Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik
Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik
I. Pendahuluan
Dari hasil ―WHO Multi Center Study” pada tahun 1998, Indonesia termasuk 4
negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi (4,6%), 3
negara lainnya adalah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3%).
Walaupun bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6% adalah angka cukup tinggi,
yang dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Hasil Survei
Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996 yang dilaksankan di
7 propinsi di Indonesia menunjukkan prevalensi gangguan pendengaran akibat obat
ototoksik sebesar 0,3%.3
1
II. Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran
dan vestibular yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau
puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani
dengan skala vestibuli.1
Saat molekul obat ini memasuki sel rambut pada organ corti
melalui mekanisme mechano-electrical transducer channels, akan
terbentuk kompleks aminoglikosida dengan logam (Fe). Terbentuknya
kompleks aminoglikosida-Fe mengaktifkan substansi Reactive Oxygen
Species (ROS), yaitu superoxide anion radical, hydrogen peroxide,
hydroxyl radical,peroxynitrite anion. Substansi-substansi tersebut
mengaktifkan JNK (c-Jun- N-terminal kinase) yang akan membuat
mitokondria sel sensorik melepaskan cytochrome c (Cyt c). Cyt c
menginisiasi apoptosis sel. Kaskade inilah yang menyebabkan
hilangnya sel-sel rambut pada organ korti.7
B. Eritromisin
C. Loop Diuretics
Gambar 4. Kehilangan sel rambut setelah 24 jam terapi cisplatin pada koklea
hewan.11
Dari hasil penelitian pada sel rambut koklea hewan, didapatkan bahwa
terapi dengan cisplatin menyebabkan kehilangan progresif stereosilia,
dimulai dari distal/basal ke proksimal/apikal (distal-to-proximal
pattern).11 Pola kerusakan ini berkaitan erat dengan dimulainya
penurunan fungsi pendengaran pada frekuensi tinggi terlebih dahulu.
Selain itu cisplatin juga menimbulkan kerusakan pada stria
vaskularis.9
G. Anti Fungal
1. Usia lanjut
2. Neonatus
3. Dosis harian dan rute pemberian obat
Rute pemberian obat ototoksik penting dalam menentukan onset
kerusakan pendengaran. Rute yang paling berbahaya hingga paling
aman berturut-turut adalah intraspinal, kemudian intravena,
intramuskular, perkutaneus, dan oral.
4. Pajanan dalam jangka waktu yang lama oleh obat ototoksik
5. Kehamilan
6. Gagal ginjal
7. Insufisiensi hepar
8. Bekerja di lingkungan bising
9. Penggunaan bersamaan dengan obat ototoksik lainnya ( biasanya
pada diuretik)
V. Gejala Ototoksik
V. Pemeriksaan Audiologi
Efek awal dari obat ototoksik adalah kerusakan sel rambut luar
di bagian basal dari koklea. HFA merupakan tes hantaran udara ( air-
conduction threshold testing ) untuk frekuensi diatas 8000 Hz, berkisar
di atas 16 atau 20 kHz. HFA dapat mendeteksi gangguan pendengaran
akibat aminoglikosida atau cisplatin. Oleh karena itu HFA saat ini
umum digunakan untuk memonitoring kasus-kasus ototoksisitas.10
VI. Penatalaksanaan
VII. Pencegahan
VIII. Prognosis
VII. Kesimpulan