Anda di halaman 1dari 111

i

SKRIPSI

FAKTOR RISIKO POLA KONSUMSI NATRIUM DAN KALIUM SERTA


STATUS OBESITAS TERHADAP KEJADIAN HIPERTENSI PADA
PASIEN RAWAT JALAN DI PUSKESMAS LAILANGGA
KABUPATEN MUNA SULAWESI TENGGARA

ADHYANTI
K211 07 016

Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Gizi (S.Gz)

PROGRAM STUDI ILMU GIZI


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Ujian Skripsi dan

disetujui untuk diperbanyak sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar

Sarjana Gizi Universitas Hasanuddin Makassar.

Makassar, Agustus 2013

Tim Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Saifuddin Sirajuddin, MS Dr. Dra. Nurhaedar Jafar, Apt., M.Kes

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Gizi

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin

Dr. Dra. Nurhaedar Jafar, Apt, M.Kes


iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Ujian Skripsi

Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin

Makassar pada bulanAgustus 2013.

Ketua : Dr. Saifuddin Sirajuddin, MS (.......................................)

Sekretaris : Dr.Dra. Nurhaedar Jafar, Apt.,, M.Kes (.......................................)

Anggota : 1. Dr.drg. Andi Zulkifli, M.Kes (.......................................)

2. Aminuddin Syam, SKM., M.Kes (.......................................)

3. Abdul Salam, SKM, M.Kes (.......................................)


iv

RINGKASAN
Universitas Hasanuddin
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Ilmu Gizi
Skripsi, Juli 2013

ADHYANTI
”Faktor Risiko Pola Konsumsi Natrium dan Kalium serta Status Obesitas
terhadap Kejadian Hipertensi pada Pasien Rawat Jalan di Puskesmas
Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara”.
(xiii + 84 Halaman + 18 Tabel + 6 Gambar + 5 Lampiran)
Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang mengakibatkan angka
kesakitan yang tinggi. Hipertensi selalu menjadi salah satu dari sepuluh penyakit
yang sering diderita masyarakat di Kabupaten Muna. Prevalensi hipertensi di
Sulawesi Tenggara bahkan di Indonesia secara keseluruhan masih cukup tinggi. Hal
ini diakibatkan oleh sejumlah faktor yang berhubungan dengan hipertensi seperti
gaya hidup, stress, kurangnya olah raga, merokok, alkohol, pola makan, dan obesitas
(kegemukan).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar risiko pola konsumsi natrium
dan kalium serta status obesitas (berdasarkan IMT) terhadap kejadian hipertensi pada
pasien rawat jalan di Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara.
Jenis penelitian yang digunakan adalah obeservasional analitik dengan desain case
control study dengan matching variabel umur. Pengambilan sampel dilakukan
dengan menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah sampel 126 orang
yang terdiri dari 63 kasus dan 63 kontrol. Pengumpulan data dilakukan dengan
pengambilan data sekunder dan data primer. Analisis data dilakukan secara univariat
dan bivariat dengan menggunakan uji chi-square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola konsumsi natrium memiliki nilai
signifikan secara statistik sebagai faktor risiko kejadian hipertensi (OR: 2,643, CI
95%: 1,287 – 5,429). Sedangkan pola konsumsi kalium dan status obesitas tidak
bermakna secara statistik (p > 0,05). Kesimpulan: Besar risiko kejadian hipertensi
pada pasien rawat jalan di Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi
Tenggara dengan pola konsumsi natrium berlebih adalah sebesar 2,643 kali
dibanding pasien dengan pola konsumsi natrium rendah.
Kepada penderita hipertensi disarankan dapat mengontrol tekanan darah,
mengurangi konsumsi makanan sumber natrium, meningkatkan konsumsi makanan
sumber kalium dan menurunkan berat badan bagi yang obesitas.
Kepada peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian faktor
risiko lain terhadap kejadian hipertensi dengan desain penelitian yang sama agar
besar faktor risiko pada populasi dapat diketahui secara lebih komprehansif.

Daftar Pustaka : 44 (1997-2012)


Kata Kunci : Hipertensi, pola konsumsi natrium, pola konsumsi kalium obesitas.

iv
v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………….. i

PERNYATAAN PERSETUJUAN ……………………………………………… ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ……………………………………………….. iii

RINGKASAN ………………………………………………………………….. iv

KATA PENGANTAR…………………………………………………………… v

DAFTAR ISI…………………………………………………………………….. viii

DAFTAR TABEL……………………………………………………………….. x

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………. xii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………….. 1

A. Latar Belakang………………………………………………………... 1

B. Rumusan Masalah…………………………………………………….. 7

C. Tujuan Penelitian……………………………………………………... 8

D. Manfaat Penelitian……………………………………………………. 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………… 10

10
A. Tinjauan Umum tentang Hipertensi…………………………….........
33
B. Tinjauan Umum tentang Pola Konsumsi Natrium dan Kalium ...........
47
C. Tinjauan Umum tentang Obesitas.…………………………………...
55

D. Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti……………………………… 56

E. Kerangka Konsep……………………................................................. 58

61
F. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif………………………….

G. Hipotesis Penelitian.............................................................................
vi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………………………………………. 62

A. Jenis Penelitian dan Desain Penelitian ……………………………….. 62

B. Waktu dan Tempat Penelitian………………………………………… 63

C. Populasi dan Sampel………………………………………………….. 63

D. Instrumen Penelitian. ………………………………………………. 65

E. Pengumpulan Data.............................................................................. 65

F. Pengolahan, Analisi dan Penyajian Data…………………………….. 66

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………… 69

A. HASIL ………………………………………………………………... 69

B. PEMBAHASAN……………………………………………………… 76

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………… 83

A. KESIMPULAN………………………………………………………. 83

B. SARAN……………………………………………………………….. 83

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
vii

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke Hadirat Illahi Rabb penguasa

semesta yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta ilmu pengetahuan yang tak

terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Semoga

keselamatan selalu tercurah kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW berserta

keluarga dan sahabat, yang telah menghijrahkan manusia dari alam kebiadaban

menuju alam peradaban yang terang akan cahaya ilmu pengetahuan.

Penyusunan skripsi dengan judul “Faktor Risiko Pola Konsumsi Natrium

dan Kalium serta Status Obesitas terhadap Kejadian Hipertensi pada Pasien

Rawat Jalan di Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara”

merupakan bagian dari ikhtiar penulis untuk menyelesaikan studi pada Program

Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar.

Sangat banyak tantangan dan dinamika yang dihadapi oleh penulis selama menyusun

skripsi ini maupun selama mengenyam pendidikan di kampus FKM Unhas, namun

berkat niat ikhlas, semangat berjuang serta kerja keras dan dukungan dari keluarga

dan semua pihak sehingga pada detik ini penulis dapat merampungkan penyusunan

skripsi ini. Terima kasih sedalam-dalamnya kepada keluarga tercinta kedua orang tua

tercinta Ayahanda La Peda dan Ibunda Wa Ndoolu yang selalu mencucurkan

keringat demi memenuhi kebutuhan serta menyayangi dan selalu mendo’akan

penulis air mata sejak awal studi hingga saat-saat akhir menyelesaikan studi saat ini.

Juga terima kasih kepada saudara-saudara dan kakak ipar tersayang Yusran, S.Pd &

vii
viii

Fitria Madao, S.Pd, Nasrul, S.Sos & Maidar, A.Ma.Pd, Praka. Sunandar &

Sulastri S., Pratu. Awaludin & Fitriani, S.Farm yang selalu memberi semangat

dan dorongan, juga paman tante dan keponakan yang lucu Kopda. Suhardi &

Nasria, Serda. A. Jibran & Lina, Alaf, Fida, Naufal, Afit, Putri, Aidil, Narfan

serta keluarga yang lain terima kasih untuk semuanya.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada

pihak-pihak yang telah memberikan bimbingan, nasehat dan motivasi selama

menempuh pendidikan di FKM Unhas dan penyelesaian skripsi ini yaitu kepada:

1. Bapak Prof. Dr.dr. Idrus A. Paturusi selaku rektor Universitas Hasanuddin

2. Bapak Prof. Dr.dr. Alimin Maidin, selaku Dekan Fakultas Kesehatan

Masyarakat beserta seluruh Wakil Dekan.

3. Ibu Dr. Nurhaedar Jafar, Apt., M.Kes selaku Ketua Program Studi Ilmu Gizi

FKM Unhas.

4. Bapak Dr. Saifuddin Sirajuddin, MS selaku pembimbing I dan Ibu Dr.

Nurhaedar Jafar, Apt., M.Kes selaku pembimbing II, yang dengan penuh

kesabaran telah mengarahkan penulis.

5. Seluruh tim penguji Bapak Dr.drg. Andi Zulkifli, M.Kes, Bapak Aminuddin

Syam, SKM., M.Kes, Bapak Abdul Salam, SKM, M.Kes yang banyak

memberikan kritik dan saran dalam pengembangan skripsi ini.

6. Ibu Dr.dr. Citrakesumasari, M.Kes selaku penasehat akademik yang telah

memberikan saran dan motivasi dalam akademik.


ix

7. Bapak Kepala Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara

beserta staf yang telah memberikan kesempatan melakukan penelitian ini.

8. Teman-teman di Program Studi Ilmu Gizi dan seluruh angkatan 2007, angkatan

CAPILA’07, kakanda angakatn JAELANGKUNG’06, adinda ROMUSA’08,

GALETER’09 baik yang masih bermahasiswa maupun yang telah alumni serta

adinda-adinda angkatan KANIBAL’10, DEMENTOR’11,

9. Kawan-kawan seperjuangan di Sekretariat MAPERWA dan BEM FKM Unhas;

Kak Fajar, Bung Fadly Kaimuddin HP, Bang Mardiansyah Rahim, dinda

Quddus, Irfan, Anny, Enda, Tamar, Basso, Arif, Lutfi, Sul

10. Kawan-kawan seperjuangan di pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

Cabang Makassar Timur, Ketum Iswanto, Sekum Were, kabid sejawat Imam,

Wawan, Buyung, Saris, dan Nunu dan kawan pengurus yang lain.

11. Adinda Waode Suharti, Amd.Keb, adik-adik Asrama Muna, Nur, Fia, Ayu,

Umrah, dan teman-teman Pondok Ta’aruf Tini, S.S, Dayat, SH., Madan, Dina,

SKM.

Dalam penulisan skripsi ini, tentunya masih banyak kekurangan di

dalamnya, oleh karena itu saran yang membangun sangatlah diharapkan demi

perbaikan penulisan kedepannya. Semoga dapat bernilai ibadah di sisi Allah

SWT dan dapat memberikan manfaat kepada kita semua. Amin.

Makassar, Agustus 2013

Penulis
x

DAFTAR TABEL

Tabel Hal

2.1 Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC ………………................ 12


2.2 Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO …………...…….......... 13
2.3 Klasifikasi Hipertensi Menurut CHS ……………................... 13
2.4 Klasifikasi menurut ESH ………………………..……… 14
2.5 Klasifikasi Hipertensi Menurut ISHIB ……………..……...… 15
2.6 Klasifikasi Hipertensi Menurut Perhimpunan Hipertensi
Indonesia ………………………….…............................... 16
2.7 Daftar Kadar Natrium Bahan Makanan (mg/100 gram Bahan
Makanan) ……………………………..…….………….......... 38
2.8 Daftar Kadar Natrium Bahan Makanan (mg/100 gram Bahan
Makanan) …………………………………..……………… 42
2.9 Klasifikasi Berat Badan untuk Orang Eropa (WHO 1998)........ 48
2.10 Klasifikasi Berat Badan untuk orang Asia (WHO 2000)......... 48
3.1 Analisis Hubungan Variabel ………………………………… 67
4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin pada Pasien
Rawat Jalan Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi
Tenggara Tahun 2012 ............................................................... 70

4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur pada


Pasien Rawat Jalan Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna
Sulawesi Tenggara Tahun 2012 ............................................... 71

4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan pada Pasien


Rawat Jalan Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi
Tenggara Tahun 2012 ................................................................ 72
4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan pada
Pasien Rawat Jalan Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna
Sulawesi Tenggara Tahun 2012 ................................................. 73
xi

4.5 Analisis Risiko Pola Konsumsi Natrium terhadap Kejadian


Hipertensi pada pada Pasien Rawat Jalan Puskesmas Lailangga
Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara Tahun 2012 .................... 74
4.6 Analisis Risiko Pola Konsumsi Kalium terhadap Kejadian
Hipertensi pada pada Pasien Rawat Jalan Puskesmas Lailangga
Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara Tahun 2012 ................... 75
4.7 Analisis Risiko Status Obesitas terhadap Kejadian Hipertensi
pada pada Pasien Rawat Jalan Puskesmas Lailangga
Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara Tahun 2012....................
76
xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal
2.1 Patofisiologi hipertensi……………...……………………….. 21

2.2 Beberapa faktor yang mempengaruhi tekanan darah……….. 29

2.3 Perjalanan Alamiah Hipertensi Primer Yang Tidak Terobati.. 30

2.4 Interaksi Diet Barat Modern dengan ginjal pada Patogenesis


Hipertensi Primer ……………….………………………
BAB I 46
2.5 Kerangka Konsep Penelitian ………………………………
57
2.6 Desain Penelitian case control study ……………………………
62
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah gizi di Indonesia dan di negara berkembang terutama di kota-kota

besar pada umumnya masih didominasi oleh masalah kurang energi protein

(KEP), anemia gizi, masalah gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY),

masalah kurang vitamin A (KVA), dan masalah obesitas. Pada Widya Karya

Nasional Pangan dan Gizi tahun 1993, terungkap bahwa Indonesia mengalami

masalah gizi ganda yang artinya masalah kekurangan gizi belum bisa diatasi

secara menyeluruh, kini kelebihan gizi juga menjadi masalah. Masalah gizi tidak

terlepas dari makanan karena masalah gizi timbul akibat kekurangan atau

kelebihan kandungan zat gizi dalam makanan. Pola makan yang menjurus pada

sajian siap santap yang mengandung lemak, protein, dan garam tinggi, tapi

rendah serat membawa konsekuensi terhadap berkembangnya penyakit

degeneratif seperti jantung, diabetes mellitus, kanker, osteoporosis, dan

hipertensi (Muhammadun, 2010).

Hipertensi merupakan penyebab utama tingginya morbiditas dan mortalitas

kardiovaskular. Estimasi prevalensi hipertensi di seluruh dunia hampir 1 milyar

orang, dan sekitar 7,1 juta kematian pertahun disebabkan oleh hipertensi.

Hipertensi juga merupakan masalah kesehatan yang utama dan sering dijumpai

di Indonesia. Prevalensi hipertensi di Indonesia masih tinggi. Studi

1
2

berkesinambungan dari Monitoring Trends and Determinants of Cardiovascular

Disease (MONICA) Jakarta melaporkan adanya peningkatan prevalensi

hipertensi pada populasi Indonesia dari 16,9% (tahun 1993) menjadi 17,9%

(tahun 2000) (Lylyasari, 2007).

Menurut WHO dan ISH (International Society of Hypertension), saat ini

terdapat 600 juta penderita hipertensi di seluruh dunia, dan 3 juta diantaranya

meninggal setiap tahunnya dan 7 dari setiap 10 penderita tersebut tidak

mendapatkan pengobatan secara adekuat. Data WHO menunjukkan dari 50%

penderita hipertensi yang terdeteksi, hanya 25% dapat diobati dengan baik.

Mereka yang menderita hipertensi, saat ini semakin banyak. Dari sejumlah 639

juta kasus di tahun 2000, diperkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025.

Ini berarti dibanding tahun 2000, terjadi peningkatan hingga 60%. Dugaan ini

berdasarkan dari data global selama dua dekade. Data ini diteliti karena

hipertensi merupakan faktor resiko untuk sejumlah penyakit membahayakan

seperti penyakit jantung, stroke dan penyakit ginjal.

Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2004, hipertensi menempati

urutan ketiga sebagai penyakit yang paling sering diderita oleh pasien rawat

jalan. Pada tahun 2006, hipertensi menempati urutan kedua penyakit yang paling

sering diderita pasien oleh pasien rawat jalan Indonesia (4,67%) setelah ISPA

(9,32%) (Depkes, 2008). Menurut Menurut Laporan Survey Kesehatan Rumah

Tangga (SKRT) BPPK Depkes tahun 2000 sekitar 15 – 20% masyarakat

Indonesia menderita hipertensi, dan jumlah tersebut diperkirakan akan


3

meningkat menjadi 42% secara keseluruhan pada tahun 2025 mendatang

(Puspita, 2009). Sedangkan berdasarkan SKRT 2004, prevalensi hipertensi di

Indonesia sebesar 14 % dengan kisaran 13,4% – 14,6%. Prevalensi hipertensi

tersebut meningkat seiring dengan bertambahnya umur dan lebih banyak

didominasi oleh wanita sebesar 16% dibandingkan pria sebanyak 12%

(Wiryowidagdo, 2008).

Berdasarkan Riskesdas Nasional tahun 2007, hipertensi merupakan pola

penyebab kematian semua umur ketiga, setelah stroke dan TB, dengan proporsi

kematian sebesar 6,8%. Adapun prevalensi nasional Hipertensi pada penduduk

umur >18 tahun adalah sebesar 31,7% (berdasarkan pengukuran). prevalensi

hipertensi untuk wilayah Sulawesi Tenggara hampir menyamai angka prevalensi

nasional yaitu 31, 6% atau menduduki peringkat ke-11 dari 33 provinsi di

Indonesia. Walaupun angka tersebut berada di bawah prevalensi nasional akan

tetapi angka tersebut masih tinggi (Depkes, 2008).

Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Muna (profil

kesehatan) tahun 2007, bahwa melalui kegiatan Surveilans Terpadu Penyakit

(STP) terhadap semua jenis kunjungan kasus baru tahun 2007, dimana hipertensi

menempati urutan keempat dalam sepuluh jenis penyakit terbesar setelah

influenza, diare, dan malaria klinis. Jumlah kasus sepuluh penyakit terbesar,

yaitu influenza 32.036 kasus, diare 11.050 kasus, malaria klinis 9.612 kasus,

hipertensi 9.090 kasus, diare berdarah 2.518 kasus, pnemonia 1.940 kasus, typus
4

perut klinis 1.141 kasus, tersangka TBC paru 1.043 kasus, TBC Paru BTA(+)

192 kasus, dan diabetes melitus 183 kasus (Dinkes Kab.Muna 2007).

Sedangkan pada tahun 2009, penyakit tekanan darah tinggi masih masuk

dalam sepuluh penyakit terbesar yakni urutan keenam. Adapun jumlah

kunjungan sepuluh penyakit terbesar yang diderita oleh pasien rawat jalan di

Kabupaten Muna tahun 2009 yaitu ISPA 37.854 kasus atau 23,6%, penyakit

sistem otot & jaringan ikat 27. 574 kasus atau 17,2%, penyakit lain dari saluran

nafas atas 17.829 kasus atau 11,1%, kulit alergi 15.990 kasus atau 10,0%,

penyakit usus 12.800 kasus atau 8,0%, tekanan darah tinggi 11. 393 kasus atau

7,1%, kulit infeksi 11.004 kasus atau 6,8%, bronkhitis 10. 456 kasus atau 6,5%,

diare 9.037 kasus atau 5,6%, kecelakaan dan ruda paksa 6.762 kasus atau 4,2%

(Dinkes Kab.Muna 2010).

Berkembangnya hipertensi sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-

faktor tersebut antara lain kurangnya aktivitas fisik dan obesitas, kebiasaan

merokok, keadaan stress, riwayat keluarga, dan kebiasaan mengkonsumsi

makanan tinggi lemak hewani, kurangnya serat, tinggi natrium dan rendah

kalium (Lipoeto, 2002).

Hubungan natrium dengan hipertensi menurut penelitian Framingham

adalah adanya kaitan antara asupan natrium yang berlebihan dengan tekanan

darah tinggi pada individu. Asupan natrium yang meningkat menyebabkan tubuh

meretensi cairan, yang meningkatkan volume darah. Jantung harus memompa

keras untuk mendorong volume darah yang meningkat melalui ruang yang
5

makin sempit yang akibatnya adalah hipertensi (Sobel et al, 1999). Penelitian

epidemiologi menunjukan bahwa asupan rendah kalium akan mengakibatkan

peningkatan tekanan darah dan renal vascular remodeling yang

mengindikasikan terjadinya resistensi pembuluh darah pada ginjal. Pada

populasi dengan asupan tinggi kalium, tekanan darah dan prevalensi hipertensi

lebih rendah dibanding dengan populasi yang mengkonsumsi rendah kalium

(Appel 1999 dalam Lestari 2010).

Dari hasil penelitian yang dilakukan Nawi dkk (2006) di RSU.Labuang

Baji, diperoleh hasil bahwa sebagian besar penderita hipertensi (86,1%)

mengkonsumsi garam lebih atau sama dengan 3,5 sendok makan perhari atau

mengkonsumsi ikan asin lebih dari dua kali seminggu. Hal ini juga sesuai

dengan hasil penelitian yang dilakukan Buata (2009) pada pasien rawat jalan

unit interna di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo yang menyatakan bahwa

responden yang menderita hipertensi lebih banyak mempunyai pola makan yang

tinggi natrium sebanyak 106 orang (65,4%) dibanding pola makan rendah

natrium sebanyak 93 orang (58,5%). Konsumsi garam dalam jumlah yang tinggi

dapat mengecilkan diameter dari arteri, sehingga jantung harus memompa lebih

keras untuk mendorong volume darah yang meningkat melalui ruang yang

semakin sempit dan akibatnya adalah hipertensi.

Hasil penelitian Hendrayani (2009) yang dilakukan di kompleks

perhubungan Surabaya dimana 76,5% subjek memiliki rasio asupan Na:K

kurang baik. Diperoleh hasil bahwa ada hubungan yang bermakna antara rasio
6

asupan natrium:kalium dengan hipertensi dan arah korelasi positif yaitu apabila

rasio asupan natrium:kalium meningkat, maka kejadian hipertensi juga

meningkat. Penelitian yang dilakukan oleh Lipoeto (2002) juga menunujukan

bahwa adanya hubungan bermakna antara konsumsi rendah kalium dengan

kejadian hipertensi.

Dalam penelitian Atih Suryatih (2005) menjelaskan adanya hubungan

korelasi positif sedang antara obesitas dan hipertensi dengan nilai r = 0,433 dan

nilai p= 0,010. Selain itu, penelitian hubungan obesitas dengan hipertensi yang

dilakukan di Kecamatan Cijeruk Bogor mendapatkan hasil bahwa obesitas

mempunyai risisko hipertensi lebih dari empat kali lipat dibandingkan dengan

orang berpostur tubuh normal (OR= 6,33; Cl = 2,62-15,29). Penelitian lain di

Semarang mendapatkan hasil yaitu kejadian hipertensi sebesar 5,8% pada

kelompok obesitas dibanding dengan 1,7% pada kelompok berat badan normal

(Basuki, 2001; Rahmatullah, 1999 dalam Nurhaedar Jafar 2009).

Hasil penelitian Aris Sugiharto (2007) menunjukan bahwa obesitas

(IMT>25) terbukti merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi, dengan nilai p

= 0,047, OR adjusted = 4,02 dan 95% CI = 1,72 – 9,37. Hal tersebut berarti

bahwa obesitas berisiko terkena hipertensi sebesar 4,02 kali dibandingkan orang

yang tidak obesitas.

Walaupun merupakan masalah kesehatan umum yang kadang-kadang

menimbulkan konsekuensi berat, hipertensi sering tidak menimbulkan gejala

sampai tahap perkembangan lanjut. Hipertensi adalah salah satu faktor resiko
7

terpenting pada penyakit jantung koroner dan cerebrovaskuler accidents. Selain

itu hipertensi juga dapat menyebabkan hipertrofi jantung dan gagal jantung

(penyakit jantung hipertensif), diseksi aorta, dan gagal ginjal (Robbins, 2007).

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa hipertensi merupakan salah

satu resiko penyakit jantung dan pembuluh darah lainnya, pola konsusmsi

natrium dan kalium serta obesitas berpengaruh terhadap tekanan darah

seseorang, serta berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Muna tahun

2007 dan tahun 2009 hipertensi masih merupakan salah satu penyakit dari

sepuluh penyakit yang diderita oleh pasien rawat jalan di Kabupaten Muna,

maka penulis ingin melakukan penelitian yang berjudul “faktor risiko pola

konsumsi natrium dan kalium serta status obesitas terhadap kejadian hipertensi

pada pasien rawat jalan di Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi

Tenggara”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah

untuk penelitian ini adalah:

1. Seberapa besar risiko pola konsumsi natrium terhadap kejadian hipertensi

pada pasien rawat jalan di Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi

Tenggara?
8

2. Seberapa besar risiko pola konsumsi kalium terhadap kejadian hipertensi

pada pasien rawat jalan di Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi

Tenggara?

3. Seberapa besar risiko status obesitas terhadap kejadian hipertensi pada pasien

rawat jalan di Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui besarnya faktor resiko pola konsumsi natrium dan

kalium serta obesitas terhadap kejadian hipertensi pada pasien rawat jalan di

Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui besar risiko pola konsumsi natrium terhadap kejadian

hipertensi pada pasien rawat jalan di Puskesmas Lailangga Kabupaten

Muna Sulawesi Tenggara.

b. Untuk mengetahui besar risiko pola konsumsi kalium terhadap kejadian

hipertensi pada pasien rawat jalan di Puskesmas Lailangga Kabupaten

Muna Sulawesi Tenggara.

c. Untuk mengetahui besar risiko status obesitas terhadap kejadian

hipertensi pada pasien rawat jalan di Puskesmas Lailangga Kabupaten

Muna Sulawesi Tenggara.


9

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

Hasil penelitian diharapakan dapat menjadi bahan pertimbangan oleh

petugas Kesehatan di Puskemas Lailangga khususnya dan Dinas Kesehatan

Kabupaten Muna umumnya dalam menangani dan mencegah kejadian

hipertensi.

2. Manfaat Ilmiah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat referensi ilmiah bagi penelitian

selanjutnya dan menambah wawasan serta memperkaya khasanah keilmuan

bagi siapapun yang membacanya terutama tentang hipertensi.

3. Manfaat bagi Peneliti

Manfaat bagi peneliti sendiri merupakan pengalaman berharga dalam

melaksanakan penelitian dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang

diperoleh selama di bangku kuliah.


10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Hipertensi

1. Pengertian Hipertensi

Sampai saat ini belum ada defenisi yang tepat mengenai hipertensi, karena

tidak ada batas yang tegas yang membedakan antara hipertensi dengan normotensi.

Yang telah dibuktikan adalah peningkatan tekanan darah akan menaikkan mortalitas

dan morbiditas. Secara teoritis hipertensi didefenisikan sebagai suatu tingkat tekanan

darah tertentu yaitu di atas tingkat tekanan darah tersebut dengan memberikan

pengobatan akan menghasilkan lebih banyak manfaat dibandingkan dengan tidak

memberikan pengobatan (Susalit dkk, 2003).

Hipertensi adalah penyakit yang relatif misterius yag ditandai oleh

secara konsisten tingginya (abnormal) tekanan darah diastolik dan/atau sistolik, yang

secara teoritis dapat disebabkan oleh meningkatnya volume darah dan/atau

berkontriksinya pembuluh darah atau oleh beberapa hal yang mempengaruhi

cardiac-output, heart rate, dan sebagainya (Linder, 1992). Tidak ada ambang batas

pasti yang memisahkan resiko dari normal, namun tekanan diastole menetap diatas

90 mm Hg, atau tekanan sistol menetap diatas 140 mm Hg, dianggap hipertensi.

Tingkat tekanan darah merupakan suatu sifat kompleks yang ditentukan oleh

interaksi berbagai faktor genetik, lingkungan, dan demografi yang mempengaruhi

10
11

dua variabel hemodinamik yaitu curah jantung dan resistensi perifer. Total curah

jantung dipengaruhi oleh volume darah, sementara volume darah sangat bergantung

pada homeostatis natrium. Resistensi perifer total terutama ditentukan di tingkat

arteriol dan bergantung pada efek pengaruh saraf dan hormon (Robbins, 2007).

Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala

yang akan berlanjut untuk suatu target organ seperti stroke (untuk otak), penyakit

jantung koroner (untuk pembuluh darah jantung), dan left ventricle hypertrophy

(untuk otot jantung). Dengan target organ di otak, hipertensi adalah penyebab utama

stroke yang membawa kematian tinggi (Bustan, 1997).

Dari definisi-definisi diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa hipertensi

adalah suatu keadaan di mana tekanan darah menjadi naik karena gangguan pada

pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh

darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya.

2. Klasifkasi Hipertensi

Beberapa klasifikasi hipertensi:

a. Klasifikasi Menurut Joint National Commite 7

Komite eksekutif dari National High Blood Pressure Education

Program merupakan sebuah organisasi yang terdiri dari 46 professionalm

sukarelawan, dan agen federal. Mereka mencanangkan klasifikasi JNC (Joint

Committe on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood

Pressure) pada tabel 1, yang dikaji oleh 33 ahli hipertensi nasional Amerika Serikat

(Schlenker, 2007).
12

Tabel 2.1
Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC (Joint National Committe on Prevention,
Detection, Evaluatin, and Treatment of High Blood Pressure)
Kategori Kategori Tekanan dan/ Tekanan
Tekanan Darah Tekanan Darah Darah Sistol atau Darah Diastol
menurut JNC 7 menurut JNC 6 (mmHg) (mmHg)
Normal Optimal < 120 Dan < 80
Pra-Hipertensi 120-139 Atau 80-89
- Nornal < 130 Dan < 85
- Normal-Tinggi 130-139 Atau 85-89
Hipertensi: Hipertensi:
Tahap 1 Tahap 1 140-159 Atau 90-99
Tahap 2 - ≥ 160 Atau ≥ 100
- Tahap 2 160-179 Atau 100-109
Tahap 3 ≥ 180 Atau ≥ 110
Sumber: JNC, 2007

Data terbaru menunjukkan bahwa nilai tekanan darah yang sebelumnya

dipertimbangkan normal ternyata menyebabkan peningkatan resiko komplikasi

kardiovaskuler. Data ini mendorong pembuatan klasifikasi baru yang disebut pra

hipertensi (Sani, 2008).

b. Klasifikasi Menurut WHO (World Health Organization)

WHO dan International Society of Hypertension Working Group

(ISHWG) telah mengelompokkan hipertensi dalam klasifikasi optimal, normal,

normal-tinggi, hipertensi ringan, hipertensi sedang, dan hipertensi berat (Sani, 2008).
13

Tabel 2.2
Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO
Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah
Sistol (mmHg) Diatol (mmHg)
Optimal < 120 < 80
Normal < 130 < 85
Normal-Tinggi 130-139 85-89
Tingkat 1 (Hipertensi Ringan) 140-159 90-99
Sub-group: perbatasan 140-149 90-94
Tingkat 2 (Hipertensi Sedang) 160-179 100-109
Tingkat 3 (Hipertensi Berat) ≥ 180 ≥ 110
Hipertensi sistol terisolasi ≥ 140 < 90
(Isolated systolic hypertension)
Sub-group: perbatasan 140-149 <90
Sumber: Sani, 2008

c. Klasifikasi Menurut Chinese Hypertension Society

Menurut Chinese Hypertension Society (CHS) pembacaan tekanan darah

<120/80 mmHg termasuk normal dan kisaran 120/80 hingga 139/89 mmHg termasuk

normal tinggi (Shimamoto, 2006)

Tabel 2.3
Klasifikasi Hipertensi Menurut CHS
Tekanan Darah Sistol Tekanan Darah CHS-2005
(mmHg) Diastol (mmHg)
< 120 < 80 Normal
120-129 80-84 Normal-Tinggi
130-139 85-89
Tekanan Darah Tinggi
140-159 90-99 Tingkat 1
160-179 100-109 Tingkat 2
≥ 180 ≥ 110 Tingkat 3
≥ 140 ≤ 90 Hypertensi Sistol terisolasi
Sumber: Shimamoto, 2006
14

d. Klasifikasi menurut European Society of Hypertension (ESH) (Mancia G,

2007)

Klasifikasi yang dibuat oleh ESH adalah:

1. Jika tekanan darah sistol dan distol pasien berada pada kategori yang

berbeda, maka resiko kardiovaskuler, keputusan pengobatan, dan

perkiraan afektivitas pengobatan difokuskan pada kategori dengan

nilai lebih.

2. Hipertensi sistol terisolasi harus dikategorikan berdasarkan pada

hipertensi sistol-distol (tingkat 1, 2 dan 3). Namun tekanan diastol

yang rendah (60-70 mmHg) harus dipertimbangkan sebagai resiko

tambahan.

3. Nilai batas untuk tekanan darah tinggi dan kebutuhan untuk memulai

pengobatan adalah fleksibel tergantung pada resiko kardiovaskuler

total.

Tabel 2.4
Klasifikasi Hipertensi menurut ESH
Kategori Tekanan Tekanan
Darah Sistol Darah Diastol
(mmHg) (mmHg)
Optimal < 120 dan < 80
Normal 120-129 dan/atau 80-84
Normal-Tinggi 130-139 dan/atau 85-89
Hipertensi tahap 1 140-159 dan/atau 90-99
Hipertensi tahap 2 160-179 dan/atau 100-109
Hipertensi tahap 3 ≥ 180 dan/atau ≥ 110
Hipertensi sistol terisolasi ≥ 140 Dan < 90
Sumber: Gardner, 2007
15

e. Klasifikasi menurut International Society on Hypertension in Blcks

(ISHIB) (Douglas JG, 2003)

Klasifikasi yang dibuat oleh ISHIB adalah:

1) Jika tekanan darah sistol dan diastole pasien termasuk ke dalam dua

kategori yang berbeda, maka klasifikasi yang dipilih adalah

berdasarkan kategori yang lebih tinggi.

2) Diagnosa hipertensi pada dasarnya adalah rata-rata dari dua kali atau

lebih pengukuran yang diambil pada setiap kunjungan.

3) Hipertensi sistol terisolasi dikelompokkan pada hipertensi tingkat 1

sampai 3 berdasarkan tekanan darah sistol (≥ 140 mmHg) dan diastole

( < 90 mmHg).

4) Peningkatan tekanan darah yang melebihi target bersifat kritis karena

setiap peningkatan tekanan darah menyebabkan resiko kejadian

kardiovaskuler.

Tabel 2.5
Klasifikasi Hipertensi Menurut ISHIB

Kategori Tekanan Tekanan


Darah Sistol Darah Diastol
(mmHg) (mmHg)
Optimal < 120 dan < 80
Normal < 130 dan/atau < 85
Normal-Tinggi 130-139 dan/atau 85-89
Hipertensi Tahap 1 140-159 dan/atau 90-99
Hipertensi Tahap 2 160-179 dan/atau 100-109
Hipertensi Tahap 3 ≥ 180 dan/atau ≥ 110
Hipertensi Sistol terisolasi ≥ 140 dan < 90
Sumber: Beevers, 2002
16

f. Klasifikasi berdasarkan hasil konsesus Perhimpunan Hipertensi Indonesia

(Sani, 2008).

Pada pertemuan ilmiah Nasional pertama perhimpunan hipertensi

Indonesia 13-14 Januari 2007 di Jakarta, telah diluncurkan suatu konsensus

mengenai pedoman penanganan hipertensi di Indonesia yang ditujukan bagi mereka

yang melayani masyarakat umum:

1) Pedoman yang disepakati para pakar berdasarkan prosedur standar dan

ditujukan untuk meningkatkan hasil penanggulangan ini kebanyakan

diambil dari pedoman Negara maju dan Negara tetangga, dikarenakan

data penelitian hipertensi di Indonesia yang berskala Nasional dan

meliputi jumlah penderita yang banyak masih jarang.

2) Tingkatan hipertensi ditentukan berdasarkan ukuran tekanan darah

sistolik dan diastolik dengan merujuk hasil JNC dan WHO.

3) Penentuan stratifikasi resiko hipertensi dilakukan berdasarkan tingginya

tekanan darah, adanya faktor resiko lain, kerusakan organ target dan

penyakit penyerta tertentu.

Tabel 2.6
Klasifikasi Hipertensi Menurut Perhimpunan Hipertensi Indonesia

Kategori Tekanan Darah dan/atau Tekanan Darah


Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)
Normal <120 dan <80
Prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi Tahap 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi Tahap 2 ≥160-179 atau ≥100
Hipertensi Sistol ≥140 dan <90
terisolasi
17

Sumber: Sani, 2008

Klasifikasi hipertensi menurut bentuknya ada dua yaitu hipertensi sistolik dan

hipertensi diastolik (Smith, Tom, 1986:7). Pertama yaitu hipertensi sistolik adalah

jantung berdenyut terlalu kuat sehingga dapat meningkatkan angka sistolik. Tekanan

sistolik berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi

(denyut jantung). Ini adalah tekanan maksimum dalam arteri pada suatu saat dan

tercermin pada hasil pembacaan tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya

lebih besar.

Kedua yaitu hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh darah kecil menyempit

secara tidak normal, sehingga memperbesar tahanan terhadap aliran darah yang

melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan darah diastolik

berkaitan dengan tekanan dalam arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksasi

diantara dua denyutan. Sedangkan menurut Arjatmo T dan Hendra U (2001) faktor

yang mempengaruhi prevalensi hipertensi antara lain ras, umur, obesitas, asupan

garam yang tinggi, adanya riwayat hipertensi dalam keluarga.

Klasifikasi hipertensi menurut sebabnya dibagi menjadi dua yaitu primer yang tidak

diketahui penyebabnya atau idiopatik dan hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang

disebabkan oleh penyakit lain. Hipertensi primer meliputi lebih kurang 90% dari

seluruh penderita hipertensi dan 10% lainnya disebabkan hipertensi sekunder

(Susalit, 2003).

Hipertensi primer atau hipertensi esensial adalah kondisi dimana terjadinya tekanan

darah tinggi sebagai akibat dari gaya hidup seseorang dan factor lingkungan.
18

Seseorang yang pola makannya tidak terkontrol akan mengakibatkan kelebihan berat

badan bahkan obesitas, merupakan pencertus awal penyakit tekanan darah tinggi.

Sedangkan hipertensi sekunder adalah kondisi dimana terjadinya tekanan darah

tinggi akibat mengalami penyakit lain seperti gagal ginjal, gagal jantung atau

kerusakan system hormone tubuh (Muhammadun, 2010).

Klasifikasi hipertensi menurut gejala dibedakan menjadi dua yaitu hipertensi

Benigna dan hipertensi Maligna. Hipertensi Benigna adalah keadaan hipertensi yang

tidak menimbulkan gejala-gejala, biasanya ditemukan pada saat penderita dicek up.

Hipertensi Maligna adalah keadaan hipertensi yang membahayakan biasanya disertai

dengan keadaan kegawatan yang merupakan akibat komplikasi organ-organ seperti

otak, jantung dan ginjal (Susalit dkk, 2003).

3. Epidemiologi Hipertensi

Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang

memberi gejala yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk otak,

penyakit jantung koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung.

Penyakit ini telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di

Indonesia maupun di beberapa negara yang ada di dunia. Semakin meningkatnya

populasi usia lanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga

akan bertambah. Diperkirakan sekitar 80 % kenaikan kasus hipertensi terutama di

negara berkembang tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, di

perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada
19

angka penderita hipertensi saat ini dan pertambahan penduduk saat ini (Anggraini,

2008).

Di Amerika, diperkirakan 30% penduduknya (±50 juta jiwa) menderita

tekanan darah tinggi (≥140/90 mmHg), dengan presentase biaya kesehatan cukup

besar setiap tahunnya. Menurut Nasional Health and Nutrition Eximination Survey

(NHNES), insiden hipertensi pada orang dewasa di Amerika tahun 1999-2000 adalah

sekitar 29,31%, yang berarti bahwa terdapat 58-65 juta orang pmenderita hipertensi

dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHNES III tahun 1988-1991. Tekanan

darah tinggi merupakan salah satu penyakit degeratif. Umumnya tekanan darah

bertambah secara perlahan dengan bertambahnya umur. Resiko untuk menderita

hipertensi pada populasi ≥55 tahun yang tadinya tekanan darah prehipertensi

sebelum mereka didiagnosis dengan hipertensi, dan kebanyakan didiagnosis

hipertensi terjadi pada umur diantara dekade ketiga dan dekade kelima. Sampai

dengan umur 55 tahun, laki-laki lebih banyak menderita hipertensi dibanding

perempuan. Dari umur 55 -74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan dibanding laki-

laki yang menderita hipertensi. Pada populasi lansia (umur ≥60 tahun), prevalensi

untuk hipertensi sebesar 65,4% (Depkes, 2006).

Angka-angka prevalensi hipertensi di Indonesia telah banyak

dikumpulkan dan menunjukkan di daerah pedesaan masih banyak penderita yang

belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan. Baik dari segi case finding maupun

penatalaksanaan pengobatannya. Jangkauan masih sangat terbatas dan sebagian besar

penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan. Prevalensi terbanyak berkisar antara


20

6 sampai dengan 15%, tetapi angka prevalensi yang rendah terdapat di Ungaran,

Jawa Tengah sebesar 1,8% dan Lembah Balim Pegunungan Jaya Wijaya, Irian Jaya

sebesar 0,6% sedangkan angka prevalensi tertinggi di Talang Sumatera Barat 17,8%

(Anggraini, 2008).

Prevalensi nasional hipertensi pada penduduk umur >18 tahun adalah

sebesar 31,7% (berdasarkan pengukuran). Sebanyak 10 provinsi mempunyai

prevalensi hipertensi pada penduduk umur >18 tahun di atas prevalensi nasional,

yaitu Riau, Bangka Belitung, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa

Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi

Tengah, dan Sulawesi Barat. Sedangkan prevalensi hipertensi untuk wilayah

Sulawesi Tenggara hampir menyamai angka prevalensi nasional yaitu 31, 6% atau

menduduki peringkat ke-11 dari 33 provinsi di Indonesia. Walaupun angka tersebut

berada di bawah prevalensi nasional akan tetapi angka tersebut masih tinggi (Depkes,

2008).

4. Etiologi Hipertensi

Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Pada

kebanyakan pasien etiologi patofisiologinya tidak diketahui (essensial atau hipertensi

primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol.

Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab

hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder

dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara

potensial (Depkes, 2006).


21

Sampai saat ini penyebab hipertensi esensial tidak diketahui dengan

pasti. Hipertensi primer tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan khusus. Hipertensi

ini disebabkan berbagai faktor yang saling berkaitan. Hipertensi sekunder disebabkan

oleh faktor primer yang diketahui yaitu seperti kerusakan ginjal, gangguan obat

tertentu, stres akut, kerusakan vaskuler dan lain-lain. Adapun penyebab paling umum

pada penderita hipertensi maligna adalah hipertensi yang tidak terobati. Risiko relatif

hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan dari faktor risiko yang dapat

dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi (Anggraini, 2008).

Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetik,

umur, jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi

stres, obesitas dan nutrisi (Anggraini, 2008).

a. Faktor Genetik

Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan

keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan

peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap

sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih

besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai keluarga

dengan riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial

dengan riwayat hipertensi dalam keluarga (Anggraini, 2008).

b. Umur

Insidensi hipertensi meningkat seiring dengan pertambahan umur.

Pasien yang berumur di atas 60 tahun, 50 – 60 % mempunyai tekanan darah lebih


22

besar atau sama dengan 140/90 mmHg. Hal ini merupakan pengaruh degenerasi yang

terjadi pada orang yang bertambah usianya (Anggraini, 2008).

Hipertensi merupakan penyakit multifaktorial yang munculnya oleh

karena interaksi berbagai faktor. Dengan bertambahnya umur, maka tekanan darah

juga akan meningkat. Setelah umur 45 tahun, dinding arteri akan mengalami

penebalan oleh karena adanya penumpukan zat kolagen pada lapisan otot, sehingga

pembuluh darah akan berangsur-angsur menyempit dan menjadi kaku. Tekanan

darah sistolik meningkat karena kelenturan pembuluh darah besar yang berkurang

pada penambahan umur sampai dekade ketujuh sedangkan tekanan darah diastolik

meningkat sampai dekade kelima dan keenam kemudian menetap atau cenderung

menurun. Peningkatan umur akan menyebabkan beberapa perubahan fisiologis, pada

usia lanjut terjadi peningkatan resistensi perifer dan aktivitas simpatik. Pengaturan

tekanan darah yaitu refleks baroreseptor pada usia lanjut sensitivitasnya sudah

berkurang, sedangkan peran ginjal juga sudah berkurang dimana aliran darah ginjal

dan laju filtrasi glomerulus menurun (Anggraini, 2008).

c. Jenis Kelamin

Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita.

Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. 19

Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang

berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar

kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya

proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan


23

adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai

kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi

pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen

tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami, yang

umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun (Anggraini, 2008).

d. Etnis

Hipertensi lebih banyak terjadi pada orang berkulit hitam dari pada

yang berkulit putih. Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti penyebabnya.

Namun pada orang kulit hitam ditemukan kadar renin yang lebih rendah dan

sensitifitas terhadap vasopresin lebih besar (Anggraini, 2008).

e. Obesitas

Berat badan merupakan faktor determinan pada tekanan darah pada

kebanyakan kelompok etnik di semua umur. Menurut National Institutes for Health

USA (NIH,1998), prevalensi tekanan darah tinggi pada orang dengan Indeks Massa

Tubuh (IMT) >30 (obesitas) adalah 38% untuk pria dan 32% untuk wanita,

dibandingkan dengan prevalensi 18% untuk pria dan 17% untuk wanita bagi yang

memiliki IMT <25 (status gizi normal menurut standar internasional) (Anggraini,

2008).

Menurut Hall (1994) perubahan fisiologis dapat menjelaskan

hubungan antara kelebihan berat badan dengan tekanan darah, yaitu terjadinya

resistensi insulin dan hiperinsulinemia, aktivasi saraf simpatis dan sistem renin-

angiotensin, dan perubahan fisik pada ginjal. Peningkatan konsumsi energi juga
24

meningkatkan insulin plasma, dimana natriuretik potensial menyebabkan terjadinya

reabsorpsi natrium dan peningkatan tekanan darah secara terus menerus (Anggraini,

2008).

f. Pola Asupan Garam dalam Diet

Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO)

merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko terjadinya

hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak lebih dari 100 mmol

(sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari (Anggraini, 2008)

Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di

dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler

ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya

volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah,

sehingga berdampak kepada timbulnya hipertensi (Anggraini, 2008)

Karena itu disarankan untuk mengurangi konsumsi natrium/sodium.

Sumber natrium/sodium yang utama adalah natrium klorida (garam dapur), penyedap

masakan monosodium glutamate (MSG), dan sodium karbonat. Konsumsi garam

dapur (mengandung iodium) yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram per hari,

setara dengan satu sendok teh. Dalam kenyataannya, konsumsi berlebih karena

budaya masak-memasak masyarakat kita yang umumnya boros menggunakan garam

dan MSG (Anggraini, 2008)

g. Merokok
25

Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat

dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko

terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis (Anggraini, 2008).

Dalam penelitian kohort prospektif oleh dr. Thomas S Bowman dari

Brigmans and Women’s Hospital, Massachussetts terhadap 28.236 subyek yang

awalnya tidak ada riwayat hipertensi, 51% subyek tidak merokok, 36% merupakan

perokok pemula, 5% subyek merokok 1-14 batang rokok perhari dan 8% subyek

yang merokok lebih dari 15 batang perhari. Subyek terus diteliti dan dalam median

waktu 9,8 tahun. Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu kejadian hipertensi terbanyak

pada kelompok subyek dengan kebiasaan merokok lebih dari 15 batang perhari

(Anggraini, 2008).

5. Patofisiologi Hipertensi

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya

angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE

memegang peran fisiologis yang sangat penting terutama dalam mengatur tekanan

darah dalam tubuh. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi oleh

hati. Selanjutnya oleh adanya hormon, renin (yang diproduksi oleh ginjal) akan

diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I

diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci

dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aktivitas utama (Anggraini, 2008).
26

Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik

(ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan

bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan

meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh

(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk

mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara

menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang

pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Untuk mengencerkannya, volume

cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian

intraseluler (Anggraini, 2008).


27

Renin

Angiotensin I

Angiotensin I Converting Enzyme (ACE)

Angiotensin II

↑ Sekresi hormone ADH rasa haus


Stimulasi sekresi aldosteron dari
korteks adrenal

Urin sedikit → pekat & ↑osmolaritas


↓ Ekskresi NaCl (garam) dengan
mereabsorpsinya di tubulus ginjal

Mengentalkan

↑ Konsentrasi NaCl
di pembuluh darah
Menarik cairan intraseluler → ekstraseluler

Diencerkan dengan ↑ volume


Volume darah ↑ ekstraseluler

↑ Tekanan darah ↑ Volume darah

↑ Tekanan darah

Gambar 2.1 Patofisiologi hipertensi.


(Sumber: Rusdi & Nurlaela Isnawati, 2009)

Aktivitas kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.

Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada

ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi


28

ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal.

Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan

volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan

tekanan darah (Anggraini, 2008).

Patogenesis dari hipertensi esensial merupakan multifaktorial dan

sangat komplek. Tekanan darah yang dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan

perifer. Pathogenesis hipertensi dipicu oleh beberapa factor yaitu factor genetic,

asupan garam dalam diet, obesitas, factor endotel, dan tingkat stress dapat

berinteraksi untuk memunculkan gejala hipertensi. Selain itu sebenarnya tekanan

darah juga dipengaruhi oleh tekanan atrium kanan, namun karena tekanan atrium

kanan mendekati nol nilai tersebut tidak mempunyai banyak pengaruh (Susalit,

2003).

Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem sirkulasi

dilakukan oleh aksi memompa dari jantung (cardiac output/CO) dan dukungan dari

arteri (peripheral resistance/PR). Fungsi kerja masing-masing penentu tekanan darah

ini dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor yang kompleks. Hipertensi

sesungguhnya merupakan abnormalitas dari faktor-faktor tersebut, yang ditandai

dengan peningkatan curah jantung dan / atau ketahanan periferal. Selengkapnya

dapat dilihat pada bagan.


29

Gambar 2.2 Beberapa faktor yang mempengaruhi tekanan darah


(Sumber: Susalit, 2003)

Perjalanan penyakit hipertensi esensial berkembang dari hipertensi

yang kadang-kadang muncul menjadi hipertensi yang persisten. Setelah periode

asimtomatik yang lama, hipertensi persisten berkembang menjadi hipertensi dengan

komplikasi, dimana kerusakan organ target di aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal,

retina dan susunan saraf pusat. Progresifitas hipertensi dimulai dari prehipertensi

pada pasien umur 10-30 tahun (dengan meningkatnya curah jantung) kemudian

menjadi hipertensi dini pada pasien umur 20-40 tahun (dimana tahanan perifer

meningkat) kemudian menjadi hipertensi pada umur 30-50 tahun dan akhirnya
30

menjadi hipertensi dengan komplikasi pada usia 40-60 tahun. Pada berbagai

penyelidikan terbukti bahwa makain tinggi tekanan darah dan makin lama seseorang

mengidap hipertensi makin tinggi angka morbiditas dan mortalitas yang disebabkan

hipertensi. Mortaliats dapat disebakan oleh serangan jantung, stroke, dan gagal ginjal

(Susalit, 2003).

Lingkungan Hereditas

Pre-Hipertensi
Komplikasi
Hipertensi dini
Komplikasi
Hipertensi Menetap
Komplikasi

Tanpa Komplikasi Dengan Komplikasi

Hipertensi Jantung: Pembuluh Otak: Ginjal:


Maligna Hipertropi Darah: Iskemia Nefrosklreosis
gagal jantung Aneurisma trombosis gagal ginjal
infark perdarahan

Gambar 3. Perjalanan Alamiah Hipertensi Primer Yang Tidak Terobati

6. Diagnosis Hipertensi

Data pasien hipertensi dapat diperoleh dengan cara anamnesis,

pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang. Pada 70-


31

80% kasus hipertensi primer didapatkan riwayat hipertensi dalam keluarga meskipun

hal ini belum dapat memastikan diagnosis. Jika didapatkan riwayat hipertensi pada

kedua orang tua dugaan terhadap hipertensi makin kuat. Sebagian besar terjadi pada

umur 25-45 tahun. Kebiasaan makan makanan yang banyak mengandung garam

perlu ditanyakan. Pada wanita perlu diketahui riwayat hipertensi pada kehamilan,

riwayat eklamsia, riwayat persalianan, dan penggunaan pil kontrasepsi. Keterangan

lain yang diperlukan adalah tentang penyakit lain yang diderita seperti DM, penyakit

ginjal, serta factor resiko hiperetensi seperti rokok, alcohol, stress, serta data berat

badan (Susalit, 2003).

Peningkatan tekanan darah sering merupakan satu-satunya tanda

klinis hipertensi primer, sehingga diperlukan pengukuran tekanan darah yang akurat.

Gofir (2002) menyatakan bahwa tekanan darah diukur setelah seseorang duduk atau

berbaring selama lima menit. Misalnya diperoleh angka 140/90 mmHg atau lebih

dapat diartikan sebagai hipertensi, tetapi didiagnosis tidak dapat ditegakkan hanya

berdasarkan satu kali pengukuran. Jika pada pengukuran pertama memberikan hasil

yang tinggi maka tekanan darah diukur kembali dan kemudian diukur sebanyak dua

kali pada dua hari berikutnya untuk menyakinkan adanya hipertensi. Hasil

pengukuran bukan hanya menentukan adanya tekanan darah tinggi tetapi digunakan

juga untuk menggolongkan beratnya hipertensi.

Setelah diagnosis ditegakkan dilakukan pemeriksaan terhadap organ

utama pembuluh darah, jantung, otak dan ginjal. Pemeriksaan untuk menentukan

penyebab dari hipertensi terutama dilakukan pada penderita usia muda. Pemeriksaan
32

ini biasanya berupa rongent dan radioisotope ginjal, rongent dada serta pemeriksaan

darah dan air kemih untuk hormon tertentu.

Diagnosis hipertensi didasarkan pada peningkatan tekanan darah yang

terjadi pada pengukuran berulang. Diagnosis digunakan sebagai prediksi terhadap

konsekuensi yang dihadapi pasien, jarang meliputi pernyataan tentang sebab-akibat

hipertensi.

Berdasarkan uraian di atas diagnosa hipertensi tidak diberikan hanya

dalam satu kali pengukuran. Untuk lebih menyakinkan adanya hipertensi diperlukan

pengukuran tekanan darah sebanyak kurang lebih dua sampai tiga kali dengan dokter

yang sama.

Perlu dicatat bahwa diagnosis hipertensi bergantung pada pengukuran

tekanan darah dan bukan pada gejala yang dilaporkan pasien. Pada kenyataanya

hipertensi lazimnya tanpa gejala (asimptomatis) sampai segera terjadi kerusakan

organ akhir secara jelas atau bahkan telah terjadi kerusakan tersebut.

7. Gejala Hipertensi

Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala

sehingga disebut sebagai silent killer (sulit disadari oleh seseorang dan apabila tidak

ditangani akan memiliki resiko besar ,meninggal). Jika hipertensi dialami berat dan

menahun dan tidak diobati, bias timbul gejala seperti sakit kepala, kelelahan, mual,

muntah, sesak nafas, gelisah, pandangan menjadi kabur karena adanya kerusakan

pada oatak, mata, jantung dan ginjal. Kadang penderita hipertensi berat mengalami

penurunan kesadaran dan bahkan koma kerana terjadi pembengkakan otak. Keadaan
33

ini disebut ensefalopati hipertensif yang memerlukan penanganan segera

(Muhammadun, 2010).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada tahap awal

hipertensi tidak memberikan gejala yang pasti namun yang sering dirasakan untuk

mengindikasikan adanya hipertensi antara lain sakit kepala, pusing, jantung berdebar,

telinga sering berdengung dan gangguan tidur.

B. Tinjauan Umum Tentang Pola Konsumsi Natrium dan Kalium

1. Pola Konsumsi

Pola konsumsi adalah berbagai informasi yang

memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah makanan yang dimakan

setiap hari oleh satu orang dan mempunyai ciri khas untuk suatu kelompok

masyarakat. Konsumsi makanan adalah jumlah total dari makanan yang tersedia

untuk dikonsumsi (Hadju,1997).

Pada prinsipnya pengukuran pola makan atau pola konsumsi pangan

dapat secara kualitatif maupun kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk

menegtahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan

mengkaji tentang kebiasaan makan (foods habits) serta cara-cara memperoleh

makanan tersebut. Metode pengukuran kualitatif antara lain metode frekuensi

makanan, dietary history, metode telepon dan food list. Sedangkan metode kuantitatif

dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat di

hitung konsumsi zat gizi. Metode pengukuran kuatitatif antara lain metode recall 24
34

jam, estimated food records, food weighing, food account, inventory method, dan

household food records (Supariasa dkk., 2002).

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pola konsumsi

antara lain faktor budaya, agama/kepercayaan, status sosial ekonomi, personal

preference, rasa lapar, nafsu makan, rasa kenyang, dan kesehatan (Hadju, 2005).

a. Budaya

Budaya cukup menentukan jenis makanan yang sering dikonsumsi. Demikian pula

letak geografis mempengaruhi makanan yang diinginkannya. Sebagai contoh, nasi

untuk orang-orang Asia dan Orientalis, pasta untuk orang-orang Italia, curry (kari)

untuk orang-orang India merupakan makanan pokok, selain makana-makanan lain

yang mulai ditinggalkan. Makanan laut banyak disukai oleh masyarakat sepanjang

pesisir Amerika Utara. Sedangkan penduduk Amerika bagian Selatan lebih menyukai

makanan goreng-gorengan.

b. Agama/Kepercayaan

Agama/kepercayaan juga mempengaruhi jenis makanan yang dikonsumsi. Sebagai

contoh, agama Islam dan Yahudi Orthodoks mengharamkan daging babi. Agama

Roma Katolik melarang makan daging setiap hari, dan beberapa aliran agama

(Protestan) melarang pemeluknya mengkonsumsi teh, kopi atau alkohol.

c. Status Sosial ekonomi

Pilihan seseorang terhadap jenis dan kualitas makanan turut dipengaruhi oleh status

sosial dan ekonomi. Sebagai contoh, orang kelas menegah ke bawah atau orang
35

miskin di desa tidak sanggup membeli makanan jadi, daging, buah dan sayuran yang

mahal. Pendapatan akan membatasi seseorang untuk mengkonsumsi makanan yang

mahal harganya. Kelompok sosial juga berpengaruh terhadap kebiasaan makan,

misalnya kerang dan siput disukai oleh beberapa kelompok masyarakat, sedangkan

kelompok masyarakat yang lain lebih menyukai hamburger dan pizza.

d. Personal Preference

Hal-hal yang disukai dan tidak disukai sangat berpengaruh terhadap kebiasaan

makan seseorang. Orang seringkali memulai kebiasaan makannya sejak dari masa

kanak-kanak hingga dewasa. Misalnya, ayah tidak suka makan kai, begitu pula

dengan anak laki-lakinya. Ibu tidak suka makanan kerang, begitu pula anak

perempuannya. Perasaan suka dan tidak suka seseorang terhadap makanan

tergantung asosiasinya terhadap makanan tersebut. Anak-anak yang suka

mengunjungi kakek dan neneknya akan ikut menyukai acar karena mereka sering

dihidangkan acar. Lain lagi dengan anak yang suka dimarahi bibinya, akan tumbuh

perasaan tidak suka pada daging ayam yang dimasak bibinya.

e. Rasa lapar, nafsu makan, dan rasa kenyang

Rasa lapar umumnya merupakan sensasi yang kurang menyenangkan karena

berhubungan dengan kekurangan makanan. Sebaliknya, nafsu makan merupakan

sensasi yang menyenangkan berupa keinginan seseorang untuk makan. Sedangkan

rasa kenyang merupakan perasaan puas karena telah memenuhi keinginannya untuk

makan. Pusat pengaturan dan pengontrolan mekanisme lapar, nafsu makan dan rasa

kenyang dilakukan oleh sistem saraf pusat yaitu hipotalamus.


36

f. Kesehatan

Kesehatan seseorang berpengaruh besar terhadap kebiasaan makan. Sariawan atau

gigi yang sakit seringkali membuat individu memilih makanan yang lembut. Tidak

jarang orang yang kesulitan menelan, memilih menahan lapar dari pada makan.

2. Natrium dan Kalium

a. Natrium

Natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraselular dan

merupakan salah satu mineral yang sangat banyak jumlahnya dalam tubuh. Rata-rata

orang dewasa mengandung 120 gram natrium dalam tubuhnya dan sekitar 95%

terdapat di cairan ekstraseluler sebagai ion natrium bebas (Schlenker, 2007).

Natrium juga berfungsi menjaga keseimbangan air, keseimbangan

asam basa di dalam tubuh dengan mengimbangi zat – zat yang membentuk asam.

Natrium berperan dalam transmisi saraf dan kontraksi otot. Natrium berperan pula

dalam absorpsi glukosa dan sebagai alat angkut zat – zat gizi lain melalui membran,

terutama melalui dinding usus (Schlenker, 2007).

Sumber natrium adalah garam dapur, monosodium glutamat (MSG),

kecap, dan makan yang diawetkan dengan garam. Di antara makanan yang belum

diolah , sayuran dan buah mengandung paling sedikit natrium. Pada tabel berikut ini

kita dapat melihat bahan-bahan makanan mengandung natrium yang dibagi menjadi

tiga kategori yaitu tendah, sedang, dan tinggi natrium (Almatsier, 2007):
37

Tabel 2.7
Daftar Kadar Natrium Bahan Makanan (mg/100 g Bahan Makanan)

Bahan Natrium Bahan Natrium


Makanan/Olahan (mg) Makanan/Olahan (mg)
Kandungan natrium tinggi Kandungan natrium sedang
Krakers 110 Daging bebek 200
Biscuit 500 Iakn sarden 131
Roti bakar 700 Telur ayam 158
Roti coklat 500 Telur bebek 191
Roti putih 530 Susu kental manis 150
Roti susu 500
Kornet 1250
Teri kering 180
Keju 4000
Sosis 150
Udang 1250
Margarine 987
Mentega 987
Kecap 4000
Saos tomat 2100
Garam 38758
Kandungan natrium rendah
Beras ketan 5 Gula merah 24
Jagung kuning 5 Teh 10
Kentang 7 Bihun 13
Ubi kuning 36 Daging sapi 93
Ubi putih 31 Kacang mete 26
Ayam 100 Kembang kol 20
Tahu 12 Daun seledri 96
Kacang hijau 6 Bawang putih 18
Kacang merah 9 Selada 15
Daun papaya 16 Madu 60
Kol 10 Selai 15
Wortel 70 Tomat 4
Ketimun 5,3

Sumber : Almatsier, 2007.

Hampir seluruh natrium yang dikonsumsi (3-7 gram sehari) diabsorbsi

terutama di usus halus. Mekanisme pengaturan keseimbangan volume pertama-tama


38

tergantung pada perubahan volume sirkulasi efektif. Volume sirkulasi efektif adalah

bagian dari volume cairan ekstraseluler pada ruang vaskuler yang melakukan perfusi

aktif pada jaringan. Pada orang sehat volume cairan ekstraseluler umumya berubah-

ubah sesuai dengan sirkulasi efektifnya dan berbanding secara proporsional dengan

natrium tubuh total. Natrium diabsorbsi secara aktif setelah itu dibawa oleh aliran

darah ke ginjal, disini natrium disaring dan dikembalikan ke aliran darah dalam

jumlah yang cukup untuk mempertahankan taraf natrium dalam darah. Kelebihan

natrium yang jumlahnya mencapai 90-99% dari yang dikonsumsi dikeluarkan

melalui urin. Pengeluaran urin ini diatur oleh hormone aldosteron yang dikeluarkjan

kelenjar adrenal bila kadar natrium darah menurun. Aldosteron merangsang ginjal

untuk mengabsorbsi natrium kembali. Jumlah natrium dalam urin tinggi bila

konsumsi tinggi dan rendah bila konsumsi rendah (Kaplan 1999 dalam Lestari 2010).

WHO (1990) menganjurkan pembatasan konsumsi garam dapur

hingga 6 gram sehari (ekivalen dengan 2400 mg natrium). Pembatasan ini dilakukan

karena peranan potensial natrium dalam menimbulkan tekanan darah tinggi. Sumber

sodium yang utama adalah natrium klorida (garam dapur), penyedap masakan

(MSG), dan sodium karbonat. Untuk pasien hipertensi, pembatasan konsumsi

natrium perhari dibagi menjadi tiga kategori: hipertensi berat (200-400 mg Na),

hip[ertensi sedang (600-800 mg Na), dan hipertensi ringan (1000-1200 mg Na)

(Almatsier, 2007)
39

b. Kalium

Kalium merupakan ion bermuatan positif, akan tetapi berbeda dengan

natrium, kalium terutama terdapat di dalam sel, sebanyak 95% kalium berada di

dalam cairan intraseluler. Peranan kalium mirip dengan natrium yaitu kalium

bersama-sama dengan klorida membantu menjaga osmotis dan keseimbangan asam

basa. Bedanya kalium menjaga tekanan osmotic dalam cairan intraseluler (Almatsier,

2001).

Konsentrasi serum normal kalium adalah 140-150 mEq/L (Davis &

W.Mertz, 1987). Kalium dalam makanan dan dalam tubuh ditemukan dalam bentuk

ion K+. kalium dapat menyebabkan vasodilatasi, diuretika, menghambat pelepasan

rennin serta mengatur saraf perifer dan sentral yang mempengaruhi tekanan darah

(Appel 1999 dalam Lesteri 2010).

Absorbsi kalium dari makanan adalah secara pasif dan tidak memerlukan

mekanisme spesifik. Absorbsi berlangsung di usus kecil selama konsentrasi di

seluruh saluran cerna lebih tinggi daripada di dalam darah. Kadar kalium yang tingi

dapat menigkatkan ekskresi natrium, sehingga dapat menurunkan volume darah dan

tekanan darah. Kalium merupakan bagian esensial semua sel hidup, sehingga banyak

terdapat dalam bahan makanan. Kebutuhan kalium orang dewasa perhari (pria dan

wanita) adalah 2000 mg. kalium terdapat dalam semua makanan mentah/segar,

terutama buah, sayuran dan kacang-kacangan (Almatsier, 2001).


40

Sekresi kalium pada nefron ginjal dikendalikan oleh aldosteron. Peningkatan

sekresi aldosteron menyebabkan reabsorbsi natrium dan air juga ekskresi kalium.

Sebaliknya penurunan sekresi aldosteron, menyebabkan ekskresi natrium dan air

juga penyimpanan kalium. Rangsangan utama bagi sekresi aldosteron adalah

penurunan volume sirkulasi efektif atau penurunan kalium serum. Ekskresi kalium

juga dipengaruhi oleh keadaan asam basa dan kecepatan aliran di tubulus distal

(Appel 1999 dalam Lestari 2010).

Pada tabel berikut ini kita dapat melihat bahan-bahan makanan mengandung kalium

yang dibagi menjadi tiga kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi kalium

(Almatsier, 2007):
41

Tabel 2.8
Daftar Kadar Kalium Bahan Makanan (mg/100 gram Bahan Makanan)

Bahan Kalium Bahan Kalium


Makanan/Olahan (mg) Makanan/Olahan (mg)
Kandungan Kalium rendah Kandungan Kalium sedang
Garam 4 Beras ketan 282
Kornet 100 Beras merah 295
Keju 100 Jagung kunig 260
Roti putih 94
Margarine 23
Mentega 15
Selai 75
Tahu 151
Kacang buncis 295
Ketimun 122
Tomat 235
Wortel 245
Avokad 278
Apel hijau 130
Apel merah 230
Belimbing 130
Jeruk manis 137
Nenas 125
Papaya 221
Susu cair 150
Gula merah 230
Madu 210
Kandungan Kalium tinggi
Singkong 926 Daun papaya 652
Kentang 396 Kembang kol 349
Ubi kuning 304 Selada 203
Ubi putih 210 Daun seledri 326
Ayam 350 Anggur 111
Daging sapi 489 Pisang 435
Hati sapi 213 Susu skim bubuk 1500
Kacang hijau 1132 Yoghurt 200
Kacang kedelai 1504 Santan 324
Kacang mete 420 Coklat bubuk 1000
Kacang merah 1151 Teh 1800
Kacang yanah 421 Saos tomat 800
Bayam 416
Sumber: Almatsier, 2007.
42

3. Hubungan Pola Konsumsi Makanan Sumber Natrium dan

Kalium dengan Hipertensi

Ada tiga tipe hubungan antara konsentrasi natrium dengan

hipertensi yaitu: (1) pengamatan epidemiologi menunjukan hubungan yang positif

antara konsentrasi natrium dengan insiden hipertensi pada kelompok-kelompok

populasi tertentu di seluruh dunia; (2) manajemen pengobatan lebih mudah dengan

menurunkan konsentarsi natrium; (3) penelitian dengan penanganan natrium secara

tidak normal pada hewan yang punya keturunan hipertensi menunjukan bahwa secara

epidemiologi hasil cross cultural meyakinkan ada hubungan (Linder, 1992).

Pengeluaran air dari tubuh diatur oleh ginjal dan otak. Hipotalamus

mengatur konsentarsi garam dalam darah, dengan merangsang kelenjar pituitary

mengeluarkan hormon antidiuretika (ADH). ADH dikeluarkan bila volume darah

atau tekanan darah terlalu rendah. ADH merangsang ginjal untuk menahan atau

menyerap kembali air dan mengeluarkanya kembali ke dalam tubuh (Almatsier,

2001).

Bila terlalu banyak air keluar dari tubuh, volume darah dan tekanan

darah akan turun. Sel-sel ginjal akan mengeluarkan enzim renin. Renin mengaktifkan

protein di dalam darah yang dinamakan angiotensinogen ke dalam bentuk aktifnya

angiotensin. Angiotensin akan mengecilkan diameter pembuluh darah sehingga

tekanan darah akan naik. Disamping itu angiotensin mengatur pengeluaran hormon

aldosteron dari kelenjar adrenalin. Aldosteron akan mempengaruhi ginjal untuk


43

menahan natrium dan air. Akibatnya, bila dibutuhkan lebih banyak air, akan lebih

sedikit air dikeluarkan dari tubuh dan tekanan darah akan naik kembali (Almatsier,

2001).

Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium

di dalam cairan ekstraseluer meningkat. Untuk menormalkannya, cairan instraseluler

ditarik keluar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya

volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah

(Anggraini dkk, 2009). Di samping itu, konsumsi garam dalam jumlah yang tinggi

dapat mengecilkan diameter arteri, sehingga jantung harus memompa lebih keras

untuk mendorong volume darah yang meningkat melalui ruang yang semakin sempit

dan akibatnya adalah hipertensi (Hull 1993 dalam Anggraini 2008).

Konsumsi kalium dalam jumlah yang tinggi dapat melindungi

individu dari hipertensi. Asupan kalium yang meningkat akan menurunkan tekanan

darah sistolik dan diastolic (Hendrayani 2009 dalam Hull 1993). Cara kerja kalium

adalah kebalikan dari natrium. Konsumsi kalium yang banyak akan meningkatkan

konsentrasinya dalam cairan intraseluler, sehingga cenderung menarik cairan dari

bagian ekstraseluler dan menurunkan tekanan darah (Almatsier, 2001). Rasio kalium

dan natrium dalam diet berperan dalam mencegah dan mengendalikan hipertensi.

Rasio konsentrasi natrium dan kalium yang dianjurkan adalah 1:1 (Hendrayani,

2009).

Penelitian epidemiologi menunjukan bahwa asupan rendah kalium

akan mengakibatkan peningkatan tekanan darah dan renal vasculer remodeling yang
44

mengindikasikan terjadinya resistensi pembuluh darah pada ginjal. Pada populasi

dengan asupan tinggi kalium, tekanan darah dan prevalensi hipertensi lebih rendah

dibandingkan dengan populasi yang mengkonsumsi rendah kalium (Appel 1999

dalam Lestari 2010).

Aldosteron berkontribusi terhadap resitensi sodium oleh ginjal. Diet

rendah potasium menyebabkan kekurangan potasium dalam tubuh sebagai hasil dari

konservasi tidak cukup dari potasium oleh ginjal dan saluran makanan; dengan diet,

kurangnya potasium fecal bahkan urinary losses. Konsumsi tinggi sodium

meningkatkan kaliuresis khususnya ketika sodium diabsorpsi oleh tubula pengumpul

cortinal ginjal (dimana sekresi reabsorpsi sodium dan potasium secara fungsional

berhubungan) meningkat (sebagai hipertensi primer) interaksi diet barat modern

dengan ginjal untuk menghasilkan sodium berlebih dan merupakan penyebab

kurangnya potasium dalam tubuh. Perubahan ini meningkatkan resistensi peripheral

vaskuler dan menimbulkan hipertensi. Peningkatan volume cairan ekstraseluler

dihalangi oleh tekanan natriuresis (Adrogue & Madia 2007 dalam Jafar 2009).
45

Modern Western Diet

High sodium intake Low potassium intake


+ +
Lack of adoption and defect Ineffective potasium
on sodium ex resisten conservatin

Retention of sodium by Excessive renal and


the kidney fecal potassium less

Excess of sodium in
the body
Deficit of potassium

Release of digitalislike
factor expansion
Estracellular fluid
volum expansion

Na+/K+-ATPase

Excess of cellular Deficit of celluler


sodium potassium

Vascular smooth-muscle cell contraction

Increased peripheral vascular resistance


cell contraction

Hypertension

Gambar 2.4. Interaksi diet barat modern dengan ginjal pada patogenesis
hipertensi primer (Sumber: Adrogue & Madias, 2007 dalam Jafar, 2009)
46

Penelitian yang dilakukan oleh Sulchan & Hermawan (2007) menunjukan bahwa

faktor determinan gizi terhadap terjadinya hipertensi adalah IMT, asupan lemak

,natrium, kebiasaan minum kopi, dimana asupan natrium merupakan faktor resiko

paling kuat (OR = 7.389, 95% CI = 1.875 – 29.111) terhadap kejadian hipertensi.

Rata-rata asupan natrium pada kelompok kasus lebih tinggi (3323,7±317,4)

dibanding kelompok control (2992,1±117,9).

C. Tinjauan Umum Tentang Obesitas

Obesitas adalah suatu keadaan dimana ditemukan adanya kelebihan lemak dalam

tubuh. Ukuran untuk menentukan seorang obes atau berat badan lebih adalah

berdasarkan berat badan dan tinggi badan yaitu indek massaa tubuh (IMT)

berdasarkan berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter pangkat

dua (BB kg/ TB m2 ).

1. Klasifikasi Obesitas

Tahun 1998 WHO membuat klasifikasi berat badan berdasarkan IMT yang dibagi

menjadi BB kurang, normal dan lebih, oleh karena rata-rata BB orang Eropa /

Amerika serikat lebih tinggi dibandingkan orang Asia, maka pada tahun 2000 telah

disusun pula oleh WHO klasifikasi IMT yang dianggap sesuai dengan orang Asia.
47

Tabel 2.9
Klasifikasi Berat Badan untuk Orang Eropa (WHO 1998)

Klasifikasi IMT (kg/m2) Resiko Morbiditas

Kurus < 18,5 Rendah

Normal 18,5 – 24,9 Sedang

Kegemukan ≥ 25

Pre Obes 25 – 29,9 Meningkat

Obes I 30 – 34,9 Sedang

Obes II 35 – 39,9 Berat

Obes III ≥40 Sangat berat


Sumber: Gibson, 2005

Tabel 2.10
Klasifikasi Berat Badan untuk orang Asia (WHO 2000)

Klasifikasi IMT (kg/m2) Resiko Morbiditas

Kurus < 18,5 Rendah

Normal 18,5 – 22,9 Sedang

Kegemukan ≥ 23

Pre Obes 23 – 24,9 Meningkat

Obes I 25 – 29,9 Sedang

Obes II ≥ 30 Berat

Sumber: Gibson, 2005


48

2. Pengukuran Obesitas

Pengukuran obesitas dapat dilakukan dengan:

a. IMT (Indeks Massa Tubuh)

Rasio berat badan per tinggi badan mengidentifikasikan hubungan berat badan

dengan tinggi badan yang digunakan untuk menilai overweight dan obesitas pada

populasi orang dewasa. Obesitas yang diistilahkan dengan indeks Quetelet, dihitung

sebagai berat badan (kg) / tinggi badan (m2).

IMT berkorelasi baik dengan kegemukan, meskipun pada keadaan tertentu dapat

memberikan gambaran yang salah mengenai total lemak tubuh. Hal ini dapat

dijumpai pada seorang atlet. Seorang atlet yang memiliki IMT tinggi bukanlah

disebabkan oleh penumpukan lemak tetapi oleh peningkatan massa jaringan otot

(Gibson, 2005).

BMI berhubungan dengan tekanan darah, studi intersalt terhadap 10.000 laki-laki

yang berumur 20-59 tahun diperoleh bahwa BMI/IMT berhubungan secara signifikan

dengan tekanan darah sistolik dan diastolik, independen terhadap umur, konsumsi

alkohol, kebiasaan merokok, dan ekskresi potasium dan sodium.

b. Waist to-Hip Ratio (WHR)

Distribusi lemak tubuh dapat ditentukan berdasarkan rasio lingkar pinggang dan

pinggul (RLPP) atau disebut waist to-hip ratio yang diperkenalkan pada tahun 1980-

an dimana terdapat hubungan antara lokasi lemak sentral dengan risiko kejadian PJK,
49

diabet, dan penyakit kronik lainnya yang diasosiasikan dengan obesitas. Resiko

penyakit meningkat pada saat WHR ˃0,9 pada laki-laki dan ˃0,8 pada perempuan

(Gibson, 2005).

c. Lingkar Perut (LP)

Timbunan lemak perut dapat juga diukur dengan lingkar perut saja karena lebih

praktis. Cara ini mudah, dengan menggunakan pita meteran, diukur bagian-bagian

tubuh untuk mengetahui banyaknya lemak tubuh. Sebagai patokan, kriteria

diagnostik IDF tahun 2005 menetapkan lingkar perut berukuran ≥90 cm merupakan

tanda bahaya bagi pria Asia, sedangkan untuk wanita Asia risiko tersebut meningkat

jika lingkar perut berukuran ≥80 cm.

Semakin banyak timbunan lemak di rongga perut akan diikuti dengan tingginya

kolesterol LDL dan kolesterol total, sedngkan kolesterol HDL menurun. Jadi

semakin tinggi kadar LDL dan rendahnya HDL maka semakin panjang ikat

pinggang. Untuk menurunkan kadar LDL dan meningkatkan kadar HDL selain diet

dan obat-obatan, adalahdengan meningkatkan aktivitas fisik dan menurunkan berat

badan (Semiardji, 2007).

3. Hubungan Obesitas dengan Hipertensi

Hipertensi merupakan salah satu penyakit degeneratif yang banyak dijumpai di

masyarakat. Salah satu faktor risiko terjadinya hipertensi adalah obesitas. Risiko

hipertensi meningkat dengan berkembangnya obesitas, terutama pada perempuan.

Obesitas dapat ditentukan melalui pengukuran-pengukuran antropometri seperti

indeks massa tubuh (IMT), distribusi lemak tubuh atau persen lemak tubuh
50

berdasarkan tebal lemak bawah kulit (TLBK). Di Indonesia, penelitian yang

mempelajari indikator-indikator obesitas tersebut dan hubungannya dengan

hipertensi masih sangat terbatas (Widyastuti N, 2004).

Beberapa faktor diduga berperan dalam mekanisme obesitas yang berhubungan

dengan peningkatan tekanan darah : a) efek langsung obesitas terhadap hemodinamik

meliputi peningkatan volume darah, peningkatan curah jantung dan peningkatan isi

sekuncup (stroke volume); b) adanya mekanisme yang menghubungkan obesitas

dengan peningkatan resistensi perifer seperti disfungsi endotel, resistensi insulin,

aktivitas saraf simpatis, adanya subtansi yang dikeluarkan oleh adiposa seperti

Interleukin-6 (IL-6) dan TNF-α (Lylyasari, 2007)

Dalam suatu penelitian untuk mengetahui hubungan beberapa indikator obesitas

dengan hipertensi pada perempun dengan sampel anggota Persatuan Istri Karyawan

PT Angkasa Pura I Bandara Ahmad Yani Semarang yang diambil secara konsekutif,

berjumlah 33 orang, didapatkan hasil yaitu indikator obesitas yang berhubungan

dengan hipertensi adalah persen lemak tubuh, lingkar pinggang dan RLPTB. Persen

lemak tubuh berdasarkan TLBK merupakan indikator obesitas yang berhubungan

paling erat dengan hipertensi (Widyastuti N, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh

Sulchan & Hermawan (2007) menunjukan bahwa salah satu faktor determinan gizi

terhadap terjadinya hipertensi adalah Indeks Massa Tubuh (IMT), dimana rata-rata

IMT pada kelompok kasus lebih tinggi (44,1±2,7) di banding kelompok control

(22,8±1,3).
51

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa obes sentral menyebabkan perubahan

metabolisme lipid yaitu meningkatnya trigliserida, menurunnya HDL-C dan

meningkatnya partikel LDL yang kecil dan padat. Obesitas juga meningkatkan

tekanan darah, kolesterol total dan merupakan predisposisi terjadinya DM type 2

(Adiatmaja, 2004).

Obesitas adalah massa tubuh yang meningkat disebabkan jumlah yang berlebihan

dari jaringan lemak. Jaringan ini meningkatkan kebutuhan metabolik dan konsumsi

oksigen secara menyeluruh. Curah jantung dan volume darah total bertambah untuk

memenuhi kebutuhan metabolik yang lebih tinggi itu. Hubungan antara obesitas tipe

abdominal dan penyakit kardiovaskuler sudah banyak dilaporkan. Obesitas sentral

adalah akumulasi lemak terutama di daerah perut , tapi karena lemak perut terdiri

atas lemak viskeral dalam perut dan lemak bawah kulit maka perlu diketahui

penyebaran lemak perut. Aliran darah melewati jaringan lemak pada obesitas

visceral lebih daripada obesitas di bawah kulit untuk berat badan yang sama. Jadi

tipe lemak viskeral, akumulasi lemak akan meningkatkan dimensi diastolik, stroke

indeks, dan indeks jantung (Basha, 1994).

Obesitas mempunyai korelasi positif dengan hipertensi. Anak-anak remaja yang

mengalami kegemukan cenderung mengalami tekanan darah tinggi (hipertensi). Ada

dugaan bahwa meningkatnya berat badan normal relatif sebesar 10 % mengakibatkan

kenaikan tekanan darah 7 mmHg. Oleh karena itu, penurunan berat badan dengan

membatasi kalori bagi orang-orang yang obes bisa dijadikan langkah positif untuk

mencegah terjadinya hipertensi (Khomsan, 2003).


52

Berat badan dan indeks Massa Tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan

darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada

orang obes 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang berat badannya

normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30 % memiliki berat badan

lebih (Nurkhalida, 2003).

Obesitas dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu asupan makanan, mekanisme

neuroendokrin, genetik, faktor sosial dan gaya hidup. Obesitas merupakan penyakit

kronik yang bersifat monogenik atau poligenik dan dapat menyebabkan beberapa

keadaan disfungsi serta gangguan patofisiologis seperti hiperinsulinemia, diabetes,

penyakit kardiovaskular, hipertensi, gangguan imunologis dan beberapa jenis kanker

(Garrow, 1988 dalam Martil, 2004).

Obesitas merupakan komponen utama kejadian sindrom metabolik, namun

mekanismenya belum jelas diketahui secara pasti. Obesitas yang diikuti dengan

meningkatnya metabolisme lemak akan menyebabkan produksi Reactive Oxygen

Species (ROS) meningkat baik di sirkulasi maupun di sel adiposa. Meningkatnya

ROS di dalam sel adiposa dapat menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi oksidasi

terganggu, sehingga enzim antioksidan menurun di dalam sirkulasi. Keadaan ini

disebut stress oksidatif. Peningkatan stress oksidatif menyebabkan disregulasi

jaringan adiposa dan merupakan awal patofisiologi terjadinya Sindrom metabolik,

hipertensi, dan aterosklerosis (Furukawa, et al., 2004).

Peningkatan akumulasi lemak viseral (abdominal) merupakan risiko penyakit

kardiovaskular, dislipid, hipertensi, stroke dan DM type 2. Ada hubungan kuat antara
53

lemak viseral dengan resistensi inulin. Jaringan lemak viseral juga dihubungkan

dengan hipertensi esensial, dislipidemia dan faktor lain seperti fibrinolisis yang

berkontribusi terhadap risiko penyakit kardiovaskular yang tinggi (Arrone and Segal,

2002 dalam Nurhaedar Jafar, 2009).

Penurunan berat badan 20-30 pound dapat menurunkan CRP secara dramatis. Pada

pasien obes disertai sindrom metabolik, penurunan berat badan dan aktivitas fisik

merupakan cara aman untuk menurunkan CPR, tekanan darah, dan meningkatkan

profil lipid, tetapi sering itu tidak cukup untuk mempengaruhi resistensi insulin

(Pitsavor, 2006 dalam Nurhaedar Jafar, 2009). Penurunan berat badan sampai 10%

dapat meningkatkan profil lipid, sensitifitas insulin, fungsi endotel, dan mereduksi

thrombosis serta menurunkan inflamasi (Aronne and Isoldi, 2007 dalam Nurhaedar

Jafar, 2009).

The Swedish Obese Subjects Study of Obesity Surgery mendemonstrasikan bahwa

dengan penurunan berat badan hingga 40 kg selama 2 tahun dapat memberikan

kemajuan terhadap tekanan darah, kolesterol HDL, trigliserida, insulin, dan glukosa

darah (Aronne and Segal, 2002 dalam Nurhaedar Jafar, 2009).

\
54

D. Dasar Pemikiran Variabel Yang Diteliti

Berdasarkan teori Hendrik L.Blum bahwa faktor perilaku memegang

peranan penting dalam menentukan status kesehatan masyarakat, dimana faktor gaya

hidup sebagai bagian dari perilaku mempunyai peranan yang sangat besar.

Hipertensi merupakan salah satu permasalahan kesehatan masyarakat

yang banyak dicerita di seluruh dunia termasuk Indonesia. Hipertensi adalah

penyakit umum, tanpa disertai gejala yang khusus, dan biasanya dapat ditangani

secara mudah. Namun bila dibiarkan tanpa penanganan dapat menyebabkan berbagai

komplikasi yang lebih parah berupa penyakit jantung dan pembuluh darah seperti

aterosklerosis, infark miokard, gagal jantung, infark serebri, gagal ginjal, retinopati,

dan kematian dini. Hipertensi kini menjadi masalah global karena prevalensinya

yang terus meningkat sejalan dengan perubahan gaya hidup yang meliputi kebiasaan-

kebiasaan tidak sehat seperti merokok, alkohol, konsumsi makanan dengan gizi yang

tidak seimbang dan lain sebagainya.

Natrium merupakan kation utama dalam cairan ekstraselular dan

hanya sejumlah kecil natrium berada dalam cairan intraseluler. Diperkirakan hampir

100 gram dari ion natrium (Na+ ) atau ekivalen dengan 250 gr NaCl terkandung di

dalam tubuh manusia. Sehingga konsumsi natrium yang berlebih dapat menyebabkan

konsentrasi natrium didalam cairan ekstraselular meningkat. Untuk


55
menormalkannya, cairan intraselular ditarik keluar, sehingga volume cairan

ekstraselular meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraselular tersebut

menyebabkan meningkatnya volume darah. Disamping itu, konsumsi garam dalam


55

jumlah yang tinggi dapat mengecilkan diameter dari arteri, sehingga jantung harus

memompa lebih keras untuk mendorong volume darah yang meningkat melalui

ruang yang semakin sempit dan akibatnya adalah hipertensi.

Obesitas adalah massa tubuh yang meningkat disebabkan jumlah yang

berlebihan dari jaringan lemak. Jaringan ini meningkatkan kebutuhan metabolik dan

konsumsi oksigen secara menyeluruh. Curah jantung dan volume darah total

bertambah untuk memenuhi kebutuhan metabolik yang lebih tinggi itu. Menurut

beberapa pakar, dikatakan bahwa obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi

karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang

dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti

volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga

memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga

meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah. Peningkatan

insulin menyebabkan tubuh menahan natrium dan air.

E. Kerangka Konsep

Berdasarkan konsep pemikiran yang ada, maka dapat digambarkan suatu model

hubungan antara variabel yang diteliti sebagai berikut :


56

Faktor yang tidak dapat


dikontrol:

 Genetik
 Umur
 Jenis Kelamin
 Ras/Etnis

Obesitas

Profil Lipid

Pola Konsumsi: Kejadian


Natrium Hipertensi

Kalium

Aktifitas Fisik

Stress

Kebiasaan Merokok

Ket :

= Variabel Dependen = Variabel yang diteliti

= Variabel Independen = Variabel yang tidak diteliti

Gambar 2.5 Kerangka konsep penelitian


57

F. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Kejadian Hipertensi

Definisi Operasional

Kejadian hipertensi adalah ada tidaknya peningkatan tekanan darah melebihi

standar yang seharusnya yaitu >140 sistolik mmHg dan >90 diastolik mmHg (WHO,

2004) atau sesuai dengan diagnosa dokter.

Kriteria Objektif

a. Kasus : Bila hasil pemeriksaan tekanan darah >140 sistolik mmHg dan

atau >90 diastolik mmHg atau sesuai dengan hasil diagnosa

dokter.

b. Kontrol: Bila hasil pemeriksaan tekanan darah <140 sistolik mmHg dan

<90 diastolik mmHg.

2. Pola Konsumsi

Definisi Operasional

Pola konsumsi adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai

macam, frekuensi dan jumlah makanan yang dikonsumsi setiap hari oleh satu orang

dan memiliki ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat (Hadju, 1997). Pola

konsumsi diukur dengan menggunakan metode food frequency.


58

Metode Food Frequency yaitu frekuensi konsumsi dan jenis makanan yang

diklasifikasikan dalam makanan pokok , lauk hewani, lauk nabati, sayuran , buah-

buahan, minuman dan lain-lain yang dinilai berdasarkan total skor dari frekuensi

makanan. (De Wijn (1979) dalam Thaha,1986).

0 = Tidak Pernah

1 = Jarang

10 = < 3 kali seminggu

15 = ≥ 3 kali seminggu

25 = 1 kali sehari

50 = Setiap kali makan

Kriteria Objektif Pola Konsumsi Natrium

a. Risiko rendah : Jika mempunyai total skor dari frekuensi konsumsi semua

jenis bahan makanan yang biasa dikonsumsi oleh responden dibawah atau sama

dengan rata-rata skor frekuensi konsumsi semua responden.

b. Risiko tinggi : Jika mempunyai total skor dari frekuensi konsumsi semua jenis

bahan makanan yang biasa dikonsumsi oleh responden di atas rata-rata skor

frekuensi konsumsi semua responden .


59

Kriteria Objektif Pola Konsumsi Kalium

a. Risiko rendah : Jika mempunyai total skor dari frekuensi konsumsi semua

jenis bahan makanan yang biasa dikonsumsi oleh responden di atas rata-rata skor

frekuensi konsumsi semua responden .

b. Risiko tinggi : Jika mempunyai total skor dari frekuensi konsumsi semua jenis

bahan makanan yang biasa dikonsumsi oleh responden dibawah atau sama dengan

rata-rata skor frekuensi konsumsi semua responden.

3. Status Obesitas

Definisi Operasional

Suatu keadaan dimana terjadi penimbunan lemak yang berlebihan di dalam jaringan

tubuh, yang diketahui dari pengukuran tinggi badan dan berat badan. Nilai dari hasil

perhitungan berat badan dalam kilogram dibagi kuadrat dari tinggi badan dalam

meter; IMT = BB (kg) / TB2 (m). Hasil dari perhitungan tersebut lebih dari 25.

Kriteria Objektif

Skala: Nominal

Indeks Massa Tubuh

Kategori:

a. Risiko tinggi (obesitas), jika IMT ≥25 kg/m2

b. Risiko rendah (tidak obesitas), jika IMT <25 kg/m2 (WHO, 2000)
60

G. Hipotesis Penelitian

1. Hipotesis Nol

a. Pola konsumsi makanan sumber natrium bukan merupakan faktor risiko

kejadian hipertensi pada pasien rawat jalan di Puskesmas Lailangga,

Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.

b. Pola konsumsi makanan sumber kalium bukan merupakan faktor risiko

kejadian hipertensi pada pasien rawat jalan di Puskesmas Lailangga,

Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.

c. Status obesitas bukan merupakan faktor risiko kejadian hipertensi pada

pasien rawat jalan di Puskesmas Lailangga, Kabupaten Muna, Sulawesi

Tenggara.

2. Hipotesis Alternatif

a. Pola konsumsi makanan sumber natrium merupakan faktor risiko kejadian

hipertensi pada pasien rawat jalan di Puskesmas Lailangga, Kabupaten

Muna, Sulawesi Tenggara.

b. Pola konsumsi makanan sumber kalium merupakan faktor risiko kejadian

hipertensi pada pasien rawat jalan di Puskesmas Lailangga, Kabupaten

Muna, Sulawesi Tenggara.

c. Status obesitas merupakan faktor risiko kejadian hipertensi pada pasien

rawat jalan di Puskesmas Lailangga, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.


61

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian dan Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan

rancangan case control study yaitu suatu rancangan penelitian yang dimulai

dengan identifikasi subjek dengan efek (kelompok kasus) dan subjek tanpa efek

(kelompok kontrol), kemudian secara retrospektif ditelusuri faktor resiko yang

dapat menerangkan mengapa kasus terkena efek sedangkan kontrol tidak. Dalam

penelitian ini kelompok kasus (subjek yang menderita hipertensi) dibandingkan

dengan kelompok kontrol (mereka yang tidak menderita hipertensi) untuk

mengetahui seberapa besar peran pola konsumsi natrium, kalium, dan obesitas

dalam kejadian hipertensi (cause-effect relationship) pada pasien rawat jalan di

Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara.

Faktor Resiko +
Kejadian Hipertensi
Faktor Resiko -

Matching Umur Sampel Populasi


Faktor Resiko +

Tidak Hipertensi
Faktor Resiko -

Gambar 3.1 Desain penelitian case control study

62
62

B. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret 2012 sampai Mei 2012.

2. Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna

Sulawesi Tenggara.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah semua pasien rawat jalan di Puskesmas

Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara.

2. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah pasien rawat jalan yang hipertensi dan tidak

hipertensi yang datang berobat di Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna

Sulawesi Tenggara pada saat dilakukan penelitian. Besar sampel dihitung

dengan menggunakan rumus Lameshow, et al (1997), dimana menggunakan

OR = 2,87 dengan pertimbangan sudah digunakan pada penelitian

sebelumnya, tingkat kepercayaan 95%, melihat populasi tak terhingga (tak

diketahui) sehingga digunakan P2=0,5 dengan nilai α=0,05 yaitu sebagai

berikut:

P1 = 0,7416
63

P = 0,6208

Keterangan:

n = Besar sampel minimal yang diperlukan

α = Tingkat kepercayaan 95%

β = kekuatan penelitian 80%

P1 = Proporsi efek pada kelompok faktor resiko

P2 = Proporsi efek pada kelompok tanpa faktor resiko

Jumlah sampel yang diperoleh adalah 63 sampel. Dengan perbandingan 1:1

maka besar sampel dalam penelitian ini adalah 126 dimana jumlah kasus

sebanyak 63 sampel dan kontrol 63 sampel.


64

Pengambilan sampel dilakukan dengan metode porposive sampling yaitu

didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat peneliti

(Notoatmodjo, 2005). Adapun kriteria sampel yang dipilih yaitu :

a. Laki- laki dan perempuan yang bersedia diwawancarai, kecuali wanita

hamil.

b. Berusia diatas 18 tahun.

D. Instrumen

Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1. Format Kuesioner

2. Format Food Frequency

3. Microtoice, timbangan digital, dan pita meteran.

4. Program Komputer (Program SPSS 16.0)

5. Alat tulis menulis

E. Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan dalam proses penelitian melalui

wawancara dengan para responden yang menjadi objek penelitian dengan

menggunakan food frequency quetioner (FFQ), dan pengukuran antropometri.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang didapatkan dari buku status (buku diagnosa)

pasien yang ada di Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi

Tanggara. Informasi yang dicatat sesuai dengan variabel yang diteliti.


65

F. Pengolahan, Analisis dan Penyajian Data

1. Pengolahan data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputerisasi program

SPSS 16.0 dengan langkah-langkah sbb:

a. Editing

Penyuntingan data dimulai di lapangan dan setelah data terkumpul,

kuesioner diperiksa dan apabila terdapat kuesioner yang tidak lengkap

jawabannya, maka kuesioner tersebut akan dilengkapi kembali.

b. Coding

Apabila semua data telah terkumpul dan selesai di edit di lapangan,

kemudian akan dilakukan pengkodean variabel sebelum dipindahkan ke

format aplikasi spss.

c. Entry data

Data selanjutnya diinput ke dalam lembar kerja spss untuk masing-masing

variabel. Urutan input data berdasarkan nomor responden dalam kuesioner

d. Cleaning data

Cleaning data dilakukan pada semua lembar kerja untuk membersihkan

kesalahan yang mungkin terjadi selama proses input data. Proses ini

dilakukan melalui analisis frekuensi pada semua variabel. Adapaun data

missing dibersihkan dengan menginput data yang benar.

2. Analisis data

Metode analisis data yang dilakukan sebagai berikut:


66

a. Analisis univariat yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil

penelitian dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi sehingga

menghasilkan distribusi dan presentase setiap variabel penelitian.

b. Analisis bivariat dilakukan dengan uji chi square yang digunakan untuk

menguji hipotesis hubungan yang signifikan antara variable independen

terhadap dependen (hipertensi). Dasar pengambilan keputusan penerimaan

hipotesis penelitian berdasarkan tingkat signifikansi (nilai p) adalah:

a) Jika nilai p > 0,05 maka hipotesis penelitian ditolak.

b) Jika nilai p < 0,05 maka hipotesis penelitian diterima.

Selanjutnya juga mengetahui besar resiko (odds ratio) melalui tabel 2 x 2

yaitu:

Tabel 3.1 Analisis Hubungan Variabel


Kasus Efek Kejadian Hipertensi Jumlah
Positif (+) Hipertensi Bukan Hipertensi
Resiko tinggi a b a+b
Resiko rendah c d c+d
Jumlah a+c b+d a+b+c+d
Sumber: Lameshow 1997

Keterangan:

a, b, c, d = nilai observasi sel tabel

Nilai besarnya Odds Ratio dihitung dengan rumus:

OR=

Dengan interval kepercayaan atau Confidence Interval (CI) 95% tidak

mencakup nilai 1.
67

Interpretasi nilai OR:

OR < 1 : Berarti sebagai faktor protektif

OR = 1 : Berarti bukan merupakan faktor risiko

OR > 1 : Berarti sebagai faktor risiko

3. Penyajian data

Data yang telah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel dan narasi untuk

membahas hasil penelitian.


68

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL

Penelitian ini telah dilakukan bulan Januari hingga Februari tahun 2012 pada

sejumlah pasien rawat jalan yang datang berobat di Puskesmas Lailangga Kabupaten

Muna Sulawesi Tenggara. Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu

pengambilan data primer dimana peneliti bertemu dan melakukan wawancara

langsung kepada para responden dengan menggunakan kuesioner dan pengambilan

data sekunder dilakukan dengan memperoleh data yang ada pada buku rekam medis

pasien.

Setelah data terkumpul selanjutnya dilakukan pemeriksaan mengenai

kebenaran pengisian informasi sesuai dengan variabel yang akan diteliti. Pada

penelitian ini diperoleh 126 responden yang terdiri dari 63 kasus dan 63 kontrol.

Data yang telah dikumpulkan dianalisa dengan menggunakan analisis univariat dan

analisis bivariat.

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Puskesmas Lailangga merupakan salah satu puskesmas yang memberikan

layanan kesehatan bagi masyarakat kecamatan Wadaga, Kabupaten Muna, Sulawesi

Tenggara. Puskesmas ini berdiri sejak Bulan Januari 2007, dengan wilayah kerja

seluruh desa yang ada di Kecamatan Wadaga yaitu desa lailangga, desa Katobu, desa

Lindo, desa Lasosodo, desa Wakontu, dan desa Lakanaha.

69
69

Berdasarkan struktur organisasi, puskesmas lailangga terdiri atas beberapa

bagian yaitu bagian pengobatan, bagian P2M, bagian promosi kesehatan, bagian

kesehatan lingkungan, bagian gizi, dan bagian KIA (kesehatan ibu dan anak). Dalam

upaya pelayanan kesehatan puskesmas Lailangga dibantu oleh 2 unit puskesmas

pembantu (pustu) yakni pustu Lindo dan pustu Lakanaha.

Dalam melaksanakan tugas dan fungsi puskesmas lailangga dilakasanakan

oleh pegawai terdiri atas pegawai negeri sipil (PNS), pegawai tidak tetap (PTT),

pegawai kontrak (mengabdi). Kualifikasi tenaga kesehatan yang bekerja yaitu dokter

umum 1 orang, sarjana kesehatan masyarakat (SKM) 5 orang, perawat 3 orang, bidan

6 orang, petugas gizi 1 orang, petugas kesehatan lingkungan 1 orang. Selain petugas

kesehatan, puskesmas Lailangga juga mempekerjakan 1 orang sopir dan 1 orang

cleaning service.

2. Karakteristik Umum Responden

a. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Tebel 4.1
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
pada Pasien Rawat Jalan Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi
Tenggara Tahun 2012

Kejadian Hipertensi
Total
Jenis Kelamin Kasus Kontrol
n % n % n %
Laki-laki 23 36,5 39 61,9 62 49,2

Perempuan 40 63,5 24 38,1 64 50,8

Total 63 100 63 100 126 100


Sumber: Data Primer, 2012
70

Tabel 4.1 menunjukan bahwa proporsi kelompok kasus tertinggi pada

responden berjenis kelamin perempuan yaitu 63,5 %, sedangkan proporsi kelompok

kontrol lebih besar pada responden dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebesar

61,9%.

b. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur

Umur responden dibagi dalam 2 kelompok umur yaitu 18 – 40 tahun dan 40 –

65 tahun yang dapat lebih jelas dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2
Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur pada Pasien
Rawat Jalan Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi
Tenggara Tahun 2012

Kejadian Hipertensi
Kelompok Umur Total
(Tahun) Kasus Kontrol
N % n % n %
18 – 40 8 12,7 8 12,7 16 12,7

41 – 65 55 87,3 55 87,3 110 87,3


Total 63 100 63 100 126 100
Sumber: Data Primer, 2012

Tabel 4.2 menunjukan proporsi kelompok kasus dengan proporsi kelompok

kontrol memiliki pada masing-masing kelompok umur yaitu sebesar 12,7% pada

kelompok umur 18 – 40 tahun dan 87,3% pada kelompok umur 41 – 65 tahun. Hal

ini menunjukan bahwa peneliti melakukan matching umur pada penelitian ini.

c. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan

Pekerjaan responden dikategorikan menjadi lima kategori yaitu pegawai

negeri sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia


71

(TNI/POLRI), petani, pedagang, dan ibu rumah tangga (IRT) yang dapat dilihat pada

tabel 4.3.

Tabel 4.3
Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan pada Pasien Rawat Jalan
Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara Tahun 2012

Kejadian Hipertensi
Total
Pekerjaan Kasus Kontrol
n % n % n %
PNS 6 9,5 6 9,5 12 9,5

TNI/POLRI 0 0 3 4,8 3 2,4

Petani 27 42,9 25 39,7 52 41,3

Pedagang 10 15,9 6 9,5 16 12,7

IRT 20 31,7 23 36,5 43 34,1


Total 63 100 63 100 126 100
Sumber: Data Primer, 2012

Tebel 4.3 menunjukan bahwa proporsi kelompok kasus lebih tinggi pada

responden dengan pekerjaan sebagai petani sebesar 42,9% dan sebagai pedagang

sebesar 15,9%. Sedangkan proporsi kelompok kontrol lebih tinggi pada responden

dengan pekerjaan sebagai IRT sebesar 36,5% dan TNI/POLRI sebesar 4,8%.

d. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pendidikan responden yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jenjang

pendidikan formal yang ditamatkan oleh responden. Tingkat pendidikan dalam

penelitian ini dibagi dalam lima kategori yaitu tidak pernah sekolah, SD, SMP, SMA,
72

Diploma/Sarjana Perguruan Tinggi yang dapat dilihat jelas pada tabel 4.4 sebagai

berikut:

Tabel 4.4
Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan pada Pasien Rawat
Jalan Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara Tahun 2012

Kejadian Hipertensi
Total
Tingkat Pendidikan Kasus Kontrol
n % n % n %
SD 18 28,6 6 9,5 24 19,0

SMP 23 36,5 18 28,6 41 32,5

SMA 10 15,9 31 49,2 41 32,5

Diploma/Sarjana 5 7,9 8 12,7 13 10,3

Tidak Sekolah 7 11,1 0 0 7 5,6


Total 63 100 63 100 126 100
Sumber: Data Primer, 2012

Tabel 4.4 menunjukan bahwa proporsi kelompok kasus lebih tinggi pada

responden dengan tingkat pendidikan SMP yaitu sebesar 36,5%, SD sebesar 28,6%,

dan tidak sekolah sebesar 11,1%. Sedangkan proporsi kelompok kontrol tertinggi

pada responden dengan tingkat pendidikan SMA sebesar 49,2%, dan

Diploma/Sarjana sebesar 12,7%.


73

3. Analisis Faktor Risiko

a. Risiko Kejadian Hipertensi Berdasarkan Pola Konsumsi Natrium

Tabel 4.5
Analisis Risiko Pola Konsumsi Natrium terhadap Kejadian Hipertensi pada
Pasien Rawat Jalan Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi
Tenggara Tahun 2012

Kejadian Hipertensi
Pola Konsumsi Total OR 95% Cl
Natrium p value
Kasus Control
n % n % n %
Risiko Tinggi 40 63,5 25 39,7 65 51,6 2,643
Risiko Rendah 23 36,5 38 60,3 61 48,4 1,287 – 5,429
Total 63 100 63 100 126 100 0,013
Sumber: Data Primer, 2012

Berdasarkan hasil analisis besar risiko pola konsumsi natrium terhadap kejadian

hipertensi didapatkan nilai OR sebesar 2,643 pada tingkat kepercayaan (Cl) = 95%

dengan lower limit = 1,287 dan upper limit = 5,429. Karena nilai OR > 1 maka pola

konsumsi natrium merupakan faktor risiko kejadian hipertensi. Pasien dengan pola

konsumsi natrium berlebih memiliki risiko menderita hipertensi sebesar 2,643 kali

dibanding pasien dengan pola konsumsi natrium rendah. Karena nilai lower limit

dan upper limit tidak mencakup nilai satu, maka nilai 2,643 dianggap bermakna

(signifikan).
74

b. Risiko Kejadian Hipertensi Berdasarkan Pola Konsumsi Kalium

Tabel 4.6
Analisis Risiko Pola Konsumsi Kalium terhadap Kejadian Hipertensi pada
pada Pasien Rawat Jalan Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi
Tenggara Tahun 2012

Kejadian Hipertensi
Pola Konsumsi Total OR 95% Cl
Kalium p value
Kasus Control
n % n % N %
Risiko Tinggi 28 44,4 34 54,0 62 49,2 0,682
Risiko Rendah 35 55,6 29 46,0 64 50,8 0,338 – 1,376
Total 63 100 63 100 126 100 0,373
Sumber: Data Primer, 2012

Berdasarkan hasil analisis besar risiko pola konsumsi kalium terhadap

kejadian hipertensi didapatkan nilai OR sebesar 0,682 dengan nilai lower limit =

0,338 dan upper limit = 1,376. Karena nilai OR < 1 maka pola konsumsi kalium

merupakan faktor protektif terhadap kejadian hipertensi. Pasien dengan pola

konsumsi kalium berlebih terhindar dari kejadian hipertensi sebesar 0,682 lebih kali

dibanding pasien dengan pola konsumsi kalium yang rendah. Karena nilai lower

limit dan upper limit mencakup nilai satu, maka nilai 0,682 dianggap tidak bermakna

(tidak signifikan).
75

c. Risiko Kejadian Hipertensi Berdasarkan Status Obesitas

Tabel 4.7
Analisis Risiko Status Obesitas terhadap Kejadian Hipertensi pada pada
Pasien Rawat Jalan Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi
Tenggara Tahun 2012

Kejadian Hipertensi
Total OR 95% Cl
Status Obesitas
p value
Kasus Control
n % n % n %
Risiko Tinggi 24 38,1 16 25,4 40 31,7 1,808
Risiko Rendah 39 61,9 47 74,6 86 68,3 0,844 – 3,872
Total 63 100 63 100 126 100 0,180
Sumber: Data Primer, 2012

Berdasarkan hasil analisis besar risiko obesitas terhadap kejadian hipertensi

didapatkan nilai OR sebesar 1,808 dengan nilai lower limit = 0,844 dan upper limit =

3,872. Karena nilai OR > 1 maka status obesitas merupakan faktor risiko kejadian

hipertensi. Pasien dengan status obesitas memiliki risiko menderita obesitas sebesar

1,808 kali dibanding pasien yang tidak obesitas. Karena nilai lower limit dan upper

limit mencakup nilai satu, maka nilai 0,180 dianggap tidak bermakna (tidak

signifikan).

B. PEMBAHASAN

Hipertensi adalah suatu keadaan di mana tekanan darah menjadi naik karena

gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang
76

dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya.

Tidak ada ambang batas pasti yang memisahkan resiko dari normal, namun tekanan

diastole menetap diatas 90 mm Hg, atau tekanan sistol menetap diatas 140 mm Hg,

dianggap hipertensi.

Hipertensi primer tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan khusus, tetapi

disebabkan berbagai faktor yang saling berkaitan. Risiko relatif hipertensi tergantung

pada jumlah dan keparahan dari faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak

dapat dimodifikasi. Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor

genetik, umur, jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi

meliputi stres, obesitas dan nutrisi (Anggraini, 2008). Sehingga tujuan dari penelitian

ini adalah untuk mengetahui besarnya faktor resiko pola konsumsi natrium dan

kalium serta obesitas terhadap kejadian hipertensi. Untuk tujuan penelitian tersebut

maka pada analsis data digunakan nilai OR (odds ratio) yang sejalan dengan jenis

desain penelitian yaitu case control study (retrospektif). Adapun pembahasan

masing-masing variabel independen berdasarkan hasil analisis data yang telah

dilakukan selengkapnya sebagai berikut:

1. Pola Konsumsi Natrium

Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer.

Patogenesis hipertensi dipicu oleh beberapa factor yaitu factor genetic, asupan garam

dalam diet, obesitas, factor endotel, dan tingkat stress dapat berinteraksi untuk

memunculkan gejala hipertensi. Selain itu sebenarnya tekanan darah juga


77

dipengaruhi oleh tekanan atrium kanan, namun karena tekanan atrium kanan

mendekati nol nilai tersebut tidak mempunyai banyak pengaruh (Susalit, 2003).

Pengaruh asupan garam (natrium) terhadap timbulnya hipertensi terjadi

melalui peningatan volume plasma, curah jantung, dan tekanan darah. Konsumsi

natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluer

meningkat. Untuk menormalkannya, cairan instraseluler ditarik keluar, sehingga

volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler

tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah (Anggraini dkk, 2009). Di

samping itu, konsumsi garam dalam jumlah yang tinggi dapat mengecilkan diameter

arteri, sehingga jantung harus memompa lebih keras untuk mendorong volume darah

yang meningkat melalui ruang yang semakin sempit dan akibatnya adalah hipertensi

(Hull 1993 dalam Anggraini 2008).

Berdasarkan hasil analisis besar risiko pola konsumsi natrium terhadap

kejadian hipertensi didapatkan nilai OR sebesar 2,643 pada tingkat kepercayaan (Cl)

= 95% dengan lower limit = 1,287 dan upper limit = 5,429. Karena nilai lower limit

dan upper limit tidak mencakup nilai satu, maka nilai 2,643 dianggap bermakna

antara pola konsumsi natrium dengan kejadian hipertensi. Rata-rata frekuensi

konsumsi makanan sumber natrium pada kelompok kasus lebih tinggi

(10,4411±2,84045) dibandingkan dengan kelompok kontrol (8,5716±2,75429).

Dengan demikian responden dengan total skor dari frekuensi konsumsi semua jenis

bahan makanan sumber natrium yang biasa dikonsumsi berada di atas rata-rata skor

frekuensi konsumsi semua responden memilki risiko sebesar 2,643 dibandingkan


78

responden dengan total skor dari frekuensi konsumsi semua jenis bahan makanan

sumber natrium yang biasa dikonsumsi berada di bawah rata-rata skor frekuensi

konsumsi semua responden.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hiroh pada pasien

rawat jalan di RSUD Kabupaten Karanganyar Tahun 2012 yang menunjukan bahwa

pola konsumsi makanan sumber natrium merupakan faktor yang berhubungan

dengan kejadian hipertensi (p=0,004, OR=6,875). Penelitian oleh Wijayanti (2010)

pada perempuan dewasa di Posbindu wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah,

Kota Tangerang Selatan mendapatkan bahwa variabel yang paling berpengaruh

terhadap hipertensi adalah pola konsumsi natrium dengan nilai OR 6,245. Juga

penelitian oleh Sulchan & Hermawan (2007) menunjukan asupan natrium merupakan

faktor resiko paling kuat (OR = 7.389, 95% CI = 1.875 – 29.111) terhadap kejadian

hipertensi. Rata-rata asupan natrium pada kelompok kasus lebih tinggi

(3323,7±317,4) dibanding kelompok control (2992,1±117,9).

2. Pola Konsumsi Kalium

Berdasarkan hasil analisis besar risiko pola konsumsi kalium terhadap

kejadian hipertensi didapatkan nilai OR sebesar 0,682 dengan nilai lower limit =

0,338 dan upper limit = 1,376. Karena nilai lower limit dan upper limit mencakup

nilai satu, maka nilai 0,682 dianggap tidak bermakna. Sehingga pola konsumsi

kalium bukan merupakan faktor risiko kejadian hipertensi.


79

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Fatma (2009) yang mendapatkan bahwa pola konsumsi kalium, mempunyai

hubungan yang bermakna dengan kejadian hipertensi pada nelayan di Kabupaten

Bintan Provinsi Kepulauan Riau dengan nilai OR=2,512; (95%CI; 1,545-4,086;

p=0,000). Penelitian oleh Hiroh (2012) menunjukan bahwa pola konsumsi makanan

sumber kalium berhubungan dengan terjadinya hipertensi (p=0,014 OR=0,258).

Meskipun dalam penelitian ini didapatkan bahwa pola konsumsi kalium

memiliki nilai yang tidak bermakna secara statistik, namun secara fisiologis kalium

memiliki peranan dalam menghindarkan dari terjadinya hipertensi. Asupan kalium

yang meningkat akan menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolic (Hull 1993

dalam Hendrayani 2009). Cara kerja kalium adalah kebalikan dari natrium.

Konsumsi kalium yang banyak akan meningkatkan konsentrasinya dalam cairan

intraseluler, sehingga cenderung menarik cairan dari bagian ekstraseluler dan

menurunkan tekanan darah (Almatsier, 2001). Rasio kalium dan natrium dalam diet

berperan dalam mencegah dan mengendalikan hipertensi (Hendrayani, 2009).

3. Status Obesitas

Obesitas dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu asupan makanan, mekanisme

neuroendokrin, genetik, faktor sosial dan gaya hidup. Obesitas merupakan penyakit

kronik yang bersifat monogenik atau poligenik dan dapat menyebabkan beberapa

keadaan disfungsi serta gangguan patofisiologis seperti hiperinsulinemia, diabetes,


80

penyakit kardiovaskular, hipertensi, gangguan imunologis dan beberapa jenis kanker

(Garrow, 1988 dalam Martil, 2004).

Berdasarkan hasil analisis besar risiko obesitas terhadap kejadian hipertensi

didapatkan nilai OR sebesar 1,808 dengan nilai lower limit = 0,844 dan upper limit =

3,872. Karena nilai lower limit dan upper limit mencakup nilai satu, maka nilai 0,682

dianggap tidak bermakna.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Fatma (2009)

bahwa IMT mempunyai hubungan yang tidak bermakna dengan kejadian hipertensi

pada nelayan di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau (OR=1,163; 95%CI=

0,679-1,993; p=0,583). Namun penelitian oleh Agung (2006) mendapatkan bahwa

status obesitas merupakan faktor risiko kejadian hipertensi lansia di Puskesmas

Curup dan Perumnas Kabupaten Rejang Lebong Propinsi Bengkulu (OR:4,57, CI

95%:1,49-13,95). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Sulchan & Hermawan

(2007) menunjukan bahwa salah satu faktor determinan gizi terhadap terjadinya

hipertensi adalah Indeks Massa Tubuh (IMT), dimana rata-rata IMT pada kelompok

kasus lebih tinggi (44,1±2,7) di banding kelompok control (22,8±1,3).

Beberapa faktor diduga berperan dalam mekanisme obesitas yang berhubungan

dengan peningkatan tekanan darah : a) efek langsung obesitas terhadap hemodinamik

meliputi peningkatan volume darah, peningkatan curah jantung dan peningkatan isi

sekuncup (stroke volume); b) adanya mekanisme yang menghubungkan obesitas

dengan peningkatan resistensi perifer seperti disfungsi endotel, resistensi insulin,


81

aktivitas saraf simpatis, adanya subtansi yang dikeluarkan oleh adiposa seperti

Interleukin-6 (IL-6) dan TNF-α (Lylyasari, 2007)

Obesitas adalah massa tubuh yang meningkat disebabkan jumlah yang

berlebihan dari jaringan lemak. Jaringan ini meningkatkan kebutuhan metabolik dan

konsumsi oksigen secara menyeluruh. Curah jantung dan volume darah total

bertambah untuk memenuhi kebutuhan metabolik yang lebih tinggi itu. Hubungan

antara obesitas tipe abdominal dan penyakit kardiovaskuler sudah banyak dilaporkan.

Obesitas sentral adalah akumulasi lemak terutama di daerah perut , tapi karena lemak

perut terdiri atas lemak visceral dalam perut dan lemak bawah kulit maka perlu

diketahui penyebaran lemak perut. Aliran darah melewati jaringan lemak pada

obesitas visceral lebih daripada obesitas di bawah kulit untuk berat badan yang sama.

Jadi tipe lemak visceral, akumulasi lemak akan meningkatkan dimensi diastolik,

stroke indeks, dan indeks jantung (Basha, 1994).

Peningkatan akumulasi lemak viseral (abdominal) merupakan risiko penyakit

kardiovaskular, dislipid, hipertensi, stroke dan DM type 2. Ada hubungan kuat antara

lemak viseral dengan resistensi inulin. Jaringan lemak viseral juga dihubungkan

dengan hipertensi esensial, dislipidemia dan faktor lain seperti fibrinolisis yang

berkontribusi terhadap risiko penyakit kardiovaskular yang tinggi (Arrone and Segal,

2002 dalam Nurhaedar Jafar, 2009).


82

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dengan mengacu pada

rumusan masalah dan hipotesis penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

1. Besar risiko kejadian hipertensi pada pasien rawat jalan di Puskesmas

Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara dengan pola konsumsi

natrium berlebih adalah sebesar 2,643 kali dibanding pasien dengan pola

konsumsi natrium rendah.

2. Besar protektif kejadian hipertensi pada pasien rawat jalan di Puskesmas

Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara dengan pola konsumsi

kalium berlebih adalah sebesar 0,682 kali dibanding pasien dengan pola

konsumsi kalium yang rendah, namun variabel tersebut tidak signifikan.

3. Besar risiko kejadian hipertensi pada pasien rawat jalan di Puskesmas

Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara dengan status obesitas adalah

sebesar 1,808 kali dibanding pasien yang tidak obesitas, namun variabel

tersebut tidak signifikan.

B. Saran

Kepada penderita hipertensi diharapkan dapat mengontrol tekanan darah

secara rutin, mengurangi konsumsi makanan sumber natrium, meningkatkan

83
83

konsumsi makanan sumber kalium dan menurunkan berat badan bagi yang

obesitas untuk menghindari terjadinya peningkatan tekanan darah dan

mengupayakan untuk kembali ke tekanan darah yang normal.

Kepada peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian

terhadap variabel lain dengan tetap menggunakan desain yang sama, agar

besarnya faktor risiko variabel-variabel yang mempengaruhi kejadian hipertensi

dapat diketahui secara lebih komprehensif.


84

DAFAR PUSTAKA

Almatsier,S., 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
., 2007. Penuntun Diet. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama
Anggaraini, AD., Annes W., Eduward S., Hendra A., Silvya S., 2008. Faktor-Faktor
Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hipertensi Pada Pasien Yang Berobat di
Poliklinik Dewasa Puskesmas Bangkinang Periode Januari-Juni 2008. Skripsi
tidak diterbitkan. University of Riau, Pekanbaru
Basha, Adnil. 1994. Obesitas pada Hipertensi Regulasi Sitem Kardiovaskuler. Jurnal
Kardiologi Indonesia Vol.XVII No.2. Jakarta: Bagian Kardiologi FKUI.
Beevers, D.G., 2002. Tekanan Darah. Jakarta: Dian Rakyat.
Buata, S., 2009. Studi Kejadian Hipertensi pada Pasien Rawat Jalan Unit Interna di
RSUP.Dr.Wahidin Sudirohusodo. Skripsi Sarjana. Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Bustan, M. 1997. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Ujung Pandang: Jurusan
Epidemiologi FKM UNHAS
Departemen Kesehatan RI. 2008. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Laporan
Naional 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes
RI.
Dinas Kesehatan Kabupaten Muna. 2008. Profil Kesehatan Kabupaten Muna 2007.
Raha.
2010. Profil Kesehatan Kabupaten Muna
2010. Raha
E. Susalit, E.J Kapojos, H.R. Lubis. 2003. Hipertensi Primer. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi ke III. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Fatma, Yulia. 2009. Pola Konsumsi Dan Gaya Hidup Sebagai Faktor Resiko
Terjadinya Hipertensi Pada Nelayan di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan
Riau Tahun 2009. Tesis. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Gardner, FS., 2007. Smart Treatment for High Blood Pressure. Jakarta: Prestasi
Pustaka.
Gibson, RS. 2005. Principle of Nutrition Assesment 2nd edition. New York. Oxfort
University Press.
Hadju, V., 1997. Diktat Gizi Dasar. Edisi 2. Makassar: Jurusan Gizi FKM Unhas
85

.2005. Diktat Ilmu Gizi Dasar. Makassar: Jurusan Gizi FKM Unhas

Hendrayani, C.,2009. Hubungan Rasio Asupan Natrium:Kalium dengna Kejadian


Hipertensi pada Wanita Usia 25-45 Tahun di Komplek Perhubungna
Surabaya. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Diponegoro, Semarang.

Hermawan E.N, Sulchan M., 2007. Faktor Determinan Gizi Kejadian Hipertensi.
Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Diponegoro, Semarang

Hiroh, Ainul. 2012. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Terjadinya


Hipertensi Pada Pasien Rawat Jalan Di Rsud Kabupate N Karanganyar.
Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Irza, S., 2009. Analisis Faktor Resiko Hipertensi pada Masyarakat Nagari Bungo
Tanjung Sumatra Barat. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Sumatra Utara,
Medan.

Jafar, N., 2009. Gaya Hidup dan Sindrom Metabolik pada Status Ekonomi Rendah
dan Tinggi di Daerah Perkotaan Indonesia (Analisis Data Riskesdas 2007).
Disertasi. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Lestari, D., 2010. Hubungan Asupan Kalium, Kalsium, magnesium, dan Natrium,
Indeks Masa Tubuh, serta Aktivitas Fisik dengan Kejadian Hipertensi pada
Wanita Usia 30-40 Tahun. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Diponegoro.
Semarang.

Lidya, HA., 2009. Studi Prevalensi Dan Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Hipertensi di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2007. Skripsi tidak
diterbitkan. Jakarta: Universitas Indonesia.

Lylyasari, Oktavia. 2007. Hipertensi dengan Obesitas: Adakah peran Endotelin-1?.


Jurnal Kardiologi Indonesia Vol.28 No.6. Jakarta: Departemen Kardiologi dan
Kedokteran Vaskular, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Linder, Maria C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme: Dengan Pemakaian


Secara Klinis. Jakarta:UI-Press
Lipoeto NI., 2002. Kejadian Hipertensi dan Beberapa Faktor Resikonya di Padang.
Universitas Andalas, Padang.
Marliani LT. 2007. 100 Question & Answer Hipertensi. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo.
Muhammadun, AS. 2010. Hidup Bersama Hipertensi; Seringai Darah Tinggi Sang
Pembunuh Sekejap. Jogjakarta: In-Books.
86

Nawi,R., Arsunan A., Jallo K., 2006. Analisis Faktor Risiko Kejadian Hipertensi
Pada Dewasa Muda Di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Labuang Baji
Makassar. Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia No.01 Volume 2.
Puspita, RW., 2009. Gaya Hidup pada Mahasiswa Penderita Hipertensi. Skripsi
tidak diterbitkan. Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
Robbins, S., Cotran R., Kumar V. 2007. Robbins Buku Ajar Patologi Edisi 7 Volume
2. Jakarata: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Riyadi, Agung. 2006. Asupan Gizi Dan Status Gizi Sebagai Faktor Resiko Hipertensi
Esensial Pada Lansia Di Puskesmas Curup Dan Perumnas Kabupaten
Rejang Lebong Propinsi Bengkulu. Tesis. Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.
Sani, A., 2008. Hypertension; Current Perspective. Jakarta: Medya Crea.
Shimamoto K, Fujita T, WU Z, et al., 2006. Recommended optimal BP in the Asean
Population: difference from current JNC VII and ESC/ESH guidlines. Int J
Clin Pract. 2006;60 (150): 7-10.
Schlenker, ED., Sara L., 2007. Williams’ Essentials of Nutrition & Diet Therapy.
Canada: Mosby Elsevier.
Semiardji. 2004. The Significant of Visceral Fat in Metabolic Syndrome. Jakarta:
Diabetes Meeting 9-10 Oktober.
Sastroasmoro S., Ismael S., 2011. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi
IV. Jakarta: CV. Sagung Seto.
Sugiharto, A. 2007. Faktor-Faktor Risiko Hipertensi Grade II pada Masyarakat
(Studi Kasus di Kab. Karanganyar). Tesis. Universitas Diponegoro.
Semarang.
Supariasa. dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarata: Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Suryatih A. 2005. Faktor-Faktor yang Berhunbungan dengan Terjadinya Hipertensi
Essensial di Rumah Sakit Islam Jakarta tahun 2005. Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan. Vol.1 No.2 111-215. Jakarta, Juli 2005.
Widyastuti , Nurmasari. 2004. Hubungan Beberapa Indikator Obesitas dengan
Hipertensi pada Perempuan. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.
Wijayanti, Risti. 2010. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi Pada
Perempuan Dewasa di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Kampung Sawah,
Kota Tangerang Selatan Tahun 2010. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Wiryowidagdo, Sudjaswadi, dkk. 2008. Tanaman Obat untuk Penyakit Jantung,
Darah Tinggi, dan Kolesterol. Jakarta: PT.Agromedia Pustaka.
87

Lampiran
No. Responden :

Tanggal Penelitian :

KUESIONER PENELITIAN
Faktor Risiko Pola Konsumsi Natrium dan Kalium serta Status Obesitas
Terhadap Kejadian Hipertensi Pada Pasien Rawat Jalan
Di Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna
Sulawesi Tenggara

I. Identitas Responden
1. Nama Pasien

2. Jenis Kelamin 1. Laki_laki


2. Perempuan
3. Umur

4. Alamat / No.Telp

5. Pekerjaan 1. PNS
2. TNI/Polri
3. Petani
4. Pedagang
5. IRT
6. Lainnya……………
6. Pendidikan 1. SD
2. SMP
3. SMA
4. Diploma
5. Sarjana
6. Tidak Sekolah
88

II. Pemeriksaan Tekanan Darah

7. TD = ................/.............. mmHg

III. Data Antropometri

14. Berat Badan kg 16. IMT kg/m2

15. Tinggi Badan cm 17. Lingkar Perut cm


89

FOOD FREQUENCY QUESTIONAIRE (FFQ)

Berapa kali Anda mengkonsumsi makanan di bawah ini selama 3 bulan terakhir?

Frekuensi Mengkonsumsi
Sumber Nama Bahan
Makanan Makanan/Olahan 3- 1-2 Tidak
>1/hr 1/hr Jarang Total
6/mgg /mgg Pernah
Garam
Kecap
Udang
Teri kering
Sumber Natrium

Biscuit
Telur ayam
Telur bebek
Daging bebek
Susu kental manis
Ayam
Daging sapi
Kacang Hijau
Kacang kedelai
Kacang mete
Bayam
Daun pepaya
Sumber Kalium

Pisang
Teh
Saos tomat
Tomat
Jeruk manis
Nenas
Papaya
Gula merah
Madu
Skor :
Jika makanan dikonsumsi setiap makan = 50
Jika makanan dikonsumsi 1x sehari = 25
90

Jika makanan dikonsumsi 3-6 x seminggu = 15


Jika makanan dikonsumsi < 3 x seminggu = 10
Jika makanan dikonsumsi jarang = 1
Jika makanan tidak pernah dikonsumsi = 0
91

Lampiran hasil Perhitungan program SPSS. 16.

Karakteristik responden

Jenis Kelamin * case_control Crosstabulation

case_control

case control Total

Jenis Kelamin Laki-laki Count 23 39 62

% within case_control 36.5% 61.9% 49.2%

Perempuan Count 40 24 64

% within case_control 63.5% 38.1% 50.8%

Total Count 63 63 126

% within case_control 100.0% 100.0% 100.0%

ket_umur * case_control Crosstabulation

case_control

case control Total

ket_umur 18 - 40 tahun Count 8 8 16

% within case_control 12.7% 12.7% 12.7%

41 - 65 tahun Count 55 55 110

% within case_control 87.3% 87.3% 87.3%

Total Count 63 63 126

% within case_control 100.0% 100.0% 100.0%


92

Pekerjaan * case_control Crosstabulation

case_control

case control Total

Pekerjaan PNS Count 6 6 12

% within case_control 9.5% 9.5% 9.5%

TNI/Polri Count 0 3 3

% within case_control .0% 4.8% 2.4%

Petani Count 27 25 52

% within case_control 42.9% 39.7% 41.3%

Pedagang Count 10 6 16

% within case_control 15.9% 9.5% 12.7%

IRT Count 20 23 43

% within case_control 31.7% 36.5% 34.1%

Total Count 63 63 126

% within case_control 100.0% 100.0% 100.0%


93

Pendidikan * case_control Crosstabulation

case_control

case control Total

Pendidikan SD Count 18 6 24

% within case_control 28.6% 9.5% 19.0%

SMP Count 23 18 41

% within case_control 36.5% 28.6% 32.5%

SMA Count 10 31 41

% within case_control 15.9% 49.2% 32.5%

Diploma/Sarjana Count 5 8 13

% within case_control 7.9% 12.7% 10.3%

Tidak Sekolah Count 7 0 7

% within case_control 11.1% .0% 5.6%

Total Count 63 63 126

% within case_control 100.0% 100.0% 100.0%


94

HASIL ANALISIS UJI CHI SQUARE

Natrium dan Kejadian Hipertensi

risiko_natrium * case_control Crosstabulation

case_control

case control Total

risiko_natrium Berisiko Count 40 25 65

% within case_control 63.5% 39.7% 51.6%

Tidak Berisiko Count 23 38 61

% within case_control 36.5% 60.3% 48.4%

Total Count 63 63 126

% within case_control 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 7.150 1 .007
b
Continuity Correction 6.228 1 .013

Likelihood Ratio 7.220 1 .007

Fisher's Exact Test .012 .006

Linear-by-Linear Association 7.093 1 .008


b
N of Valid Cases 126

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 30,50.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for risiko_natrium


2.643 1.287 5.429
(Berisiko / Tidak Berisiko)
95

For cohort case_control =


1.632 1.121 2.376
case

For cohort case_control =


.617 .429 .889
control

N of Valid Cases 126

Kalium dengan Kejadian Hipertensi


risiko_kalium * case_control Crosstabulation

case_control

case control Total

risiko_kalium Berisiko Count 28 34 62

% within case_control 44.4% 54.0% 49.2%

Tidak Berisiko Count 35 29 64

% within case_control 55.6% 46.0% 50.8%

Total Count 63 63 126

% within case_control 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 1.143 1 .285
b
Continuity Correction .794 1 .373

Likelihood Ratio 1.145 1 .285

Fisher's Exact Test .373 .187

Linear-by-Linear Association 1.134 1 .287


b
N of Valid Cases 126

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 31,00.

b. Computed only for a 2x2 table


96

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for risiko_kalium


.682 .338 1.376
(Berisiko / Tidak Berisiko)

For cohort case_control =


.826 .580 1.176
case

For cohort case_control =


1.210 .852 1.720
control

N of Valid Cases 126

IMT dengan kejadian hipertensi


risiko_imt * case_control Crosstabulation

case_control

case control Total

risiko_imt Berisiko Count 24 16 40

% within case_control 38.1% 25.4% 31.7%

Tidak Berisiko Count 39 47 86

% within case_control 61.9% 74.6% 68.3%

Total Count 63 63 126

% within case_control 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 2.344 1 .126
b
Continuity Correction 1.795 1 .180

Likelihood Ratio 2.356 1 .125

Fisher's Exact Test .180 .090

Linear-by-Linear Association 2.326 1 .127


b
N of Valid Cases 126
97

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20,00.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for risiko_imt


1.808 .844 3.872
(Berisiko / Tidak Berisiko)

For cohort case_control =


1.323 .939 1.865
case

For cohort case_control =


.732 .478 1.120
control

N of Valid Cases 126

Nilai skor rata-rata Pola Konsumsi:

Group Statistics

case_con
trol N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

skor_natrium case 63 10.4411 2.84045 .35786

control 63 8.5716 2.75429 .34701

Group Statistics

case_con
trol N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

skor_kalium case 63 7.0378 2.29160 .28871

control 63 6.6902 2.60989 .32882


98

RIWAYAT HIDUP

A. IDENTITAS

Nama : Adhyanti
NIM : K211 07 016
Tempat Tanggal lahir :Lindo, 31Januari 1989
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku / Bangsa : Muna / Indonesia
Agama : Islam
Alamat Daerah : Desa Katobu, Kec.Wadaga, Kab.Muna,
Sulawesi Tenggara
Alamat Makassar : Asrama KEPPMI Muna-Makassar Jln.
P. Kemerdekaan VI Tamalanrea
Makassar
Telpon / HP : 082348867406

B. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. Tamat SDN 1 Lasosodo Tahun 2001

2. Tamat SLTPN 3 Lawa Kabupaten Muna Tahun 2004

3. Tamat SMAN 1 Lawa Kabupaten Muna Tahun 2007


99

4. Masuk Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Hasanuddin Tahun 2007

C. RIWAYAT ORGANISASI

1. Anggota MAPERWA FKM Unhas periode 2007-2008.

2. Koordinator GBHO MAPERWA FKM Unhas periode 2008-2009.

3. Pengurus BEM FKM Unhas periode 2009-2010

4. Pengurus Forum Mahasiswa Gizi (FORMAZI) FKM Unhas 2009

5. Presiden BEM FKM Unhas Juli 2010 – Januari 2011.

6. Staff Departemen Pengembangan Sumber Daya Anggota

Pengurus Harian Nasional (PHN) Ikatan Lembaga Mahasiswa Gizi

Indonesia (ILMAGI) Tahun 2008-2010.

7. Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Ikatan Lembaga

Mahasiswa Gizi Indonesia (ILMAGI) Tahun 2010.

8. Ketua Bidang PTKP HMI Komisariat Kesehatan Masyarakat Unhas

Cabang Makassar Timur periode 2010 – 2011.

9. Anggota Departemen Penelitian dan Pengembangan Lembaga

Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI) HMI Cabang Makassar Timur

periode 2011-2012.

10. Ketua Bidang Pembinaan Aparatur Organisasi (PAO) HMI Cabang


Makassar Timur periode 2012-2013

Anda mungkin juga menyukai