Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN PENGKAJIAN PADA DIAGNOSA

HALUSINASI BERDASARKAN LITERATURE RIVIEW

Ditujukkan untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester (UTS)

Disusun Oleh :

OSEP YASIER ALMUNSIRI

NPM. 215120023

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (S-2)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN JENDERAL ACHMAD YANI


CIMAHI

2021
A. KONSEP HALUSINASI
1. Pengertian
Halusinasi merupakan gejala dari skizofrenia, 70 % skizofrenia
diantaranya mengalami halusinasi. Halusinasi adalah tidak adanya
kemampuan untuk membedakan pikiran internal dengan rangsangan
dari pikiran luar/ dunia luar. Pasien memberitahukan persepsi keadaan
lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata (Direja, 2011;
Azizah, Lilik; Zainuri, 2016; PPNI, 2016). Halusinasi adalah
gangguan jiwa yang berupa respon dari perubahan sensori persepsi
panca-indra terhadap stimulus yang tidak nyata. Pasien dengan
halusinasi merasakan sensasi seperti suara, penglihatan, pengecapan,
perabaan ataupun penghiduan tanpa stimulus nyata (Nurarif, A.H dan
Kusuma, 2015; Akemat; Helena, Novy; Keliat, B. A; Nurhaeni, 2020;
Daulima, N; Hargiana, G; Keliat, B. A; Panjaitan, R.U; Putri, Y. S;
Susanti, H; Wardani, I. y; Yani, 2020; Akemat dan Keliat, 2021).
Halusinasi didefinisikan sebagai kesan atau pengalaman
sensorik yang salah (Stuart, 2013). Halusinasi merupakan gejala dari
gangguan jiwa dimana klien akan mengalami perubahan sensorik
persepsi panca-indra. Penderita halusinasi merasakan stimulus yang
tidak ada. Respons dari halusinasi dapat mencakup kecurigaan,
ketakutan, perasaan tidak aman, kecemasan, dan kebingungan, perilaku
yang merusak diri sendiri, kurangnya perhatian, ketidakmampuan
untuk membuat keputusan dan tidak dapat membedakan antara pikiran
nyata dan tidak nyata. Penderita skizofrenia akan mengalami halusinasi
akibat dari ketidakmampuan pasien dalam menghadapi stresor dan
kurangnya kemampuan untuk mengenali dan mengontrol halusinasi
yang akan menimbulkan suatu gejala (Damaiyanti, M dan Iskandar,
2012).
2. Jenis-jenis Halusinasi
Jenis- jenis halusinasi antara lain; pertama halusinasi pendengaran,
mendengar suara ataupun kebisingan, sangat kerap suara orang. Suara
berupa kebisingan yang kurang jelas hingga perkata yang jelas
berdialog tentang klien, apalagi hingga pada obrolan lengkap antara 2
orang yang hadapi halusinasi. Benak yang terdengar dimana klien
mendengar perkataan kalau klien disuruh buat melaksanakan suatu
kadangkala bisa membahayakan. Kedua halusinasi penglihatan
stimulus visual dalam wujud kilatan sinar, foto geometris, foto kartun,
bayangan yang rumit ataupun lingkungan. Bayangan bias yang
mengasyikkan ataupun menakutkan semacam memandang monster.
Ketiga halusinasi penghidung membaui bau- bauan tertentu semacam
bau darah, kemih, serta feses biasanya bau- bauan yang tidak
mengasyikkan. halusinasi penghidu kerap akibat stroke, tumor, kejang,
ataupun dimensia. Keempat halusinasi pengecapan merasa mengecap
rasa semacam rasa darah, kemih ataupun feses. Kelima perabaan
hadapi nyeri ataupun ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa
tersetrum listrik yang tiba dari tanah, barang mati ataupun orang lain
(Azizah, Lilik; Zainuri, 2016; Yosep, I dan Sutini, 2016).
3. Etiologi
Menurut Daulima dkk (2020) ada beberapa penyebab
terjadinya halusinasi yaitu; kurang tidur, isolasi sosial, mengurung diri
dan kurang kegiatan sosial.
4. Rentang Respon Halusinasi
Rentang respon neuribiologis halusinasi yang paling adaptif yaitu
adanya persepsi akurat. Persepsi akurat merupakan suatu pandangan
yang tepat pada suatu kenyataan. Masalah psikososial yaitu ilusi. Ilusi
merupakan suatu penilaian yang salah tentang penerapan yang benar-
benar terjadi atau objek nyata karena rangsangan dari panca indera
dan sedangkan respon maladaptif yaitu halusinasi. Halusinasi
merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang
tidak realita (Stuart, 2013; Azizah, Lilik; Zainuri, 2016; Akemat;
Helena, Novy; Keliat, B. A; Nurhaeni, 2020).
5. Fase-fase halusinasi
Fase- fase halusinasi antara lain; fase I: comforting ansietas sedang dan
termasuk halusinasi mengasyikkan“ mengasyikkan”. Ciri dari fase I ini
klien mendapati ansietas, kesepian, rasa bersalah serta khawatir,
berupaya buat berfokus pada benak yang mengasyikkan buat
meredakan ansietas. Orang mengidentifikasi kalau benak serta
pengalaman sensori dalam kendali pemahaman bila ansietas bisa
ditangani (non psikotik). Fase II: condemning ansietas berat termasuk
halusinasi naik menjijikkan “menyalahkan”. Ciri dari fase II ini
pengalaman sensori menjijikan serta menakutkan klien lepas kendali
serta bisa jadi berupaya buat mengambil jarak dirinya dengan sumber
yang dipersepsikan. Klien bisa jadi hadapi dipermalukan oleh
pengalaman sensori serta menarik diri dari orang lain serta tercantum
psikotik ringan. Fase III: controlling ansietas berat kemahiran sensori
jadi berpengaruh “mengatur”. Ciri dari fase III klien menyudahi
ataupun menghentikan perlawanan terhadap halusinasi serta menyerah
pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi jadi menarik, klien bisa jadi
hadapi pengalaman kesepian bila sensori halusinasi menyudahi
tercantum ke psikotik. Fase IV: conquering panik biasanya jadi
melebur dalam halusinasinya. Ciri dari fase IV Pengalaman sensori
jadi mengecam bila klien menjajaki perintah halusinasi. Halusinasi
berahir dari sebagian jam ataupun hari bila tidak terdapat intervensi
terapiutik tercantum psikotik berat (Muhith, 2015; Azizah, Lilik;
Zainuri, 2016; Yosep, I dan Sutini, 2016).
6. Faktor Predisposisi
Aspek predisposisi yang menimbulkan halusinasi merupakan; aspek
pertumbuhan tugas pertumbuhan klien tersendat misalnya rendahnya
kontrol serta kehangatan keluarga menimbulkan klien tidak sanggup
mandiri semenjak kecil, gampang frustasi, lenyap yakin diri serta lebih
rentan terhadap stress. Aspek sosiokultural seorang yang merasa tidak
diterima lingkungannya semenjak balita hendak merasa disingkirkan,
kesepian, serta tidak yakin pada lingkungannya. Aspek biokimia
memiliki pengaruh terhadap terbentuknya kendala jiwa. Terdapatnya
stress yang kelewatan dirasakan seorang hingga di dalam badan
hendak dihasilkan sesuatu zat yang bisa bertabiat halusinogenik
neurokimia. Akibat stress berkelanjutan menimbulkan teraktivasinya
neurotransmitter otak. Aspek psikologis jenis karakter lemah serta
tidak bertanggung jawab gampang terjerumus pada penyalahgunaan
zat adiktif. Hal ini akan mempengaruhi klien pada ketidakmampuan
dalam mengambil ikhtisar yang layak demi masa depannya. Klien akan
lebih memilah kesenangan sesaat serta akan mengarah ke alam
hayalan. Aspek genetik serta pola asuh riset menampilkan kalau anak
sehat yang diurus oleh orang tua skizofrenia cenderung hadapi
skizofrenia. Hasil riset menampilkan kalau aspek keluarga
menampilkan ikatan yang sangat mempengaruhi pada penyakit ini
(Stuart, 2013; Azizah, Lilik; Zainuri, 2016; Yosep, I dan Sutini, 2016).
7. Faktor Presipitasi
Aspek presipitasi terbentuknya kendala halusinasi merupakan: biologis
kendala dalam komunikasi serta putaran balik otak, yang
mengendalikan proses data dan abnormalitas pada mekanisme pintu
masuk dalam otak yang menyebabkan ketidakmampuan buat secara
selektif menjawab stimulus yang diterima oleh otak buat
diinterpretasikan. Stress area ambang toleransi terhadap stress yang
berhubungan terhadap stressor area buat memastikan terbentuknya
kendala sikap. Sumber koping pengaruhi reaksi orang dalam
menjawab stressor (Stuart, 2013 dan Azizah, Lilik; Zainuri, 2016).
8. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang kerap digunakan klien dengan halusinasi
antara lain: Regresi Proses buat menjauhi stress, kecemasan serta
menunjukkan sikap kembali pada sikap pertumbuhan anak ataupun
berhubungan dengan permasalahan proses data serta upaya buat
mengatasi ansietas. Proyeksi Kemauan yang tidak bisa di toleransi,
mencurahkan emosi pada orang lain sebab kesalahan yang dicoba diri
sendiri (selaku upaya buat menarangkan kerancuan bukti diri).
Menarik diri Respon yang ditampilkan bisa berbentuk respon raga
ataupun psikologi Respon raga ialah orang berangkat ataupun lari
menjauh sumber stressor, sebaliknya respon psikologis ialah
menampilkan sikap apatis, mengisolasi diri, tidak berminat, kerap
diiringi rasa khawatir serta bermusuhan (Muhith, 2015 dan Yosep, I
dan Sutini, 2016).

