Anda di halaman 1dari 40

Laporan Kasus

Perdarahan Intrakranial

Oleh:

Andreani Uria Utama Ludjen, S.Ked

206100802029

Pembimbing:

BAGIAN/SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIV. PALANGKARAYA
RSUD DR. DORIS SYLVANUS
PALANGKARAYA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan intrakranial merupakan perdarahan yang terjadi di dalam rongga

intrakranial, termasuk parenkim otak dan ruang meninges di sekitarnya.1

Perdarahan intrakranial merupakan masalah kesehatan masyarakat utama dengan

insiden tahunan sekitar 10-30 kasus per 100.000 penduduk. Sekitar 2 juta (10-15%)

dari 15 juta kasus stroke di seluruh dunia disebabkan oleh perdarahan intrakranial.

Jumlah rawat inap di rumah sakit untuk kasus ini juga mengalami peningkatan

sebesar 18% dalam 10 tahun terakhir.2 Secara keseluruhan, insiden perdarahan

intrakranial di seluruh dunia adalah 24,6 kasus per 100.000 orang per tahun. Angka

kematian dalam 30 hari berkisar antara 35% sampai 52% dengan hanya 20% orang

yang diperkirakan dapat pulih secara fungsional dalam kurun waktu 6 bulan.1 Di

Indonesia, perdarahan intrakranial menempati urutan kedua sebagai penyebab

terbanyak kasus stroke yakni perdarahan intraserebral sebesar 38,5% dan

perdarahan subaraknoid sebesar 1,4%.3

Sebuah penelitian meta-analisis berbasis populasi baru-baru ini menunjukkan

bahwa faktor risiko terjadinya perdarahan intrakranial cenderung lebih tinggi pada

jenis kelamin laki-laki, usia yang lebih tua, dan ras Asia. Perdarahan intrakranial

juga lebih sering terjadi di negara berpendapatan rendah hingga menengah

dibandingkan dengan negara berpendapatan tinggi.1

Perdarahan intrakranial merupakan keadaan darurat medis yang serius karena

penumpukan darah di dalam tengkorak dapat menyebabkan peningkatan tekanan

2
intrakranial yang dapat menghancurkan jaringan otak atau membatasi suplai darah

ke otak. Peningkatan tekanan intrakranial berat dapat berujung pada herniasi otak,

dimana bagian otak terjepit melewati struktur di tengkorak.5 Jika perdarahan

menimbulkan koma atau kesulitan bernapas, maka akan diperlukan tindakan

intubasi untuk memberi napas buatan. Pemasangan infus untuk pemberian cairan

dan obat-obatan juga diperlukan. Jika kondisi memburuk, perdarahan intrakranial

perlu mendapat pemantauan ketat di ruang perawatan intensif di rumah sakit.6

Umumnya, seseorang yang mengalami perdarahan intrakranial akan

mengalami sakit kepala parah mendadak, muntah, kebingungan (delirium), hingga

pingsan. Meski begitu, hal ini tidak selalu dialami pada setiap orang. Gejala yang

muncul tergantung pada lokasi perdarahan terjadi. Misalnya, jika bagian otak yang

berkaitan dengan penglihatan yang mengalami perdarahan, maka gejala yang

mungkin muncul adalah pasien mengalami gangguan penglihatan. Gejala lain yang

mungkin terjadi adalah kejang secara tiba-tiba, gangguan koordinasi dan

keseimbangan, serta kesulitan menelan. Jika perdarahan terjadi pada bagian bawah

atau batang otak, pasien dapat mengalami koma, hingga gagal napas.6

Diagnosis perdarahan intrakranial bisa menjadi sulit ditegakkan karena pasien

dapat tampak baik-baik saja. Namun, dokter umumnya berasumsi bahwa

perdarahan intrakranial merupakan penyebab hilangnya kesadaran secara progresif

yang diakibatkan oleh adanya cedera kepala, hingga terbukti sebaliknya.7

Berikut ini akan disajikan sebuah laporan kasus mengenai perdarahan

intrakranial pada pasien wanita berusia 36 tahun yang masuk di IGD RSUD Dr.

Doris Sylvanus Palangkaraya.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi

1. Tulang Tengkorak (Kranium)

Kranium terdiri atas delapan tulang kepala dan empat belas tulang wajah.

Tulang kepala membentuk rangka otak yang membungkus dan melindungi otak,

mata dan telinga. Kranium memiliki beberapa bagian yaitu os frontale, os

parientale, os temporale, os oksipitale, os sphenoidale dan os etmoidale.8

Gambar 2.1 Anatomi kranium

Kranium dibentuk oleh beberapa tulang yang dihubungkan satu sama lain

oleh tulang bergerigi yang disebut sutura, banyaknya delapan buah dan terdiri dari

3 bagian, yaitu:

• Os frontal

Os frontal membentuk dahi, langit-langit rongga nasal, dan langit-langit

orbita (kantong mata). Os frontal pada tahap kehidupan embrio terbentuk menjadi

4
dua belahan yang pada masa kanak-kanak awal berfungsi secara penuh. Tuberositas

frontal adalah dua tonjolan yang berbeda ukuran dan biasanya lebih besar pada

tengkorak muda. Arkus supersiliar adalah dua lengkungan yang mencuat dan

menyatu secara medial oleh suatu elevasi halus yang disebut glabella. Tepi

supraorbital, yang terletak di bawah lengkungan supersiliar dan membentuk tepi

orbita bagian atas. Foramen supraorbital merupakan jalan masuk arteri dan syaraf.9

Gambar 2.2 Os frontal (tampak anterior)

