Asuhan Keperawatan Komunitas Pada Populasi Terlantar, Miskin, Dan Tunawisma

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 32

Asuhan Keperawatan Komunitas pada Populasi

Terlantar, Miskin, dan Tunawisma

Oleh :

Afrilliviana

Brigita Juliana

Elni Sonda

Firsty Adelia

Friskila Massora

Sisilia Edriana

STIK STELLA MARIS MAKASSAR

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan judul
“Asuhan Keperawatan Komunitas pada Populasi Terlantar, Miskin, dan
Tunawisma” dengan tepat waktu. Dalam pembuatan makalah ini tak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu yaitu dosen
dan teman-teman lainnya.
Kami menyadari bahwa tugas ini masih memiliki kekurangan, karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar dapat menulis makalah
yang lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.

Makassar, 25 Maret 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................. 1

C. Tujuan Penulisan ................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi, prevalensi, dan karakteristik demografi populasi terlantar,


miskin, dan tunawisma ....................................................................... 6

B. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap populasi terlantar,


miskin, dan tunawisma ..................................................................... 11

C. Kesehatan dan populasi terlantar dan tunawisma ........................ 13

D. Status kesehatan populasi terlantar dan tunawisma ..................... 14

E. Aplikasi proses keperawatan ........................................................... 21

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................ 31

B. Saran ....................................................................................................... 31

Daftar Pustaka

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk nomor 4 di dunia ini.


Bukan tidak mungkin banyak permasalahan mengenai kehidupan masyarakat
indonesia yang harus segera mendapat perhatian. Dan masalah – masalah itu
salah satunya adalah banyaknya tunawisma atau homeless atau dalam konotasi
negative disebut dengan gelandangan terutama di kota – kota besar. Yang
menyebabkan kota terlihat kumuh dan kotor serta menimbulkan berbagai
penyakit dan bencana alam seperti banjir.

Kondisi geografis indonesia yang berpulau – pulau, dan ketidakmerataan


penduduknya, menyebabkan kemiskinan semakin tak terindahkan. Upaya
pemerintah dalam melakukan transmigrasi pun kurang berhasil, kebanyakan
penduduk berpikiran bahwa di kota – kota besar mereka dapat merubah nasib
dan mendapat pekerjaan yang layak. Mereka berangkat dengan membawa
keahlian / keterampilan yang tidak biasa digunakan di kota misalnya keahlian
bertani. Alhasil, kota besar menjadi sesak oleh masyarakat tanpa keahlian yang
tak dibutuhkan.

Dalam mencukupi kebutuhannya, penduduk kota tanpa keahlian tersebut


biasanya menjadi pengemis, pemulung, atau bahkan melakukan aksi
kriminalitas seperti mencopet, merampok, dsb. Mereka berpindah – pindah dan
tinggal dimanapun tempat yang dapat mereka tinggali. Seperti emperan toko,
kolong jembatan, taman umum, pinggir jalan, pinggir sungai, stasiun kereta
api, atau berbagai fasilitas umum lain untuk tidur dan menjalankan kehidupan
sehari-hari. Sebagai pembatas wilayah dan milik pribadi, mereka sering
menggunakan lembaran kardus, lembaran seng atau aluminium, lembaran

4
plastik, selimut, kereta dorong pasar swalayan, atau tenda. Dan inilah yang
disebut tunawisma atau homeless atau gelandangan.

Kondisi ini tentu saja akan meresahkan dan mengganggu. Kesenjangan


social sangat terlihat jelas. Kesejahteraan mereka juga terancam. Kesehatan
akan sangat berkurang dan muncul berbagai penyakit. Pendidikan pun serupa,
banyak anak – anak yang bekerja tanpa sempat mengenyam pendidikan.
Alhasil, para generasi penerus bangsa ini akan bodoh. Di sisi lain, bila mereka
melakukan tindak kriminalitas, penduduk lain pun akan merasa terancam.
Maka di perlukan penanganan segera untuk para tunawisma ini.

B. Rumusan Masalah

1. Apa defnisi populasi terlantar, miskin dan tunawisma?


2. Berapa prevalensi populasi terlantar, miskin dan tunawisma?
3. Bagaimana karakteristik demografi populasi terlantar, miskin dan
tunawisma?
4. Apasaja faktor-faktor yang berkontribusi terhadap populasi terlantar,
miskin dan tunawisma?
5. Bagaimana status kesehatan populasi terlantar dan tunawisma?
6. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada tunawisma?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui defnisi populasi terlantar, miskin dan tunawisma?
2. Mengetahui prevalensi populasi terlantar, miskin dan tunawisma?
3. Mengetahui karakteristik demografi populasi terlantar, miskin dan
tunawisma?
4. Mengetahui faktor-faktor yang berkontribusi terhadap populasi terlantar,
miskin dan tunawisma?
5. Mengetahui status kesehatan populasi terlantar dan tunawisma?
6. Mengetahui Asuhan Keperawatan pada tunawisma?

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI, PREVALENSI, DAN KARAKTERISTIK DEMOGRAFI


POPULASI TERLANTAR, MISKIN, DAN TUNAWISMAN

1. Keterlantaran

Berdasarkan Undang-Undang nomor 23 tahun 2001 tentang


perlindungan anak, yang dimaksud dengan anak terlantar adalah anak yang
tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar baik fisik, menttal, spiritual dan
juga sosial.

Anak jalanan merupakan gejala sosial yang muncul akibat krisis pada
berbagai bidang dan menjadi salah satu contoh nyata dari sekian banyak
populasi terlantar yang ada di Indonesia. Mereka anak-anak dibawah umur
16 tahun yang sebagian besar hidupnya di jalanan untuk mencari uang.

2. Kemiskinan

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk


memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,
pendidikan dan kesehatan.

Secara harafiah (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kemiskinan adalah


tidak berharta benda, tidak mampu mengimbangi kebutuhan hidup standard
dan tingkaat penghasilan rendah.

Kriteria miskin menurut standar Badan Pusat Statistik (Isdijo, W.,


2016) adalah sebagai berikut :

a. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang

b. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan

6
c. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas
rendah/ tembok tanpa diplester

d. Tidak memiliki fasilitas BAB/ bersama-sama dengan rumah tangga lain

e. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik

f. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindungi/ sungai/
air hujan

g. Behan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/


minyak tanah

h. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam dalam satu kali seminggu

i. Hanya membeli satu stel pakaian dalam setahun

j. Hanya sanggup makan sebnyak satu/dua kali dalam sehari

k. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik

l. Sumber penghasilan kepla rumah tangga adalah : petani dengan luas


lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan
dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000, -
per bulan

m. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah/ tidak tamat


SD/ tamat SD

n. Tidak memiliki tabunngan/ barang yang mudah dijual dengan minimal


Rp. 500.000, - seperti sepeda motor, atau barang modal lainnya

Jika minimal 9 variabel terpenuhi maka suatu rumah tangga dinyatakan


miskin.

