ANEMIA HEMOLITIK
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
Pembimbing :
Dr. Ok. Yulizal, Sp.PD-KGEH
FAKULTAS KEDOKTERAN
MEDAN
2019
Abstrak
Anemia hemolitik adalah kadar hemoglobin kurang dari nilai normal akibat kerusakan sel
eritrosit yang lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya. Berdasarkan
ada tidaknya keterlibatan imunoglobulin pada kejadian hemolisis, anemia hemolisis
dikelompokkan menjadi anemia hemolitik imun dan anemia hemolitik non imun. Penegakkan
diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pasien
mungkin mengeluh lemah, pusing, cepat capek dan sesak. Pasien mungkin juga mengeluh
kuning dan urinnya kecoklatan, meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian obat-obatan dan
terpajan toksin serta riwayat keluarga merupakan informasi penting yang harus ditanyakan saat
anamnesis. Pada laporan kasus ini, Seorang wanita berusia 30 tahun datang ke IGD Rumah Sakit
Royal Prima Medan pada 25 Oktober 2019 dengan keluhan badan kuning sejak ± 3 hari yang
lalu. Pasien mengeluhkan nyeri ulu hati yang dirasakan ± 3 hari yang lalu, mual (+), muntah (+)
sejak ± 3 hari yang lalu. Pasien mengatakan terjadi perubahan urin menjadi berwarna hitam
dialami sejak ± 4 hari yang lalu. Pasien juga berkata sempat mengalami demam (+) sejak ± 2 hari
yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Pasien menyangkal sesak (-), batuk (-). BAK (+), BAB
(+). Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis (+), sklera ikterik (+), pembesaran
limpa (+). Pasien telah menjalani transfusi darah yang dimana hemoglobin 4,8 g/dL.
PENDAHULUAN
Anemia hemolitik adalah kadar hemoglobin kurang dari nilai normal akibat kerusakan sel
eritrosit yang lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya. Berdasarkan
ada tidaknya keterlibatan imunoglobulin pada kejadian hemolisis, anemia hemolisis
dikelompokkan menjadi : Anemia hemolitik imun, Hemolisis terjadi karena keterlibatan
antibodi yang biasanya IgG atau gM yang spesifik untuk antigen eritrosit pasien (selalu disebut
autoantibodi). Anemia hemolitik non imun, Hemolisis terjadi tanpa keterlibatan imunoglobulin
tetapi karena faktor defek molekular, abnormalitas struktur membran, faktor lingkungan yang
bukan autoantibodi seperti hipersplenisme, kerusakan mekanik eritrosit karena mikroangiopati
atau infeksi yang mengakibatkan kerusakan eritrosit tanpa mengikutsertakan mekanisme
imunologi seperti malaria, babesiosis, dan klostridium. Penegakkan diagnosis anemia hemolisis
memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pasien mungkin mengeluh lemah,
pusing, cepat capek dan sesak. Pasien mungkin juga mengeluh kuning dan urinnya kecoklatan,
meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian obat-obatan dan terpajan toksin serta riwayat keluarga
merupakan informasi penting yang harus ditanyakan saat anamnesis. Pada pemeriksaan fisis
ditemukan kulit dan mukosa kuning. Splenomegali didapati pada beberapa anemia hemolitik.
Pada anemia berat dapat ditemukan takikardia dan aliran murmur pada katup jantung. Selain hal-
hal umum yang dapat ditemukan pada anemia hemolisis di atas, perlu dicari saat anamnesis dan
pemeriksaan fisik hal-hal yang bersifat khusus untuk anemia hemolisis tertentu. Misalnya,
ditemukannya ulkus tungkai pada anemia sickle cell.
LAPORAN KASUS
Seorang wanita berusia 30 tahun datang ke IGD Rumah Sakit Royal Prima Medan pada 25
Oktober 2019 dengan keluhan badan kuning sejak ± 3 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan
nyeri ulu hati yang dirasakan ± 3 hari yang lalu, mual (+), muntah (+) sejak ± 3 hari yang lalu.
Pasien mengatakan terjadi perubahan urin menjadi berwarna hitam dialami sejak ± 4 hari yang
lalu. Pasien juga berkata sempat mengalami demam (+) sejak ± 2 hari yang lalu sebelum masuk
rumah sakit. Pasien menyangkal sesak (-), batuk (-). BAK (+), BAB (+). Pada pemeriksaan fisik
didapatkan konjungtiva anemis (+), sklera ikterik (+), pembesaran limpa (+). Pasien telah
menjalani transfusi darah yang dimana hemoglobin 4,8 g/dL.
Pasien telah menjalani beberapa pemeriksaan antara lain pemeriksaan darah lengkap, morfologi
darah tepi, liver function, urinalisa.
HEMATOLOGI
No. Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Metode
1 Hemoglobin 4.8 g/dL 12.5 - -
14.5
2 Leukosit 11.15 10³ / µL 5 - 11 -
3 Laju Endap Darah - mm/1 < 20 .
hours
4 Trombosit 208 10³ / µL 150 - -
450
5 Hematocrit 13.3 % 30.5 - -
45.0
6 Eritrosit 1.58 10^6/mm3 4.50 - -
6.50
7 MCV 84.2 µm³ 75.0 - -
95.0
8 MCH 30.2 pg/cell 27.0 - .
31.0
9 MCHC 35.9 g/dL 32.0 - .
34.0
10 RDW 26.8 % 11.50 - .
14.50
11 PDW 61.5 fL 12.0 - .
53.0
12 MPV 8.2 fL 6.50 - .
9.50
13 PCT 0.17 % 0.10 - .
0.50
14 Hitung Eosinofil 0.9 % 1-3 .
Basofil 0.5 % 0-1 .
Jenis
Monosit 4 % 2-8 .
Lekosit Neutrofil 71.3 % 50 - 70 .
Limfosit 20.9 % 20 - 40 .
LUC 2.4 % 0-4
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (25 Oktober 2019)
LIVER FUNCTION
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Metode
Bilirubin Total 8.75 mg/dL 0.2 – 1.5 -
Bilirubin Direct 1.06 mg/dL 0.0 -0.5 -
SGOT 28 U/L 0 – 31 -
SGPT 23.8 U/L 14 – 59 -
Bilirubin 7.69 mg/dL 0.0 – 1.0 -
Indirect
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (25 Oktober 2019)
TRANSFUSI DARAH
No Pemeriks Hasil Satuan Norm Metode
aan al
1 PRC/ Sel 3 Bag/kanto - -
Darah ng
Merah
2 Prosedur 3 - -
Transfusi
3 Golongan O Rhesus A/B/A -
Darah Positive B/O
4 Cross Compatible/c Compa -
Matching ocok tible/c
ocok
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (25 Oktober 2019)
HEMATOLOGI
No. Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Metode
1 Hemoglobin 9.7 g/dL 12.5 - -
14.5
2 Leukosit 9.41 10³ / µL 5 - 11 -
3 Laju Endap Darah - mm/1 hours < 20 .
4 Trombosit 185 10³ / µL 150 - 450 -
5 Hematocrit 27.3 % 30.5 - -
45.0
6 Eritrosit 3.3 10^6/mm3 4.50 - -
6.50
7 MCV 82.5 µm³ 75.0 - -
95.0
8 MCH 29.3 pg/cell 27.0 - .
31.0
9 MCHC 35.5 g/dL 32.0 - .
34.0
10 RDW 21.4 % 11.50 - .
14.50
11 PDW 55.1 fL 12.0 - .
53.0
12 MPV 8.1 fL 6.50 - .
9.50
13 PCT 0.15 % 0.10 - .
0.50
14 Hitung Eosinofil 0.3 % 1-3 .
Basofil 0.3 % 0-1 .
Jenis
Monosit 1.2 % 2-8 .
Lekosit Neutrofil 88 % 50 - 70 .
Limfosit 9.3 % 20 - 40 .
LUC 0.9 % 0-4
Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (26 Oktober 2019)
RENAL FUNCTION
1 URINE ROUTINE.
PH 6 - 4.5-8.0
2 URINE SEDIMENT
HEMATOLOGI
No Pemeriksaan Hasil Satuan Norma Metode
l
1 Gambaran Leukosit Bentuk normal, jumlah -
Darah normal
Trombosit Bentuk normal, jumlah 0
Tepi
normal
Eritrosit Nomokrom normositer, 0
anisopoikilositosis (+),
spherosit (+), ovalosit
(+), target cell (+), sickle
cell (+), helmet cell (+),
jumlah berkurang
Tabel 6. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (27 Oktober 2019)
Saat di Ruangan, pasien didapatkan kesadaran composmentis, tekanan darah 110/60 mmHg,
Frekuensi Nadi 84x/I, Respiratory Rate 22x/I, Temprature 37,0ºC, Berat Badan 54 kg, dan
Tinggi Badan 160 cm. Hasil pemeriksaan fisis didapatkan konjungtiva anemis, sclera ikterik,
epigastric pain dan splenomegaly. Hasil pemeriksaan laboratorium dapat di lihat pada tabel.
Penanganan di IGD diberikan IVFD KaEn 3b 20 gtt/I, Inj. Ondansetron 4 mg/8 jam, Inj.
Ranitidine 1 mg.
Kemudian pasien di follow up selama beberapa hari. Hasil Follow Up (Tabel 7).
Hari/Tanggal S O A P
PEMBAHASAN
Anemia hemolitik adalah kadar hemoglobin kurang dari nilai normal akibat
kerusakan sel eritrosit yang lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya.
Pada prinsipnya anemia hemolitik dapat terjadi karena: 1). defek molekular: hemoglobinopati
atau enzimopati; 2). abnormalitas struktur dan fungsi membran-membran; 3). faktor lingkungan
seperti trauma mekanik atau autoantibodi.
Berdasarkan ada tidaknya keterlibatan imunoglobulin pada kejadian hemolisis,
anemia hemolisis dikelompokkan menjadi:
Anemia hemolitik imun. Hemolisis terjadi karena keterlibatan antibodi yang biasanya IgG
atau gM yang spesifik untuk antigen eritrosit pasien (selalu disebut autoantibodi).
Anemia hemolitik non imun. Hemolisis terjadi tanpa keterlibatan imunoglobulin tetapi
karena faktor defek molekular, abnormalitas struktur membran, faktor lingkungan yang
bukan autoantibodi seperti hipersplenisme, kerusakan mekanik eritrosit karena
mikroangiopati atau infeksi yang mengakibatkan kerusakan eritrosit tanpa mengikutsertakan
mekanisme imunologi seperti malaria, babesiosis, dan klostridium. Pada bagian ini yang
dibahas hanya anemia hemolisis non imun yang bukan disebabkan oleh thalasemia dan
hemoglobinopati lain.
Hemolisis dapat terjadi intravaskular dan ekstravaskular. Hal ini tergantung pada
patologi yang mendasari suatu penyakit. Pada hemolisis intravaskular, destruksi eritrosit terjadi
langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma mekanik, fiksasi komplemen dan aktivasi sel
permukaan atau infeksi yang langsung mendegradasi dan mendestruksi membran sel eritrosit.
Hemolisis intravaskular jarang terjadi. Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis
ekstravaskular. Pada hemolisis ekstravaskular destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem
retikuloendotelial karena sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak dapat
melintasi sistem retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.
Penegakkan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan
fisis yang teliti. Pasien mungkin mengeluh lemah, pusing, cepat capek dan sesak. Pasien
mungkin juga mengeluh kuning dan urinnya kecoklatan, meski jarang terjadi. Riwayat
pemakaian obat-obatan dan terpajan toksin serta riwayat keluarga merupakan informasi penting
yang harus ditanyakan saat anamnesis. Pada pemeriksaan fisis ditemukan kulit dan mukosa
kuning. Splenomegali didapati pada beberapa anemia hemolitik. Pada anemia berat dapat
ditemukan takikardia dan aliran murmur pada katup jantung. Selain hal-hal umum yang dapat
ditemukan pada anemia hemolisis di atas, perlu dicari saat anamnesis dan pemeriksaan fisik hal-
hal yang bersifat khusus untuk anemia hemolisis tertentu. Misalnya, ditemukannya ulkus tungkai
pada anemia sickle cell.
Anemia Hemolitik Imun
Anemia hemolitik imun {autoimmune hemolytic anemia = AIHA / AHA) merupakan
suatu kelainan di mana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga eritrosit mudah
lisis dan umur eritrosit memendek. Meskipun umur eritrosit pada orang dewasa berkisar 120
hari namun disepakati bahwa umur eritrosit memendek adalah kurang dari 100 hari. Jadi
untuk timbulnya AIHA diperlukan adanya antibodi dan proses destruksi eritrosit.
Dilaporkan insidens anemia hemolitik imun sebesar 0.8/100.000/tahun dan
prevalensinya sebesar 17/100.000.
Gejala dan tanda anemia hemolitik antara lain Lemas, mudah capek, sesak napas
adalah gejala yang sering dikeluhkan oleh penderita anemia hemolitik. Tanda klinis yang
sering dilihat adalah konjungtiva pucat, sklera berwarna kekuningan, splenomegali, urin
berwarna merah gelap. Tanda laboratorium yang dijumpai adalah anemia normositik,
retikulositosis, peningkatan lactate dehydrogenase, peningkatan serum haptoglobulin, dan
Direct Antiglobulin Test menunjukkan hasil positif.
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi
karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit
autoreaktif residual. Fungsi T regulatory CD4+CD2S+ yang intak mampu mencegah
timbulnya autoantibodi. Suatu percobaan dengan menggunakan model Marshal Clarke and
Playfair hewan coba murin AIHA digunakan untuk melihat etiologi anemia hemolitik imun
dan peran dari Tregulatory. Hewan coba mencit diimunisasi berulang dengan eritrosit tikus
sehingga akan timbul autoantibodi mencit terhadap eritrosit yang sesuai dengan aloantibodi
spesifik pada tikus. Pada mencit yang sel T CD4 + CD25+ berkurang (karena telah diberikan
anti- CD25 antibodi sebelum imunisasi dengan eritrosit tikus) akan mengalami anemia
hemolik imun 60% lebih banyak dibandingkan mencit yang tidak mendapat antibodi anti-
CD 25. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa T regulatory (CD4+CD25+) berperan
dalam mengendalikan induksi anemia hemolitik imun.
Sebagian besar anemia hemolitik autoimun adalah penyakit sekunder akibat penyakit
virus, penyakit autoimun lain, keganasan atau karena obat. Beberapa penyakit yang disertai
dengan AIHA adalah leukemia limfositik kronik, limfoma non Hodgkin, gamopati IgM,
limfoma Hodgkin, tumor solid, kista dermoid ovarium, SLE, kolitis ulseratif, Common
Variable Immune Deficiency, Autoimmune Lymphoproliferative Disease, setelah terapi
transplantasi sel punca alogenik, pasca transplantasi organ.Beberapa jenis obat yang
digunakan pada kasus leukemia limfositik kronik bisa menginduksi AIHA, begitu pula
interferon-a, levofloksasin, lenalidomid dan juga transfusi darah.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis sistematis mengenai adanya rasa lelah,
mudah mengantuk, sesak napas, cepatnya perlangsungan gejala, riwayat pemakaian obat,
dan riwayat sakit sebelumnya. Pemeriksaan fisik didapatkan pucat, ikterik, splenomegali,
dan hemoglobinuri. Pemeriksaan fisik juga dilakukan untuk mencari kemungkinan penyakit
primer yang mendasari AIHA. Pemeriksaan hematologi menunjukkan adanya kadar
hemoglobin yang rendah (biasanya sekitar 7-10 g/dl), MCV normal atau meningkat,
bilirubin indirek yang meningkat, LDH meningkat, dan retikulositosis. Serum haptoglobin
tidak secara rutin dilakukan di Indonesia. Morfologi darah tepi menunjukkan adanya proses
fragmentasi pada eritrosit (sferosit, skistosit, helmet cell dan retikulosit). Direct Antiglobulin
Tesf menunjukkan hasil positif pada AIHA.
Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit antara lain Direct Antiglobulin
Test (direct Coomb's test) dan Indirect Antiglobulin Test (indirect Coomb's test).
Anemia Hemolitik Imun dapat diklasifikasikan sebagai berikut: AIHA tipe hangat, AIHA
tipe dingin, Anemia Hemolitik Imun Diinduksi Obat, dan Anemia Hemolitik Aloimun
karena Transfusi.
AIHA tipe hangat
Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana autoantibodi bereaksi
secara optimal pada suhu 37°C. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai
penyakit lain.
Onset penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik, dan
demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri
abdomen, dan anemia berat. Urin berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuri. Ikterik
terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik splenomegali terjadi pada 50-60%,
hepatomegali terjadi pada 30%, dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25%
pasien tidak disertai pembesaran organ dan limfonodi.
Hemoglobin sering dijumpai di bawah 7 g/dl. Pemeriksaan Coomb direk
biasanya positif. Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat
dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi
dengan semua sel eritrosit normal. Autoantiodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan
antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh.
SIMPULAN
Pada laporan kasus ini pasien mengalami anemia hemolitik imun yang dimana termasuk dalam
kategori AIHA tipe hangat. Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana autoantibodi
bereaksi secara optimal pada suhu 37°C. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai
penyakit lain. Autoantiodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit
pasien sendiri, biasanya antigen Rh.