Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

ANEMIA HEMOLITIK
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :

Mikhael Haposan Purba


Ester Putri Mentary Mendrofa

Pembimbing :
Dr. Ok. Yulizal, Sp.PD-KGEH

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM ROYAL PRIMA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA

MEDAN

2019
Abstrak
Anemia hemolitik adalah kadar hemoglobin kurang dari nilai normal akibat kerusakan sel
eritrosit yang lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya. Berdasarkan
ada tidaknya keterlibatan imunoglobulin pada kejadian hemolisis, anemia hemolisis
dikelompokkan menjadi anemia hemolitik imun dan anemia hemolitik non imun. Penegakkan
diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pasien
mungkin mengeluh lemah, pusing, cepat capek dan sesak. Pasien mungkin juga mengeluh
kuning dan urinnya kecoklatan, meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian obat-obatan dan
terpajan toksin serta riwayat keluarga merupakan informasi penting yang harus ditanyakan saat
anamnesis. Pada laporan kasus ini, Seorang wanita berusia 30 tahun datang ke IGD Rumah Sakit
Royal Prima Medan pada 25 Oktober 2019 dengan keluhan badan kuning sejak ± 3 hari yang
lalu. Pasien mengeluhkan nyeri ulu hati yang dirasakan ± 3 hari yang lalu, mual (+), muntah (+)
sejak ± 3 hari yang lalu. Pasien mengatakan terjadi perubahan urin menjadi berwarna hitam
dialami sejak ± 4 hari yang lalu. Pasien juga berkata sempat mengalami demam (+) sejak ± 2 hari
yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Pasien menyangkal sesak (-), batuk (-). BAK (+), BAB
(+). Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis (+), sklera ikterik (+), pembesaran
limpa (+). Pasien telah menjalani transfusi darah yang dimana hemoglobin 4,8 g/dL.
PENDAHULUAN
Anemia hemolitik adalah kadar hemoglobin kurang dari nilai normal akibat kerusakan sel
eritrosit yang lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya. Berdasarkan
ada tidaknya keterlibatan imunoglobulin pada kejadian hemolisis, anemia hemolisis
dikelompokkan menjadi : Anemia hemolitik imun, Hemolisis terjadi karena keterlibatan
antibodi yang biasanya IgG atau gM yang spesifik untuk antigen eritrosit pasien (selalu disebut
autoantibodi). Anemia hemolitik non imun, Hemolisis terjadi tanpa keterlibatan imunoglobulin
tetapi karena faktor defek molekular, abnormalitas struktur membran, faktor lingkungan yang
bukan autoantibodi seperti hipersplenisme, kerusakan mekanik eritrosit karena mikroangiopati
atau infeksi yang mengakibatkan kerusakan eritrosit tanpa mengikutsertakan mekanisme
imunologi seperti malaria, babesiosis, dan klostridium. Penegakkan diagnosis anemia hemolisis
memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pasien mungkin mengeluh lemah,
pusing, cepat capek dan sesak. Pasien mungkin juga mengeluh kuning dan urinnya kecoklatan,
meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian obat-obatan dan terpajan toksin serta riwayat keluarga
merupakan informasi penting yang harus ditanyakan saat anamnesis. Pada pemeriksaan fisis
ditemukan kulit dan mukosa kuning. Splenomegali didapati pada beberapa anemia hemolitik.
Pada anemia berat dapat ditemukan takikardia dan aliran murmur pada katup jantung. Selain hal-
hal umum yang dapat ditemukan pada anemia hemolisis di atas, perlu dicari saat anamnesis dan
pemeriksaan fisik hal-hal yang bersifat khusus untuk anemia hemolisis tertentu. Misalnya,
ditemukannya ulkus tungkai pada anemia sickle cell.

LAPORAN KASUS
Seorang wanita berusia 30 tahun datang ke IGD Rumah Sakit Royal Prima Medan pada 25
Oktober 2019 dengan keluhan badan kuning sejak ± 3 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan
nyeri ulu hati yang dirasakan ± 3 hari yang lalu, mual (+), muntah (+) sejak ± 3 hari yang lalu.
Pasien mengatakan terjadi perubahan urin menjadi berwarna hitam dialami sejak ± 4 hari yang
lalu. Pasien juga berkata sempat mengalami demam (+) sejak ± 2 hari yang lalu sebelum masuk
rumah sakit. Pasien menyangkal sesak (-), batuk (-). BAK (+), BAB (+). Pada pemeriksaan fisik
didapatkan konjungtiva anemis (+), sklera ikterik (+), pembesaran limpa (+). Pasien telah
menjalani transfusi darah yang dimana hemoglobin 4,8 g/dL.
Pasien telah menjalani beberapa pemeriksaan antara lain pemeriksaan darah lengkap, morfologi
darah tepi, liver function, urinalisa.

HEMATOLOGI
No. Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Metode
1 Hemoglobin 4.8 g/dL 12.5 - -
14.5
2 Leukosit 11.15 10³ / µL 5 - 11 -
3 Laju Endap Darah - mm/1 < 20 .
hours
4 Trombosit 208 10³ / µL 150 - -
450
5 Hematocrit 13.3 % 30.5 - -
45.0
6 Eritrosit 1.58 10^6/mm3 4.50 - -
6.50
7 MCV 84.2 µm³ 75.0 - -
95.0
8 MCH 30.2 pg/cell 27.0 - .
31.0
9 MCHC 35.9 g/dL 32.0 - .
34.0
10 RDW 26.8 % 11.50 - .
14.50
11 PDW 61.5 fL 12.0 - .
53.0
12 MPV 8.2 fL 6.50 - .
9.50
13 PCT 0.17 % 0.10 - .
0.50
14 Hitung Eosinofil 0.9 % 1-3 .
Basofil 0.5 % 0-1 .
Jenis
Monosit 4 % 2-8 .
Lekosit Neutrofil 71.3 % 50 - 70 .
Limfosit 20.9 % 20 - 40 .
LUC 2.4 % 0-4
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (25 Oktober 2019)
LIVER FUNCTION
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Metode
Bilirubin Total 8.75 mg/dL 0.2 – 1.5 -
Bilirubin Direct 1.06 mg/dL 0.0 -0.5 -
SGOT 28 U/L 0 – 31 -
SGPT 23.8 U/L 14 – 59 -
Bilirubin 7.69 mg/dL 0.0 – 1.0 -
Indirect
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (25 Oktober 2019)

TRANSFUSI DARAH
No Pemeriks Hasil Satuan Norm Metode
aan al
1 PRC/ Sel 3 Bag/kanto - -
Darah ng
Merah
2 Prosedur 3 - -
Transfusi
3 Golongan O Rhesus A/B/A -
Darah Positive B/O
4 Cross Compatible/c Compa -
Matching ocok tible/c
ocok
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (25 Oktober 2019)

HEMATOLOGI
No. Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Metode
1 Hemoglobin 9.7 g/dL 12.5 - -
14.5
2 Leukosit 9.41 10³ / µL 5 - 11 -
3 Laju Endap Darah - mm/1 hours < 20 .
4 Trombosit 185 10³ / µL 150 - 450 -
5 Hematocrit 27.3 % 30.5 - -
45.0
6 Eritrosit 3.3 10^6/mm3 4.50 - -
6.50
7 MCV 82.5 µm³ 75.0 - -
95.0
8 MCH 29.3 pg/cell 27.0 - .
31.0
9 MCHC 35.5 g/dL 32.0 - .
34.0
10 RDW 21.4 % 11.50 - .
14.50
11 PDW 55.1 fL 12.0 - .
53.0
12 MPV 8.1 fL 6.50 - .
9.50
13 PCT 0.15 % 0.10 - .
0.50
14 Hitung Eosinofil 0.3 % 1-3 .
Basofil 0.3 % 0-1 .
Jenis
Monosit 1.2 % 2-8 .
Lekosit Neutrofil 88 % 50 - 70 .
Limfosit 9.3 % 20 - 40 .
LUC 0.9 % 0-4
Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (26 Oktober 2019)

RENAL FUNCTION

No Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Metode

1 URINE ROUTINE.

Warna Kuning - Kuning

Kekeruhan Jernih - Jernih

Berat Jenis 1.005 - 1.005-1.030 -

PH 6 - 4.5-8.0

Glucosa Negative - Negative -

Bilirubin Negative - Negative -

Keton Negative - Negative -

Protein Negative - Negative -


Urobilinogen 2 E.U/dl 0.1-1.0 -

Nitrit Negative - Negative -

Blood Negative - Negative -

Leucocyt Negative Negative -

2 URINE SEDIMENT

Eritrosit 0-1 /lbp 0-1 -

Leucocyt 0-1 /lbp 0-3 -

Sel Epitel 0-1 /lbp <6 -

Silinder Negative /lpk Negative -

Kristal Negative Negative -

Lain-lain Negative Negative -

Tabel 5. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (26 Oktober 2019)

