Dokumen - Tips Makalah Toksikologi 55888ed22a805
Dokumen - Tips Makalah Toksikologi 55888ed22a805
TOKSISITAS
Disusun Oleh :
Kelompok VII
FAKULTAS FARMASI
2014
3
BAB I
PENDAHULUAN
Efek toksik suatu racun terjadi akibat interaksi antar racun, dan tempat aksinya
secara langsung atau tidak langsung. Tingkat toksik atau ketoksikan racun tersebut
ditentukan oleh keberadaannya di tempat aksi dan keefektifan antaraksinya
dengan tempat aksi itu. Keberadaan racun di tempat aksi tertentu, ditentukan oleh
keefektifan translokasi (absorpsi, distribusi, eliminasi)nya di dalam tubuh. Bila
demikian, ketoksikan racun ditentukan oleh keefektifan translokasi dan
keefektifan antaraksinya dengan tempat aksi tertentu. Karena itu, faktor apa pun
yang dapat mempengaruhi kedua penentu tersebut, akan mempengaruhi
ketoksikan racun.
4
Respon makhluk hidup terhadap ketoksikan suatu senyawa atau racun
beraneka ragam, bergantung pada aneka faktor. Antara lain faktor biologi, kimia
dan genetika , disamping kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup.
5
BAB II
ISI
6
dipejankan pada jaringan biologi, dengan maksud untuk mencapai
pengaruh atau efek khas ( misalnya obat,zat tambahan makanan, dan
pestisida ).
Toksikologi kehakiman merupakan cabang ilmu toksikologi yang
mengkaji aspek medis dan aspek hukum atas pemgaruh berbahaya zat
kimia pada manusia.
7
2.3.1.1 Faktor kimia
Seperti telah diketahui, di dalam tubuh terdapat beraneka ragam membran
biologis yang merupakan penghalang bagi translokasi racun yang memiliki sifat
fisika-kimia yang khas. Senyawa non polar ( misalnya etanol ), ternyata mampu
melintasi semua membrane biologis dengan cepat. Ketidak-polaran suatu
senyawa, salah satunya ditentukan oleh tingkat ionisasinya dalam larutan. Karena
itu, tingkat ionisasi racun dalam larutan merupakan salah satu penentu
kemampuannya melintasi membran dan translokasinya di dalam tubuh. Selain itu,
karena komponen lipid membran yang bertanggung jawab terhadap
permeabililitas membran suatu zat kimia, maka kelarutan racun di dalam lipid,
juga merupakan penentu kemampuannya melintasi membran biologis.
Pada umumnya, senyawa tidak terionkan lebih mudah larut di dalam lipid,
sehingga akan lebih mudah ditranslokasikan daripada senyawa yang terionkan,
sedangkan aksi biologis suatu zat kimia berkaitan erat dengan struktur kimianya
dan komponen-komponen kimia yang ada pada tempat aksi. Kesesuaian struktur
ini, menjadi salah satu penentu keefektifan antaraksi , antar racun, dan tempat aksi
maupun tempat metabolitsmenya.Jadi faktor kimia yang mempengaruhi
ketoksikan racun dapat digolongkan menjadi dua, antara lain :
Sifat kimia atau fisika-kimia yang secara individual maupun kolektif
menentukan kemampuan racun melintasi membran biologis.
Kekhasan struktur kimia racun, yang memungkinkan terjadinya reaksi
pada tempat aksi tertentu, atau yang menjadikan rentan terhadap
metabolisme.
8
tak-terionkan dan terionkan asam benzoate adalah 100 banding 1. Dengan
demikian asam benzoate dapat segera melintas membran dan masuk ke dalam
plasma. Ionisasai benzoat dalam plasma ini akan mempersulit terjadinya keadaaan
seimbang, sehingga mempermudah absorpsi bentuk asam benzoat yang tak
terionkan dari lambung. Hal yang sebaliknya dijumpai pada usus. Oleh karena itu,
asam benzoat lebih mudah diabsorpsi oleh lambung daripada usus, sehingga
proses distribusi dan eliminasi asam benzoat ditentukan oleh tingkat ionisasinya.
b. Struktur Kimia
Kekhasan struktur kimia yang dimiliki oleh racun akan menentukan aksi
atau antaraksi racun dengan tempat aksi tertentu di dalam tubuh, atau
kerentanannya terhadap perubahan metabolisme.
