Anda di halaman 1dari 3

Nama : Hizkia Purba

Kelas : XI-10
No.Urut: 11

Judul buku : Kartini


Penulis : Putu Wijaya
Penerbit : Bentang Pustaka
Kota Penerbit : Yogyakarta
Tahun Terbit : 2010
Jumlah Halaman: 236

Cerpen Kartini merupakan salah satu cerpen yang terdapat pada kumpulan cerpen
Klop karya Putu Wijaya. Latar belakang penelitian ini adalah fenomena budaya patriarki
yang mendominasi budaya di masyarakat telah membuat budaya kesetaraan gender
tersingkir. Dalam cerpen ini, terdapat pandangan awal bahwa budaya patriarki merupakan
budaya yang wajar terjadi di masyarakat. Dalam cerpen ini, budaya patriarki didekonstruksi
oleh pandangan tokoh wanita yang membongkar makna melalui tokoh yang dihadirkan.
Kartini dianggap sebagai tokoh pejuang wanita yang memperjuangkan kesetaraan gender.
Perjuangan Kartini sebagai sosok wanita yang menginspirasi wanita masa kini bukanlah
sebuah konsep. Wanita mewarisi kemerdekaan dan kebebasan untuk beraktualisasi diri.
Pandangan ini belum banyak dipahami oleh sebagian besar masyarakat yang belum mampu
memaknai perjuangan Kartini.
Suatu hari ketika masih subuh, rumah Pak Amat digedor oleh seorang tetangga muda.
Bapak muda itu terlihat sangat bahagia karena istrinya baru saja melahirkan dengan selamat.
Ia mendatangi Pak amat untuk mengabarkan hal tersebut. Selain itu, Bapak muda tersebut
belum memikirkan nama untuk anaknya,ia kemudian meminta tolong pada pak Amat untuk
member nama pada anaknya.Pak amat lalu berfikir sejenak, ia ingat hari Kartini baru saja
lewat bebrapa hari. Ia lalau berkata “beri nama Kartini”. Bapak muda itu pun tampak
terpesona dengan nama tersebut. Pak Amat lalu berkata lagi “Tak usah nama yang muluk-
muluk,apalah artinya nama,biar anak itu sendiri yang mengubah namanya.Siapapun kamu
sebut dia,kalau dia di didik dengan baik,dia akan jadi sejarah yang berguna bagi orang
banyak.” Setelah berkata begitu, Pak Amat juga tak lupa memberi ucapan selamat. Bapak
muda itu masih tertegun mendengar kata-kata Pak Amat. Tapi Pak Amat tidak memberinya
kesempatan bicara lagi,ia langsung menutup pintu. Setelah masuk kembali kekamarnya,Pak
Amat menggerutu karena tetangganya itu telah membangunkannya saat masih subuh,ia kesal
karena istirahatnya tergangggu. Pak Amat juga kesal karena tetangganya malah bertanya
nama untuk anak kepadanya.Menurutnya bapak itu belum siap punya anak,kalau sudah siap
seharusnya ia telah menyiapkan nama terlebih dahulu.
Keesokan harinya, istri Pak Amat marah. Sebab Pak Amat dianggap sembarangan
member nama pada anak orang.Pak Amat terus membela diri,ia mengatakan nama Kartini
sangat bagus,karena itu nama pahlawan.Hingga akhirnya istri Pak Amat berkata bahwa sejak
5 bulan lalu menurut prediksi dokter, anak tetangga mereka adalah laki-laki. Mana mungkin
anak laki-laki diberi nama Kartini.Mendengar hal itu Pak amat langsung terbengong-
bengong, ia merasa sangat bersalah.Dirinya merasa terlalu tergesa-gesa,tidak mau bertanya
tentang jenis kelamin anak tersebut terlebih dahulu.
Pak Amat lalu bergegas ke rumah tetangganya tersebut, bapak muda itu sudah hampir
berangkat ke klinik menjemput istri dan anaknya. Lalu dengan salah tingkah Pak Amat
meminta maaf karena sembarangan member nama. Tapi Bapak muda itu malah berterima
kasih pada Pak Amat karena nama Kartini itu sangat bagus. Pak Amat lalu berusaha melarang
agar tidak menggunakan nama itu. Tapi bapak muda itu tetap bersikeras menggunakan nama
itu, ia bahkan berkata “Tapi Raden Ajeng Kartini kan pahlawan Pak Amat. Saya harap nanti
anak saya akan berguna kepada bangsa seperti Kartini.Itu kan nama pemberian Pak Amat”.
Pak Amat bingung, ia fikir bapak muda itu menyindirnya,karena telah member nama yang
sembarangan. Pak Amat masih melarang,namun bapak muda itu segera pergi ke klinik.