• Os parietal

Os parietal membentuk sisi dan langit-langit kranium, yang terdiri atas sutura

sagital, sutura koronal, dan sutura lambdoideal. Sutura sagital adalah sutura yang

menyatukan tulang parietal kiri dan kanan. Sutura koronal menyambung tulang

parietal ke tulang frontal. Sutura lambdoidal menyambung tulang parietal ke tulang

oksipital.9

5
Gambar 2.3 Os parietal

• Os oksipital

Os oksipital terletak di belakang kepala. Pada os oksipital terdapat sebuah

lubang yang disebut dengan foramen magnum. Foramen ini menghubungkan

rongga kranial dengan rongga spinal.9

Gambar 2.4 Os oksipital

• Os temporal

Os temporal merupakan tulang yang membentuk dasar dan sisi samping

cranium.9 terbagi atas tiga bagian, yaitu os squamous (membentuk rongga telinga

6
tengah dan telinga dalam), os petrosum (menjorok ke bagian os zygomaticum dan

terdapat procesus styloideus), dan os mastoideum (terdiri dari tulang yang

mempunyai lubang-lubang halus berisi udara dan terdapat procesus mastoideus

yang bentuknya seperti puting susu).10

Gambar 2. 5 Os temporal

• Os sphenoidal

Tulang ini terdapat di tengah dasar tengkorak, bentuknya seperti kupu-kupu.

Di bagian depan terdapat sebuah rongga yang disebut cavum sphenoidalis yang

berhubungan dengan rongga hidung. Di bagian atasnya agak meninggi dan

berbentuk seperti pelana yang disebut sela tursica yaitu tempat letaknya kelenjar

hipofisis.

7
Gambar 2.6 Os spheniodal

• Os ethmoidal

Tulang ini terletak di sebelah depan dari os sphenoidal, di antara lekuk mata,

terdiri dari tulang tipis yang tegak dan mendatar. Bagian yang mendatar mempunyai

lubang-lubang kecil (lempeng tapis) yaitu tempat lalunya saraf penciuman ke

hidung sedangkan bagian yang tegak di sebelah depannya membentuk sekat rongga

hidung. Adapun bentuk dari dasar tengkorak ini tidak rata tetapi mempunyai

lekukan yang terdiri dari lekukan depan, tengah, dan belakang.10

Gambar 2.7 Os ethmoidal

2. Otak dan Meninges

8
a. Otak

Otak tersusun atas beberapa bagian, yaitu otak besar (serebrum), otak kecil

(serebelum), dan batang otak (terdiri dari mesensefalon, pons, dan medulla

oblongata).

Gambar 2. 8 Anatomi otak

• Serebrum

Serebrum terdiri atas dua belahan (hemisfer) yang dipisahkan oleh fisura

longitudinal.11 Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah

kiri, sedangkan hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah

kanan. Selain itu, serebrum juga tersusun atas empat lobus, yakni lobus frontal,

lobus parietal, lobus oksipital, dan lobus temporal.11 Serebrum berwarna abu-abu

pada bagian korteks karena mengandung banyak sel saraf yang disebut substansi

grissea. Bagian medulla serebrum berwarna putih karena mengandung banyak

dendrit dan akson yang disebut sebagai substansi alba.12

• Serebelum

9
Serebelum terletak di bagian belakang di bawah serebrum. Serebelum berfungsi

untuk mengkoordinasikan kerja otot, tonus otot, keseimbangan, dan posisi tubuh.

Serebelum juga merupakan pusat keseimbangan tubuh.12

• Batang otak

Batang otak berada di dalam rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai

medulla spinalis. Batang otak bertugas untuk mengontrol tekanan darah, denyut

jantung, pernapasan, kesadaran, serta pola makan dan tidur. Batang otak terdiri dari

tiga bagian, diantaranya adalah mesensefalon (berperan dalam refleks mata dan

kontrol gerakan serta kedudukan tubuh), pons (berisi serabut saraf yang

menghubungkan serebelum bagian kiri dan kanan, juga menghubungkan serebrum

dan medulla spinalis), dan medulla oblongata (berfungsi untuk mengatur denyut

jantung, vasokonstriksi, melakukan gerakan menelan, batuk, bersin, bersendawa,

muntah, serta membantu pernapasan).12,13

b. Meninges

Meninges merupakan membran selaput yang berfungsi untuk melindungi otak

dan vertebra. Dari luar ke dalam, meninges tersusun atas tiga lapisan sebagai

berikut:

• Duramater; merupakan selaput terluar yang kuat dan melekat pada tulang

tengkorak bagian dalam12

• Araknoid; bentuknya menyerupai sarang laba-laba dan di dalamnya terdapat

cairan serebrospinalis. Araknoid berfungsi sebagai bantalan untuk melindungi

otak dari bahaya kerusakan mekanik13

10
• Piamater; merupakan lapisan paling tipis dan paling dalam dari selaput

meninges.12 Lapisan ini mengandung banyak pembuluh darah dan sangat dekat

dengan permukaan otak. Lapisan ini berfungsi untuk memberi oksigen dan

nutrisi serta mengangkut bahan sisa metabolisme.13

Gambar 2. 9 Lapisan meninges

3. Anatomi Gambaran Radiologi Kepala (Normal)

Gambar 2.10 CT-scan kepala normal (slide 1)

11
Gambar 2.11 CT-scan kepala normal (slide 2)

Gambar 2.12 CT-scan kepala normal (slide 3)

12
Gambar 2.13 CT-scan kepala normal (slide 4)

Gambar 2.14 CT-scan kepala normal (slide 5)

Gambar 2.15 CT-scan kepala normal (slide 6)

B. Etiologi

Perdarahan intrakranial dapat disebabkan oleh dua mekanisme, yakni

mekanisme traumatik dan non-traumatik. Penyebab traumatik dapat berupa cedera

kepala yang mengakibatkan pecahnya pembuluh darah otak sehingga terjadi

perdarahan. Sementara itu, penyebab non-traumatik diantaranya adalah

peningkatan tekanan darah, misalnya akibat eklampsia atau hipertensi. Risiko

perdarahan juga dapat meningkat pada pasien yang menggunakan antikoagulan

seperti warfarin dan heparin.14

13
C. Klasifikasi

Perdarahan intrakranial diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori, yakni

perdarahan yang terjadi pada parenkim otak (perdarahan intraserebral) dan

perdarahan yang terjadi pada kompartemen meningeal di sekitarnya (perdarahan

subaraknoid, perdarahan subdural, dan perdarahan epidural).15

1. Perdarahan Intraserebral

a. Perdarahan intraserebral hipertensif

Penyebab tersering perdarahan intraserebral adalah hipertensi arteri.

Peningkatan tekanan darah patologis merusak dinding pembuluh darah arteri yang

kecil, sehingga membentuk mikroaneurisma yang dapat ruptur secara spontan.

Lokasi predileksi untuk perdarahan hipertensif intraserebral adalah ganglia basalis,

talamus, nuklei serebeli, dan pons.15

Manifestasi perdarahan intraserebral bergantung pada lokasinya. Jika terjadi

di ganglia basalis, biasanya menyebabkan hemiparesis kontralateral berat,

sedangkan perdarahan di pons menimbulkan tanda-tanda batang otak.15

Perdarahan intraserebral dapat menaikkan tekanan intrakranial dengan sangat

cepat akibat efek desakan massa hematoma. Selain itu, perdarahan intraserebral

juga dapat menyebabkan hidrosefalus. Di fosa posterior hampir tidak ada ruang

kosong, sehingga perdarahan intraparenkim di bawah tentorium akan meningkatkan

tekanan intrakranial lokal secara cepat, sehingga dimungkinkan terjadinya herniasi

isi fosa posterior. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perdarahan

intraparenkim di batang otak atau serebelum memiliki prognosis yang jauh lebih

buruk dibandingkan dengan perdarahan yang berukuran sama di hemisfer serebri.15

14
Jaringan otak di area perdarahan umumnya tidak rusak total (berbanding

terbalik dengan infark). Hal ini menjelaskan mengapa defisit neurologi pasien

biasanya pulih lebih cepat ketika hematoma teresorbsi, dibandingkan dengan stroke

iskemik. Dengan demikian, tujuan terapi adalah untuk mempertahankan jaringan

otak agar tetap hidup di area perdarahan. Hipertensi intrakranial persisten harus

diterapi untuk menghindari kerusakan sekunder, sedangkan tekanan intrakranial

dapat diturunkan dengan farmakoterapi dan/atau dengan pengangkatan hematoma

melalui pembedahan saraf. Pembedahan dilakukan dengan mempertimbangkan

usia pasien, serta lokasi dan ukuran hematoma. Penelitian berskala besar

menunjukkan manfaat terapeutik hanya didapatkan dari pengangkatan hematoma

yang besar (>20 cm3). Operasi pengangkatan hematoma yang lebih kecil

sebenarnya merugikan karena dapat merusak lebih banyak jaringan otak yang

masih intak daripada jaringan otak yang akan diselamatkan. Karena alasan ini,

penanganan hematoma yang lebih kecil hanya terbatas pada penanganan

hidrosefalus (jika ada) dengan drainase ventrikular eksterna, yang dapat dilakukan

dengan cedera minimal pada jaringan otak yang normal. Pasien dengan hematoma

yang sangat besar (>60 cm3) tidak akan memperoleh manfaat dari pengangkatan

hematoma karena terlalu banyak jaringan otak yang rusak.15

Berikut merupakan gambaran CT-scan pada pasien dengan perdarahan

intraserebral:

15
Gambar 2.16 Perdarahan intraserebral di ganglia basalis kiri disertai midline shift16

Gambar 2.17 Perdarahan intraserebral kanan (tampak lesi hiperdens)17

Gambar 2.18 Perdarahan pada ganglia basalis kiri dengan midline shift dan perdarahan
intraventrikular15

b. Perdarahan intraserebral nonhipertensif

16
Penyebab perdarahan intraserebral selain hipertensi diantaranya adalah

malformasi arteriovenosus tumor, aneurisma, vaskulitis, angiopati amiloid,

kavernoma, dan obstruksi aliran vena. Pada kasus seperti ini, perlu dilakukan MRI

ketika hematoma telah diresorbsi untuk mendeteksi penyebab yang menimbulkan

perdarahan.15

Salah satu jenis perdarahan yang tergolong ke dalam perdarahan intraserebral

nonhipertensif adalah perdarahan serebelar. Sesuai dengan namanya, perdarahan ini

terjadi di serebelum. Perdarahan pada regio ini sering menyebabkan efek massa

akut di fossa posterior. Manifestasi klinisnya adalah sakit kepala oksipital yang

berat, mual, muntah, dan vertigo. Umumnya disertai pula dengan gaya berjalan

yang tidak stabil, disartria, dan kepala menoleh, serta deviasi penglihatan ke arah

kontralateral lesi.15

Perdarahan besar segera menimbulkan somnolen, stupor, atau koma. Pada

fase lanjut, pasien menunjukkan spasme akstensor, instabilitas hemodinamik, dan

akhirnya mengalami gagal napas, kecuali fossa posterior dapat dekompresi melalui

operasi.15

Perdarahan yang lebih kecil, terutama di daerah hemisfer serebeli,

menyebabkan manifestasi fokal yang meliputi ataksia ekstremitas, kecenderungan

untuk terjatuh ke sisi lesi, dan deviasi gaya jalan ke arah lesi.15

Berikut merupakan gambaran hasil CT-scan pada pasien perdarahan serebeli

17
Gambar 2.19 Perdarahan serebeli

2. Perdarahan Intraventrikular

Gambar 2. 20 Perdarahan intraventrikular

3. Perdarahan Subaraknoid

Penyebab tersering perdarahan subaraknoid spontan adalah ruptur aneurisma

salah satu arteri di dasar otak. Terdapat beberapa jenis aneurisma, yaitu aneurisma

sakular, aneurisma fusiformis, dan aneurisma mikotik.

Gejala utama perdarahan subaraknoid adalah nyeri kepala hebat yang muncul

secara tiba-tiba, kaku kuduk, dan gangguan kesadaran. Kelumpuhan saraf kranial

dan tanda neurologis fokal dapat timbul, tergantung pada lokasi dan luas

perdarahan.

CT-scan secara sensitif dapat mendeteksi adanya perdarahan subaraknoid

akut, namun semakin lama interval antara kejadian akut dengan CT-scan,

kemungkinan temuan negatif pada CT akan semakin besar. Begitu diagnosis

18
perdarahan subaraknoid ditegakkan, maka sumber perdarahan harus segera

diidentifikasi dengan digital substraction angiography intra-arteri.

Aneurisma dapat diterapi dengan operasi pembedahan saraf berupa

penutupan leher aneurisma dengan metal clip. Dengan demikian, aneurisma

terpisah dari sirkulasi secara permanen sehingga tidak dapat berdarah lagi.

Perdarahan subaraknoid biasanya berhenti secara spontan, kemungkinan

karena terbendung oleh peningkatan tekanan intrakranial. Hanya pasien dengan

aneurisma yang telah berhenti berdarah yang dapat selamat dirujuk ke rumah sakit.

Setelah serangan akut, pasien dihadapkan dengan tiga risiko komplikasi yang

berpotensi fatal, yakni hidrosefalus, vasospasme, dan perdarahan tulang.15

Berikut merupakan gambaran hasil CT-scan pada pasien dengan perdarahan

subaraknoid :

Gambar 2.21 Perdarahan subaraknoid

a. Perdarahan Subdural

Pada perdarahan subdural, kumpulan darah terdapat di ruangan yang

normalnya hanya imajiner di antara duramater dan araknoid. Penyebabnya biasanya

19
adalah trauma.15 Perdarahan subdural / subdural hemorrhage (SDH) terjadi akibat

robeknya bridging veins, terutama yang terletak dekat dengan sinus sagitalis

superior. Perdarahan subdural terjadi karena akselerasi dan deselerasi yang cepat

pada kepala. Perdarahan subdural ini lebih sering terjadi pada usia tua akibat dari

adanya atrofi otak yang menyebabkan meningkatnya pergerakan otak didalam

ruang intrakranial. SDH kronik selain terjadi pada orang tua, juga sering terjadi

pada orang alkoholik dan pasien dengan tekanan tekanan intrakranial yang rendah,

seperti pada pasien pasca pemasangan VP shunt karena hidrosefalus.18

Manifestasi klinik perdarahan subdural akut muncul segera setelah trauma

kepala. Perdarahan subdural akut muncul satu sampai dua minggu setelah trauma

kepala, sedangkan perdarahan subdural kronik muncul dua minggu lebih setelah

trauma kepala.18

Berikut merupakan gambaran hasil CT-scan kepala pada pasien perdarahan

subdural:

Gambar 2.22 Perdarahan subdural fase akut

b. Perdarahan Epidural

20
Pada perdarahan epidural, kumpulan darah terletak di antara duramater dan

periosteum. Perdarahan jenis ini umumnya disebabkan oleh laserasi traumatik pada

arteri meningealis. Karena duramater berlekatan erat dengan permukaan dalam,

maka diperlukan tekanan yang cukup besar untuk menimbulkan akumulasi cairan

pada lokasi ini. Penyebabnya hampir selalu karena fraktur tulang tengkorak dengan

robekan pada arteri meningeal media, yang merupakan pembuluh darah meningeal

terbesar. Fraktur seperti ini sering terjadi tanpa menimbulkan cedera serius lain

pada otak. Dengan demikian, banyak pasien dengan perdarahan epidural masih

tetap sadar segera setelah kejadian traumatic dan tidak kehilangan kesadaran hingga

beberapa saat kemudian (yang disebut “lucid interval”). Pasien tersebut kemudian

dapat meninggal akibat peningkatan tekanan intrakranial yang cepat, kecuali

hematoma segera didiagnosis dan diangkat melalui operasi.15

Berikut merupakan gambaran hasil CT-scan pada pasien dengan perdarahan

epidural:

Gambar 2 23 Perdarahan epidural akut, kiri

21
Gambar 2.24 Perdarahan epidural, kanan

Gambar 2.25 Perdarahan epidural coup dan contracoup

D. Gejala Klinis

Manifestasi klinis dari perdarahan intrakranial bergantung pada ukuran dan

lokasi perdarahan, akan tetapi secara umum gejala yang ditimbulkan meliputi

hipertensi, aritmia jantung, perdarahan retinal, penurunan kesadaran, pupil

anisokor, serta defisit neurologis fokal, seperti hemiparesis kontralateral,

kehilangan sensoris kontralateral, paresis penglihatan kontralateral, afasia, ataksia,

delirium, dan kelemahan wajah ipsilateral.19

E. Penatalaksanaan

22
Prinsip penatalaksanaan perdarahan intrakranial diawali dengan minimalisasi

kerusakan dan stabilisasi pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD), penatalaksanaan

lanjutan misalnya dengan menjaga kondisi euvolemia dan memperbaiki kondisi

koagulopati, serta reduksi tekanan intrakranial baik dengan medikamentosa

maupun tindakan operasi.14

Tatalaksana pasien dengan perdarahan intrakranial di IGD mengikuti

protokol advance trauma life support (ATLS). Pasien penurunan kesadaran harus

selalu dilakukan manajemen jalan napas, pemberian ventilasi dan oksigen yang

adekuat, dan pemberian cairan. Imobilisasi spinal harus dilakukan kecuali jika

sudah dilakukan pemeriksaan penunjang yang mengindikasikan bahwa imobilisasi

dapat dihentikan. Penilaian skor GCS dilakukan dan secepatnya diputuskan apakah

memerlukan pemeriksaan CT-Scan kepala atau tidak.20

F. Prognosis

Prognosis pasien dengan perdarahan intrakranial sangat bergantung dari

onset, usia pasien, volume, serta lokasi perdarahan. Komplikasi yang mungkin

dialami pasien juga menjadi faktor penentu prognosis pasien. Secara umum,

semakin tua usia pasien, semakin dalam lokasi perdarahan, serta semakin luas

volume perdarahan pasien akan menyebabkan prognosis semakin buruk.14

23
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas pasien

Nama : Ny. MK

Umur : 36 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Pangkalanbun

No. RM : 35-96-73

Tgl Masuk RS : 23/3/2021

3.2 Anamnesis

Alloanamnesis (Suami Pasien)

3.2.1 Keluhan utama

Penurunan Kesadaran

3.2.2 Riwayat penyakit sekarang

• Pasien merupakan rujukan dari RS Pangkalanbun dengan keluhan utama

penurunan kesadaran sejak 5 jam SMRS Dr. Doris Sylvanus

• Pasien sebelumnya mengalami kecelakaan lalu lintas tunggal bersama

suami dengan kecepatan sedang. Suami pasien yang mengendarai motor

menghindari lubang di jalan dan akhirnya menabrak sisi ruas jalan. Pasien

yang tidak menggunakan helm terjatuh dari motor sejauh 5 meter dari

kendaraan.

24
• Pasien tidak sadar saat kejadian dan tampak gelisah, muntah (-) pasien

langsung dibawa ke IGD RS pangkalanbun dan mendapat penanganan awal,

namun karena keterbatasan pemeriksaan pasien langsung dirujuk ke RS Dr.

Doris Sylvanus untuk dilakukan CT-Scan dan mendapatkan perawatan

lanjutan

• Saat ini pasien sedang hamil 5 bulan, tidak ada riwayat sakit mata ataupun

keluhan pada kandungan

3.2.3 Riwayat penyakit dahulu

• Pasien tidak pernah menderita penyakit jantung, asma dan kejang.

3.2.3 Riwayat penyakit dalam keluarga

• Tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit asma dan

penyakit jantung.

3.3 Pemeriksaan fisik

3.3.1 Pemeriksaan umum

1. Primary Survey

Airway : clear tanpa C-Spine Control

Breath : gerak simetris, trakea di tengah, RR: 22 x/m SpO2 : 94%

Circulation : HR teratur 98 x/menit TD: 130/80 mmHg, akral hangat,

CRT<2 detik

GCS : E2V2M4 pupil isokor hemiparese (-/-)

2. Secondary Survey

Allergy : (-)

Medication : (-)

25
Past illness : (-)

Last meal : 6 jam yang lalu

Environment : Jalan Raya di Pangkalanbun

3.3.2 Pemeriksaan Fisik

Kepala dan leher

- Kepala : krepitasi a/r zygoma sinistra, vulnus ekskoriatum (+)

- Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)

- Telinga : dalam batas normal

- Hidung : nafas cuping hidung tidak ada

- Tenggorokan : tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis

- Mulut : mukosa bibir tidak pucat, lidah tampak udem dan tampak

putih.

- Leher : Pembesaran KGB (-), JVP 5-2 cm H2O, tampak vulnus

laceratum multiple 3x1 cm, klavikula sinistra teraba

krepitasi 1/3 proksimal

Thoraks Paru

Inspeksi : Statis : Bentuk dinding dada simetris kanan dan kiri, retraksi

(-), jejas (+) vulnus ekskoriatum a/r thoraks sinistra

1x2cm

Dinamis : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri

Palpasi : Vokal fremitus kanan dan kiri sama

Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi : Bronkovesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)

26
Thoraks Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis teraba

Perkusi : Batas jantung kanan à ICS V linea parasternalis dekstra

Batas jantung kiri à ICS V linea midklavikula sinistra

Auskultasi : S1 dan S2 regular, gallop (-), murmur (-)

Abdomen

Inspeksi : Tampak massa gestasi, jejas (-)

Ekstremitas

CRT < 2 detik, sianosis (-), edema tungkai (-/-), akral hangat, lateralisasi (-)

Status Obstetri

Inspeksi : Perut tampak massa gestasi

Palpasi: Leopold I : fundus teraba 2 jari di atas umbilikus

TFU = 20 cm

Leopold II : memanjang punggung kanan

Leopold III : Presentasi bokong

Leopold IV : belum masuk PAP

Auskultasi : DJJ: 112 x/m irreguler

His : -

Pemeriksaan Dalam : pembukaan -/tebal/ketuban (+)/bagian terbawah

janin masih tinggi

Status Neurologis

Kesadaran: Semi Coma GCS: E2V2M4

27
a. Meningeal Sign

Kaku kuduk (-)

lasegue sign (-)

brudzinski 1 ( - )

brudzinski 2 ( - )

b. Refleks Fisiologis:

Bisep +2 / +2

Trisep +2 / +2

Patella +2 / +2

Achilles +2/+2

c. Refleks Patologis:

Babinski: -/-

Chadodock: -/-

Oppenheim -/-

Trommer -/-

d. Pemeriksaan motorik

Motorik Superior et inferior kesan lateralisasi (-)

Atrofi otot -/-

Tonus otot eutoni / eutoni

28
Nervi Cranialis Kanan Kiri

NI Daya Penghidu sde sde

N II Refleks cahaya + +

N III Ptosis (-) +

Gerakan Mata B Terbatas

Ukuran Pupil 3 mm 3 mm

Bentuk Pupil Bulat Bulat

Refleks Cahaya (+) (+)

Refleks Akomodasi (+) (+)

N IV dan Doll Eye Movement (+) (+)


N VI

NV Menggigit sde sde

Membuka Mulut sde sde

Sensibilitas Muka sde sde

Refleks Cornea (+) (+)

Trismus (-) (-)

N VII Kedipan Mata sde sde

Lipatan Nasolabial Simetris

Sudut Mulut Simetris

N IX Refleks Muntah (+) (+)

Suara Sengau sde sde

29
Tersedak sde sde

NX Bersuara sde sde

Menelan sde sde

N XI Sikap Bahu sde sde

N XII Fasikulasi (-) (-)

3.3.3 Pemeriksaan penunjang

23 Maret 2021

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 11,6 14.00 – 18.00 g/Dl
Leukosit 23,38 4.50 – 11.0 ribu/uL
Eritrosit 3,55 4,00 – 5.50 juta/uL
Hematokrit 34,9 40-48 vol%
Trombosit 221 140 – 400 ribu/uL
RDW-CV 13,6 11,5 – 14,5 %
MCV, MCH, MCHC
MCV 98,3 80-102 Fl
MCH 32,7 27,0 – 31,0 Pg
MCHC 33,2 31,8 – 35,4 %
HITUNG JENIS
Neu% 95,3 42.9-72.0 %
Lim% 3,0 11.0-49.0 %
Monosit% 1,7 0.0-9.0 %
KIMIA
Ureum 17 0-50 mg/dL
Kreatinin 0,73 0.72-1.25 mg/dL
DIABETES
Gula Darah Sewaktu 298 <200 Mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 137 136-145 Meq/L
Kalium 4,1 3.5-5.1 Meq/L
Calcium 1,24 0,98-1,2 Meq/L

30
Hasil Rontgen Thoraks

• Sudut costofrenikus kiri dan kanan lancip

• Tidak didapatkan konsolidasi atau infiltrat pada paru

• Tampak fraktur klavikula sinistra 1/3 proksimal

• CTR < 50%

• Infiltrat seluruh lapang paru

Kesan : Fraktur klavikula non comminuted displaced

Hasil CT-Scan Kepala Head Trauma

31
• CT Scan kepala non contrast potongan axial coronal sagital ditemukan

gambaran hiperdent di regio temporal lobe pole kiri, temporal base kiri, dan

temporal kiri berbentuk cresentic mengesankan suatu SDH acute dengan ICH

temporal (burst lobe temporal)

• Ditemukan penyempitan sulcus dan hilangnya gambaran gyrus, Fronto temporo

parietal kiri mengesankan suatu brain edema,

• Ditemukan bending pada ventrikel lateral kiri, Midline Shift sejauh 2 mm ke

kanan.

• Pada bone window didapatkan adanya fraktur zygoma sinistra

Kesimpulan: SDH dengan ICH temporal + edema serebri + fraktur os

Zygoma s

3.3.4 Diagnosis kerja

SDH + Edema serebri

Fraktur os zygoma (s)

Parese nerve III

Fraktur clavicula (s)

Multiple Vulnus ekskoriatum

G3P2A0 hamil 20 minggu+ fetal distress

DM Tipe 2

3.3.5 Tatalaksana

Non farmakologi

- Head up 30o

- O2 Mask 5-7 LPM

32
Farmakologi

- IVFD NaCl 0,9% 500 cc lanjut 10 tpm

- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr

- Inf Manitol 1x125 cc

- Inj Phenitoin 2x100 mg

- Inj. Ketorolac 3x30 mg

- Inj. Novorapid 10 IU-10 IU -0 IU

- Inj Lantus 8 IU (malam)

Raber Obsgin, IPD dan Bedah Saraf

Rawat di ruangan ICU

33
BAB IV

ANALISA KASUS

Telah diperiksa pasien wanita Ny. MK usia 36 tahun di ruangan IGD RSUD

Dr. Doris Sylvanus Palangkaraya dengan diagnosis SDH + Edema serebri Fraktur

os zygoma (s) Parese nerve III Fraktur clavicula (s) Multiple Vulnus ekskoriatum

G3P2A0 hamil 20 minggu+fetal distress DM Tipe 2. Diagnosis ditegakkan

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Dari anamnesis didapatkan penurunan kesadaran sejak 5 jam SMRS. Pasien

sebelumnya mengalami kecelakaan lalu lintas tunggal bersama suami dengan

kecepatan sedang. Suami pasien yang mengendarai motor menghindari lubang di

jalan dan akhirnya menabrak sisi ruas jalan. Pasien yang tidak menggunakan helm

terjatuh dari motor sejauh 5 meter dari kendaraan. Kecelakaan ini sering memberi

dampak trauma pada kandungan ibu hamil secara idak sengaja dan hal ini dapat

mengakibatkan dampak yang ringan maupun berat. Dampak ringan dapat berupa

memar, laserasi, dan kontusio. Sedangkan dampak yang lebih berat berupa patah

tulang panggul dan patah tulang rusuk.15

Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya penurunan kesadaran dengan

parese n.III sinistra. Perdarahan intrakranial dapat disebabkan oleh dua mekanisme,

yakni mekanisme traumatik dan non-traumatik. Penyebab traumatik dapat berupa

cedera kepala yang mengakibatkan pecahnya pembuluh darah otak sehingga terjadi

perdarahan.

34
Pada perdarahan subdural, kumpulan darah terdapat di ruangan yang

normalnya hanya imajiner di antara duramater dan araknoid. Penyebabnya biasanya

adalah trauma.15 Perdarahan subdural / subdural hemorrhage (SDH) terjadi akibat

robeknya bridging veins, terutama yang terletak dekat dengan sinus sagitalis

superior. Perdarahan subdural terjadi karena akselerasi dan deselerasi yang cepat

pada kepala. Perdarahan subdural ini lebih sering terjadi pada usia tua akibat dari

adanya atrofi otak yang menyebabkan meningkatnya pergerakan otak didalam

ruang intrakranial. Manifestasi klinik perdarahan subdural akut muncul segera

setelah trauma kepala. Perdarahan subdural akut muncul satu sampai dua minggu

setelah trauma kepala.18 Pada pasien ini dilakukan CT-Scan dan didapatkan adanya

perdarahan subarachnoid.

Manifestasi klinis dari perdarahan intrakranial bergantung pada ukuran dan

lokasi perdarahan, akan tetapi secara umum gejala yang ditimbulkan meliputi

hipertensi, aritmia jantung, perdarahan retinal, penurunan kesadaran, pupil

anisokor, serta defisit neurologis fokal, seperti hemiparesis kontralateral,

kehilangan sensoris kontralateral, paresis penglihatan kontralateral, afasia, ataksia,

delirium, dan kelemahan wajah ipsilateral.19 Pada pasien ini telah terjadi penurunan

kesadaran sebagai dampak dari SDH.

Prinsip penatalaksanaan perdarahan intrakranial diawali dengan minimalisasi

kerusakan dan stabilisasi pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD), penatalaksanaan

lanjutan misalnya dengan menjaga kondisi euvolemia dan memperbaiki kondisi

koagulopati, serta reduksi tekanan intrakranial baik dengan medikamentosa

maupun tindakan operasi.14

35
Tatalaksana pasien dengan perdarahan intrakranial di IGD mengikuti

protokol advance trauma life support (ATLS). Pasien penurunan kesadaran harus

selalu dilakukan manajemen jalan napas, pemberian ventilasi dan oksigen yang

adekuat, dan pemberian cairan. Imobilisasi spinal harus dilakukan kecuali jika

sudah dilakukan pemeriksaan penunjang yang mengindikasikan bahwa imobilisasi

dapat dihentikan. Penilaian skor GCS dilakukan dan secepatnya diputuskan apakah

memerlukan pemeriksaan CT-Scan kepala atau tidak.20

Posisi kepala harus dibuat posisi 15-30o untuk mengurangi tekanan intra

kranial dan menghindari kompresi vena jugularis pada pasien dengan edema

serebri. Fiksasi endotracheal tube (ETT) dilakukan dengan menggunakan perekat

yang kuat dan jika posisi kepala perlu diubah harus dilakukan dengan hati-hati dan

dalam waktu sesingkat mungkin. Keadaan hipoksia dan hiperkapnia harus dihindari

karena merupakan vasodilator serebral poten yang menyebabkan penambahan

volume darah otak sehingga terjadi peningkatan TIK, terutama pada pasienm

dengan pernicabilitas kapiler yang abnormal. Intubasi dan ventilasi mekanik

diindikasikan jika ventilasi atau oksigenasi pada pasien edema otak buruk. Sasaran

pCO2, yang diharapkan adalah 25 mmHg agar menimbulkan vasokonstriksi

serebral sehingga menurunkan volume darah serebral dan mencegah herniasi.13

Pada pasien ini juga diberikan O2 Mask untuk mencegah hipoksia pada pasien dan

dilakukan posisi head up 30O.

Nyeri, kecemasan, dan agitasi meningkatkan kebutuhan metabolisme otak,

aliran darah otak, dan tekanan intrakranial. Oleh karena itu, analgesik dan sedasi

yang tepat diperlukan untuk pasien edema otak. Pasien yang menggunakan

36
ventilator atau ETT harus diberi sedasi supaya tidak memperberat TIK. Obat sedasi

yang sering digunakan untuk pasien neurologi diantaranya adalah ketorolac, opiat,

benzodiazepin, dan propofol. Penggunaan antikonvulsan profilaktik seringkali

diterapkan dalam praktek klinis. Bisa digunakan fenitoin 2x100mg.17 Pasien ini

diberikan inj fenitoin dan ketorolac untuk nyeri dan agitasi pada pasien.

Terapi paling cepat dan efektif untuk mengurangi cairan pada jaringan dan

pembengkakan otak adalah osmoterapi. Terapi osmotik berfungsi memindahkan

cairan dari jaringan dengan menggunakan perbedaan gradien osmotik dan

menurunkan viskositas darah. Hal tersebut akan mengurangi tekanan intra kranial

dan meningkatkan aliran darah otak.13

Dosis awal manitol 20% 1-1,5 g/kgBB IV bolus, diikuti dengan 0,25-0,5

g/kgBB IV bolus tiap 4-6 jam. Efek maksimum terjadi setelah 20 menit pemberian
13,14
dan durasi kerjanya 4 jam. Pada pasien ini diberikan inf mannitol untuk

mengurangi edema otak.

Insulin adalah terapi pilihan pertama untuk mengendalikan kadar gula darah

selama kehamilan, hal ini karena insulin yang paling efektif untuk mengendalikan

gula darah dan tidak melewati plasenta sehingga aman bagi janin. Insulin dapat

digunakan dengan syringe, pen insulin, atau pompa insulin. Ketiganya aman untuk

wanita hamil.21 Pasien ini juga mendapatkan terapi insulin untuk mengatasi

hiperglikemia pada pasien.

37
BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus dengan diagnosis SDH + Edema serebri

Fraktur os zygoma (s) Parese nerve III Fraktur clavicula (s) Multiple Vulnus

ekskoriatum G3P2A0 hamil 20 minggu+fetal distress DM Tipe 2. Diagnosis

ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Tatalaksana pada pasien yang diberikan adalah non farmakologi Head up 30o, O2

Mask 5-7 LPM dan terapi farmakologi yaitu IVFD NaCl 0,9% 500 cc lanjut 10 tpm

- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr - Inf Manitol 1x125 cc - Inj Phenitoin 2x100 mg - Inj.

Ketorolac 3x30 mg - Inj. Novorapid 10 IU-10 IU -0 IU - Inj Lantus 8 IU (malam)

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Caceres JA, Goldstein JN. Intracranial Hemorrhage. Emerg Med Clin North Am.
2012;30(3):771–94.

2. Qureshi AI, Mendelow AD, Hanley DF. Intracerebral Haemorrhage. Core Top
Neuroanaesth Neurointensive Care. 2011;373(9675):359–68.

3. Dinata CA, Syafrita Y, Sastri S. Gambaran Faktor Risiko dan Tipe Stroke pada
Pasien Rawat Inap di Bagian Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Solok Selatan
Periode 1 Januari 2010 - 31 Juni 2012. J Kesehat Andalas. 2013;2(2):57–61.

4. Ikram MA, Wieberdink RG, Koudstaal PJ. International Epidemiology of


Intracerebral Hemorrhage. Curr Atheroscler Rep. 2012;14(4):300–6.

5. Galgano M, Toshkezi G, Qiu X, Russell T, Chin L, Zhao LR. Traumatic Brain


Injury: Current Treatment Strategies and Future Endeavors. Cell Transplant.
2017;26(7):1118-1130.

6. Shaikh F, Waseem M. Head Trauma. Treasure Island (FL): StatPearls


Publishing; 2021.

7. Brommeland T, Helseth E, Aarhus M, Moen KG, Dyrskog S, Bergholt B,


Olivecrona Z, Jeppesen E. Best practice guidelines for blunt cerebrovascular
injury (BCVI). Scand J Trauma Resusc Emerg Med. 2018 Oct 29;26(1):90.

8. Scanlon VC, Sanders T. Essentials of Anatomy and Physiology. 5th ed.


Philadelphia: F.A Davis Company; 2007.

9. Sloane E. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC; 2003.

10. Syaifuddin. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. 3rd ed. Ester M,
editor. Jakarta: EGC; 2006.

11. Portaro S, Naro A, Cimino V, Maresca G, Corallo F, Morabito R, Calabrò RS.


Risk factors of transient global amnesia: Three case reports. Medicine
(Baltimore). 2018 Oct;97(41):e12723.

12. Salehpour F, Bazzazi AM, Aghazadeh J, Hasanloei AV, Pasban K, Mirzaei F,


Naseri Alavi SA. What do You Expect from Patients with Severe Head Trauma?
Asian J Neurosurg. 2018 Jul-Sep;13(3):660-663.

13. Mohammadifard M, Ghaemi K, Hanif H, Sharifzadeh G, Haghparast M.


Marshall and Rotterdam Computed Tomography scores in predicting early
deaths after brain trauma. Eur J Transl Myol. 2018 Jul 10;28(3):7542.

39
14. Lalwani S, Hasan F, Khurana S, Mathur P. Epidemiological trends of fatal
pediatric trauma: A single-center study. Medicine (Baltimore). 2018
Sep;97(39):e12280

15. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi Duus (Anatomi, Fisiologi,


Tanda, Gejala). 5th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2016. 383–391
p.

16. Christanto S, Umar N, Wargahadibrata AH. Penatalaksanaan Perioperatif


Perdarahan Intraserebral. J Neuroanestesi Indones. 2014;3(2):112–20.

17. Patel PR. Lecture Notes Radiology. 3rd ed. Oxford: Wiley-Blackwell; 2011.

18. Medicina N, Soertidewi L. Perdarahan Subdural Kronik pada Dewasa Muda.


Neurona. 2011;29(1).

19. Schneider ALC, Wang D, Ling G, Gottesman RF, Selvin E. Prevalence of Self-
Reported Head Injury in the United States. N Engl J Med. 2018 Sep
20;379(12):1176-1178

20. Pavlović T, Milošević M, Trtica S, Budinčević H. Value of Head CT Scan in the


Emergency Department in Patients with Vertigo without Focal Neurological
Abnormalities. Open Access Maced J Med Sci. 2018 Sep 25;6(9):1664-1667.

21. Berger H, Gagnon R, Sermer M. Diabetes in Pregnancy. J Obstet Gynaecol Can.


2016 Jul;38(7):667-679.e1.

40

Anda mungkin juga menyukai