Anda di halaman 1dari 22

PENYAKIT LAYU BAKTERI BIOEKOLOGI

DAN CARA PENGENDALIANNYA


Mudji Rahayu
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi

PENDAHULUAN
Penyakit layu yang disebabkan bakteri Ralstonia solanacearum hingga saat ini masih
menjadi kendala utama dalam budidaya kacang tanah. Layu bakteri merupakan penyakit yang
mendunia, penyebarannya ke seluruh dunia baik wilayah tropis maupun sub tropis. Di sebagian
besar negara produsen kacang tanah seperti Australia, Fiji, beberapa negara di Afrika meliputi
Lybia, Uganda, Somalia, Ethiopia, Zimbabwe, dan Afrika Selatan; serta di Asia meliputi China,
Malaysia, Vietnam, Indonesia, Philipina, Thailand, Sri Langka, Papua New Guinea, Taiwan,
Jepang, dan India, penyakit tersebut menjadi penyebab utama penurunan produksi (Mehan et al.
1994). Di daerah sentra produksi kacang tanah di Jawa Tengah seperti Pati dan Banjarnegara,
bakteri layu menjadi faktor utama penyebab rendahnya hasil panen (Nugrahaeni 2011).
Kehilangan hasil kacang tanah karena penya-kit layu berkisar 10–30% bahkan mencapai 60%
pada tingkat serangan parah seperti terjadi di Vietnam dan Indonesia (Mehan et al. 1994). Di
China, kehilangan hasil kacang tanah akibat layu bakteri di estimasi mencapai 50.000 ton per
tahun (Boshou 1999). Besarnya nilai kehilangan hasil tersebut dipengaruhi beberapa faktor
seperti seperti tingkat virulensi patogen, kondisi lingkungan seperti cuaca, ketahanan varietas,
cara budidaya dan teknologi pengendalian (Elphinstones 2005).

R. solanacearum pada umumnya menyerang kacang tanah yang ditanam pada musim
kemarau awal atau akhir musim hujan, dengan kondisi lahan masih lembab dan cuaca bersuhu
hangat. Gejala infeksinya muncul secara tiba-tiba, batang menjadi layu dan lunglai dengan
warna daun tetap hijau. Fase kritis tanaman terhadap infeksi biasanya pada umur 2–3 minggu.
Pada tingkat serangan ringan gejala layu hanya terlihat pada sebagian cabang, sedangkan
serangan parah menyebabkan kerusakan sistemik seluruh batang dan cabang menjadi layu,
kemudian tanaman mengering dan akhirnya mati. Tanaman kacang tanah yang terserang,
biasanya tidak dapat sembuh (Mehan et al. 1994, Hayward 1995). Pengendalian penyakit layu
pada kacang tanah sejauh ini belum dila-kukan secara kimia walaupun teknologi tersebut
handal dan bakterisida yang efektif tersedia dengan berbagai merk dagang, namun teknologi
kimiawi tersebut tidak sesuai untuk petani dengan sumber dana terbatas. Mengingat R.
solanacearum merupakan pato-gen yang terdiri atas beragam strain dan sejauh ini belum
dilakukan pengendalian secara serius oleh petani, maka beberapa komponen pengendalian
alternatif seperti penggunaan varietas tahan, pemilihan lahan bebas penyakit (non infeksi),
pergiliran tanaman dengan jenis bukan inang, penggunaan benih sehat, pengendalian hayati,
pestisida nabati poten-sial sebagai bakterisida, dan pengendalian kimiawi dengan antibiotik
sangat potensial diterapkan di lapangan.

SEBARAN GEOGRAFIS
R. solanacearum pertama kali ditemukan berasal dari lokasi mana belum jelas, tetapi
Hayward (1991) menyatakan bahwa secara geografis tempat ditemukan bakteri tersebut adalah
hutan belantara di benua Amerika Selatan dan Indonesia. Van Breda de Haan

284 Rahayu: Penyakit Layu Bakteri Bioekologi dan Cara Pengendaliannya


pada tahun 1905 untuk pertama kalinya melaporkan bahwa penyakit layu ditemukan pada
kacang tanah yang ditanam di Cirebon, Jawa Barat, dan patogen penyebabnya diidentifikasi
sebagai Pseudomonas solanacearum (Hayward 1991). Layu R. solanacearum merupakan
penyakit yang mendunia, penyebarannya meliputi seluruh dunia baik wilayah tropis maupun
sub tropis. Penyakit layu menjadi kendala serius di negara produsen kacang tanah seperti
Australia, Fiji, beberapa negara di Afrika seperti Lybia, Uganda, Somalia, Ethiopia, Zimbabwe,
dan Afrika Selatan. Di Asia meliputi China, Malaysia, Viet-nam, Indonesia, Filipina, Thailand,
Sri Langka, Papua New Guinea, Taiwan, Jepang, dan India (Mehan et al. 1994). Penyebaran
penyakit ke areal jauh antar pulau dan antar negara sangat dimungkinkan karena bakteri mampu
menginfeksi secara laten benih kacang tanah sehingga penyebaran penyakit seiring dengan alur
distribusi benih.

KERUGIAN HASIL
Kerugian hasil kacang tanah akibat penyakit layu bervariasi antara 10–30%, bahkan pada
varietas rentan yang terserang parah kerugiannya mencapai 60% (Mehan et al. 1994). Besarnya
nilai kerugian hasil tersebut dipengaruhi beberapa faktor meliputi faktor lingkungan seperti
iklim lokal, tipe tanah, teknis budidaya, jenis varietas yang ditanam, dan virulensi atau tingkat
keganasan strain R. solanacearum (Elphinstones 2005).

BIOEKOLOGI PATOGEN
Identitas Patogen
Patogen penyebab penyakit layu adalah bakteri Ralstonia solanacearum Smith-Yabuuchi.
Nama tersebut mengalami beberapa kali perubahan, sebagai hasil kajian molekuler yang
didasarkan pada analis DNA bakteri. Semula bakteri tersebut dinamakan Bacillus
solanacearum, kemudian menjadi Burkholderia solanacearum, berubah menjadi Pseudomonas
solanacearum dan nama mutakhir menurut Yabuuchi et al. (1995) adalah Ralstonia
solanacearum. Secara taksonomi bakteri tersebut diklasifikasikan sebagai berikut:
Bangsa : Bakteri
Filum : Proteobakteria
Klas : Betaproteobakteria
Ordo : Burkholderiales
Famili : Burkholderiaceae
Marga : Ralstonia
Spesies : solanacearum

R. solanacearum termasuk kelompok bakteri Gram negatif, morfologi sel berbentuk batang
pendek, sel tunggal berukuran 0,5–0,7 x 1,5–2,0 μm, tidak membentuk spora, dan tidak
berkapsul. Bakteri dapat bergerak dengan menggunakan bulu getar (flagela) tunggal atau lebih
yang terletak pada salah satu ujung sel polar (Gambar 1). Tans-Kersten et al. (2001)
menyatakan bahwa flagela berfungsi untuk bergerak cepat ke arah rangsangan inang, dan
kecepatan tersebut sangat menentukan virulensi atau keganasan bakteri pada tahap awal infeksi
dan kolonisasinya pada inang. Menurut Anitha et al. (2003) bahwa isolat virulen pada
umumnya tidak memiliki flagel dan tidak mampu bergerak (non-mobil). Pada isolat avirulen
atau tidak ganas, bakteri mampu bergerak dengan menggunakan 1–4 buah flagel polar.

Monograf Balitkabi No. 13 285


Faktor Lingkungan yang Berpengaruh
Bakteri R. solanacearum membutuhkan oksigen untuk hidupnya (aerobik) dan sangat
sensitif terhadap kondisi kekeringan. Bakteri mampu tumbuh pada suhu 25 ° hingga 35 °C,
pada suhu tinggi (41 °C) bakteri tidak mampu tumbuh (Anitha et al. 2003). Lingkung-an
dengan suhu dingin seperti di dataran tinggi (2500 m dpl), mempengaruhi penampilan gejala
penyakit layu. Infeksi R. solanacearum pada tanaman kentang seringkali tidak menunjukkan
gejala layu secara jelas (symptomless), namun bakteri secara laten hidup dalam batang dan
umbi kentang. Infeksi laten sangat merugikan karena berpeluang menyebarkan penyakit
(Kelman et al. 1994).
Kondisi lingkungan ekstrim tidak kondusif untuk perkembangan bakteri. R. solanace-arum
sangat sensitif terhadap kadar air rendah (kekeringan), pH tinggi (tanah alkalin), suhu rendah,
dan tingkat kesuburan tanah yang rendah (Hidayah dan Djajadi 2009).

Gambar 1. Morfologi sel Ralstonia solanacearum strain K60


Sumber: Tans-Kersten et al. 2001.

Jenis Inang
Bukan hanya kacang tanah yang menjadi tempat hidup bakteri layu, komoditas lain yang
bernilai ekonomis tinggi seperti terung Solanum melongena, kentang Solanum tuberosum,
tomat Lycopersicon esculentum, pisang Musa paradisiaca, dan tembakau Nicotiana tabacum
merupakan inang utama R. solanacearum (EPPO 2004). Sebelumnya Kelman et al. (1994)
melaporkan bahwa penyakit layu pada tanaman lada, cabai, jahe, wijen, dan anturium juga
disebabkan oleh R. solanacearum. Menurut Elphinstone (2005) R. solanacearum memiliki
kisaran inang sangat luas, dapat menginfeksi 200 spesies tanaman dari 53 famili.

