Anda di halaman 1dari 19

Halaman 1

Studi Asia Tenggara. Vol. 33, No.3, Desember 1995

Perkembangan Pendidikan Moral Pancasila di Indonesia


Shigeo NISHIMURA *

pengantar
Pancasila merupakan landasan filosofis dasar Indonesia merdeka. Diresepkan
dalam konstitusi Indonesia sejak saat itu telah menjadi landasan yang tidak tergoyahkan bagi Indonesia
kemerdekaan. Pancasila terdiri dari lima prinsip yang tidak terpisahkan dan saling memenuhi syarat:

1) keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa


2) kemanusiaan yang adil dan beradab
3) persatuan Indonesia
4) demokrasi dipandu oleh kebijaksanaan batin dalam kebulatan suara yang timbul dari musyawarah
di antara perwakilan
5) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pancasila juga telah menjadi konsep filosofis kunci dalam pendidikan formal Indonesia.
Tanpa pemahaman Pancasila yang jelas dan akurat, tidak mungkin dipahami
selayaknya pendidikan nasional Indonesia merdeka. Makalah ini akan membahasnya
Pendidikan nasional Indonesia dalam kaitannya dengan Pancasila. Pendidikan nasional di Indonesia
biasanya berarti pendidikan sejak kemerdekaan bangsa sebagai negara yang berdaulat.
Namun, asalnya ditemukan pada upaya masyarakat untuk menyediakan pendidikannya sendiri
selama masa penjajahan oleh Belanda.
Gelombang Pendidikan untuk Nasionalisme
1. Pendidikan Nasionalisme di Indonesia

Dua pasang surut terlihat dalam gerakan pendidikan yang dikembangkan oleh orang Indonesia pada
awalnya
abad ke-20. Salah satunya adalah gerakan yang lahir dari tuntutan pendidikan dari
kelompok agama, khususnya Islam; dan yang lainnya adalah gerakan pendidikan yang tumbuh
keluar dari tujuan politik kemerdekaan nasional [Djumhur dan Danasuparta 1974: 149J.
Gerakan pendidikan berdasarkan Islam lahir terutama oleh dua organisasi,
Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912 oleh Ahmad

* 1! BH1i = * :, Pusat Studi Asia Tenggara, Universitas Kyoto


- 21 -

303

Halaman 3

Dahlan, membidik reformasi sistem Islam. Ia berusaha mewujudkan berbasis masyarakat Islam
pada ide-ide asli Islam dengan menghidupkan kembali al-Quran dan Sunnah, ajaran asli
Islam. Strategi sentral untuk mencapai tujuan ini adalah modernisasi Islam
pendidikan. Dalam prakteknya, modernisasi berupa pembentukan pendidikan
lembaga tempat pendidikan sekuler diberikan [Soegarda 1970: 213-217].
Muhammadiyah berkembang pesat di lahar Tengah, dan hari ini tersebar di seluruh Indonesia.
Di sisi lain, Nahdatul Ulama didirikan pada tahun 1926 sebagai oposisi
Gerakan reformasi Islam pada prinsipnya diperjuangkan oleh Muhammadiyah. Pendirinya adalah
Hasyim Asy'ari, pimpinan pesantren, lembaga pendidikan Islam tradisional. Dia

mencoba menghidupkan kembali Islam tradisional di lahar melalui organisasi baru ini [Zamakhsyari 1982:
96] .1) Untuk tujuan ini, banyak energi yang dicurahkan ke dalam perusahaan pendidikan untuk disebarkan
dan
mengembangkan lembaga yang disebut madrasah bersama pesantren. Fitur kelembagaan baru

madrasah yang tidak ada di pesantren adalah sistem kelas, periode kelas yang ditetapkan, sekuler
mata pelajaran dalam kurikulum dan biaya sekolah.
Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama terus bersaing satu sama lain
dua kekuatan Islam utama hingga saat ini. Namun, mereka berbagi aspek yang sama dalam hal itu
keduanya menekankan pada kegiatan pendidikan. Keduanya membebaskan diri dari orang yang sangat
religius
prinsip-prinsip pendidikan dan berkonsentrasi pada pendidikan sekuler. Kecenderungan ini,
bagaimanapun,

lebih kuat di Muhammadiyah.


Gelombang kedua pendidikan terkait dengan gerakan nasionalis. Di sini,
pendidikan bagi wanita yang berkembang di awal abad ke-20 menarik perhatian kami
perhatian. Raden Ajeng Kartini juga dikenal sebagai pelopor gerakan nasional
sebagai gerakan pembebasan perempuan. Dan dia juga melakukan upaya untuk difusi
pendidikan wanita. 2

) Di hari-hari di Jawa, saat menginjak usia pubertas, gadis-gadis


kaum bangsawan biasanya dikurung di kamar mereka dan dilarang meninggalkan rumah. Mengalami
Dengan konvensi ini, Kartini beranggapan bahwa pendidikan adalah hal yang paling penting
membebaskan wanita dan meningkatkan status sosial mereka. Dia merasakan pentingnya profesional
pendidikan dalam meningkatkan status sosial perempuan. Dengan keyakinan ini, dia berusaha
mewujudkan cita-citanya
dengan mendirikan schoQI untuk anak perempuan pada tahun 1903 di Jepara Jawa Tengah, tempat
lahirnya,
dan di Rembang dimana dia tinggal setelah menikah. Meskipun cita-citanya tidak terwujud

kematiannya pada tahun 1904, obor gerakan pembebasan perempuan melalui pendidikan tidak
mati.
Pada tahun 1904, Dewi Sartika mendirikan Sekolah Putri (Sakola Istri) di Bandung, dan di
1905, Rohana Kuddus mendirikan sekolah khusus putri bernama Kerajinan Amai Setia di Kota
Gedang, Sumatera Barat [Djumhur dan Danasuparta 1974: 156-159]. Mereka membuat banyak
pendidikan profesional bagi wanita yang akan memberi mereka kesempatan untuk bersosialisasi

kemajuan di masa depan.


1) Tentang masalah pesantren, lihat Nishino [1990].

2) Tentang kepribadian dan kehidupan Kartini, lihat Sitisoemandari [1977].

304

- 22 -

Halaman 4

s. NISHIMURA: Perkembangan Pendidikan Moral Pancasila di Indonesia


Organisasi pendidikan utama berdasarkan gerakan nasional memberikan yang pertama
teriakan lahir tahun 1920-an di beberapa wilayah Indonesia. Diantaranya, Taman Si-swa
dan Ruang Pendidikan INS terkenal dengan kebesarannya
pengaruh pendidikan di Indonesia setelah kemerdekaannya. Yang pertama didirikan pada
Jogjakarta pada tahun 1922, dan yang terakhir di Kayutanam di Sumatera Barat pada tahun 1926.
Selanjutnya
Bab, saya akan memperkenalkan ide pendidikan dari dua pendiri organisasi ini,
yaitu Ki Hajar Dewantara dan Mohammad Syafei.
2. Ide Pendidikan Ki Hajar Dewantara

"Bapak Pendidikan Nasional" merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada Ki Hadjar
Dewantara. Kenji
Tsuchiya secara akurat menggambarkan kontribusi Dewantara pada gerakan nasional
integrasi di Indonesia [Tsuchiya 1988; 1992]. Pada bagian ini, saya ingin melihat
ciri-ciri pemikiran Dewantara tentang pendidikan dengan menganalisis prinsip-prinsip Taman
Siswa.
Saat Dewantara mendirikan Taman Siswa sebagai lembaga pendidikan
nasionalisme pada tahun 1922, ia meringkas tujuannya dalam tujuh prinsip. Prinsip-prinsip ini
diformalkan sebagai "Prinsip Taman Siswa" (Azas Taman Siswa) pada awalnya

Rapat Umum Taman Siswa dilaksanakan pada tahun 1923 [Dewantara 1962: 48-49]. Pertama
Prinsipnya adalah sistem Among (Amongsysteem) yang merupakan dasar dari gagasan pendidikan
Dewantara. Diantaranya berarti "mengasuh" dalam bahasa Jawa. Arti konkret dari Among adalah itu
pendidikan adalah untuk mempromosikan bakat alam (kodrat alam) seorang anak dan bukan untuk
membuatnya
belajar melalui paksaan dan hukuman. Prinsip kedua, tegas Dewantara
pentingnya membimbing anak-anak untuk berpikir dan bertindak atas kehendak bebas mereka sendiri. Dia
berkata,

Namun, bahwa sistem Among muncul hanya jika prinsip-prinsip alamiah


bakat dan keinginan bebas bergabung. Kedua prinsip ini sesuai dengan prinsip ketujuh,
yaitu "mengabdikan diri kepada anak-anak." Abad kedua puluh disebut "abad ke
anak-anak. "Gerakan pendidikan baru yang menganjurkan pendidikan berpusat pada anak menjadi
lazim di Eropa dan gelombangnya melonjak di negara-negara Asia. Dewantara adalah salah satunya
mereka yang sangat dipengaruhi oleh gelombang ini. Dia menyerap ide-ide pendidikan

Maria Montessori, yang mempresentasikan teori tentang pendidikan anak-anak, dan Rabindranath
Tagore, dikenal sebagai penyair jenius di India.
Ide Dewantara, bagaimanapun, bukanlah tiruan dari pendidikan baru itu
dimulai di Eropa. Dalam prinsip ketiga, ia menilai: memimpin pendidikan dengan tegas berdasarkan
Kebudayaan Indonesia (asas kebudayaan). Menolak pendidikan kolonial di mana
hanya sekelompok kecil orang yang bisa mendapatkan keuntungan, ia menganjurkan pembentukan
demokrasi
pendidikan, dimana semua rakyat Indonesia memiliki akses yang sama terhadap pendidikan (prinsip
4: prinsip demokrasi). Untuk tujuan ini, dia bersikeras bahwa negara tidak boleh menerima
bantuan luar negeri yang pada akhirnya akan membatasi kebebasan negara (prinsip 5: the

prinsip non-kerjasama) tetapi harus mengandalkan kekuatannya sendiri (prinsip 6: prinsip


kemandirian). Ia mengusulkan untuk membuat lembaga pendidikan tradisional, seperti
- 23 -

305

Halaman 5
pondok, pesantren dan asrama, basis pendidikan nasional. Dia pikir kohabitasi itu
guru dan murid di lembaga-lembaga ini akan menumbuhkan moral serta intelektual
pendidikan, yang pada akhirnya akan bersandar pada realisasi pendidikan total yang seimbang.
Dengan demikian, ciri-ciri pendidikan di Taman Siswa di satu sisi menjadi

memperkenalkan ide-ide pendidikan baru dari Eropa yang menganjurkan berpusat pada anak
pendidikan dan, di sisi lain, untuk menyampaikan sistem pendidikan tradisional di Jawa itu
ditujukan untuk perkembangan total anak.
Ketika Indonesia merdeka, Dewantara mengkaji ulang ketujuh prinsip tersebut
ditentukan untuk tujuan pendirian Taman Siswa. Dia mempublikasikan "lima
Prinsip-prinsip Taman Siswa "(Panca Darma Taman Siswa) pada tahun 1947 [Dewantara 1961:
12-13]. Meskipun tidak ada perbedaan mendasar antara mereka dan ketujuh orang itu
prinsipnya, dia melakukan beberapa revisi sesuai dengan perubahan yang dihasilkan dari Indonesia
kemerdekaan. Salah satunya adalah prinsip non-kooperatif dengan kolonial
pemerintah. Berkenaan dengan pemerintahan baru yang telah memenangkan kemerdekaan, prinsip ini
dibalik menjadi kerja sama. Prinsip kerja sama dengan Indonesia merdeka
pemerintah secara positif mendukung semangat Taman Siswa daripada membantahnya,
karena gagasan Taman Siswa didasarkan pada budaya Indonesia yang tidak terpisahkan
terkait dengan nasionalisme.
Lima prinsip tahun 1947 adalah prinsip kebebasan, prinsip alam
bakat, prinsip budaya, prinsip nasionalisme (kebangsaan) dan prinsip
kemanusiaan (kemanusiaan). Tiga prinsip pertama memiliki isi yang sama seperti pada tahun 1922.
Asas nasionalisme mengambil alih asas non-kooperatif dan self-

kepercayaan. Namun, muncul peringatan bahwa kebencian dan permusuhan terhadap orang lain
bangsa seharusnya tidak lahir dari prinsip nasionalisme. Inilah mengapa prinsip
kemanusiaan datang untuk diresepkan. Dewantara mengingatkan prinsip nasionalisme itu
tidak boleh bertentangan dengan prinsip kemanusiaan.
Dari apa yang saya sebutkan di atas, jelaslah bahwa lima prinsip Taman Siswa
tahun 1947 direvisi dari prinsip 1922 agar sesuai dengan lima

prinsip Pancasila. Istilah panca umum dalam kedua prinsip tersebut. Tambahan,
kemanusiaan, nasionalisme dan demokrasi adalah istilah dan prinsip umum yang ada
menganjurkan baik di Pancasila dan prinsip-prinsip Taman Siswa dari 1922. Ini mungkin menjadi
mengatakan bahwa Taman Siswa yang didirikan oleh Dewantara merupakan lembaga yang menunjukkan
secara gamblang
cara pendidikan nasional di Indonesia setelah kemerdekaannya, bukan sekedar
organisasi sekolah swasta yang ada di Indonesia.
3. Ide Pendidikan Mohammad Syafei
Sejarah kehidupan Mohammad Syafei memiliki beberapa kemiripan dengan Dewantara. Syafei
lahir pada tahun 1899, sepuluh tahun setelah Dewantara, dan meninggal pada tahun 1969, lagi sepuluh
tahun kemudian
Dewantara. Meskipun ada perbedaan yang menentukan bahwa seseorang diasingkan darinya
negara (Dewantara) dan satu kiri atas kehendak bebasnya sendiri (Syafei), keduanya belajar di
306

24 -

Halaman 6

s. NISHI ~ IliRA: Perkembangan Pendidikan Moral Pancasila di Indonesia


Belanda, masing-masing pada tahun 1910-an dan 1920-an, dan sangat dipengaruhi oleh

gerakan pendidikan baru. Sama seperti Dewantara mendirikan Taman Siswa setelah dia kembali

ke Indonesia, Syafei mendirikan rumah pendidikan INS di Kayutanam, Sumatera Barat. Di

Awalnya INS adalah singkatan dari "Indisch Nederlandse School" (Bahasa Indonesia

Sekolah Belanda, dalam bahasa Belanda). Setelah kemerdekaan, bahasa Inggris berubah menjadi "Indonesia

Sekolah Nasional. "Saat ini dikenal sebagai" Institut Nasional Syafei "(Syafei National

Institute, dalam bahasa Indonesia). Istilah "rumah pendidikan" (ruang pendidikan) berasal dari

Lembaga gerakan pendidikan baru Jerman, Landerziehungsheim [Soejono 1979:

72].

Setelah kemerdekaan Indonesia, Dewantara menjadi menteri pertama negara itu

pendidikan dan kebudayaan pada tahun 1945, sedangkan Syafei menjadi menteri pendidikan ketiga dan

budaya pada tahun 1946. Selama perang kemerdekaan melawan Belanda, orang Indonesia

nusantara berubah menjadi medan pertempuran. Dalam kondisi seperti itu, tidak mungkin bagi mereka

menunjukkan sepenuhnya kemampuannya dalam peningkatan administrasi pendidikan.

Namun setelah kemerdekaan, ide-ide mereka menjadi kekuatan vital III

membangun nasional

pendidikan di Indonesia.

Ide pendidikan Syafei dalam banyak hal mirip dengan Dewantara.

Seperti disebutkan, Syafei mempelajari pendidikan baru di Belanda. Dia secara khusus

dipengaruhi oleh John Dewey dan Georg Kerschensteiner. Apa yang dia pelajari dari Dewey adalah

pentingnya pemikiran ilmiah dan rasional, dan perolehan kemampuan praktis.

Dari Kerschensteiner, dia mempelajari gagasan pendidikan melalui kerja. Berdasarkan idenya
bahwa kegiatan mandiri membentuk kepribadian anak, tegas lembaga pendidikan INS

pendidikan pekerjaan manual dan ekspresi diri. Dalam tulisannya, Syafei memaparkan

contoh kegiatan yang dia buat dengan menggunakan kertas, tanah liat, jerami rumput dan kelapa [Sjafei

1978].

Ketika Syafei belajar di Belanda, dia menolak bantuan apapun dari Belanda, the

pemerintah kolonial. Dalam membangun rumah pendidikan INS, ia mengadopsi kebijakan memiliki

Guru dan murid membangun gedung sekolah, meja dan kursi dengan tangan mereka sendiri. Dia

bertujuan untuk menumbuhkan semangat gotong royong melalui kerjasama antar sesama

guru dan murid. Ini sesuai dengan prinsip nasionalisme yang dianut

Dewantara. Mengkritik pendidikan pemerintah kolonial, yang ditempatkan terlalu berlebihan

penekanan pada pendidikan intelektual, Syafei menganjurkan pendidikan total di mana intelektual

dan pendidikan moral diintegrasikan. Dia mengejar jenis pendidikan yang mempromosikan

perkembangan total anak, mengedepankan nilai tradisional gotong royong di Indonesia

[Soejono 1979: 73] sekaligus memperkenalkan ide-ide pendidikan baru di Eropa.

Gagasan pendidikan Syafei juga sesuai dengan panca prinsip Pancasila. Dalam

Prinsip Pendidikan (1968) Syafei menyajikan 29 prinsip [Sjafei 1979: 33-35]. Itu

Lima prinsip pertama adalah kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa, kemanusiaan, keadilan sosial, demokrasi

dan nasionalisme. Jelas kelima prinsip ini mengacu pada Pancasila. Di bawah penjajahan

di Belanda, gerakan pendidikan untuk nasionalisme yang diadvokasi oleh Dewantara dan
- 25 -

307

Halaman 7

Syafei tercermin dalam arah pendidikan nasional ke depan, mandiri


Indonesia.
II Pancasilaisasi Pendidikan Nasional
1. Perubahan Tujuan Pendidikan
Beralih ke masa pasca kemerdekaan, saya ingin menelusuri prosesnya
Pancasila diresmikan sebagai dasar pendidikan nasional. Pertama, mengambil hukum dan
peraturan terkait pendidikan, saya akan menjelaskan perubahan posisi Pancasila dalam

ketentuan yang terkait dengan tujuan pendidikan.


Lima prinsip Pancasila sudah saya uraikan di awal tulisan ini. Mereka
ditentukan dalam pembukaan UUD 1945 dan dianggap sebagai teks resmi
Pancasila. Namun dalam menguji keabsahan Pancasila [Nugroho 1985], memang demikian
perlu diperhatikan dua dokumen yang diajukan sebelum diundangkannya UUD 1945
Konstitusi. Yang pertama adalah teks pidato yang disampaikan oleh Soekarno pada pertemuan pertama
tersebut
Badan Pemeriksa Persiapan Indonesia Merdeka. Pidato ini, di mana
Ia mengusulkan prinsip-prinsip nasional Indonesia merdeka, diiklankan sebagai "Kelahiran
Pancasila "(Lahirnya Pancasila) oleh Sukarno sendiri. Dari sinilah lahir istilah panca
sila berarti lima prinsip. Saat Soekarno dihadapkan pada pertanyaan apakah Indonesia

seharusnya negara Islam atau negara sekuler, dia menyangkal keduanya. Sebagai kompromi, dia
menetapkan
keempat prinsip keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa (Ketuhanan Yang Maha Esa).
Dokumen lainnya adalah Piagam Jakarta (Piagam Jakarta) yang ditulis pada tanggal 22 Juni 1945,

oleh Komite Badan Pemeriksa untuk Persiapan Independen


Indonesia untuk keperluan penyusunan Pembukaan UUD. Di Jakarta
Piagam, ketentuan wajib yang dibatasi hanya untuk umat Islam saja ditambahkan pada prinsip pertama,
"keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa." Ketika Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia
(UUD 1945, UUD '45) diundangkan pada tanggal 18 Agustus, sehari setelah
deklarasi kemerdekaan, ketentuan wajib ini dihapus.
Saat Pancasila ditetapkan sebagai asas kebangsaan dalam Pembukaan UUD 1945
Konstitusi, pendidikan nasional setelah kemerdekaan dibebaskan dari pendidikan kolonial
dan mulai mengikuti prinsip Pancasila. Titik awalnya terlihat di

keputusan oleh Komite Eksekutif untuk Majelis Nasional Pusat pada 27 Desember
1945. Majelis Nasional Pusat bekerja pada pembentukan kebijakan nasional. Nya
keputusan diumumkan sebagai "prinsip-prinsip pendidikan sebagai sarana yang benar untuk mendirikan
bangsa "[Soegarda 1970: 37]. Prinsip-prinsip pendidikan ini, yang terdiri dari 10 item, adalah
terinspirasi dari semangat Pancasila. Kemanusiaan dan nasionalisme (kedua dan ketiga
prinsip) tercermin dalam penyediaan tujuan pendidikan, dan prinsip kesetaraan

kesempatan pendidikan didasarkan pada keadilan sosial (prinsip kelima). Juga, mencerminkan
prinsip pertama dari "keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa," jelaslah kebebasan beragama
diekspresikan dalam penyediaan pendidikan agama.
308

- 26 -
Halaman 8
S. NISHIMURA: Perkembangan Pendidikan Moral Pancasila di Indonesia

Meskipun arah pendidikan diatur dengan cara ini, situasinya pun demikian
membingungkan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini, karena perang untuk kemerdekaan.
Namun persiapan pembentukan undang-undang pendidikan tetap dilakukan secara tertib

untuk membentuk dasar hukum pendidikan nasional, dan pertemuan pendidikan nasional diadakan di
Solo dan Jogjakarta. Dengan cara demikian, Undang-Undang Dasar Pendidikan Sekolah (UU tentang
Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah diundangkan pada tahun 1950. Ketentuan 4
Undang-undang ini berbunyi: “Landasan pendidikan terletak pada asas Pancasila, yaitu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Kebudayaan Nasional Indonesia. “Dengan
demikian,
Pancasila secara sah menjadi dasar pendidikan nasional. Orang yang bertanggung jawab atas
yang menyusun usul undang-undang ini adalah Ki Hadjar Dewantara_ Itu sebabnya orang bilang begitu
Undang-undang ini memuat teori dan prinsip Taman Siswa [ibid .: 220].
Pancasila dijadikan sebagai dasar pendidikan nasional setelah Indonesia merdeka.

Namun, karena "kesatuan terintegrasi dari nilai-nilai yang beragam" adalah "terlalu kabur untuk
dipahami" [ibid .:
113], beberapa cendekiawan menyebut Pancasila sebagai “mangkuk tanpa substansi” [Darmaputera
1988: 172]. Karena sifatnya inilah, Pancasila dimaknai secara berbeda dalam
kaitannya dengan berbagai ideologi tiap periode.
Di bawah rezim Sukarno, Pancasila sebagai tujuan pendidikan ditekankan
hubungan dengan sosialisme. Ini mencerminkan sikap rezim Sukarno yang bercirikan
dominasi komunisme, meskipun mendamaikan tiga kekuatan nasionalisme,
Islamisme dan komunisme. Undang-Undang Pendidikan Tinggi tahun 1961 (UU tentang Perguruan
Tinggi) menyatakan bahwa tujuan pendidikan tinggi adalah “membina pembina sosialis
masyarakat yang mewujudkan semangat Pancasila. "Pada periode ini pendidikan sosialisme adalah
dianggap sebagai tujuan akhir pendidikan di bawah nama Pancasila.
Dengan pergantian rezim politik dari Sukarno ke Soeharto pasca insiden 30 tahun
September 1965, Pancasila kemudian dimaknai berkaitan dengan ideologi itu
bertentangan dengan sosialisme. Menurut Prinsip Umum Kebijakan Nasional (GBRN)
dirumuskan pada tahun 1973 di Majelis Permusyawaratan Rakyat, pengambilan keputusan tertinggi
Di Indonesia, tujuan pendidikan adalah “untuk membesarkan orang-orang yang mampu mewujudkan

cita-cita Pancasila. “Landasan ideologis rezim Soeharto dikatakan sebagai


berdiri antikomunis dan penekanan pada pembangunan ekonomi. Ini jelas dalam karyanya
kebijakan pendidikan. Pendidikan untuk komunisme dihapuskan menurut antikomunis
kebijakan. Dengan mengedepankan pembangunan ekonomi, tujuan pendidikan diubah menjadi a
"orang yang berorientasi pembangunan" (manusia pembangunan) yang dapat berkontribusi dalam promosi
dari rencana pembangunan nasional.
2. Silsilah Pendidikan Kewarganegaraan

Sebelum pendidikan akhlak Pancasila, peran sentralnya dalam meresapi ruh Pancasila
di antara anak-anak sekolah dimainkan oleh pendidikan kewarganegaraan. Berfokus pada subjek ini, saya
akan
perhatikan dalam bagian ini bagaimana pengobatan Pancasila telah berubah dalam kerangka

Pendidikan Kewarganegaraan.
- 27 -

309

Halaman 9

Bahkan setelah kemerdekaan yang telah menjadi keinginan kuat Indonesia, itu
adegan pendidikan berlanjut dalam kebingungan untuk sementara waktu karena gangguan yang
ditimbulkan oleh
perang kemerdekaan. Dalam pendidikan sipil , buku teks, Indische Burgerschapskunde

(Kewarganegaraan India Timur) yang ditulis pada masa penjajahan Belanda digunakan sebagai guru
panduan tanpa revisi [Tromps 1934J. Baru pada tahun 1955 sebuah buku teks ditulis
Bahasa Indonesia yang berjudul Inti Pengetahuan Warganegara (Knowledge of a Citizen) diterbitkan
[Simorangkir 1955J. Buku teks ini dibuat dengan tujuan menyadarkan siswa
tanggung jawabnya terhadap diri sendiri, masyarakat dan bangsa sebagai warga negara Indonesia.
Meski mengacu pada Pancasila, namun tidak ada penjelasan yang rinci. Puncak dari ini

periode adalah berlakunya Konstitusi 1950, yang memproklamasikan pengenalan


demokrasi parlementer Eropa. Periode ini dengan demikian disebut "periode liberal
demokrasi. "Namun, para pemimpin politik periode ini kurang memperhatikan Pancasila dalam
terlepas dari prinsip demokrasi.
Pada tahun 1959, UUD 1950 dihapus dan UUD 1945 yang
otoritas yang diberikan kepada presiden, diadopsi lagi. Sejak saat itu hingga 1965

diikuti periode yang disebut "periode demokrasi terpimpin." Sukarno mengumpulkan kekuasaan dan
mendirikan Tatanan NASAKOM yang bertujuan untuk menyeimbangkan tiga kekuatan: nasionalisme,
Islamisme dan komunisme. Sikap politik ini tercermin dalam pendidikan kewarganegaraan. Itu
buku teks pendidikan kewarganegaraan, Manusia dan Masjarakat Baru Indonesia (Orang Baru Indonesia
dan Masyarakat) diterbitkan oleh Departemen Pendidikan pada tahun 1960 [Soepardo et aI. 1960], adalah
tidak lain adalah kredo politik Sukarno. Ini dibuktikan dengan fakta mayoritas referensi
yang dikutip di buku teks adalah pidato Soekarno sendiri. Ada pasal tentang Pancasila.
Konsep yang digunakan dalam bab ini diambil dari pidato Sukarno "The Birth of

Pancasila "dalam rapat Badan Pemeriksa Persiapan Kemerdekaan


Indonesia. Dalam pendidikan kewarganegaraan, ideologi Sukarno diajarkan secara tidak kritis
indoktrinasi ( indoktrinasi ) [Numan 1976: 53J.
Peristiwa 30 September 1965 menjadi pemicu terjadinya perubahan besar di bidang
Pendidikan Kewarganegaraan. Pertama, buku teks yang digunakan pada masa demokrasi terpimpin
dilarang.
Sampai buku teks baru bisa dibuat, pendidikan kewarganegaraan mencakup empat bidang: Pancasila,
UUD 1945, pengambilan keputusan oleh MPRS dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ketika kurikulum direvisi total pada tahun 1968, pendidikan
kewarganegaraan
(Pendidikan Kewargaan Negara) termasuk dalam kelompok mata pelajaran yang membidik
perkembangan jiwa Pancasila, “seiring dengan agama, bahasa Indonesia dan
Pendidikan Jasmani. Tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah "untuk memahami dan mengamalkan
Jiwa pancasila ditentukan dalam pembukaan serta ketentuan UUD 1945

Konstitusi. "Sebuah instruksi ditambahkan bahwa siswa seharusnya tidak belajar pendidikan
kewarganegaraan saja
sebagai ilmu, tetapi juga memperoleh sikap hidup yang sesuai dengan semangat Pancasila.
Namun kurikulum 1968 tidak memberikan penjelasan rinci tentang sikap dan

perilaku yang sesuai dengan semangat Pancasila.


Ketika ditunjukkan bahwa sulit untuk mencapai pemahaman penuh
310

- 28 -

Halaman 10
S. NISHI \ IL'RA: Perkembangan Pendidikan Moral Pancasila di Indonesia

Pancasila dalam rangka pendidikan kewarganegaraan, mata pelajaran baru disebut “moral pancasila
pendidikan "(Pendidikan Moral Pancasila) muncul dalam revisi kurikulum 1975 tahun
tempat pendidikan kewarganegaraan. Dalam bab berikut, saya akan menyajikan petunjuk untuk memahami
ciri-ciri pendidikan nasional di Indonesia dengan memperjelas ciri-ciri
subjek baru ini.
III Pendidikan Moral Pancasila
1. Pembentukan Pendidikan Moral Pancasila

Soeharto mengambil alih dari Sukarno pada 11 Maret 1966, dan pada 1969 ia memulai lima tahun
Rencana Pembangunan (Repelita) untuk memulihkan perekonomian nasional yang sempat terpuruk selama
ini
Umur Soekarno. Bersamaan dengan itu, Soeharto berusaha menyelesaikan masalah persatuan bangsa.
Menilik bahwa kunci persatuan bangsa terletak pada peresapan spirit Pancasila, ia
berulang kali menekankan perlunya pembuktian Pancasila dalam setiap pidato yang ia lontarkan
administrasi nasional sepanjang tahun 1970-an. Advokasinya diterbitkan dalam sebuah buku

berjudul Pandangan Presiden Soeharto TENTANG Pancasila (Presiden Soeharto View of


Pancasila) tanggal 11 Maret 1976 [Krissantono 1976J, hanya 10 tahun setelah dia berhasil
Soekarno. Buku ini diberikan ke sekolah sebagai buku teks.
Soeharto beranggapan bahwa krisis nasional disebabkan oleh perlakuan terhadap Pancasila. Di
Menurutnya, Pancasila disorot pada masa demokrasi liberal dan
disalahtafsirkan selama periode demokrasi terpimpin. Pada tahun 1975, dia menyebut Lima
Anggota Panitia yang diketuai oleh Mohammad Hatta memberikan tafsir yang pasti
Pancasila. Anggota panitia semuanya adalah pemimpin gerakan nasional sebelumnya
kemerdekaan, dan dengan demikian mereka dianggap sebagai generasi yang bisa menghadirkan persatuan
tafsir Pancasila. Pada tahun 1977, Komite Lima Anggota mengumumkan Uraian kepada publik
Pancasila (Tafsir Pancasila) [Panitia Lima 1977J. Sebagai tanggapan, "itu

Pedoman Pemahaman dan Pengamalan Pancasila "(Pedoman Penghayatan dan

Pengamalan Pancasila disingkat P4) disahkan dalam Permusyawaratan Rakyat


Sidang 1978. Norma tingkah laku yang terdiri dari 36 butir berdasarkan Pancasila tersebut
diformalkan dalam pedoman.
Bahkan sebelum P4 dirumuskan, gagasan pendidikan moral Pancasila sudah ada di Indonesia
Prinsip Umum Kebijakan Nasional (GBHN) diputuskan oleh, Musyawarah Rakyat
Sidang tahun 1973. Menurut pedoman ini, kurikulum harus memuat Pancasila

pendidikan moral dan prinsip-prinsip yang menjadi spirit dan nilai-nilai UUD 1945
harus diwariskan dan dimajukan terlepas dari apakah dengan usaha publik atau swasta
dan di semua tingkat pendidikan dari taman kanak-kanak hingga universitas. Saat kurikulum itu
direvisi tahun 1975, dua jam per minggu disediakan untuk pendidikan moral Pancasila sama sekali
tahapan pendidikan. dari pendidikan dasar hingga tinggi, dan di semua jenis sekolah. Kapan
P4 diuraikan pada tahun 1978, 36 norma perilaku yang ditetapkannya menjadi pendidikan

tujuan pendidikan moral Pancasila. Dengan demikian P4 dianggap sebagai sumber Pancasila
- 29 -

311

Halaman 11

Pendidikan moral.
Kursus yang disebut Pelatihan P4 (Penataran P4) diadakan untuk meresapi P4 secara luas
di seluruh negara. Pada tahun 1978. ketika P4 diresmikan. Soeharto menganjurkan
pelaksanaan pelatihan P4. Pada tahun 1980, dimulai untuk siswa baru di SMP dan

sekolah menengah atas dan universitas. Pelatihan ini, yang bertujuan untuk menumbuhkan pemahaman
dan mengamalkan P4, UUD 1945 dan Pokok-pokok Kebijakan Nasional,
serupa dengan pendidikan akhlak Pancasila dalam muatannya. Namun pelatihan P4 ini. memiliki
karakteristik ditugaskan sebagai tugas kepada seluruh rakyat Indonesia. tidak hanya untuk umum
pejabat, di luar kerangka pendidikan sekolah. Ini mungkin akan mengatakan bahwa P4
pelatihan, bersama dengan pendidikan moral Pancasila, adalah "perusahaan nasional yang besar" untuk
menyebarkan semangat Pancasila ke seluruh bangsa.
2. Isi Pendidikan Moral Pancasila
Dapat kita asumsikan bahwa pendidikan akhlak Pancasila adalah mata pelajaran yang berada di luar
"ranah".

pendidikan moral dalam arti sempit dengan menganalisis isi buku teks dan kursus
dari belajar. Bagian sebelumnya menunjukkan dengan menelusuri silsilah pendidikan kewarganegaraan
bahwa
Pendidikan moral pancasila memiliki aspek pendidikan kewarganegaraan. tapi diwaktu yang sama. sebagai
nya
menandakan nama, itu juga memiliki aspek pendidikan moral. Pancasila dipahami sebagai "the
kesatuan berbagai nilai. ”Mungkin wajar, oleh karena itu, pendidikan akhlak Pancasila itu.
yang lahir dengan tujuan mewariskan dan memajukan jiwa Pancasila di kalangan

generasi muda. terdiri dari berbagai aspek. Di bagian ini. Saya akan mengklarifikasi
Ciri struktural pendidikan moral Pancasila dengan menitikberatkan pada aspek kewarganegaraan
pendidikan. pendidikan moral dan pendidikan dalam sejarah nasional.
Sumber utama pendidikan moral Pancasila aspek kewarganegaraan adalah UUD 1945
Konstitusi. Di sini saya akan melihat ketentuan dalam UUD terkait Pancasila.
Tujuan dari sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah untuk

memahami kebebasan beragama yang ditentukan dalam pasal 29 dalam Konstitusi. Adapun
Ide tentang kemanusiaan, prinsip kedua, tujuannya adalah untuk belajar menghormati yang fundamental
hak asasi manusia yang diatur dalam pasal tentang hak dan kewajiban warga negara. Untuk
Prinsip ketiga, “persatuan Indonesia”, tujuannya adalah mempelajari harkat dan martabat bangsa
kemerdekaan melalui pemahaman pasal 32 (kebudayaan nasional) pasal 35
(bendera nasional) dan pasal 36 (bahasa Indonesia). Ada banyak ketentuan terkait

prinsip keempat, demokrasi. UUD 1945 adalah dokumen yang relatif pendek
hanya terdiri dari 37 pasal, tetapi 22 pasal pertama semuanya merupakan ketentuan nasional
organisasi. Tentang keadilan sosial. prinsip kelima. Pasal 33 berisi yang penting
ketentuan ekonomi nasional dan kesejahteraan sosial. Tujuan artikel ini adalah untuk memahami
bahwa ekonomi dan pembangunan harus bertumpu pada asas sosialisasi
(kekeluargaan) dan gotong royong.
Dari segi moral. 36 norma "Pedoman Pemahaman dan
Amalan Pancasila "(P4) menjadi tujuan pendidikan. 3l Pada sila pertama." Keyakinan
312

- 30 -

Halaman 12

s. NISHIMURA: Perkembangan Pendidikan Moral Pancasila di Indonesia


Tuhan Yang Maha Esa "berdasarkan semangat toleransi beragama, tujuannya adalah untuk belajar
sikap toleran dan murah hati terhadap penganut agama yang berbeda. Untuk kedua
Prinsipnya, tujuannya adalah untuk menghormati nilai kemanusiaan dan untuk mempelajari sikap
kasih sayang dan saling membantu. Prinsip ketiga, “persatuan Indonesia” bertujuan untuk menumbuhkan
kecintaan
bangsa dan rakyat Indonesia berdasarkan cita-cita nasional "persatuan dalam kebhinekaan". Sebagai
untuk demokrasi, prinsip keempat, tujuannya adalah untuk memahami dan menjalankan demokrasi
berpedoman pada prinsip musyawarah (musyawarah) dan kesepakatan dengan suara bulat (mujakat).

Tujuan dalam prinsip kelima, keadilan sosial, adalah untuk memperoleh kebajikan keadilan, ketekunan,
hidup hemat dan sederhana berdasarkan prinsip kekeluargaan (kekeluargaan) dan mutual
bantuan (gotong royong).
Aspek pendidikan dalam sejarah nasional secara garis besar memuat tiga unsur. Salah satunya adalah
perkembangan pergerakan nasional sebelum kemerdekaan Indonesia; yang kedua adalah
proses pembentukan Pancasila; dan yang ketiga adalah proses penyebaran

Pancasila kepada warga negara Indonesia merdeka. Dengan kata lain, ini adalah sejarah
evolusi Pancasila. Dengan revisi kurikulum 1984, mata pelajaran baru disebut
Sejarah perjuangan bangsa (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) muncul. Pendidikan di
Sejarah nasional dibahas terutama dalam mata pelajaran baru ini sebagai bagian dari Pancasila
Pendidikan moral.
Sofyan menganalisis tren di setiap kelas. Dalam analisisnya, ia memisahkan konten

Pendidikan moral pancasila menjadi pendidikan kewarganegaraan, pendidikan moral dan sejarah
bangsa. Dia
menemukan bahwa di kelas yang lebih tinggi, proporsi pendidikan kewarganegaraan dan sejarah nasional
meningkat, sedangkan proporsi pendidikan moral menurun [Sofyan 1980: 16]. Dalam

kelas bawah di sekolah dasar, tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan norma-norma moral yang
terkandung di dalamnya
P4, tetapi di kelas atas di sekolah dasar, studi politik, ekonomi dan sejarah
menjelaskan bagian utama subjek, dan tren ini menjadi lebih kuat di

tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dari sekolah menengah pertama sampai sekolah menengah atas.
3. Metodologi Pendidikan Moral Pancasila

Tujuan pendidikan akhlak Pancasila di satu sisi adalah menumbuhkan perasaan dan moral
sikap. dan di sisi lain, juga bertujuan untuk memberikan siswa politik, ekonomi, sosial,
pengetahuan agama dan budaya yang berkaitan dengan Pancasila. Oleh karena itu, metode pengajarannya
umumnya diterapkan juga perlu beragam, sesuai dengan berbagai aspek tujuan ini.
Pada bagian ini, saya ingin melihat ciri-ciri metode moral Pancasila

pendidikan dengan menganalisis Studi Kursus (GBPP) yang disediakan oleh Kementerian Pendidikan
dan Budaya. SAYA)
Metode pengajaran yang paling umum digunakan adalah instruksi kelas dengan cara ceramah atau
3) Kirdi [1986: 65-72J menjelaskan tentang tatanan moral individu dan kewajiban moral bangsa

berdasarkan P4.

4) Untuk detailnya, lihat Tim Pendidikan Moral Pancasila [1981J.

- 31 -

313

Halaman 13

story telling, yang efektif dalam menyampaikan pengetahuan dan informasi kepada sekelompok orang
siswa. Metode ini sangat sering digunakan di tingkat SMP dan SMA, dimana
Kandungan pendidikan moral Pancasila memiliki warna yang lebih kuat dalam pendidikan
kewarganegaraan.
Diskusi adalah metode lain yang sering digunakan di kelas yang lebih tinggi di sekolah dasar
hingga sekolah menengah atas. Metode diskusi ini didasarkan pada semacam musyawarah
(musyawarah) yaitu metode tradisional dalam pengambilan keputusan di Indonesia. Metode ini.

membantu untuk mempromosikan pemikiran kelompok yang lebih dalam dan mengembangkan sikap
positif dan
persahabatan di antara siswa di kelas. Diskusi itu sendiri juga memainkan peran penting
dalam membesarkan bangsa yang demokratis. Metode tanya jawab sering
dikombinasikan dengan ceramah atau diskusi. Metode ini memiliki keuntungan bahwa siswa
masalah diklarifikasi melalui pertanyaan yang diajukan oleh guru. Metode perkuliahan ini,

Diskusi, tanya jawab digunakan di kelas sebagai unit kelompok dan diklasifikasikan sebagai
metode pengajaran tradisional [Bambang 1983: 116].
Dengan metode tradisional ini, bagaimanapun, sulit untuk membimbing siswa sesuai dengan
individualitas dan kompetensi mereka. Sebagai metode untuk melengkapi kekurangan tersebut. ada
pelajaran berdasarkan prinsip bimbingan individu. Pelajaran seperti menulis esai
setelah membaca buku atau menganalisa artikel koran adalah contoh-contoh individual

pelajaran dalam pendidikan moral Pancasila [Tim Pendidikan Moral Pancasila 1981: 238-239].
Metode panduan yang disebutkan di atas efektif terutama dalam mengajarkan pengetahuan.
Namun, untuk mewujudkan pembentukan sikap dan perilaku moral, yaitu
Fokus utama pendidikan akhlak Pancasila, diperlukan metode yang tepat. Wewenang
bermain diakui sebagai metode pengajaran yang efektif dalam membimbing sikap dan perilaku
murid dan murid. Melalui permainan peran, siswa didorong oleh kemauannya sendiri untuk

memilih sendiri perilaku ideal dan mempraktikkannya. Di samping permainan peran, mengajar
metode seperti permainan sosial, simulasi dan permainan digunakan dalam pelatihan P4.
Metode evaluasi pendidikan moral Pancasila juga perlu dipahami
secara komprehensif dari sudut pengetahuan, sikap dan perilaku. Untuk mengevaluasi
apakah peserta didik telah memperoleh ilmu yang berkaitan dengan pendidikan akhlak Pancasila,
ujian tertulis dan lisan obyektif biasanya digunakan. Pendidikan moral pancasila adalah

salah satu mata pelajaran wajib dalam ujian masuk dan kelulusan. Karena ini,
tes obyektif yang menguji perolehan pengetahuan sangat ditekankan di junior
dan tingkat sekolah menengah atas.
Untuk evaluasi sikap, kuesioner dan wawancara digunakan. Kuesioner adalah
cocok untuk diterapkan dengan kelompok, sedangkan wawancara efektif untuk individu
bimbingan untuk siswa bermasalah. Sedangkan angket menangkap kesadaran siswa
melalui bahasa, wawancara memungkinkan evaluasi sikap dan perasaan.
Metode yang efektif untuk mengevaluasi perilaku siswa adalah observasi. Metode ini
termasuk "metode rekaman episode" dan "daftar periksa." Dalam metode sebelumnya, siswa
perilaku yang tampaknya berguna dalam panduan disimpan dalam catatan, dan yang terakhir,
perilaku diperinci untuk evaluasi dan diperiksa jika siswa mengadopsi perilaku tersebut.
314

- 32 -

Halaman 14
S. NISHIMURA: Perkembangan Pendidikan Moral Pancasila di Indonesia

Apa yang jelas dari klasifikasi metode bimbingan dan


Evaluasi yang digunakan dalam pendidikan akhlak Pancasila adalah ragam pendekatan. Sejak
Tujuan pendidikan akhlak Pancasila adalah pembinaan peserta didik yang serba guna,

keragaman dan keragaman juga penting dalam metodenya.


Penutup

Pada tahun 1989, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU tentang Sistem Pendidikan Nasional)
telah diberlakukan. Seperti yang telah saya sebutkan, Hukum Dasar Pendidikan Sekolah adalah
didirikan tahun 1950 dan UU Pendidikan Tinggi tahun 1961. Kedua undang-undang ini dibuat
di bawah rezim politik Sukarno dan memiliki ciri-ciri terbatas, dan dengan demikian hukum yang
mencakup semuanya
aspek pendidikan nasional sangat dibutuhkan. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 2)
mengatur bahwa “dasar pendidikan nasional adalah Pancasila dan UUD 1945
Konstitusi. “ Itu juga mensyaratkan guru untuk memiliki jiwa Pancasila sebagai kualifikasi
serta tugas. Adapun dalam muatan pendidikan, “Pendidikan Pancasila” merupakan suatu keharusan

mata pelajaran dalam semua tahapan dan jenis pendidikan.


Dalam tulisan ini, saya telah mendalami perkembangan Pancasila dengan menelusuri sejarahnya
proses dimana Pancasila meresap ke dalam pendidikan nasional. Itu menjadi jelas
Pendidikan akhlak pancasila berfungsi sebagai penggerak melalui integrasi bangsa
pendidikan sekolah. Peran Pancasila ini diperkuat dan dikonsolidasikan oleh
pembentukan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Ini mungkin akan mengatakan bahwa
Pancasila
pendidikan moral di atas segalanya adalah "pendidikan untuk nasionalisme". Perkembangannya
tidak hanya menarik perhatian masyarakat Indonesia, tetapi juga negara tetangga
seperti Malaysia dan Singapura.
Referensi

Bambang Daroeso. 1983. Pengantar Pendidikan Moral Pancasila. Semarang: CV Aneka.


Darmaputera, E. 1988. Pancasila dan Pencarian Identitas dan Modernitas dalam Masyarakat Indonesia. Leiden:

EJ.Brill.

Dewantara, Ki Hadjar. 1961. Azas-azas dan Dasar-dasar Taman Siswa. Jogjakarta: Madjelis Luhur

Persatuan Taman Siswa.

----. 1962. Karja Ki Hadjar Dewantara. Jogjakarta: Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Djumhur, I .; dan H. Danasuparta. 1974. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV ILMU Bandung.

Kirdi Dipoyudo. 1986. Arti Pancasila dan Pelaksanaannya. Jakarta: CSIS.

Kosasih Djahiri, A. 1986. Dasar-dasar Kurikulum dan Pengembangan Program Pendidikan Afektif-Nilai-

Moral. Bandung: IKIP Bandung.

Krissantono, red. 1976. Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila. Jakarta: CSIS.

Nishino, Setsuo. 1990. Indonesia no Isuramu Kyoiku [Pendidikan Islam di Indonesia]. Tokyo:

Keisoshobo.

Nugroho Notosusanto. 1985. Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Numan Somantri. 1976. Metode Mengajar PKn. Jakarta: Erlangga.

Panitia Lima. 1977. Uraian Pancasila. Jakarta: Mutiara.

Simorangkir. J, CT; Gusti Majur; dan Soemintardjo. 1955. Inti Pengetahuan Warganegara. Jakarta:

- 33 -

315

Halaman 15
Erlangga.

Sitisoemandari Soeroto. 1977. Kartini: Sebuah Biografi. Jakarta: Gunung Agung.

Sjafei, Mohammad. 1978. Pendidikan Mohd. Sjafei INS Kayutanam. Jakarta: Mahabudi.

----. 1979. Dasar-dasar Pendidikan. Jakarta: CSIS.

Soegarda Poerbakawatja. 1970. Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka. Jakarta: Gunung Agung.

Soejono, Ag. 1979. Aliran Baru dalam Pendidikan. Bagian ke-2. Bandung: CV ILMU Bandung.

Soepardo, M; Hoetaoeroek; Soeroyo Warsid; Soemardjo; Chalid Rasjidi; Soekarno; dan JC.T.

Simorangkir. 1960. Manusia dan Masjarakat Baru Indonesia. Djakarta: Departemen PP dan K.

Sofyan Aman. 1980. Pedoman Didaktik Metodik Pendidikan Moral Pancasila. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Tim Pendidikan Moral Pancasila, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Dapartemen

Pendidikan dan Kebudayaan. 1981. Bahan Penataran Pendidikan Moral Pancasila. Jakarta.

Tromps, P. 1934. Indische Burgerschapskunde. Batavia: JB.Wolters 'Uitgevers · maatschappij.

Tsuchiya, Kenji. 1982. Indoneshia Minzokushugi Kenkyu: Taman Sisuwa no Seiritsu to Tenkai [Studi

tentang Nasionalisme Indonesia; Pembentukan dan Pengembangan Taman Siswa]. Tokyo: Sobunsha.

----. 1988. Demokrasi dan Kepemimpinan: Bangkitnya Gerakan Taman Siswa di Indonesia. Honolulu:

University of Hawaii Press.


. 1992. Demokrasi dan Kepemimpinan: kebangkitan gerakan Taman Siswa. Jakarta: Balai

Pustaka.

Zamakhsyari Dhofier. 1982. Pesantren Tradisi. Jakarta: LP3ES.

316

- 34 -

Anda mungkin juga menyukai