Anda di halaman 1dari 15

Rancangan Undang-Undang KUHP

OLEH:

KELOMPOK 4

1. AHMAD FADLI RAMADHAN (I011201091)


2. MUHAMMAD YASSIR ANAS (I011201098)
3. NUR HAJAR (I011201105)
4. NURAULIA ZHAFIRAH (I011201119)
5. NURMISRAH (I011201084)
6. SYAHRUL RAMADHAN SYUKRI HB (I011201112)

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAAN 69

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT. atas berkat rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Di dalam makalah
ini, kami telah berusaha menguraikan sebaik mungkin semua hal yang berkaitan dengan
Rancangan Undang-Undang KUHP.

Besar harapan kami agar pembaca mampu memahami lebih jauh tentang berbagai hal
yang berkaitan dengan hal tersebut. Akan tetapi, kami menyadari bahwa di dalam makalah
ini, masih terdapat banyak kekurangan yang tentunya mengakibatkan makalah ini masih
dikatakan jauh dari sempurna. Maka dari itu, kami harapkan pembaca dapat memaklumi serta
memberi kritik dan saran yang membangun demi terwujudnya makalah yang lebih baik di
masa yang akan datang.

Makassar, 28 April 2021

Kelompok 4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................... i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1

A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................1
C. Manfaat....................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................2

A. Konsep RUU KUHP...............................................................................................2


B. Realita RUU KUHP................................................................................................2
C. Masalah dalam RUU KUHP...................................................................................4
D. Solusi dari Pasal Kontroversial dalam RUU KUHP...............................................9

BAB III PENUTUP.................................................................................................................11

A. Kesimpulan............................................................................................................11
B. Saran......................................................................................................................11.

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia, saat ini, sedang berlangsung usaha untuk memperbaharui Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai bagian dari usaha pembaharuan
hukum nasional yang komprehensif dan berkarakter Indonesia. Usaha pembaharuan
itu dilakukan, tidak hanya karena alasan bahwa KUHP yang sekarang ini
diberlakukan dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan tuntunan perkembangan
masyarakat, tetapi juga karena KUHP tersebut tidak lebih dari produk warisan
penjajahan Belanda dan karenanya tidak sesuai dengan padangan hidup bangsa
Indonesia yang merdeka, berdaulat dan religius. Gagasan perubahan dalam
pembaharuan hukum pidana di Indonesia pada dasarnya tidak terlepas dari
pertimbangan–pertimbangan politis, sosiologis, filosofis dan pertimbangan praktis
sebagai bentuk implementasi hukum dalam masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep dari RUU KUHP?
2. Bagaimana Realita dari RUU KUHP?
3. Masalah apa yang Timbul pada RUU KUHP?
4. Bagaimana Solusi dari Pasal Kontroversial dalam RUU KUHP?

C. Manfaat
1. Dapat Mengetahui dan Memahami Konsep dari RUU KUHP.
2. Dapat Mengetahui dan Memahami Realita dari RUU KUHP.
3. Dapat Mengetahui dan Memahami Masalah yang Timbul pada RUU KUHP.
4. Dapat Mengetahui dan Memahami Solusi dari Pasal Kontroversial dalam RUU
KUHP.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep dari RUU KUHP
KUHP atau dalam Bahasa Belanda disebut Wetboek van Strafrecht merupakan
bagian hukum politik yang berlaku di Indonesia dan terbagi menjadi dua bagian,
yakni hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Semua hal yang berkaitan
dengan hukum pidana materiil adalah tentang tindak pidana, pelaku tindak pidana dan
pidana (sanksi), sedangkan hukum pidana formil adalah hukum yang mengatur
tentang pelaksanaan hukum pidana materiil.
Menurut Kansil, KUHP merupakan segala peraturan-peraturan tentang
pelanggaran (overtredingen), kejahatan (misdrijven), dan sebagainya, diatur oleh
Hukum Pidana (Strafrecht) dan dimuat dalam satu Kitab Undang-Undang. Sebagai
sebuah hukum warisan pemerintah kolonial Belanda, hukum pidana yang berlaku saat
ini dirasa tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia. Hukum pidana
yang berlaku saat ini dirasa perlu diperbaharui atau dalam konteks ini pembaharuan
hukum pidana menjadi sangat urgen, yaitu sebagai upaya untuk menyelaraskan nilai-
nilai yang ada dalam masyarakat ke dalam hukum pidana Indonesia.

B. Realita dari RUU KUHP


Hukum pidana yang saat ini berlaku di Indonesia merupakan hukum warisan
penjajahan Belanda yang berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di Indonesia.
Secara yuridis formal pemberlakuan hukum pidana Belanda di Indonesia didasarkan
pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang
dimana merupakan penegasan negara Indonesia untuk memberlakukan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942 sebagai
hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Urgensi pembaharuan hukum pidana
Indonesia juga telah dikemukakan oleh Sudarto, yang mengemukakan adanya tiga
alasan penting dalam rangka penyusunan hukum nasional, yaitu:
1. Alasan Politis Adalah wajar bahwa Indonesia sebagai negara merdeka mempunyai
hukum (pidana) yang bersifat nasional, yang didasarkan pada Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.
2. Alasan Sosiologis Urgensi pembentukan hukum (pembaharuan hukum pidana)
nasional didasarkan pada keharusan, bahwa hukum nasional itu harus didasarkan
pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia sendiri. Hukum nasional
haruslah mencerminkan kultur masyarakat Indonesia.
3. Alasan Praktis Alasan ini mengisyaratkan, bahwa hukum nasional itu harus dapat
dipahami oleh masyarakatnya sendiri. Alasan ini didasarkan pada kenyataan
bahwa hukum pidana yang sekarang berlaku di Indonesia secara resmi
menggunakan Bahasa Belanda, sementara dalam perkembangannya sangat sedikit
masyarakat (termasuk para penegak hukum) yang mempunyai kemampuan
berbahasa Belanda.

Sangat disadari bahwa hukum pidana yang sekarang ini berlaku di Indonesia
sudah tidak dapat menampung aspirasi masyarakat yang berkembang sangat dinamis
serta tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia. Pembaharuan
hukum pidana dalam rangka menciptakan sistem hukum pidana nasional menjadi
sangat urgen dan mendesak untuk dikedepankan.

Pada dasarnya, hukum pidana itu dibangun di atas substansi pokok yaitu: (1)
tindak pidana, (2) pertanggungjawaban pidana, dan (3) pidana dan pemidanaan.
Dalam perkembangannya, pidana dan pemidanaan selalu mengalami perubahan yang
disebabkan oleh adanya upaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
demi meningkatkan kesejahteraan. Tingkat kriminalisasi dalam masyarakat pun
meningkat akibat kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat disertai dengan
kemiskinan yang relatif masih cukup tinggi. Hal tersebut menyebabkan perlu adanya
pembaharuan hukum pidana dalam penjatuhan suatu sanksi pidana yang nantinya
akan menjadi peringatan setiap orang agar berfikir dua kali dalam melakukan suatu
tindak pidana.

Apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana, maka akan muncul ancaman
sanksi pidana sebagai suatu pertanggungjawaban atas perbuatannya tersebut. Jenis-
jenis sanksi pidana telah diatur dalam ketentuan Pasal 10 KUHP, dimana pidana
terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati,
pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan, sedangkan pidana
tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang
tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
C. Masalah dalam RUU KUHP
Adapun pasal kontroversi RUU KUHP dan masalahnya:
1. Pasal RUU KUHP soal Korupsi
Sejumlah pasal di RUU KUHP memuat hukuman bagi pelaku korupsi yang
lebih rendah daripada UU Tipikor. Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai hal
ini bisa memicu praktik 'jual-beli' pasal. Misalnya, pasal 603 RUU KUHP
mengatur pelaku korupsi dihukum seumur hidup atau paling sedikit 2 tahun
penjara dan maksimal 20 tahun. Pasal 604 RUU KUHP mengatur hukuman sama
persis bagi pelaku penyalahgunaan wewenang untuk korupsi. Lalu, pasal 605
mengatur hukuman ke pemberi suap minimal 1 tahun bui dan maksimal 5 tahun.
Pasal 605 pun mengancam PNS dan penyelenggara negara penerima suap dengan
penjara minimal 1 tahun, serta maksimal 6 tahun.
Sedangkan pasal 2 UU Tipikor, mengatur hukuman bagi pelaku korupsi ialah
pidana seumur hidup atau penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. UU
Tipikor pasal 5 memang memuat aturan hukuman bagi pemberi suap mirip dengan
pasal 605 RUU KUHP. Akan tetapi, pasal 6 UU Tipikor mengatur hukuman lebih
berat bagi penyuap hakim, yakni 3-15 tahun bui. Bahkan, Pasal 12 UU Tipikor
huruf (a) mengatur hukuman bagi pejabat negara atau hakim penerima suap:
pidana seumur hidup atau penjara 4-20 tahun. Tidak heran, peneliti Pusat Kajian
Antikorupsi UGM, Zaenur Rohman menilai RUU KUHP merupakan salah satu
rancangan beleid yang, “memanjakan para koruptor".
2. Pasal RUU KUHP tentang Penghinaan Presiden
Pasal kontroversial RUU KUHP yang lain terkait penghinaan terhadap
presiden dan wakil presiden. Pasal 218 mengancam pelaku dengan penjara
maksimal 3,5 tahun. Di pasal 219, pelaku penyiaran hinaan itu diancam 4,5 tahun
bui. Di pasal 220 RUU KUHP, dijelaskan bahwa perbuatan ini menjadi delik
apabila diadukan oleh presiden atau wakil presiden. Selain itu, pasal 353-354
mengatur hukuman bagi pelaku penghinaan terhadap kekuasaan umum dan
lembaga negara. Pelakunya terancam 1,5 tahun bui. Bila penghinaan itu memicu
kerusuhan, pelakunya bisa dihukum 3 tahun penjara. Dan jika hal itu disiarkan,
pelaku terancam 2 tahun bui. Ketentuan ini ada di KUHP lama dan dinilai
merupakan warisan kolonial.
Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas
Hukum UI, Dio Ashar Wicaksana menilai, pasal ini bisa bersifat 'karet' dan
menjadi alat mengkriminalisasi warga. “Potensi kriminalisasi justru ketika ada
kritik kepada kebijakan presiden […],” ujar Dio pada 19 September lalu. Kata
Dio, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 sebenarnya sudah
membatalkan pasal-pasal penghinaan terhadap presiden karena dinilai tidak sesuai
dengan prinsip kepastian hukum dan demokrasi.
3. Pasal RUU KUHP tentang Makar
RUU KUHP mengatur pidana makar melalui pasal 167, 191, 192 dan 193.
Pelaku makar terhadap presiden dan NKRI diancam hukuman mati, seumur hidup
atau bui 20 tahun. Makar terhadap pemerintah yang sah, juga diancam penjara 12
dan 15 tahun. Pasal 167 menyebut: “Makar adalah niat untuk melakukan suatu
perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan
perbuatan tersebut”. Menurut analisis Aliansi Reformasi KUHP, definisi makar
di dalam RUU KUHP itu tak sesuai dengan akar katanya pada bahasa Belanda,
yakni 'aanslag' yang berarti penyerangan. Masalah definisi ini dinilai berpotensi
membikin pasal makar bersifat karet dan memberangus kebebasan berekspresi
masyarakat sipil.
4. Pasal RUU KUHP soal Penghinaan Bendera
RUU KUHP juga mengatur pemidanaan terkait penghinaan bendera negara.
Ketentuan ini diatur pasal 234 dan 235. Di pasal 235, diatur pidana denda
maksimal Rp10 juta bagi mereka yang: (a) memakai bendera negara untuk
reklame/iklan komersial; (b) mengibarkan bendera negara yang rusak, robek,
luntur, kusut, atau kusam; (c) mencetak, menyulam dan menulis huruf, angka,
gambar atau tanda lain, atau memasang lencana atau benda apa pun pada bendera
negara; dan (d) memakai bendera negara untuk langit-langit, atap, pembungkus
barang, tutup barang, yang menurunkan kehormatannya. Aliansi menilai pasal 235
memuat ancaman kriminalisasi perbuatan formil (tanpa memandang niat yang
harusnya berupa penodaan bendera). Ancaman penjara di pasal 234 pun dinilai
terlalu tinggi (5 tahun).
5. Pasal RUU KUHP terkait Alat Kontrasepsi
Pasal kontroversial lainnya di RUU KUHP ialah soal pemidanaan promosi
kontrasepsi. Pasal 414 mengatur: orang yang mempertunjukkan, menawarkan,
menyiarkan tulisan, menunjukkan untuk bisa memperoleh alat pencegah
kehamilan [kontrasepsi] kepada Anak dipidana denda maksimal Rp1 juta
(kategori I). Aliansi menganggap pasal 414 menghambat penyebaran info soal alat
kontrasepsi dan kesehatan reproduksi. Pasal ini pun bertentangan dengan program
KB pemerintah. Apalagi, pasal ini bisa menjerat pengusaha retail yang memajang
alat kontrasepsi di toko.
Jurnalis yang menulis konten soal alat kontrasepsi pun bisa terkena pidana.
Sekalipun pasal 416 mengecualikan 'pejabat berwenang' dan aktivitas pendidikan,
pidana ini dinilai tidak sesuai era keterbukaan informasi. Di sisi lain, di Indonesia
terdapat 6 peraturan tentang penanggulangan HIV/AIDS yang memuat aturan
“kampanye penggunaan kondom” yang isinya mengizinkan penyebaran luas info
soal alat kontrasepsi. Jaksa Agung (tahun 1978) dan BPHN (1995) juga telah
mendekriminalisasi perbuatan ini mengingat kondom menjadi salah satu alat
efektif untuk mencegah penyebaran HIV.
6. Pasal RUU KUHP soal Aborsi
Pemidanaan terkait aborsi diatur pasal 251, 415, 469 dan 470. Misalnya, pasal
469 mengatur hukuman bagi perempuan yang menggugurkan kandungannya,
maksimal 4 tahun bui. Orang yang menggugurkan kandungan perempuan dengan
persetujuannya juga bisa dibui maksimal 5 tahun, sesuai isi pasal 470 RUU
KUHP. Pasal ini dinilai berpotensi mengkriminalisasi korban perkosaan yang
hamil dan memutuskan untuk menggugurkan kandungannya. “Kondisi mental
korban perkosaan seharusnya menjadi perhatian bagi negara untuk memberikan
perlindungan hukum seadil-adilnya, bukan malah melakukan kriminalisasi,” tulis
Aliansi Reformasi KUHP dalam siaran persnya, 12 September lalu. Isi pasal-pasal
itu pun tidak sesuai dengan UU Kesehatan pasal 75 ayat 2 yang mengecualikan
tindakan aborsi jika dalam keadaan darurat medis atau mengalami kehamilan
sebab perkosaan. Pasal ini juga dinilai mengabaikan fakta tingginya angka
kematian ibu akibat aborsi tidak aman.
7. Pasal RUU KUHP soal Gelandangan
RUU KUHP juga mengatur pemidanaan gelandangan. Pasal 431 mengancam
gelandangan dengan denda maksimal Rp1 juta. Direktur Program ICJR Erasmus
Napitupulu mendesak penghapusan pasal ini sebab ia warisan kolonial yang
menilai gelandangan sebagai: Orang tidak berguna akibat kesalahan dalam
hidupnya. Adapun Peneliti hukum Mappi FH UI Andreas Marbun menilai pasal
ini bukan solusi atas masalah gelandangan, sekaligus aneh. “Lagipula
gelandangan, kan, miskin, mana sanggup mereka bayar denda. Kalau enggak
mampu, terus gimana?” Kata Andreas.
8. Pasal RUU KUHP tentang Zina dan Kohabitasi
Pasal 417 dan 419 mengatur pidana perzinaan dan kohabitasi (hidup bersama
sebagai suami-istri di luar ikatan perkawinan). Pasal 417 mengatur hukuman bagi
mereka yang berzina maksimal bui 1 tahun atau denda Rp10 juta. Pidana ini diatur
sebagai delik aduan dari suami, istri, orang tua dan anak. Sementara pasal 418
mengancam pelaku kohabitasi dengan penjara 6 bulan dan denda Rp10 juta.
Pidana ini delik aduan. Kepala desa termasuk yang bisa mengadukan tindak
kohabitasi ke polisi.
Kriminalisasi perzinaan dan kohabitasi (yang dilakukan orang dewasa secara
konsensual dan tanpa paksaan) dinilai mengancam privasi warga. ICJR pun