HEMATOLOGI
No Pemeriksaan Hasil Satuan Norma Metode
l
1 Gambaran Leukosit Bentuk normal, jumlah -
Darah normal
Trombosit Bentuk normal, jumlah 0
Tepi
normal
Eritrosit Nomokrom normositer, 0
anisopoikilositosis (+),
spherosit (+), ovalosit
(+), target cell (+), sickle
cell (+), helmet cell (+),
jumlah berkurang
Tabel 6. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (27 Oktober 2019)
Saat di Ruangan, pasien didapatkan kesadaran composmentis, tekanan darah 110/60 mmHg,
Frekuensi Nadi 84x/I, Respiratory Rate 22x/I, Temprature 37,0ºC, Berat Badan 54 kg, dan
Tinggi Badan 160 cm. Hasil pemeriksaan fisis didapatkan konjungtiva anemis, sclera ikterik,
epigastric pain dan splenomegaly. Hasil pemeriksaan laboratorium dapat di lihat pada tabel.
Penanganan di IGD diberikan IVFD KaEn 3b 20 gtt/I, Inj. Ondansetron 4 mg/8 jam, Inj.
Ranitidine 1 mg.
Kemudian pasien di follow up selama beberapa hari. Hasil Follow Up (Tabel 7).

Hari/Tanggal S O A P

Senin, - Badan Kuning (+) - TD : 90/60 Anemia - IVFD KaEn 3b 20


28/10/19 - Nyeri epigastric (+) mmHg Hemolitik gtt/i
- Mual (+) - HR : 65 x/i - Inj. Ketorolac 1
- Muntah (+) - RR : 24 x/i amp/8 jam
- BAB (+) - T : 36,0ºC - Inj.
- BAK (+) warna : Methylprednisolon 1
hitam amp/8 jam
- Cetirizine 2x1
- Omeprazole 2x20 mg
Selasa, - Badan Kuning (+) - TD : 110/70 Anemia - IVFD KaEn 3b 20
29/10/19 - Nyeri epigastric (+) mmHg Hemolitik gtt/i
- Mual (-) - HR : 80 x/i + - Inj. Ketorolac 1
- Muntah (-) - RR : 22 x/i GE Akut amp/8 jam
- BAB (+) mencret (+) - T : 36,7ºC - Inj.
frek. ≥ 3x, air>ampas Methylprednisolon 1
- BAK (+) warna : amp/8 jam
kecoklatan - Cetirizine 2x1
- Omeprazole 2x20 mg
Rabu, - Badan Kuning (+) - TD : 110/70 Anemia - IVFD KaEn 3b 20
30/10/19 - Nyeri epigastric (+) mmHg Hemolitik gtt/i
- Mual (-) - HR : 76 x/i + - Inj. Ketorolac 1
- Muntah (-) - RR : 20 x/i GE Akut amp/8 jam
- BAB (+) mencret (+) - T : 36,0ºC - Inj.
frek. ≥ 3x, air>ampas Methylprednisolon 1
- BAK (+) amp/8 jam
- Cetirizine 2x1
- Omeprazole 2x20 mg
- New Diaform 3x1
- Cotrimoxazole 2x2
Kamis, - Badan Kuning (-) - TD : 100/70 Anemia - Methylprednisolone
31/10/19 - Nyeri epigastric (-) mmHg Hemolitik 3x4 mg
- Mual (-) - HR : 64 x/i - Asam Folat 1x1
- Muntah (-) - RR : 20 x/i - Domperidone 3x10
- BAB (+) - T : 36,8ºC mg
- BAK (+)
Tabel 7. Follow Up Pasien

PEMBAHASAN
Anemia hemolitik adalah kadar hemoglobin kurang dari nilai normal akibat
kerusakan sel eritrosit yang lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya.
Pada prinsipnya anemia hemolitik dapat terjadi karena: 1). defek molekular: hemoglobinopati
atau enzimopati; 2). abnormalitas struktur dan fungsi membran-membran; 3). faktor lingkungan
seperti trauma mekanik atau autoantibodi.
Berdasarkan ada tidaknya keterlibatan imunoglobulin pada kejadian hemolisis,
anemia hemolisis dikelompokkan menjadi:
 Anemia hemolitik imun. Hemolisis terjadi karena keterlibatan antibodi yang biasanya IgG
atau gM yang spesifik untuk antigen eritrosit pasien (selalu disebut autoantibodi).
 Anemia hemolitik non imun. Hemolisis terjadi tanpa keterlibatan imunoglobulin tetapi
karena faktor defek molekular, abnormalitas struktur membran, faktor lingkungan yang
bukan autoantibodi seperti hipersplenisme, kerusakan mekanik eritrosit karena
mikroangiopati atau infeksi yang mengakibatkan kerusakan eritrosit tanpa mengikutsertakan
mekanisme imunologi seperti malaria, babesiosis, dan klostridium. Pada bagian ini yang
dibahas hanya anemia hemolisis non imun yang bukan disebabkan oleh thalasemia dan
hemoglobinopati lain.
Hemolisis dapat terjadi intravaskular dan ekstravaskular. Hal ini tergantung pada
patologi yang mendasari suatu penyakit. Pada hemolisis intravaskular, destruksi eritrosit terjadi
langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma mekanik, fiksasi komplemen dan aktivasi sel
permukaan atau infeksi yang langsung mendegradasi dan mendestruksi membran sel eritrosit.
Hemolisis intravaskular jarang terjadi. Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis
ekstravaskular. Pada hemolisis ekstravaskular destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem
retikuloendotelial karena sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak dapat
melintasi sistem retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.
Penegakkan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan
fisis yang teliti. Pasien mungkin mengeluh lemah, pusing, cepat capek dan sesak. Pasien
mungkin juga mengeluh kuning dan urinnya kecoklatan, meski jarang terjadi. Riwayat
pemakaian obat-obatan dan terpajan toksin serta riwayat keluarga merupakan informasi penting
yang harus ditanyakan saat anamnesis. Pada pemeriksaan fisis ditemukan kulit dan mukosa
kuning. Splenomegali didapati pada beberapa anemia hemolitik. Pada anemia berat dapat
ditemukan takikardia dan aliran murmur pada katup jantung. Selain hal-hal umum yang dapat
ditemukan pada anemia hemolisis di atas, perlu dicari saat anamnesis dan pemeriksaan fisik hal-
hal yang bersifat khusus untuk anemia hemolisis tertentu. Misalnya, ditemukannya ulkus tungkai
pada anemia sickle cell.
Anemia Hemolitik Imun
Anemia hemolitik imun {autoimmune hemolytic anemia = AIHA / AHA) merupakan
suatu kelainan di mana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga eritrosit mudah
lisis dan umur eritrosit memendek. Meskipun umur eritrosit pada orang dewasa berkisar 120
hari namun disepakati bahwa umur eritrosit memendek adalah kurang dari 100 hari. Jadi
untuk timbulnya AIHA diperlukan adanya antibodi dan proses destruksi eritrosit.
Dilaporkan insidens anemia hemolitik imun sebesar 0.8/100.000/tahun dan
prevalensinya sebesar 17/100.000.
Gejala dan tanda anemia hemolitik antara lain Lemas, mudah capek, sesak napas
adalah gejala yang sering dikeluhkan oleh penderita anemia hemolitik. Tanda klinis yang
sering dilihat adalah konjungtiva pucat, sklera berwarna kekuningan, splenomegali, urin
berwarna merah gelap. Tanda laboratorium yang dijumpai adalah anemia normositik,
retikulositosis, peningkatan lactate dehydrogenase, peningkatan serum haptoglobulin, dan
Direct Antiglobulin Test menunjukkan hasil positif.
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi
karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit
autoreaktif residual. Fungsi T regulatory CD4+CD2S+ yang intak mampu mencegah
timbulnya autoantibodi. Suatu percobaan dengan menggunakan model Marshal Clarke and
Playfair hewan coba murin AIHA digunakan untuk melihat etiologi anemia hemolitik imun
dan peran dari Tregulatory. Hewan coba mencit diimunisasi berulang dengan eritrosit tikus
sehingga akan timbul autoantibodi mencit terhadap eritrosit yang sesuai dengan aloantibodi
spesifik pada tikus. Pada mencit yang sel T CD4 + CD25+ berkurang (karena telah diberikan
anti- CD25 antibodi sebelum imunisasi dengan eritrosit tikus) akan mengalami anemia
hemolik imun 60% lebih banyak dibandingkan mencit yang tidak mendapat antibodi anti-
CD 25. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa T regulatory (CD4+CD25+) berperan
dalam mengendalikan induksi anemia hemolitik imun.
Sebagian besar anemia hemolitik autoimun adalah penyakit sekunder akibat penyakit
virus, penyakit autoimun lain, keganasan atau karena obat. Beberapa penyakit yang disertai
dengan AIHA adalah leukemia limfositik kronik, limfoma non Hodgkin, gamopati IgM,
limfoma Hodgkin, tumor solid, kista dermoid ovarium, SLE, kolitis ulseratif, Common
Variable Immune Deficiency, Autoimmune Lymphoproliferative Disease, setelah terapi
transplantasi sel punca alogenik, pasca transplantasi organ.Beberapa jenis obat yang
digunakan pada kasus leukemia limfositik kronik bisa menginduksi AIHA, begitu pula
interferon-a, levofloksasin, lenalidomid dan juga transfusi darah.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis sistematis mengenai adanya rasa lelah,
mudah mengantuk, sesak napas, cepatnya perlangsungan gejala, riwayat pemakaian obat,
dan riwayat sakit sebelumnya. Pemeriksaan fisik didapatkan pucat, ikterik, splenomegali,
dan hemoglobinuri. Pemeriksaan fisik juga dilakukan untuk mencari kemungkinan penyakit
primer yang mendasari AIHA. Pemeriksaan hematologi menunjukkan adanya kadar
hemoglobin yang rendah (biasanya sekitar 7-10 g/dl), MCV normal atau meningkat,
bilirubin indirek yang meningkat, LDH meningkat, dan retikulositosis. Serum haptoglobin
tidak secara rutin dilakukan di Indonesia. Morfologi darah tepi menunjukkan adanya proses
fragmentasi pada eritrosit (sferosit, skistosit, helmet cell dan retikulosit). Direct Antiglobulin
Tesf menunjukkan hasil positif pada AIHA.
Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit antara lain Direct Antiglobulin
Test (direct Coomb's test) dan Indirect Antiglobulin Test (indirect Coomb's test).
Anemia Hemolitik Imun dapat diklasifikasikan sebagai berikut: AIHA tipe hangat, AIHA
tipe dingin, Anemia Hemolitik Imun Diinduksi Obat, dan Anemia Hemolitik Aloimun
karena Transfusi.
 AIHA tipe hangat
Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana autoantibodi bereaksi
secara optimal pada suhu 37°C. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai
penyakit lain.
Onset penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik, dan
demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri
abdomen, dan anemia berat. Urin berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuri. Ikterik
terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik splenomegali terjadi pada 50-60%,
hepatomegali terjadi pada 30%, dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25%
pasien tidak disertai pembesaran organ dan limfonodi.
Hemoglobin sering dijumpai di bawah 7 g/dl. Pemeriksaan Coomb direk
biasanya positif. Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat
dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi
dengan semua sel eritrosit normal. Autoantiodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan
antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh.

 AIHA tipe dingin


Terjadinya hemolisis diperantarai antibodi dingin yaitu aglutinin dingin dan
antibodi Donath-Landstainer. Kelainan ini secara karakteristik memiliki aglutinin dingin
IgM monoklonal. Spesifisitas aglutinin dingin adalah terhadap antigen I/i. Sebagian
besar IgM yang punya spesifisitas terhadap anti-I memiliki VH4-34. Pada umumnya
aglutinin tipe dingin ini terdapat pada titer yang sangat rendah, dan titer ini akan
meningkat pesat pada fase penyembuhan infeksi. Antigen I/i bertugas sebagai reseptor
mikoplasma yang akan meyebabkan perubahan presentasi antigen dan menyebabkan
produksi autoantibodi. Pada limfoma sel B, aglutinin dingin ini dihasilkan oleh sel
limfoma. Aglutinin tipe dingin akan berikatan dengan sel darah merah dan terjadi lisis
langsung dan fagositosis.
Gambaran klinis yang dapat ditemui adalah sering terjadi aglutinisasi pada
suhu dingin. Hemolisis berjalan kronik. Anemia biasanya ringan dengan Hb: 9-12 g/dl.
Sering didapatkan akrosianosis, dan splenomegaly.
Hasil laboratorium anemia ringan, sferositosis, polikromatosia, tes Coombs
positif, anti-I, anti-I, anti -Pr, anti- M, atau anti-P.
 Anemia Hemolitik Imun Diinduksi Obat
Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis karena obat yaitu:
hapten/penyerapan obat yang meiibatkan antibodi tergantung obat, pembentukan
kompleks ternary (mekanisme kompleks imun tipe innocent bystander), induksi
autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit tanpa ada lagi obat pemicu, serta oksidasi
hemoglobin. Penyerapan/adsorpsi protein nonimunologis terkait obat akan
menyebabkan tes Coomb positif tanpa kerusakan eritrosit.
Pada mekanisme hapten/adsorpsi obat, obat akan melapisi eritrosit.dengan
kuat. Antibodi terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan obat pada permukaan
eritrosit. Eritrosit yang teropsonisasi oleh obat tersebut akan dirusak di limpa. Antibodi
ini bila dipisahkan dari eritrosit hanya bereaksi dengan reagen yang mengandung
eritrosit berlapis obat yang sama (misal penisilin).
Mekanisme pembentukan kompleks ternary meiibatkan obat atau metabolit
obat, tempat ikatan obat permukaan sel target, antibodi, dan aktivasi komplemen.
Antibodi melekat pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat
dan sel target tersebut lemah, dan antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada
obat ataupun membran eritrosit. Beberapa antibodi tersebut memiliki spesifisitas
terhadap antigen golongan darah tertentu seperti Rh, Kell, Kidd, atau I/i. Pemeriksaan
Coomb biasanya positif Setelah aktivasi komplemen terjadi hemolisis intravaskular,
hemoglobinemia dan hemoglobinuri. Mekanisme ini terjadi pada hemolisis akibat obat
kinin, kuinidin, sulfonamid, sulfonilurea, dan tiazid.
Banyak obat menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap eritrosit autolog,
seperti contoh metildopa. Metildopa yang bersirkulasi dalam plasma akan menginduksi
autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh pada permukaan sel darah merah. Jadi yang
melekat pada permukaan sel darah merah adalah autoantibodi, obat tidak melekat.
Mekanisme bagaimana induksi formasi autoantibodi ini tidak diketahui.
Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif Oleh karena hemoglobin
mengikat oksigen maka bisa mengalami oksidasi dan mengalami kerusakan akibat zat
oksidatif Eritrosit yang tua makin mudah mengalami trauma oksidatif Tanda hemolisis
karena proses oksidasi adalah dengan ditemukannya methemeglobin, sulfhemoglobin,
dan Heinz bodies, blister cell, bites cell dan eccentrocytes. Contoh obat yang
menyebabkan hemolisis oksidatif ini adalah nitrofurantoin, phenazopyridin,
aminosalicylic acid.
Pasien yang mendapat terapi sefalosporin biasanya tes Coomb positif karena
adsorpsi nonimunologis, immunoglobulin, komplemen, albumin, fibrinogen dan plasma
protein lain pada membran eritrosit.
Gambaran klinis: riwayat pemakaian obat tertentu positif Pasien yang timbul
hemolisis melalui mekanisme hapten atau autoantibodi biasanya bermanifestasi sebagai
hemolisis ringan sampai sedang. Bila kompleks ternary yang berperan maka hemolisis
akan terjadi secara berat, mendadak dan disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah pernah
terpapar obat tersebut, maka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemaparan dengan dosis
tunggal.
Hasil laboratorium didapatkan anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes Coomb
positif. Leukopenia, trombositopenia, hemoglobinemia, hemoglobinuria sering terjadi
pada hemolisis yang diperantarai kompleks ternary.

 Anemia Hemolitik Aloimun karena Transfusi


Hemolisis aloimun yang paling berat adalah reaksi transfusi akut yang
disebabkan karena ketidaksesuaian ABO eritrosit (sebagai contoh transfusi PRC
golongan A pada penderita golongan darah O yang memiliki antibodi IgM anti -A pada
serum) yang akan memicu aktivasi komplemen dan terjadi hemolisis intravaskular yang
akan menimbulkan Die dan infark ginjal. Dalam beberapa menit pasien akan sesak
napas, demam,nyeri pinggang, menggigil, mual, muntah, dan syok. Reaksi transfusi tipe
lambat terjadi 3-10 hari setelah transfusi, biasanya disebabkan karena adanya antibodi
dalam kadar rendah terhadap antigen minor eritrosit. Setelah terpapar dengan sel-sel
antigenik, antibodi tersebut meningkat pesat kadarnya dan menyebabkan hemolisis
ekstravaskular.

Anemia Hemolitik Non Imun


Anemia hemolitik non imun terdiri dari
- Defisiensi G6PD
Defisiensi enzim ini paling sering mengakibatkan hemolisis. Enzim ini dikode oleh gen
yang terletak di kromosom X sehingga defisiensi G6PD lebih sering mengenai laki-laki.
Pada perempuan biasanya carrier dan asimptomatik. Di seluruh dunia, terdapat lebih
dari 400 varian G6PD. Berbagai varian ini terjadi karena adanya perubahan subtitusi
basa berupa peggantian asam amino. Banyaknya varian ini menimbulkan variasi
manifestasi klinik lebar, mulai dari hanya anemia hemolitik nonsferositik tanpa stres
oksidan, anemia hemolitik yang hanya terjadi ketika distimulasi dengan stres oksidan
ringan, sampai pada abnormalitas yang tidak terdeteksi secara klinis. G6PD normal
disebut tipe B. Diantara varian G6PD yang bermakna secara klinik adalah tipe A-. Tipe
ini terutama ditemukan pada orang keturunan Afrika. Tipe Mediteranian relatif sering
ditemukan diantara orang Mediteranian asli, dan lebih berat dari varian A- karena dapat
mengakibatkan anemia hemolitik nonsferositik tanpa adanya stres oksidatif yang jelas.
- Defek Jalur Embden Meyerhof
Enzim yang dapat terganggu pada jalur ini dan mengakibatkan anemia hemolisis adalah
piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase dan fosfogliserat kinase. Yang terbanyak
adalah defisiensi piruvat kinase (95%). Sedangkan defisiensi glukosa fosfat isomerase
hanya sekitar 4%. Defek enzim glikolisis ini bisanya diturunkan secara autosomal
resesif kecuali fosfogliserat kinase yang diturunkan terkait seks. Kelainan ini
mengakibatkan eritrosit kekurangan ATP dan ion kalium keluar sel. Sel eritrosit
menjadi kaku dan lebih cepat disekuestrasi oleh sistem fagosit mononuklir. Defisiensi
piruvat kinase hanya mengenai sel eritrosit, sedangkan defisiensi glukosa fosfat
isomerase dan fosfogliserat kinasejuga mengenai sel leukosit meskipun tidak
mempengaruhi fungsi leukosit.
- Hemolysis Mikroangiopatik
Pada hemolisis mikroangiopatik terjadi kerusakan membran sel eritrosit secara mekanik
dalam sirkulasi darah karena adanya fibrin atau mikrotombi trombosit yang tertimbun di
arteriol. Sel eritrosit terperangkap dalam jala-jala fibrin dan mengakibatkan
terfragmentasinya sel eritrosit. Hemolisis mikroangiopatik dapat terjadi pada
abnormalitas dinding pembuluh darah, misalnya pada hipertensi maligna, ekiampsia,
rejeksi allograft ginjal, kanker diseminata, hemangioma atau disseminated intravascular
coagulation (DIC), dan mikroangiopati trombotik: Trombotic Thrombocytopenia
Purpura (TTP) dan Hemolytic Uremic Syndrome (HUS).
- Thrombotic Trombocytopenia Purpura (TTP)
Kelainan ini ditandai dengan agregasi trombosit pada arteriol berbagai organ yang
mengakibatkan trombositopenia dan memicu kerusakan sel eritrosit yang mengalami
fragmentasi {schistocytes atau sel helmet). Agregasi trombosit dapat mengakibatkan
oklusi baik parsial atau total sehingga terjadi disfungsi organ yang biasanya terjadi pada
sistem saraf atau ginjal. Oklusi ini menyebabkan jaringan iskemia atau nekrotik
sehingga meningkatkan kadar laktat dehidrogenase. Adapun eritrosit yang mengalami
fragmentasi terjadi karena adanya aliran darah melalui area turbulen dari mikrosirkulasi
mengalami oklusi parsial karena agregasi trombosit. TTP dapat terjadi pada semua usia
terutama dewasa muda dan lebih sering perempuan.
- Hemolytic Uremic Syndrome (HUS)
HUS terjadi pada 9-30% anak-anak. Di Buenos Aires Argentina, dan Calgary Canada,
infeksi enterohemoragik E. Coli endemik dan HUS menjadi sebab umum gagal ginjal
akut pada anak-anak. Biasanya diawali dengan diare berdarah yang disebabkan oleh
Eschericia Coli 0157:H7 yang menghasilkan toksin Shiga 1 dan 2 dan Shigela
dysentriae yang menghasilkan toksin Shiga, yang sering mengkotaminasi daging, susu,
dan keju yang tidak dimasak dengan matang. Diare berdarah biasanya terjadi satu
minggu sebelum HUS. Toksin shiga masuk ke dalam sirkulasi intestinal dan berjalan di
dalam plasma dan permukaan trombosit atau monosit. Toksin berikatan dengan molekul
endotel kapiler glomerular, sel mesangial, dan sel epitel glomerular dan tubular, yang
kemudian merusak endotel sel melalui pembentukan faktor von Wilebrand multimer
besar yang tidak biasa. HUS bisa familial tapi jarang (5-10%). Meski jarang, mortalitas
HUS familial lebih tinggi (54%) daripada HUS pada anak-anak (5%). Sebagian besar
pasien HUS familial mengalami defisiensi atau defek faktor komplemen H yang
bertugas mencegah kerusakan sel melalui jalur alternatif komplemen. Defek faktor H ini
terjadi karena adanya mutasi pada gen faktor H yang dapat diturunkan secara resesif dan
dominan. Herediter resesif bermanifestasi HUS pada dewasa muda sedangkan herediter
dominan bermanifestasi HUS dipresipitasi oleh infeksi atau kehamilan. Di samping dua
tipe di atas, ditemukan juga HUS yang terjadi pada pasien yang diterapi dengan obat
antikanker mitomycin C, bisanya dalam kombinasi dengan obat lain dan pasien yang
menerima kemoterapi dosis tinggi dengan transplantasi sumsum tulang autologus.
- Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID)
Lebih jarang menimbulkan anemia karena derajat hemolisinya lebih sedikit
dibandingkan dengan TTP dan HUS. KID terjadi karena aktivasi sistem koagulasi yang
tidak sesuai yang dipicu deposisi fibrin pada dinding pembuluh darah kecil yang dapat
menyebabkan fragmentasi eritrosit pada seperempat pasien KID. Terapi sesuai terapi
KID dan sebab yang mendasarinya.
- Sferositosis Herediter
Sferositosis herediter merupakan kelompok kelainan sel darah merah dengan gambaran
eritrosit bulat seperti donat dengan fragilitas osmotik yang meningkat. Sferositosis
herediter merupakan kelainan autosom dominan dengan insiden 1:1000 sampai 1:4500
penduduk. Pada lebih kurang 20% pasien penyakit ini merupakan kelainan autosom
resesif yang diturunkan dan mutasi genetik spontan.
- Malaria
Pada infeksi malaria, derajat anemia yang terjadi tidak sesuai dengan rasio jumlah sel
yang terinfeksi, namun penyebabnya masih belum jelas. Fragilitas osmotik pada sel
yang tidak terinfeksi maupun yang terinfeksi mengalami peningkatan. Penghancuran
eritrosit pada infeksi malaria disebabkan lisisnya eritrosit akibat infeksi langsung,
peningkatan proses penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan proses
otoimun. Namun tidak satupun mekanisme di atas yang dapat menjelaskan terjadinya
anemia berat pada malaria. Proses penghancuran sel darah merah sebagian besar
berlangsung di limpa. Splenopmegali merupakan gejala yang sering dijumpai pada
infeksi malaria kronik.

SIMPULAN
Pada laporan kasus ini pasien mengalami anemia hemolitik imun yang dimana termasuk dalam
kategori AIHA tipe hangat. Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana autoantibodi
bereaksi secara optimal pada suhu 37°C. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai
penyakit lain. Autoantiodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit
pasien sendiri, biasanya antigen Rh.

Anda mungkin juga menyukai