286 Rahayu: Penyakit Layu Bakteri Bioekologi dan Cara Pengendaliannya


Di Indonesia dilaporkan bahwa R. solanacearum merupakan patogen merugikan pada
beberapa komoditas seperti cengkeh dan garut (Adhi et al. 1998), pisang (Supriadi 1999), jahe
(Mulya et al. 2000, Supriadi 2000), tembakau (Wuryandari 2004), tanaman aromatik nilam
(Asman et al. 1998, Nasrun et al. 2007), beberapa jenis tanaman obat (Supriadi et al. 2001),
dan kemangi (Supriadi dan Hadipoentyanti 2000). Tanaman yang berguna sebagai pupuk hijau
seperti Sesbania rostata dan Crotalaria juncea juga berperan sebagai inang R. solanacearum .
Aneka tanaman budi daya dan gulma inang bakteri tersebut di-tampilkan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Tanaman budi daya dan gulma yang berperan sebagai inang R. solanacearum
No Spesies Nama umum No Spesies Nama umum
1 Lycopersicon esculentum Tomat 21 Gladiolus communis Gladiol
2 Nicotiana tabacum Tembakau 22 Ocimum sp. Kemangi
3 Solanum melongena Terung 23 Crotalaria juncea Turi
4 Solanum tuberosum Kentang 24 Amaranthus spinosus Orok-orok,
eceng-eceng
5 Musa spp Pisang 25 Ageratum conizoydes Bayam duri
6 Heliconia sp. Bunga 26 Ageratum conizoydes Jotang
matahati
7 Anthurium spp Anturium 27 Bidens pilosa Buntut tikus
8 Arachis hypogaea Kacang tanah 28 Euphorbia prunifolia Platilian
9 Capsicum annuum Cabai 29 E. hirta Nanangkaan
10 Gossypium spp Kapas 30 Pyllanthus niruri Meniran
11 Hevea brasiliensis Karet 31 Portulaca oleracea Krokot
12 Ipomoea batatas Ubi jalar 32 Polygonum sp. Aseman,
dandang
13 Ricinus communis Jarak biji 33 Galinsoga parviflora Beribil, jakut
14 Zingiber offiChinale Jahe 34 Eupatorium odora Kirinyuh
15 Manihot esculenta Ubi kayu 35 Cleome viscosa Buntut kucing
16 Curcuma domestica Kunyit 36 Boerhavia erecta Cakaran
17 Eugenia aromaticum Cengkih 37 Lantana camara Tembelekan
18 Marantha arundinacea Garut 38 Basilicum sp. Selasih
19 Sesamum indicum wijen 39 Centela asiatica pegagan
20 Pogostemon cablin nilam
Sumber: Machmud et al. (1993), Kelman et al. (1994), Mehan et al. (1994), Arwiyanto (1997), Asman et al. (1998),
Adhi et al. (1998), Supriadi (1999), Denny (2000), EPPO (2004), Mulya et al. (2000), Supriadi (2000), Supriadi dan
Hadipoentyanti (2000), Supriadi et al. (2001), Wuryandari (2004), Nasrun et al. (2007).

Gulma yang tumbuh bersama kacang tanah memiliki peran penting dalam daur penyakit
layu. Gulma selain menjadi pesaing kacang tanah dalam mendapatkan bahan makanan, air dan
ruang; juga berguna sebagai tempat hidup bakteri dan menjadi sumber infeksi penyakit.
Seringkali, gulma yang terinfeksi bakteri tersebut tidak menunjukkan gejala layu. Gulma yang
biasanya tumbuh bersama kacang tanah seperti Ageratum cony-zoides, Crotalaria juncea, dan
Croton hirtus adalah inang alternatif bagi R. solanacearum (Mehan et al. 1994, Denny 2000).

Monograf Balitkabi No. 13 287


PROSES INFEKSI
DAN GEJALA
PENYAKIT
Proses Infeksi
R. solanacearum menyerang tanaman inangnya mulai dari sel perakaran, dan untuk
penetrasi atau masuk dalam jaringan tanaman bakteri membutuhkan jalur khusus berupa luka
pada perakaran. Luka tersebut berupa kerusakan akibat terserang hama ataupun luka alamiah
pada titik pertumbuhan akar sekunder. Vasse et al. (1995) melalui pengamatan mikroskopis R.
solanacearum pada tomat hidroponik, menyatakan bahwa proses infeksi bakteri terjadi melalui
tiga tahap yaitu: 1) kolonisasi bakteri di permukaan akar, 2) infeksi bakteri di bagian korteks,
dan 3) infeksi pada sel parensim diikuti penyebaran bakteri dalam pembuluh xylem . Dari
pembuluh xylem bakteri menyebar sistemik ke bagian atas yaitu batang dan daun. Dalam proses
infeksinya, bakteri R. solanacearum mengeluarkan beberapa jenis senyawa ekstraseluler
dengan berat molekul tinggi seperti poligakturonase, endoglukanase, dan senyawa toksin.
Deposit senyawa eksopolisakarida yang berlebihan di dalam pembuluh xylem akan menyumbat
aliran air dari tanah ke seluruh tanaman se-hingga timbul gejala layu. Senyawa ekstraseluler
tersebut adalah faktor penentu virulensi atau keganasan R. solanacearum (Saile et al. 1997,
Huang dan Allen 2000).
Gejala Penyakit
Gejala penyakit layu dibedakan menjadi dua berdasarkan kerusakan luar (eksternal) dan
gejala kerusakan jaringan pembuluh (internal).
1. Gejala pada tanaman(eksternal)
Kelayuan secara tiba-tiba adalah gejala khas serangan R. solanacearum pada kacang tanah,
dan awalnya hanya sebagian cabang layu dengan daun berwarna hijau. Gejala awal biasanya
muncul pada tanaman umur 2–3 minggu setelah tanam, berupa layu mendadak terutama terjadi
pada daun-daun muda sehingga ujung batang nampak lunglai (Gambar 2A). Gejala selanjutnya
berkembang sistemik ke seluruh tanaman, daun yang layu berubah menjadi kusam mirip bekas
tersiram air panas, cabang dan batang menjadi lunglai dan layu secara permanen, tanaman
berwarna kecoklatan, mengering dan akhir-nya mati. Apabila tanaman terserang pada umur
lebih tua, proses kelayuan terjadi secara bertahap, kadang-kadang hanya sebagian cabang
menjadi layu. Tanaman layu atau sakit biasanya tidak dapat sembuh. Infeksi pada polong,
menyebabkan perubahan warna menjadi coklat dan busuk polong. Pada intensitas penyakit
ringan, tanaman kacang tanah masih mampu berproduksi namun terjadi penurunan kualitas
polong yaitu di bagian kulit polong terdapat urat-urat berwarna kecoklatan karena adanya
bakteri dalam jari-ngan kulit (Mehan et al. 1994).

288 Rahayu: Penyakit Layu Bakteri Bioekologi dan Cara Pengendaliannya


A. Tanaman layu (eksternal). B. Diskolorasi jaringan pembuluh (internal).
Gambar 2. Layu pada sebagian cabang, daun masih hijau segar (A), dan gejala diskolorasi jaringan
pembuluh akar dan pangkal batang kacang tanah (B). Sumber: Rahayu 2012.

2. Gejala pada jaringan pembuluh batang (internal)


Penyakit layu merusak sistem perakaran dan jaringan pembuluh pengangkutan. Pada
tanaman sehat tidak ditemukan gejala diskolorasi atau kerusakan warna pada jaringan
pembuluh. Jika bagian batang tanaman layu dipotong melintang, maka tampak bagian empulur
dan kayu berwarna kecoklatan atau terjadi kerusakan warna (Gambar 2B). Keru-sakan warna
pada pembuluh batang umumnya disertai tekstur lunak dan basah, dan kondisi demikian
merupakan penciri adanya bakteri. Diskolorasi jaringan pembuluh secara kuantitas belum
konsisten sebagai penciri karakter ketahanan ataupun kerentanan kacang tanah terhadap bakteri
layu. Diskolorasi jaringan pembuluh hanya sebagai salah satu indikasi adanya deposit senyawa
ekstraseluler dari bakteri jenis virulen (ganas).
Gejala serangan bakteri pada biji kacang tanah seringkali terjadi sedikit kerusakan dan biji
nampak normal. Untuk biji yang digunakan sebagai benih, biasanya biji rusak akibat penyakit
telah dibuang pada proses sortasi benih. Menurut Machmud (1991) dari biji kacang tanah yang
dipanen dari tanaman terserang layu bakteri berhasil diisolasi R. solanacearum dari beberapa
bagian biji seperti funiculus, kulit polong, kulit biji, dan embrio. Persentase penularan tersebut
pada varietas Gajah, Pelanduk, Kidang, Macan, Tupai, dan Kelinci berkisar antara 5–8%.

Adanya kemungkinan benih terinfeksi dan tidak menunjukkan gejala perubahan fisik, perlu
mendapat perhatian sebab biji terinfeksi dapat membawa bakteri dan akan menghasilkan
tanaman baru dalam kondisi terinfeksi. Gejala penyakit yang berasal dari benih membawa
patogen biasanya dapat diketahui sekitar 2–4 minggu setelah tanam. Hasil penelitian Zhang et
al. (1993) tentang pengaruh biji terinfeksi terhadap penularan bakteri menunjukkan bahwa
walaupun bakteri dapat dideteksi dalam biji kacang tanah yang baru saja dipanen dari tanaman
sakit tidak berarti biji tersebut mampu menular-kan penyakit layu. Hal itu disebabkan setelah
periode pengeringan, penurunan kadar air biji akan mempengaruhi daya hidup bakteri dalam
biji.
Daur Penyakit
R. solanacearum merupakan bakteri penghuni rizosfer atau tanah sekitar perakaran dan
penularannya melalui tanah dan biji kacang tanah. Di lapangan, sumber penularan

Monograf Balitkabi No. 13 289


penyakit terutama dari residu inang terinfeksi dalam tanah, serta air irigasi terkontaminasi
bakteri. Air irigasi yang terkontaminasi bakteri, adanya gulma inang dan infeksi laten dalam
benih kacang tanah berperan penting pada daur layu R. solanacearum di lapangan (Gambar 3).

Penularan penyakit melalui benih, merupakan modus penyebaran pasif dari R.


solanacearum dan hal ini dipengaruhi oleh aktivitas distribusi benih. Distribusi benih antar
lokasi ataupun antar negara, akan seiring dengan penyebaran penyakit ke wilayah lebih luas
dalam skala nasional ataupun internasional. Dalam perdagangan internasional, R. solanacearum
termasuk salah satu organisme pengganggu tanaman paling berbahaya di Amerika Serikat dan
karantina pertanian memasukkannya dalam daftar Agricultural Bioterrorism Act sejak tahun
2003 (www.agmkt.state.ny.us dalam Supriadi 2011). Hal-hal demikian mengindikasikan bahwa
layu bakteri akan sangat merugikan, karena menjadi penghambat dalam perdagangan benih
kacang tanah skala internasional.

Gambar 3. Daur penyakit layu R. solanacearum pada kacang tanah.


(Sumber: Priou et al. 2011).

STRAIN DAN VIRULENSI R. SOLANACEARUM


Istilah strain digunakan untuk menjelaskan satu kelompok isolat R. solanacearum yang
memiliki ciri-ciri fenotipik yang sama, sedangkan istilah isolat diartikan sebagai koloni tunggal
bakteri pada media kultur. Spesies R. solanacearum terdiri beragam strain yang berbeda
virulensi atau patogenisitasnya. Strain dengan keragaman jenis inang, sebaran geografis,
patogenisitas dan karakter fisiologis dikelompokkan menjadi dua berdasarkan sistem ras dan
biovar. Walaupun demikian muncul perbedaan sebutan terhadap klasifikasi di bawah spesies
tersebut misalnya grup, strain, patovar, biotipe dan ras. Dalam sistem ras, R. solanacearum
dibedakan dalam lima ras berdasarkan jenis tanaman inang dan distri-busi geografisnya. Dalam
sistem biovar, dibedakan lima biovar berdasarkan kemampuan bakteri menggunakan
karbohidrat dan alkohol sebagai sumber nutrisinya (Horita dan Tsuchiya 2001, Denny 2006).

R. solanacearum penyebab layu pada kacang tanah merupakan strain dari kelompok ras 1
(Hayward 1991). Ras 1 terdiri strain yang menginfeksi inang solanaceae dan bukan solanaceae
seperti kacang tanah, buncis, kecipir, bunga matahari, dahlia, lili, anturium, dan strawberi. Ras
1 areal sebarannya meliputi wilayah tropis dan sub tropis pada bebe-

290 Rahayu: Penyakit Layu Bakteri Bioekologi dan Cara Pengendaliannya


rapa negara di Afrika, Asia, Australia, dan Amerika Selatan (EPPO/CABI 2006). Ras 2 terutama
menginfeksi pisang triploid di Amerika Tengah dan Asia Tenggara yang beriklim tropis. Ras 3
menyerang inang solanaceae di dataran tinggi meliputi seluruh dunia. Ras 4 menginfeksi jahe di
Asia dan Hawai. Ras 5 menginfeksi mulberi Morus sp. di China (Denny 2006). Penyebaran ras
3 yang paling luas meliputi seluruh dunia, menyerang beragam inang meliputi tanaman budi
daya dan tumbuhan liar (Denny dan Hayward 2001, Tahat dan Sijam 2010).

Tabel 2. Pengelompokkan R. solanacearum berdasarkan sistem ras.


Ras Biovar Jenis inang Sebaran geografis
1 1,3,4 sangat beragam terdiri kentang, tomat, Asia, Australia, Amerika
tembakau, kacang tanah, jahe, pisang diploid,
buncis, kecipir, bunga matahari, dahlia, lili,
anturium
2 1 pisang triploid Musa spp.) & Heliconia sp. Amerika Tengah dan Asia
Tenggara
3 2 kentang dan tomat Seluruh dunia terutama di
dataran tinggi
4 3, 4 jahe Asia dan Hawai
5 5 mulberi (Morus sp.) China
Sumber: Denny dan Hayward (2001), EPPO/CABI (2006), Tahat & Sijam (2010).

Tabel 3. Pengelompokkan R. solanacearum berdasarkan sistem biovar.


Reaksi biokimia Biovar-1 Biovar-2 Biovar-3 Biovar-4 Biovar-5
1. Penggunaan disaka- – + + – +
rida (laktosa, maltose,
selobiosa)
2. Oksidasi alkohol:
Mannitol – – – + +
Sorbitol – – – + –
Dulsitol – – – + –
3. Denitrifikasi + – + +
Sumber: Machmud (1991) dan Priou et al. (2011).

Berdasarkan sistem biovar, terdapat lima kelompok biovar R. solanacearum. Biovar 1 atau
Bv-1 bereaksi negatif terhadap tiga jenis disakarida dan tidak mengoksidasi tiga jenis alkohol.
Bv-2 bereaksi positif dapat menggunakan disakarida dan negatif terhadap alkohol. Bv-3 dapat
menggunakan disakarida dan juga dapat mengoksidasi alkohol. Bv-4 bereaksi negatif terhadap
disakarida dan positif mengoksidasi beberapa alkohol. Bv-5 positif menggunakan disakarida
dan hanya mengoksidasi mannitol (Tabel 3). Strain penyebab layu pada kacang tanah di Asia
dan Afrika pada umumnya termasuk kelompok Bv-3 dan Bv-4, sementara Bv-1 terdapat di
Amerika Serikat (Mehan et al. 1994). Menurut Machmud (1993) Bv-3 merupakan strain yang
dominan menginfeksi kacang tanah di sejumlah negara Asia seperti China, Indonesia, dan
Malaysia. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Bv-3 lebih virulen daripada Bv-4.

Monograf Balitkabi No. 13 291


Virulensi atau keganasan R. solanacearum ditentukan oleh kemampuan bakteri
menghasilkan senyawa eksopolisakarida. Eksopolisakarida (EPS) merupakan senyawa dengan
berat molekul tinggi yang dikeluarkan R. solanacearum selama proses infeksinya pada tanaman
inang. Deposit senyawa tersebut secara berlebihan dalam jaringan pem-buluh xylem akan
menyumbat aliran air dari tanah ke dalam tanaman sehingga timbul gejala layu (Huang dan
Allen 2000). Selain EPS, terdapat beberapa enzim yang berperan pada tingkat virulensi suatu
strain R. solanacearum di antaranya berupa senyawa poliga-lakturonase (PG) yang mengalami
peningkatan setelah bakteri berinteraksi dengan tana-man inang, serta adanya akumulasi enzim
pendegradasi dinding sel tanaman inang yaitu enzim endoglukanase (EG) yang perperan pada
proses penyakit layu (Suryadi dan Machmud 2002). Strain patogenis R. solanacearum yang
diisolasi dari kacang tanah layu berdasarkan analisis fisiologis dan biokimianya memiliki sifat
reaksi Gram negatif, mampu merombak beberapa jenis karbohidrat sebagai sumber nutrisinya,
tidak membentuk pigment fluoresen, dan tidak tumbuh pada suhu 41 oC (Tabel 4).

Tabel 4. Karakter fisiologis dan biokimia R. solanacearum isolat kacang tanah.


No. Jenis pengujian Reaksi
1. Reaksi Gram –
2. Oxidase +
3. Catalase +
4. Gerak (Motility) +
5. Pigmen Fluorescent –
6. Reduksi Nitrate +
7. Hidrolisis Arginin –
8. Akumulasi Poly-hydroxy butyrate +
9. Perombakan Polyacetate +
10. Pertumbuhan pada suhu 41 oC –
11. Produksi Levan Bervariasi
12. Reaksi Hypersensitif +
Sumber: Machmud (1991) dan Priou et al. (2011).

Isolat R. solanacearum yang diisolasi dari tanaman terinfeksi di lapangan, bilamana


dibiakkan pada media agar-agar secara berulang (rekultur) akan menurun virulensinya sehingga
menyulitkan dalam mempelajari patogenisitasnya. Kultur R. solanacearum strain yang
patogenis mudah dikenali secara visual berdasarkan tipe koloni isolat. Koloni R. solanacearum
dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe fluidal berarti virulen, dan afluidal yang tidak virulen.
Metode identifikasi dan karakterisasi konvensional tersebut di atas perlu dilengkapi dengan
metode lain yang didasarkan pada analisis molekuler karena lebih akurat dan cepat. Kajian
molekuler sangat bermanfaat untuk mengetahui patogenisitas bakteri dan memahami proses
penyakit yang selanjutnya dapat digunakan untuk strategi pengendaliannya.