Pak amat lalu pulang menemui istrinya,ia berkata “Aku kira dia tersingung dan
menyindir. Masak aku kasih nama anak lakinya dengan nama perempuan,” curhat Amat
malam hari di meja makan. Istrinya lalu mengingatkan agar lain kali tidak berkata
sembarangan. Karena merasa sangat bersalah,ia pun menunggu tetangganya pulang dari
kelinik. Setelah larut malam mereka akhirnya pulang. Pak Amat kemudian menghampiri, ia
tetap melarang anak itu di beri nama Kartini. Tapi bapak muda itu juga tetap ingin nama itu
yang di pakai. Pak Amat semakin bingung, ia lalu berkata “RA kartini pasti senang jika
perjuangannya menyetarakan hak perempuan degan laki-laki ada yang melanjutkan. Tapi
tidak usah sampai mengubah perempuan itu menjadi laki-laki dan merubah laki-laki menjadi
perempuan”. Bapak muda itu berkata ia mengerti maksud Pak Amat. Lalu Pak Amat berkata
“Kalau begitu jangan kasih nama anakmu Kartini!” “Tidak bisa Pak, sudah dicatatkan dalam
akte kelahirannya” jawab Bapak muda itu. Pak Amat yang sangat bingung lalu berkata “Tapi
kamu tidak boleh mengubah anak lelaki menjadi perempuan!” “Anak saya perempuan Pak,
bukan lelaki seperti yang diramalkan oleh Dokter, jawab bapak muda tersebut dengan
senyum yang mengembang dibibirnya. Mendengar itu tentu saja raut muka Pak Amat
langsung beruba antara kesal dan malu.
Gaya bahasa dalam kumpulan cerpen Klop sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan
penggunaan simbol-simbol bahasa dalam mengungkapkan ide-ideceritanya mengkritik
masalah sosial. Cerpen ini dalam hal mengungkapkan alur cerita/pengisahan yang terlihat
mudah untuk dipahami, tetapi di setiap alur ceritanya mengandung makna konotasi sebagai
bentuk refleksi dari keprihatinan terhadap kondisi sosial di Indonesia. Penampilan cerpen
yang segar dan menggelitik seperti banyaknya ditemukan beragam karakter dan kisah yang
begitu dekat dalam keseharian, tetapi kerap luput dari perhatian. Cara menyajikan cerpen
dengan menggunakan bahasa dan tema yang berbeda dengan pengarang lainnya.
Dalam cerpen “Kartini” mempunyai tema yaitu nama yang membelenggu seseorang.
Hanya saja, dalam cerpen Kartini ini, kebebasan dan emansipasi digambarkan sebagai sebuah
usaha dan perjuangan yang kebablasan. Maksudnya segala upaya untuk meraih kebebasan
dan emansipasi tersebut sudah melewati batas, dan keluar dari konsep kebebasan dan
emansipasi yang sebenarnya. Adapun kutipan yang mendukung sebagai berikut “... ia
kemudian meraba sanggul. Lagi-lagi saya terkejut, karena sanggul itu tibatiba ditariknya
sampai ambrol.” (Wijaya, 2010:45)
Penelitian ini terdiri dari dua simpulan, yaitu yang pertama mengenai konstruksi citra
diri perempuan Timur yang terilustrasikan melalui tokoh Kartini dalam cerita pendek
“Kartini” karya Putu Wijaya. Perempuan Timur ialah perempuan yang (seyogyanya) cerdas
secara intelektual tanpa perlu membatasi tubuhnya dengan aksesoris tertentu sehingga
menunjukkan eksistensinya sebagai perempuan. Perempuan (seyogyanya) tahu tempat dan
situasi, mampu mengendalikan diri, dan bahkan merdeka secara tubuh dan pikirannya.
Simpulan kedua dari penelitian ini bahwa Putu Wijaya merupakan wakil si terjajah yang
melakukan resistansinya dengan cara ambivalen. Ia memanfaatkan penampilan serta perilaku
yang penuh kebebasan dari bangsa berideologi liberal untuk menggambarkan citra diri
perempuan Timur. Namun, justru melalui hal itu, Putu Wijaya berusaha merombak kenyataan
akan sejarah yang terpelintir sebab legitimasi penokohan R.A.Kartini yang dilakukan
penguasa pada waktu itu. Bermaksud membuka pikiran para pembaca agar memahami
perjuangan Kartini dengan lurus tanpa salah paham, baik secara konsep pemikiran maupun
secara penobatannya sebagai seorang tokoh emansipasi wanita di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai