Anda di halaman 1dari 36

CRITICAL BOOK REPORT

MK. ISBD

PRODI S1 DIKFIS-FMIPA

KULTUR, MULTIKULTUR, POSTKULTUR

NAMA MAHASISWA : DEBBY SEVENLY PURBA

NIM : 4183321026

KELAS : FISIKA DIK C 2018

DOSEN PENGAMPU : Dra. IDA WAHYUNI, M. Pd

MATA KULIAH : ISBD

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
Rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Critical Book Report (CBR) yang
berjudul “KULTUR, MULTIKULTUR, POSTKULTUR” dengan lancar. CBR ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah ISBD, semester tiga yang telah menggunakan Kurikulum KKNI.

Dalam pembuatan CBR ini, penulis berterima kasih kepada dosen Pengampu yang telah
memberikan pedoman dan bimbingan dalam pengerjaan tugas ini, sehingga CBR ini dapat
selesai dengan baik dan berjalan dengan lancar. Adapun CBR ini dibuat oleh penulis berdasarkan
informasi yang ada.

Penulis juga menyadari bahwa tugas CBR ini masih banyak kekurangan, baik dari segi
pengkritisan maupun dari segi penulisannya. Oleh karena itu penulis meminta maaf jika ada
kesalahan dalam penulisan dan penafsiran makna yang berbeda dengan pembaca. Penulis juga
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembacaguna menciptakan kesempurnaan
dalam pembuatan CBR selanjutnya.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga CBR ini dapat bermanfaat dan
dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi kita semua.

Medan, November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.............................................................................................................i

Daftar isi........................................................................................................................ii

Bab I Pendahuluan

A. Rasionalisasi Pentingnya CBR...................................................................................1

B. Tujuan.........................................................................................................................1

C. Manfaat.......................................................................................................................2

D. Identitas Buku............................................................................................................2

Bab II Ringkasan Buku................................................................................................3

Bab III Kelebihan dan Kelemahan Buku

A. Kelebihan Buku..........................................................................................................32

B. Kelemahan Buku........................................................................................................32

Bab IV Penutup

A. Kesimpulan................................................................................................................33

B. Saran...........................................................................................................................33

Daftar Pustaka..............................................................................................................34

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. RASIONALISASI PENTINGNYA CBR


Mengkritik buku atau Critical Book Report. Secara sederhana mengkritik adalah
mengungkapkan kembali isi buku dengan cara meringkas, menambahkan saran dan juga tentang
kelebihan juga kekurangan jurnal sesuai dengan aturan yanag ada.
Adapun buku yang dikritik menggunakan buku dengan materi Fluida statis pada buku tingkat
SMA. Kedua buku memiliki kelebihan dan kekurangan yang akan dibahas dalam makalah ini.
Adapun dalam penuntasan tugas Critical Book Report ini mahasiswa dituntut dalam
meringkas, menganalisa dan membandingkan serta memberikan kritik berupa kelebihan dan
kelemahan pada suatu buku berdasarkan fakta yang ada dalam buku tersebut, sehingga dengan
begitu mahasiswa akan menjadi terbiasa dalam berpikir logis dan kritis serta tanggap terhadap
hal-hal yang baru yang terdapat dalam suatu buku. Penugasan Critical Book Report ini juga
merupakan bentuk pembiasaan agar mahasiswa terampil dalam menciptakan ide-ide kreatif dan
berpikir secara analitis sehingga pada saat pembuatan tugas-tugas yang sama mahasiswa pun
menjadi terbiasa serta semakin mahir dalam penyempurnaan tugas tersebut. Pembuatan tugas
Critical Book Report ini juga melatih, menambah, serta menguatkan pemahaman mahasiswa
betapa pentingnya mengkritikalisasi suatu karya berdasarkan data yang factual sehingga dengan
begitu tercipta lah mahasiswa-mahasiswa yang berkarakter logis serta analisis.

B. TUJUAN

a. Mampu meringkas buku utama dengan baik singkat dan padat.


b. Mengetahui kelebihan yang dimiliki buku utama dan buku pembanding.
c. Mengetahui kekurangan yang dimiliki buku utama dan buku pembanding.
d. Mapu manganalisis miskonsepsi yang ada pada buku utama yang dibandingkan dengan
buku pembanding.

3
C. MANFAAT CBR
Penulis menjadi lebih memahami secara keseluruhan mengenai cakupan materi Fluida
Statis pada SMA serta miskonsepsinya dan bentuk implementasinya didalam sistem pendidikan
yang ada berkat menuntaskan tugas Critical Book Report ini. Tugas ini juga bermanfaat langsung
dalam melatih penulis dalam hal ini saya sendiri sebagai mahasiswa menjadi lebih terasah dalam
meringkas isi suatu buku, lalu menganalisa demi menemukan kelemahan dan kelebihan dari
buku yang telah saya kritikalisasi.

D. IDENTITAS BUKU
Buku Utama
a. Judul : KULTUR, MULTIKULTUR,
POSTKULTUR
b. Edisi : Cetakan Pertama
c. Pengarang : Joel S. Kahn
d. Penerbit : INDeS
e. Kota Terbit : Yogyakarta
f. Tahun Terbit : 2016
g. ISBN : 978-602-274816-1-9
h. Warna : Hijau

BAB 1

Budaya, Hemogini, representasi: Sebuah wilayah kekuasaan postcolonial?

Dalam teori, kebudayaan, beberapa fenomena masyarakatseperti ‘masyarakat meksiko-


indian’ dalam novel B. Travens, The Treasure Of sierra Madre; ‘orang-orang negro’ yang
menghiasi karya DuBose heyward, Porgy; dan ‘masyarakat Bali’yang ada di dalam film island
and demons, semuanya merupakan bentuk representasi. Lebih tepatnya, bentuk-bentuk
masyarakat yang ada dalam karya-karya seni itu merupakan representasi dari jenis tertentu;
tentang apa yang sekarang kita sebut dengan budaya liyan (the other/ yang lain), dengan
representasi dari apa yang kita pahami sebagai ‘budaya barat yang dominan, hegemoni’. Walter

4
Spies, orang yang paling bertangung jawab mengenai gambaran Bali yang terpapar dalam Island
And Demons adalah pelukis dan musisi Jerman; B.Traven yang penuh misteri layaknya
merupakan Pengejewantahan dari sosok anarkis asal Austria,Ret Marut dan Dubose heyward
adalah sastrawan dan Novelis kulit putih.
Walter spies pertama bisa nampak berbeda, lukisannya tentang Jawa dan Bali yang kurang
dikenal di Eropa,paling tidak hingga tahun 1980 ketika Amsterdam’s Royal Tropical Museum
pertama kali mengadakan pameran untuk karya-karya spies di Barat. Dari balik layar,spies
mungkin sedikit orang yang membetuk gambaran tentang Bali dalam Perspektif Barat yang mana
Bali bukan sekedar digambarkan sebagai surge di wilayah tropis, tetapi juga digambarkan
sebagai surge pusat misteri, spritualitas dan toleransi seksual, seni dan budaya. Teks-Teks ini
merupakan karya antropologis juga semuannya mempunyai dasar ‘autentisitasnya’ yang
ditetapkan oleh pengalaman menulis mereka sebagai pengamat yang dekat dengan, jika bukan
partisipan, budaya yang direpresentasikannya. Dibawah ini, kita pada tahap selanjutnya
diinformasikan soal ‘gestur’, gelak tawa, pandangan mata, yang telah dipelajari Heyward di
masa kecilnya dari pembantu, kawan bermain.dan para tetangga . Interaksi yang intensif ini
sangat dimungkinkan, karena tidak ada ghetto Negro di chraletson pada saat itu. Kasus Traven
bisa dikatakan berbeda, factor utamanya karena sangat sedikit kisah hidupnya di Meksiko yang
bisa diketahui. Memang harus diakui bahwa nuansa misteri inj, yang Traven sendiri lebih banyak
menyembunyikannya , merupakan aspek penting yang menimbulkan daya Tarik sendiri. Tetapi
apapun alasannya, lewat tulisan yang bagus , seorang anarkis kelahirannya yang telah melarikan
diri ke Austria dan Negara eropa lainnya, hingga sampai di Meksiko.

Untuk menggolongkan sebagai naskah antropologis yang orisinal saat itu, teks-teks kita
sebenarnya telah memberikan jenis justifikasi bahasa ilmiah social sebagaimana yang menghiasi
teks-teks etnografi modern. Tetapi sayangnya Traven, Heyward dan Spies menghindarkan kita
dari justifikasi tersebut. Sementara teks-teks etnografi kontemporer mengungkapkan kata-kata
hampa tentang etnosentrisme, reportase yang objektif , perbandingan yang terkontrol dan
sejenisnya , Traven Heyward dan Spies melakukan apa yang mereka hendak lakukan membuat
‘lukisan-lukisan orang’ yang menyentuh perasaan atau representasi-representasi budaya lain
untuk orang-orang yang di kampong halaman nya yang memang sangat haus dengan budaya lain
tersebut.

5
Kekuasaan Postkolonial?

Karya Edward Said, Orientalism (1978) sangat tepat dilihat sebagai garis pembatas mengenai
perbedaan budaya dalam konteks pemikiran sekarang, dan lebih spesifik lagi sebagai teks dasar
untuk pengembangan dari apa yang disebut dengan pemikiran postcolonial. Buku Said ini
merupakan sebuah tantangan yang menuntut Barat Untuk mengosensptualisasikan ulang
mengenai hubungannya dengan non-Barat, dengan menunjukkan luasnya diskursus budaya lain
yang ditanamkan, malah sangat terkait dengan proses imperialism yang hidup diatasnya sebagai
media permainan (plaything) dan objek yang dieskploitasi, dikuasai dan dipelajari dalam makna
yang sama.
Sekitar lima belas tahun berikutnya, sejumlah penulis dengan simpatinya terhadap proyek
saidian yang asli (tentu saja tidak bermaksud representasi dari reaksi kelompok tradisionalitas,
khususnya di Amerika Serikat) telah menandai sebuah problem di dalam proyek tersebut yang
muncul di bawah panji-panji postkolonialisme, dengan menegaskan bahwa jauh dari usaha
memproduksi keterbukaan /kesesuaian dengan lain yang didorong oleh karya besar Said yang
tentang tema tersebut.

