanacearum merupakan
patogen yang terdiri atas beragam strain dan biovar, serta pengendaliannya
Penggunaan berbagai pupuk hijau, pupuk kandang baik secara sendiri-sendiri maupun
dikombinasi dengan menggunakan pupuk NPK dan pengapuran tidak dapat menekan intensitas
serangan penyakit layu (Tabel 5). Tetapi di China dilaporkan bahwa pada tanah-tanah miskin
yang secara terus-menerus diberi pupuk hijau lebih sedikit mendapat serangan penyakit layu
dibandingkan tanah-tanah yang menerima pupuk anorganik. Pada tanah yang bersifat basa pada
umumnya tingkat serangan bakteri layu relatif rendah.
Bercocok tanam di tanah supresif atau tanah yang memiliki kapasitas mencegah dan
menekan penyakit, sering diterapkan untuk menekan patogen tular tanah seperti R.
solanacearum. Supresifitas tanah dapat diketahui dari kandungan bahan organik ataupun
pengelolaan tanah secara organik. Hasil penelitian di China menunjukkan bahwa pada tanah
miskin yang secara terus menerus diberi pupuk hijau lebih sedikit mendapat serang-an penyakit
layu, dibandingkan tanah yang diberi pupuk anorganik (Lin 1990). Menurut Schonfeld et al.
(2003) pemberian kompos dapat meningkatkan supresifitas tanah sehingga menekan populasi
R. solanacearum dan menurunkan intensitas penyakit layu. Hal yang sama dinyatakan van-
Bruggen dan Termorshuizen (2003) bahwa tanah yang dikelola secara organik dapat menekan
perkembangan R. Solanacearum, sebaliknya tanah yang dikelola secara konvensional tidak
terjadi penekanan bakteri sehingga penyakit layu
Tabel 5. Pengaruh penggunaan pupuk hijau, pupuk kandang, pupuk anorganik dan pengapuran terhadap
intensitas layu pada kacang tanah.
Sumber pupuk Intensitas serangan penyakit layu (%) pada 80 HST
Sesbania rostata 70,3
Crotalaria juncea 69,7
Leucania lecocepala 78.3
S. rosiata + NPK 75,7
C. juncea + NPK 77,7
L.leucocephala + NPK 81,7
Pupuk kandang 73,7
Pupuk kandang + NPK 67,0
Kapur + NPK 66,3
Kapur + NPK + pupuk kandang 85,7
NPK 67,3
Tanpa pupuk 81,3
Sumber: Machmud (1991).
Benih Sehat
R. solanacearum dapat menular melalui benih kacang tanah walaupun penularannya hanya
5–8% (Machmud 1991). Hasil penelitian di China menunjukkan bahwa penularan bakteri layu
berkisar 3–6% dan viabilitas bakteri dalam biji kacang tanah akan menurun dengan semakin
rendahnya kadar air benih (Tan et al. 1994). Benih membawa penyakit akan sangat merugikan
terutama untuk lahan non-infeksi yang semula tidak terdapat keja-dian penyakit layu, sehingga
dalam penyiapan benih perlu mempertimbangkan faktor kesehatan benih. Mengeringkan
kacang tanah hingga kadar air biji kurang dari 8% dila-porkan efekif untuk mencegah penularan
penyakit layu bakteri (Zhang et al. 1993).
Benih sehat tidak membawa patogen pada komoditas kacang tanah sebaiknya dinya-takan
dengan keterangan kesehatan benih. Keterangan kesehatan benih sangat berguna untuk
mencegah penyebaran bakteri ke areal lebih luas. Agarwal dan Sinclair (1997) me-nyatakan
bahwa pengujian kesehatan benih sangat diperlukan untuk mendapatkan jami-nan mutu
patologis bahwa benih tidak membawa sumber penyakit, atau untuk memper-kecil peluang
penyebaran penyakit melalui benih.
Penyediaan benih bermutu tinggi merupakan salah satu upaya untuk melindungi dan
memberikan jaminan kepada petani agar komoditas yang ditanam mencapai hasil panen tinggi
dengan mutu yang baik. Benih bermutu biasanya harus melalui serangkaian peme-riksaan
lapangan dan pengujian laboratorium. Di dalam pedoman sertifikasi benih dijelas-
Pengujian kesehatan benih dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan prosedur operasional
yang dikeluarkan oleh lembaga internasional pengujian kesehatan benih yaitu International
Seed Testing Association (ISTA). Pengujian kesehatan benih di Indonesia pada umumnya
hanya dilakukan terhadap benih-benih introduksi, jadi hanya diterapkan pada alur distribusi
benih internasional. Sementara itu dalam sertifikasi benih, belum sepe-nuhnya menerapkan
peraturan sertifikasi internasional tersebut. Sebaliknya di negara-negara maju, selain pengujian
mutu fisiologis dan kemurnian varietas, pengujian kese-hatan benih mutlak harus dilakukan.
Perakitan varietas unggul kacang tanah untuk ketahanan terhadap penyakit layu di Indonesia
telah dilakukan mulai tahun 1925, hasilnya adalah varietas Schwarz 21 yang kemudian ditanam
petani hingga tahun 1953. Dengan menggunakan sumber ketahanan dari Schwarz 21 tersebut,
kemudian dihasilkan beberapa varietas keturunannya yaitu Gajah, Kidang, Banteng, Macan,
Anoa, Rusa, Pelanduk, Tupai, dan Tapir yang juga me-miliki sifat tahan terhadap penyakit layu
(Mehan et al. 1994). Sifat ketahanan terhadap penyakit layu dapat diwariskan melalui
persilangan kacang tanah. Penelitian di China menunjukkan bahwa ketahanan terhadap bakteri
layu secara mudah dapat dipindahkan melalui persilangan, sehingga diduga ketahanan tersebut
secara genetik bersifat seder-hana. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa sifat ketahanan
tersebut dikontrol oleh gen resesif atau sedikit dominan (Boshou et al. 1990).
Sumber gen tahan penyakit layu tersedia di dalam genotipe plasma nutfah kacang tanah.
Genotipe yang dikembangkan menjadi calon varietas unggul baru tahan penyakit biasanya
dievaluasi dalam skala rumah kaca dengan penularan penyakit secara buatan,
Para pemulia kacang tanah telah mencapai hasil yang sangat mendukung pengen-dalian layu
bakteri melalui penemuan varietas unggul toleran ataupun tahan layu bakteri. Varietas kacang
tanah berindikasi toleran hingga tahan layu bakteri di antaranya adalah Gajah, Banteng, Tapir,
Kidang, Domba, Mahesa, Panter, Kancil, Anoa, Tupai, KI Putih, Tuban, Papua merah (Tabel
7).
Pengendalian Kimiawi
Pengendalian kimiawi dengan aplikasi bakterisida pada umumnya diterapkan pada tanaman
hortikultura. Hasil penelitian Asman dan Sitepu (1998) menunjukkan bahwa antibiotik
streptomisin-sulfat cukup efektif untuk menekan layu R. solanacearum pada tanaman aromatik
nilam. Walaupun bakterisida atau antibiotik telah diketahui efektivi-tasnya terhadap layu
bakteri, tetapi belum diterapkan pada kacang tanah diduga karena pertimbangan tingginya harga
bakterisida sehingga tidak efisien. Menurut Parrot dan Kalibwani (2004) bahwa tingginya harga
antibiotik dan adanya permintaan produk perta-nian yang bebas residu pestisida, telah
membatasi penerapan pengendalian kimiawi di beberapa negara seperti Mesir dan Eropa.
Pengendalian Hayati
Keamanan hayati produk pertanian saat ini semakin mendapat perhatian masyarakat dan
petani, sehingga secara berangsur-angsur penggunaan pestisida kimia yang memiliki residu
berbahaya terhadap kesehatan, disubstitusi dengan pestisida hayati berasal dari mikroba agens
hayati. Beberapa mikroba telah diteliti dan dilaporkan mampu berperan sebagai agens
pengendali hayati penyakit layu bakteri R. solanacearum (Shekawat et al. 1993).