khawatir delik aduan terkait kohabitasi yang memasukkan kepala desa sebagai
pihak pelapor bisa memicu kesewenang-wenangan dan praktik kriminalisasi
berlebihan. Dua pasal itu juga dianggap mengabaikan fakta jutaan masyarakat
adat dan warga miskin yang masih kesulitan mengakses dokumen perkawinan
resmi.
9. Pasal RUU KUHP soal Pencabulan
Pasal 420 menjadi bermasalah karena mengatur pemidanaan pencabulan
dengan memberikan tekanan kata: “terhadap orang lain yang berbeda atau sama
jenis kelaminnya.” ICJR menilai penyebutan kata “sama jenis” tidak perlu.
Menurut ICJR, penyebutan spesifik “sama jenis kelaminnya” malah menjadi
bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual.
Pasal ini dikhawatirkan membuat kelompok orientasi seksual yang berbeda
rentan dikriminalisasi dan semakin distigma negatif. Apalagi, kekerasan ke
komunitas LGBT selama ini sudah sering terjadi. Komisioner Komnas HAM,
Choirul Anam juga mengkritik ketentuan pencabulan yang dipidana jika
dilakukan di muka umum (pasal 420 huruf a). “Bagaimana kalau orang tidak
berdaya ini dicabuli bukan di muka umum? Kalau ini terjadi, maka tidak akan
dilakukan pemidanaan karena tidak dilakukan di muka umum,” kata Anam.
10. Pasal Pembiaran Unggas dan Hewan Ternak
Pasal 278 RUU KUHP secara khusus mengatur: orang yang membiarkan
unggas miliknya berjalan di kebun atau tanah telah ditaburi benih/tanaman milik
orang lain terancam denda sampai Rp10 juta. Lalu, pasal 279 juga mengancam
setiap orang yang membiarkan hewan ternaknya berjalan di kebun, tanah
perumputan, tanah yang ditaburi benih, atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi
benih atau ditanami, dengan pidana denda maksimal Rp10 juta (kategori II).
Bahkan pasal 279 ayat 2 menyatakan, hewan ternak yang dilibatkan dalam
pelanggaran ini dapat dirampas negara. Aliansi mencatat pasal ini dikutip dari
KUHP lama tanpa evaluasi terkait relevansinya. Pidana ini dinilai lebih tepat
menjadi pelanggaran administratif yang diatur Perda, jika memang dibutuhkan.
11. Pasal RKUHP tentang Tindak Pidana Narkoba
Pasal 611- 616 RUU KUHP terkait narkotika, juga dikritik sebab membuat
pendekatan pidana semakin diutamakan di penanganan masalah narkoba. Aliansi
menilai pasal-pasal itu menguatkan stigma narkotika sebagai masalah pidana saja.
Padahal, banyak negara di dunia memproklamirkan pembaruan kebijakan
narkotika dengan pendekatan kesehatan warga. Di samping itu, pendekatan pidana
yang berfokus pada pemberantasan suplai narkoba dianggap tidak efektif. RKUHP
pun dinilai oleh Aliansi masih memuat ketentuan pasal karet yang diadopsi
langsung dari UU 35/2009 tentang narkotika tanpa perbaikan yang lebih memadai.
12. Pasal tentang Contempt of Court
Pasal di RUU KUHP tentang penghinaan terhadap badan peradilan atau
contempt of court juga dikritik. pasal 281 huruf b mengatur pidana denda Rp10
juta bagi mereka yang: “Bersikap tak hormat terhadap hakim atau persidangan
atau menyerang integritas hakim dalam sidang pengadilan.” Menurut catatan
Aliansi, unsur “bersikap tidak homat” di Pasal 281 huruf b tidak dijabarkan
secara terang pada bagian penjelasan. Selain itu, menuduh hakim bersikap
memihak atau tidak jujur, mestinya sah sebagai kritik.
13. Pasal Tindak Pidana terhadap Agama
Ketentuan terkait tindak pidana terhadap agama diatur pasal 304-309. Di
antara kritik Aliansi ke pasal-pasal itu: (a) isinya jauh dari standar pasal 20 ICCPR
soal konteks pelarangan propaganda kebencian; (b) hanya melindungi agama yang
“dianut” di Indonesia; (c) serta belum memuat unsur penting, yakni perbuatan
“dengan sengaja” terkait tindak pidana terhadap agama.
14. Pasal terkait Pelanggaran HAM Berat (pasal 598-599)
Aliansi mencatat pengecualian asas retroaktif (tak berlaku surut) untuk
pelanggaran HAM berat belum diatur buku 1 RKUHP. Padahal, ini diatur UU
26/2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas HAM pun menyoroti hukuman bagi
pelaku genosida di RUU KUHP yang malah lebih rendah dari ketentuan UU
26/2000. RUU KUHP mengatur hukuman 5-20 tahun bui. Adapun UU 26/2000
menetapkan hukuman 10-25 tahun penjara.