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN HALUSINASI


1. Pengkajian
Pada proses pengkajian, informasi berarti yang butuh didapatkan pada
klien dengan permasalahan halusinasi antara lain; pertama tipe
halusinasi. Informasi objektif bisa dikaji dengan metode
mengobservasi prilaku penderita, sebaliknya informasi subjetif bisa
dikaji dengan melaksanakan wawancara dengan penderita. Lewat
informasi ini perawat bisa mengathui isi halusinasi. Kedua waktu,
frekuensi, serta situsasi yang menimbulkan timbulnya halusinasi.
Perawat pula butuh mengkaji waktu, frekuensi serta suasana timbulnya
halusinasi yang dirasakan oleh penderita. Kapan halusinasi terjalin?
Frekuensi terbentuknya apakah terus menerus ataupun cuma sekali-
kali? Suasana terbentuknya apakah kala sendiri, ataupun sehabis
terjalin peristiwa tertentu? Perihal ini dicoba buat memastikan
intervensi spesial pada waktu terbentuknya halusinasi, menjauhi
suasana yang menimbulkan timbulnya halusinasi, sehingga penderita
tidak larut dengan halusinasinya. Dengan mengenali frekuensi
terbentuknya halusinasi bisa direncanakan frekuensi aksi buat
menghindari terbentuknya halusinasi. Ketiga reaksi terhadap
halusinasi. Buat mengenali apa yang dicoba penderita kala halusinasi
itu timbul. Perawat bisa menanyakan pada penderita perihal yang
dialami ataupun dicoba dikala halusinasi mencuat. Perawat bisa pula
menanyakan kepada keluarga ataupun orang terdekat penderita. Tidak
hanya itu bisa pula dengan mengobservasi sikap penderita dikala
halusinasi mencuat (Akemat; Helena, Novy; Keliat, B. A; Nurhaeni,
2020 dan Akemat dan Keliat, 2021).
Adapun gejala dan tanda mayor pada klien dengan halusinasi antara
lain; data subjektif nya biasanya pasien mendengar suara bisikan atau
menglihat bayangan, merasakan sesuatu mealui indera perabaan,
penciuman atau pengecapan dan pada data objektif terdapat bias
sensori, respons menyimpang dan berlaga seolah melihat, mendengar,
mengecap, meraba atau mencium sesuatu (PPNI, 2016)
2. Diagnosis Keperawatan
Sehabis pengkajian dicoba serta informasi subjektif serta objektif
ditemui pada penderita, Diagnosa keperawatan yang bisa
diformulasikan merupakan gangguan persepsi sensori: halusinasi
(dengar, penglihatan, penghidu, serta perabaan) (PPNI, 2016 dan
Akemat dan Keliat, 2021).
3. Perencanaan
Tindakan Pada Individu
a. Tindakan keperawatan ners
Tindakan keperawatan pada pengidap halusinasi, yakni; 1) tidak
mendukung dan tidak membantah halusinasi klien. 2) latih klien
melawan halusinasi dengan menghardik. 3) latih klien
mengabaikan halusinasi dengan berlagak cuek. 4) latih klien
mengalihkan halusinasi dengan bercakap- cakap dan melakukan
kegiatan secara tertib. 5) latih klien minum obat dengan prinsip 8
benar yakni benar nama klien, benar nama obat, benar manfaat
obat, benar dosis obat, benar frekuensi, benar metode, bener
bersamaan pada kadaluwarsa dan benar dokumentasi. 6) diskusikan
manfaat yang didapatkan sehabis mempraktikan latihan
mengendalikan halusinasi dan 7) bagikan pujian pada klien disaat
mampu mempraktikan latihan mengendalikan halusinasi (Akemat;
Helena, Novy; Keliat, B. A; Nurhaeni, 2020; Daulima, N;
Hargiana, G; Keliat, B. A; Panjaitan, R.U; Putri, Y. S; Susanti, H;
Wardani, I. y; Yani, 2020; Akemat dan Keliat, 2021).
Penelitan yang dilakukan oleh Samal, M.H; Ahmad, (2018)
menunjukkan adanya kenaikan nilai keahlian klien mengendalikan
halusinasi. Dari hasil uji statistik mengunakan paired T. test Nilai-
T hitung- 18. 581 lebih dari nilai T tabel- 2. 160 hingga Ho di
tolak. Bersumber pada nilai signifikansi di miliki nilai signivikan
0, 01 kurang dari 0, 05 hingga ho di tolak Jadi bisa di simpulkan
terdapat pengaruh pelaksanaan asuhan keperawatan terhadap
keahlian klien mengendalikan halusinasi..
Bersumber pada riset yang dilakukan oleh Anna, (2019)
menunjukkan bahwa kalau penderita dapat menghardik halusinasi
dengan metode meminum obat secara tertib, penderita sanggup
mempraktekkan metode menghardik halusinasi, Penderita sanggup
mempraktekkan menghardik halusinasi dengan metode bercakap-
cakap dengan orang lain, Penderita berkata telah tau metode
menghardik halusinasi serta penderita sanggup melaksanakan
kegiatan semacam kerutinan yang dicoba dirumah.
b. Tindakan keperawatan spesialis
Tindakan keperawatan spesialis pada individu yaitu dengan
Cognitive Behavioral Theraphy (CBT). Cognitive Behavioral
Theraphy (CBT) merupakan pengobatan yang memusatkan atensi
pada aktivitas pola pikir destruktif dari benak serta sikap penderita.
Sebagian model aplikasi dalam pengobatan ini berbeda- beda,
terdapat yang menekankan pada proses kognitif daripada sikap,
terdapat yang secara merata menekankan dalam aspek kognitif,
sedangkan yang lain lebih memusatkan atensi pada perilakunya.
Pengobatan ini bertujuan buat mengajak penderita menentang
benak serta emosi yang salah dengan menunjukkan bukti- fakta
nyata yang berlawanan dengan kepercayaan penderita itu sendiri.
Pengobatan ini pada dasarnya meyakini kalau pola pemikirian
manusia tercipta lewat rangkaian stimulus– kognisi– reaksi,
dimana proses kognitif hendak jadi aspek berarti yang bisa
memastikan gimana manusia kala berfikir, merasakan serta
berperan (Putranto, 2016).
Adapaun kegiatan yang dilakukan tiap-tiap tahapan adalah: Sesi I:
mengenali pengalaman yang tidak mengasyikkan serta
memunculkan benak otomatis negatif serta sikap negatif. Sesi II:
melawan benak otomatis negatif. Sesi III: mengganti sikap negatif
jadi positif Sesi IV: menggunakan sistem pendukung. Sesi V:
mengevaluasi khasiat melawan benak negatif serta mengganti sikap
negatif (Daulima, N; Hargiana, G; Keliat, B. A; Panjaitan, R.U;
Putri, Y. S; Susanti, H; Wardani, I. y; Yani, 2020).
Hasil riset Dwi, Dinda dan Savitri, (2020) menunjukkan bahwa
sebelum dicoba Cognitive Behavioral Theraphy (CBT) lebih dari
sebagian (53%) mengalami kecemasan sedang. Sehabis dicoba
Cognitive Behavioral Theraphy (CBT) sebagian besar pasien
mengalami penurunan kecemasan (58%) tidak ada kecemasan
Pemberian terapi CBT bisa menurunkan kecemasan pada penderita
halusinasi.
Menurut Prihandini, C. W., Gandari, N. K. M., & Bunter, (2019)
menunjukkan bahwa pada pemberian terapi CBT memberi
pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap tingkatan
kekambuhan halusinasi pada penderita dengan halusinasi dengar
dengan nilai signifikansi sebesar 0,000.
Berdasrkan hasil riset Darianto, Lintong dan Ishardyanto, (2020)
menunjukkan bahwa diperoleh nilai-p = 0,000 (p <0,05). Dengan
demikian bisa dimaksud kalau pengobatan kognitif mempunyai
pengaruh pada pergantian indikasi halusinasi pada penderita
skizofrenia. nilai indikasi saat sebelum pengobatan adalah 42,05,
yaitu nilai indikasi setelah pengobatan adalah 18,37, dan nilai
selisih saat sebelum serta setelah adalah 23,668. Dapat diartikan
bahwa terjalin pergantian yang lumayan signifikan indikasi antara
saat sebelum serta setelah pengobatan kognitif.
Tindakan keperawatan spesialis pada individu yang lainnya yaitu
Terapi Penerimaan komitmen (acceptance commitment
therapy/ACT). Adapaun aktivitas yang dicoba tiap tahap adalah
Sesi I: mengenali pengalaman/ peristiwa yang tidak menyenagkan.
Sesi II: mengidentifikasi kondisi dikala ini serta menciptakan nilai-
nilai terpaut pengalaman yang tidak mengasyikkan. Sesi III:
berlatih menerima pengalaman/ peristiwa tidak mengasyikkan
memakai nilai- nilai yang diseleksi klien Sesi IV: berkomitmen
mengunakan nilai- nilai yang diseleksi klien buat menghindari
kekambuhan (Daulima, N; Hargiana, G; Keliat, B. A; Panjaitan,
R.U; Putri, Y. S; Susanti, H; Wardani, I. y; Yani, 2020).
Hasil riset Pardede (2019) terapi ACT dilakukan masing-masing
sesinya selama 30-45 menit dan hasilnya menunjukkan bahwa
adanya penurunan gejala halusinasi peningkatan kemampuan untuk
menerima dan berkomitmen pada pengobatan skizofrenia dan
kepatuhan klien yang mendapatkan terapi penerimaan dan
komitmen dan kepatuhan pengobatan pembelajaran.
Tindakan Pada Keluarga
a. Tindakan Keperawatan Ners
Tindakan keperawatan pada keluarga; 1) kaji kasus yang dirasakan
keluarga dalam melindungi klien. 2) jelaskan pengertian,
karakteristik dan gejala, serta proses terjadinya halusinasi yang
dialami klien. 3) diskusikan tata cara melindungi halusinasi dan
memutuskan tata cara melindungi yang sesuai dengan kondisi
klien. 4) melatih keluarga tata cara melindungi halusinasi dengan
tata cara; menghindari atmosfer yang memunculkan halusinasi,
membimbing klien melakukan latihan tata cara mengendalikan
halusinasi sesuai dengan yang dilatih perawat kepada klien,
berikan pujian atas keberhasilan klien. 5) mengaitkan segala
anggota keluarga buat bercakap- cakap secara bergantian,
memotivasi klien melakukan latihan dan bagikan pujian atas
keberhasilannya dan 6) menerangkann karakteristik dan gejala
halusinasi yang memerlukan rujukan lekas yakni isi halusinasi
yang memerintahkan kekerasan, serta melakukan follow up ke
pelayanan kesehatan secara tertib (Akemat; Helena, Novy; Keliat,
B. A; Nurhaeni, 2020; Daulima, N; Hargiana, G; Keliat, B. A;
Panjaitan, R.U; Putri, Y. S; Susanti, H; Wardani, I. y; Yani, 2020;
Akemat dan Keliat, 2021)
Hasil riset Susilawati dan Fredrika, (2019) menunjukkan bahwa
frekuensi pengetahuan keluarga frekuensi keahlian keluarga
dengan klien Skizofrenia halusinasi sehabis diberikan intervensi
strategi penerapan keluarga menampilkan kalau dari 15 orang
keluarga yang jadi responden didapatkan sebagian besar