PENGENDALIAN PENYAKIT
Pengendalian penyakit tanaman terutama ditekankan melalui pengelolaan penyakit terpadu,
dengan menerapkan beberapa komponen teknologi pengendalian yang efektif dan dapat
diintegrasikan dengan teknis budidaya tanaman. Mengingat R. solanacearum merupakan
patogen yang terdiri atas beragam strain dan biovar, serta pengendaliannya

292 Rahayu: Penyakit Layu Bakteri Bioekologi dan Cara Pengendaliannya


sejauh ini belum dilakukan secara serius oleh petani maka beberapa komponen pengen-dalian
seperti penggunaan varietas tahan, pemilihan lahan bebas penyakit (non infeksi), pergiliran
tanaman dengan jenis bukan inang, penggunaan benih sehat, pengendalian hayati, pestisida
nabati potensial sebagai bakterisida, dan pengendalian kimiawi dengan antibiotik memiliki
potensi cukup baik untuk diterapkan di lapangan.
Pengelolaan Lahan Supresif
Dalam budidaya pertanian, faktor pengelolaan lahan menjadi unsur utama dalam upaya
mendapatkan hasil panen yang bermutu tinggi. Di lahan endemik dimana R. Sola-nacearum
sering menimbulkan kerusakan, bakteri bertahan hidup di tanah dan seresah atau residu inang
terinfeksi sehingga menjadi sumber inokulum primer penyakit pada budidaya kacang tanah
berikutnya. Dalam kondisi demikian tindakan sanitasi lahan dan eradikasi residu inang
terinfeksi perlu diterapkan di lahan endemik, untuk menurunkan populasi patogen dan
melenyapkan sumber penyakit di lapangan.
Pada umumnya gulma selalu diminimalkan keberadaannya melalui penyiangan intensif.
Selain merugikan karena menjadi pesaing tanaman utama, gulma tertentu dapat berperan
sebagai inang alternatif bagi patogen. Gulma Portulaca oleracea dapat menjadi gudang
(reservoir) bagi R. solanacearum, sehingga berperan pada penyebaran lanjut penyakit layu dari
satu musim ke musim berikutnya (Lopez dan Biosca 2004). Seringkali, gulma yang terinfeksi
R. solanacearum tidak menunjukkan gejala layu, sehingga hal ini menjadi penghambat upaya
pengendaliannya. Fakta berlawanan menunjukkan bahwa di lahan yang bebas gulma masih
memungkinkan adanya serangan R. solanacearum. Hal itu dibuktikan pada tomat yang ditanam
di lahan bekas timbunan balok kayu dan juga bebas dari gulma, ternyata terserang parah oleh R.
solanacearum (Saile et al. 1997). Dari pene-litian ini diketahui bahwa bakteri indigenus yang
hidup dalam tanah dan air di lingkungan setempat dapat berperan sebagai sumber primer
penyakit layu bakteri. Adanya bakteri indigenus sangat merugikan karena tindakan
pengendalian preventif melalui pemilihan lahan bukaan baru tidak mampu menekan penyakit
karena masih berpeluang muncul penyakit layu R. solanacearum.

Penggunaan berbagai pupuk hijau, pupuk kandang baik secara sendiri-sendiri maupun
dikombinasi dengan menggunakan pupuk NPK dan pengapuran tidak dapat menekan intensitas
serangan penyakit layu (Tabel 5). Tetapi di China dilaporkan bahwa pada tanah-tanah miskin
yang secara terus-menerus diberi pupuk hijau lebih sedikit mendapat serangan penyakit layu
dibandingkan tanah-tanah yang menerima pupuk anorganik. Pada tanah yang bersifat basa pada
umumnya tingkat serangan bakteri layu relatif rendah.

Bercocok tanam di tanah supresif atau tanah yang memiliki kapasitas mencegah dan
menekan penyakit, sering diterapkan untuk menekan patogen tular tanah seperti R.
solanacearum. Supresifitas tanah dapat diketahui dari kandungan bahan organik ataupun
pengelolaan tanah secara organik. Hasil penelitian di China menunjukkan bahwa pada tanah
miskin yang secara terus menerus diberi pupuk hijau lebih sedikit mendapat serang-an penyakit
layu, dibandingkan tanah yang diberi pupuk anorganik (Lin 1990). Menurut Schonfeld et al.
(2003) pemberian kompos dapat meningkatkan supresifitas tanah sehingga menekan populasi
R. solanacearum dan menurunkan intensitas penyakit layu. Hal yang sama dinyatakan van-
Bruggen dan Termorshuizen (2003) bahwa tanah yang dikelola secara organik dapat menekan
perkembangan R. Solanacearum, sebaliknya tanah yang dikelola secara konvensional tidak
terjadi penekanan bakteri sehingga penyakit layu

Monograf Balitkabi No. 13 293


terus berkembang. Berikutnya Lemaga et al. (2004) berdasarkan penelitiannya menyata-kan
bahwa pemberian bahan pembenah tanah berupa pupuk organik ataupun kombi-nasinya dengan
pupuk anorganik NPK, dapat meningkatkan kesehatan tanaman kentang sehingga lebih tahan
terhadap layu R. solanacearum dan meningkatkan hasil panen. Masyitah (2004 dalam Tahat
dan Sijam 2010) membuktikan hal yang sama bahwa pemberian kompos dari bahan seresah
batang jagung dan jerami padi, dapat menekan serangan R. solanacearum pada tomat.
Mekanisme supresifitas tanah organik tersebut belum diketahui secara pasti, tetapi terdapat
dugaan bahwa supresifitas berkaitan dengan peningkatan komunitas mikroba agens hayati
dalam tanah sehingga perkembangan bak-teri layu menjadi terhambat.

Tabel 5. Pengaruh penggunaan pupuk hijau, pupuk kandang, pupuk anorganik dan pengapuran terhadap
intensitas layu pada kacang tanah.
Sumber pupuk Intensitas serangan penyakit layu (%) pada 80 HST
Sesbania rostata 70,3
Crotalaria juncea 69,7
Leucania lecocepala 78.3
S. rosiata + NPK 75,7
C. juncea + NPK 77,7
L.leucocephala + NPK 81,7
Pupuk kandang 73,7
Pupuk kandang + NPK 67,0
Kapur + NPK 66,3
Kapur + NPK + pupuk kandang 85,7
NPK 67,3
Tanpa pupuk 81,3
Sumber: Machmud (1991).

Benih Sehat
R. solanacearum dapat menular melalui benih kacang tanah walaupun penularannya hanya
5–8% (Machmud 1991). Hasil penelitian di China menunjukkan bahwa penularan bakteri layu
berkisar 3–6% dan viabilitas bakteri dalam biji kacang tanah akan menurun dengan semakin
rendahnya kadar air benih (Tan et al. 1994). Benih membawa penyakit akan sangat merugikan
terutama untuk lahan non-infeksi yang semula tidak terdapat keja-dian penyakit layu, sehingga
dalam penyiapan benih perlu mempertimbangkan faktor kesehatan benih. Mengeringkan
kacang tanah hingga kadar air biji kurang dari 8% dila-porkan efekif untuk mencegah penularan
penyakit layu bakteri (Zhang et al. 1993).
Benih sehat tidak membawa patogen pada komoditas kacang tanah sebaiknya dinya-takan
dengan keterangan kesehatan benih. Keterangan kesehatan benih sangat berguna untuk
mencegah penyebaran bakteri ke areal lebih luas. Agarwal dan Sinclair (1997) me-nyatakan
bahwa pengujian kesehatan benih sangat diperlukan untuk mendapatkan jami-nan mutu
patologis bahwa benih tidak membawa sumber penyakit, atau untuk memper-kecil peluang
penyebaran penyakit melalui benih.
Penyediaan benih bermutu tinggi merupakan salah satu upaya untuk melindungi dan
memberikan jaminan kepada petani agar komoditas yang ditanam mencapai hasil panen tinggi
dengan mutu yang baik. Benih bermutu biasanya harus melalui serangkaian peme-riksaan
lapangan dan pengujian laboratorium. Di dalam pedoman sertifikasi benih dijelas-

294 Rahayu: Penyakit Layu Bakteri Bioekologi dan Cara Pengendaliannya


kan secara rinci sejak evaluasi sumber benih di lapangan sampai dengan pengujian di
laboratorium. Jenis pengujian benih tanaman aneka kacang adalah pengujian kadar air, keaslian
dan kemurnian varietas tertentu tidak tercampur dengan varietas lain, mutu fisiologis yaitu
viabilitas atau vigor tinggi. Penanggung jawab dan pelaksana sertifikasi benih nasional yaitu
Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) yang tersebar sampai di tingkat Kabupaten,
belum menerapkan uji patologis yang memberi jaminan mutu kesehatan benih. Anwar (2000)
dan Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian (2008) menjelaskan bahwa sampai sejauh ini
belum diterapkan uji mutu patologis dalam produksi benih di Indonesia.

Pengujian kesehatan benih dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan prosedur operasional
yang dikeluarkan oleh lembaga internasional pengujian kesehatan benih yaitu International
Seed Testing Association (ISTA). Pengujian kesehatan benih di Indonesia pada umumnya
hanya dilakukan terhadap benih-benih introduksi, jadi hanya diterapkan pada alur distribusi
benih internasional. Sementara itu dalam sertifikasi benih, belum sepe-nuhnya menerapkan
peraturan sertifikasi internasional tersebut. Sebaliknya di negara-negara maju, selain pengujian
mutu fisiologis dan kemurnian varietas, pengujian kese-hatan benih mutlak harus dilakukan.

Varietas Tahan Penyakit


Menanam varietas tahan merupakan cara pengendalian yang praktis, selama varietas tahan
tersedia benihnya. Seringkali suatu varietas yang dikembangkan sebagai varietas tahan layu di
suatu daerah, menjadi rentan di daerah lain. Perubahan ketahanan tersebut disebabkan faktor
perbedaan strain ataupun karena perbedaan lingkungan sehingga sifat ketahanan tidak
terekspresi. Ekspresi ketahanan terhadap penyakit layu seringkali tidak stabil, di agroekologi
yang berbeda sifat tahan tersebut kadang tidak muncul. Semangun (1996) menyatakan bahwa
terdapat tiga faktor yang saling berpengaruh pada perbedaan respon ketahanan terhadap suatu
patogen yaitu: 1) adanya strain patogen yang virulen (ganas), 2) kondisi agroekologis yang
mendukung, dan 3) tingkat kerentanan tanaman inang. Faktor genetik adalah penyebab utama
stabilitas karakter ketahanan kacang tanah terhadap penyakit layu, yang dikendalikan gen
dominan parsial positif sehingga tidak stabil (Lagiman et al. 2000). Faktor virulensi bakteri
dapat berubah karena munculnya strain baru R. solanacearum di suatu lingkungan agroekologi,
juga berpengaruh pada ekspresi ketahanan kacang tanah.

Perakitan varietas unggul kacang tanah untuk ketahanan terhadap penyakit layu di Indonesia
telah dilakukan mulai tahun 1925, hasilnya adalah varietas Schwarz 21 yang kemudian ditanam
petani hingga tahun 1953. Dengan menggunakan sumber ketahanan dari Schwarz 21 tersebut,
kemudian dihasilkan beberapa varietas keturunannya yaitu Gajah, Kidang, Banteng, Macan,
Anoa, Rusa, Pelanduk, Tupai, dan Tapir yang juga me-miliki sifat tahan terhadap penyakit layu
(Mehan et al. 1994). Sifat ketahanan terhadap penyakit layu dapat diwariskan melalui
persilangan kacang tanah. Penelitian di China menunjukkan bahwa ketahanan terhadap bakteri
layu secara mudah dapat dipindahkan melalui persilangan, sehingga diduga ketahanan tersebut
secara genetik bersifat seder-hana. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa sifat ketahanan
tersebut dikontrol oleh gen resesif atau sedikit dominan (Boshou et al. 1990).

Sumber gen tahan penyakit layu tersedia di dalam genotipe plasma nutfah kacang tanah.
Genotipe yang dikembangkan menjadi calon varietas unggul baru tahan penyakit biasanya
dievaluasi dalam skala rumah kaca dengan penularan penyakit secara buatan,

Monograf Balitkabi No. 13 295


sedangkan evaluasi di lapangan dilaksanakan di lahan mengandung penyakit atau endemik.
Nugrahaeni (2011) menyatakan bahwa lahan endemik yang sering digunakan sebagai lokasi
pengujian ketahanan kacang tanah terhadap layu bakteri adalah di Pati dan Banjarnegara (Jawa
Tengah), serta di Jambegede–Malang (Jawa Timur). Selain faktor inokulum bakteri yang harus
virulen, keberhasilan pengujian ditentukan juga oleh metode pengujian yang digunakan.
Pengujian pada tanaman di pot di rumah kaca dapat meng-gunakan berbagai cara inokulasi.
Teknik injeksi pada pangkal daun dinilai paling tepat untuk evaluasi ketahanan karena praktis
dan memberi hasil yang konsisten (Machmud 1991, Tabel 6).

Tabel 6. Teknik inokulasi bakteri layu di rumah kaca.


Intensitas serangan (%) pada varietas
Teknik inokulasi
Gajah Tupai Red Spanish Early Bunch
Pelukaan pangkal daun 8 4 80 84
Metode tusuk gigi 8 8 84 88
Metode injeksi 12 8 88 88
Pencelupan akar 28 20 100 100
Pembasahan akar 16 20 80 80
Sumber: Machmud (1991).

Para pemulia kacang tanah telah mencapai hasil yang sangat mendukung pengen-dalian layu
bakteri melalui penemuan varietas unggul toleran ataupun tahan layu bakteri. Varietas kacang
tanah berindikasi toleran hingga tahan layu bakteri di antaranya adalah Gajah, Banteng, Tapir,
Kidang, Domba, Mahesa, Panter, Kancil, Anoa, Tupai, KI Putih, Tuban, Papua merah (Tabel
7).

Tabel 7. Ketahanan varietas kacang tanah terhadap layu bakteri.


Kategori Kategori
No Varietas No Varietas
ketahanan ketahanan
1 Gajah Sangat tahan 15 Badak Agak Tahan
2 Macan Tahan 16 Landak Tahan
3 Banteng Sangat tahan 17 Panter Sangat tahan
4 Tapir Sangat tahan 18 Kancil Sangat tahan
5 Kidang Sangat tahan 19 Anoa Sangat tahan
6 Rusa Tahan 20 Bima Agak Tahan
7 Tupai Sangat Tahan 21 Simpai Agak Tahan
8 Pelanduk Tahan 22 Trenggiling Agak Tahan
9 Kelinci Agak Tahan 23 KI. Putih Sangat Tahan
10 Turangga Tahan 24 Jepara Agak Tahan
11 Jerapah Tahan 25 Lokal Pati Tahan
12 Domba Sangat tahan 26 Tuban Sangat Tahan
13 Mahesa Sangat tahan 27 Papua Merah Sangat Tahan
14 Komodo Tahan 28 Zebra Sangat Tahan
15 Biawak Tahan 29 Chico Rentan
Sumber: Balitkabi (2008); Rahayu (2009); Nugrahaeni (2011).

296 Rahayu: Penyakit Layu Bakteri Bioekologi dan Cara Pengendaliannya


Pergiliran Tanaman
Pergiliran kacang tanah dengan tanaman lain yang tidak termasuk inang bakteri, dapat
mengurangi intensitas penyakit layu. Manfaat pergiliran tanaman dalam mengendalikan R.
solanacearum ditunjukkan Adhikari dan Basnyat (1998) pada penelitian tomat varietas rentan
yang ditanam di lahan bekas jagung dan kacang tunggak, ternyata dapat menunda 1–3 minggu
munculnya gejala layu dan menekan intensitas penyakit 20–26%.
Pergiliran tanaman mungkin tidak mengeliminir bakteri secara tuntas tetapi dapat
mengurangi populasi patogen di lapangan. Makin lama lahan tersebut ditanami dengan tanaman
bukan inang bakteri, akan memberikan hasil yang lebih baik. Pergiliran kacang tanah dengan
kapas, kedelai, dan serealia (padi, jagung, sorgum, gandum, tebu) dapat memutus siklus
perkembangan R. solanacearum di lahan setempat sehingga mengurangi kejadian penyakit
layu. Sebaliknya, kacang tanah ataupun inang lainnya yang ditanam secara intensif dapat
meningkatkan populasi bakteri di tanah. Kacang tanah yang ditanam bergilir dengan padi gogo
selama dua tahun, ternyata dapat menekan intensitas penyakit layu dari 72,6% menjadi 30,7%
(Machmud 1991).
Data sejarah kejadian penyakit layu di suatu areal sangat diperlukan sebagai pedoman
pengendalian penyakit melalui pendekatan pergiliran tanaman. Apabila pernah terjadi penyakit
layu dengan intensitas parah maka selama 2–3 tahun ke depan perlu beberapa upaya
pencegahan misalnya dibebaskan sementara dari tanaman kacang tanah, dan dilakukan
pergiliran dengan tanaman bukan inang. Upaya lain yang perlu dilakukan ada-lah menghindari
penanaman kacang tanah di areal bekas tomat, terung, cabai, tembakau, jahe dan inang lainnya
sebab tanaman tersebut berperan sebagai tempat kehidupan R. solanacearum.

Pengendalian Kimiawi
Pengendalian kimiawi dengan aplikasi bakterisida pada umumnya diterapkan pada tanaman
hortikultura. Hasil penelitian Asman dan Sitepu (1998) menunjukkan bahwa antibiotik
streptomisin-sulfat cukup efektif untuk menekan layu R. solanacearum pada tanaman aromatik
nilam. Walaupun bakterisida atau antibiotik telah diketahui efektivi-tasnya terhadap layu
bakteri, tetapi belum diterapkan pada kacang tanah diduga karena pertimbangan tingginya harga
bakterisida sehingga tidak efisien. Menurut Parrot dan Kalibwani (2004) bahwa tingginya harga
antibiotik dan adanya permintaan produk perta-nian yang bebas residu pestisida, telah
membatasi penerapan pengendalian kimiawi di beberapa negara seperti Mesir dan Eropa.

Pengendalian Hayati
Keamanan hayati produk pertanian saat ini semakin mendapat perhatian masyarakat dan
petani, sehingga secara berangsur-angsur penggunaan pestisida kimia yang memiliki residu
berbahaya terhadap kesehatan, disubstitusi dengan pestisida hayati berasal dari mikroba agens
hayati. Beberapa mikroba telah diteliti dan dilaporkan mampu berperan sebagai agens
pengendali hayati penyakit layu bakteri R. solanacearum (Shekawat et al. 1993).

Agens hayati dari jenis bakteri antagonis memiliki potensi cukup baik untuk mengenda-
likan layu R. solanacearum. Beberapa bakteri antagonis seperti Psedomonas fluorescens, P.
glumae, P. putida, P. gladioli, P. aeroginosa, Bulkholderia cepacia, serta Bacillus subtilis,
Erwinia sp., dan Streptomyces setonii yang diisolasi dari rizosfer tanaman sehat dilaporkan
efektif mengendalikan layu R. solanacearum (Trigalet et al. 1998, Lemessa dan Zeller

Monograf Balitkabi No. 13 297


2007). Pengendalian hayati R. solanacearum pada beragam komoditas seperti tembakau
(Arwiyanto dan Hartana 2001; Wuryandari 2004), jahe (Mulya et al. 2000), tomat (Guo et al.
2004), dan tanaman aromatik nilam (Nasrun et al. 2005) dengan aplikasi P. fluorescens
dilaporkan cukup efektif menekan penyakit layu.

Tabel 8. Pengaruh perlakuan benih menggunakan bakteri antagonis P. fluorescens dan B. subtilis terhadap
penyakit layu R. solanacearum pada kacang tanah
Perlakuan benih dengan Rumah kaca Lapangan
agens hayati Kejadian layu (%) Kejadian layu (%) Hasil polong (t/ha)
Tanpa perlakuan (cek) 86 89 2,00
P. fluorescens 56 67 2,71
Bacillus subtilis 52 61 2,75
Sumber: Doan and Nguyen (2006).

P. fluorescens dan B. subtilis yang diaplikasikan melalui benih kacang tanah, dapat
menekan kejadian layu hingga 67% demikian juga aplikasi B. subtilis menekan kejadian layu
hingga 61% sedangkan tanpa pengendalian hayati kejadian layu lebih tinggi mencapai 89%.
Selain menekan penyakit, pengendalian hayati tersebut dapat mening-katkan hasil polong
kacang tanah hingga 2,71 t/ha sedangkan tanpa perlakuan pengen-dalian polong yang
dihasilkan hanya 2 t/ha (Doan dan Nguyen 2006, Tabel 8).
Pestisida Nabati
Senyawa alami yang terkandung dalam bahan tanaman tertentu sangat potensial untuk
mengendalikan penyakit tanaman, dan hal itu sangat diperhatikan petani karena bahan bakunya
tersedia secara lokal. Minyak atsiri berasal dari serai dapur, diketahui mampu menekan
serangan R. solanacearum pada tomat (Pradhanang et al. 2005). Penggunaan biofumigan
seperti glukosinolat dan isotiosianat yang berasal dari tanaman Brassicaceae saat ini diteliti
secara intensif karena bersifat toksik terhadap aneka patogen tular tanah termasuk R.
solanacearum (Yulianti dan Supriadi 2008). Selain itu beberapa jenis tana-man seperti daun
jambu biji Psidium guajava, cangkang biji mangga Garcinia mangostana, rimpang kunyit
Curcuma longa, akar rumput teki Cyperus rotundus, ekstraknya mengan-dung senyawa aktif
yang mampu menekan R. solanacearum penyebab penyakit layu pada tomat (Vudhivanich
2003, Tabel 9). Ekstrak nabati saat ini memang masih terbatas dalam skala penelitian, tetapi
sumber senyawa alami tersebut perlu dikembangkan karena prospeknya cukup baik sebagai
alternatif bakterisida yang ramah lingkungan.

Tabel 9. Beberapa jenis tanaman dan sumber ekstrak aktif yang mampu menghambat pertum-buhan in-
vitro R. solanacearum.
Tanaman Nama ilmiah Sumber ekstrak aktif
Jambu biji Psidium guajava Daun
Mangga Garcinia mangostana Cangkang biji
Rumput teki Cyperus rotundus Akar
Kunyit Curcuma longa rimpang

Berbagai temuan teknologi pengendalian layu bakteri tersebut di atas yang paling mudah
diadopsi petani kacang tanah adalah penanaman varietas tahan penyakit, penggunaan benih
sehat, dan pengelolaan lahan agar tidak kondusif bagi perkembangan

298 Rahayu: Penyakit Layu Bakteri Bioekologi dan Cara Pengendaliannya


penyakit. Pada umumnya dalam penerapan suatu teknologi, selain mempertimbangkan faktor efektif
dan efisien juga dipertimbangkan faktor bioekologi patogen sehingga tekno-logi yang dipilih
tersebut layak dan mendukung keberhasilan pengendalian penyakit. Priou et al. (2011)
menyatakan bahwa dalam kasus layu bakteri pada kentang, penetapan teknologi pengendalian
yang layak diterapkan dapat dilakukan melalui pendekatan nilai skor yang menyatakan status
suatu teknologi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa skor R. solanacearum ras 1 berbeda dengan
skor untuk ras 3. Komponen teknologi dengan nilai skor rendah (skor = 1) diartikan sebagai
teknologi yang belum berkembang dan tidak layak diterapkan, sedangkan skor 7 menunjukkan
teknologi prioritas dan harus diterapkan (Tabel 10).

Tabel 10. Komponen teknologi pengendalian penyakit layu R. solanacearum


Nilai skor
No. Komponen teknologi Keterangan
Ras1 Ras 3
1. Benih sehat 7 7 7 = teknologi prioritas
2. Ketahanan varietas 2 4 1 = belum berkembang
3. Tanah bebas bakteri 7 7
4. Lahan supresif 2 2
5. Rotasi dengan bukan inang 3 5
6. Penyiangan gulma 2 2
7. Melenyapkan residu setelah panen 3 3
8. Roguing (tanaman layu & perintis) 3 4
9. Cegah kontaminasi pada peralatan 1 2
10. Solarisasi setelah olah tanah 3 1
Sumber: Priou et al. (2011).

Uraian tersebut di atas mengindikasikan bahwa aneka komponen teknologi pengen-dalian


tersebut potensial diterapkan secara tunggal, namun penerapannya secara terpadu akan lebih
baik dalam menekan layu bakteri.

METODE DIAGNOSIS PENYAKIT


Penyakit layu bakteri dapat dideteksi secara cepat di lapangan, dan bakteri dapat dibiakkan
dalam media buatan/dikulturkan menggunakan bahan dan peralatan sederhana dengan metode
konvensional.
Deteksi Konvensional
Bakteri keberadaannya dalam jaringan tanaman sakit dapat dideteksi secara cepat dengan
cara mengamati lendir bakteri yang dapat diekstrak dari tanaman sakit. Kacang tanah bergejala
layu lebih dahulu dicabut, dicuci bersih dan dibuat sedikit irisan di bagian pangkal batangnya.
Bagian batang yang telah teriris selanjutnya direndam dalam air steril dalam gelas atau tabung
reaksi selama beberapa menit. Bakteri layu bersifat larut dalam air sehingga dalam waktu
beberapa menit massa bakteri akan merembes keluar dari per-mukaan irisan dan nampak mirip
kabut putih. Cara tersebut sangat sederhana, praktis dan mudah dilakukan di lapangan. Massa
bakteri berasal dari kacang tanah tersebut biasanya dikulturkan pada media spesifik TZCA
(Tetrazolium Chloride Agar) untuk keperluan analisis lebih lanjut (Prasada Rao et al. 2000,
Anitha et al. 2004). Dengan menggunakan media tersebut isolat R. solanacearum patogenik dan
non-patogenik, dapat dengan

Monograf Balitkabi No. 13 299


mudah dibedakan secara visual berdasarkan warna koloninya. Isolat non-patogenik akan
berwarna merah menyala sedangkan koloni bakteri patogenik berwarna merah muda dengan
tepi koloni berwarna putih mengkilat.

Pangkal batang kacang tanah sakit dipotong,


lalu sebagian ujungnya direndam dalam air
jernih dan diupayakan posisi batang tetap
tegak.

Setelah 5–10 menit akan nampak massa bakteri


yang keluar dari permukaan irisan, bentuk
rembesannya memanjang seperti benang
berwarna putih susu.

Diagnosis cepat sangat berguna untuk


membedakan antara layu yang disebabkan
bakteri, dengan layu akibat serangan OPT
A. Massa bakteri larut dalam air
lainnya misalnya oleh jamur ataupun keru-
sakan mekanis oleh hama.

Koloni R. solanacearum isolat virulen pada


media PDA+TZC (Potato Dextrose Agar +
Tetrazolium Cloride) memiliki karakter koloni
kecil, berwarna merah muda

B. Koloni bakteri pada media TZCA


Gambar 5. Deteksi cepat melalui perendaman dalam air jernih (A), dan koloni isolat
R. solanacearum pada media agar-agar (B).

Reaksi Ensimatis
Metode ensimatis yang sering digunakan untuk deteksi bakteri dalam biji adalah dengan
analisis NCM-ELISA (enzyme linked immunosorbent assay on nitrocellulose membrane).
Sedangkan deteksi bakteri dalam contoh tanah digunakan analisis DAS ELISA (double-
antibody sandwich ELISA). Peralatan untuk kedua metode tersebut telah tersedia dan
diperdagangkan luas di seluruh dunia.
Reaksi Polymerase Berantai
Polymerase Chain Reaction (PCR) atau reaksi polymerase berantai merupakan cara deteksi
berbasis molekuler berdasarkan profil asam deoksiribo nukleat (DNA) bakteri. Teknik ini
mampu mendeteksi isolat patogen termasuk bakteri secara cepat dan akurat (Firrao dan Locci
1994). Reaksi PCR membutuhkan primer protein spesifik dan sepe-

300 Rahayu: Penyakit Layu Bakteri Bioekologi dan Cara Pengendaliannya


rangkat mesin yang berperan untuk mengamplifikasi atau penggandaan fragmen DNA dari
sejumlah kecil sampel atau preparat. Untuk deteksi R. solanacearum biasanya digunakan
primer oligonukleotida yang bersifat spesifik spesies dari sekuen gen 16S rRNA bakteri
tersebut (Seal et al. 1993). Hasil penelitian Suryadi et al. (2000) menunjukkan bahwa pengujian
dengan primer DNA (Oli/Y2) yang bersifat spesifik spesies R. solanacearum, bermanfaat untuk
deteksi bakteri yang terkandung dalam beberapa jenis sampel seperti preparat murni DNA,
suspensi biakan murni bakteri, maupun dari ekstrak jaringan kacang tanah terserang layu.
Keuntungan pada metode PCR adalah merupakan metode cepat, memiliki akurasi tinggi, dan
sesuai untuk deteksi infeksi laten dalam biji dan sampel tanah sehingga dapat dimanfaatkan
oleh petugas karantina ataupun sertifikasi benih. Diban-dingkan dengan teknik konvensional,
teknik reaksi polymerase berantai hanya memerlu-kan waktu sekitar 5 jam mulai tahap
persiapan sampel hingga pengujian dengan mesin PCR, oleh karena itu metode molekuler ini
sangat efektif untuk sampel dalam jumlah yang banyak.

PENUTUP
Layu R. solanacearum merupakan penyakit yang mendunia, penyebarannya meliputi
seluruh dunia baik wilayah tropis maupun sub tropis dan menjadi kendala serius di negara
produsen kacang tanah dunia. Kerugian hasil kacang tanah akibat penyakit layu bervariasi
antara 10–30%, bahkan pada varietas rentan yang terserang parah kerugiannya mencapai 60%.
Bakteri layu memiliki beragam strain dari strain ganas hingga lemah, memiliki kisaran tanaman
inang sangat luas, dan penyakit mudah menyebar melalui beberapa media seperti tanah, air, dan
benih. Mengingat R. solanacearum merupakan patogen yang terdiri atas beragam strain dan
sejauh ini belum dilakukan pengendalian secara serius oleh petani, maka beberapa komponen
pengendalian alternatif seperti penggunaan varietas tahan, pemilihan lahan bebas penyakit (non
infeksi), pergiliran tanaman dengan jenis bukan inang, penggunaan benih sehat, pengendalian
hayati, pestisida nabati poten-sial sebgai bakterisida, dan pengendalian kimiawi dengan
antibiotik sangat potensial diterapkan di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA
Adhi EM, Supriadi, D Febriyanti, dan N Karyani. 1998. Patogenisitas tiga isolat Ralstonia
solanacearum pada tiga tipe kencur. Prosiding seminar nasional IV PFI komisariat Jateng dan
DIY, Surakarta. hlm. 421–425.
Adhikari, T.B. and R.C. Basnyat. 1998. Effect of crop rotation and cultivar resistance on bacterial
wilt of tomato in Nepal. Can. J. Plant Pathol. 20:283–287.
Agarwal, V.K. and James, B. Sinclair. 1997. Principles of Seed Pathology. (2nd ed.) Lewis Publ. 539
pp.
Anitha, K., S.K. Chakrabarty, A.G. Girish, R.D.V.J. Prasada Rao, and K.S. Varaprasad. 2004.
Detection of bacterial wilt infection in imported groundnut germplasm. Indian J. of Plant
Protection 32:147–148.
Anitha, K., G.A. Gunjotikar, S.K. Chakrabarty, S.D. Singh, B. Sarath Babu, R.D.V.J. Prasada Rao
and K.S. Varaprasad. 2003. Interception of bacterial wilt, Burkholderia solanacearum in
groundnut germplasm imported from Australia. J. of Oilseeds Res. 20:101–104.
Anwar, A. 2000. Sertifikasi Benih Tanaman Hasil Kultur Jaringan dan Rekayasa Genetik.
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor.

Monograf Balitkabi No. 13 301


Arwiyanto, T. dan I. Hartana. 2001. Percobaan lapangan pengendalian hayati penyakit layu bakteri
tembakau (Ralstonia solanacearum). Mediagama 3:7–14.
Asman A, MA Esther, dan D Sitepu. 1998. Penyakit layu, budok, dan penyakit lainnya serta strategi
pengendaliannya. Monograf Nilam. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Hlm.
84–88.
Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian. 2008. Layanan pengujian. Jakarta. www.bbuskp.
web.id/index.php?link=kt3 (diakses 22 Maret 2012).
Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 2008. Deskripsi varietas unggul
kacang-kacangan dan umbi-umbian. Balitkabi, Malang. 171 hlm.
Boshou, L. 1999. Groundnut Bacterial Wilt Working Group (GBWWG). Oil Crops Res. Institute
(OCRI), China. News Sheet. No. 2. 11pp.
Denny, E,P. and A.C. Hayward. 2001. Ralstonia solanacearum. In: Schaad NW, JB Jones, and W
Chun (eds.) 3rd Eds. Laboratory guide for identification of plant pathogenic bacteria. APS Press,
St. Paul, Minnesota. pp:151–173.
Denny, T. 2000. Ralstonia solanacearum –a plant pathogen in touch with its host. Trends
Microbiology 11:486–489.
Denny, T.P. 2006. Plant pathogenic Ralstonia species. In: Gnanamanickam SS. (ed.). Plant-
assosiated bacteria. Springer Publ. The Netherlands. p:573–644.
Doan, T.T., and T.H. Nguyen. 2006. Status of research on biological control of tomato and goundnut
bacterial wilt in Vietnam. In: Zeller W, and C Ullrich (eds.). Proc. of First Internat. Symp. on
Biological Control of Bacterial Plant Diseases. Germany, 2005. p:105–111.
Elphinstone, J.G. 2005. The current bacterial wilt situation: a global overview. In: Allen C, P. Prior,
and A.C. Hayward. (eds.). Bacterial wilt disease and the Ralstonia solanacearum species
complex. St. Paul Minnesota. APS Press. 9pp.
EPPO. 2004. EPPO standards PM 7/21. Diagnostic protocols for regulated pests: Ralstonia
solanacearum. EPPO (Europen Plant Protection Organization) Bulletin 34:173–178.
EPPO/CABI. 2006. Distribution maps of plant diseases: Ralstonia solanacearum (2003–2006).
http://www.cabi.org/DMPD.
Firrao, G. and R. Locci. 1994. Identification of Clavibacter michiganensis subs. epedonicus using
the PCR. Canadian J. Microbiology 40:148–151.
Guenther, E. 1990. Minyak Atsiri. Jilid IVB (Penerjemah: S. Ketaren). Universitas Indonesia.
Jakarta. Hal: 480 – 494.
Guo, J.H., H.Y. Qi, Y.H. Guo, H.L. Ge, L.Y. Gong, L.X. Zhang, and P.H. Sun. 2004. Biocon-trol of
tomato wilt by plant growth–promoting rhizobacteria. Biological Control, 29:66–72.
Hayward, A.C. 1991. Biology and epidemiology of bacterial wilt caused by P. solanacearum.
Ann. Rev. Phytopath. 29:67–87.
Hayward, A.C. 1995. Phenotypic methods for the differentiation of Pseudomonas solanacea-rum:
Biovars and supplementary observations. In: V.K. Mehan and McDonald (eds.). Techniques for
diagnosis of P. solanacearum and for resistance screening against groundnut bacterial wilt.
ICRISAT Tech. Manual No. 1:27–35.
Hayward, A.C. 2000. Ralstonia solanacearum. In: Lederberg, J. (Ed.). Encyclopedia of
Mycrobilogy. (2nd ed.), Acad. Press. Pp:32–42.
Hidayah, N., dan Djajadi. 2009. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi perkembangan patogen tular
tanah pada tanaman tembakau. Perspektif. 8(2):74–83.
Horita, M., and K. Tsuchiya. 2001. Genetic diversity of Japanese strains of Ralstonia Solana-
cearum. Phytopath. 91:399–407.
Huang, Q., and C. Allen. 2000. Polygalacturonaces are required for rapid colonization and full
virulence of Ralstonia solanacearum on tomato plants. Physiolology Molecular Plant Pathology.
57:77–83.

302 Rahayu: Penyakit Layu Bakteri Bioekologi dan Cara Pengendaliannya


Kelman, A., G.L. Hartman, and A.C. Hayward. 1994. Introduction. In: A.C. Hayward and G.L.
Hartman (eds.). Bacterial wilt: the disease and its causative agent, Pseudomonas Solana-cearum.
CAB International, United Kingdom. p:1–7.
Lagiman, S. Sastrosumarjo, W.E.K. Yudiwanti, dan M. Machmud. 2000. Kajian genetic ketahanan
layu bakteri pada kacang tanah zuriat dari persilangan varietas Kelinci dan Gajah. Agrivet
4(2):94–102.
Lemaga, B., R. Kakuhenzire, B. Kassa, P.T. Ewell, and S. Priou. 2004. Integrated control of potato
bacterial wilt in Eastern Africa: The experience of African highlands initiative. In: Allen, C., P.
Prior, and A.C. Hayward. (eds.). Rate of Ralstonia solanacearum biovar 2 as affected by
conditions and soil treatments in temperate climate zones. The Am. Phytopath. Soc. Minnesota,
USA. Pp.145–157.
Lemessa, F., and W. Zeller. 2007. Screening rhizobacteria for biological control of Ralstonia
solanacearum in Ethiopia. Biological Control 42:336–344.
Lin, Y.W. 1990. A review of bacterial wilt on groundnut in Guangdong Province, Peoples Republic
of China. In: KJ Middleton. and AC Hayward (Eds.). Bacterial wilt of groundnut. ACIAR Proc.
No.31:48–51.
Lopez, M.M., and E.G. Biosca. 2004. Potato bacterial wilt management: new prospects for an old
problem. In: Allen C, Prior P, and Hayward AC (eds.). Bacterial wilt disease and the Ralstonia
species complex. APS Press, St. Paul, Minnesota, USA. pp.205–224.
Machmud, M. 1993. Present status of groundnut bacterial wilt research in Indonesia. In: Groundnut
Bacterial Wilt. Proc. of the 2nd Working Group Meeting. ICRISAT, India. p:15– 25.

Machmud, M. 1991. Genetic and cultural control of peanut bacterial wilt dalam G.C. Wright and
K.J. Middleton (Ed.). Peanut Improvement A case study in Indonesia. ACIAR Proc. No.40:19–
25.
Mehan, V.K., and D. McDonald. 1994. Groundnut bacterial wilt in Asia. Proceedings of the third
working group meeting in Wuhan China. ICRISAT India. 153pp.
Mulya, K., Supriyadi, E.M. Adhi, S. Rahayunigsih, dan N. Karyani. 2000. Potensi bakteri antagonis
dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri jahe. J. Penelitian Tanaman Industri
6(2):37–43.
Nasrun, S. Christanti, T. Arwiyanto, dan I. Mariska. 2005. Pengendalian penyakit layu bakteri nilam
menggunakan pseudomonad fluoresen. J. Penelitian Tanaman Industri 11(1):19–24.
Nasrun, S. Christanti, T. Arwiyanto, dan I. Mariska. 2007. Karakteristik fisiologis Ralstonia
solanacearum penyebab penyakit layu bakteri nilam. Jurnal Litri. 13(2):43–48.
Nugrahaeni, N, M. Rahayu, dan J. Purnomo. 2002. Penyakit layu bakteri Ralstonia Solana-cearum
pada kacang tanah (Arachis hypogaea L.) dan strategi pengendaliannya. hlm. 154–
159. Dalam: R. Mudjisihono, M. Faturachim, Mashudi, NK. Wardhani, A. Musofi, AM.
Sudihardjo, G. Supangkat, dan W. Sudana (Penyunting). Pros. Seminar Nasional Inovasi
Teknologi dalam Mendukung Agribisnis. BPTP Yogyakarta-Fak Pertanian Univ.
Muhammadiyah Yogyakarta.
Nugrahaeni, N. 2011. Pemuliaan kacang tanah untuk ketahanan terhadap layu bakteri Ralstonia di
Indonesia. Bul. Palawija. No. 21:1–12.
Parrot, N. and F. Kalibwani. 2004. Organic agriculture in the continents, Africa. In: Willer H and
Yussefi M. (eds.) The world of organic agriculture statistics and emerging trends. p:55–68.
Pradhanang, P.M., M.T. Momol, S.M. Olson, and J.B. Jones. 2005. Management of bacterial wilt in
tomato with essential oils and systemic acquired resistance inducers. In: C Allen, P Priou, and
AC Hayward (eds.) Bacterial wilt disease and the Ralstonia solanacearum species complex. APS
Press, Minnesota. USA. p:113–138.
Prasada Rao, R.D.V.J., G.A. Gunjotikar, S.K. Chakrabarty, K.S. Varaprasad, S.D. Singh and P.J.
Bramel-Cox. 2000. Detection of Ralstonia solanacearum in seeds of wild Arachis spp.

Monograf Balitkabi No. 13 303


imported from Brazil. Indian J. of Plant Protection 28:51–56.
Priou, S., P. Aley, E. Chujoy, B. Lemaga, and E.R. French. 2011. Integrated control of bacterial wilt
of potato. www.fao.org/sd/erp/toolkit/BOOKS /integrated_control_of_bacterial_wilt. Diakses 19
Januari 2011. 30p.
Rahaju, M. 2004. Efektivitas beberapa mikroorganisme antagonis terhadap penyakit tular tanah pada
kacang tanah. Laporan Teknis Hasil Penelitian Balitkabi. Malang. 15 hlm.
Rahayu, M. 2012. Penyakit layu Ralstonia solanacearum pada kacang tanah dan strategi
pengendalian ramah lingkungan. Bul. Palawija. 24:49–98.
Rais, S.A., T.S. Silitonga, S.G. Budiarti, N. Zuraida, dan M. Sudjadi. 2001. Evaluasi ketahanan
plasma nutfah tanaman pangan terhadap cekaman beberapa faktor biotic (hama dan penyakit).
Prosiding seminar hasil penelitian rintisan dan bioteknologi tanaman. Hlm. 163– 174.

Saile, E., J.A. McGarvey, M.A. Schell, and T.P. Denny. 1997. Role of extracellular poly-saccharide
and endoglucanase in root invasion and colonization of tomato palnts by Ralstonia
solanacearum. Phytopathology. 87:1264–1271.
Schonfeld, J., A. Gelsomino, L.S. van Overbeek, A. Gorissen, K. Smalla, and van J.D. Elsas. 2003.
Effects of compost addition and simulated solarisation on the fate of Ralstonia solana-cearum
biovar 2 and indigenous bacteria in soil. FMES Microbiological Ecology 43:63–74.
Seal, S.E., L.A. Jackson, and M.J. Daniels. 1993. Development of molecular diagnostic techniques
for detection of Pseudomonas solanacearum and identification of subgroups within this species.
Asian Centre for International Agricultural Res. (ACIAR) Proc. 45:97– 105.

Semangun, H. 1996. Pengantar ilmu penyakit tumbuhan. Gadjah Mada Univ. Press.
Yogyakarta, 754 hlm.
Shekawat, G.S., S.K. Chakrabarty, V. Kishore, V. Sunaina, and A.V. Gadewar. 1993. Possibilies of
biological management of potato bacterial wilt with strains of Bacillus sp., B. subtilis,
Pseudomonas fluorescens and Actinomycetes. In: Hartman GL and AC Hayward (eds.). Bacterial
wilt. ACIAR Proc. No. 45:327–330.
Supriadi, dan E. Hadipoentyanti. 2000. Manfaat Ocimum spp. dan kendala penyakit layu bakteri.
Prosiding forum komunikasi ilmiah pemanfaatan pestisida nabati. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan. Bogor. Hlm. 432–439.
Supriadi, K. Mulya, and D. Sitepu. 2001. Bacterial wilt disease of woody trees caused by Ralstonia
solanacearum: A review. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian 20(3):106– 111.

Supriadi, K. Mulya, and D. Sitepu. 2000. Strategy for controlling wilt disease of ginger caused by
Pseudomonas solanacearum. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian 19(3):106– 111.

Supriadi. 1999. Karakterisasi kultur dan patogenisitas isolat Pseudomonas celebensis penyebab
penyakit darah pada tanaman pisang. J. Hortikultura 9(2):129–136.
Supriadi. 2011. Penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum): dampak, bioekologi, dan peranan
teknologi pengendaliannya. Pengembangan inovasi pertanian 4(4):279–293.
Suryadi, Y., dan M. Machmud. 2002. Keragaman genetik strain Ralstonia solanacearum berda-
sarkan karakterisasi menggunakan teknik berbasis asam nukleat. Bul. AgriBio 5(2):59–66.
Suryadi, Y., dan Sri A. Rais. 2009. Respon beberapa genotipe kacang tanah terhadap penyakit layu
bakteri (Ralstonia solanacearum) di rumah kaca. Bul. Plasma Nutfah 15(1):20–26.
Suryadi. Y., M. Machmud dan M.A. Suhendar. 2000. Pendeteksian bakteri Ralstonia solana-cearum,
Yabuuchi et al. 1995 menggunakan teknik reaksi polymerase berantai dan pembedaan strain
menggunakan teknik hibridisasi DNA. Berita Biologi 5(1):1–12.
Tahat, M., and K. Sijam. 2010. Ralstonia solanacearum: The bacterial wilt causal agent. Asian J. of
Plant Sciences 9(7):385–393.

304 Rahayu: Penyakit Layu Bakteri Bioekologi dan Cara Pengendaliannya


Tan, Y.J., N.X. Duan, B.S. Liao, Z.Y. Xu, L.Y. He, and G.R. Zheng. 1994. Status of
groundnut bacterial wilt research in China. In: Mehan VK and D McDonald (eds.).
Groundnut bacterial wilt in Asia. Proc. of the third working group meeting in Wuhan
China. ICRISAT India. p: 107–113.

Tans-Kersten J., H. Huang, and C. Allen. 2001. Ralstonia solanacearum needs motility for invasive
virulence on tomato. J. Bacteriology. 183(12):3597–3605.
Trigalet, A., P. Frey, and D. Trigalet -Demery. 1998. Biological control of bacterial wilt caused by
Pseudomonas solanacearum: state of the art and understanding. In: Hayward AC and Hartman
GL (eds.). Biological wilt: the disease and its causative agent Pseudomonas solana-cearum.
CAB Internat. UK p:225–233.
van-Bruggen, A.H.C. and A.J. Termorshuizen. 2003. Integrated approaches to root disease
management in organic farming systems. Australian Plant Pathol 32:141–156.
Vasse, J., P. Frey, and A. Trigalet. 1995. Microscopic studies of intercellular infection and
protoxylem invasion of tomato roots by Pseudomonas solanacearum. Molecular Plant-Microbe
Interaction. 8:241–251.
Vudhivanich, S. 2003. Potential of some herbal extracts for inhabiting growth of Ralstonia
solanacearum, the causal agent of bacterial wilt of tomato. Kamphaengsaen Acad J. 1(2):70–76.

Wuryandari, Y. 2004. Formulasi pil-benih tembakau dengan Pseudomonas putida strain Pf–20 untuk
pengendalian biologi penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum). Disertasi. Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Tidak dipublikasi. 120 hlm.
Yabuuchi, E., Y. Kosako, L. Yano, H. Hotta, and Y. Nishiuchi. 1995. Transfer of two Bulkholderia
and an Alcaligenes species to Ralstonia gen. nov.: Proposal of Ralstonia pickettii (Ralston,
Palleroni, and Doudoroff 1973) comb. nov., Ralstonia solanacearum (Smith 1896) comb. nov.
Microbiol. Immunology. 39:897–904.
Yulianti, T., dan Supriadi. 2008. Biofumigan untuk pengendalian patogen tular tanah penyebab
penyakit tanaman yang ramah lingkungan. Perspektif 7(1):20–34.
Yuyun, T., and L. Boshou. 1990. General aspect of groundnut bacterial wilt in China. dalam K.J.
Middleton and A.C. Hayward (Ed.). Bacterial wilt of groundnut. ACIAR 31:44–47.
Zeng, D.F., Yj. Tan, and Z.Y. Xu. 1994. Survival of Pseudomonas solanacearum in peanut seeds.
Bacterial Wilt Newsletter No. 10:8–9.
Zhang, Y., J. Hua, and L. He. 1993. Effect of infected groundnut seeds on transmission of
Pseudomonas solanacearum.. In A.C. Hayward (Ed.). Bacterial Wilt Newsletter. ACIAR 9:9–10.

Monograf Balitkabi No. 13 305

Anda mungkin juga menyukai