Makalah Leptospirosis
Makalah Leptospirosis
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Mengetahui lebih dalam tentang Leptospirosis
Mengetahui cara pencegahan Leptospirosis
1
BAB II
PENDAHULUAN
Jika dalam keadaan seimbang antara ketiga faktor tersebut maka akan tercipta kondisi sehat pada
seseorang/masyarakat. Perubahan pada satu Environment komponen akan mengubah keseimbangan, sehingga akan
mengakibatkan menaikkan atau menurunkan kejadian penyakit.
1. Faktor Agen (Agent Factor)
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri patogen yang disebut Leptospira.
Leptospira terdiri dari kelompok leptospira patogen yaitu L. intterogans dan leptospira non-patogen yaitu L. biflexa
(kelompok saprofit).
2. Faktor Pejamu (Host Factor)
Dengan adanya binatang yang terinfeksi bakteri leptospira di mana-mana, leptospirosis pada manusia dapat
terjadi pada semua kelompok umur dan pada kedua jenis kelamin (laki-laki/perempuan). Namun demikian,
leptospirosis ini merupakan penyakit yang terutama menyerang anak-anak belasan tahun dan dewasa muda (sekitar
50% kasus umumnya berumur antara 10-39 tahun), dan terutama terjadi pada laki-laki (80%).
3. Faktor Lingkungan (Environmental Factor)
Perubahan komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya kesehatan masyarakat pada kejadian
leptospirosis ini meliputi: lingkungan fisik seperti keberadaan sungai yang membanjiri lingkungan sekitar rumah,
keberadaan parit/selokan yang airnya tergenang, keberadaan genangan air, keberadaan sampah, keberadaan tempat
pengumpulan sampah, jarak rumah dengan sungai, jarak rumah dengan parit/selokan, jarak rumah dengan tempat
pengumpulan sampah, sumber air yang digunakan untuk mandi/mencuci, lingkungan biologik seperti keberadaan
tikus ataupun wirok di dalam dan sekitar rumah, keberadaan hewan piaraan sebagai hospes perantara (kucing,
anjing, kambing, sapi, kerbau, babi), lingkungan sosial seperti lama pendidikan, jenis pekerjaan, kondisi tempat
bekerja, ketersediaan pelayanan untuk pengumpulan limbah padat, ketersediaan sistem distribusi air bersih dengan
saluran perpipaan, ketersediaan sistem pembuangan air limbah dengan saluran tertutup.
2
Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir. Keadaan banjir menyebabkan
adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya genangan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak
timbunan sampah yang menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak. Air kencing tikus terbawa
banjir kemudian masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung.
Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama Leptospirosis, karena bertindak sebagai inang
alami dan memiliki daya reproduksi tinggi. Beberapa hewan lain
seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang Leptospirosis, tetapi potensi menularkan ke
manusia tidak sebesar tikus.
Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita ke penderita dan tidak langsung
melalui suatu media. Penularan langsung terjadi melalui kontak dengan selaput lendir (mukosa) mata (konjungtiva),
kontak luka di kulit, mulut, cairan urin, kontak seksual dan cairan abortus (gugur kandungan). Penularan dari
manusia ke manusia jarang terjadi.
Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak hewan atau manusia dengan barang-barang yang telah
tercemar urin penderita, misalnya alas kandang hewan, tanah, makanan, minuman dan jaringan tubuh. Kejadian
Leptospirosis pada manusia banyak ditemukan pada pekerja pembersih selokan karena selokan banyak tercemar
bakteriLeptospira. Umumnya penularan lewat mulut dan tenggorokan sedikit ditemukan karena bakteri tidak tahan
terhadap lingkungan asam.
Kuman leptospira masuk ke dalam tubuh penjamu melalui luka iris/luka abrasi pada kulit, konjungtiva atau
mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, osofagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet
infeksius dan minum air yang terkontaminasi. Meski jarang ditemukan, leptospirosis pernah dilaporkan penetrasi
kuman leptospira melalui kulit utuh yang lama terendam air, saat banjir. Infeksi melalui selaput lendir lambung
jarang terjadi, karena ada asam lambung yang mematikan kuman leptospira. Kuman leptospira yang tidak virulen
gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah 1 atau 2 hari infeksi.
Organisme virulen mengalami mengalami multiplikasi di darah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi
dari darah dan cairan serebrospinal pada hari ke 4 sampai 10 perjalanan penyakit.
Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil; sehingga menimbulkan vaskulitis disertai
kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenitas kuman leptospira yang paling penting adalah perlekatannya pada
permukaan sel dan toksisitas selluler. Lipopolysaccharide (LPS) pada kuman leptospira mempunyai aktivitas
endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan
netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia. Kuman
leptospira mempunyai fosfolipase yaitu hemolisin yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang
3
mengandung fosfolipid. Beberapa strain serovar Pomona dan Copenhageni mengeluarkan protein sitotoksin. In vivo,
toksin in mengakibatkan perubahan histopatologik berupa infiltrasi makrofag dan sel polimorfonuklear. Organ
utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal kuman leptospira bermigrasi ke
interstisium, tubulus ginjal, dan lumen tubulus.
Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas
kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel-sel hati
yang ringan, pelepasan bilirubin darah dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis intrahepatik
sampai berkurangnya sekresi bilirubin.
Conjungtival suffusion khususnya perikorneal; terjadi karena dilatasi pembuluh darah, kelainan ini sering
dijumpai pada patognomonik pada stadium dini. Komplikasi lain berupa uveitis, iritis dan iridosiklitis yang sering
disertai kekeruhan vitreus dan lentikular. Keberadaan kuman leptospira di aqueous humor kadang menimbulkan
uveitis kronik berulang.
Kuman leptospira difagosit oleh sel-sel sistem retikuloendotelial serta mekanisme pertahanan tubuh.
Jumlah organisme semakin berkurang dengan meningkatnya kadar antibodi spesifik dalam darah. Kuman leptospira
akan dieleminasi dari semua organ kecuali mata, tubulus proksimal ginjal, dan mungkin otak dimana kuman
leptospira dapat menetap selama beberapa minggu atau bulan.
Gambaran patologi leptospirosis ditandai dengan terjadinya vaskulitis, kerusakan endotel, dan infiltrasi
inflamasi yang terdiri dari sel monosit, sel plasma, histosit dan netrifil. Gambaran histologi leptospirosis yang
mencolok yaitu kerusakan hati, ginjal, jantung dan paru.
Kerusakan hati akibat nekrosis sentrilobular yang disertai proliferasi sel kupffer. Sering ditemukan adanya
disosiasi sel-sel hati, degenerasi sitoplasma, inti sel-sel parenkim mengecil dan infiltrasi mononukleus pada
daerah portal.
Kerusakan ginjal lebih nyata dibandingkan dengan kerusakan hati, yaitu edema, dan pendarahan di medula.
Adanya gambaran nefritis interstisial yang berlanjut menjadi nekrosis tubulus pada kasus berat. Silinder
protein, pigmen darah, eritrosit dan sisa sel tubulus dapat ditemukan di medula tubulus.
Invasi otot rangka oleh kuman leptospira mengakibatkan timbulnya pembengkakan, vakuolisasi miofibril,
nekrosis fokal, infiltrasi histiosit, netrofil dan sel plasma leptospira, misalnya pada otot gastroknemius.
Kerusakan pada jantung ditandai dengan petekie di endokardium dan epikardium, serabut otot sembah,
disertai vakuolisasi, degenerasi dan infiltrasi sel radang. Pada beberapa kasus terjadi miokarditis toksik atau
endokarditis akut.
Kerusakan pada paru bervariasi dari inflamasi intetstisial setempat disertai eksravasasi hingga infiltrasi
bronkopneumonik luas.
4
2.6 Metode Investigasi Bakteri Leptospirosis
Pemeriksaan laboratorium mutlak diperlukan untuk memastikan diagnosa leptospirosis, terdiri dari
pemeriksaan secara langsung untuk mendeteksi keberadaan kuman leptospira atau antigennya (kultur, mikroskopik,
inokulasi hewan, immunostaining, reaksi polimerase berantai), dan pemeriksaan secara tidak langsung melalui
pemeriksaan antibodi terhadap kuman leptospira ( MAT, ELISA, tes penyaring).
Golden standar pemeriksaan serologi adalah MAT, suatu pemeriksaan aglutinasi secara mikroskopik untuk
mendeteksi titer antibodi aglutinasi, dan dapat mengidentifikasi jenis serovar. Pemeriksaan penyaring yang sering
dilakukan di Indonesia adalah Lepto Tek Dri Dot dan LeptoTek Lateral Flow.
5
2.8 Eliminasi/Pencegahan Leptospirosis
Pencegahan penularan leptospira dapat dilakukan melalui tiga jalur imtervensi yang meliputi intervensi
sumber infeksi, intervensi pada jalur penularan dan inmtervensi pada pejamu manusia. Berbagai kegiatan yang dapat
mencegah leptospirosis :
Gejala klinis leptospirosis mirip dengan penyakit infeksi lainnya seperti influensa, meningitis, hepatitis,
demam dengue, demam berdarah dengue dan demam virus lainnya, sehingga seringkali tidak terdiagnosis. , oleh
karena itu pada setiap kasus dengan keluhan demam, harus selalu dipikirkan leptospirosis sebagai salah satu
diagnosis bandingnya, terutama di daerah endemik. Keluhan-keluhan khas yang dapat ditemukan, yaitu: demam
mendadak, keadaan umum lemah tidak berdaya, mual, muntah, nafsu makan menurun dan merasa mata makin lama
bertambah kuning dan sakit otot hebat terutama daerah betis dan paha.
Gejala klinis leptospirosis yang tidak spesifik dan sulitnya tes laboratorium untuk konfirmasi diagnosis
mengakibatkan penyakit ini seringkali tidak terdiagnosis. Mayoritas kasus leptopirosis adalah anikterik yang terdiri
dari 2 fase/stadium yaitu fase leptospiremia/ fase septikemia dan fase imun, yang dipisahkan oleh periode
asimtomatik. Manifestasi klinis berupa demam ringan atau tinggi yang bersifat remiten, mialgia terutama pada otot
betis, conjungtival suffusion (mata merah), nyeri kepala, menggigil, mual, muntah dan anoreksia, meningitis aseptik
non spesifik.
Leptospirosis ringan atau anikterik merupakan penyebab utama fever of unknown origin di beberapa negara
Asia seperti Thailand dan Malaysia. Mortalitas pada leptospirosis anikterik hampir nol, meskipun pernah dilaporkan
kasus leptospirosis yang meninggal akibat perdarahan masif paru dalam suatu wabah di Cina. Tes pembendungan
terkadang positif, sehingga pasien leptospirosis anikterik pada awalnya di diagnosis sebagai pasien dengan infeksi
6
dengue. Pada leptospirosis ikterik, pasien terus menerus dalam keadaan demam disertai sklera ikterik, pada keadaan
berat terjadi gagal ginjal akut, ikterik dan manifestasi perdarahan yang merupakan gambaran klinik khas penyakit
Weil.
Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten dan fase imun menjadi tidak jelas atau nampak tumpang
tindih dengan fase septikemia. Keberadaan fase imun dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah kuman leptospira
yang menginfeksi, status imunologi, status gizi pasien dan kecepatan memperoleh terapi yang tepat. Gejala klinik
leptospirosis ikterik lebih berat, yaitu gagal ginjal akut, ikterik dan manifestasi perdarahan (penyakit Weil ). Selain
itu dapat terjadi Adult Respiratory Distress Syndromes (ARDS), koma uremia, syok septikemia, gagal
kardiorespirasi dan syok hemoragik sebagai penyebab kematian pasien leptospirosis ikterik.
Stadium Pertama :
Demam menggigil
Sakit kepala
Malaise
Muntah
Konjungtivitis
Rasa nyeri otot betis dan punggung
Gejala-gejala diatas akan tampak antara 4-9 hari
Gejala yang Khas :
Konjungtivitis tanpa disertai eksudat serous/porulen (kemerahan pada mata)
Rasa nyeri pada otot-otot Stadium Kedua
Terbentuk anti bodi di dalam tubuh penderita
Gejala yang timbul lebih bervariasi dibandingkan dengan stadium pertama
Apabila demam dengan gejala-gejala lain timbul kemungkinan akan terjadi meningitis.
Stadium ini terjadi biasanya antara minggu kedua dan keempat.
7
2.11 Penatalaksanaan Kasus
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan kuman leptospira patogen. Zoonosis ini merupakan
salah salah satu dari the emerging infectious diseases. dan menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di
daerah beriklim tropis dan subtropis, dengan curah hujan tinggi seperti Indonesia. Gejala klinis leptospirosis yang
tidak spesifik dan sulitnya tes laboratorium untuk konfirmasi diagnosis mengakibatkan penyakit ini seringkali tidak
terdiagnosis.
Pejamu reservoar kuman leptospira adalah roden dan hewan peliharaan, dengan manusia sebagai hospes
insidentil. Penularan terjadi secara langsung dari cairan tubuh hewan infeksius atau tidak langsung dari lingkungan
terkontaminasi kuman leptospira. Penularan dari manusia ke manusia jarang namun dapat terjadi melalui hubungan
seksual, air susu ibu dan sawar plasenta.
Menurut keparahan penyakit, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi untuk pendekatan
diagnosis klinik dan penanganannya, dibagi menjadi leptospirosis anikterik dan leptospirosis ikterik.
Mayoritas kasus leptopirosis adalah anikterik yang terdiri dari 2 fase/stadium yaitu fase leptospiremia/ fase
septikemia dan fase imun, yang dipisahkan oleh periode asimtomatik. Pada leptospirosis ikterik, demam dapat
persisten dan fase imun menjadi tidak jelas atau nampak tumpang tindih dengan fase septikemia. Keberadaan fase
imun dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah kuman leptospira yang menginfeksi, status imunologi, status gizi
pasien dan kecepatan memperoleh terapi yang tepat.
Manifestasi klinis berupa demam ringan atau tinggi yang bersifat remiten, mialgia terutama pada otot betis,
conjungtival suffusion (mata merah), nyeri kepala, menggigil, mual, muntah dan anoreksia, meningitis aseptik non
spesifik. Gejala klinik leptospirosis ikterik lebih berat, yaitu gagal ginjal akut, ikterik dan manifestasi perdarahan
(penyakit Weil ). Selain itu dapat terjadi Adult Respiratory Distress Syndromes (ARDS), koma uremia, syok
septikemia, gagal kardiorespirasi dan syok hemoragik sebagai penyebab kematian pasien leptospirosis ikterik.
Faktor-faktor prognostik yang berhubungan dengan kematian pada pasien leptospirosis adalah oliguria
terutama oliguria renal, hiperkalemia, hipotensi, ronkhi basah paru, sesak nafas, leukositosis >12.900/ mm3,
kelainan Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan repolarisasi, dan adanya infiltrat pada foto pecitraan paru.
8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
http://belajarsukes.blogspot.com/2011/03/makalah-leptospirosis.html
http://charizzogarvet.wordpress.com/2011/06/20/mengenal-leptospirosis/
http://hidupsehatgembira.blogspot.com/2012/02/leptospirosis.html
http://klinikblogger.blogspot.com/2010/10/leptospirosis.html
http://kahar-spombob.blogspot.com/2011/06/leptospirosis.html
9
http://ezzahhidayati.blogspot.com/2011/04/penyakit-leptospira.html
10