Sejumlah Pengamat misalnya telah mencatat cara yang didalamnya beberapa premis kunci
tentang postkolonialisme telah diapropriasi oleh Hak Warga Negara Amerika , yang ada saat ini
menerima argumentasi postkolonialisme bahwa apa yang sebelumnya dipandang sebagai nilai-
nilai universal, sebenarnya adalah nilai-nilai barat. Tetapi mereka menerima kemungkinan
universalisme lama.

Sebuah contoh dari jenis pemikiran ini bisa ditemukan dalam respon- respon kelompok
tradisuonalitas terhadap arus imigrasi. Dikawasan Eropa juga ada pemahaman yang berkembang
bahwa postcolonial tentang budaya dan perbedaan telah diapropriasi kembali oleh hak dalam
rasisme yang terus menerus berubah, sebagaimana yang ditunjuk oleh silverman.

Berbeda dengan semangat pemikiran postcolonial, saya disini hendak menyatakan bahwa apa
yang disebut dengan postkolonialisme sebenarnya merupakan bagian diskursus kelompok
ekspresif alaw mengenai kultur dan perbedaan yang digerakkan sebagai bagian dari kritik umum
terhadap modernism yang tekno rasionalis, birokratik dan evolusioner.

BAB II

6
Kebudayaan, Perbedaan dan Kritik Kelompok Ekspresif terhadap Modernisme

Ketika beberapa laporan mulai muncul di berbagai media berbahaso Inggris mengenai
konfrontasi antara tentara pemerintalı dengan pemberontak bersenjata di wilayah Meksiko
Selatan, Chiapas tentang New Year's Day (Hari Tahun Baru) 1994, kesan umum yang terbangun
adalah salah satu dari keterkejutan dan misteri. Laporan tersebut di tangan wartawan Amerika
Latin, untuk koran The Times, menjadi sangat menarik ketika dia menulis 'serangan-serangan ini'
dengan menampilkan penduduk dan turis di kota kecil San Cristobal de las Casas yang
sepenuhnya 'tidak menyadari karena mereka merayakan Hari Tahun Baru'. Pemberontakan,
begitu dia tulis, muncul dari mana-mana, 'yang bergerak secara rahasia'. Mereka secara diam-
diam 'mengontrol lereng bukit', yang darinya mereka muncul secara misterius selama dua puluh
empat jam lebih awal.

Siapa sebenarnya yang terlibat di dalam EZLN? Apa yang sebenarnya mereka tuntut?
Apakah serangan itu mengungkapkan ketidaktentraman yang melanda masyarakat Meksiko
umum, atau apakah karena momok lama, di samping para agitator? Mungkinkah ada orang yang
masih percaya bahwa globalisasi, pembangunan dan -bukankah sekarang kita sudah sampai pada
'akhir sejarah'- nilai-nilai ekonomi dan politik liberal tidak membawa dunia menjadi lebih baik
bagi semuanya? Bukankah waktu serangan tersebut mengklaim awal era baru bagi kesamaan dan
kerja sama antara Utara dan Selatan, minimal di Benua Amerika sendiri? Bukankah kita sering
diceramahi, bahkan oleh orang-orang kiri, bahwa ide tentang dunia ketiga sekarang sudah
ketinggalan zaman (Harris: 1986).

Para komentator tentu saja bukan bermaksud melakukan mistifikasi; mereka memahami
semua itu sebelumnya. Penulis staf untuk The Christian Science Monitor mengetahui bahwa kita
adalah saksi bagi pengaruh ideologi asing yang ditanamkan di dalam pikiran dan masyarakat
desa yang bodoh oleh sekelompok gelap yang me lakukan gerakan bawah tanah.

Tidak semua reporter mengetahui aksi-aksi EZLN sebagai kelompok gerakan bawah
tanah. Tetapi banyak orang yang membaca peristiwa-peristiwa di Chiapas tentang Hari Tahun
Baru 1994 melalui ategori universal sebelum ditetapkan. Mereka yang lebih banyak simpatik
terhadap aspirasi-aspirasi kelompok sosialis EZLN akan merarik perhatian kita pada kemiskinan
dan perampasan tanah yang umum dijumpai di Chiapas, kesenjangan yang tajam antara si kaya

7
dan si miskin, alienasi dan degradasi tanah oleh perusahaan-perusahaan kavu, dan efek-efek
ekonomi yang merusak yang berorientasi pada ekspor minyak dan hydropower. Padahal selama
Revolusi Meksiko tanah telah dibagikan ke para petani miskin di berbagai tempat melalui sistem
ejido, namun janji dan kebijakan ini di Chiapas tetap tidak terpenuhi. Karakter gerakan sosialis
tidak nampak selaras dengan aspirasi universal tentang munculnya kaum proletariat pedesaan di
Chiapas.

Tetapi usaha-usaha ini menggolongkan persoalan Chiapas ke dalam bahasa emansipatoris


yang universal yang nampak cacat. Diskursus-diskursus tersebut seperti roti dan mentega dalam
konteks perdebatan politik kita; mereka bagian dari dunia kita. Tetapi membaca laporan-laporan
tersebut di Chiapas bukan hanya membaca dunia kita, tetapi secara kultural juga membaca dunia
pihak lain. Pemikiran tentang dunia ini dan kcunikan penghuninya bisa ditemukan di Seran
laporan yang muncul sebagai akibat langsung dari 1 Januari 1994. Pemberontakan tersebut.
begitu kita katakan, lebih dari sekadar penduduk biasa yang menuntut hak-haknya, para petani
yang menuntut tanah untuk bercocok tanam,-mereka adalah para petani', atau lebih tepatnya
orang-orang melarat, bentuk kemanusiaan yang unik dan asing yang ada di dalam dan di luar
dunia khusus tersebut, sering tidak diperhatikan, tetapi adakalanya merupakan bentuk
pemberontakan dan untuk sebuah tujuan yang kita tidak pernah sepenuhnya paham Perduduk
dunia asing ini hanya bisa dipahami dalam kultur tradisional yang secara radikal berbeda dari
dunia kita, sebuah budaya orang melarat yang sangat berlawanan dengan kultur modernitas. Para
petani di Chiapas telah banyak dieksploitasi dan dirampas tanahnya oleh 'mesin pembangunan',
tetapi kebutuhan para petani soal tanah itu lebih dari sekadar untuk mendapatkan penghidupan.

Para petani Chiapas, artikel ini berusaha menjelaskan, secara kulural, sosial dan politik
merupakan bagian dari Guatemala dan mereka mengikuti budaya yang sama di dalam desa yang
terisolasi sebagaimana nenek moyang mereka yang membangun piramida Mayan di Guateniala
dan Meksiko (tbid.) Memang para anggota EZLN ikut mengamalkan unsur-unsur budaya mereka
dengan baik, dengan mengenakan topeng yang menutupi bukan hanya wajahnya tetapi juga
lehernya (bulaclava) dan kemudian semakin menunjukkan pikiran misteri. Topeng-topeng ini
dijual seperti kue di Meksiko City, vang segera harus dibeli oleh mereka yang melihat pemimpin.

Petualangan Selanjutnya terhadap Ekspresi Figuratif

8
Jika kritik kelompok ekspresif terhadap modernitas pertama kali muncul di akhir abad
kesembilan belas, maka era romantisme telah dilantik oleh tekno-rasionalisme di ruang publik di
satu sisi, dan di bawah keunggulan proyek emansipasi abad Pencerahan dalam semangat yang
paling bergejolak, termasuk Marxisme, di sisi lain, maka hal itu tidak boleh diasumsikan balcwa
ckspresivisnie tidak sesuai dasar dalam bentuk kebudyaan modern (dan postmodern), yang boleh
saja Ada di dalam kehidupan yang diberikan Taylor. Justru mengekspresikanvisme yang ada di
dalam bentuk kritik terhadap komodifikasi dan rasio instrumental, selalu hadir di dalam sejarah
budaya modern, yang tidak pernah berhenti, dengan mengambil bentuk baru dan diartikulasikan
secara radikal dengan kekuatan-politik yang berbeda, selalu dapat menghasilkan kekuatan yang
bepengaruh khusus di saat krisis modernitas.

Komunitas sebagai Ekspresi Manusia

Dalam karya B. Traven, 'Mexican Indian' , karya DuBose Heyward, 'Negroes' dan Walter
Spies, 'Balines' , kita melihat signifikansi konsep komunitas untuk diskursus di awal abad kedua
puluh tentang komunitaskomunitas yang berbeda yang dilihat sebagai matriks sosial yang sedikit
menyajikan dan sebaliknya paling banyak menegasikan egoisme manusia. Bukan ide-ide yang
berkembang di abad dua puluh tentang komunitaskomunitas yang lain 'banyak dipengaruhi ide-
ide Barat tentang komunitas sebagaimana yang ditunjukkan oleh fakta- fakta dari kehidupan
komunitas non-Barat, meskipun ide-ide tersebut mencapai penegasannya sejauh mereka
diproyeksikan pada pihak non-Barat.

Sementara untuk para penulis di abad dua puluh, komunitas, tidak lebih dari sekadar
unsur kehidupan sosial lainnya, sementara bagi aliran ekspresivisme moden komunitas
menunjukkan -atau harus menunjukkan- kehidupan sosial dari modernitas itu sendiri. Ya,
kehidupan komunitas dihancurkan oleh menyebarnya rasionalitas instrumental. Tetapi ini
kemudian bisa dilindungi dari pengaruh- pengaruh yang korosif dari sirkulasi komoditas, atau
bentuk-bentuk komunitas baru bisa dan harus ditetapkanuntuk menghindari bellum omnium
contra omnes yang dijanjikan dengan munculnya masyaraka sipil modern.

9
Sekali lagi di dalam pemikiran Hegel ditegaskan bahwa kita menemukan parameter yang
diletakkan untuk memperhatikan masyarakat yang muncul, jika di dalam bentuk-bentuk yang
berbeda, waktu di sepanjang abad kesembilan belas--sebuah perhatian terhadap pemikiran
dengan pakarnya yang terkenal dan berpengaruh Ferdinand Tönnies. Tetapi, ketika, mungkin
dipengaruhi oleh perkembangan yang pesat laju industrialisasi dan urbanisasi di abad kesembilan
belas, Tönnies dan banyak orang lainnya seperti dirinya menaruh minat pada masyarakat atau
komunitas yang musnah, maka kelompok Hegelian bersama dengan para pemikir abad
kesembilan belas awal tidak mengandaikan komunitas lama dan justru lebih banyak optimis
bahwa bentuk-bentuk komunitas yang baru bisa diciptakan sebagai bentuk ekspresi manusia
yang unik atau, sebagaimana kasus Hegel, ekspresi subjek transendental seperti manusia sebuah
roh sejarah absolut.

Kebudayaan, Perbedaan dan Ekspresivisme

Bahasa kekuasaan dan konterkekuasaan, secara definitif, merupakan bahasa kebudayaan


dan perubahan. Perhatikan bagaimana definisi Kebudayaan, Perbedaan dan

Ekspresivisme kekuasaan menurut Edward Said, sebagai sesuatu yang mengatasi atau berada di
atas konsep keuntungan materi, ditulis bukan dalam konteks perbedaan budaya.

Bahkan, hal yang paling menarik perhatian dari kritik terhadap kekuasaan kontemporer
ditekankan untuk menggunakan bahasa mereka -sebuah bahasa jarak, budaya dan fisik yang
sangat besar, yang memisahkan penguasa dari 'masyarakat pribumi'- untuk mendefinisikan
mereka. Tanpa term-term ini hanya ada kekuasaan negara yang 'normal' atas rakyatnya. Kenapa
republik bukan sebuah kekaisaran? Tentu saja tidak disebut negara demokrasi kalau masih
membedakan antara penguasa dengan yang dikuasai-sebuah perbeda-an yang menjadi dan telah
diakui oleh kelompok imperialis dan konter imperalis.

Dan ketika tidak ada keraguan, sebagaimana sejumlah besar para teoretikus postkolonial
telah bergegas menunjukkan, mengenai diskursus tentang hierarki rasial, masyarakat superior
dan inferior, menunjukkan misi pemberadaban Barat, telah dijatuhkan pada kita oleh para

10
kelompok apologis abad kesembilan belas untuk kolonialisme. Kita di abad kesembilan belas
juga harus berterima kasih untuk bahasa tersebut yang dengannya kita terus menerus
mendefinisikan, dan mengkritisi kekuasaan, yaitu bahasa tentang perubahan kebudayaan yang
mendalam sehingga tanpanya kekuasaan dipandang tidak mungkin bisa eksis. Ketika itu menjadi
'Darwinisme sosial' yang memberikan kita bahasa dominasi dan subordinasi modern, hal ini
nampak merupakan bentuk ekspresivisme yang ditetapkan untuk kaum imperialis, antara mereka
yang mendominasi dan mereka yang didominasi. Dan ini merupakan bahasa yang sama yang
menjadi tantangan bagi aturan dan dominasi 'asing' sebelum akhirnya diungkapkan. Dalam hal
ini, diskursus tentang kekuasaan dan konter kekuas aan di abad kesembilan belas membicarakan
bahasa kebudayaan, perbedaan dan tujuan yang sama, sebagaimana yang mereka bicarakan di
abad kedua puluh.

Paling tidak, dengan keuntungan di belakang, itu tidak mungkin secara bersama-sama
menemukan, bahwa sebagaimana yang ditunjukkan oleh kelompok Victorian Inggris kepada kita
bahwa justifikasi kultural untuk aturan imperial sekarang diketahui sebagai Darwinisme sosial,
sehingga yang paling jelas di Jerman abad kesembilan belas bahwa bahasa kebudayaan dan
perbedaan modern merupakan yang pertama kali diartikulas ikan. Lagi pula, Jerman, koloni
modern pertama kali di dunia, 'yang dibebaskan' oleh Napoleon, dan dieksploitasi oleh kekuatan
ekonomi utama dunia, Britania Raya, dengan mengatasnamakan perdagangan bebas. Jerman
pada tahap selanjutnya, setelah merdeka dari penjajahan Perancis, muncul sebagai 'negara bangsa
baru' (new nation -state) yang modern pertama kali di dunia, dan melampaui ekonomi Inggris
dengan menjadi 'negara industri baru' pertama di duniasemua ini pada dasarnya untuk
berkompetisi dengan negara-negara metropolis kita yang sebagai kekuatan imperial yang
sempurna.

Ini bukanlah tempat untuk katalogisasi secara cermat mengenai sikap perbedaan manusia
abad sembilan belas secara umum, atau perbedaan kultural tentang kemanusiaan yang menjadi
elemen teori sosial abad sembilan belas secara khusus. Sebagai gantinya, di dalam menguji
beberapa contoh, saya ingin menunjukkan sejumlah hal: bahwa formula sederhana seperti yang
disuguhkan oleh McGrae, Said dan yang lainnya terikat menjadi sesuatu yang tidak memadai;
bahwa ketika visi dunia multikultural yang berkembang di masa antara Perang Dunia I dan
Perang Dunia II berada di dalam banyak eara yang unik, hal ini dibangun dari elemen- elemen

11
yang bersumber dari diskursus abad kesembilan belas mengenai perbedaan manusia; dan bahwa
ini secara partikular berasal dari apa yang saya, bersama Taylor, sebut dengan arus kelompok
ekspresivis di dalam pemikiran Eropa seiring dengan adanya pemikiran perbedaan kultural
modern (hingga postmodern). Untuk alasan ini, dan juga perkembangan dalam positivisme
Anglo-Saxon yang terdokumentasikan seluruhnya (lihat misalnya Burrow, 1966; Hawthorn,
1979; McGrane, 1989) maka saya akan membatasi diri saya di sini dengan peran yang dimainkan
oleh ide-ide tentang perbedaan kultural di dalam anis pemikiran ekspresivis di Eropa, khususnya
Jerman, pemikiran yang eksis di dalam periode tersebut khususnya sebelum bencana 1848.

Jalur ke India

Di dalam romantisisme Timur, yang unsur sejarah pemikiran Eropa sebanyak


demonisasinya, India dan Cina, dalam beberapa saat telah memainkan peranan yang berbeda.
China menjadi idola adalah ketika di abad delapan belas, khususnya oleh Perancis, kekaguman
terhadap segala hal yang berbau China-dari Voltaire hingga physiocrats untuk mengonsumsi
corak China di dalam gerakan yang dikenal dengan chinoiserie. Di sinilah China memainkan
perananan peradaban atau sivilisasi yang sifatnya imanen, rasional dan tercerahkan, tepatnya
jenis peradaban yang dicita-citakan oleh para filsuf sendiri. Ketika kemudian India muncul, ia
sekali lagi memainkan neranan mistik dan sesuatu yang berbeda secara organik terhadap
peradaban Eropa yang sangat dingin, rasionalistik dan instrumental.

India selalu memainkan peranan untuk pemikiran kritis bagi generasi filsafat Jerman
selanjutnya. Bagi Hegel tentu saja, tidak ada persoalan untuk kembali pada India. Kebenaran
filsafatnya tentang sejarah tradisi kultural dan intelektual awal/berbeda dipandang bukan hanya
sebagai sumber kepentingan, bahkan jika kesalahan, pemikiran, tetapi berada pada tahap
revolusioner dan komponen- komponen yang berubah secara dialektis di dalam perkembangan
filsafat barat, mengenai 'proses' dan 'sistem pemikiran' yang semakin kompleks dan menyeluruh.
Di dalam sistem Hegel kompleksitas yang lebih besar dari filsafat Eropa/Barat lebuh
merepresentasikan yang terakhir (bahkan jika yang terakhir, dan definitif), sintesis resolusi
dialekstis mengenai kontradiksi filsafat sejarah.