pengetahuan responden dengan kategori tahu dan semua
kemampuan keluarga dengan kategori mampu hingga terdapat
pengaruh intervensi strategi penerapan keluarga terhadap
pengetahuan serta keahlian keluarga dalam menjaga klien
Skizofrenia dengan halusinasi.
b. Tindakan keperawatan spesialis: Psikoedukasi Keluarga
Psikoedukasi kelaurga merupakah salah satu unsur metode
perawatan kesehatan jiwa pada keluarga dengan cara pemberian
data juga bimbingan lewat komunikasi yang terapeutik. Tujuan
dari psikoedukasi keluarga ini antara lain merupakan: menguasai
permasalahan yang dirasakan oleh anggota keluarga dengan
skizofrenia, menanggulangi permasalahan pada diri sendiri yang
timbul sebab menjaga anggota keluarga dengan skizofrenia,
menanggulangi beban yang timbul sebab terdapatnya anggota
keluarga dengan skizofrenia, menggunakan fasilitas di komunitas
buat menolong keluarga (Stuart, 2013).
Adapaun aktivitas yang dilakukan tiap-tiap sesi adalah Sesi I:
mengenali permasalahan kesehatan yang dirasakan klien serta
permasalahan kesehatan keluarga (care giver) dalam menjaga
klien. Sesi II: menjaga permasalahan kesehatan klien. Sesi III:
manajemen tekanan pikiran buat keluarga. Sesi IV: manajemen
beban buat keluarga. Sesi V: menggunakan sistem pendukung serta
Sesi VI: mengevaluasi khasiat pasikoedukasi keluarga (Daulima,
N; Hargiana, G; Keliat, B. A; Panjaitan, R.U; Putri, Y. S; Susanti,
H; Wardani, I. y; Yani, 2020)
Hasil riset yang dilakukan oleh Mumpuni, Winarni dan Haedar,
(2018) kekambuhan pengidap skizofrenia saat sebelum diberikan
family psychoeducation dari 20 responden yang hadapi
kekambuhan 20 responden (100%), sdangkan setelah diberikann
family psychoeducation yang hadapi yang tidak kambuh 17 (85%)
yaang kambuh 3 (15%) terdapat pengaruh kekambuhan saat
sebelum serta setelah diberikan family psycoeducation.
Pengetahuan serta keahlian keluarga dalam mengalami stresor
sepanjang menjaga anggota keluarga dengan skizofrenia bisa
mencinptakan area yang aman serta kondusif sehingga menolong
memulihkan keadaan klien dan kurangi serta menghindari
kekambuhan pengidap skizofrenia. Kemudian penelitian yang
dilakukan oleh Rosmaharani, Noviana dan Susilowati, (2019)
menunjukkan terdapat pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap
pengetahuan keluarga dalam menjaga anak retardasi mental.
Penelitian yang dilakukan oleh Fahrizal, Mustikasari dan Daulima,
(2020) menujukkan kalau tiap penderita memperoleh aksi generalis
dan aksi ners spesialis latihan asertif serta psiko- bimbingan
keluarga yang tiap- tiap terdiri dari 5 tahap. Hasil pelaksanaan
pengobatan latihan asertif serta psikoedukasi keluarga
menampilkan terbentuknya penyusutan ciri serta indikasi resiko
sikap kekerasan dan terbentuknya kenaikan keahlian penderita
dalam menanggulangi resiko sikap kekerasan.
Penelitian yang dilakukan oleh Solehah, Suhita dan Peristiowati,
(2019) menunujukkan diperoleh dikala sebelum diberikan
psikoedukasi pada keluarga skizofrenia sebagian besar memiliki
efikasi diri yang rendah dalam mengobati penderita sebanyak 29
responden (70,7%) dan sehabis diberikan psikoedukasi mayoritas
memiliki efikasi diri yang besar sebanyak 32 responden (78%)
dengan nilai signifikansi kedua variabel tersebut hingga ada
pengaruh psiko bimbingan terhadap efikasi diri pada keluarga
skizofrenia.
Kemudian hasil riset Eryanto, (2019) menunjukkan bahwa adanya
peningkatan pengetahuan sehabis dilakukan post test 11.80. Hasil
analisis didapatkan nilai P value 0,000 ada perbandingan signifikan
antara pengetahuan pre test caregiver dengan pengetahuan post test
caregiver. Mengenai ini menunjukkan kalau tata cara video
mempunyai efektifitas dalam tingkatkan pengetahuan caregiver
dalam melindungi klien halusinasi.
Tindakan Pada Kelompok Klien
a. Tindakan keperawatan Ners : TAK Stimulasi persepsi halusinasi
dan TAK orientasi realitas
Terapi pada keperawatan yang dibesarkan dan dipusatkan bagi
klien secara individu, kelompok, keluarga ataupun kognisi. Salah
satunya yakni terapi aktivitas kelompok (Direja, 2011). Terapi
aktivitas kelompok ialah salah satu terapi modalitas yang dicoba
perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah yang
sama. Terapi aktivitas kelompok dipecah jadi empat, yakni terapi
aktivitas kelompok stimulasi persepsi, terapi aktivitas kelompok
stimulasi sensoris, terapi aktivitas kelompok sosialisasi dan terapi
aktivitas kelompok orientasi realitas (Yosep, I dan Sutini, 2016).
Kelompok ialah kumpulan individu yang mempunyai jalinan satu
dengan yang lain, silih bergantung serta mempunyai norma yang
sama (Stuart, 2013).
Terapi aktivitas kelompok (TAK) bertujuan memberikan guna
terapi bagi anggotanya, yang tiap anggota berkesempatan buat
menerima dan membagikan umpan balik terhadap anggota yang
lain, berupaya dengan metode baru buat tingkatkan respons sosial,
serta harga diri. Keuntungan lain yang diperoleh anggota kelompok
yakni adanya sokongan pendidikan, tingkatkan kemampuan
pemecahan permasalahan, serta tingkatkan jalinan interpersonal
(Yusuf dkk, 2015).
Adapaun kegiatan yang dilakukan tiap-tiap sesi adalah Sesi I:
memahami halusinasi (tipe, isi, frekuensi, waktu, suasana, reaksi).
Sesi II: melawan halusinasi dengan menghardik. Sesi III: melawan
halusinasi dengan melaksanakan aktivitas terjadwal. Sesi IV:
melawan halusinasi dengan bercakap-cakap serta de- enskalasi
serta Sesi V: patuh 8 benar minum obat (benar nama klien, benar
nama obat, benar dosis obat, benar waktu pemberian, benar
metode, benar khasiat, benar kedaluwarsa serta benar dokumentasi)
(Daulima, N; Hargiana, G; Keliat, B. A; Panjaitan, R.U; Putri, Y.
S; Susanti, H; Wardani, I. y; Yani, 2020).
Hasil riset Livana et al., (2018) menampilkan kalau TAK bisa
digunakan buat mengendalikan halusinasi terbukti dari 20
responden didapatkan hasil pretest sebanyak 13 responden maupun
65% hadapi halusinasi sedang, sehabis dicoba TAK didapatkan
hasil postest sebanyak 12 responden ataupun 60 terletak dalam
kategori ringan. Kemudian penelitian Arisandy, (2018) terdapat
peningkatan mengendalikan halusinasi sebesar 41% melalui terapi
aktivitas kelompok stimulasi persepsi. Terdapat ikatan yang
bermakna antara terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi
dengan keahlian penderita mengendalikan sikap kekerasan.
Penelitian yang dilakukan oleh Sepalanita dan Khairani, (2019)
hasil nilai rerata prettest dan posttest terdapat selisih nilai rerata
7,76. Berarti, terdapat pengaruh berbentuk kenaikan keahlian
mengendalikan halusinasi, dilihat dari selisih nilai rerata dari
prettest ke posttest cuma sebesar 7,76 pada variabel keahlian
mengendalikan halusinasi, sehabis intervensi pengobatan kegiatan
kelompok.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumartyawati, (2019) Setelah
diberikan terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi kepada
responden rata-rata berada pada frekuensi 3 kali dalam 3 hari
terakhir (5 responden dari 10 responden). Dan setelah diberikan
terapi religius dzikir kepada responden frekuensi responden rata-
rata berada pada frekuensi 3 kali dalam 3 hari terakhir (6
responden dari 10 responden) Ada perbedaan daya guna
pengobatan kegiatan kelompok stimulasi anggapan serta
pengobatan religius dzikir terhadap frekuensi halusinasi rungu
pada penderita halusinasi. terapi aktivitas kelompok stimulasi
persepsi menunjukkan nilai mean yang lebih tinggi dibandingkan
dengan terapi religius dzikir yang berarti lebih efektif terapi
aktivitas kelompok stimulasi persepsi terhadap frekuensi halusinasi
pendengaran.
Setelah itu riset yang dilakukan oleh oleh Pujiningsih, Erniawati
dan Zulfiarti, (2019) menampilkan kalau terdapat pengaruh Terapi
Aktivitas Kelompok: Stimulasi Persepsi Sesi III-IV terhadap
keahlian klien mengendalikan halusinasi dengan nilai p value =
0.028.
TAK orientasi realitas menubuhkan ikhtisar guna
mengorientasikan konteks nyata kepada klien. Hasil dialog
kelompok bisa berbentuk konvensi anggapan ataupun alternatif
penyelesaian permasalahan (Keliat, 2016). Adapaun kegiatan yang
dilakukan masing-masing sesi adalah Sesi I: pengenalan orang.
Sesi II: pengenalan tempat dan sesi III: pengenalan waktu (Akemat
dan Keliat, 2021).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Rohmani; Lestari, 2020)
bahwa TAK sesi 1-4 memiliki pengaruh terhadap keahlian
komunikasi verbal dan non verbal pada penderita halusinasi.
b. Tindakan keperawatan spesialis: Terapi suportif
Supportive therapy merupakan wujud psikoterapi yang bisa
diterapkan secara individu ataupun kelompok. Tujuan dari terapi
ini yakni untuk melaksanakan penilain diri, memandang kembali
metode menempuh hidup, eksplorasi bermacam opsi yang terdapat,
serta mengajukan persoalan pada diri sendiri terpaut hal-hal yang
diidamkan di masa depan (Palmer, 2011).
terapi suportif mempunyai tujuan buat menguatkan guna psikologis
subjek supaya lebih sehat serta diharapkan timbul pola- pola sikap
yang lebih adaptif. Tujuan lain dari terapi suportif merupakan
kurangi konflik intrapsikis yang kerapkali berakibat pada
timbulnya tanda-tanda kendala mental. Empati, dorongan serta
sokongan ialah aspek yang wajib diberikan oleh terapis. Tidak
hanya itu terapis pula butuh membangun ikatan silih yakin.
Keyakinan seseorang klien pada terapis hendak membagikan
pengaruh dalam proses terapi (Mutiara, 2017).
Sesi I: identifikasi permasalahan serta sumber pendukung didalam
serta diluar keluarga. Sesi II: latihan memakai sistem pendukung
dalam keluarga. Sesi III: latihan memakai sistem pendukung luar
keluarga serta Sesi IV: penilaian hasil serta hambatan pemakaian
sumber pendukung (Daulima, N; Hargiana, G; Keliat, B. A;
Panjaitan, R.U; Putri, Y. S; Susanti, H; Wardani, I. y; Yani, 2020).
Hasil penelitian Miranti et al., (2019) menampilkan kalau sehabis
dicoba supportive therapy subjek mulai terbuka dengan keluarga,
aktif menjajaki aktivitas dengan masyarakat lain di area sekitarnya.
Lebih bijaksana dalam menyikapi kasus, serta mengatakan
permasalahannya kepada anggota keluarga. Semangat bekerja serta
mempunyai motivasi yang positif terhadap dirinya. Hidup lebih
tertib serta lebih terencana. Giat minum obat dengan pas waktu.
Supportive therapy bisa menolong subjek dalam menguasai
perasaan, fikiran serta perilakunya.
Penelitian yang dilakukan oleh (Fitriani, 2018) menunjukkan
bahwa kalau psikoterapi suportif bisa menolong pengidap
skizofrenia hebefrenik mempersiapkan diri buat kembali
melaksanakan gunanya dalam kehidupan tiap hari. Ada pergantian
dalam aspek benak, perasaan, serta sikap yang lebih adaptif
sehingga bisa merendahkan mungkin kekambuhan. Hasil riset ini
pula menampilkan kalau psikoterapi suportif hendak lebih efisien
bila mengaitkan kedudukan keluarga secara aktif.
Penelitian Ayu et al., (2020) didapatkan hasil kalau subjek telah
mulai lama- lama jadi individu yang terbuka menimpa
perasaannya, secara lama- lama pula telah lebih sanggup
mengendalikan perasaannya serta mempunyai semangat serta
harapan buat masa depannya. Kemudian penelitian yang dilakukan
oleh Emilyani, (2019) terapi suportif mempunyai pengaruh
signifikan terhadap kemandirian penderita shizophrenic yang
hadapi defisit perawatan diri.
4. Implementasi
Implementasi merupakan sesuatu aktivitas yang dicoba perawat/
penerapan perawat yang dicoba kepada klien (Afnuhazi, 2015). Dalam
melaksanakan implementasi keperawatan ataupun aksi keperawatan
disesuaikan dengan rencana aksi keperawatan yang sudah terbuat
(Kusumawati, F dan Hartono, 2012). Upaya ideal penatalaksanaan
klien dengan skizofrenia dalam mengatasi hambatan halusinasi di
rumah sakit antara lain melakukan penerapan standar asuhan
keperawatan, penyembuhan aktivitas kelompok dan melatih keluarga
buat melindungi pengidap dengan halusinasi. Strategi penerapan pada
penderita halusinasi mencakup aktivitas memahami halusinasi,
mengarahkan penderita menghardik halusinasi, minum obat dengan
tertib, bercakap- cakap dengan orang lain dikala halusinasi timbul, dan
melaksanakan kegiatan terjadwal buat menghindari halusinasi
(Akemat; Helena, Novy; Keliat, B. A; Nurhaeni, 2020; Daulima, N;
Hargiana, G; Keliat, B. A; Panjaitan, R.U; Putri, Y. S; Susanti, H;
Wardani, I. y; Yani, 2020; Akemat dan Keliat, 2021).
Pemberian implementasi keperawatan buat menolong klien
menanggulangi halusinasinya diawali dengan membina ikatan silih
yakin dengan klien. Silih yakin sangat berarti dijalin saat sebelum
mengintervensi klien lebih lanjut. Pertama- tama klien wajib
difasilitasi buat mendapatkan rasa nyaman serta aman buat
menggambarkan pengalaman halusinasinya sehingga data yang
berkaitan tentang halusinasinya bisa komprehensif. Buat itu perawat
wajib mengawali menghadirkan diri, menarangkan tujuan interaksi,
membuat kontrak asuhan keperawatan, memperlihatkan perilaku tabah,
penerimaan yang tulus serta aktif mendengar. Jauhi menyalahkan
ataupun reaksi tertawa dikala klien menggambarkan pengalaman aneh
yang menggelikan (Kusumawati, F dan Hartono, 2012).
Hasil penelitian Andri, Juli; Febriawati, Henni, Panzilion; Sari, Selvia
dan Utama, (2019) didapatkan rata-rata pengendalian diri klien
halusinasi sebelum implementasi yakni 7,80. sebaliknya untuk rata-
rata setelah dilakukan implementasi yakni 11,50. Hasil uji statistik
menampilkan kalau terdapat pengaruh implementasi keperawatan
dengan pengendalian diri klien halusinasi pada penderita skizofrenia.
5. Evaluasi
sehabis tindakan keperawatan, lekas lakukan evaluasi. Evaluasi
terhadap permasalahan keperawatan halusinasi melingkupi; penurunan
ciri halusinasi, peningkatan kemampuan klien mengatur halusinasi dan
kenaikan kemampuan keluarga dalam menjaga klien (Akemat; Helena,
Novy; Keliat, B. A; Nurhaeni, 2020; Daulima, N; Hargiana, G; Keliat,
B. A; Panjaitan, R.U; Putri, Y. S; Susanti, H; Wardani, I. y; Yani,
2020; Akemat dan Keliat, 2021).
Hasil riset yang dilakukan oleh Anna, (2019) menujukkan kalau
penderita bisa mempraktekkan metode menghardik halusinasi.
Kemudian riset yang dilakukan oleh Samal, M.H; Ahmad, (2018)
sebagian responden mengalami kenaikan keahlian mengendalikan
halusinasi yang yang sangat kilat. terdapat impresi pelaksanaan asuhan
keperawatan akan keahlian klien mengontrol halusinasi.
DAFTAR PUSTAKA