Agens hayati dari jenis bakteri antagonis memiliki potensi cukup baik untuk mengenda-
likan layu R. solanacearum. Beberapa bakteri antagonis seperti Psedomonas fluorescens, P.
glumae, P. putida, P. gladioli, P. aeroginosa, Bulkholderia cepacia, serta Bacillus subtilis,
Erwinia sp., dan Streptomyces setonii yang diisolasi dari rizosfer tanaman sehat dilaporkan
efektif mengendalikan layu R. solanacearum (Trigalet et al. 1998, Lemessa dan Zeller
Tabel 8. Pengaruh perlakuan benih menggunakan bakteri antagonis P. fluorescens dan B. subtilis terhadap
penyakit layu R. solanacearum pada kacang tanah
Perlakuan benih dengan Rumah kaca Lapangan
agens hayati Kejadian layu (%) Kejadian layu (%) Hasil polong (t/ha)
Tanpa perlakuan (cek) 86 89 2,00
P. fluorescens 56 67 2,71
Bacillus subtilis 52 61 2,75
Sumber: Doan and Nguyen (2006).
P. fluorescens dan B. subtilis yang diaplikasikan melalui benih kacang tanah, dapat
menekan kejadian layu hingga 67% demikian juga aplikasi B. subtilis menekan kejadian layu
hingga 61% sedangkan tanpa pengendalian hayati kejadian layu lebih tinggi mencapai 89%.
Selain menekan penyakit, pengendalian hayati tersebut dapat mening-katkan hasil polong
kacang tanah hingga 2,71 t/ha sedangkan tanpa perlakuan pengen-dalian polong yang
dihasilkan hanya 2 t/ha (Doan dan Nguyen 2006, Tabel 8).
Pestisida Nabati
Senyawa alami yang terkandung dalam bahan tanaman tertentu sangat potensial untuk
mengendalikan penyakit tanaman, dan hal itu sangat diperhatikan petani karena bahan bakunya
tersedia secara lokal. Minyak atsiri berasal dari serai dapur, diketahui mampu menekan
serangan R. solanacearum pada tomat (Pradhanang et al. 2005). Penggunaan biofumigan
seperti glukosinolat dan isotiosianat yang berasal dari tanaman Brassicaceae saat ini diteliti
secara intensif karena bersifat toksik terhadap aneka patogen tular tanah termasuk R.
solanacearum (Yulianti dan Supriadi 2008). Selain itu beberapa jenis tana-man seperti daun
jambu biji Psidium guajava, cangkang biji mangga Garcinia mangostana, rimpang kunyit
Curcuma longa, akar rumput teki Cyperus rotundus, ekstraknya mengan-dung senyawa aktif
yang mampu menekan R. solanacearum penyebab penyakit layu pada tomat (Vudhivanich
2003, Tabel 9). Ekstrak nabati saat ini memang masih terbatas dalam skala penelitian, tetapi
sumber senyawa alami tersebut perlu dikembangkan karena prospeknya cukup baik sebagai
alternatif bakterisida yang ramah lingkungan.
Tabel 9. Beberapa jenis tanaman dan sumber ekstrak aktif yang mampu menghambat pertum-buhan in-
vitro R. solanacearum.
Tanaman Nama ilmiah Sumber ekstrak aktif
Jambu biji Psidium guajava Daun
Mangga Garcinia mangostana Cangkang biji
Rumput teki Cyperus rotundus Akar
Kunyit Curcuma longa rimpang
Berbagai temuan teknologi pengendalian layu bakteri tersebut di atas yang paling mudah
diadopsi petani kacang tanah adalah penanaman varietas tahan penyakit, penggunaan benih
sehat, dan pengelolaan lahan agar tidak kondusif bagi perkembangan
Reaksi Ensimatis
Metode ensimatis yang sering digunakan untuk deteksi bakteri dalam biji adalah dengan
analisis NCM-ELISA (enzyme linked immunosorbent assay on nitrocellulose membrane).
