Disusun Oleh :
NPM. 215120023
2021
A. KONSEP HALUSINASI
1. Pengertian
Halusinasi merupakan gejala dari skizofrenia, 70 % skizofrenia
diantaranya mengalami halusinasi. Halusinasi adalah tidak adanya
kemampuan untuk membedakan pikiran internal dengan rangsangan
dari pikiran luar/ dunia luar. Pasien memberitahukan persepsi keadaan
lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata (Direja, 2011;
Azizah, Lilik; Zainuri, 2016; PPNI, 2016). Halusinasi adalah
gangguan jiwa yang berupa respon dari perubahan sensori persepsi
panca-indra terhadap stimulus yang tidak nyata. Pasien dengan
halusinasi merasakan sensasi seperti suara, penglihatan, pengecapan,
perabaan ataupun penghiduan tanpa stimulus nyata (Nurarif, A.H dan
Kusuma, 2015; Akemat; Helena, Novy; Keliat, B. A; Nurhaeni, 2020;
Daulima, N; Hargiana, G; Keliat, B. A; Panjaitan, R.U; Putri, Y. S;
Susanti, H; Wardani, I. y; Yani, 2020; Akemat dan Keliat, 2021).
Halusinasi didefinisikan sebagai kesan atau pengalaman
sensorik yang salah (Stuart, 2013). Halusinasi merupakan gejala dari
gangguan jiwa dimana klien akan mengalami perubahan sensorik
persepsi panca-indra. Penderita halusinasi merasakan stimulus yang
tidak ada. Respons dari halusinasi dapat mencakup kecurigaan,
ketakutan, perasaan tidak aman, kecemasan, dan kebingungan, perilaku
yang merusak diri sendiri, kurangnya perhatian, ketidakmampuan
untuk membuat keputusan dan tidak dapat membedakan antara pikiran
nyata dan tidak nyata. Penderita skizofrenia akan mengalami halusinasi
akibat dari ketidakmampuan pasien dalam menghadapi stresor dan
kurangnya kemampuan untuk mengenali dan mengontrol halusinasi
yang akan menimbulkan suatu gejala (Damaiyanti, M dan Iskandar,
2012).
2. Jenis-jenis Halusinasi
Jenis- jenis halusinasi antara lain; pertama halusinasi pendengaran,
mendengar suara ataupun kebisingan, sangat kerap suara orang. Suara
berupa kebisingan yang kurang jelas hingga perkata yang jelas
berdialog tentang klien, apalagi hingga pada obrolan lengkap antara 2
orang yang hadapi halusinasi. Benak yang terdengar dimana klien
mendengar perkataan kalau klien disuruh buat melaksanakan suatu
kadangkala bisa membahayakan. Kedua halusinasi penglihatan
stimulus visual dalam wujud kilatan sinar, foto geometris, foto kartun,
bayangan yang rumit ataupun lingkungan. Bayangan bias yang
mengasyikkan ataupun menakutkan semacam memandang monster.
Ketiga halusinasi penghidung membaui bau- bauan tertentu semacam
bau darah, kemih, serta feses biasanya bau- bauan yang tidak
mengasyikkan. halusinasi penghidu kerap akibat stroke, tumor, kejang,
ataupun dimensia. Keempat halusinasi pengecapan merasa mengecap
rasa semacam rasa darah, kemih ataupun feses. Kelima perabaan
hadapi nyeri ataupun ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa
tersetrum listrik yang tiba dari tanah, barang mati ataupun orang lain
(Azizah, Lilik; Zainuri, 2016; Yosep, I dan Sutini, 2016).
3. Etiologi
Menurut Daulima dkk (2020) ada beberapa penyebab
terjadinya halusinasi yaitu; kurang tidur, isolasi sosial, mengurung diri
dan kurang kegiatan sosial.
4. Rentang Respon Halusinasi
Rentang respon neuribiologis halusinasi yang paling adaptif yaitu
adanya persepsi akurat. Persepsi akurat merupakan suatu pandangan
yang tepat pada suatu kenyataan. Masalah psikososial yaitu ilusi. Ilusi
merupakan suatu penilaian yang salah tentang penerapan yang benar-
benar terjadi atau objek nyata karena rangsangan dari panca indera
dan sedangkan respon maladaptif yaitu halusinasi. Halusinasi
merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang
tidak realita (Stuart, 2013; Azizah, Lilik; Zainuri, 2016; Akemat;
Helena, Novy; Keliat, B. A; Nurhaeni, 2020).