Afnuhazi, R. (2015) Komunikasi Terapeutik dalam Keperawatan Jiwa.


Yogyakarta: Gosyen Publishiin.

Akemat; Helena, Novy; Keliat, B. A; Nurhaeni, H. (2020) Keperawatan


Kesehatan Jiwa Komuitas CMHN (Basic Course). Jakarta: EGC.

Akemat dan Keliat, B. A. (2021) Model Praktik Keperawatan Profesional


Jiwa. EGC.

Andri, Juli; Febriawati, Henni, Panzilion; Sari, Selvia dan Utama, D.


(2019) ‘Implementasi Keperawatan dengan Pengendalian Diri Klien Halusinasi
Pada Pasien Skizofrenia’, Jurnal Kesmas Asclepius, 1(2), pp. 146–155. doi:
https://doi.org/10.31539/jka.v1i2.922.

Anna, N. (2019) ‘Penerapan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Halusinasi


Pendengaran Di Ruang Kenanga Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan’, Media Keperawatan: Politeknik Kesehatan Makassar, 10(2), p. 97. doi:
10.32382/jmk.v10i2.1310.

Arisandy, W. dan S. (2018) ‘Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi


berhubungan dengan kemampuan pasien dalam mengontrol perilaku kekerasan’,
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah, 14(1), pp. 83–90. doi:
10.31101/jkk.553.

Ayu, M. et al. (2020) ‘Penggunaan Terapi Suportif untuk Membantu


Pasien Skizofrenia Paranoid menjadi Lebih Tenang dan Mampu Berkomunikasi
Lebih Baik’, Prosiding Seminar & Lokakarya Nasional Bimbingan dan
Konseling, pp. 304–313.

Azizah, Lilik; Zainuri, I. A. A. (2016) Buku Ajar Keperawatan Kesehatan


Jiwa Teori dan Aplikasi Praktik Klinik, Indomedia Pustaka.
Damaiyanti, M dan Iskandar, I. (2012) Asuhan Keperawatan Jiwa.
Bandung: Refika Aditama.

Darianto, Lintong dan Ishardyanto, H. (2020) ‘The Effects of Cognitive


Therapy on Changes in Smptoms of Hallucinations in Schizophrenic Patient’,
Indian Journal of Public Health Research & Development, 11(10), pp. 249–255.

Daulima, N; Hargiana, G; Keliat, B. A; Panjaitan, R.U; Putri, Y. S;


Susanti, H; Wardani, I. y; Yani, A. (2020) Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta:
EGC.

Direja, A. H. . (2011) Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:


Nuha Medika.

Dwi, Dinda dan Savitri, M. (2020) ‘Pengaruh Cognitive Behavioral


Theraphy Terhadap Penurunan Kecemasan Pasien Halusinasi di Puskesmas Jiwa
Kalitidutu Bojonegoro’, Jurnal Surya, 1(2), pp. 1–10.

Emilyani, D. (2019) ‘Pengaruh Terapi Kelompok Suportif Terhadap


Kemandirian pasien Skizofrenia yang Mengalami Defisit Perawatan Diri Di
Rumah Sakit Jiwa Provinsi NTB’, Jurnal Analis Medika Biosains (JAMBS), 2(2),
pp. 336–347.

Eryanto, B. (2019) ‘Pendidikan Kesehatan Menggunakan Metode Video


untuk Meningkatkan Pengetahuan Caregiver dalam Merawat Klien Halusinasi’,
Media Komunikasi Ilmu Kesehatan, 12(02), pp. 10–16.

Fahrizal, Y., Mustikasari, M. and Daulima, N. H. C. (2020) ‘Changes in


The Signs, Symptoms, and Anger Management of Patients with A Risk of Violent
Behavior After Receiving Assertive Training and Family Psychoeducation Using
Roy’s Theoretical Approach: A Case Report’, Jurnal Keperawatan Indonesia,
23(1), pp. 1–14. doi: 10.7454/jki.v23i1.598.