Menurut Loomis ( 1978 ), aksi zat kimia dibedakan menjadi dua yaitu :
aksi kimia tak khas dan aksi kimia khas. Demikian pula aksi kimia racun. Racun
mungkin secara potensial mampu menimbulkan efek berbahaya pada semua
jaringan. Misalnya asam atau basa dengan kadar tinggi, dapat menimbulkan
kerusakan semua sel dengan cara presipitasi protein yang berakibat dengan
denaturasi protein dan gangguan keutuhan membran sel. Aksi inilah yang disebut
aksi tak khas racun. Aksi zat kimia atau racun yang tak khas ini dapat ditimbulkan
oleh larutan pekat aneka ragam racun yang bersifat tajam dan perusak. Kerusakan
yang ditimbulkan berkisar dari perusakan sebagian sampai menyeluruh pada
komponen penyusun sel. Sehingga dalam hal ini, tidak diperlukan struktur kimia
yang khas dari racun atau pun tempat aksinya. Dengan demikian, ketoksikan
9
racun berhubungan langsung dengan kadar racun yang bersentuhan dengan sel
biologis tertentu.
Berbeda dengan aksi asam atau basa kuat diatas, sebagian besar racun
beraksi secara khas pada tempat aksi tertentu di dalam tubuh, dalam kadar yang
jauh dibawah kadar yang diperlukan untuk menimbulkan aksi yang tak khas.
Dalam hal ini struktur kimia racun berperan penting.
Di dalam tubuh, agar racun dapat berantaraksi dengan tempat aksi
( reseptor, makromolekul, biopolymer ) atau tempat aktif enzim , racun tersebut
harus memiliki afinitas terhadap tempat aksi khas , sedangkan agar dapat
menimbulkan efek toksik tertentu, maka racun harus memiliki aktivitas intrinsik,
yaitu kemampuan yang menyebabkan perubahan di dalam molekul reseptor.
Kedua syarat ini harus dipenuhi. Artinya, racun yang hanya memiliki afinitas
terhadap tempat aksi tertentu tetapi tidak memiliki aktivitas intrinsik, maka tidak
akan menimbulkan efek toksik yang khas. Racun hanya mampu melekat dan
berikatan dengan tempat aksi, tetapi tidak mampu mengadakan perubahan pada
molekul tempat aksinya, sehingga tidak menimbulkan efek toksik. Dengan kata
lain, afinitas diperlukan untuk berikatan dengan tempat aksi, sedangkan aktivitas
intrinsic diperlukan untuk mengadakan perubahan dalam molekul tempat aksi
menuju ke perubahan biokimia, fungsional, dan struktural. Jadi, jelas bahwa
kesesuaian struktur kimia racun, dengan tempat aksinya merupakan faktor
penentu ketoksikan
10
dalam kondisi pemejanan meliputi jenis, jalur, lama, kekerapan, saat dan takaran
pemejanan racun.
Aneka ragam kondisi pemejanan tersebut dapat mempengaruhi keberadaan
racun di tempat aksinya. Kondisi pemejanan akan menentukan keefektifan
translokasi racun di dalam tubuh. Hal ini benar apabila racun memberikan efek
toksik yang sistemik. Artinya efek toksik terjadi di tempat aksi setelah
penyebarannya dari sirkulasi darah. Namun, bila efek toksik racun bersifat lokal,
yaitu terjadi di tempat tertentu sebelum diabsorpsi ke dalam sirkulasi sistemik,
maka translokasi racun di dalam tubuh tidak mempengaruhi ketoksikannya.
11
Jadi dalam hal ini pengolahan dengan panas menyebabkan terbentuknya racun
pangan.
Dari berbagai uraian diatas menunjukkan bahwa pengolahan bahan pangan
dapat mempengaruhi ketoksikan racun, mungkin menurukan atau sebaliknya.
12
2.3.2 Faktor intrinsik makhluk hidup
Pada dasarnya, faktor intrinsik makhluk hidup adalah kondisi makhluk
hidup yang meliputi berbagai keadaan fisiologis serta patologis yang dapat
mempengaruhi ketoksikan suatu racun, melalui pengaruhnya atas keefektifan
translokasi racun di dalam tubuh, atau kerentanan tempat aksi terhadap aksi racun.
Oleh karena itu, kondisi makhluk hidup dapat dibagi menjadi dua golongan , yaitu
kondisi normal (fisiologis) dan tidak normal (patologis).
Keadaan fisiologis meliputi : berat badan, umur suhu tubuh, kecepatan
pengosongan lambung, kecepatan alir darah, status gizi, kehamilan,
genetika, jenis kelamin, irama sirkadian, irama diurnal
Keadaan patologi meliputi : penyakit saluran cerna, penyakit
kardiovaskular, penyakit hati, dan penyakit ginjal .
13
baru akan nampak setelah kerusakannya meluas sehingga fungsi normal hati tidak
dapat ditopang lagi dengan kapasitas fungsional cadangannya. Sehingga jelas
bahwa kapasitas cadangan akan menutupi ketoksikan suatu racun.
14
hidup mengalami cacat genetika, ketidak-sempurnaan molekul enzim yang terlibat
dalam metabolisme racun menyebabkan terbentuknya metabolit tak toksik jauh
lebih sedikit daripada yang terbentuk pada individu normal. Akibatnya makhluk
hidup tersebut akan lebih rentan terhadap ketoksikan racun. Dalam hal ini, cacat
genetika memberikan dampat negative. Sebaliknya apabila metabolit racun yang
terbentuk bersifat toksik, maka makhluk hidup tersebut justru akan terhindar dari
ketoksikan racun. Karena jumlah metabolit toksik yang terbentuk jauh lebih
sedikit daripada individu normal. Dalam hal ini, cacat genetika berdampak positif.
Cacat genetika pada sistem pemetabolisme xenobiotika atau tempat aksi
tertentu, memungkinkan timbulnya dampak negative bagi individu terhadap
ketoksikan racun. Hal ini dapat terjadi karena penumpukan xenobiotika ataupun
perubahan kerentanan tempat aksi racun.
Jadi akibat dari cacat genetika dapat berdampak negative atau positif bagi
individu terhadap ketoksikan racun :
Dikatakan berdampak positif bila cacat genetika menyebabkan individu
resisten terhadap ketoksikan suatu racun.
Sebalilnya dikatakan berdampak negative bila cacat genetika
menyebabkan individu lebih rentan terhadap ketoksikan racun tertentu.
15
dapat terjadi karena adanya mekanisme adaptasi yang berkaitan dengan
perubahan kerentananb tempat aksi.
Berbeda dengan toleransi, resistensi murni berkaitan dengan peningkatan
daya tahan tubuh terhadap dosis pemejanan racun sebelumnya. Dalam hal ini,
sejak awal seseorang memang lebih tahan terhadap dosis toksik racun daripada
yang ditunjukkan oleh individu lainnya. Kejadian ini berkaitan dengan masalah
genetika, sehingga peristiwa resistensi bukan merupakan fenomena adaptasi.
Dari uraian di atas terlihat bahwa perbedaan antara toleransi dan resistensi
terletak pada mekanisme yang melandasi perbedaan daya tahan makhluk hidup
terhadap ketoksikan racun. Toleransi terjadi melalui mekanisme adaptasi,
sedangkan resistensi tidak. Resistensi murni terjadi sejak pertama kali dosis
pengan dipejankan, sedang toleransi murni terjadi pada pemberian berikutnya
setelah pemejanan yang pertama.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
17
DAFTAR PUSTAKA
Loomis, A.Ted. 1978. Essential of Toxycology 3rd edition. Semaran : IKIP Press.
18