D. Solusi dari Pasal Kontroversial dalam RUU KUHP


1. Legislative Review.
Substansi tertentu didalam Pasal Kontroversial RUU KUHP dapat saja
di rubah dengan mekanisme legislative review melalui lembaga legislatif.
Artinya pasal-pasal yang mengandung pelemahan terhadap Pasal
Kontroversial tersebut dibatalkan dengan cara menganti dengan aturan yuridis
yang sesuai aspirasi masyarakat.
Legislative review jelas bukan tawaran hukum yang menarik bagi
publik dalam menyelesaikan kegaduhan Pasal Kontroversial dalam RUU
KUHP. Pasalnya, di samping persoalan waktu, menyerahkan kembali ke
lembaga legislatif dalam membahas kembali Pasal Kontroversial juga tidak
akan mendapatkan kepercayaan publik. Manuver hukum lembaga legislatif
adalah sesuatu yang dikhawatirkan.
2. Judicial Review
Mekanisme ini dapat ditempuh di Mahkamah Konstitusi. Caranya,
dapat mengajukan pengujian secara materiil (Uji materi) maupun formil (uji
formil) terhadap norma hukum didalam Pasal Kontroversial yang dianggap
melanggar hak-hak konstitusional. Tujuannya, Mahkamah Konstitusi dapat
menyatakan isi norma atau keseluruhan norma dalam Pasal Kontroversial
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Judicial Review dan Penerbitan Perppu sama-sama saluran hukum
yang diperkenankan oleh ketentuan hukum. Namun begitu, kegaduhan telah
terjadi akibat pengesahan Pasal Kontroversial. Lebih dari itu, gelombang
demonstran memprotes Pasal Kontroversial juga telah menelan korban jiwa
dari kelompok mahasiswa. Selain itu, Presiden Jokowi harus dapat merenungi
perbedaan antara filosofi judicial review dengan filosofi Perppu. Judicial
review adalah hak warga negara untuk membatalkan aturan hukum dalam
Undang-Undang yang merugikan hak konstitusional. Maknanya warga negara
memperjuangkan nasib hukumnya sendiri tanpa keterlibatan Presiden.
3. Executive Review
Mekanisme ini dapat ditempuh dengan cara Presiden menerbitkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Misalnya,
Presiden SBY pernah menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Perppu ini mencabut Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali
Kota yang mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD. Perppu tersebut
selanjutnya disetujui DPR.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
KUHP merupakan bagian hukum politik yang berlaku di Indonesia dan terbagi
menjadi dua bagian, yakni hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Sebagai
sebuah hukum warisan pemerintah kolonial Belanda, hukum pidana yang berlaku saat
ini dirasa tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia. Hukum pidana
yang berlaku saat ini dirasa perlu diperbaharui atau dalam konteks ini pembaharuan
hukum pidana menjadi sangat urgen, yaitu sebagai upaya untuk menyelaraskan nilai-
nilai yang ada dalam masyarakat ke dalam hukum pidana Indonesia.

B. Saran
Semoga makalah tentang Rancangan Undang-Undang Pidana dapat menjadi
bahan referensi bagi semua pihak untuk dapat mengetahui serta memahami apa yang
dimaksud dengan RUU KUHP yang sedang terjadi sekarang serta dapat lebih cermat
untuk menilai suatu RUU yang ada di berbagai khalayak.
DAFTAR PUSTAKA

Neng Djubaedah. 2018. Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia


Ditinjau Dari Hukum Islam. Jakarta: Prenada Media Group. Hal 65-66.

Teguh Prasetyo. 2019. Hukum Pidana. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta: h. 120.

Wirjono Prodjodikoro. 2018. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. PT Refika


Aditama. Bandung: h. 183

Anda mungkin juga menyukai