Sedangkan deteksi bakteri dalam contoh tanah digunakan analisis DAS ELISA (double-
antibody sandwich ELISA). Peralatan untuk kedua metode tersebut telah tersedia dan
diperdagangkan luas di seluruh dunia.
Reaksi Polymerase Berantai
Polymerase Chain Reaction (PCR) atau reaksi polymerase berantai merupakan cara deteksi
berbasis molekuler berdasarkan profil asam deoksiribo nukleat (DNA) bakteri. Teknik ini
mampu mendeteksi isolat patogen termasuk bakteri secara cepat dan akurat (Firrao dan Locci
1994). Reaksi PCR membutuhkan primer protein spesifik dan sepe-
PENUTUP
Layu R. solanacearum merupakan penyakit yang mendunia, penyebarannya meliputi
seluruh dunia baik wilayah tropis maupun sub tropis dan menjadi kendala serius di negara
produsen kacang tanah dunia. Kerugian hasil kacang tanah akibat penyakit layu bervariasi
antara 10–30%, bahkan pada varietas rentan yang terserang parah kerugiannya mencapai 60%.
Bakteri layu memiliki beragam strain dari strain ganas hingga lemah, memiliki kisaran tanaman
inang sangat luas, dan penyakit mudah menyebar melalui beberapa media seperti tanah, air, dan
benih. Mengingat R. solanacearum merupakan patogen yang terdiri atas beragam strain dan
sejauh ini belum dilakukan pengendalian secara serius oleh petani, maka beberapa komponen
pengendalian alternatif seperti penggunaan varietas tahan, pemilihan lahan bebas penyakit (non
infeksi), pergiliran tanaman dengan jenis bukan inang, penggunaan benih sehat, pengendalian
hayati, pestisida nabati poten-sial sebgai bakterisida, dan pengendalian kimiawi dengan
antibiotik sangat potensial diterapkan di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Adhi EM, Supriadi, D Febriyanti, dan N Karyani. 1998. Patogenisitas tiga isolat Ralstonia
solanacearum pada tiga tipe kencur. Prosiding seminar nasional IV PFI komisariat Jateng dan
DIY, Surakarta. hlm. 421–425.
Adhikari, T.B. and R.C. Basnyat. 1998. Effect of crop rotation and cultivar resistance on bacterial
wilt of tomato in Nepal. Can. J. Plant Pathol. 20:283–287.
Agarwal, V.K. and James, B. Sinclair. 1997. Principles of Seed Pathology. (2nd ed.) Lewis Publ. 539
pp.
Anitha, K., S.K. Chakrabarty, A.G. Girish, R.D.V.J. Prasada Rao, and K.S. Varaprasad. 2004.
Detection of bacterial wilt infection in imported groundnut germplasm. Indian J. of Plant
Protection 32:147–148.
Anitha, K., G.A. Gunjotikar, S.K. Chakrabarty, S.D. Singh, B. Sarath Babu, R.D.V.J. Prasada Rao
and K.S. Varaprasad. 2003. Interception of bacterial wilt, Burkholderia solanacearum in
groundnut germplasm imported from Australia. J. of Oilseeds Res. 20:101–104.
Anwar, A. 2000. Sertifikasi Benih Tanaman Hasil Kultur Jaringan dan Rekayasa Genetik.
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor.
Machmud, M. 1991. Genetic and cultural control of peanut bacterial wilt dalam G.C. Wright and
K.J. Middleton (Ed.). Peanut Improvement A case study in Indonesia. ACIAR Proc. No.40:19–
25.
Mehan, V.K., and D. McDonald. 1994. Groundnut bacterial wilt in Asia. Proceedings of the third
working group meeting in Wuhan China. ICRISAT India. 153pp.
Mulya, K., Supriyadi, E.M. Adhi, S. Rahayunigsih, dan N. Karyani. 2000. Potensi bakteri antagonis
dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri jahe. J. Penelitian Tanaman Industri
6(2):37–43.
Nasrun, S. Christanti, T. Arwiyanto, dan I. Mariska. 2005. Pengendalian penyakit layu bakteri nilam
menggunakan pseudomonad fluoresen. J. Penelitian Tanaman Industri 11(1):19–24.
Nasrun, S. Christanti, T. Arwiyanto, dan I. Mariska. 2007. Karakteristik fisiologis Ralstonia
solanacearum penyebab penyakit layu bakteri nilam. Jurnal Litri. 13(2):43–48.
Nugrahaeni, N, M. Rahayu, dan J. Purnomo. 2002. Penyakit layu bakteri Ralstonia Solana-cearum
pada kacang tanah (Arachis hypogaea L.) dan strategi pengendaliannya. hlm. 154–
159. Dalam: R. Mudjisihono, M. Faturachim, Mashudi, NK. Wardhani, A. Musofi, AM.
Sudihardjo, G. Supangkat, dan W. Sudana (Penyunting). Pros. Seminar Nasional Inovasi
Teknologi dalam Mendukung Agribisnis. BPTP Yogyakarta-Fak Pertanian Univ.
Muhammadiyah Yogyakarta.
Nugrahaeni, N. 2011. Pemuliaan kacang tanah untuk ketahanan terhadap layu bakteri Ralstonia di
Indonesia. Bul. Palawija. No. 21:1–12.
Parrot, N. and F. Kalibwani. 2004. Organic agriculture in the continents, Africa. In: Willer H and
Yussefi M. (eds.) The world of organic agriculture statistics and emerging trends. p:55–68.
Pradhanang, P.M., M.T. Momol, S.M. Olson, and J.B. Jones. 2005. Management of bacterial wilt in
tomato with essential oils and systemic acquired resistance inducers. In: C Allen, P Priou, and
AC Hayward (eds.) Bacterial wilt disease and the Ralstonia solanacearum species complex. APS
Press, Minnesota. USA. p:113–138.
Prasada Rao, R.D.V.J., G.A. Gunjotikar, S.K. Chakrabarty, K.S. Varaprasad, S.D. Singh and P.J.
Bramel-Cox. 2000. Detection of Ralstonia solanacearum in seeds of wild Arachis spp.
Saile, E., J.A. McGarvey, M.A. Schell, and T.P. Denny. 1997. Role of extracellular poly-saccharide
and endoglucanase in root invasion and colonization of tomato palnts by Ralstonia
solanacearum. Phytopathology. 87:1264–1271.
Schonfeld, J., A. Gelsomino, L.S. van Overbeek, A. Gorissen, K. Smalla, and van J.D. Elsas. 2003.
Effects of compost addition and simulated solarisation on the fate of Ralstonia solana-cearum
biovar 2 and indigenous bacteria in soil. FMES Microbiological Ecology 43:63–74.
Seal, S.E., L.A. Jackson, and M.J. Daniels. 1993. Development of molecular diagnostic techniques
for detection of Pseudomonas solanacearum and identification of subgroups within this species.
Asian Centre for International Agricultural Res. (ACIAR) Proc. 45:97– 105.
Semangun, H. 1996. Pengantar ilmu penyakit tumbuhan. Gadjah Mada Univ. Press.
Yogyakarta, 754 hlm.
Shekawat, G.S., S.K. Chakrabarty, V. Kishore, V. Sunaina, and A.V. Gadewar. 1993. Possibilies of
biological management of potato bacterial wilt with strains of Bacillus sp., B. subtilis,
Pseudomonas fluorescens and Actinomycetes. In: Hartman GL and AC Hayward (eds.). Bacterial
wilt. ACIAR Proc. No. 45:327–330.
Supriadi, dan E. Hadipoentyanti. 2000. Manfaat Ocimum spp. dan kendala penyakit layu bakteri.
Prosiding forum komunikasi ilmiah pemanfaatan pestisida nabati. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan. Bogor. Hlm. 432–439.
Supriadi, K. Mulya, and D. Sitepu. 2001. Bacterial wilt disease of woody trees caused by Ralstonia
solanacearum: A review. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian 20(3):106– 111.
Supriadi, K. Mulya, and D. Sitepu. 2000. Strategy for controlling wilt disease of ginger caused by
Pseudomonas solanacearum. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian 19(3):106– 111.