12
Kembali ke 'Persoalan Yahudi'
Apa yang Karl Marx dan para koleganya di Young Hegellians biasa sebut dengan
'Persoalan Yahudi', dan apa yang para komentator belakangan ini telah ungkapkan yang lebih
tepatnya disebut sebaga Persoalan Jerman (German Question), yaitu 'seberapa jauh orang orang
Yahudi bisa -dan harus- diasimilasikan di dalam (atau di dalam kata dari beberapa partisipan
yang banyak kontroversi, bercampu dengan) masyarakat Jerman?' (Pulzer, 1992a2). Persoalan itu
perta kali diletakkan di dalam perdebatan teologi yang berkaitan dengan apa yang disebut dengan
Pencerahan Orang-orang Yahudi (Jewish Enlightment) atau Halakah selama abad kesembilan
belas. Tulisan penting mengenai hal ini adalah esai yang ditulis oleh Moses Mandelsshon -Über
de Frage: was heisst Aufklären'- yang muncul hanya beberapa bulan sebelum tulisan Kant 'Was
ist Aufklären?' (1784) Secara umum ini mengukuhkan bahwa dukungan Mandelsshon yang
antusiastik terhadap Pencerahan secara umum disebarkan oleh kebanyakan orang-orang Jerman
yang karena itu bisa dipikirkannya mengenai sesuatu yang diasimilas ikan secara penuh ke dalam
kultur Eropa. Dalam hal ini, Karl Marx sama sekali tidak khas Yahudi Jerman, ataukah haruskah
kita menyatakan tidak lebih dari seorang pendukung utama ide-ide yang diekspresikan oleh
Moses Mandelsshon selanjutnya, bahwa orang-orang Yahudi, saat mereka harus bergantung pada
agama mereka di dalam ranah privat, haruskah sebaliknya hal itu justru diadaptasikan pada
prinsip-prinsip Revolusi Perancis di ruang publik. Ayah Marx, sekali lagi bukan corak yang khas
dari Yahudi Jerman, bergerak satu langkah lebih maju dan dibaptis sebagai Kristen (meski,
dalam beberapa kasus lainnya, perpindahan agama ini tidak jelas sehingga nampak menjadi
sesuatu yang instrumental, yang mempertimbangkan bahwa sebagai orang yang melayani
masyarakat dia tidak bisa secara resmi tampil sebagai seorang Yahudi).

Dan satu hal mesti ditambahkan bahwa Yudaisme sendiri berubah di bawah kondisi-
kondisi tersebut. Hal ini tidak berkaitan dengan ranah privat, tetapi ada juga adaptasi-adaptasi
doktrinal dan ritual untuk pola Pencerahan 'modernisme', karena itu perkembangan dari apa yang
telah muncul disebut dengan Yudaisme Reformasi (Reform Judaism).

Ke-lain-an atau perbedaan (the otherness) ini sebagian besar telah disalahpahami, paling
tidak hingga studi Sorokin yang penting, dengan menggambarkan narasi pentingnya alteritas
perbedaan kultural di dalam modernitas. Ambillah jalan lain, post kritik Holocaust terhadap
'asimilasionisme' Yahudi menganggap bahwa ada perbedaan yang esensial antara kebudyaan

13
Yahudi dan Jerman, yang dengan kata lain, kejermanan sesungguhnya adalah apa yang diklaim
oleh Jerman dari peradaban era Romantik. Ini tidak hanya Heine, Kleist dan yang lainnya yang
mempersoalkan keabsolutan distingsi kultural. Bahkan yang lebih awal, sastrawan dan
dramawan Friedrich von Schiller mempersoalkan penegasan era romantik yang mana tradisi oral
tersebut mengekspresikan sentimensentimen Jerman yang nasional atau kolektif, sebagaimana
yang dilakukan oleh pihak lain seperti August Wilhelm Schlegel dan John Hinrich Voss (lihat
Linke, 1990: 1 2 1)..

Ekspresivisme, dan dengannya bahasa kebudayaan dan perbedaan kebudayaan semakin


bertambah mundur ke belakang. Bagaimanapun ini tidak pernah terintegrasi secara sempurna
dengan ruang privat. Seperti yang kita akan lihat bahwa sebagai gantinya ini muncul kembali di
awal dekade abad kedua puluh, sehingga selama tahuntahun yang membentang di antara dua
perang dunia perdebatan yang berlangsung ini melampaui instrumental isme dan tekno-
rasionalisme, secara umum, dan Darwinisme sosial, secara khusus. Di dalam tiga bab berikutnya
kita akan melihat tiga arena di mana ide-ide ekspresivis tentang kebudayaan dan perbedaan
memainkan peran yang signifikan di dalam pemikiran abad kedua puluh: di dalam perdebatan
atas 'peasantry', di dalam catatan mengenai perbedaan kultural di luar Barat, dan gambaran
tentang kota 'multikultural' di jantung modernisme, Amerika Serikat.

BAB III

Para Petani, Perbedaan dan Ketidakpuasan terhadap Komoditas

Bartók tentu saja hanyalah salah satu komposer yang dil awal dekade-dekade abad ini
menjadikan musik rakyat atau musik masyarakat sebagai sumber inspirasinya, sebuah grup
musik yang terdiri atas Ravel, Manuel de Fall, Szymanowski, Janáček, dan teman baik Bartók
Kadály di Eropa, Aaron Copeland di Amerika Serikat dan Carlos Chavez di Meksiko. Lebih dari
itu, musik Eropa telah muncul di awal era romantik yang di dalamnya para komposer berusaha

14
mengartikulasikan musik nasional yang unik di dalam bahasa musik yang lebih universal. Apa
yang membuat kasus Bartók dan orang- orang semasanya, berbeda?

Untuk menjawab persoalan di atas, perlu melihat lebih dekat lagi karier Bartók dan
penerimaan yang sesuai dengan musiknya baik dalam di dalam masyarakatnya sendiri, Hungaria
dan di tempat manapun. Lahir pada 1881, Béla Bartók', seperti para musisi Eropa lainnya yang
merindukan hal atau suasana lain di periode itu, memperoleh pendidikan musik pertama kali
ketika tradisi music Jerman tengah mendominasi. Pelatihan dan pengetahuan musik pertama
Bartók 'mempunyai akarnya yang kuat di dalam tradisi Jerman', sehingga dia dikatakan
mempunyai gaya Brahms ian yang herbeda dan berada di atas skor kromatik' nya Wagner
(Antokoletz, 1988:xviii).

Menyusul munculnya nasionalisme kebudayaan di era tersebut yang memicu Perang


Dunia Pertama, dimana para komposer kontinental mulai mereaksi ultrakromatisisme Wagner
dan Staruss, dalam rangka melawan hegemoni musik Jerman. Bartók juga dikecewakan dengan
tradisi musik Jerman, namun kekecewaannya ini hanya sementara setelah dirinya menemukan
musik Richard Satrauss yang mempengaruhi harmoni dan nada dalam musiknya.

Selama masa kebangkitan gerakan patriotisme Hungaria 1903, Bartók mengekspresikan


simpatinya dengan memakai pakaian nasional, dan berbicara dengan bahasa Hungaria daripada
bahasa Jerman. Pada saat ini dia menulis secara berbeda syair simfonik yang berkaitan dengan
patriotisme Lisztian, Kossuth.

Di tahun 1904 Bartók, secara aksidental, bersentuhan dengan musik petani Hungaria
ketika dirinya mendengar gadis petani sedang bernyanyi. Dia secara khusus dihadapkan pada
fakta bahwa cara membawakan musik rakyat Hungaria yang populer sangat berbeda dengan
versi yang ada di kafe, dengan menggunakan 'gaya gipsi', yang baik Brahmn maupun Liszt telah
merepresentasikan musik rakyat Hungaria. Penemuan gaya rakyat yang lain mendorong Bartók
menginvestigasi tradisi musik yang ada di desa-desa Transylvania yang darinya penyanyi rakyat
hadir, meneliti apa yang dia telah tampilkan bersama sahabatnya, Kodály. Hasil pertama dari
penelitian ini adalah Eight Hungarian Folk Song (Delapan Musik Rakyat Hungaria) untuk suara
dan piano (1907-17) di antara karya Bartók yang pertama yang dipersiapkan untuk konser (lima
karya pertama dikoleksi tahun 1907, sisanya antara 1916 dan 1917).

15
Chayanov hadir dijawa

Ketika mulai mempertahankan kebijakan modernisasi kapitalis,laissez-fire,pasca tahun


1870,yang didalam nya subjek-subjek colonial nya selalu dipandang sebagai pencari keuntungan
yang sebanyak banyak nya,maka pemerintahan kolonial di Batavia mulai merevisi visi
pembangunan instrumental nya dari permulaan abad ini.bagian dari proyek perubahan ini adalah
mengubah gambaran masyarakat pedesaan diindonesia;berangkat dari sebuah pandangan atau
gambaran tenteng daerah pedalaman yang dihuni oleh pengusaha kelas teri,maka sebagai
gantinya pemerintah kolonial belanda menghadirkan gambaran tentang daerah pedalaman
Indonesia sebagai area yang penduduknya berada dalam lingkungan mentalistas yang
unik.mereka diarahkan pada visi ini yang sebgaian nya yang diketahui melalui temuan bahwa
kebijakan yang dianggap turut mengarahkan pada agenda emansipasi dan kesejahtraan universal
dalam faktanya justru melahirkan banyak penderitaan dikalalangan masyarakat desa
miskin,khusus nya dipulau jawa yang penduduk nya sangat padat.tetapi mereka juga dipengaruhi
oleh ancaman terhadap stabilitas system kolonial yang ditandai dengan menyebar nya uang,pasar
dan ideologi ideologi modern,khususnya sosialisme.

Dengan menggaungkan sentimen yang diekspresikan ditempat lain,seorang penasihat


pemerintah kolonial ditahun 1926 menulis; kenapa nilai yang begitu penting harus dikaitkan
dengan kelas para petani yang sangat kuat di jawa?.....dari sudut pandang sosial ,karena disinilah
sebagaiman ditempat lain manapun didunia,kualitas perlawanan terbaik terhadap arus
evolusioner merupakan inti penduduk yang tenang,memuaskan dan kokoh yang dipresentasikan
oleh komunitas utama,petani harus dipekerjakan dengan baik.dijawa,pentingnya factor ini sangat
ditekan kan,sejk muncul nya elemen yang mengganggu percepatan penetrasi ekonomi uang
didalam komunitas petani yang hingga belakangan praktis tanpa nya,menyebabkan hilang nya
keseimbangan dan kenyamaan sesaat,yang membuat masyarakat tidak sesuai dengan tugas tugas
sosial mereka.

Pernyataan yang menyatakan bahwa penduduk pedesaan dijawa sebenarnya adalah petani
merupakan sebuah kesimpulan yang dicapai setelah melalui perdebatan yang serius,khususnya
dengan para pendukung ekonomi neoklasik dan evolusionisme utilitarian yang berkuasa di
decade decade akhir abab Sembilan belas.barangkali salah satu orang yang terlibat dalam
perdebatan di atas adalah Julius herman boeke yang kemudian memformulasikan gagasan nya

16
tentang’ekonomi ganda’ untuk menjelaskan kombinasi yang aneh mengenai mantalitas ekonomi
masyarakat barat dan timur dalam system kolonial.boeke menyangkal terhadap asumsi bahwa
komodifikasi merupakan hal yang baik didalam didalamdiri nya sendiri atau ekspresi penting
karakter manusia,dengan mempertahankan bahwa masyarakat desa diindonesia turut
menyaksikan ketegasan homo economicus baik secara kultural/historis.tetapi para penasihat dan
ahli ekonomi lainnya melontarkan gagasan bahwa ide eropa tantang masyarakat petani juga bisa
disebar luaskan dijawa.

Fakta dutcmen mengapropriasi konsep chayanov mengenai pola keberadaan petani


secara mudah,karena prinsip prinsip dasar nya memang telah diletakkan.hal ini telah diletakkan
oleh mereka yang bermain didepartemen agricultural, perdagangan dan indutri yang dibentuk
secara baru,yang,dalam melihat problem-problem yang harus dilakukan terkait dengan
‘pembangunan’ agricultural Indonesia,sedang mencoba dan menangkap atau memahami sifat
rasionalitas ekonomi di dalam perusahaan pertanian,yang sebagian besar mereka membaca nya
dari perspektif akuntansi.dalam menguji system akuntansi yang ada bagi perusahaan
agriculture,bagaimana pun ,para penulis artikel ertikel ini hampir berada dalam pemikiran yang
sama, yaitu bahwa system akuntansi yang berkembang dalam pertanian eropa,sebagian besar nya
tidak cocok dengan kasus diindonesia.ada nya perbedaan mendasar antara sebagian besar
agrikultur eropa yang beragam,apakah mereka secara fisik beralokasi di eropa atau didaerah-
daerah jajahan, dengan ‘perusahaan ‘ agrikultur petani pribumi Indonesia.

Peasantisme ‘pribumi’

Peasantisme tidak diproduksi secara otonom dari pribumisasi ideology (marxis) eropa
atau pemerintahan eropa untuk non-barat ditunjukkan oleh contoh jurnalisme Indonesia loka di
tahun 1920-an.kebanyakan ditahun tahun tersebut para ekonom belanda dan pejabat kolonial
menemukan beberapa kebajikan tertentu dari kaum tani Indonesia,masyarakat Indonesia adalah
mereka yang mengembangkan konsep-konsep ekonomi desa dan integritas kebudayaan pribumi
diluar perjumpaannya dengan dikursus modernis yang diklaim sendiri.menjelang tahun 1920-
an,pemerintahan sumatera barat,misalnya,sejumlah besar masyarakat minangkabau datang untuk
mempresentasikan situasi mereka sendiri melalui bahasa mazhab petani.

Sementara perhatian yang dominan terhadap dikursus ini ada bersama dengan sifat dan
masa depan adat dan budaya minangkabau,paling tidak awal nya ini bukan lah

17
adat,tetapi,’ekonomi desa tradisional’ itulah yang menjadi perhatian.dan paling tidak,dengan
memparalelkan perkembangan diskursus tentang penguasa kolonial mereka,penulis
minangkabau,didalam decade kedua abad ini mengembang kan sebuah pemikiran tentang
‘ekonomi desa tradisional’ sembari menangkap implikasi-implikasi dari pandangan mengenai
keuntungan modernisasi ekonomi yang berlaku.

Dengan kemajuan dan semakin implikasi-implikasi sosial dan ekonominya


berkembang,maka semakin muram gambaran nya muncul:

Kerjasama secara gotong royong merupakan basis kehidupan didesa para buruh untuk saling
membantu pada saat kusus dan musim-musim tertuntu.itulah kenapa dimasa masa awal hingga
sekarang budaya(adat) saling membantu itu berkembang diantara para petani (peladang).

Karena para petani,tidak seperti pedagang dan para tukang,tergantung pada hasil
bumi,mereka tidak mendapat kan uang setiap hari.mereka menghasilkan pakaian dn perkakas
daidaalam rumah tangga mereka sendiri.ketika mereka butuh uang,mereka tidak mempuyai sama
sekali.kekayaan mereka bukan lah uang,tetapi padi yang tersimpan dalam lumbung,dan binatang
ternak yang digembalakan secara bebas dihutan.namun semakin lama kehidupan semacam itu
berlalu karena manusia tidak lagi puas dengan hasil bumi,mereka menginginkan yang
lebih.karenanya,manusia kemu dian bekerja untuk mendapat kan upah.setelah itu datang
pedagang.para pedagang itu menawarkan barang-barang dan para petani mulai menjual barang
barang nya untuk mendapatkan uang.sekarang dengan keterampilan dan keahlian,seorang petani
bisa membeli pupuk,alat-alat,timba,pakaian,benang,gunting,piring,minyak tanah,pisau,alat
penyimpanan,gergaji.untuk bisa membeli barang barang ini,maka seorang petani harus menjual
sebagian dari hasil panen nya.persamaan antara peasantisme eropa dan agrarianisme jepang
merupakan bukti dari penjelasan havens yang pertama :

Kepercayaan kelompok nohonshugi (kelompok petani) yang paling utama meliputi keyakinan
tentang ekonomi agrikultur,sebuah afirmasi komunisme pedesaan,dan sebuah pendirian yang
meneguhkan bahwa pertanian sangat diperlukan untuk membangun keunikan ide…tidak sampai
pada kebijakan industrialisasi yang di implementasikan setelah 1868 menjadikan agrarianisme
muncul sebuah kesadaran ,lebih jelasnya,ideology yang meneguhkan pertanian atas dasar
sosial,ekonomi,politik,dan spiritual.hanya seketika orang-orang mulai memoertanyakan secara
serius apakah agrikultur harus terus menerus menjadi yang paling produktif secara ekonomi dan

18
pekerjaan yang paling diterima paling etis,membuat partisipan beragam,dengan alasan yang
berbeda-beda,mulai mempertahan kan nya.

Tokoh utama diawal agrarianisme abad dua puluh adalah yokoi tokiyoshi,seorang
professor administrasi agricultural di Tokyo agricultural college.awalnya,yokoi disibukkan
dengan persoalan-persoalan praktis dan teknis dalam pendidikan agrikultur,tetapi dia segera
tertarik dengan’persoalan yang lebih abstrak yang berhubungan dengan spirit dan kualitas
kehidupan petani’.yokoi memandang kehidupan kota sebagai sesuatu yang menimbulkan korosi
bagi kehidupan sosial dan budaya,dengan mengungkapkan bahaya’efek negatif
metropolitan’yang melanda seluruh negara. Yang berhubungan dengan ini adalah ide ide politik
yang subversive dan karena itu berbahaya seperti sosialisme,yang yokoi sangakal terbentuk
hanya didalam masyarakat kota.sebagaimana banyaknya kritik terhadap ide yang berkaitan
dengan kebajikan politik dari kehidupan agricultural yang telah dipertahankan,jenis jenis kritik
kelompok ekspresif terhadap industrialisme dan kehidupan urban yang diartikulasikan oleh
polemikus seperti yokoi,

BAB IV

DUNIA LAIN : MEMPRESENTASIKAN PERBEDAAN KULTURAL

Orang-orang porgy merupakan orang-orang asing yang tidak biadab…dan untuk memperhatikan
sebuah sifat yang asing tentang tentang orang negro dari ceritanya,maka Mr.heyward bergerak
melampaui sikap masyarakat kulit putih didaerah selatan didalam memperlakukan orang-orang
negro.kehidupan orang negro lebih berwarna,lebih bersemangat dan penuh vitalitas dari pada
kehidupan orang-orang kulit putih…jika dua kultur ini tidak mudah untuk berbaur,maka itu bisa
menjadi Nordic yang ketinggalan zaman.

Visi dunia yang terdiferensiasikan secara kultur tersebut mempresentasikan sebuah


ambivalensi,jika bukan permusuhan langsung terhadap narasi-narasi peradaban kekaisaran.dalam
gaya paternalistik,heyward,sebagaimana yang telah dilihat,putus asa dengan
‘peradaban’masyarakat afrika diamerika.yang khusus dari heyward,tentu saja sebagai penulis
kulit’putih’liberal tentang masyarakat afrika di amerika periode ini,bahasa merupakan
percampuran dari primitivisme dan kulturalisme.

KEKUASAAN YANG DIBUDAYAKAN

19
Sebuah tokoh kunci dalam menciptakan gambaran bali seperti daerah-daerah lain di
eropa adala waler spies yang lahir di jerman(1895-1942),yang datang ke bali pada tahun 1927
setelah sempat menjadi musisi kerajaan sultan yogyakarta.spies memahami masyarakat bali
sebagai pelarian dari berbagai bentuk pembatasan seksualitas,khususnya larangan
homoseksual,yang berlaku di barat.

Muncunya mazhab leiden di awal-awal dekade abad ini,dengan sejarah hukumnya secara
khusus,menandai retakan yang tajam dengan ide-ide liberal tahun 1860-1870.ide-ide ini sendiri
mempunyai pengaruh yang penting terhadap kebijakan kolonial,paling tidak karena leiden
menjadi dasar pelatihan untuk seluruh generasi baru para pejabat kolonial yang mengambil pos-
posnya di hindia timur yang sangat dipengaruhi oleh gambaran-gambaran baru tentang kekuatan
dan integritas tradisi kultural pribumi,dan karena itu ide-ide kemajuan dan modernitas barat
nampak tidak tepat dalam konteks indonesia

Dalam sebuh artikel,van vollenholen berpendapat bahwa kepemilikan secara individual


maupun komunal merupakan konsep-konsep hukum barat yang membuat adat indonesia sedikit
rasional.sebagai gantinya,bentuk-bentuk penggunaan tanah di indonesiasebagian besar tertanam
didalam masyarakat hukum.ketika pengelolaan tanah secara individual atau penggunaan tanah
lainnya mungkin ditemukan di indonesia.sebagai gantinya penggunaan tanah secara individual
selalu menjadi objek bagi hak pembagian atau hak guna dari masyarakat hukum secara
keseluruhan.

Julius herman booke,seorang pakar ekonomi yang dikenal lewat konsepnya tentang dualisme
ekononomi.basis booke menandai perilaku ekonomi didalam masyarakat kapitalis adalah
perbedaan antara kebutuhan ekonomi dan sosial.kebutuhan sosial sebagai kebutuhan yang
berasal dari pikiran ketergantungan terhadap norma-norma yang berlaku pada setiap anggota
masyarakat terdiri atas dua model : dorongan untuk meniru dan beradaptasi dengan mekanisme
sosial dan dorongan untuk tampil beda atau pretise.kebutuhan ekonomi,disisi lain tidak dirasakan
oleh manusia sebagai anggota masyarakat kelompok,melainkan dirasakan sebagai
individu.Barang-barang yang memenuhi kebutuhan tersebut karenanya harus sesuai dengan
tuntutan individu.

perbedaan antara kebutuhan sosial dan ekonomi bukan sesuatu yang absolut.nilai segala
sesuatu bisa jadi ditentukan oleh model-model kebutuhan yang berlaku secara sejajar.akan

20
tetapi,ini penting untuk memisahkan mereka,menurut boeke perkembangan rasionalitas ekonomi
barat melibatkan pentingnya determinasi nilai ekonomi yang terus berkembang.faktanya bahwa
kebutuhan sosial yang sebagai paling utama dalam masyarakat non barat terwujud dalam bentuk-
bentuk organisasi pengusaha yang secara nyata berbeda dengan kebutuhan-kebutuhan yang
berlaku di dalam kapitalisme.

Diskursus kolonial belanda tentang indonesia karenanya berubah secara radikal di awal-
awal dekade abad ini.jika abad kesembilanbelas ideologi kolonial yang telah hadir terkait dengan
informasi tentang indonesia yang :

 pasif
 mundur
 dekaden menerima pengaruh peradaban
 pembangunan eropa yang lebih maju

hal ini memunculkan gambaran yang sangat berbeda tentang bentuk organisasi dan jalan
pembangunan masyarakat indonesia yang unik,baik secara kultural maupun ekonomi
sosial.karenanya banyak pejabat dan sarjana belanda hadir ramai-ramai untuk menolak tingkatan
yang berbeda-beda.

sekalipun begitu,kasus indonesia di era kolonial ini tergolong tidak biasa.meski tidak
mengulangi secara detail di manapun di dunia ini pada masa itu,namun perubahan didalam
wacana pemerintahan dan ide-ide tentang kewarganegaraan yang terjadi dibanyak tempat didunia
di dalam masa yang sama,sepertinya indonesia era kolonial ,terus menerus tergantung pada ide-
ide tentang perbedaan atau keasingan secara kultural atau rasial

diskursus postkolonial memandang akhir sebuah situasi didalamnya identitas indonesia


ditentukan orang-orang belanda,banyak mengambil bahasa yang sama tentang kebudayaan dan
identitas,keunikan indonesia dan seterusnya,sebagaimana yang dilakukan oleh para orang asing
di daerah koloni belanda.tentunya dalam beberapa kasus yang terlepas dari fakta bahwa hal ini
telah dimobilisasi oleh orang-orang indonesia,maka ini tidak bisa dipisahkan dari bahasa belanda
tentang kekuasaan yang dibudayakan.

van vollehonen,boeke,dan snouck hurgonje dan yang lain memberikan kesan orientalis
klasik yang mereka ketahui lebih baik daripada orang indonesia,maka apa yang kita dimaksud

21
dengan budaya indonesia sama-sama jelas bahwa ketika suara rakyat indonesia tidak hadir dalam
reprentasi pemerintahan belanda,maka bagi indonesia itu sendiri bukan berarti diam.

BAB V

Kota budaya, multikulturaisme dan (post) modern

Los angeles, seperti seluruh kota-kota besar lainnya, merupakan kota yang unik teta pi
dalam beberapa hal, kota itu bisa jadi melambangkan kota dunia untuk masa depan: ada banyak
minoritas. Tidak ada kelompok etnik yang tunggal, pun juga tidak ada cara hidup tunggal, juga
tidak ada sektor industri tunggal yang mendominasi lanskap kehidupan kota tersebut. Pluralisme
telah maju pesat dikota ini dari pada kota lain didunia dan untuk alasan ini, hal tersebut bisa
menggambarkan kota besar dunia di masa depan (Jencks, 1993:7).

Di mana-mana, isu yang membagi amerika semakin nyata: imperative bangsa sebagai
sebuah keseluruhan budaya melawan kehendak perkembangan subkultur. E Pluribus unum
(diluar banyak, satu) merupakan sebuah formulasi yang tidak lagi memadai untuk dualitas
tersebut yang banyak menginginkan: sebuah dialog antara satu dan yang banyak, pusat dan
pinggiran, dengan sisi-sisi yang sama-sama diakui dan diizikan untuk berbicara (ibid. :8).

Pada titik yang sama di tahun 1980-an Los Angeles, dan untuk tingkat yang sedikit lebih
rendah Miami dan Oustun, menjadi kota dengan masa depan baru-bukan masa depan modernis
ala Le Corbusiet, yang menurutnya perencanaan secara hati-hati , dan pemanfaatan teknik
modern hingga arsitektur kota, bisa menjamin sebuah masa depan yang cerah dengan penuh
ketertiban, kota-kota yang bersinar dan terintegrasikan secara arsitektural; bukan masa depan
tradisionalis ala Lewus Mumford yang menurutnya perencanaan kawasan, desentralisasi dan
dalam skala rendah busa memproduksi berbagai macam 'kotakota kebun' yang busa dihuni, jauh
dari pusat industri yang kotor dan berbahaya yang telah dibayangkan oleh Ebenezer Howard.

Buku jencks, yang ditulis setelah terjadinya kerusakan di Los Angeles, lebih dari sekedar
eksplorasi pemberitaan tentang kota yang seluruhnya merupakan 'minoritas' (kultural). Tetapi
analisis tentang hetero-arsitektur ini secara eksplisit terhubung pada penelitian yang lebih banyak
merangkum tentang politik pluralisme yang baru. 'saya', tulis jencks, 'seperti banyak arsitek yang

22
didiskusikan disini dan banyak filsuf postmodern yang tidak disebut kecuali hanya sambil
lalu,seorang yang percaya tentang pluralisme,keberagaman dan perbedaan sebagai sesuatu yang
positif didalam dirinya sendiri.'(1993:9).

Sastra postmodern secara langsung juga terhubung dengan proyek politik, sesuatu yang
jencks jelaskan sebagai akhir liberalisme modern-liberalisme individu- dan munculnya
'liberalisme postmodern' yang melaluinya kelompok-kelompok atau subkultur mengubah diri
mereka kedalam bentuk individu-individu (ibid:10).

Modern atau postmodern?

Mungkin keragaman kulturan di Los Angeles, miami atau houston bukan perkembangan
baru. Apa yang baru mungkin adalah politik ploralisme yang didukung oleh jencks. E pluribus
unum, kata jencks, tidak lagi memadai; metanarasi keadilan lama, menurut Iris Marion Young,
sekarang harus disalurkan karena mereka mengalir dari anggapan-anggapan budaya dari salah
satu kelompok yang hidup di kota Amerika.

Paling tidak dalam konteks warga amerika klaim tersebut merupakan yang paling
diperdebatkan. Di Amerika Serikat barang kali persamaan yang paling dekat dengan
'asimilasionisme' adalah kebijakan 'amerikanisasi' yang dengannya berbagai level pemerintah
AS, para pekerja dan sistem organisasi-organisasi relawan, berusaha mengenalkan para imigran
terhadap keberuntungan budaya Amerika, dan pada saat yang sama menuntut mereka untuk
menanggalkan loyalitas dan ikatan kultural mereka terhadap dunia lama. Seorang imigran
Amerika yg menulis sebagai 'warga asing yg terasimilasikan' ditahun 1920an.

Semua ini tentu saja, terkait dengan ide-ide Amerika abad ke sembilan belas sebagai 'pot
yg mencair', dan secara khusus merupakan gambaran umum di akhir abad sembilan belas tentang
masyarakat kota sebagai hierarki rasial, yang dikendalikan oleh mayoritas Anglo-Saxon yang di
dalamnya ras-ras rendah hanya mempunyai pilihan untuk menerima nilai-nilai mayoritas (lihat
kornbluh,1987).

Los Angeles tahun 1980an tentu tidak identik dengan New York tahun 1980an. Karena
itu, kesulitan di dalam melokalisasi baik bentuk masyarakat kota maupun bentuk politik kota yg

23
muncul setelah medornitas meneguhkan bahwa kontinuitas tidak bisa diabaikan, dan dengan
memposisikan mereka di atas panggung maka bisa mengubah perspektif kita tentang urbanisme
kontemporer melalui cara-cara secara potensial signifikan paling tidak, kontinuitas ini
menegaskan sebuah pendekatan yg berbeda baik untuk teks Jencks maupun untuk arsitektur yg
tertulis di dalam penegasannya.

Berbeda dengan retorika multikultural saat ini, gambaran urbanisme sebagai perbedaan
mempunyai geneologi yg bisa dipertanggung jawabkan paling tidak di dalam imajinasi
masyarakat Amerika. Misalnya dengan mengucapkan apa yg mungkin nampak klise, penulis
serangkaian artikel tentang kelompok teknik di New York, pada 1921 menulis bahwa 'New York
adalah kota negro terbesar; kota yahudi terbesar, kota warga italia terbesar, kota warga irlandia
terbesar, kota warga jerman terbesar no. 3 didunia ' (Hart, 1921).

Dalam sebuah pembacaan yg baru tentang kultur Amerika diantara berbagai orang, yang
berdasarkan pada jumlah besar 'majalah-majalah kecil' yang terbuat di masa-masa antara PD I
dan PP II, kritikus sastra Amerika, Walter Khalait Zian berpendapat bahwa kebutaan kita pada
alam 'multikultural' di fase-fase awal renaissance budaya Amerika telah menghasilkan apropriasi
sejarah modernisme budaya oleh elite sastra. Faktanya, perhatian terhadap alteritas dan
hegemoni budaya, pencarian untuk suara-suara lain, internasionalisasi ranah budaya yg secara
umum terkait dengan post modernisme seluruhnya hadir di masa-masa awal ini, dalam istilah
Kalaitzian, masa 'modernisme refesionis' (liat Kalaitzian, 1993).

Harlem di new york yang 'multikultural'

Seorang modernis revisionis tersebut adalah seorang penulis Amerika yang berbasis New
York, Carl Van Vechten yang novelnya tentang Harlemnya New York, secara kontroversial
berjudul Nigger Heaven (surga orang-orang negro), dan yang pertama kali dipublikasikan pada
1926, mungkin lebih dari pada buku lainnya, termasuk buku-buku yang ditulis oleh para penulis
Afrika-Amerika tentang Harlem Rennaissance (Kebangkitan Harlem), membentuk persespi
masyarakat 'cara hidup' orang Afrika-Amerika di awal periode tersebut yang, yang ingin saya
sangkal, menghadirkan diskursus kita saat ini tentang budaya urbanisme Amerika.

24
Jika para kritikus sastra bisa membaca naskah-naskah antropologi demi kualitas sastra
mereka, maka para antropolog tentu baca novel demi pesan-pesan antropologis mereka.
Tampaknya para kritikus sepakat bahwa novel Nigger Heaven gagal.

Karakter utama dari novel tersebut -Mary Love dan Byron Kason -keduanya merupakan
contoh karya nya Alain Locke, 'New Negro' (Negro Baru). Locke, seorang profesor filsafat
Universitas Whoward, mungkin orang yang paling berhasil dalam mengartikulasikan ide-ide
umum tentang Renaisan Harlem pasca Perang Dunia Pertama, dengan berpendapat bahwa orang-
orang Afrika-Amerika saat ini dipandang telah mengambil perang sentral didalam kehidupan
Amerika. Tidak seperti 'Negro Lama' (Old Negro) yang di stereotipkan dalam sastra dan musik
sebagai kelompok masyarakat yang sederhana, perdesaan, dan anggota masyarakat pertanian
yang homogen, tergantung pada seorang patron, dan menyikapi nasib mereka dengan pasif,
maka lain lagi dengan Negro baru , yang belakangan ini dipandang sebagai masyarakat yang luar
biasa, berbasis perkotaan, yang maka itu menjadi anggota masyarakat perkotaan yang heterogen
sebagai anggota yang aktif didalam membentuk budaya Negro, bangga terhdap rasnya,
independen, dan sekarang mempersiapkan diri, dengan meminjam istilah seorang sosialis
Jamaika, W.A. Domingo, 'untuk menuntut kesamaan sosial yang absolut yang tegas" (dikutip
oleh Huggins, 19971:53) seorang figur sentral dalam pandangan Locke tentang Negro Baru
adalah seniman yang kreatif-penulis, pelukis, pematung.

Kajian yang kontroversil mengenai penduduk Afrika-Amerika pertama di Washington,


Pehiladel Pihia dan Chicago, E. Franklin Frazier (1962) berpendapat bahwa mereka membentuk
'borjuis kulit hitam', dengan mengkreasikan kembali relasi ketergantungan yang sifatnya
feodalistik yang eksis diantara warga kulit putih denagn kulit hitam di selatan dan bertentangan
dengan aspirasi-aspirasi kreatif dan egaliterian para kelompok imigran yang terbaru.

Ketika secara khusus bangga terhadap warga kulit putih dan pemikiran yang jauh lebih
sedikit dari pada aristokrasi warga kulit hitam tentang kelemahan saudara Harlemites mereka,
Mary dan Byron juga menyuarakan hal-hal yang lebih besar. Tetapi ini menimbulkan perasaan
alienasi dala. Peradaban juga menunjukkan sebuah kehilangan.Mary khawatir,misanya, bahwa
dia bisa terputus dari hal-hal positif yang berasal dari rasa nya. Tanpa bermaksud menghilangkan
misteri Chiapas, para antropolog telah berkontribusi terhadapnya.

25
Tetapi kontribusi antropolog profesional yang lebih pada upaya eksotisasi tempat-
tempat seperti Chiapas tidak mesti dinilai secara berlebihan, atau paling tidak hal itu mesti dilihat
dalam konteks kecenderungan yang lebih umum untuk memproduksi dan mengonsumsi
perubahan di Barat.

Pengetahuan yang dieksotiskan atau dibuat asing tentang kultur masyarakat Chiapas yang
miskin, misalnya, tidak terbatas pada masyarakat tertentu untuk monograf-monograf
antropologis. Tanpa bermaksud menegaskan bahwa masyarakat Amerika Utara sangat mahir
berbicara tentang detail-detail kemiskinan di Chiapas, kita bisa menunjukkan cara lain yang di
dalamnya mereka paling tidak mempertemukan kultur 'tradisi Mayan' di dalam konteks Meksiko
ini. Kita telah mempunyai kesempatan untuk menyebut karyanya John Huston, The Treasury of
Sierra Madre, yang menyajikan kepada kita gambaran kehidupan petani di Meksiko,6 beberapa
saat setelah revolusi Meksiko.

Tetapi dalam praktiknya film Huston menunjukkan sesuatu yang lain. Ketika secara
partikular di detik-detik akhir film tersebut, dimana kita menjumpai Howard -seorang pemburu
tua yang diperankan oleh Walter Huston- meninggalkan kehidupan yang sangat indah di antara
para petani Meksiko, maka karyanya Huston Treasure menyajikan kepada kita gambaran
kelainan dari penduduk Meksiko yang miskin, fungsi utamanya adalah untuk membawa pulang
kembali perubahan tersebut, di bawa ke Lembah San Joaquim di mana Curtin berharap untuk
menarik mundur:

Dalam konteks kekhasan diskursus tentang yang lain di modern, 'perbedaan budaya'
nampak hanya ditempelkan di lokasi geografis. Hal ini mewujudkan sebuah kemampuan luar
biasa untuk di relokasikan di manapun pengarangnya, atau pembacanya, yang hendak
menemukannya.

Film Huston, disetujui yang kita saksikan, 'berdasarkan teks lain, novel dengan nama
yang sama yang diterbitkan oleh B. Traven dan pertama kali diterbitkan di Jerman pada 1927 Di
dalam karyanya Traven, perubahan kultural sebagian besar mengambil lokasi di Chiapas. Sebuah
kritik keras terhadap imperialisme Amerika Utara di Meksiko, Traven menggunakan ekstrem
enggan untuk menerima gambar di bumi dapat dieksis di bumi di dalam pusat kiriman. Huston,
scbunakan juga membantah terhadap 'bolshevisme' masyarakat seperti Traven, hanya ditentukan

26
itu bisa, karena dia bisa berargumen itu buku Traven menyediakan contoh tentang persahabatan
di antara para pekerja 'asing'.

Di sisi lain, meskipun kurang 'autentik' tetapi sama-sama disetujui oleh anak-anak
sekolah dari tahun 1920-an dan selanjutnya yang prihatin merupakan versi yang beragam dari
cerita Zorro, yang dimulai dengan buku Johnston McCulley di tahun 1919 yang ingin dilihat
tentang kehidupan orang orang Spanyol-Amerika.

BAB VI

SISTEM BUDAYA

Di awal 1994 sebuah busana yang dirancang oleh desainer chanel,Karl Lagerfeld, untuk
seorang super model Claudia Schiffer, telah menimbulkan perlawanan dari para ulama
Indonesia. Lagerfeld, ternyata,telah mendasarkan desainnya pada tulisan khaligrafi tentang puisi
cinta persis yang belakangan diketahui bahwa apa yang dia angkat dalam desainnya itu
merupakan sebuah ayat suci Alqurhan.

Belakangan sebagai kesimpulan dari pertandingan sepak bola Australia,seorang pemain


dari masyarakat Aborigin dengan kemampuannya yang sangat mengagumkan, karena di picu
oleh hinaan para suporter yang berlawanan Tapi mungkin itu sangat sulit dipercayai ,ada
beberapa intelektual yang tidak ragu yang tidak membaca kisah-kisah petualang maupum
monograf-monograf maupun kemudian mereka mencapai beberapa familiaritas dengan kuitur
petani Mayan di Meksiko yang 'asing' melalui lukisan Diégo Rivera yang. mengecewakan gaya
lukisan Eropa modern kelas tinggi saat itu (Kubisme Abstrak dan Sintetik), yang kembali pada
gaya asli Meksikonya di tahun 1920-an dan menemukan kembali motif-motif figurasi dan Mayan
yang miskin, yang memproduksi bersama para pelukis Meksiko serangkaian mural yang paling
tidak untuk scmentara waktu menjadi gaya artistik tertinggi di antara karya seni progresif di
Amerika Utara .

Inti dari semua ini seharusnya sekarang juga menjadi bukti. Chiapas bukanlah dunia lain
paling tidak untuk para intelektual di Amerika Utara. Tentu saja 'kita mengetahui lebih banyak
tentang Chiapas ketika kita lebih banyak 'menduniawikan' kawasan-kawasan di Meksiko,
daripada, mungkin, sebagian besar kota yang kita jadikan sebagai tempat hidup. Memang,

27
Chiapas nampak menjadi salah satu tempat tersebut, Bali menjadi lain, yang menjadi lebih
mesiterius oleh kebanyakan informasi yang sampai pada kita. Pesona, kekaguman. misteri.
keterasingan-semua ini bukanlah ciri-ciri dari sebuah perubahan radikal, mereka nampak
membendung arus perubahan tersebut untuk modernitas.

Bagaimanapun itu seharusnya mengejutkan kita di era etnografi postmodern dan kritik
postkolonial untuk menemukan kesenjangan antara representasi kelainan kultural dan dunia yang
ril. Chiapas menjelang 1920-an, yang memang dari abad keenam belas, merupakan bagian besar
dunia yang mengelilinginya-objek penaklukkan Spanyol, revolusi dan eksploitasi ekonomi
Amerika Utara. Dilihat dari perspektif ini, hal ini bisa nampak lebih aneh bahwa Chiapas
seharusnya masih dipandang sesuatu yang hidup di era pramodern atau paling tidak nonmodern.
Para ahli teori budaya saat ini benar ketika menunjukkan kelemahan-kelemahan teori-teori awal
tentang homogenitas budaya global.

Ada dua masalh dunia yang secara kultural beragam yang menentukan kita kelevel
diskuesif. Pertama, yang menjadi perhatian pertama muncul dari fakta bahwa projek
penggambaran , penerjemahan dan penginterpretasian terhadap budaya lain secara berebeda
kerusakan yang fatal sejauh hal itu tidak pernah bisa berlaku secara geniun dalam meletakkan
budaya – budaya ini kecuali dalam hubungannya dengan, dank arena itu didalam budaya,
seseorang yang melakukan interpretasi.

Problem kedua yang kurang sering didiskusikan dalam perdebatan perdebatan sekarang
ini atas mereka dan yang harus diberi otoritas untuk berbicara mengenai budaya lyan, sehingga
ini kan dicata bahwa kesimpulan mengenai sasatra post-modern sedikit memenuhi asumsi bahwa
kultur- kultur , ini hnaya para individu yang saat ini tidak pernah bisa berharap untuk melarikan
diri dari batas – batas sudut mereka sendiri secara khusus tentang mozaik kultural itu.

Tetapi tanpa memikirkan mereka yang didizinkan untuk berbicara tentang Mozaik
budaya, bahasa tentang perbedaan kultural ini merupakan sesuatu yang artifisial. Gambaran
kultural menggunakan titik titik untuk sesuatu yang lebih banyak dari pada teknik , seolah olah
titik titik warna itu merepretansikan realistis itu sendiri.

28
Para intelektual modern sacara integral telah terlibat dalam artikulasi identitas kultural.
Tentu saja, identitas kultural tertentu sacara definitive merupakan bagian dari proyek intelektial
modern.

Selanjutnya telah ada dan berkembang menjadi konsepsi budaya dan perbedaan yang
sangat berbeda didalam diskursus modern – kultur kadang kala dipahami sebagai, sesuatu yang
tetap , tidak berubah, kadang kadang juga dipahami sebagai sesuatu yang manipulative terus
menerus tanpa batas, sementara perbedaan kadang kadang diposisikan sebagai sesuatu yang tidak
bisa dibatasi dan pada saat yang sama menjadi sesuatu yang bisa diterjemahkan. Secara khusus,
secara distingsi yang penting mesti dibuat antar apa yang dinamakan dengan bahasa perbedaan
yang antropologis dengan yang hermeneurik.

Anropologi Versus Hermeneutika

Bahasa – bahasa hemeneutika tentang budaya dan perbedaanya yang berlawanan dengan
bahasa antropogis, Nampak lebih inklusif dari pada ekslusif. Hal ini merujuk pada pola pola
yang menampilkan perbedaan budaya memrepresentasikan sebuah bagi universalisme, atau
dengan lebih tepatnya terhadap universalisasi apa yang ada didalam faktanya merupakan
diskursu particular. Tantangan – tantangan tersebut , tentu saja tidak terbatas pada diskursus
liberasi kultural. Feminism misalnya telah lama melawan upaya upaya menguniversalkan
diskursus yang bersifat antrosentris untuk semua manusia. Kebanyakan dalam cara yang sama,
bahasa hermenuetik mengenai perbedaan budaya mempresentasikan sebuah tantangan bagi
upaya upaya melalui kelompok kelompok yang hegemonic, untuk memberikan visi khusu
mereka mengenai kondisi manusia universal atas yang lain.

Sebuah Tantangan Bagi Global Baru di Masa – Masa antara PD I dan PD II

Robertson menyebutkan dengaan relavisme global menjelang masa masa PD I dan PD II,
keputusan yang terus menerus melanda akibat peradaban dan pemikiran yang ada saat itu
semakin memperjelas bahwa dunia tengan brjalan tidak sesuai dengan yang direncanakan. Secara
umum masyarakat Eropa tidak begitu memperharikan berbagai keusakan yang timbul akibat
kolonialisme diakhir abad Sembilan belas, mereka tidak bisa ditolong kecuali dikejutkan dengan
munculnya pertentangan antara aspirasi modernism dengan kebrutalan kebrutalan Perang Dunia
I.

29
Tetapi dengan pola yang lain juga, dunia dengan keras menolak untuk mengikuti rencana
tersebut. Misalnya dalam ranah ekonomi, ini merupakan penjelasan mengenai keyakinan yang
aplikasi sains dan organisasi industrialnya menghasilkan keberuntungan keberuntungan material
yang tak terungkapkan bagi dunia modern.

Perubahan Agraria dan Perampasan Hak Milik Warga Desa

Lingkup dan langkah perubahan dari lanskap global yang dilahirkan oleh transfirmasi
agrarian dalam skala luas yang menjelang akhir abad ini tiada lain kecuali sesuatu yang
mengejutkan. Meskipun peristiwa besar yang disebut dengan “revolusi industri” di banyak
literature berkaitan ndengan dimensi modernisasi ekonomi, hal ini bisa ditegaskan bahwa
dampak industrilisme secara langsung relative terbatas bila dibandingkan dengan agrikultur dan
pertambangan yang muncul pada 1870. Membanjirnya wacana mengenai keunggulan dunia
industry ini, bahwa dalam studi – studi di level global dengan ekonomi Barat sebagai focus
kajiannya, sama jelasnya dengan persoalan Eurosentrisme yang bisa dijumpai. Faktanya, dalam
konteks masyarakat yang hidupnya ditransformasikan didalam ruang waktu yang pendek, maka
‘revolusi non-industri’ ini lebih mengimbangi terhadap indrustrialisme yang beradda dalam
genggaman sistem ekonomi Barat.

Dalam hal dampak dalam perubahan ini , yang berkaitan dengan mayoritas penduduk
dunia yang hidup dikawasan perdesaan diabad kesembilan belas , beberapa dimensi
perkembangan sekor pertambangan dan agricultural yang diglobalisasikan butuh diringkaskan
secara singkat

30
31
BAB III

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN

3.1 Kelebihan Buku


Secara keseluruhan buku tersebut memiliki penjelasan yang cukup luas mulai dari awal
hingga akhir sehingga kita dapat memahami dan mengerti budaya atau kejadian secara
keseluruhan dengan jelas juga menambah wawasan terhadap dunia.
3.2 Kekurangan Buku
Banyak terdapat kesalahan dalam pengetikan sehingga membuat pembaca harus teliti
dalam membacanya.

32
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
1. Buku Ilmu Sosial dan Budaya Dasar menjelaskan materi secara detail dan mudah
dipahami
2. Buku ini banyak memuat materi materi tetapi sebagian dari materi tersebut tidak
dijelaskan secara lengkap dan sulit dipahami.
3. Buku ini cocok diggunakan dosen dosen sebagai bahan ajar kepada mahasiswa agar
mahasiswa dapat berfikir secara kritis.
4.2. Saran

Penjelasan dari buku ini dijelaskan secara singkat, sehingga sebagian Mahasiswa
sulit unuk memahami isi dari buku Kultur ini baik dari segi kata kata, dan narasi serta
penjelasan setiap bab.

Untuk itu, perlu ada buku referensi yang memuat penjelasan materi yang lebih
lengkap dan juga penjelasan penjelasan materi yang tersebut sehingga mudah dipahami
dan dimengerti.

33
34
DAFTAR PUSTAKA
Khan, J.S . (2016) . Kultur, Multukultur dan Postkultur Keragaman Budaya dan Imperialisme
Kapitalisme Glonal: INDeS Publishing,Yogyakarta.

35

Anda mungkin juga menyukai