7
3. Ketunawismaan

Mendefinisikan “tunawisma” dan “ketunawismaan” tidak hanya


kompleks tetapi juga membingungkan. Walaupun kesepakatan yang
diterima secara umum tentang pengertian istilah ini masih sedikit, definisi
sangatlah penting dalam menentukan siapa orang-orang yang harus dihitung
dan digambarkan sebagai orang miskin, siapa yang harus direncanakan dan
dibantu (Burt, Aron. & Lee, 2001 ; Murphy & Tobin, 2011; Shumsky,
2012). Penulusuran kepustakaan baik nasional maupun internasional tentang
“tunawisma” selama lebih dari dua dekade ini menunjukkan dua pendekatan
untuk mendefinisikan tunawisma, yaitu konseptual dan legal.

Pada tahun 2005, European Federation Of Organisations Working


With The Homeless (FEANSTA) meluncurkan European Typology of
Homelessness and Housing Exlusion (ETHOS) (European Federation Of
Organisations Working With The Homeless 2011). Dalam menyusun
ETHOS, anggota European Observatory on the Homeless bagian penelitian
dari FEANTSA, menggunakan “rumah” sebagai dasar penyusunan definisi
ketunawismaan.

Dari perspektif ETHOS, konsep rumah mempunyai tiga domain yaitu


fisik, sosial dan legal. Domain fisik berarti mempunyai tempat tinggal yang
adekuat yang dimiliki sendiri/keluarga; domain sosial berarti mampu
memelihara privasi dan menjalin hubungan; domain legal berarti memiliki
barang pribadi secara ekslusif, pekerjaan tetap, dan pekerjaan legal (Edgar,
2009).

Pembentukan ketiga domain rumah, peneliti Eropa merancang empat


tipe utama situasi tempat tinggal untuk mengklasifikasikan tunawisma: tidak
mempunyai atap, tidak mempunyai rumah, rumah tidak permanen, dan
rumah tidak layak. Masing-masing dari keempat kategori tersebut dibagi
lagi menjadi lebih spesifik untuk memberikan klasifikasi yang berguna bagi
tujuan yang berbeda, seperti menentukan sesuatu. Sebagai contoh,

8
penentuan tingkat ketunawismaan, penyusunan kebijakan dan mengevaluasi
intevensi (European Federation Of Organisations Working With The
Homeless 2011).

Pada tahun 2012, penyusunan ETHOS, Canadian Homelessness


Research Network (jejaring peneliti ketunawismaan Kanada) memberikan
definisi konsep ketunawismaan yang mempunyai empat kategori utama:
tidak mempunyai tempat berteduh, tempat berteduh darurat, akomodasi
sementara, dan risiko ketunawismaan. Mirip dengan ETHOS, definisi
Kanada dibagi menjadi situasi tempat tinggal yang lebih spesifik, sehingga
lebih detail untuk membantu penggunaannya oleh kelompok yang berbeda,
seperti agens pemerintah, penyedia layanan, dan peneliti. Berbeda dengan
ETHOS, definisi dari Canadian Homelessness Research Network (jejaring
peneliti ketunawismaan Kanada) meliputi kategori yang mengindikasikan
populasi berisiko.

Menurut Stewart B. McKinney Act, 42 USC 11301, et seq. (1994),


dalam Elizabeth T. 2006, definisi tunawisma adalah individu yang "tidak
memiliki tempat tinggal pasti, tetap dan adekuat pada malam hari". Menurut
McKinney Act, 42 USC 11302, yang termasuk kedaam tunawisma adalah
mereka yang tempat tingga utamanya pada malam hari adalah tempat
penampungan sementara diawasi, sebuah institusi yang menyediakan
perlindungan sementara untuk mereka yang seharusnya diinstitusionalisasi,
atau mereka yang tinggal ditempat-tempat umum yang tidak diperuntukkan
untuk tidur (National Coalition for the Homeless, 1999d). Lebih lanjut,
literatur membagi tunawisma ke dalam beberapa keadaan yaitu tunawisma
aktual, tunawisma marginal, atau mereka yang berisiko menjadi tunawisma.
Tunawisma yang hidup ditempat penampungan, gedung-gedung terlantar
atau area publik lainnya dapat diglongkan ke dalam tunawisma aktual. Para
tunawisma marginal hidup bersama pada tempat yang bukan miliknya atau
tidak mereka sewa dan kondisi tersebut untuk sementara. Mereka yang

9
berisiko menjadi tunawisma tinggal di kediaman yang mereka miliki atau
sewa, tetapi mereka hidup dalam ancaman pengusiran.

Seringkali penyebab individu menjadi tunawisma bukan satu faktor


saja. Hal ini biasanya disebabkan oleh banyak faktor seperti upah rendah,
pekerjaan tidak tetap, dukungan sosial tidak adekuat, dan atau masalah
kesehatan. Ketidakmampuan untuk memobilisasi sumber seperti transportasi
atau pengasuhan anak, mungkin menghalangi masyarakat untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak.

4. Prevalensi Populasi Terlantar, Miskin, dan Tunawisma

Menentukan prevalensi populasi terlantar, miskin, dan tunawisma


membutuhkan tidak hanya definisi tentang siapa yang dihitung tetapi juga
cara pengumpulan data. Dari karakteristik populasi dan subpopulasi yang
ada tentang tunawisma, sulit untuk memperoleh hitungan akurat. Upaya
untuk menghitung tunawisma telah berubah selama tiga dekade terakhir.

Kementrian sosial (2015) menyatakan jumlah anak miskin Indonesia


sebanyak 44 juta dan yang terlantar sebnyak 4,1 juta (4,8% dari jumlah anak
di Indonesia) dan jumlah balita terlantar 1,2 juta.

Berita Resmi Statistik pada Badan Pusat Statistik (2017) menyatakan


bahwa: jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2017 mencapai
27,77 juta (10,64%) dari keseluruhan penduduk. Presentase penduduk
miskin didaerah perkotaan pada bulan Maret 2017 sebanyak 7,72%,
sementara presentase penduduk miskin di daerah perdesaan 13.93%.

10
B. FAKTOR-FAKTOR YANG BERKONTRIBUSI TERHADAP
POPULASI TERLANTAR, MISKIN, DAN TUNAWISMA

1. Kurangnya Perumahan yang Terjangkau

Perumahan dianggap terjangkau jika biaya sewa atau kepemilikan


tidak lebih dari 30 persen pendapatan.

Dengan bekerjasama dengan provinsi dan pemerintah setempat dan


organisasi perumahan nirlaba, Housing and Urban Development
melaksanakan program yang menyediakan bantuan finansial perumahan
bagi keluarga berpendapatan rendah. Bantuan tersebut dapat berupa (1)
pembayaran langsung keada pemilik rumah susun, yang memberikan sewa
murah untuk penghuni berpendapatan rendah, (2) akses kerumah susun
berada di fasilitas perumahan publik, atau (3) kupon pilihan rumah, yang
yang dapat digunakan oleh orang berpendapatan rendah untuk "membayar̎
seluruh atau sebagian biaya sewa. Pengaturan ketiga pilihan tersebut
selanjutnya secara umum disebut perumahan seksi 8. Walaupun program
tersebut dimaksudkan untuk mengurangi masalah perumahan bagi orang
yag berpendapatan rendah, permintaan untuk program bantuan perumahan
ini melebihi jumlah rumah yang tersedia.

2. Pendapatan yang Tidak Mencukupi

Lebih dari 10 tahun lalu, Burt et al (2001) medokumentasikan bahwa


pendapatan yang tidak mencukupi dan pengangguran menghalangi orang
terbebas dari ketunawismaan. Laporan biro sensus kependudukan terkini AS
pada tahun 2012 menunjukkan bahwa (1) pada tahun 2011, pendapatan
rumah tangga riil rata-rata adalah $50.054 (sekitar 65 juta rupiah) dan (2) ini
adalah tahun kedua penurunan (DeNavas-Walt, Proctor & Smith, 2012).
Level pada tahun 2011 sebesar 8,1 %, lebih rendah dibanding tahun 2007,
tahun sebelum terjadinya “resesi besar”. Walauun jumlah orang miskin
rerata kemiskinan pada tahun 2011 tidak berbeda secara statistik dari tahun
2010, jumlah dan reratanya telah meningkat selama 3 tahun terakhir.

11
Keseluruhan, persentase orang yang hidup dibawah garis kemiskinan
sebesar 15,0%. Rerata kemiskinan pada tahun 2011 diantara anak-anak usia
kurang dari 18 tahun sebesar 21,9%. Selanjutnya pada tahun 2011 diantara
yang miskin, sebanyak 44,08% mempunyai pendapatan dibawah separuh
ambang kemiskinan mereka; Biro sensus AS menimbang rata-rata ambang
kemiskinan untuk keluarga yang terdiri atas empat orang adalah sebesar
$23.021 (sekitar 32 juta rupiah).

3. Layanan Dukungan yang Tidak Adekuat dan Langka

Sebagian orang yang mengalami ketunawismaan mempunyai


karakteristik yang berbeda, dalam interaksi dengan kondisi dari kurangnya
perumahan yang terjangkau dan kurangnya pendapatan, melanggengkan
kondisi tunawisma mereka. Layanan dukungan untuk orang-orang tersebut
memang kurang dalam hal kualitas dan kuantitas. Sebagian orang
membutuhan layanan tersebut untuk bekerja dan mendapatkan uang.
Mereka dapat berfungsi dalam angkatan kerja, sedangkan sebgian yang lain
membutuhankan layanan untuk mempertahankan status rumah mereka.
Termasuk dalam kelompok yang terakhir ini adalah orang-orang yang
mempunyai masalah kesehatan mental dan/atau penyalahgunaan za-zat yang
kronik dan serius diluar kemampuan mereka memperoleh stabilitas
perumahan. Orang-orang dalam kelompok ini membutuhkan bantuan
pendapatan dan layanan kesehatan fisik dan perilaku, yang mudah diakses
dan komprehensif.

4. Ketunawisman dan penyebabnya.

Bagian ini membahas tentang tiga factor utama yaitu kurangnya


perumahan yang terjangkau, pendapatan tidak cukup, dan kurangnya
dukungan layanan sebagai kondisi social yang mendukung ketunawismaan
dari penyebab ketunawismaan.

Dalam kepustakaan popular dan ilmiah, factor-faktor tersebut disebut


“penyebab” ketunawismaan. Sebagai penulis bab ini kami menganggap

12
bahwa bukti yang ada tidak mencukupi untuk menyebutkan sebagai
penyebab. Kami juga menhadapi situasi diskusi dalam kelompok dan
profesinal dengan peserta yang menyatakan bahwa sebagian orang memilih
menjadi tunawisma. Analisis yang lebih seksama tentang pernyataan
tersebut menunjukan bawha seseorang sebagai agens aktif yang membuat
keputusan yang mengakibatkan ketuawismaan. Namun keputusan tersebut
dibuat dalam kondisi yang sangat kontekstual seperti ketik terjadi adiksi
terhadap alkohol dan penyalahgunaan zat (Nichols, 2009; parsell dan
parsell, 2012). Entah benar atau tidak, kondisi adiksi ini merupakan pilihan
bebas yang menimbulkan isu filosofis atau tidak, di luar cukupan bab ini.

C. KESEHATAN DAN POPULASI TERLANTAR DAN TUNAWISMA

Sebagaimana dibahas dalam uraian sebelumnya, WHO mendefenisikan


kesehatan dalam prespektif yang lebih luas. Definisi klasik yang menyatakan
bahwa kesehatan adalah “suatu sejahtera baik fisik, mental, dan social dan
tidak hanya terhindar dari penyakit atau kecacatan” (WHO,1984), cukup
bermanfaat ketika mempertimbangkan status kesehatan populasi terlantar dan
tunawisma. Untuk orang-orang tersebut interaksi berkesinambungan terjadi
diantara ketiga dimensi tersebut (fisik, mental dan social) yang mempunyai
kosekuensi besar bagi kesehatan. Kelemahan dari ketiga dimensi tersebut
adalah adanya tumpang tindih, sehingga sulit walau tidak mustahil, untuk
menentukan kesehatan diantara tunawisma tanpa analisis menyeluruh tentang
dimensi fisik, mental dan social.

Pelayanan kesehatan di pusat kesehatan masyrakat (puskesmas) adalah


merupakan garda terdepan dalam penanganan kesehatan populasi ini.
Masyarakat (UKM) maupun Upaya Kesehatan Perorangan (UKP). Pelayanan
Keperawatan Kesehatan Komunitas yang salah satunya memberikan pelayanan
keperawatan pada populasi ini telah diatur dalam peraturan Menteri Kesehatan.
Terkait dengan system pelayanan di Puskesmas telah dibahas dalam bab
tersendiri.

13
D. STATUS KESEHATAN POPULASI TERLANTAR DAN TUNAWISMA

1. Dewasa

Penelusuran kepustakaan selama dua dekade terakhir terkait kesehatan


populasi tunawisma menunjukan bahwa angka morbiditas pada populasi
tunawisma dewasa lebh tinggi dibandigkan yang terjadi di kelompok
pembanding dalam populasi umum. Masalah kesehatan fisik akut dengan
angka yang lebih tinggi pada dewasa dalam populasi tunawisma meliputi
infeksi pernapasan dan trauma. Gangguan kronik dengan angka yang lebih
tinggi dibanding banding populasi umum meliputi hipertensi, gangguan
musculoskeletal, masalah gastrointestinal masalah pernapasan (asma,
bronchitis kronik,emfisema), gangguan persarafan yang meliputi kejang,
dan masalah gigi yang buruk. Penyakit mental serius dan masalah emosional
minor juga terjadi lebih sering pada populasi tunawisma dibandingkan pada
populasi umum. Tingginya angka kejadian pengguanaan alkohol dan
narkoba memperparah masalah kesehatan fisik dan mental kronik dan akut
yang sudah terjadi (Breakey ed al, 1989; Burt, Aron, dan Dauglas, 1999;
Ferenchick, 1992, Gilberg dan Linn,1989; Institute of Medicine,
1988;Wright, 1990).

Laporan terkini tentang kesehatan populasi tunawisma sepakat denga


studi terdahulu. Angka morbiditas yang luar biasa dikaitkan dengan angka
mortalitas yang juga lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum
(Baggett ed al 2013; Burt et al, 2011; Rayburn, pals dan Wright, 2012;
wiersma et al 2010).

Lebrun-Harirs et al (2013) menerbikan studi yang memberikan


perspektif nasional tentang status kesehatan swa-lapor pada pasien
tunawisma dewasa yang dibandingkan dengan pasien pusat kesehatan
masyarakat tunawisma di AS. Peneliti menganalisis data yang dikumpulkan
pada tahun 2009 oleh surveypasien pusat kesehatan masyarakat.
Pewawancara terlatih memperoleh status tempat tinggal responden dengan

14
menanyakan apakah saat penelitian dilakukan mereka mempunyai tempat
untuk tinggal: seperti rumah, apertemen, atau kamar kos. Jika jawabanya
“ya”, mereka diklasifikasikan sebagai bukan tunawisma. Para pasien yang
menyatakan bahwa mereka tinggal ditempat bernaung atau kamar
hotel/motel dikategorikan sebagai tunawisma. Selain status tempat tinggal,
pewawancara memperoleh informasi mengenai karateristik demografi
sosial, Kondisi medis, akses ke layanan kesehatan, dan penggunaan fasilitas
kesehatan.

Sebagian besar pasien tunawisma melaporkan masalah tempat tinggal,


antara lain tingginya angka merokok, minuman keras, risiko
ketergantungan alkohol dan narkoba, bahkan narkoba suntik, dan menerima
penanganan untuk penggunaan alkohol dan narkoba pada tahun sebelumnya.
Presentase pasien tunawisma lebih besar (52%) dibandingkan pasien yang
mempunyai tempat tinggal (36%) dinilai status kesehatannya dinyatakan
sedang/buruk. Proporsi lebih tinggi dari pasien tersebut pada kelompok
tunawisma (26%) dibandingkan dengan kelompok yang mempunyai tempat
tinggal (10%) melaporkan bahwa kadang atau sering mereka tidak
mempunyai makanan yang cukup-definisi ketidakcukupan makanan.

Proporsi masalah kesehatan mental pada individu dalam kelompok


tunawisma lebih besar dibandingkan dengan individu yang mempunyai
tempat tinggal. Masalah mental meliputi distress psikologis pada bulan
sebelumnya, ansietas sepanjang hidup, dan menerima penanganan kesehatan
mental di tahun sebelumnya. Proporsi pasien tunawisma lebih tinggi
dibandingkan pasien yang mempunyai tempat tinggal, dalam hal kebutuhan
pelayanan medik dan perawatan dan menggunakan unit gawat darurat
rumah sakit sebagai sumber layanan harian mereka.

Kesimpulan hasil studi, Lebrun-Harris et al (2013) menyatakan bahwa


proporsi yang lebih besar ditemukan pada pasien tunawisma dengan status
kesehatan yang lebih buruk dan lebih banyak penyakit fisik kronik, masalah

15
kesehatan mental, dan masalah penggunaan narkoba dibandingkan pasien
non-tunawisma. Kesimpulan ini mendukung penelitian sebelumnya tentang
status kesehatan sebagian besar populasi tunawisma-dewasa. Dalam
populasi tunawisma yang dimaksud oleh kelompok kerja Lebrun-Harris,
terdapat subpolulasi yang walaupun mempunyai masalah mortalitas yang
hampir sama, tetapi juga mempunyai karakteristik dan keadaan yang
menyebabkan status kesehatan yang berbeda.

2. Wanita

Wanita tunawisma mempunyai angka kehamilan yang lebih tinggi,


termasuk kehamilan tidak disengaja, dibandingkan dengan wanita yang
mempunyai tempat tinggal, dan keparahan ketunawismaan ini menigkatkan
kecenderungan bayi berat lahir rendah dan kelahiran prematur. Akumulasi
bukti penelitian mengindikasikan bahwa dibandingkan dengan pria,
runawisma wanita melaporkan peristiwa hidup yang penuh tekanan, seperti
tinggal di rumah penampungan ketika masih anak-anak, kekerasan
pasangan hidup ketika dewasa, dan hospitalisasi karena masalah psikiatri
(Caton, Wilkins, & Anderson,2007).

Pada tahun 1990, penelitian dengan jelas mendokumentasikan riwayat


yang luar biasa tentang kekerasan, dari anak-anak hingga dewasa diantara
wanita tunawisma (Anderson 1996; Bassuk et al, 1997; Bassuk, Melnick, &
Browne, 1998). Bassuk et al (1996) melaporkan bahwa diperkirakan
sebanyak 92% wanita tunawisma mengalami kekerasan fisik atau seksual
dalam hidup mereka.

Para advocat untuk tunawisma terus berdebat bahwa penyebab


langsung tunawisma wanita biasanya kekerasan dan bahwa sebagian besar
wanita tunawisma pernah mengalami kekerasan dalam hidup mereka.