Supriadi. 1999. Karakterisasi kultur dan patogenisitas isolat Pseudomonas celebensis penyebab
penyakit darah pada tanaman pisang. J. Hortikultura 9(2):129–136.
Supriadi. 2011. Penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum): dampak, bioekologi, dan peranan
teknologi pengendaliannya. Pengembangan inovasi pertanian 4(4):279–293.
Suryadi, Y., dan M. Machmud. 2002. Keragaman genetik strain Ralstonia solanacearum berda-
sarkan karakterisasi menggunakan teknik berbasis asam nukleat. Bul. AgriBio 5(2):59–66.
Suryadi, Y., dan Sri A. Rais. 2009. Respon beberapa genotipe kacang tanah terhadap penyakit layu
bakteri (Ralstonia solanacearum) di rumah kaca. Bul. Plasma Nutfah 15(1):20–26.
Suryadi. Y., M. Machmud dan M.A. Suhendar. 2000. Pendeteksian bakteri Ralstonia solana-cearum,
Yabuuchi et al. 1995 menggunakan teknik reaksi polymerase berantai dan pembedaan strain
menggunakan teknik hibridisasi DNA. Berita Biologi 5(1):1–12.
Tahat, M., and K. Sijam. 2010. Ralstonia solanacearum: The bacterial wilt causal agent. Asian J. of
Plant Sciences 9(7):385–393.
Tans-Kersten J., H. Huang, and C. Allen. 2001. Ralstonia solanacearum needs motility for invasive
virulence on tomato. J. Bacteriology. 183(12):3597–3605.
Trigalet, A., P. Frey, and D. Trigalet -Demery. 1998. Biological control of bacterial wilt caused by
Pseudomonas solanacearum: state of the art and understanding. In: Hayward AC and Hartman
GL (eds.). Biological wilt: the disease and its causative agent Pseudomonas solana-cearum.
CAB Internat. UK p:225–233.
van-Bruggen, A.H.C. and A.J. Termorshuizen. 2003. Integrated approaches to root disease
management in organic farming systems. Australian Plant Pathol 32:141–156.
Vasse, J., P. Frey, and A. Trigalet. 1995. Microscopic studies of intercellular infection and
protoxylem invasion of tomato roots by Pseudomonas solanacearum. Molecular Plant-Microbe
Interaction. 8:241–251.
Vudhivanich, S. 2003. Potential of some herbal extracts for inhabiting growth of Ralstonia
solanacearum, the causal agent of bacterial wilt of tomato. Kamphaengsaen Acad J. 1(2):70–76.
Wuryandari, Y. 2004. Formulasi pil-benih tembakau dengan Pseudomonas putida strain Pf–20 untuk
pengendalian biologi penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum). Disertasi. Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Tidak dipublikasi. 120 hlm.
Yabuuchi, E., Y. Kosako, L. Yano, H. Hotta, and Y. Nishiuchi. 1995. Transfer of two Bulkholderia
and an Alcaligenes species to Ralstonia gen. nov.: Proposal of Ralstonia pickettii (Ralston,
Palleroni, and Doudoroff 1973) comb. nov., Ralstonia solanacearum (Smith 1896) comb. nov.
Microbiol. Immunology. 39:897–904.
Yulianti, T., dan Supriadi. 2008. Biofumigan untuk pengendalian patogen tular tanah penyebab
penyakit tanaman yang ramah lingkungan. Perspektif 7(1):20–34.
Yuyun, T., and L. Boshou. 1990. General aspect of groundnut bacterial wilt in China. dalam K.J.
Middleton and A.C. Hayward (Ed.). Bacterial wilt of groundnut. ACIAR 31:44–47.
Zeng, D.F., Yj. Tan, and Z.Y. Xu. 1994. Survival of Pseudomonas solanacearum in peanut seeds.
Bacterial Wilt Newsletter No. 10:8–9.
Zhang, Y., J. Hua, and L. He. 1993. Effect of infected groundnut seeds on transmission of
Pseudomonas solanacearum.. In A.C. Hayward (Ed.). Bacterial Wilt Newsletter. ACIAR 9:9–10.