Fitriani, A. (2018) ‘Psikoterapi Suportif Pada Penderita Skizofrenia


Hebefrenik’, Proyeksi, 13(2), pp. 123–133.
Keliat, B. dan P. (2016) Keperawatan Jiwa: Terapi Aktivitas Kelompok.
2nd edn. Jakarta: EGC.

Kusumawati, F dan Hartono, Y. (2012) Buku ajar Keperawatan Jiwa.


Jakrta: Salemba Medika.

Livana et al. (2018) ‘Peningkatan kemampuan pasien dalam mengontrol


halusinasi melalui terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi’, Jurnal Ners
Widya Husada, 5(1), pp. 35–40. Available at:
http://stikeswh.ac.id:8082/journal/index.php/jners/article/view/328/335.

Miranti, D. et al. (2019) ‘Supportive Therapy Sebagai Media Untuk


Meningkatkan Kepercayaan Diri Pada Pasien Skizofrenia Paranoid’, Seminar
Nasional Multidisiplin 2019, (ISSN : 2654-3184), pp. 173–179.

Muhith, A. (2015) Pendidikan Keperawatan Jiwa (Teori dan Aplikasi).


Yogyakarta: Andi.

Mumpuni, R. Y., Winarni, I. and Haedar, A. (2018) ‘Efektifitas Pemberian


Family Psychoeducation (FPE) Terhadap Kekambuhan Penderita Skizofrenia di
Kota Kediri’, Medica Majapahit, 9(1), pp. 1–32.

Mutiara (2017) ‘Penerapan Terapi Suportif untuk Meningkatkan


Manajemen Emosi Negatif pada Individu yang Memiliki Pasangan Skizofrenia’,
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni, 1(1), pp. 105–115. doi:
10.24912/jmishumsen.v1i1.340.

Nurarif, A.H dan Kusuma, H. (2015) Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 2. Jogjakarta:
Media Action.

Palmer (2011) Introduction to counselling and psychoterapy : the essential


guide (konseling dan psikoterapi). Bandung: Sage Publication.
Pardede, J. A. (2019) ‘The Effects Acceptance and Aommitment Therapy
and Health Education Adherence to Symptoms, Ability to Accept and Commit to
Treatment and Compliance in Hallucinations Clients Mental Hospital of Medan,
North Sumatra’, Journal of Psychology and Psychiatry Studies Inno, 1(1), pp. 30–
35. doi: 10.3619/JPPS.1000106.

PPNI (2016) Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan


Indikator Diagnostik. 1st edn. Jakarta: DPP PPNI.

Prihandini, C. W., Gandari, N. K. M., & Bunter, N. W. (2019) ‘Pengaruh


Cognitive Behavior Therapy Terhadap Penurunan Tingkat Kekambuhan
Halusinasi Dengar’, Journal Center of Research Publication in Midwifery and
Nursing, 3(2), pp. 46–50.

Pujiningsih, Erniawati dan Zulfiarti, F. (2019) ‘Pengaruh Terapi Aktifitas


Kelompok Terhadap Kemampuan Klien Mengontrol Halusinasi di RSJ Mutiara
Sukma’, JIKF, 7(1), pp. 42–45.

Putranto, K. (2016) Aplikasi Cognitive Behavior Dan Behavior Activation


Dalam Intervensi Klinis. Jakarta: Grafindo Books Medika Retha.

Rohmani; Lestari, N. K. (2020) ‘Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok


Terhadap Kemampuan Komunikasi Verbal Pasien Halusinasi di Rumah Sakit
Jiwa Abepura’, Jurnal Keperawatan Tropis Papua, 03(01), pp. 151–156.
Available at: http://jurnalpoltekkesjayapura.com/index.php/jktp.

Rosmaharani, S., Noviana, I. and Susilowati, A. (2019) ‘Optimalisasi


Pengetahuan Keluarga Dalam Merawat Anak Retardasi Mental Melalui
Psikoedukasi Keluarga di Kabupaten Jombang’, Jurnal Keperawatan BSI, 7(2),
pp. 108–113.

Samal, M.H; Ahmad, A. K. S. (2018) ‘Pengaruh Penerapan Asuhan


Keperawatan Pada Klien Halusinasi Terhadap Kemampuan Klien mengontrol
Halusinasi di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan’, Jurnal Ilmiah Kesehatan
Diagnosis, 12(5), pp. 546–549.
Sepalanita, W. and Khairani, W. (2019) ‘Pengaruh Terapi Aktivitas
Kelompok dengan Stimulasi Persepsi terhadap Kemampuan Mengontrol
Halusinasi pada Pasien Skizofrenia’, Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi,
19(2), pp. 426–431. doi: 10.33087/jiubj.v19i2.690.

Solehah, E., Suhita, B. and Peristiowati, Y. (2019) ‘The Influence of


Psikoedukasi on Stress Management in Improving Self Efficacy and Coping
Mechanism of Families in Caring for Caring for ODGJ Patient (Schizophrenia) at
Public Health Center of Balowerti Kediri Regency’, Strada Jurnal Ilmiah
Kesehatan, 8(1), pp. 41–50. doi: 10.30994/sjik.v8i1.208.

Stuart, G. W. (2013) Principles and Practice of Psychiatric Nursing Tenth


Edition 10. Saint Louis: Mosby Elsevier.

Sumartyawati, N. S. S. (2019) ‘Efektifitas Terapi Aktivitas Kelompok


Stimulasi Persepsi dan Terapi Religius Teradap Frekuensi Halusinasi’, Prima,
5(1), pp. 46–52.

Susilawati, S. and Fredrika, L. (2019) ‘Pengaruh Intervensi Strategi


Pelaksanaan Keluarga terhadap Pengetahuan dan Kemampuan Keluarga dalam
Merawat Klien Skizofrenia dengan Halusinasi’, Jurnal Keperawatan Silampari,
3(1), pp. 405–415. doi: 10.31539/jks.v3i1.898.

Yosep, I dan Sutini, T. (2016) Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung:


Refika Aditama.

Yusuf dkk (2015) Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:


Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai