Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut)


2.1.1 Definisi
ISPA merupakan salah satu penyakit pernapasan terberat dimana penderita
yang terkena serangan infeksi ini sangat menderita, apa lagi bila udara lembab,
dingin atau cuaca terlalu panas (Saydam, dalam Saputro, 2017). Infeksi Saluran
Pernapasan Akut merupakan keadaan infeksi anak paling lazim, tetapi
kemaknaannya tergantung frekuensi relatif dari komplikasi yang terjadi pada
anak. Sindrom ini lebih luas dari pada orang dewasa. Biasanya anak dengan ISPA
mengalami penurunan nafsu makan tetapi tindakan memaksa dia untuk makan
hidangan tidak ada gunanya (Nelson, dalam Saputro, 2017). Istilah ISPA meliputi
tiga unsur yakni sebagai berikut:
1. Infeksi
Masuknya kuman atau mikroorganisme kedalam tubuh manusia dan
berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2. Saluran pernafasan
Organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus,
rongga telinga tengah, dan pleura.
3. Infeksi Akut
Infeksi yang langsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk
menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat
digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.

2.1.2 Patofisiologi
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus
dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen kesaluran pernafasan
menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke atas
mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh

8
9

laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan
mukosa saluran pernafasan (Kending dan Chernick, dalam Saputro, 2017).
Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk
kering. Kerusakan struktur lapisan dinding saluran pernapasan menyebabkan
kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran
nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal.
Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk (Kending
and Chernick, dalam Saputro, 2017). Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang
paling menonjol adalah batuk.
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder
bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris
yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap
infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada
saluran pernafasan atas seperti streptococcus pneumonia, haemophylus influenza
dan staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut (Kending dan
Chernick, dalam Saputro, 2017).
Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah
banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan juga
menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya
fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian
menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran
nafas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak (Tyrell, dalam
Saputro, 2017).
Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-
tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan
juga bisa menyebar ke saluran nafas bawah (Tyrell, dalam Saputro, 2017).
Dampak infeksi sekunder bakteri pun bisa menyerang saluran nafas bawah,
sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran
pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru
sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (Shann, dalam Saputro, 2017).
10

Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan


aspek imunologis saluran nafas terutama dalam hal bahwa sistem imun di saluran
nafas yang sebagian besar terdiri dari mukosa, tidak sama dengan sistem imun
sistemik pada umumnya. Sistem imun saluran nafas yang terdiri dari folikel dan
jaringan limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas system imun mukosa. Ciri
khas berikutnya adalah bahwa IgA memegang peranan pada saluran nafas atas
sedangkan IgG pada saluran nafas bawah.Diketahui pula bahwa sekretori IgA
(slgA) sangat berperan dalam mempertahankan integritas mukosa saluran nafas
(Siregar, dalam Saputro, 2017).

2.1.3 Etiologi
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 bakteri, virus dan riketsia. Bakteri
penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptokokus, Stafilokokus,
Pneumokokus, Hemofilus, dan Korinebakterium. Virus penyebab ISPA antara lain
adalah golongan Miksovirus, Adnovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma,
Herpesvirus dan lain-lain (Suhandayani, dalam Saputro, 2017).
Untuk golongan virus penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus
(termasuk di dalamnya virus para-influensa, virus influensa, dan virus campak),
dan adenovirus. Virus para-influensa merupakan penyebab terbesar dari sindroma
batuk rejan, bronkiolitis dan penyakit demam saluran nafas bagian atas. Untuk
virus influensa bukan penyebab terbesar terjadinya sindroma saluran pernafasan
kecuali hanya epidemi-epidemi saja. Pada bayi dan anak-anak, virus-virus
influenza merupakan penyebab terjadinya lebih banyak penyakit saluran nafas
bagian atas daripada saluran nafas bagian bawah. (Siregar dan Maulany, dalam
Saputro, 2017).

2.1.4 Klasifikasi ISPA


1. Klasifikasi ISPA berdasarkan Depkes RI (2002)
a. ISPA Ringan.
Seseorang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk pilek dan
sesak.
11

b. ISPA Sedang.
Seseorang menderita ISPA sedang apabila ditemukan gejala sesak napas,
suhu tubuh mencapai 39o C dan bila bernapas mengeluarkan suara seperti
mengorok.
c. ISPA Berat.
Seseorang menderita ISPA berat apabila ditemukan gejala-gejala meliputi:
kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun,
bibir, dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah.
2. Klasifikasi ISPA berdasarkan Kelompok Umur
Menurut Muttaqin (Saputro, 2017) bahwa klasifikasi ISPA berdasarkan
kelompok umur dibedakan menjadi:
a. Golongan umur kurang dari 2 bulan
1) ISPA berat. Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada
bagian bawah atau napas cepat. Batas napas normal untuk golongan
umur kurang dari 2 bulan yaitu 6x per-menit atau lebih
2) Bukan ISPA (batuk pilek biasa). Bila tidak ditemukan tanda tarikan di
dinding pada bagian bawah atau napas cepat. Tanda bahaya untuk umur
golongan 2 bulan yaitu:
a) Kurang bisa minum (kemampuan minumnya turun sampai dari ½
volume yang biasa diminum)
b) Kejang
c) Kesadaran menurun
d) Stridor
e) Wheezing
f) Demam/dingin
b. Golongan umur 2 bulan – 5 tahun
1) ISPA berat. Bila disertai napas sesak di dinding bagian bawah ke dalam
pada waktu anak menarik napas (pada saat diperiksa anak harus dalam
keadaan tenang, tidak menangis atau meronta).
2) ISPA sedang. Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah:
a) Untuk usia 2 bulan – 12 bulan = 50 kali per menit atau lebih
12

b) Untuk usia 1 – 4 tahun = 40 kali per menit atau lebih


3) Bukan ISPA. Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah
dan tidak ada napas cepat. Tanda bahaya untuk umur 2 bulan - 5 tahun
yaitu: Tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi
buruk.
3. Klasifikasi ISPA berdasarkan Anatomi
Secara anatomik, ISPA dikelompokkan menjadi ISPA bagian atas
misalnya rhinitis, inusitis, faringitis, laringitis, epiglotitis, tonsilitis, dan otitis
media dan ISPA bagian bawah seperti bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia.
Infeksi saluran pernafasan akut bagian atas jarang menimbulkan kematian
walaupun insidennya lebih besar dari ISPA bagian bawah (Said, 1994).
a. Rhinitis akut. Rhinitis akut adalah penyakit infeksi catarrhal dari saluran
pernafasan bagian atas yang mempunyai ciri-ciri coryza (suatu penyakit
menular akut inflamasi yang melibatkan saluran pernafasan bagian atas),
bersin, lakrimasi, iritasi nasofaring, menggigil dan malaise yang berlangsung
selama 2-7 hari. Penyakit ini bisa disertai dengan laringitis, trakeitis atau
bronkitis dan bisa terjadi komplikasi yang serius serta sinusitis dan otitis
media. Jumlah sel darah putih biasanya normal dan flora bakteri pada saluran
pernafasan biasanya dalam batas normal jika tidak terjadi komplikasi (Anonim,
dalam Saputro, 2017).
b. Faringitis. Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dan sering meluas
kejaringan sekitarnya. Faringitis biasanya timbul bersama-sama dengan
tonsilitis, rhinitis dan laringitis. Faringitis banyak diderita anak-anak usia 5-15
tahun di daerah dengan iklim panas. Faringitis dijumpai pula pada dewasa
yang masih memiliki anak usia sekolah atau bekerja di lingkungan anak-anak
(Anonim, dalam Saputro, 2017).
c. Sinusitis. Sinusitis merupakan peradangan pada mukosa sinus paranasal.
Peradangan ini banyak dijumpai pada anak dan dewasa yang biasanya
didahului oleh infeksi saluran napas atas. Sinusitis dibedakan menjadi sinusitis
akut yaitu infeksi pada sinus paranasal sampai dengan selama 30 hari baik
dengan gejala yang menetap maupun berat. Sinusitis kronik didiagnosis bila
13

gejala sinusitis terus berlanjut hingga lebih dari 6 minggu. Sinusitis bakteri
dapat pula terjadi sepanjang tahun oleh karena sebab selain virus, yaitu adanya
obstruksi oleh polip, alergi, berenang, benda asing, tumor dan infeksi gigi.
Sebab lain adalah immunodefisiensi, abnormalitas sel darah putih dan bibir
sumbing (Anonim, dalam Saputro, 2017).
d. Laringitis. Laringitis merupakan peradangan pada laring yang dapat
menyebabkan suara parau. Pada peradangan ini seluruh mukosa laring
hiperemis dan menebal dan kadang-kadang pada pemeriksaan patologik
terdapat metaplasia skuamosa. Penyebab tersering pada orang dewasa antara
lain yaitu: merokok, alkoholik, gastroesophageal reflux disease (GERD),
pekerjaan yang terus menerus terpapar oleh debu dan bahan kimia, dan
penggunaan suara yang berlebihan (Anonim, dalam Saputro, 2017).
e. Epiglotitis. Epiglotitis (kadang disebut supraglotitis) adalah suatu infeksi pada
epiglotis, yang bisa menyebabkan penyumbatan saluran pernafasan dan
kematian. Epiglotitis hampir selalu disebabkan oleh bakteri Haemophillus
influenzae tipe b. Pada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa kadang
disebabkan oleh streptokokus. Epiglotitis paling sering ditemukan pada anak-
anak yang berumur 2-5 tahun dan jarang terjadi pada anak yang berumur
dibawah 2 tahun (Anonim, dalam Saputro, 2017).
f. Tonsilitis. Radang amandel (tonsilitis) adalah infeksi pada amandel yang
terkadang mengakibatkan sakit tenggorokan dan demam. Secara klinis
peradangan ini ada yang akut (baru), ditandai dengan nyeri menelan
(odinofagi), dan tidak jarang disertai demam. Sedangkan yang sudah menahun
biasanya tidak nyeri menelan, tapi jika ukurannya cukup besar (hipertrofi) akan
menyebabkan kesulitan menelan (disfagia). Penyebab tersering radang
amandel akut adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (Anonim, 2009).
g. Otitis Media. Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis
media akut terjadi karena faktor pertahanan tubuh dari tuba eustachius
terganggu. Tuba eustachius adalah saluran yang menghubungkan antara
14

nasofaring dan telinga tengah. Sumbatan tuba eustachius merupakan faktor


penyebab utama dari otitis media (Anonim, dalam Saputro, 2017)
h. Bronkitis (Bronchitis). Bronkitis adalah peradangan (inflamasi) pada selaput
lendir (mukosa) bronchus (saluran pernafasan dari trachea hingga saluran
napas di dalam paru-paru). Penyebab tersering Bronkitis akut adalah virus,
yakni virus influenza, rhinovirus, adenivirus, dan lain-lain. Sebagian kecil
disebabkan oleh bakteri (kuman), terutama mycoplasma pnemoniae, clamydia
pnemoniae, dan lain-lain. Keluhan yang kerap dialami penderita bronkitis akut,
meliputi batuk (berdahak ataupun tidak berdahak), demam (biasanya ringan),
rasa berat dan tidak nyaman di dada, sesak napas, rasa berat bernapas, dan
kadang batuk darah.
i. Asma bronkial. Asma bronkial adalah peradangan pada saluran pernafasan. Ini
berarti bahwa selaput lendir bronkus menjadi meradang dan bengkak. Para
kejang otot bronkus dan selaput lendir menghasilkan terlalu banyak lendir yang
menghambat saluran udara. Akibatnya, diameter berkurang pada bronkial dan
bernafas menjadi sulit. Terjadinya serangan asma tidak terduga dan bisa terjadi
kapan saja, terutama jika terkena alergen dan lingkungan pemicu. Penyebab
asma masih belum diketahui. Perkembangan asma bervariasi dari pasien ke
pasien. Setengah dari semua orang dewasa didiagnosis Asma bronkial pada
anak telah dilaporkan jika terjadi penghentian gejala maka tidak lagi
memerlukan pengobatan, namun, asma dapat kembali kapan saja.

4. Menurut derajat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu
(Suyudi, dalam Saputro, 2017):
a. ISPA ringan, bukan pneumonia
b. ISPA sedang, pneumonia
c. ISPA berat, pneumonia berat
Khusus untuk bayi di bawah dua bulan, hanya dikenal ISPA berat dan
ISPA ringan (tidak ada ISPA sedang). Batasan ISPA berat untuk bayi kurang dari
2 bulan adalah bila frekuensi nafasnya cepat (60 kali per menit atau lebih) atau
adanya tarikan dinding dada yang kuat.Pada dasarnya ISPA ringan dapat
15

berkembang menjadi ISPA sedang atau ISPA berat jika keadaan memungkinkan
misalnya pasien kurang mendapatkan perawatan atau daya tahan tubuh pasien
sangat kurang. Gejala ISPA ringan dapat dengan mudah diketahui orang awam
sedangkan ISPA sedang dan berat memerlukan beberapa pengamatan sederhana.

2.1.5 Faktor ISPA


1. Faktor Internal
a. Umur kurang dari dua bulan. ISPA dapat menyerang semua baik pria
maupun wanita pada semua tingkat usia, terutama pada usia kurang dari 2
bulan karena daya tahan tubuh bayi kurang dari 2 bulan lebih rendah
daripada orang dewasa sehingga mudah terserang ISPA. Umur diduga
terkait dengan system kekebalan tubuhnya. Bayi dan balita merupakan
kelompok umur yang kekebalan tubuhnya belum sempurna, sehingga masih
rentan terhadap penyakit infeksi (Suhandayani, dalam Saputro, 2017).
b. BBLR. Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik
dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat
badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena
pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah
terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan
lainnya.
1) Laki–laki.
Laki-laki merupakan salah satu faktor yang meningkatkan insiden dan
kematian akibat ISPA. Bila dihubungkan dengan status gizi, sesuai
dengan status gizi, sesuai dengan analisa data Susenas 1998 yang
meyatakan bahwa secara umum status gizi balita perempuan lebih baik
dibanding balita laki-laki. Perbedaan prevalensi tersebut belum dapat
dijelaskan secara pasti, apakah karena factor genetika, perbedaan dalam
hal perawatan dan pemberian makanan atau yang lainnya. Sehingga
kekurangan gizi dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi
(Prabu, dalam Saputro, 2017).
16

2) Status gizi.
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat kosumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang,
baik, dan lebih (Almatsier, dalam Saputro, 2017). Masukan zat-zat gizi
yang diperoleh pada tahap pertumbuhan dan perkembangan anak
dipengaruhi oleh: umur, keadaan fisik, kondisi kesehatannnya,
kesehatan fisiologis pencernaannya, tersedianya makanan dan aktifitas
dari si anak itu sendiri. Penilaian status gizi dapat dilakukan antara lain
berdasarkan antopometri: berat badan lahir, panjang badan, tinggi
badan, dan lingkar lengan atas (Prabu, dalam Saputro, 2017).
Keadaan gizi buruk muncul sebagai faktor yang penting untuk
terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang
adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-
anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Disamping itu
adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi
virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap
infeksi. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang
ISPA di bandingkan balita dengan gizi normal karena daya tahan tubuh
yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak
mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada
keadaan gizi kurang balita lebih mudah terserang “ISPA berat” bahkan
serangannya lebih lama (Prabu, dalam Saputro, 2017).
3) Defisiensi Vitamin A. Sejak tahun 1985 setiap enam bulan Posyandu
memberikan kapsul 200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu
sampai dengan empat tahun. Balita yang mendapat vitamin A lebih dari
6 bulan sebelum sakit maupun yang tidak pernah mendapatkannya
adalah sebagai resiko terjadinya suatu penyakit sebesar 96,6% pada
kelompok kasus dan 93,5% pada kelompok kontrol.Pemberian vitamin
A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan
peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya tetap berada
dalam nilai yang cukup tinggi. Bila antibodi yang ditujukan terhadap
17

bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing yang tidak berbahaya,
niscaya dapatlah diharapkan adanya perlindungan terhadap bibit
penyakit yang bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat.
Karena itu usaha massal pemberian vitamin A dan imunisasi secara
berkala terhadap anak-anak prasekolah seharusnya tidak dilihat sebagai
dua kegiatan terpisah. Keduanya haruslah dipandang dalam suatu
kesatuan yang utuh, yaitu meningkatkan daya tahan tubuh dan
perlindungan terhadap anak Indonesia sehingga mereka dapat tumbuh,
berkembang dan berangkat dewasa dalam keadaan yang sebaik-baiknya
(Prabu, dalam Saputro, 2017).

2. Faktor Eksternal
a. Pemberian ASI Eksklusif.
ASI eksklusif adalah pemberian ASI sedini mungkin setelah lahir sampai
bayi berumur 6 bulan tanpa pemberian makanan tambahan lain (Purwanti,
dalam Saputro, 2017). Setelah 6 bulan bayi mulai dikenalkan dengan
makanan lain dan tetap diberikan ASI sampai berumur 2 tahun. Mengapa
pengenalan makanan tambahan dimulai pada usia 6 bulan dan bukan 4
bulan. Pertama komposisi ASI cukup untuk perkembangan bayi sampai usia
6 bulan, kedua bayi pada usia 6 bulan sistem pencernaanya mulai matur,
sehingga usus bayi setelah berumur 6 bulan mampu menolak faktor alergi
ataupun kuman yang masuk ASI mengandung nutrisi, hormon, unsur
kekebalan faktor pertumbuhan, anti alergi, serta anti inflamasi. Nutrisi
dalam ASI mencakup hampir 200 unsur zat makanan. Unsur ini mencakup
hidrat arang, lemak, protein, vitamin dan mineral, dalam jumlah yang
proporsional (Purwanti, dalam Saputro, 2017). Karena zat-zat protektif yang
terkandung dalam ASI, bayi yang diberi ASI memiliki kemungkinan kecil
untuk terjangkit infeksi telinga (otitis media), alergi, diare, pneumonia,
bronchitis, meningitis, serta sejumlah penyakit pernafasan (Wicak, dalam
Saputro, 2017).
18

b. Imunisasi.
Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan kepada bayi dan anak
dengan memasukan vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat zat anti
untuk mencegah terhadap penyakit tertentu. Sedangkan yang dimaksud
vaksin adalah bahan yang dipakai untuk merangsang pembentukan zat anti
yang dimasukkan kedalam tubuh melalui suntikan seperti vaksin HepB,
BCG, DPT, campak dan melalui mulut seperti vaksin polio (Hidayat, dalam
Saputro, 2017). Kekebalan diasumsikan sebagai perlindungan terhadap
suatu penyakit tertentu terdiri atas kekebalan pasif, yaitu tubuh tidak
membentuk imunitas, tetapi menerima imunitas, dan kekebalan aktif, yaitu
tubuh membentuk kekebalan sendiri. Pemberian imunisasi penting diberikan
pada tahun pertama usia anak karena pada awal kehidupan, anak belum
mempunyai kekebalannya sendiri, hanya imunoglobin G yang
didapatkannya dari ibu dan setelah usia dua sampai tiga tahun, anak akan
membentuk imunoglobin G sendiri. Beberapa hal penting terkait dengan
pemberian iminisasi pada anak adalah status kesehatan anak saat akan
diberikan imunisasi, pengertian orang tua terhadap imunisasi, dan
kontraindikasi imunisasi (Supartini, dalam Saputro, 2017). Bayi dan balita
yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami
terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian
ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak, maka
peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya
peberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas
ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai
status imunisasi lengkap bila menderita ISPA diharapkan perkembangan
penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. Cara yang terbukti paling
efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi campak dan pertusis
(DPT). Dengan imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian
pneumonia balita dapat dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6%
kematian pneumonia dapat dicegah (Prabu, dalam Saputro, 2017).
19

c. Kebiasaan merokok anggota keluarga. Perilaku merokok orang tua adalah


bahaya utama lain bagi anak (Drongowski et al., 2003, Moya, et al., 2004,
dalam Saputro, 2017). Kira-kira 22% anak dan remaja di Amerika Serikat
mengalami kontak dengan rokok tembakau dirumah. Jumlah studi yang
meningkat menyimpulkan bahwa tinggal dirumah dimana orang tua
merokok menempatkan anak pada resiko mengalami masalah pernafasan.
Anak tersebut lebih mungkin mengalami gejala bersin dan asma dari pada
anak yang tinggal dirumah orang tuanya yang tidak merokok (Murray,
dalam Saputro, 2017). Dalam sebuah studi, jika ibu merokok, anaknya 2 kali
lebih mungkin memiliki gangguan pernafasan (Santrock, dalam Saputro,
2017). Asap rokok dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme
pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA (Prabu, dalam
Saputro, 2017)).
d. Membedong anak. Membedong anak atau menyelimuti berlebihan bagi para
orangtua dianggap dapat membuat anak tidak mudah terkejut dan anak lebih
nyenyak tidurnya karena seolah-olah didekap, sama seperti pada waktu
didalam kandungan ibunya. Akan tetapi pada anak yang sudah terserang
ISPA jika dibedong berlebihan akan membuat anak susah bernafas sehingga
penyakitnya akan semakin berat (Prabu, dalam Saputro, 2017).
e. Pemberian makanan terlalu dini. Pemberian makan setelah bayi berumur 6
bulan memberikan perlindungan besar dari berbagai penyakit. Hal ini
disebabkan sistem imun bayi kurang dari 6 bulan belum sempurna.
Pemberian MPASI dini sama saja dengan membuka pintu gerbang
masuknya berbagai jenis kuman. Belum lagi jika tidak disajikan higienis.
Hasil riset terakhir dari peneliti di Indonesia menunjukkan bahwa bayi yg
mendapatkan MPASI sebelum ia berumur 6 bulan, lebih banyak terserang
diare, sembelit, batuk-pilek, dan panas dibandingkan bayi yang hanya
mendapatkan ASI Eksklusif (Prabu, dalam Saputro, 2017).
f. Kepadatan tempat tinggal. Kepadatan hunian dalam rumah menurut
keputusan menteri kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang
persyaratan kesehatan rumah, satu orang minimal menempati luas rumah
20

8m². Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan


penyakit dan melancarkan aktivitas. Keadaan tempat tinggal yang padat
dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada. Penelitian
menunjukkan ada hubungan bermakna antara kepadatan dan kematian dari
bronkopneumonia pada bayi, tetapi disebutkan bahwa polusi udara, tingkat
sosial, dan pendidikan memberi korelasi yang tinggi pada faktor ini (Prabu,
dalam Saputro, 2017).
g. Ventilasi kurang memadai. Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau
pengerahan udara ke atau dari ruangan baik secara alami maupun secara
mekanis. Fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen
yang optimum bagi pernapasan.
2) Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan
zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara.
3) Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.
4) Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan.
5) Mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi
tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal.
6) Mendisfungsikan suhu udara secara merata (Prabu, dalam Saputro,
2017).
h. Sosial ekonomi. Keadaan ekonomi belum pulih dari krisis ekonomi yang
berkepanjangan berdampak peningkatan penduduk miskin dan disertai
dengan kemampuan menyediakan lingkungan pemukiman yang kurang
sehat dapat mendorong peningkatan jumlah balita rentan terhadap serangan
berbagai penyakit menular termasuk ISPA. Pada akhirnya akan mendorong
meningkatnya penyakit ISPA dan pnemonia pada balita (Depkes RI, 2002).
Balita yaitu anak yang berusia di bawah 5 tahun merupakan generasi yang
perlu mendapat perhatian, karena balita merupakan generasi penerus dan
modal dasar untuk kelangsungan hidup bangsa, balita amat peka terhadap
penyakit, tingkat kematian balita masih tinggi (Anonim, dalam Saputro,
2017). Balita diharapkan tumbuh dan berkembang dalam keadaan sehat
21

jasmani, sosial dan bukan hanya bebas dari penyakit dan kelemahan.
Masalah kesehatan balita merupakan masalah nasional, menginggat angka
kesakitan dan angka kematian pada balita masih cukup tinggi. Angka
kesakitan mencerminkan keadaan yang sesungguhnya karena penyebab
utamanya berhubungan dengan faktor lingkungan antara lain; asap dapur,
penyakit infeksi dan pelayanan kesehatan. Salah satu faktor penyebab
kematian maupun yang berperan dalam proses tumbuh kembang balita yaitu
ISPA, penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Untuk itu kegiatan
yang dilakukan terhadap balita antara pemeriksaan perkembangan dan
pertumbuhan fisiknya, pemeriksaan perkembangan kecerdasan, pemeriksaan
penyakit infeksi, imunisasi, perbaikan gizi dan pendidikan kesehatan pada
orang tua (Lamusa, dalam Saputro, 2017).

2.1.6 Gejala ISPA


1. Gejala laboratis ISPA
a. Hypoxemia
b. Hypercapnia
c. Acydosis (Metabolik dan atau respiratorik)
2. Gejala klinis penyakit ISPA
a. Sistem respiratorik:
Napas cepat, napas tidak teratur, retraksi dinding dada, napas cuping
hidung, sianosis, suara napas lemah, wheezing.
b. Sistem cardial:
Takirkardi, bradikardi, hipertensi, hipotensi dan cardiac arrest.
c. Sistem cerebral:
Sakit kepala, pepil edema, gelisah, bingung, kejang, koma.
d. Sisten integumen:
Keluar keringat banyak.
22

2.1.7 Terapi pada ISPA


Standar penggunaan antibiotik untuk terapi infeksi saluran pernafasan atas
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.1 Antibiotika pada Infeksi Saluran Pernafasan Atas

Jenis ISPA Antibiotik Dosis Lama


Pemberian
Rhinitis Tanpa Antibiotik
Laringitis Amoxicillin 500 mg 3x1 sehari 5 hari
Epiglotitis Kloramfenikol 1gr 4x/hr 5 hari
Ceftriaxone 2gr 1x/hr 5 hari
Tonsilitiss Benzathine benzylpenicillin 1,2 million IU -
Phenoxymethylpenicillin 500 mg 4x1 sehari 10 hari
Amoxicillin 500 mg 3x1 sehari 10 hari
Otitis Media Akut Amoxicillin 500 mg 3x1 sehari 5 hari
Amoxyclav 500 mg 3x1 sehari 5 hari
Sulfamethoxazole+ Trimethoprim 400 mg + 80 mg 2x1 5 hari
sehari
Otitis Media kronis Tanpa Antibiotik
Tonsilitis Faringitis Benzathine benzylpenicillin 1,2 million IU -
Phenoxymethylpenicillin 500 mg 4x1 10 hari
Amoxicillin 500 mg 3x1 10 hari
Sumber: Anonim (Saputro, 2017)
Untuk mengatasi ISPA seperti sinusitis, pneumoniae dan faringitis
berdasarkan textbook Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach tahun 2005
dapat dilihat pada Tabel 2, 3, dan 4:
Tabel 2.2 Terapi Antibiotik ISPA Jenis Sinusitis untuk Pasien Dewasa

Jenis Antibiotik Dosis Dewasa


Amoksilin 500 mg 3x1 sehari
Dosis tinggi: 1g 3x1 sehari
Amoksilin-klavulanat 500/125 mg 3x1 sehari
500 mg (hari pertama)
Azitromisin 250mg (untuk 4 hari) 1x1 sehari
Klaritomisin 250- 500 mg 2x1 sehari
Klindamisin 150– 450 mg 4x1 sehari
Levofloksasin 500 mg 3x1 sehari
Sefaklor 250 – 500 mg 3x1 sehari
Sefiksim 200-400 mg 3x1 sehari
23

Sefdinir 600 mg 1-2x1 sehari


Sefpodoksin 200 mg 2x1 sehari
Sefprozil 250-500 mg 2x1 sehari
Sefuroksim 250-500 mg 2x1 sehari
Trimetropim Sulfametoksazol 160/800 mg 2x1 sehari
Sumber: DiPiro (Saputro, 2017)

Tabel 2.3 Terapi Antibiotik ISPA Jenis Faringitis untuk Pasien Dewasa

Jenis Antibioik Dosis dewasa Durasi


Amoksisilin Eritromisin 500 m 3x1 sehari 10 hari
Estolat 20-40 mg (maks 1000) 1g 2-4x1 sehari
Stearatetilsiksinat 40 mg (Maks 1000) 2-4x1 sehari
Penisilin benzatin 1,2 juta unit i m 1x1 sehari
Penisilin VK 250 / 500 mg 4x1 sehari 10 hari
Sumber: DiPiro (Saputro, 2017)
Tabel 2.4 Terapi Antibiotik ISPA Jenis Pneumonia untuk Pasien Dewasa

No. Jenis Antibiotik Dosis dewasa


1. Amoksisilin 0,75-1g
2. Ampisilin-Sulbactan 4-8g
3. Azitomisin 500mg (hari pertama) 250mg
(untuk 4 hari)
4. Eritromisin 1-2g
5. Gatifloksasin 0,4g
6. Gentamisin 3-6mg
7. Klaritromisin 0,5-1g
8. Levofloksasin 0,5-0,75g
9. Oksitetrasiklim 0,25-0,3 g
10. Piperasilin-tazobaktam 12g
11. Safepim 2-4g
12. Seftazidim 2-6g
13. Seftriakson 1-2g
14. Siprofloksasin 0,5-1,5g
15. Tetrasiklin HCl 1,2g
16. Tobramisin 3-6g
Sumber: DiPiro (Saputro, 2017)
2.1.8 Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi klanik merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian
yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Obat dan
Bahan Medis Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan farmasi klinik bertujuan untuk:
1. Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas.
24

2. Memberikan Pelayanan Kefarmasian yang dapat menjamin efektivitas,


keamanan dan efisiensi Obat dan Bahan Medis Habis Pakai.
3. Meningkatkan kerjasama dengan profesi kesehatan lain dan kepatuhan pasien
yang terkait dalam Pelayanan Kefarmasian.
4. Melaksanakan kebijakan Obat Puskesmas dalam rangka meningkatkan
penggunaan Obat secara rasional.
Pelayanan farmasi klinik meliputi:
1. Pengkajian dan pelayanan Resep
2. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
3. Konseling
4. Visite Pasien (khusus Puskesmas rawat inap)
5. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
7. Evaluasi Penggunaan Obat

1. Pengkajian dan pelayanan Resep


Kegiatan pengkajian resep dimulai dari seleksi persyaratan administrasi,
perayaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap
maupun rawat jalan.
2. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker untuk
memberikan informasi secara akurat, jelas dan terkini kepada dokter, apoteker,
perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.
3. Konseling
Merupakan suatu proses untuk mengidentifikasikan dan penyelesaian masalah
pasien yang berkaitan dengan penggunaan Obat pasien rawat jalan dan rawat
inap, serta keluarga pasien. Tujuan dilakukannya konseling adalah memberikan
pemahaman yang benar mengenai Obat kepada pasien/keluarga pasien antara
lain tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara dan lama penggunaan Obat,
efek samping, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan dan penggunaan Obat.
25

4. Ronde/Visite Pasien
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan secara
mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya terdiri dari dokter, perawat,
ahli gizi, dan lain-lain.

5. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)


Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang merugikan
atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada
manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi
fungsi fisiologis.
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi
Obat yang efektif, terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan
meminimalkan efek samping.
7. Evaluasi Penggunaan Obat
Merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan Obat secara terstruktur
dan berkesinambungan untuk menjamin Obat yang digunakan sesuai indikasi,
efektif, aman dan terjangkau (rasional).

2.1.9 Pengendalian Mutu Pelayanan Kefarmasian


Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan untuk
mencegah terjadinya masalah terkait Obat atau mencegah terjadinya kesalahan
pengobatan atau kesalahan pengobatan/medikasi (medication error), yang
bertujuan untuk keselamatan pasien (patient safety).
Unsur-unsur yang mempengaruhi mutu pelayanan:
1. Unsur masukan (input), yaitu sumber daya manusia, sarana dan prasarana,
ketersediaan dana, dan Standar Prosedur Operasional.
2. Unsur proses, yaitu tindakan yang dilakukan, komunikasi, dan kerja sama.
3. Unsur lingkungan, yaitu kebijakan, organisasi, manajemen, budaya, respon dan
tingkat pendidikan masyarakat.
26

Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian terintegrasi dengan program


pengendalian mutu pelayanan kesehatan Puskesmas yang dilaksanakan secara
berkesinambungan.
Kegiatan pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian meliputi:
1. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring dan evaluasi
untuk peningkatan mutu sesuai standar.
2. Pelaksanaan, yaitu:
a. Monitoring dan evaluasi capaian pelaksanaan rencana kerja
(membandingkan antara capaian dengan rencana kerja); dan
b. Memberikan umpan balik terhadap hasil capaian.
3. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu:
a. Melakukan perbaikan kualitas pelayanan sesuai standar; dan
b. Meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah memuaskan.
Monitoring merupakan kegiatan pemantauan selama proses berlangsung
untuk memastikan bahwa aktivitas berlangsung sesuai dengan yang direncanakan.
Monitoring dapat dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang melakukan proses.
Aktivitas monitoring perlu direncanakan untuk mengoptimalkan hasil
pemantauan.
Contoh: monitoring pelayanan resep, monitoring penggunaan Obat,
monitoring kinerja tenaga kefarmasian.
Untuk menilai hasil atau capaian pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian,
dilakukan evaluasi. Evaluasi dilakukan terhadap data yang dikumpulkan yang
diperoleh melalui metode berdasarkan waktu, cara, dan teknik pengambilan data.
Berdasarkan waktu pengambilan data, terdiri atas:
1. Retrospektif:
Pengambilan data dilakukan setelah pelayanan dilaksanakan. Contoh: survei
kepuasan pelanggan, laporan mutasi barang.
2. Prospektif:
Pengambilan data dijalankan bersamaan dengan pelaksanaan pelayanan.
Contoh: Waktu pelayanan kefarmasian disesuaikan dengan waktu pelayanan
kesehatan di Puskesmas, sesuai dengan kebutuhan.
27

Berdasarkan cara pengambilan data, terdiri atas:


1. Langsung (data primer):
Data diperoleh secara langsung dari sumber informasi oleh pengambil data.
Contoh: survei kepuasan pelanggan terhadap kualitas pelayanan kefarmasian.

2. Tidak Langsung (data sekunder):


Data diperoleh dari sumber informasi yang tidak langsung. Contoh: catatan
penggunaan Obat, rekapitulasi data pengeluaran Obat.
Berdasarkan teknik pengumpulan data, evaluasi dapat dibagi menjadi:
1. Survei
Survei yaitu pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Contoh:
survei kepuasan pelanggan.
2. Observasi
Observasi yaitu pengamatan langsung aktivitas atau proses dengan
menggunakan cek list atau perekaman. Contoh: pengamatan konseling pasien.
Pelaksanaan evaluasi terdiri atas:
1. Audit
Audit merupakan usaha untuk menyempurnakan kualitas pelayanan dengan
pengukuran kinerja bagi yang memberikan pelayanan dengan menentukan
kinerja yang berkaitan dengan standar yang dikehendaki dan dengan
menyempurnakan kinerja tersebut. Oleh karena itu, audit merupakan alat untuk
menilai, mengevaluasi, menyempurnakan pelayanan kefarmasian secara
sistematis.
Terdapat 2 macam audit, yaitu:
a. Audit Klinis
Audit Klinis yaitu analisis kritis sistematis terhadap pelayanan kefarmasian,
meliputi prosedur yang digunakan untuk pelayanan, penggunaan sumber
daya, hasil yang didapat dan kualitas hidup pasien. Audit klinis dikaitkan
dengan pengobatan berbasis bukti.
b. Audit Profesional
28

Audit Profesional yaitu analisis kritis pelayanan kefarmasian oleh seluruh


tenaga kefarmasian terkait dengan pencapaian sasaran yang disepakati,
penggunaan sumber daya dan hasil yang diperoleh. Contoh: audit
pelaksanaan sistem manajemen mutu.

2. Review (pengkajian)
Review (pengkajian) yaitu tinjauan atau kajian terhadap pelaksanaan pelayanan
kefarmasian tanpa dibandingkan dengan standar. Contoh: kajian penggunaan
antibiotik.

2.1.10 Puskesmas
1. Pengertian puskesmas
Pusat kesehatan masyarakat selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan
upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan
upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu
tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan
promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat (Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No.75, 2014).

2. Tugas dan fungsi puskesmas


Menurut peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.75 tahun
2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat, Tugas dan Fungsi Puskesmas adalah:
a. Tugas puskesmas adalah melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai
tujuan pembangunan kesehtan diwilayah kerjanya dalam rangka mendukung
terwujudnya kecamatan sehat.
b. Fungsi puskesmas
1) Penyelenggaran upaya kesehatan masyarakat (UKM) tingkat pertama
diwilayah kerjanya. Dalam menyelenggarakan fungsinya, Puskesmas
29

berwenang untuk melaksanakan komunikasi, informasi dan edukasi dalam


bidang kesehatan, menggerakan masyarakat untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah kesehtan pada setiap tingkat perkembangan
masyarakat yang bekerjasama dengan sektor lain.
2) Penyelenggarakan upaya kesehatan perseorangan (UKP) tingkat pertama
diwilayah kerjanya. Kegiatan penyelenggaraannya meliputi, pelayanan
kesehatan dasar secara kompherasif, berkesinambungan dan bermutu,
pelayanan kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif
dan pelayanan kesehatan yang mengutamakan keamanan dan keselamatan
pasien, petugas dan pengunjung.
3) Upaya kesehatan. Puskesmas menyelenggarakan upaya kesehatan
masyarakat tingkat petama dan upaya kesehatan perseorangan tingkat
pertaman, yang dilaksanakan secara terintegritas dan berkesinambungan.
Upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama dilaksanakan dalam
bentuk:
(a) Rawat jalan
(b) Pelayanan gawat darurat
(c) Pelayanan satu hari (one day care)
(d) Home care
(e) Rawat inap berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan
(Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 75, 2014).

2.1.11 Coronavirus Disease 2019


1. Pengertian Coronavirus Disease 2019
Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan
tidak bersegmen. Coronavirus tergolong ordo Nidovirales, keluarga
Coronaviridae. Struktur coronavirus membentuk struktur seperti kubus dengan
protein S berlokasi di permukaan virus. Protein S atau spike protein merupakan
salah satu protein antigen utama virus dan merupakan struktur utama untuk
penulisan gen. Protein S ini berperan dalam penempelan dan masuknya virus
kedalam sel host (interaksi protein S dengan reseptornya di sel inang) (Wang,
30

2020). Coronavirus bersifat sensitif terhadap panas dan secara efektif dapat
diinaktifkan oleh desinfektan mengandung klorin, pelarut lipid dengan suhu 56℃
selama 30 menit, eter, alkohol, asam perioksiasetat, detergen non-ionik, formalin,
oxidizing agent dan kloroform. Klorheksidin tidak efektif dalam menonaktifkan
virus (Wang, 2020; Korsman, 2012).

2. Patogenesis dan Patofisiologi


Kebanyakan Coronavirus menginfeksi hewan dan bersirkulasi di hewan.
Coronavirus menyebabkan sejumlah besar penyakit pada hewan dan
kemampuannya menyebabkan penyakit berat pada hewan seperti babi, sapi, kuda,
kucing dan ayam. Coronavirus disebut dengan virus zoonotik yaitu virus yang
ditransmisikan dari hewan ke manusia. Banyak hewan liar yang dapat membawa
patogen dan bertindak sebagai vektor untuk penyakit menular tertentu. Kelelawar,
tikus bambu, unta dan musang merupakan host yang biasa ditemukan untuk
Coronavirus. Coronavirus pada kelelawar merupakan sumber utama untuk
kejadian severe acute respiratorysyndrome (SARS) dan Middle East respiratory
syndrome (MERS) (PDPI, 2020).
Coronavirus hanya bisa memperbanyak diri melalui sel host-nya. Virus
tidak bisa hidup tanpa sel host. Berikut siklus dari Coronavirus setelah
menemukan sel host sesuai tropismenya. Pertama, penempelan dan masuk virus
ke sel host diperantarai oleh Protein S yang ada dipermukaan virus. Protein S
penentu utama dalam menginfeksi spesies host-nya serta penentu tropisnya
(Wang, 2020). Pada studi SARS-CoV protein S berikatan dengan reseptor di sel
host yaitu enzim ACE-2 (angiotensin-converting enzyme 2). ACE-2 dapat
ditemukan pada mukosa oral dan nasal, nasofaring, paru, lambung, usus halus,
usus besar, kulit, timus, sumsum tulang, limpa, hati, ginjal, otak, sel epitel
alveolar paru, sel enterosit usus halus, sel endotel arteri vena, dan sel otot polos.
Setelah berhasil masuk selanjutnya translasi replikasi gen dari RNA genom virus.
Selanjutnya replikasi dan transkripsi dimana sintesis virus RNA melalui translasi
dan perakitan dari kompleks replikasi virus. Tahap selanjutnya adalah perakitan
31

dan rilis virus (Fehr, 2015). Setelah terjadi transmisi, virus masuk ke saluran
napas atas kemudian bereplikasi di sel epitel saluran napas atas (melakukan siklus
hidupnya). Setelah itu menyebar ke saluran napas bawah. Pada infeksi akut terjadi
peluruhan virus dari saluran napas dan virus dapat berlanjut meluruh beberapa
waktu di sel gastrointestinal setelah penyembuhan. Masa inkubasi virus sampai
muncul penyakit sekitar 3-7 hari (PDPI, 2020).
3. Manifestasi Klinis
Infeksi COVID-19 dapat menimbulkan gejala ringan, sedang atau berat.
Gejala klinis utama yang muncul yaitu demam (suhu >38°C), batuk dan kesulitan
bernapas. Selain itu dapat disertai dengan sesak memberat, fatigue, mialgia, gejala
gastrointestinal seperti diare dan gejala saluran napas lain. Setengah dari pasien
timbul sesak dalam satu minggu. Pada kasus berat perburukan secara cepat dan
progresif, seperti ARDS, syok septik, asidosis metabolik yang sulit dikoreksi dan
perdarahan atau disfungsi sistem koagulasi dalam beberapa hari. Pada beberapa
pasien, gejala yang muncul ringan, bahkan tidak disertai dengan demam.
Kebanyakan pasien memiliki prognosis baik, dengan sebagian kecil dalam kondisi
kritis bahkan meninggal. Berikut sindrom klinis yang dapat muncul jika terinfeksi.
(PDPI, 2020). Berikut sindrom klinis yang dapat muncul jika terinfeksi. (PDPI,
2020)
a. Tidak berkomplikasi
Kondisi ini merupakan kondisi teringan. Gejala yang muncul berupa gejala
yang tidak spesifik. Gejala utama tetap muncul seperti demam, batuk, dapat
disertai dengan nyeri tenggorok, kongesti hidung, malaise, sakit kepala, dan
nyeri otot. Perlu diperhatikan bahwa pada pasien dengan lanjut usia dan pasien
immunocompromises presentasi gejala menjadi tidak khas atau atipikal. Selain
itu, pada beberapa kasus ditemui tidak disertai dengan demam dan gejala relatif
ringan. Pada kondisi ini pasien tidak memiliki gejala komplikasi diantaranya
dehidrasi, sepsis atau napas pendek.
b. Pneumonia ringan
32

Gejala utama dapat muncul seperti demam, batuk, dan sesak. Namun tidak ada
tanda pneumonia berat. Pada anak-anak dengan pneumonia tidak berat ditandai
dengan batuk atau susah bernapas.
c. Pneumonia berat. Pada pasien dewasa:
1) Gejala yang muncul diantaranya demam atau curiga infeksi saluran napas
2) Tanda yang muncul yaitu takipnea (frekuensi napas: > 30x/menit), distress
pernapasan berat atau saturasi oksigen pasien <90% udara luar.

4. Penegakkan Diagnosis
Pada anamnesis gejala yang dapat ditemukan yaitu, tiga gejala utama:
demam, batuk kering (sebagian kecil berdahak) dan sulit bernapas atau sesak.
a. Pasien dalam pengawasan atau kasus suspek / possible
1) Seseorang yang mengalami:
a) Demam (±38°C) atau riwayat demam
b) Batuk atau pilek atau nyeri tenggorokan
c) Pneumonia ringan sampai berat berdasarkan klinis dan/atau
gambaran radiologis (pada pasien immunocompromised presentasi
kemungkinan atipikal) dan disertai minimal satu kondisi sebagai
berikut:
(1) Memiliki riwayat perjalanan ke Tiongkok atau wilayah/ negara
yang terjangkit dalam 14 hari sebelum timbul gejala.
(2) Petugas kesehatan yang sakit dengan gejala sama setelah
merawat pasien infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) berat
yang tidak diketahui penyebab / etiologi penyakitnya, tanpa
memperhatikan riwayat bepergian atau tempat tinggal.
2) Pasien infeksi pernapasan akut dengan tingkat keparahan ringan sampai
berat dan salah satu berikut dalam 14 hari sebelum onset gejala:
a) Kontak erat dengan pasien kasus terkonfirmasi atau probable COVID-
19, atau
b) Riwayat kontak dengan hewan penular (jika hewan sudah
teridentifikasi), atau
33

c) Bekerja atau mengunjungi fasilitas layanan kesehatan dengan kasus


terkonfirmasi atau probable infeksi COVID-19 di Tiongkok atau
wilayah/negara yang terjangkit.
d) Memiliki riwayat perjalanan ke Wuhan dan memiliki demam (suhu
±38°C) atau riwayat demam.
b. Orang dalam Pemantauan
Seseorang yang mengalami gejala demam atau riwayat demam tanpa
pneumonia yang memiliki riwayat perjalanan ke Tiongkok atau wilayah/negara
yang terjangkit, dan tidak memiliki satu atau lebih riwayat paparan
diantaranya:
1) Riwayat kontak erat dengan kasus konfirmasi COVID-19
2) Bekerja atau mengunjungi fasilitas kesehatan yang berhubungan dengan
pasien konfirmasi COVID-19 di Tiongkok atau wilayah/negara yang
terjangkit (sesuai dengan perkembangan penyakit),
3) Memiliki riwayat kontak dengan hewan penular (jika hewan penular sudah
teridentifikasi) di Tiongkok atau wilayah/negara yang terjangkit (sesuai
dengan perkembangan penyakit.
c. Kasus Probable
Pasien dalam pengawasan yang diperiksakan untuk COVID-19 tetapi
inkonklusif atau tidak dapat disimpulkan atau seseorang dengan hasil
konfirmasi positif pan-coronavirus atau beta coronavirus.
d. Kasus terkonfirmasi
Seseorang yang secara laboratorium terkonfirmasi COVID-19.

5. Pemeriksaan Penunjang (PDPI, 2020)


a. Pemeriksaan radiologi: foto toraks, CT-scan toraks, USG toraks. Pada
pencitraan dapat menunjukkan: opasitas bilateral, konsolidasi subsegmental,
lobar atau kolaps paru atau nodul, tampilan groundglass.
b. Pemeriksaan spesimen saluran napas atas dan bawah
1) Saluran napas atas dengan swab tenggorok (nasofaring dan orofaring)
34

2) Saluran napas bawah (sputum, bilasan bronkus, BAL, bila


menggunakan endotrakeal tube dapat berupa aspirat endotrakeal.
c. Bronkoskopi
d. Pungsi pleura sesuai kondisi
e. Pemeriksaan kimia darah
f. Biakan mikroorganisme dan uji kepekaan dari bahan saluran napas (sputum,
bilasan bronkus, cairan pleura) dan darah. Kultur darah untuk bakteri
dilakukan, idealnya sebelum terapi antibiotik. Namun, jangan menunda
terapi antibiotik dengan menunggu hasil kultur darah.
g. Pemeriksaan feses dan urin (untuk investasigasi kemungkinan penularan).

6. Tatalaksana Umum
a. Isolasi pada semua kasus
Sesuai dengan gejala klinis yang muncul, baik ringan maupun sedang.
b. Implementasi pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI)
c. Serial foto toraks untuk menilai perkembangan penyakit
d. Suplementasi oksigen
Pemberian terapi oksigen segera kepada pasien dengan, distress napas,
hipoksemia atau syok. Terapi oksigen pertama sekitar 5L/menit dengan
target SpO2 =90% pada pasien tidak hamil dan = 92-95% pada pasien
hamil.
e. Kenali kegagalan napas hipoksemia berat
f. Terapi cairan
Terapi cairan konservatif diberikan jika tidak ada bukti syok Pasien dengan
SARI harus diperhatikan dalam terapi cairannya, karena jika pemberian
cairan terlalu agresif dapat memperberat kondisi distress napas atau
oksigenasi. Monitoring keseimbangan cairan dan elektrolit.
g. Pemberian antibiotik empiris
h. Terapi simptomatik
35

Terapi simptomatik diberikan seperti antipiretik, obat batuk dan lainnya jika
memang diperlukan. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak rutin diberikan
pada tatalaksana pneumonia viral atau ARDS selain ada indikasi lain.
i. Observasi ketat
j. Pahami komorbid pasien
Saat ini belum ada penelitian atau bukti talaksana spesifik pada COVID-19.
Belum ada tatalaksana antiviral untuk infeksi Coronavirus yang terbukti
efektif. Pada studi terhadap SARSCoV, kombinasi lopinavir dan ritonavir
dikaitkan dengan memberi manfaat klinis. Saat ini penggunaan lopinavir dan
ritonavir masih diteliti terkait efektivitas dan keamanan pada infeksi COVID-
19. Tatalaksana yang belum teruji / terlisensi hanya boleh diberikan dalam
situasi uji klinis yang disetujui oleh komite etik atau melalui Monitored
Emergency Use of Unregistered Interventions Framework (MEURI), dengan
pemantauan ketat. Selain itu, saat ini belum ada vaksin untuk mencegah
pneumonia COVID-19 ini (PDPI, 2020).

Anda mungkin juga menyukai