Wanita yang hidup menggelandang cenderung mempunyai pasangan


seksual yang lebih banyakdan tidak memanfaatkan layanan kesehatan.
Faktor-faktor lain yang meningkatkan risiko kekerasan fisik dan seksual

16
meliputi riwayat penyakit mental, penggunaan/penyalahgunaan zat
terlarang, dan melakukan cara untuk bertahan hidup seperti menjual diri dan
narkoba (Nyamathi, Leake, & Gelberg, 2000; Wenzel et al, 2000).

3. Keluarga

Status kesehatan orang dewasa dan wanita, dua subpopulasi


didiskusikan dalam bagian sebelumnya juga relevan dengan status
kesehatan keluarga yang mengalami ketunawismaan. Riwayat kondisi
kesehatan mental dan fisik kronik, penyalahgunaan narkoba, menjadi
korban kekerasan, dan rendahnya pendidikan serta pelatihan kerja bagi
orang dewasa juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya hubungan
anak-pengasuh yang berbahaya. Karena wanita merupakan pengasuh
tunggal atau utama dalam keluarga tunawisma, status kesehatan fisik,
mental, dan sosial yang buruk akan lebih mengkhawatirkan.

Kajian kepustakaan yang diterbitkan tentang anak-anak dalam


keluarga yang mengalami ketunawismaan menunjukkan bahwa temuan
berbasis riset mengindikasikan anak-anak tersebut menpunyai masalah
kesehatan, yang mencangkup asma, anemia defisiensi besi, dan obesitas,
masalah kesehatan mental, yang mencangkup masalah perilaku, tingginya
angka perkembangan anak yang terlambat dibandingkan anak-anak dalam
populasi umum. Kajian ini juga mencatat bahwa masalah tersebut
bersinggungan dengan dan mempengaruhi capaian pendidikan anak-anak
tunawisma pada unjian yang Terstandar yang meliputi membaca,
penggunaan Bahasa, dan/atau matematika. Absen masuk sekolah karena
keluarga yang pindah, anak-anak tunawisma cenderung mengulang kelas
dibandingkan anak-anak lainnya. Anak-anak tunawisma mungkin
kekurangan sumber daya untuk seragam dan peralatan sekolah dan akses ke
fasilitas pemeliharaan higiene personal. Akibatnya, anak-anak tunawisma
berisiko tidak diterima atau diolok-olok oleh siswa lainnya, yang menambah
efek masalah fisik dan mental mereka (Bowman,Dukes,& Moore, 2012;

17
McCoy-Roth.Mackintosh & Murphey, 2012; National Center on Family
Homelessness, 2011: Zlotnick, Tam, & Zerger,2012).

Anak-anak tunawisma mempunyai angka yang lebih tinggi dalam hal


mesalah fisik, mental, dan anak dipopulasi umum, tetapi angka tersebut
mirip dengan anak-anak yang mempunyai tempat tinggal tetapi miskin.
Dengan kata lain, perbedaan status tempat tinggal bukanlah faktor
pendukung. Penulis lain melaporkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan dalam populasi anak-anak tunawisma. Sebagian dari anak-anak
tunawisma dalam keadaan yang baik, dan sebagian lainnya mengalami
berbagai masalah (Huntington, Buckner, & Bassuk,20018;Obradovic et al
20019;Park, Fertig, & Allison,2011).

4. Remaja

Bagian ini menggambarkan masalah kesehatan yang terjadi dalam


subpopulasi remaja tunawisma. Definisi remaja tunawisma menurut negara
adalah remaja yang sebatang kara, melarikan diri dari rumah, dan
tunawisma. Sebagaimana diindikasikan oleh beberapa laporan dan kajian
studi, remaja dari semua sector social cenderung melakukan perilaku
beresiko terhadap kesehatan mengakibatkan masalah kesehatan serius
(Eaton et al,2012). Masalah kesehatan tersebut meliputi kehamilah yang
tidak diinginkan, penyakit menular seksuak (PMS termasuk HIV/AIDS),
peyalahgunaan alkohol dan narkoba, depresi, dan bunuh diri. Sebagian besar
masalah tersebut terkait dengan perilaku berresiko. Remaja tunawisma yang
menghalami masalah tersebut jumlahnya lebih tinggi dibandingkan remaja
di populasi umum (Burt, 2007; Lawrence, Gooyman & Sim 2009; Toro,
Dworsky, & Fowler, 2007

Remaja tunawisma yang mengalami PMS, kekerasan fisik dan


seksual, penyakit, kulit, anemia, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, dan
cedera yang tidak sengaja berjumlah lebih tinggi dibandingkan dengan
remaja di populasi umum. Depresi, ide bunuh diri, dan gangguan perilaku,

18
kepribadian, atau pikiran juga terjadi lebih tinggi diantara remaja
tunawisma. Gangguan keluarga, kegagalan disekolah, prostitusi atau
“penjaja seks” dan keterlibatan dengan sistema hukum mengindikasikan
bahwa masalah kesehatan social remaja sangat beresiko (Burt, 20117;
Busen& Engerbretson, 2008, Eddin et al, 2012; Kennedy et al,2012ª;
Lwrence et al, 2009; Nyamathi et al, 2012; Raw et al, 2008a; Rew. ROchlen
& Murphey, 2008, Tevendale, Lightfoot, & Slocum, 2009; Toro et al, 2007;
Trucker et al, 2012)

Remaja tunawisma yang hamil, melakukan prostitusi, atau menyebut


diri mereka sebagai gay, lesbian, biseksual, transgender, atau
mempertanyakan dirinya (LGBT) mengalami lebih banyak masalah
kesehtan disbanding remaja tunawisma lainnya. Remaja tunawisma yang
hamil memiliki masalah kesehatan mental yang lebih berat dan lebih banyak
menggunakan narkoba dan alkohon dibandingkan tunawisma sebayanya.
Tidak menherankan jika jumlah mereka mengalami akibat negative
kehamilan lebih banyak dibandingkan remaja nontunawisma (Lawrence et
al, 2009; Rew et al. 2008; Trucker et al, 2012a).

Remaja yang terlihat dalam prostitusi sebagian besar terdiri atas


remaja tunawisma laki-laki dan perempuan. Sebagian besar yang terlibat
prostitusi karena membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Situasi ini yang disebut “seks untuk bertahan hidup”. Mereka cenderung
mengalami masalah kesehatan mental berat dan sangat cenderung
melakukan bunuh diri. Angka kejadian penggunaan alkoho dan narkoba
diantara kelompok ini sangat tinggi dibandingkan remaja tunawisma yang
tidak melakukan prostitusi. Mereka yang terlibat dalam prostitusi cenderung
melaporkan adanaya riwayat kekerasan fisik dan seksual ( Fernandes, 2007;
Lawrence et al. 2009; Molino,2007).

Angka percobaan bunuh diri lebih tinggi diantara remaja tunawisma


gay. Sebagian besar laki-laki yang terlibat dalam seks untuk bertahan hidup

19
mengidentifikasikan dirinya sebagai gay atau biseksual. Sebagian besar dari
remaja tersebut verada di jalanan karena pengaruh homofobia dan prasangka
buruk. Selain menghadapi masalah yang sama dengan remaja tunawisma
lainnya, remja yang terindentifikasi sebagai gay juga menghadapi
serangkaian masalah lainnya akibat penolakan orang lain karena orientasi
seksual mereka (Lawrence et al, 2009).

Remaja tunawisma yang mempunyai riwayat tinggal dipanti asuhan


mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan psikiatrik.
Mereka cenderung melaporkan gangguan pskiatrik dibandingkan remaja
tanpa riwayat tinggal di panti asuhan (Thomson& Hasin,2012). Remaja
dipopulasi umum juga beresiko, tetapi remaja tunawisma beresiko lebih
besar lagi, dan subpopulasi remaja tertentu termasuk yang terindentifikasi
sebagai LGBTQ, mereka yang hamil, yang melakukan seks untuk bertahan
hidup, dan mereka yang mempunyai riwayat tinggal di panti asuhan yang
lebih rentar . Kesehatan kelompok ini sangat rentan.

5. Tunawisma Kronik

Sebagaimana pembahasan sebelumnya, banyak individu sebelumnya


mengalami gangguan mental dan penggunaan narkoba. Kelompok ini
didefenisikan sebagai tunawisma kronik oleh US Housing and urban
Development (HUD) (sebuah badan yang mengurusi masalah perumahan
dan masyarakat urban di Amerika Serikat). Lebih khusus lagi, mereka yang
sebatang kara dan menjadi tunawisma selama beberapa waktu dan
mempunyai satu atau lebih kondisi buruk. Kondisi buruk yang secara terus-
menerus dialami oleh tinawisma meliputi gangguan mental berat dan
penggunaan narkoba (Caton et al, 2005; Caton et al, 2007; Larimr et alm
2009; Sadowsku et al, 2009; Weinstern et al, 2013). Subpopulasi ini juga
mengalami peningkatan risiko masalah kesehatan yang ditunjukkan
dibagian sebelumnya tentang status kesehatan subpopulasi dewasa dan
wanita.

20
Pada tahun 2011, sekitar 63% tunawisma kronik tidak mempunyai
tempat berteduh dimana mereka tidur dijalanan atau di tempat yang bukan
untuk tempat tinggal manusia.

Penyedia layanan tunawisma yang mengkhawatirkan tingginya risiko


kematian diantara populasi tunawisma “jalanan”, menyusun indeks
kerentanan, yaitu alat skrining untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan
kebutuhan perumahan. Mereka yang berisiko tinggi mengalami kematian
meliputi individu yang menjadi tunawisma selama 6 bulan atau lebih
dengan satu atau lebih faktor berikut (Cels & de-Jong, 2010; Kanis et al,
2012);

• Lebih dari tiga Kali hospitalisasi atau masuk ruang emergensi dalam satu
tahun.

• Lebih dari tiga Kali masuk ruang emergensi dalam tiga bulan terakhir

• Usia 60 tahun atau lebih

• Penyakit sirosis hati

• Riwayat ginjal stadium akhir

• Riwayat mengalami frostbite (serangan dingin), kekakuan kaki akibat


dingin , atau hipotermia

• HIV/AIDS

• Factor pencetus psikiatrik, penyalahgunaan zat terlarang, dan kondisi


medis kronik.

E. APLIKASI PROSES KEPERAWATAN

Ibu dina, janda berusia 75 tahun, dirujuk ke perawat kesehatan komunitas


oleh dokternya, karena dokter itu tidak yakin ibu Dina akan mampu merawat
dirinya dengan baik. Diagnosisnya adalah hipertensi, gagal jantung kongestif

21
ringan, arthritis, dan kadang-kadang kebingungan setelah ibu Dina mengalami
serangan stroke ringan (TIA).

Selama kunjungan pertama ke rumahnya, perawat mengobservasi bahwa


ibu Dina tinggal di rumah yang buruk di lingkungan dalam kota. Tinggal di
rumah semi permanen yang atapnya bocor. Di depan rumahnya ada tumpukan
sampah dan terlihat banyak tikus. Ibu Dina memberitahu perawat bahwa dia
tidak mempunyai anak dan kerabatnya hanyalah kakaknya yang tinggal
bersama keluarganya di kota lain. Dia sudah lama tinggal di lingkungannya itu
dan mengenal tetangga-tetangganya, tetapi dia takut dengan remaja yang
nongkrong ketika dia naik kendaraan umum belanja atau pergi keluar untuk
suatu keperluan.

Ibu Dina adalah pemegang Kartu Indonesia Sehat dari Badan


Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS), dan juga pemegang kupon
makanan dari sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat peduli Lansia. Dia
seringnya makan roti dan mentega dan minum kopi, tetapi dia tidak menyukai
buah dan sayuran. Konstipasi kadang menjadi masalah dan dia meminum
laksatif setiap malam. Dia mengatakan tidak selalu ingat apakah dia sudah
meminum obatnya atau belum dan selalu memegang botol kecil berisi pil
berbagai warna, bentuk, dan ukuran.

1. Pengkajian

Dengan memandang bahwa ibu Dina sebagai suatu sistem, atau sebagai
fokus perencanaan, perawat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan
subsistem bio-psiko-sosialnya dan mencari hubungan aktual atau potensial
bagi keluarga dan suprasistem komunitasnya. Dengan mempertimbangkan
teori penuaan, perawat yakin bahwa ibu Dina saat ini telah putus hubungan
dan sosial dengan lingkungannya dan berpendapat bahwa proses ini
kemungknan kembali jika kesehatan ibu Dina dipertahankan dan dipelihara
serta menjalin hubungan dengan komunitas di lingkungannya. Pada tingkat
yang praktis, perawat juga melakukan pengecekan dengan dokter di Pusat

22
Kesehatan Masyarakat, mengenai resep dan mengidentifikasi pilihan obat
obatan yang sesuai dengan kondisi ibu Dina.

Perawat menggunakan pendekatan penyelesaian masalah untuk


mengumpulkan data danmengidentifikasi keadaan ibu Dina sebagai berikut:

 Mampu merawat dirinya sendiri


 Menerima terapi medis
 Menerima pendapatan dari berbagai sumber
 Menjadi terbiasa dengan lingkungan dan mengenal tetangga-tetangganya

Kekurangannya semakin bertambah, antara lain :

 Ketidakadekuatan nutrisi
 Kebingungan dengan medikasi dan penggunaan laksatif yang tidak sesuai
 Keadaan rumah yang tidak mendukung kesehatan
 Ancaman kekerasan di lingkungan dan kemungkinan ancaman atas uang
jaminan sosialnya.
 Gangguan fisik akibat penuaan dan penyakit
 Tidak ada anak atau kerabat lain yang tinggal berdekatan
 Kemungkinan mengalami kebingungan yang berlanjut
 Kemungkinan stroke mayor di rumah ketika tidak ditemani.

2. Diagnosis
Diagnosis dan tujuan jangka pendek dan panjang terkait disesuaikan
dengan situasi ibu Dina. Perawat menuliskan perencanaan pada tiga tingkat
pencegahan untuk diagnosis dan meliputi saran intervensi bersama keluarga.

Individual

 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan kurang asupan makanan

23
Keluarga
Isolasi sosial berhubungan dengan ketidakmampuan menjalin hubungan
yang memuaskan

Komunitas
 Kurang program dukungan untuk konsistensi medikasi berhubungan
dengan kebutuhan yang tidak dikenali.

3. Perencanaan
Individual
Tujuan jangka panjang
 Ibu Dina akan mempertahankan nutrisi yang adekuat melalui perawatan
diri sendiri dan penggunaan program komunitas yang ditandai dengan
berat badan yang stabil dan hasil normal pada uji status nutrisi pada saat
pemeriksaan fisik.
 Ibu Dina akan menghindari ketidakkonsistenan dalam pengobatannya
terkait dengan kondisi pelupa dan kebingungan ringan
 Ibu Dina akan meneruskan meminum obatnya sebagaimana dianjurkan,
yang ditandai dengan stabilisasi proses penyakit dan tunjukkan secara
intermiten kepada perawat.
 Ibu Dina akan meninjau rumah panti untuk lansia serta melanjutkan
kontak dengan perawat kesehatan komunitas dan teman di
lingkungannya.
Tujuan jangka pendek
 Ibu Dina akan meningkatkan dietnya dengan makan sejumlah nutrisi
harian yang direkomendasikan, meliputi serat dan cairan, yang ditndai
dengan mengingat tentang diet, dan melaporkan kebiasaan buang air
besar rutin tanpa penggunaan laksatif
 Ibu Dina akan menggunakan bantuan pengingat untuk minum obatnya
secara konsisten.

24
 Ibu Dina akan mengidentifikasi pengobatan dan mengetahui waktu
meminumnya, yang ditandai dengan menunjukkan perilakunya kepada
perawat.
 Ibu Dina akan memperbaiki rumahnya sebagai tempat tinggal yang sehat,
menghindari kemungkinan kejahatan dengan mengubah rutinitasnya dan
menggunakan pelayanan perbankan, meluaskab jejaring sosialnya, dan
mempertahankan jadwal pelayanan kesehatan.

Keluarga
Tujuan jangka panjang
Ibu Dina akan mempertahankan kontak dengan keluarga melalui surat,
telepon, atau kemungkinan kunjungan.

Tujuan jangka pendek


Alamat anggota keluarga dimasukkan dalam rekam medis ibu Dina untuk
membantu kontak darurat.

Komunitas
Tujuan jangka panjang
 Tingkatkan kampanye publikasi untuk mengiklankan pelayanan nutrisi
untuk lansia di komunitas
 Dukung apoteker yang bekerja untuk komunitas dalam kampanye untuk
meningkatkan keasadaran publik tentang kebutuhan meminum obat
sebagaimana diresepkan
 Identifikasi dan dukung program yang akan membantu memahami
pembuat resep obat (dokter) bagi orang yang mempunyai kesulitan
mendapatkan resep karena kekurangan asuransi, uang transportasi, atau
masalah lainnya
 Buat kelompok komunitas bekerja sama untuk memaksimalkan
penggunaan sumber-sumber.

25
Tujuan jangka pendek
Identifikasi program yang ada bagi lansia dalam komunitas.

4. Intervensi
Individual
Ketika perawat mendiskusikan diagnosis keperawatan dan
perencanaan bersama ibu Dina, dia menyetujui tujuan jangka pendek, tetapi
dia tidak yakin bahwa dia mau meninggalkan rumahnya ke rumah panti lain
atau bertemu orang lain melalui aktivitas di komunitas. Namun dia
menyetujui untuk mencobanya. Selama kegiatan pada beberapa kunjungan
berikutnya, perawat menjelaskan prinsip dasar nutrisi dan membantu
membuat daftar belanja dan menu untuk 1 minggu. Bersama-sama, mereka
membuat rencana yang membantu penjadwalan pengobatan.
Perawat mendorong ibu Dina untuk membicarakan kehidupannya
yang dulu selama kunjungan perawat. Dia menjanda segera setelah
pernikahannya, ketika suaminya terbunuh dalam tugas ketentaraan di daerah
konflik, dan dia tidak pernah menikah lagi. Dia tinggal di lingkungan tempat
dia dibesarkan, walaupun semakin menurun setelah bertahun-tahun. Dia
pernah bekerja sebagai sekretaris sampai pensiun dan tidak mempunyai
perencanaan bagaimana hidupnya setelah pensiun.

Keluarga
Karena keluarga ibu Dina tidak tinggal berdekatan, perawat
merancang rencana untuk meningkatkan kontak sosial ibu Dina dengan
mengenalkannya kepada kelompok yang sering bertemu dan menawarkan
beberapa aktivitas yang mungkin disukai. Jika dia tidak hadir, kelompok
tersebut akan mengunjunginya. Tetangga mengundangnya ke pusat lansia,
tempat dia terlibat dalam kelompok bermain kartu. Ibu Dina mengizinkan
namanya dimasukkan ke dalam daftar tunggu untuk mendapatkan rumah
susun bagi lansia dengan perubahan lainnya, rumah susun tidak lagi menjadi
prioritas, dan ibu Dina dapat membuat keputusan ketika rumah susunnya
sudah tersedia.

26
Komunitas
Rujuk diawali oleh perawat yang mengakibatkan perubahan besar
dalam situasi tempat tinggal. Perawat dari Puskesmas mendorong ibu Dina
untuk membuka rekening bank untuk tabungan langsung uang jaminan
sosialnya dan menunjukkan cara menggunakannya. Bantuan kesehatan
rumah dari program lansia di dinas sosial datang selama setengah hari setiap
minggunya untuk membantu belanja dan membersihkan rumah. Bagian
sanitasi dari dinas kesehatan memberantas tikus, petugas lansia wilayah
memperbaiki atap, dan kelompok rumah dan membersihkan halaman.

5. Evaluasi
Individual
Dengan perawat sebagai mediator dan koordinator pelayanan komunitas, ibu
Dina dengn mudah menerima bantuan tentang penyelesaian masalah terkait
dengan keamanan. Ketika perbaikan rumahnya selesai, ibu Dina mampu
mempertahankan dirinya untuk menjadi lebih nyaman dengan bantuan dari
kunjungan mingguan dari bantuan kesehatan rumah.

Keluarga
Dalam hal tidak adanya dukungan keluarga, penentuan rutinitas lansia, dari
sisi pemenuhan nutrisi, dan pengaturan keuangan yang lebih aman
meningkatkan perasaan kepemilikan dan harga diri ibu Dina. Perawat
mengurangi kunjungan rumahnya tetapi mempertahankan kontak dengan
ibu Dina selaam kunjungannya ke klinik kesehatan untuk memeriksakan
tekanan darah dan pelayanan kesehatan pencegahan untuk mendukung
pelayanan medisnya.

Komunitas
Diskusi dengan pelaku rawat (care giver) di rumah menginformasikan
kepada perawat tentang pemotongan pendanaan pada pelayanan pendukung
kepada program lansia, yang akan mengakibatkan penurunan pelayanan.

27
Perawat bicara kepada pihak yang berkepentingan agar pendanaan untuk
bantuan kepada lansia diberikan sesuai dengan aturan yang berlaku.

6. Tingkat Pencegahan
Pencegahan primer
Tujuan : Meningkatkan nutrisi yang baik
Individual
 Beri petunjuk tentang kebutuhan nutrisi
 Rencanakan daftar belanja dan menu yang sesuai dengan diet yang
dianjurkan untuk masalah kesehatan
Pencegahan Primer
Tujuan : Meningkatkan keamanan dan pencegahan cidera.
Individual
 Berikan imunisasi yang sesuai
 Sediakan pelayanan komunitas untuk membantu mempertahankan
properti dan mencegah penurunan.
 Dorong jejaring pertemanan dan anggota keluarga.
Keluarga
 Berikan pelayanan dari perawat kesehatan komunitas atau manajer kasus
 Berikan konseling
 Berikn asuhan yang mendukung istirahat
Komunitas
 Sediakan program edukasi komunitas untuk lansia
 Menyadarkan tentang potensi bahaya bagi lansia dan menyediakan
intervensi sebagaimana diperlukan

Pencegahan Sekunder
Tujuan: Kaji dan tangani terkait masalah nutrisi
Individual
 Sediakan rujukan untuk pengkajian kemungkinan masalah terkait nutrisi

28
 Sediakan hospitalisasi atau suplemen nutrisi yang diresepkan untuk
penyakit akibat ketidakadekuatan nutrisi
Keluarga
Sediakan rujukan untuk pengkajian dan konseling nutrisi
Komunitas
Dorong persediaan makanan untuk keadaan darurat

Pencegahan Sekunder
Tujuan: Tentukan diagnosis dan tangani cidera terkait medikasi
Individual
 Sediakan rujukan untuk gejala kelebihan obat obatan atau kekurangan
obat
 Tentukan diagnosis dan tangani reaksi obat atau makanan.
Keluarga
Kaji ulang pemahaman klien tentang pengobatan
Komunitas
 Sediakan kontak darurat keracunan yang dapat dihubungi selama 24 jam
 Sediakan unit layanan kedarurat 24 jam
 Sediakan pelayanan medis
Pencegahan Tersier
Tujuan: pertahankan peningkatan/ penambahan nutrisi
Individual
Dorong penggunaan pelayanan komunitas
Keluarga
Dorong penukaran resep keluarga
Komunitas
 Sediakan kampanye tentang kesadaran nutrisi dan makan yang sehat
 Dorong penyediaan makan kudapan sehat
 Dorong penggunaan dana pelayanan makanan di komunitas untuk
dikumpulkan atau untuk kondisi darurat
 Dorong penggunaan pelayanan yang menyediakan akses ke makanan

29
 Dorong penggunaan transportasi ke toko tempat belanja atau pelayanan
nutrisi
Pencegahan Tersier
Tujuan: Tetap konsisten dengan pengobatan yang diresepkan dan cegah
kesalahan pengobatan
Individual
 Ketika pengobatan diberikan, sediakan instruksi tertulis dan lisan dengan
tingkat pemahaman dan bahasa yang sesuai dengan klien
 Minta klien mengulangi instruksi kepada penyedia layanan kesehatan
Keluarga
Minta klien mengulangi instruksi kepada anggota keluarga
Komunitas
Sediakan program edukasi komunitas tentang pemahaman pengobatan.

30
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan Undang-Undang nomor 23 tahun 2001 tentang perlindungan


anak, yang dimaksud dengan anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi
kebutuhannya secara wajar baik fisik, menttal, spiritual dan juga sosial.

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk


memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,
pendidikan dan kesehatan.

Tunawisma adalah individu yang "tidak memiliki tempat tinggal pasti,


tetap dan adekuat pada malam hari".

Faktor yang berkontribusi terhadap populasi terlantar, miskin, dan


tunawisma adalah kurangnya perumahan yang terjangkau, pendapatan yang
tidak mencukupi, dan layanan dukungan yang tidak adekuat dan langka.

B. Saran

Dari makalah ini semoga dapat diambil manfaat untuk penulis dan
pembaca. Semoga pembaca dapat mengambil beberapa hal yang penting dalam
makalah ini seperti lebih memahami definisi dari populasi terlantar, miskin
dan tunawisa, mengetahui prevalensinya, mengetahui faktor yang berkontirbusi
terhadap populasi terlantar, miskin dan tunawsima, serta mengetahui status
kesehatan mereka dan dapat memberikan asuhan keperawatan yang benar.
Dari makalah ini pula penulis mengalami banyak kendala. Maka banyak
kesalahan yang dibuat oleh penulis. Oleh karena itu penulis membutuhkan
saran dari pembaca untuk menyempurnakan makalah ini.

31
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Elizabeth T. 2006. Buku ajar keperawatan komunitas: teori dan


praktik Edisi 3. Jakarta. EGC

Nies A. Mary, McEwen Melanie. 2019. Keperawatan Kesehatan Komunitas dan


Keluarga. Singapore. Elsevier Inc

32

Anda mungkin juga menyukai