5. Fase-fase halusinasi
Fase- fase halusinasi antara lain; fase I: comforting ansietas sedang dan
termasuk halusinasi mengasyikkan“ mengasyikkan”. Ciri dari fase I ini
klien mendapati ansietas, kesepian, rasa bersalah serta khawatir,
berupaya buat berfokus pada benak yang mengasyikkan buat
meredakan ansietas. Orang mengidentifikasi kalau benak serta
pengalaman sensori dalam kendali pemahaman bila ansietas bisa
ditangani (non psikotik). Fase II: condemning ansietas berat termasuk
halusinasi naik menjijikkan “menyalahkan”. Ciri dari fase II ini
pengalaman sensori menjijikan serta menakutkan klien lepas kendali
serta bisa jadi berupaya buat mengambil jarak dirinya dengan sumber
yang dipersepsikan. Klien bisa jadi hadapi dipermalukan oleh
pengalaman sensori serta menarik diri dari orang lain serta tercantum
psikotik ringan. Fase III: controlling ansietas berat kemahiran sensori
jadi berpengaruh “mengatur”. Ciri dari fase III klien menyudahi
ataupun menghentikan perlawanan terhadap halusinasi serta menyerah
pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi jadi menarik, klien bisa jadi
hadapi pengalaman kesepian bila sensori halusinasi menyudahi
tercantum ke psikotik. Fase IV: conquering panik biasanya jadi
melebur dalam halusinasinya. Ciri dari fase IV Pengalaman sensori
jadi mengecam bila klien menjajaki perintah halusinasi. Halusinasi
berahir dari sebagian jam ataupun hari bila tidak terdapat intervensi
terapiutik tercantum psikotik berat (Muhith, 2015; Azizah, Lilik;
Zainuri, 2016; Yosep, I dan Sutini, 2016).
6. Faktor Predisposisi
Aspek predisposisi yang menimbulkan halusinasi merupakan; aspek
pertumbuhan tugas pertumbuhan klien tersendat misalnya rendahnya
kontrol serta kehangatan keluarga menimbulkan klien tidak sanggup
mandiri semenjak kecil, gampang frustasi, lenyap yakin diri serta lebih
rentan terhadap stress. Aspek sosiokultural seorang yang merasa tidak
diterima lingkungannya semenjak balita hendak merasa disingkirkan,
kesepian, serta tidak yakin pada lingkungannya. Aspek biokimia
memiliki pengaruh terhadap terbentuknya kendala jiwa. Terdapatnya
stress yang kelewatan dirasakan seorang hingga di dalam badan
hendak dihasilkan sesuatu zat yang bisa bertabiat halusinogenik
neurokimia. Akibat stress berkelanjutan menimbulkan teraktivasinya
neurotransmitter otak. Aspek psikologis jenis karakter lemah serta
tidak bertanggung jawab gampang terjerumus pada penyalahgunaan
zat adiktif. Hal ini akan mempengaruhi klien pada ketidakmampuan
dalam mengambil ikhtisar yang layak demi masa depannya. Klien akan
lebih memilah kesenangan sesaat serta akan mengarah ke alam
hayalan. Aspek genetik serta pola asuh riset menampilkan kalau anak
sehat yang diurus oleh orang tua skizofrenia cenderung hadapi
skizofrenia. Hasil riset menampilkan kalau aspek keluarga
menampilkan ikatan yang sangat mempengaruhi pada penyakit ini
(Stuart, 2013; Azizah, Lilik; Zainuri, 2016; Yosep, I dan Sutini, 2016).
7. Faktor Presipitasi
Aspek presipitasi terbentuknya kendala halusinasi merupakan: biologis
kendala dalam komunikasi serta putaran balik otak, yang
mengendalikan proses data dan abnormalitas pada mekanisme pintu
masuk dalam otak yang menyebabkan ketidakmampuan buat secara
selektif menjawab stimulus yang diterima oleh otak buat
diinterpretasikan. Stress area ambang toleransi terhadap stress yang
berhubungan terhadap stressor area buat memastikan terbentuknya
kendala sikap. Sumber koping pengaruhi reaksi orang dalam
menjawab stressor (Stuart, 2013 dan Azizah, Lilik; Zainuri, 2016).
8. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang kerap digunakan klien dengan halusinasi
antara lain: Regresi Proses buat menjauhi stress, kecemasan serta
menunjukkan sikap kembali pada sikap pertumbuhan anak ataupun
berhubungan dengan permasalahan proses data serta upaya buat
mengatasi ansietas. Proyeksi Kemauan yang tidak bisa di toleransi,
mencurahkan emosi pada orang lain sebab kesalahan yang dicoba diri
sendiri (selaku upaya buat menarangkan kerancuan bukti diri).
Menarik diri Respon yang ditampilkan bisa berbentuk respon raga
ataupun psikologi Respon raga ialah orang berangkat ataupun lari
menjauh sumber stressor, sebaliknya respon psikologis ialah
menampilkan sikap apatis, mengisolasi diri, tidak berminat, kerap
diiringi rasa khawatir serta bermusuhan (Muhith, 2015 dan Yosep, I
dan Sutini, 2016).