Anda di halaman 1dari 42

REFERAT

KEHAMILAN EKTOPIK DAN MIOMA UTERI: EFEK


TERATOGENIK DAN KARAKTERISTIK MATERNAL

Disusun Oleh:
Daniah Khairunnisa
1102015052

Pembimbing:

dr. K.M. Aditya Fitrandi, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. SLAMET GARUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 20 JANUARI 2020 – 28 MARET 2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan kekuatan dan
kemampuan kepada penyusun sehingga penyusunan Referat yang berjudul
“KEHAMILAN EKTOPIK DAN MIOMA UTERI : EFEK TERATOGENIK
DAN KARAKTERISTIK MATERNAL” ini dapat diselesaikan.
Referat ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti dan
menyelesaikan kepaniteraan klinik SMF Obstetri dan Ginekologi di RSUD Dr.
Slamet Garut. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. K.M. Aditya Fitrandi, Sp.OG selaku dokter pembimbing.
2. Para Bidan dan Pegawai di Bagian SMF Obstetri dan Ginekologi RSUD
Dr. Slamet Garut.
3. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSUD Dr. Slamet
Garut.
Segala daya upaya telah dioptimalkan untuk menghasilkan referat yang
baik dan bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan
berpikir penulis. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh
dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari para
pembaca agar dapat menghasilkan tulisan yang lebih baik di kemudian hari.
Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat
bagi pembaca, khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan
dalam menjalani aplikasi ilmu.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Garut, Februari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI …………………………………………………………….. iii


BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………… 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………. 5
1. KEHAMILAN EKTOPIK
1.1. Definisi..............................................................................................5
1.2 Epidemiologi.......................................................................................5
1.3 Faktor risiko........................................................................................5
1.4 Klasifikasi ..........................................................................................7
1.5 Patofisiologi .....................................................................................12
1.6 Manifestasi Klinis ............................................................................13
1.7 Diagnosis .........................................................................................15
1.8 Tatalaksana.......................................................................................21
1.9 Prognosis ..........................................................................................23
2. MIOMA UTERI
2.1 Definisi ……………………………………..……………………….24
2.2 Epidemiologi 24
2.3 Faktor Risiko 25
2.4 Etiologi dan Patofisiologi …………………………………………. 25
2.5 Patologi 27
2.6 Klasifikasi 28
2.7 Gambaran Klinis 30
2.8 Diagnosis 32
2.9 Tatalaksana 34
2.10 Mioma Uteri pada Kehamilan 38
2.11Komplikasi 39
2.12Prognosis 39
BAB III KESIMPULAN ………………………………………………….. 40
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….……….. 41

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Kehamilan ektopik terganggu menjadi penyebab utama kematian janin pada


trimester pertama. Meskipun kehamilan ektopik jarang menyebakan kematian
pada ibu hamil, namun prevalensi mortalitas di negara berkembang cukup tinggi.
Mayoritas kehamilan ektopik (95%) terjadi di tuba Falopi. Penyakit ini menjadi
masalah yang sering di jumpai pada wanita usia subur. Wanita dengan penyakit
radang panggul, memiliki infeksi Chlamydia trachomatis, merokok, riwayat
operasi tuba, menggunakan obat penginduksi siklus menstruasi, dan endometriosis
meningkatkan risiko terjadinya kehamilan ektopik. Baru-baru ini, insiden
kehamilan ektopik terus meningkat seiring meningkatnya insiden penyakit
menular seksual (PMS) dan salpingitis. Lokasi implantasi ektopik selain di Tuba
Fallopii, dapat juga terjadi di tempat lain seperti rongga abdomen, ovarium, dan
serviks. Lokasi implantasi tersebut meningkatkan mortalitas karena sulit di deteksi
dan dapat terjadi perdarahan massif yang mengancam nyawa penderitanya.
Meskipun kehamilan ektopik tidak terganggu jarang menyebabkan kematian,
namun diagnosis sering kali terlambat dibuat karena gejala yang dikeluhkan
serupa dengan beberapa penyakit lain seperti aborsi dan apendisitis.
Mioma uteri adalah tumor jinak pada daerah rahim atau lebih tepatnya otot
rahim dan jaringan ikat di sekitarnya. Mioma uteri, dikenal juga dengan sebutan
fibromioma, fibroid, atau leiomioma merupakan neoplasma jinak yang berasal
dari otot polos uterus dan jaringan ikat yang menumpanginya3
Terjadi pada 20-25% perempuan di usia produktif. Insiden 3-9 kali lebih
banyak pada ras kulit berwarna dibandingkan ras kulit putih. Mioma uteri banyak
ditemukan pada usia reproduktif dan angka kejadiannya rendah pada usia
menopause, dan belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarche1,2.
Penelitian memaparkan bahwa antara 5,4% hingga 77% wanita terdiagnosis
mioma, tergantung pada populasi nya. Mioma terdeteksi pada 70% uteri setelah
histerektomi dan 80% merupakan multiple mioma.4

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. KEHAMILAN EKTOPIK
1.1 Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang berada di tempat luar biasa,
seperti di dalam tuba, ovarium, rongga perut, atau tanduk rudimenter rahim. 1
Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba fallopi (90-95%) dengan 70-
80% di ampula. Sangat jarang terjadi di ovarium, cavum abdominal, canalis
servikalis, dan intraligamenter.2 Kehamilan ektopik adalah kehamilan di mana
implantasi blastosis di luar kavum uteri.3
Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan dimana hasil implantasi dan
pematangan konsepsi terjadi di luar rongga endometrium yang pada akhirnya
menyebabkan kematian janin. Kehamilan ektopik berasal dari Bahasa Yunani
‘ektopos” yang berarti tidak pada tempatnya. Istilah ini merujuk pada implantasi
blastokista yang terjadi di luar rongga endometrium.6

1.2 Epidemiologi
Kebanyakan kehamilan ektopik terjadi di dalam tuba. Angka kejadian
kehamilan tuba ialah 1 di antara 150 persalinan (Amerika).1 Pada pertengahan
abad kedua puluh, diperkirakan 0,4% dari semua kehamilan di AS adalah
ekstrauterin; data terbaru menunjukkan angka saat ini lebih tinggi dari 1,4%. Di
Jerman saat ini, diperkirakan ada 20 kehamilan ekstrauterin untuk setiap 1.000
kelahiran hidup.4 Incident rate KE adalah 4,73%, terbanyak pada graviditas kedua
(34,34%) sedangkan 39,39% didapatkan pada pasien yang belum mempunyai
anak.5

1.3 Faktor Risiko


Dengan mengetahui faktor risiko kehamilan ektopik maka diagnosis dapat dibuat
dengan cepat dan tepat serta dapat mencegah dan meminimalisir komplikasi yang
terjadi.3,5,6

5
a. Riwayat kehamilan ektopik
Pada wanita yang memiliki riwayat kehamilan ektopik tingkat fertilitasnya lebih
rendah karena dapat terjadi kehamilan ektopik berulang. Kehamilan ektopik yang
terjadi di tuba dapat menimbulkan abnormalitas anatomi tuba, sehingga sel telur
tidak dapat melewati saluran tuba dan tersendat. Risiko terjadi kehamilan ektopik
pada pasien dengan riwayat kehamilan ektopik meningkat 5x lipat.
b. Riwayat operasi pelvis
c. Faktor abnormalitas zigot
Apabila zigot tumbuh cepat dan membesar, zigot dapat tersendat dalam
perjalanan, terhenti dan tumbuh di tuba.
d. Penyakit Menular Seksual (PMS) dan infeksi pada tuba
Penyakit tersebut dapat mengubah anatomi normal tuba. Wanita yang terkena
salpingitis memiliki risiko 9x lebih tinggi daripada wanita normal untuk mendapat
kehamilan ektopik. Adhesi perituba yang terjadi setelah terkena salpingitis,
apendisitis, atau endometriosis juga dapat meningkatkan insiden kehamilan
ektopik. Salpingitis ismika nodosa merupakan kondisi dimana epitelium yang
melapisi divertikula berkembang menjadi lapisan muskular yang hipertrofi.
Kelainan kongenital tuba falopi, dan mereka yang menggunakan obat
dietilstilbestrol utero menjadi salah satu faktor predisposisi.
Tumor di sekitar saluran tuba seperti mioma uteri dan tumor ovarium
menyebabkan perubahan bentuk dan patensi tuba. Post rekanalisasi tuba juga
menjadi faktor terjadinya kehamilan ektopik.
e. Penggunaan Assisted Reproductive Technology (ART) untuk membantu
mengatasi masalah infertilitas, justru meningkatkan kejadian kehamilan ektopik
atipikal, yang berlokasi di kornu uteri, abdomen, serviks, ovarium dan kehamilan
heterotropik.
f. Merokok menjadi salah satu faktor yang diduga menyebabkan kehamilan
ektopik, meskipun mekanisme nya belum diketahui dengan pasti
g. Kegagalan metode kontrasepsi meningkatkan jumlah kehamilan ektopik.
Misalnya tindakan sterilisasi tuba, kandungan tembaga pada IUD, dan kontrasepsi
dengan kandungan progrestin karena menghambat gerakan tuba.

6
h. Faktor ovarium
Bila ovarium yang memproduksi ovum di tangkap oleh tuba kontralateral.
Keadaan ini menyebabkan waktu yang dibutuhkan ovum menuju ke uterus
menjadi lebih lama.

1.4 Klasifikasi
A. Kehamilan Tuba
Kehamilan tuba tidak dapat mencapai cukup bulan, biasanya berakhir pada
minggu ke 6 hingga ke 12, dan yang paling sering antara minggu 6-8. 1 Ovum
yang telah dibuahi dapat tersangkut di bagian mana saja dari tuba uterina yang
menyebabkan kehamilan tuba ampula, ismus, dan interstitium. Pada kasus-kasus
jarang, ovum yang telah dibuahi mungkin tertanam di ujung tuba uterina yang
berfimbira. Ampula adalah tempat tersering, diikuti oleh ismus. Dari tipe primer
ini, kadang terjadi bentuk sekunder berupa kehamilan tubo-abdomen, tubo-
pvarium, dan ligamentum latum.
Karena tuba tidak memiliki lapisan submukosa maka ovum yang telah
dibuahi segera menembus epitel, dan zigot akhirnya berada di dekat atau di
dalam otot. Trofoblas yang cepat berproliferasi dapat menginvasi muskularis
sekitar, tetapi separuh dari kehamilan ektopik ampula tetap berada di lumen tuba
dengan lapisan otot tidak terkena pada 85 persen kasus. Janin pada kehamilan
ektopik sering tidak ada atau tidak berkembang.6
Kehamilan tuba dapat berakhir dengan dua cara, yakni ruptur tuba dan
abortus tuba.1
1. Ruptur Tuba
Implantasi telur di dalam istmus tuba menyebabkan telur mampu
menembus lapisan otot tuba ke arah kavum peritoneum. Lipatan-lipatan
selaput lendir di istmus tuba tidak seberapa banyak, sehingga besar
kemungkinan telur berimplantasi secara interkolumnar. Dengan demikian,
trofoblas cepat sampai ke lapisan otot tuba. Kemungkinan pertumbuhan ke
arah rongga tuba pun kecil karena rongga tuba sempitm sehingga telur
menembus dinding tuba ke arah rongga perut atau peritoneum.

7
Ruptur istmus tuba terjadi sebelum minggu ke-12, karena dinding tuba di
daerah ini cukup tipis. Namun ruptur pars interstititalis terjadi lebih lambat,
bahkan terkadang baru terjadi pada bulan ke-4, akrena lapisan otot di daerah
ini cukup tebal. Ruptur dapat terjadi dengan sendirinya/spontan atau akibat
manipulasi kasarm misalnya akibat periksa dalam, defekasi atau koitus.
Ruptur biasanya terjadi ke dalam kavum peritoneum, terkadang ke dalam
ligamentum latum bila implantasi terjadi di dinding bawah tuba.
Pada ruptur tuba, seluruh bagian telur yang sudah mati dapat keluar dari
tuba melalui robekan dan masuk ke dalam kavum peritoneum. Bila
pengeluaran janin melalui robekan tidak diikuti oleh plasenta yang tetap
melekat pada dasarnya, kehamilan dapat berlangsung terus dan berkembang
sebagai kehamilan abdomonal. Oleh karena awalnya merupakan kehamilan
tuba dan kemudian menjadi kehamilan abdominal, yang disebut dengan
kehamilan abdominal sekunder. Plasenta dalam kehamilan ini dapat meluas
ke dinding belakang uteris, ligamentum latum, omentum, dan usus.
Bila insersi telur terjadi di dinding bawah tuba, ruptur akan mengarah ke
dalam ligamentum latum. Paska ruptur, telur dapat mati dan menciptakan
hematom di dalam ligamentum latum atau bahkan terus hidup, sehingga
kehamilan berlangsung terus di dalam ligamentum latum.
Kehamilan tuba-abdominal ialah kehamilan yang asalnya berada di
ujung tuba dan kemudian tumbuh ke dalam kavum peritoneum. Kehamilan
tuba-ovarial adalah kehamilan yang awalnya berada di tuba atau ovarium,
tetapi kemudian kantungnta terbentuk dari jaringan ovarium atau tuba.1

2. Abortus Tuba
Abortus tuba kira-kira terjadi antara minggu ke 6-12. 1 Frekuensi abortus tuba
sebagian bergantung pada tempat implantasi. Abortus sering terjadi pada
kehamilan ampula.6 Telur menembus endosalping (selaput lendir tuba)
karena makin membesar, masuk ke dalam lumen tuba, lalu keluar ke arah
infundibulum. Implantasi telur di amula tuba biasanya bersifat kolumnar
karena lipatan-lipatan selaput lendir di tempat ini tinggi dan banyak. Rongga

8
tuba di ampula tuba juga agak besar, sehingga telur mudah tumbuh ke arah
rongga tuba dan lebih mudah menembus desidua kapsularis yang tipis dari
lapisan otot tuba. Abortus keluar dari ujung tuba dan menimbulkan
perdarahan yang mengisi kavum Douglasi, yang disebut hematokel
retrouterin. Ada kalanya ujung tuba tertutup oleh perlekatan, sehingga darah
terkumpul di dalam tuba dan menggembungkan tuba. Keadaan ini disebut
hematosalping.1
B. Kehamilan Pars Interstitialis Tuba
Kehamilan ektopik ini terjadi bila nidasi ovum terjadi pada pars
interstitialis tuba. Keadaan ini jarang terjadi dan hanya 1% dari semua
kehamilan tuba. Ruptur biasanya terjadi pada usia kehamilan di akhir bulan
ke empat. Perdarahan yang terjadi sangat banyak dan bila tidak dilakukan
tindak lanjut dapat menyebabkan kematian. Tindakan operasi yang dilakukan
adalah laparotomi untuk membersihkan isi kavum abdomen dari darah dan
sisa jaringan konsepsi serta menutup sumber perdarahan dengan melakukan
irisan baji pada kornu uteri dimana tuba pars intertsialis berada.6

C. Kehamilan Heterotopik
Sangat jarang kehamilan ektopik terjadi bersamaan dengan kehamilan
intrauterine. Keadaan ini disebut kehamilan ektopik ganda dengan frekuensi
berkisar 1 dari 15.000 – 40.000 kasus persalinan. Di Indonesia dilaporkan

9
sudah terjadi beberapa kasus. Diagnosis di buat ketika di lakukan operasi
kehamilan ektopik. Pada laparotomi ditemukan kehamilan ektopik terganggu
dan uterus yang membesar sesuai dengan usia kehamilan, dan terdapat dua
korpora lutea. Pada pengamatan lebih lanjut kehamilan intrauterine menjadi
jelas.
D. Kehamilan Abdomen
Kehamilan abdomen adalah implantasi di rongga peritoneum di luar
implantasi tuba, ovarium, atau intraligamentum. Meskipun zigot dapat melewati
tuba dan tertanam secara primer di rongga peritoneum, namun sebagian besar
kehamilan abdomen diperkirakan terjadi setelah ruptur tuba atau abortus. Pada
kasus-kasus kehamilan ekstrauterus tahap lanjut, tidak jarang plasenta masih
melekat secara parsial ke uterus atau adneksa. Telah dilaporkan studi pada 10
wanita dengan kehamilan yang memiliki usia gestasi 18-43 minggu; 5 dari
wanita ini memiliki usia gestasi 26 minggu atau lebih. Meskipun hanya tiga dari
10 yang memenuhi kriteria ketat untuk kehamilan abdomen berdasarkan lokasi
implantasi plasenta, tetapi pada kesepuluh kasus ini janin terletak di intra-
abdomen. Plasenta melekat di tuba yang sangat melebar dalam 3 kehamilan pada
18,26, dan 30 minggu; dan dua lainnya melekat ke kornu rudimenter pada 20
dan 22 minggu. Terdapat laporan studi lainnya bahwa suatu kehamilan abdomen
tahap lanjut yang berasal dari ruptur uterus sebelumnya. Hal ini mungkin akan
lebih sering terjadi karena kehamilan di jaringan parut caesar.
Karena perbedaan-perbedaan tersebut, insiden kehamilan abdomen yang
dilaporkan akan bervariasi bergantung pada definisi yang digunakan. Dalam
laporan yang dikutip di atas dari Parkland Hospital, kehamilan abdomen tahap
lanjut memiliki insiden 1 : 25.000 kelahiran. Namun dengan menggunakan
kriteria yang lebih ketat, insidennya adalah 1 : 85.000.
E. Kehamilan Ovarium
Kehamilan ektopik yang terimplantasi di ovarium jarang terjadi. Faktor risiko
kehamilan ektopik ovarium serupa dengan kehamilan tuba, tetapi pemakaian
AKDR tampaknya dikaitkan secara berlebihan. Meskipun ovarium dapat lebih
mudah mengakomodasi kehamilan daripada tuba, namun yang biasanya terjadi

10
adalah ruptur pada kehamilan dini. Hal ini tampaknya lebih besar
kemungkinannya terjadi pada kehamilan ovarium kembar. Bagaimanapun,
terdapat laporan-laporan kasus yang menyatakan kehamilan ovarium berlanjut
hingga aterm, dan beberapa bayi bertahan hidup.6
F. Kehamilan Serviks
Implantasi zigot di serviks jarang dijumpai, tetapi insidennya meningkat akibat
ART. Terdapat laporan bahwa 60 persen wanita dengan kehamilan serviks
pernah menjalani kuretase sebelumnya. Pada kasus tipikal, endoserviks
mengalami erosi oleh trofoblas, dan kehamilan berlanjut untuk berkembang di
dinding serviks yang fibrosa. Semakin tinggi trofoblas tertanam di kanalis
servikalis, semakin besar kemampuannya untuk tumbuh dan mengalami
perdarahan.6
Perdarahan vagina tak nyeri dilaporkan oleh 90 persen wanita dengan kehamilan
serviks. Sepertiga dari jumlah ini mengalami perdarahan hebat. Hanya
seperempat mengalami nyeri perut disertai perdarahan. Seiring dengan kemajuan
kehamilan, mungkin terlihat serviks yang teregang dan berdinding tipis disertai
ostium eksternum yang terbuka parsial. Di atas massa serviks mungkin teraba
fundus uterus yang sedikit membesar. Suatu kehamilan serviks 14 minggu
adalah kasus paling lanjut yang pernah dilaporkan.
Dari 38 kasus rujukan dengan usia kehamilan rata-rata 8 minggu dan kadar B-
HCG berkisar dari 2.800-103.000. Identifikasi kehamilan serviks didasarkan
pada pemeriksaan spekulum, palpasi dan sonografi uterus yang kosong dan
gestasi yang mengisi kanalis servikalis. Magnetic resonance imaging dan
sonografi tiga dimensi pernah digunakan untuk memastikan diagnosis.6
G. Kehamilan di Jaringan Parut Caesar
Implantasi yang sebenarnya normal ke dalam jaringan parut uterus bekas seksio
caesar telah dilaporkan lebih dari 30 tahun yang lalu. Kehamilan ini memiliki
ukuran beragam dan dalam banyak hal mirip dengan plasenta inkreta dengan
kecenderungan mengalami perdarahan hebat.6
Nyeri dan perdarahan adalah gejala tersering, tetapi hingga 40 persen wanita
asimtomatik dan diagnosis ditegakkan sewaktu sonografi rutin.6

11
1.5 Patofisiologi
Gangguan motilitas dan transport tuba, serta abnormalitas anatomi tuba
menjadi hal utama yang berperan dalam terjadinya kehamilan ektopik. Tuba
Falopi tidak memiliki lapisan submukosa, sehingga pada kehamilan ektopik yang
berlokasi di tuba, zigot akan berkembang dan menembus lapisan muskularis
hingga ke lapisan epitel. Embrio atau fetus pada kehamilan ektopik biasanya tidak
berkembang atau tidak nampak ketika di lakukan pemeriksaan USG. Kehamilan
ektopik yang terus berkembang dapat menyebabkan ruptur tuba, aborsi tuba, atau
kegagalan kehamilan. Keadaan ini disebut kehamilan ektopik terganggu. Ruptur
yang terjadi pada hasil konsepsi yang masih terus berkembang menyebakan
perdarahan dan dapat merobek tuba. Ruptur juga dapat terjadi secara spontan, saat
koitus, atau saat pemeriksaan bimanual.
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena
kurangnya supplay vaskularisasi dan dapat terjadi reabsorpsi jaringan dengan
sendirinya. Dalam keadaan ini penderita tidak memiliki gejala, hanya siklus
menstruasi terlambat untuk beberapa hari.
Perdarahan pada kehamilan ektopik terganggu terjadi karena pembukaan
pembuluh darah oleh vili korialis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat
melepaskan mudigah dari dinding tersebut bersamaan dengan terjadi robeknya
pseudokapsularis. Pelapasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya, mudigah
dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian di dorong oleh
darah kearah ostium tuba pars abdominalis. Frekuensi abortus dalam tuba
bergantung pada implantasi sel telur yang dibuahi. Abortus ke lumen tuba lebih
sering terjadi pada kehamilan pars ampularis, sedangkan penembusan dinding
tuba oleh vili korialis kearah peritonium biasanya terjadi pada kehamilan pars
isthmus, perbedaan ini disebebakan oleh lumen pars ampularis yang lebih luas
sehingga dapat lebih mudah menyesuaikan pertumbuhan hasil konsepsi jika
dibandingkan dengan bagian isthmus yang sempit. Pada pelepasan hasil konsepsi
sebagian, perdarahan akan terus berlangsung, sehingga tuba membesar dan
berwarna kebiruan (hematosalping) dan selanjutnya darah mengalir ke rongga

12
perut melalui ostium tuba. Darah ini akan berkumpul di kavum Douglas dan
membentuk hematokel rektouterina.
Ruptur biasanya terjadi bila implantasi berlokasi di isthmus dan pada usia
kehamilan yang muda. Ruptur pada pars interstitialis terjadi pada kehamilan usia
lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur adalah penembusan vili korialis ke
lapisan muskularis tuba dan ke peritonium. Selain itu, ruptur juga dapat terjadi
secara spontan atau dipicu oleh trauma ringan seperti koitus atau pemeriksaan
vagina. Frekuensi aborsi tuba bergantung pada tempat implantasi awal dan akhir.
Perdarahan di tuba dapat berhenti dan gejala menjadi minimal. Namun perdarahan
masih dapat berlanjut selama hasil konsepsi masih berada di dalam tuba. Darah
dapat menetes dari fimbriae ke kavitas peritonium dan terkumpul di rectouterine
cul-de-sac. Jika fimbrae teroklusi, tuba dapat mengalami hematosalping. Pada
beberapa kasus, fetus dapat berimplantasi pada permukaan peritoneal dan
berkembang menjadi kehamilan abdomen atau ter-reabsorpsi. Kehamilan ektopik
akut merupakan mereka yang memiliki kadar β-hCG yang tinggi, pertumbuhan
embrio yang cepat, dan dapat segera di diagnosis. Pada kehamilan ektopik kronik
ruptur terjadi dalam jangka waktu yang lebih lama dan membentuk massa di
daerah pelvis.

1.6 Manifestasi Klinis


Gejala dan tanda kehamilan ektopik seringkali minimal atau
bahkan asimptomatik. Pasien biasanya menganggap bahwa ia mengalami
kehamilan awal yang normal atau mengalami keguguran.
KET memiliki trias klasik yaitu nyeri, timbul pendarahan atau flek,
dan amenorrhea. Pada ruptur tuba, nyeri perut bagian bawah dan panggul
terjadi secara tiba-tiba dengan karakteristik nyeri yang sangat berat,
kualitas tajam, seperti ditusuk, atau robek. Nyeri mula-mula terdapat pada
satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke dalam rongga perut rasa nyeri dapat
menjalar ke bagian tengah atau ke seluruh perut bawah. Darah dalam
rongga perut dapat merangsang diafragma, sehingga menyebabkan nyeri

13
bahu dan bila membentuk hematokel rektouterina, menyebabkan nyeri saat
defekasi. Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada
kehamilan ektopik yang terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin.
Darah berasal dari kavum uteri akibat pelepasan desidua. Perdarahan yang
berasal dari uterus biasanya tidak banyak dan berwarna coklat tua.
Amenorea menjadi tanda yang penting lainnya, walaupun penderita sering
tidak jelas dalam menentukan adanya amenorhea. Lamanya amenorhea
bergantung pada kehidupan janin, sehingga bervariasi. Sebagian penderita
tidak mengalami amenorea karena kematian janin terjadi sebelum haid
berikutnya, Hal ini menyebabkan frekuensi amenorea yang ditemukan
pada pasien dengan kehamilan ektopik terganggu berkisar 23-50%. Pada
pemeriksaan abdomen, terdapat nyeri tekan ketika dilakukan palpasi.
Pemeriksaan pelvik bimanual pada pasien kehamilan ektopik
tergang menunjukkan adanya nyeri goyang serviks (slinger pijn). Kavum
Douglas menonjol ketika diraba karena terisi oleh darah. Pada kasus
abortus tuba, biasanya teraba massa yang lunak di samping uterus dalam
dengan berbagai ukuran yang bergantung pada banyaknya perdarahan
yang terjadi. Hematokel rektouterina teraba sebagai suatu massa yang
menyerupai tumor di kavum Douglas. Ruptur tuba dengan perdarahan
massif dapat menyebabkan tekanan darah pasien turun hingga syok. Selain
itu, uterus dapat sedikit membesar akibat stimulasi hormon. Pada
perdarahan tingkat sedang terjadi perubahan tanda-tanda vital seperti
peningkatan tekanan darah dan respon vasovagal (hipotensi dan
bradikardi). Jika perdarahan berlanjut terus, terjadi hipotensi dan takikardi
belanjut hingga ke tahap hipovolemia. Timbul gangguan vasomotor, mulai
dari vertigo hingga pingsan. Selain perdarahan, dapat terjadi ekspulsi cast
desidua yang merupakan peluruhan seluruh endometrium yang terdapat di
kavitas endometrium. Namun, hal ini dapat ditemukan pula pada kasus
aborsi uterine sehingga dibutuhkan pengamatan secara visual dan histologi
untuk membuktikan cast tersebut merupakan hasil konsepsi yang meluruh.

14
1.7 Diagnosis
Kesukaran membuat diagnosis pasti dari kehamilan ektopik sedemikian
beasr, sehingga sebagian besar penderita ketika ditemukan sudah mengalami
abortus tuba atau ruptur tuba. Bila terdapat dugaan kehamilan ektopik,
sebaiknya pasien segera di rawat di Rumah Sakit. Beberapa algoritma telah
diusulkan untuk mengidentifikasi kehamilan ektopik. Algoritma ini
melibatkan temuan fisik dan alat bantu diagnostik seperti, sonografi
transvaginal (TVS), serum β-hCG awal, operasi diagnostik seperti dilatasi dan
kuretase , laparoskopi, dan laparotomi.6
Pemeriksaan β-hCG cepat dan akurat dalam menentukan kehamilan
dengan menggunakan metode ELISA. Pemeriksaan ini memiliki deteksi
dengan batas nilai bawah 20-25 mIU/mL untuk urin dan ≤ 5 mIU/mL untuk
serum. Jika level β-hCG awal melebihi batas nilai normal dan tidak terdapat
bukti adanya kehamilan intrauterine dengan TVS maka kemungkinan terjadi
suatu kehamilan ektopik. Selain itu perlu dipertimbangkan kemungkinan
terjadinya aborsi komplit, kegagalan kehamilan intrauterine, dan kehamilan
gemelli. Sebaliknya, jika level β-hCG awal dibawah batas nilai normal maka
lokasi kehamilan sulit divisualisasi dengan TVS. Perlu dilakukan pemeriksaan
β-hCG serial untuk mengetahui secara pasti lokasi kehamilan ektopik ini untuk
mengetahui apakah kehamilan akan berlanjut atau tidak.

15
Pemeriksaan serum Progesteron dapat mengklarifikasi diagnosis pada
beberapa kasus. Nilai > 25 ng/mL dapat mengesklusi adanya kehamilan
ektopik dengan sensitivitas 92%. Sebaliknya, nilai <5 ng/mL ditemukan pada
0.3% kehamilan intrauterine normal. Nilai ini menunjukkan kematian
kehamilan intrauterine atau kehamilan ektopik. Pada kehamilan ektopik level
progresteron berkisar 10 and 25 ng/mL. Namun dengan adanya Assisted
Reproductive Technology, nilai progresteron pasien akan meningkat sehingga
perlu dikaji lebih lanjut.7

16
Bagan 1. Algoritma tatalaksana kehamilan ektopik terganggu6

17
TVS dilakukan untuk mengidentifikasi temuan yang mengindikasikan
kehamilan intrauterin atau ektopik. Kantung kehamilan intrauterin biasanya
terlihat di rongga endometrium antara 4 ½ dan 5 minggu usia kehamilan. Yolk
sac muncul antara 5 - 6 minggu usia kehamilan, dan aktivitas jantung janin
pertama kali terdeteksi pada 5 ½ hingga 6 minggu. Pada kehamilan ektopik,
pola endometrium trilaminar dapat menjadi acuan diagnostik dengan
spesifisitas tinggi namun sensitivitas yang rendah.
Kumpulan cairan anekhoik, yang pada keadaan normal menunjukkan
kantung kehamilan intrauterin awal, juga dapat dilihat dengan kehamilan
ektopik, termasuk kantung pseudogestasional dan kista desidua. Pertama,
pseudosac merupakan kumpulan cairan di antara lapisan endometrium dan
memiliki bentuk yang sesuai dengan bentuk rongga. Jika pseudosac
ditemukan, risiko kehamilan ektopik meningkat. Kedua, kista desidua
diidentifikasi sebagai daerah anekhoik yang terletak di dalam endometrium
tetapi jauh dari kanal dan perbatasan endometrium-miometrium. Temuan ini
menujukkan kerusakan desidua awal dan mengawali pembentukan cast
desidua.

Diagnosis kehamilan ektopik menurut sonografi transvaginal berdasarkan


pada visualisasi massa adneksa yang terpisah dari ovarium. Jika tuba falopi

18
dan ovarium tervisualisasi dan yolk sac, embrio, atau janin di luar rahim,
maka kehamilan ektopik secara jelas dapat dikonfirmasi. Dalam kasus lain,
terdapat gambaran halo hiperekoik, adanya kantung anechoic yang
mengelilingi cincin tuba, massa adneksa kompleks yang tidak homogen
biasanya akibat perdarahan karena kehamilan ektopik yang telah pecah ke
dalam tabung. Secara keseluruhan, sekitar 60% kehamilan ektopik dilihat
sebagai massa tidak homogen yang berdekatan dengan ovarium; 20% muncul
sebagai cincin hiperekoik ; dan 13% memiliki kantung kehamilan yang jelas
dengan kutub janin. Tidak semua massa adneksa mewakili kehamilan ektopik,
dan perlu dilakukan konfirmasi antara temuan sonografi dengan informasi
klinis.
Aliran darah plasenta di perifer massa adneksa tervisualisasi seperti cincin
api, hal ini dapat dilihat dengan pencitraan Doppler warna transvaginal.

19
Meskipun hal ini dapat membantu diagnosis, namun temuan ini juga dapat
dilihat pada kehamilan korpus luteum dan sangat sulit dibedakan.
Identifikasi adanya hemoperitoneum dapat membantu diagnosis kehamilan
ektopik. Hal Ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan menggunakan sonografi
atau kuldosentesis. Secara sonografi, hemoperitoneum nampak sebagai cairan
anekhoik atau hipoekhoik. Awalnya darah terkumpul di retrouterine cul-de-
sac, kemudian darah mengelilingi rahim dan mengisi rongga panggul. Darah
sekitar 50 mL dapat dilihat di cul-de-sac menggunakan sonografi, dan
pencitraan transabdominal membantu untuk menilai tingkat hemoperitoneum.
Cairan peritoneum bersamaan dengan massa adneksa sangat prediktif
terhadap kehamilan ektopik. Namun perlu diingat sejumlah kecil cairan di
dalam peritoneum menurpakan keadaan normal.
Kuldosentesis adalah teknik pemeriksaan untuk mengetahui adanya darah
dalam kavum Douglas. Teknik kuldosentesis dapat dilaksanakan dengan
urutan berikut :
1. Penderita diposisikan litotomi
2. Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptik
3. Spekulum dipasang dan bibir belakang portio dijepit dengan cunam
serviks; kemudian dilakukan traksi ke arah depan sehingga forniks
posterior nampak
4. Jarum spinal no. 18 ditusukkan ke kavum Douglas dan dengan
semprit 10 ml dilakukan penghisapan.
5. Bila pada penghisapan ditemukan darah, maka isinya disemprotkan
ke kain kassa dan diperhatikan apakah darah yang dikeluarkan
merupakan darah segar yang berwarna merah yang dalam beberapa
menit akan membeku (darah ini berasal dari arteri atau vena yang
tertusuk) atau darah tua berwarna coklat sampai hitam yang tidak
membeku, atau yang berupa bekuan-bekuan kecil (darah ini
menujukkan adanya hematokel rektouterina)

20
Laparoskopi juga dapat digunakan sebagai metode diagnostik yang secara
langsung memvisualisasikan tuba fallopi dan panggul untuk
mengidentifikasi kehamilan ektopik. Metode ini memiliki keuntungan
untuk memungkinkan transisi ke terapi operatif secara langsung jika
diperlukan

1.8 Tatalaksana
Terapi medikamentosa yang diberikan kepada pasien dengan
kehamilan ektopik adalah antimetabolit Metrotreksat (Mtx). Obat ini
merupakan antagonis asam folat, berikatan dengan dihidrofolat reduktase,
menghambat reduksi tetrahidrofolat menjadi dihidrofilat, yang merupakan
bentuk aktif dari asam folat. Akhirnya, purin dan pirimidin terhambat
sehingga sintesis protein DNA, dan RNA juga terhambat. Mtx bekerja
efektif terhadap sel yang membelah dengan cepat, seperti trofoblast dalam
kehamilan ektopik. Namun obat ini berpengaruh juga pada sumsum
tulang, mukosa saluran cerna, dan epitel pernafasan, serta memiliki efek
toksik pada sel hepatosit. Hasil metabolism disekresikan oleh ginjal
melalui urine. Sekresi dapat terganggu bila pasien mengonsumsi NSAID.

21
Metrotrexat diberikan secara intramuskular dan terdapat dalam tiga bentuk
regimen, yaitu dosis tunggal, ganda, dan multidosis.

Terapi medikamentosa ini dianjurkan untuk wanita dengan gejala


asimptomatik. Hal yang dapat menjadi prediktor keberhasilan terapi adalah
nilai serum β-hCG yang rendah, ukuran kehamilan ektopik yang kecil, dan
belum terdapatnya aktivitas jantung janin.
Wanita dengan kehamilan ektopik yang memilih tindakan operatif
lebih dianjurkan untuk menjalani tindakan laparoskopi, namun bila
keadaan umum dan tanda-tanda vital tidak baik, laparotomi menjadi
pilihan yang tepat. Sebaiknya sebelum tindakan operasi dilakukan, perlu
dilakukan diskusi lebih intens dengan penderita untuk menentukan apakah
fertilitasnya akan dipertahankan. Jika sterilitas diinginkan, tuba yang tidak
terkena dapat diligasi atau diangkat dengan salpingektomi. Salpingotomi
diindikasikan untuk mengangkat kehamilan ektopik yang masih kecil.
Salpingektomi dilakukan dengan pengangkatan pada tuba yang mengalami
gangguan. Setelah tindakan operasi, nilai β-hCG akan turun dengan cepat.
Pada kasus tertentu, jika kehamilan ektopik yang berlokasi di tuba

22
memiliki ukuran < 3cm dan nilai β-hCG awal < 1500mIU/mL, tidak perlu
dilakukan tindakan apapun karena dapat membaik dengan sendirinya.

1.9 Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun
dengan dengan diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Penelitian
menyatakan terdapat 1 kematian dari 826 kasus kehamilan ektopik
terganggu, terdapat 1 kematian dari 526 kasus kehamilan ektopik
terganggu Namun bila pertolongan terlambat diberikan, angka kematian
dapat meningkat. Umumnya, kelainan pada kehamilan ektopik bersifat
bilateral. Sebagian penderita menjadi steril ketika mengalami kehamilan
ektopik berulang pada tuba yang lain. Rekurensi kehamilan ektopik
terganggu berkisar 1-14.6%. Wanita yang tidak ingin memiliki keturunan
lagi, dianjurkan untuk menjalani salpingektomi bilateral. 6

23
MIOMA UTERI
2.1 Definisi
Mioma Uteri atau Fibroid merupakan tumor jinak yang struktur
utamanya adalah otot polos rahim (myometrium). 10,11 Mioma uteri adalah
tumor jinak pada daerah rahim atau lebih tepatnya otot rahim dan jaringan
ikat di sekitarnya. Mioma uteri, dikenal juga dengan sebutan fibromioma,
fibroid, atau leiomioma merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot
polos uterus dan jaringan ikat yang menumpanginya. Mioma uteri berbatas
tegas, tidak berkapsul, dan berasal dari otot polos jaringan fibrous
sehingga mioma uteri dapat berkonsistensi padat jika jaringan ikatnya
dominan, dan berkonsistensi lunak jika otot rahimnya yang dominan.12

2.2 Epidemiologi
Terjadi pada 20-25% perempuan di usia produktif. Insiden 3-9 kali
lebih banyak pada ras kulit berwarna dibandingkan ras kulit putih. Mioma
uteri banyak ditemukan pada usia reproduktif dan angka kejadiannya
rendah pada usia menopause, dan belum pernah dilaporkan terjadi sebelum
menarche10,11.
Penelitian memaparkan bahwa antara 5,4% hingga 77% wanita
terdiagnosis mioma, tergantung pada populasi nya. Studi yang dilakukan
dengan menggunakan USG telah mengkonfirmasi bahwa prevalensi
mioma lebih rendah di Eropa dibandingkan di Amerika Serikat, dan ini
mungkin disebabkan oleh perbedaan ras. Mioma terdeteksi pada 70% uteri
setelah histerektomi dan 80% merupakan multiple mioma.13

24
2.3 Faktor Risiko
Faktor risiko utama mioma uteri adalah Umur, Riwayat keluarga,
obesitas, paritas rendah, kehamilan.11
Mioma tidak muncul sebelum pubertas dan frekuensinya menurun saat
menopause, hal ini dikarenakan oleh stimulasi hormon estrogen. Hormon
estrogen disekresi oleh ovarium mulai saat pubertas berangsur-angsur
meningkat dan akan mengalami penurunan bahkan tidak berproduksi lagi
setelah usia menopause. Mioma didiagnosis pada 20-25% wanita saat usia
reproduksi, dan 30-40% pada wanita usia lebih dari 40 tahun.13
Mioma terjadi lebih banyak terjadi pada wanita ras kulit hitam, dan
lebih jarang pada wanita ras Asia. Pada multipara juga di sebutkan
memiliki faktor risiko lebih kecil dibandingakan wanita nulipara hal ini
dikarenakan hal ini disebabkan besarnya jumlah reseptor estrogen yang
berkurang dilapisan miometrium setelah kehamilan.
Faktor genetik dapat merupakan peran penting dalam perkembangan
mioma. pada wanita yang terdapat riwayat keluarga yang memiliki mioma
lebih cenderung ditemukannya multiple mioma dibandingkan wanita yang
tidak memiliki riwayat kelurga.13

2.4 Etiologi & Patofisiologi


Apakah estrogen secara langsung dapat memicu pertumbuhan mioma
uteri, atau memakai mediator masih menimbulkan silang pendapat. Telah
diketahui bahwa hormone memang menjadi perkusor pertumbuhan
mioma. Konsentrasi reseptor estrogen dalam jaringan mioma lebih tinggi
dibandingkan miometrium, namun lebih rendeah dibandingkan dengan
endometrium. Mioma dapat tumbuh cepat saat penderita hamil atau
terpapar estrogen serta obesitas dan mengecil dan menghilang stelah
menopause. Kontrasepsi hormonal tidak memberikan efek. Merokok dapat
menganggu metabolisme estrogen dan menurukan plasma estrogen,
sehingga menurunkan risiko mioma. Walaupun progesterone dianggap

25
sebagai penyeimbang estrogen, efeknya terhadap pertumbuhan mioma
tidak konsisten10,11.
Setiap leiomyoma berkembang dari satu buah miosit progenitor.
Empat puluh persen mioma memiliki abnormalitas kromosom. Beberapa
subgroup sitogenetik telah diketahui12:
 Perubahan susunan kromosom 12q14 dan 6p pada gen HMGIC dan
HMGIY yang juga terjadi pada berbagai macam neoplasma lainnya.
Kedua gen mengkodekan factor yang meregulasikan struktur kromatin.
 Mutasi gen MED12 yang menkodekan Mediator, sebuah komplek
multiprotein yang menstumulasi ekspresi gen dengan cara menjebatani
elemen regulator DNA (enhancer) dengan gen promoter.
Efek utama leuomioma pada wanita hamil adalah frekuensi abortus
yang meningkat, malpresentasi fetus, inersia uteri dan perdarahan
postpartum. Tranformasi menjadi leimoiosarkoma sangatlah jarang.
Awal mulanya pembentukan tumor adalah terjadinya mutasi
somatik dari sel-sel miometrium. Mutasi ini mencakup rentetan perubahan
kromosom baik secara parsial maupun keseluruhan. Aberasi kromosom
ditemukan pada 23-50% dari mioma uteri yang diperiksa dan yang
terbanyak (36,6%) ditemukan pada kromosom 7 (del(7) (q 21) /q 21 q 32).
Dipercayai bahwa mioma merupakan sebuah tumor monoklonal yang
dihasilkan dari mutasi somatik dari sebuah sel neoplastik tunggal yang
berada di antara otot polos miometrium. Sel-sel mioma mempunyai
abnormalitas kromosom. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
mioma, disamping faktor predisposisi genetik, adalah beberapa hormon
seperti estrogen, progesteron, dan human growth hormon. Dengan adanya
stimulasi estrogen, menyebabkan terjadinya proliferasi di uterus, sehingga
menyebabkan perkembangan yang berlebihan dari garis endometrium,
4
sehingga terjadilah pertumbuhan mioma.

26
2.5 Patologi
Secara makroskopik, leiomyoma berbatas tegas, bulat, padat, berwarna
putih keabuan (kepucatan) dan mempnyai berbagai macam ukuran dari
nodul kecil sampai tumor besar yang menutupi pelvis. Jika dibelah,
leiomyoma menunjukan karakterstik adanya pola berputar pada serat otot.
Walaupun mioma tidak memiliki kapsul yang sesungguhnya, jaringannya
dengat sangat mudah dibebaskan dari myometrium sekitarnya sehingga
mudah dikupas (enukleasi)10,11.
Secara mikroskopis, mioma menunjukan kumpulan dari sel otot polos
yang mirip dengan miomoetrium. Secara individu sel terlihat dalam bentuk
dan ukuran yang sama dan mempunyai nukleus oval dan bentuk
sitoplasmik yang panjang dan tipis. Sel-sel yang mengalami proses mitosis
sangat jarang, walaupun terdapat beberapa varian yang terdapat sel atipikal
atau simplastik. Leiomioma memiliki densitas arterial yang lebih rendah
dibanding myometrium normal, sehingga mudah untuk terkena hipoperfusi
dan iskemi.10,12
Terdapat beberapa varian yang sangat jarang dari mioma uteri seperti
Benign metastasizing leiomyoma dimana mioma menyebar ke pembuluh
darah dan menyebar secara hematogen ke organ lain terutama paru dan
Disseminated peritoneal leiomyomatosis di mana mioma menyebar ke
rongga peritoneum dalam bentuk nodul-nodul kecil. Kedua varian ini
dianggap jinak, walaupun terjadi penyebaran.
Bila terjadi perubahan pasokan darah selama pertumbuhannya, maka
mioma dapat mengalami perubahan sekunder atau degenerasi10,11,12:
 Degenerasi Jinak
o Atrofi yang ditandai dengan pengecilan tumor yang umumnya
terjadi setelah persalinan atau menopause
o Hialin yang terjadi pada mioma yang matang di mana bagian yang
aktif tumbuh kemudian terhenti akibat kehilangan pasonkan nutrisi
dan berubah warnanya menjadi kekuningan, melunak atau melebur
menjadi cairan gelatin

27
o Kistik setelah mengalami degenerasi hialin, sehingga terbentuk
cairan gelatin dan konsistensi mioma menjadi kistik. Adanya
kompresi/tekanan fisik pada bagian tersebut dapat menyebabkan
keluarnya cairan kisa ke kavum uteri, kavum peritoneum mapupun
retroperitoneum
o Kalsifikasi/kalkareus yang umumnya mengenai mioma subserosa
yang tentan terhadap deficit sirkulasi sejingga terjadinya
pengendapat kalsium karbonat dan fosfat dalam tumor
o Septik deficit sirkulasi yang berlanjut menyebabkan nekrosis pada
bagian bagian tengan dan berlanjut dengan infeksi yang ditandai
dengan nyeri, kaku dinding perut dan demam akut.
o Kaneus/Merah yang diakibatkan oleh thrombosis yang diikuti
terjadinya bendungan vena dan perdarahan sehingga menyebabkan
perubahan waPerna. Biasanya bersamaan dengan kehamilan karena
kecepatan pasokan nutrisi bagi hipertrofi myometrium lebih
diprioritaskan sehingga mioma mengalami deficit nutrisi sehingga
terjadi degenerasi aspetik dan infark. Degenerasi ini ditandai
dengan rasa nyeri namun mengjhinglang sendiri. Efek pada
kehamilan dapat terjadi abortus, partus prematurus maupun DIC.
o Miksomatosa/Lemak yang terjadi setelah degenerasi hialin dan
kistik. Sangat jarang dan asimptomatik
 Degenerasi Ganas
Transomasi menjadi leiomiosarkoma terjadi pada 0,1 – 0,5% mioma

2.6 Klasifikasi
Sarang mioma di uterus dapat berasal dari serviks uteri (1-3%) dan
selebihnya adalah dari korpus uteri. Menurut tempatnya di uterus dan
menurut arah pertumbuhannya, maka mioma uteri dibagi 4 jenis antara
lain mioma submukosa, mioma intramural, mioma subserosa, dan mioma
intraligamenter. Jenis mioma uteri yang paling sering adalah jenis

28
intramural (54%), subserosa (48,2%), submukosa (6,1%) dan jenis
intraligamenter (4,4%). 10,11
 Mioma submukosa
Berada dibawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga
uterus. Jenis ini di jumpai 6,1% dari seluruh kasus mioma. Jenis ini
sering memberikan keluhan gangguan perdarahan. Mioma uteri jenis
lain meskipun besar mungkin belum memberikan keluhan perdarahan,
tetapi mioma submukosa, walaupun kecil sering memberikan keluhan
gangguan perdarahan. Mioma submukosa umumnya dapat diketahui
dari tindakan kuretase, dengan adanya benjolan waktu kuret, dikenal
sebagai Currete bump. Tumor jenis ini sering mengalami infeksi,
terutama pada mioma submukosa pedinkulata. Mioma submukosa
pedinkulata adalah jenis mioma submukosa yang mempunyai tangkai.
Tumor ini dapat keluar dari rongga rahim ke vagina, dikenal dengan
nama mioma geburt atau mioma yang di lahirkan, yang mudah
mengalami infeksi, ulserasi, dan infark. Pada beberapa kasus, penderita
akan mengalami anemia dan sepsis karena proses di atas.
 Mioma intramural
Terdapat di dinding uterus diantara serabut miometrium. Karena
pertumbuhan tumor, jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan
terbentuklah semacam simpai yang mengelilingi tumor. Bila didalam
dinding rahim dijumpai banyak mioma, maka uterus akan mempunyai
bentuk yang berdungkul dengan konsistensi yang padat. Mioma yang
terletak pada dinding depan uterus, dalam pertumbuhannya akan
menekan dan mendorong kandung kemih keatas, sehingga dapat
menimbulkan keluhan miksi.
 Mioma subserosa
Apabila tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada
permukaan uterus diliputi oleh serosa. Mioma subserosa dapat tumbuh
diantara kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma
intraligamenter.

29
 Mioma intraligamenter
Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain,
misalnya ke ligamentum atau omentum dan kemudian membebaskan
diri dari uterus. Jarang sekali ditemukan satu macam mioma saja
dalam satu uterus. Mioma pada serviks dapat menonjol ke dalam satu
saluran serviks sehingga ostium uteri eksternum berbentuk bulan sabit.
Apabila mioma dibelah maka tampak bahwa mioma terdiri dari berkas
otot polos dan jaringan ikat yang tersusun seperti kumparan (whorle
like pattern) dengan pseudokapsul yang terdiri dari jaringan ikat
longgar yang terdesak karena pertumbuhan sarang mioma ini

2.7 Gambaran Klinis


Hampir separuh kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan pelvik rutin. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya
gejala klinik meliputi besarnya mioma, lokalisasi mioma, dan perubahan-
perubahan pada mioma. Yang menyulitkan adalah anggapan klasik bahwa
mioma adalah asimtomatik karena hal ini seringkali menyebabkan gejala
yang ditimbulkan dari organ sekitarnya (tuba, ovarium, atau usus) menjadi
terabaikan.
Gejala klinik hanya terjadi pada 35-50% penderita mioma. Hampir
sebagian besar penderita tidak mengetahui bahwa terdapat kelainan di
dalam uterusnya, terutama sekali pada penderita dengan obesitas. Keluhan
penderita sangat tergantung pula dari lokasi atau jenis mioma yang
diderita. Berbagai keluhan penderita dapat berupa: 10,11
 Perdarahan Abnormal Uterus
Perdarahan menjadi manifestasi klinik utama pada mioma dan hal
ini terjadi pada 30% penderita. Bila terjadi secara kronis maka dapat
terjadi anemia defisiensi zat besi dan bila berlangsung lama dan dalam
jumlah yang besar maka sulit untuk dikoreksi dengan suplementasi zat
besi. Perdarahan pada mioma submukosa seringkali diakibatkan oleh
hambatan pasokan darah endometrium, tekanan, dan bendungan

30
pembuluh darah di area tumor (terutama vena) atau ulserasi
endometrium di atas tumor. Tumor bertangkai seringkali menyebabkan
trombosis vena dan nekrosis endometrium akibat tarikan dan infeksi
(vagina dan kavum uteri terhubung oleh tangkai yang keluar dari
ostium serviks). Dismenorea dapat disebabkan oleh efek tekanan,
kompresi, termasuk hipoksia lokal miometrium.
 Nyeri
Mioma tidak menyebabkan nyeri dalam pada uterus kecuali apabila
kemudian terjadi gangguan vaskuler. Nyeri bisa terjadi saat
menstruasi, setelah berhubungan seksual, atau ketika terjadi penekanan
pada panggul. Nyeri lebih banyak terkait dengan proses degenerasi
akibat oklusi pembuluh darah, infeksi, torsi tangkai mioma atau
kontraksi uterus sebagai upaya untuk mengeluarkan mioma subserosa
dari kavum uteri. Gejala abdomen akut dapat terjadi bila torsi berlanjut
dengan terjadinya infark atau degenerasi merah yang mengiritasi
selaput peritoneum (seperti peritonitis). Mioma yang besar dapat
menekan rektum sehingga menimbulkan sensasi untuk mengedan.
Nyeri pinggang dapat terjadi pada penderita mioma yang menekan
persarafan yang berjalan di atas permukaan tulang pelvis.

 Efek Penekanan
Walaupun mioma dihubungkan dengan adanya desakan tekan,
tetapi tidaklah mudah untuk menghubungkan adanya penekanan organ
dengan mioma. Mioma intramural sering dikaitkan dengan penekanan
terhadap organ sekitar. Parasitik mioma dapat menyebabkan obstruksi
saluran cerna, perlekatannya dengan omentum menyebabkan
strangulasi usus. Mioma serviks dapat menyebabkan sekret
serosanguinea vaginal, perdarahan, dispareunia, dan infertilitas. Bila
ukuran tumor lebih besar lagi, akan terjadi penekanan ureter, kandung
kemih dan rektum. Semua efek penekanan ini dapat dikenali melalui
pemeriksaan IVP, kontras saluran cerna, rontgen, dan MRI. Abortus

31
spontan dapat disebabkan oleh efek penekanan langsung mioma
terhadap kavum uteri.
 Infertilitas dan abortus
Infertilitas dapat terjadi apabila sarang mioma menutup atau
menekan pars interstisialis tuba, sedangkan mioma submukosum juga
memudahkan terjadinya abortus oleh kerana distorsi rongga uterus.
Mioma yang terletak di daerah kornu dapat menyebabkan sumbatan
dan gangguan transportasi gamet dan embrio akibat terjadinya oklusi
tuba bilateral. Dapat menyebabkan gangguan kontraksi ritmik uterus
yang sebenarnya diperlukan untuk motilitas sperma di dalam uterus.
Gangguan implantasi embrio dapat terjadi pada keberadaan mioma
akibat perubahan histologi endometrium di mana terjadi atrofi karena
kompresi massa tumor.

2.8 Diagnosis
 Anamnesis
o Timbul benjolan di perut bagian bawah dalam waktu yang relatif
lama.
o Kadang-kadang disertai gangguan haid, buang air kecil atau buang
air besar.
o Nyeri perut bila terinfeksi, terpuntir, pecah.
 Pemeriksaan fisik
o Teraba massa tumor pada abdomen bagian bawah serta pergerakan
tumor dapat terbatas atau bebas
o Pemeriksaan ginekologik dengan pemeriksaan bimanual
didapatkan tumor tersebut menyatu dengan rahim atau mengisi
kavum Douglasi.

32
 Pemeriksaan penunjang
o Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Adanya
hubungan antara polisitemia dengan penyakit ginjal diduga akibat
penekanan mioma terhadap ureter yang menyebabkan peninggian
tekanan balik ureter dan kemudian menginduksi pembentukan
eritropoetin ginjal.
o USG, untuk menentukan jenis tumor, lokasi mioma, ketebalan
endometrium dan keadaan adnexa dalam rongga pelvis. Mioma
juga dapat dideteksi dengan CT scan ataupun MRI, tetapi kedua
pemeriksaan itu lebih mahal dan tidak memvisualisasi uterus
sebaik USG. Untungnya, leiomiosarkoma sangat jarang karena
USG tidak dapat membedakannya dengan mioma dan
konfirmasinya membutuhkan diagnosa jaringan.
o Dalam sebagian besar kasus, mioma mudah dikenali karena pola
gemanya pada beberapa bidang tidak hanya menyerupai tetapi juga
bergabung dengan uterus; lebih lanjut uterus membesar dan
berbentuk tak teratur.
o Foto BNO/IVP pemeriksaan ini penting untuk menilai massa di
rongga pelvis serta menilai fungsi ginjal dan perjalanan ureter.
Histerografi dan histeroskopi untuk menilai pasien mioma
submukosa disertai dengan infertilitas. Laparaskopi untuk
mengevaluasi massa pada pelvis.

 Diagnosis Banding
Pada mioma subserosa, diagnosa bandingnya adalah tumor
ovarium yang solid, atau kehamilan uterus gravid. Sedangkan pada
mioma submucosum yang dilahirkan diagnosa bandingnya adalah
inversio uteri. Kemudian, pada mioma intramural, diagnosa

33
bandingnya adalah adenomiosis, khoriokarsinoma, karsinoma korporis
uteri atau sarkoma uteri. 10,11

34
2.9 Tatalaksana
Pilihan pengobatan mioma tergantung umur pasien, paritas, status
kehamilan, keinginan untuk mendapatkan keturunan lagi, keadaan umum
dan gejala serta ukuran lokasi serta jenis mioma uteri itu sendiri. 10
 Konservatif
Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah ataupun
medikamentosa terutama bila mioma itu masih kecil dan tidak
menimbulkan gangguan atau keluhan. Penanganan konservatif, bila
mioma yang kecil pada pra dan post menopause tanpa gejala. Cara
penanganan konservatif sebagai berikut:
o Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-6
bulan.
o Bila anemia, Hb < 8 g% transfusi PRC.
o Pemberian zat besi.
o Penggunaan agonis GnRH leuprolid asetat 3,75 mg IM pada hari 1-
3 menstruasi setiap minggu sebanyak tiga kali.
Agonis GnRH mengakibatkan pengerutan tumor dan
menghilangkan gejala. Obat ini menekan sekresi gonadotropin dan
menciptakan keadaan hipoestrogenik yang serupa yang ditemukan
pada periode postmenopause. Efek maksimum dalam mengurangi
ukuran tumor diobservasi dalam 12 minggu.
Terapi agonis GnRH ini dapat pula diberikan sebelum
pembedahan, karena memberikan beberapa keuntungan: mengurangi
hilangnya darah selama pembedahan, dan dapat mengurangi kebutuhan
akan transfusi darah.
Baru-baru ini, progestin dan antiprogestin dilaporkan mempunyai
efek terapeutik. Kehadiran tumor dapat ditekan atau diperlambat
dengan pemberian progestin dan levonorgestrol intrauterin.

35
 Pengobatan Operatif
Penanganan dapat dilakukan secara operatif menurut American
College of Obstetricians and Gyneclogist (ACOG) dan American
Society of Reproductive Medicine (ASRM) apabila:
o Ukuran tumor lebih besar dari ukuran uterus 12-14 minggu.
o Pertumbuhan tumor cepat dan kecurigaan keganasan
o Mioma subserosa bertangkai dan torsi.
o Menjadi penyulit pada kehamilan berikutnya & Infertilitas
o Menometrorrhagia dan anemia
o Penekanan pada organ sekitarnya dan nyeri panggul

Jenis operasi yang dilakukan dapat berupa:


o Miomektomi
Miomektomi adalah pengambilan mioma saja tanpa
pengangkatan uterus. Apabila wanita sudah dilakukan miomektomi
kemungkinan dapat hamil sekitar 30-50%. Tindakan miomektomi
dapat dilakukan dengan laparotomi, histeroskopi maupun dengan
laparoskopi. Pada laparotomi, dilakukan insisi pada dinding
abdomen untuk mengangkat mioma dari uterus. Keunggulan
melakukan miomektomi dengan laparotomi adalah lapangan
pandang operasi yang lebih luas sehingga penanganan terhadap
perdarahan yang mungkin timbul pada pembedahan miomektomi
dapat ditangani dengan segera. Namun pada miomektomi secara
laparotomi resiko terjadi perlengketan lebih besar, sehingga akan
mempengaruhi faktor fertilitas pada pasien, disamping masa
penyembuhan paska operasi lebih lama, sekitar 4-6 minggu.
Pada miomektomi secara histeroskopi dilakukan terhadap
mioma submukosum yang terletak pada kavum uteri. Keunggulan
tehnik ini adalah masa penyembuhan paska operasi sekitar 2 hari.
Komplikasi yang serius jarang terjadi namun dapat timbul

36
perlukaan pada dinding uterus, ketidakseimbangan elektrolit dan
perdarahan.
Miomektomi juga dapat dilakukan dengan menggunakan
laparoskopi. Mioma yang bertangkai diluar kavum uteri dapat
diangkat dengan mudah secara laparoskopi. Mioma subserosum
yang terletak didaerah permukaan uterus juga dapat diangkat
dengan tehnik ini. Keunggulan laparoskopi adalah masa
penyembuhan paska operasi sekitar 2-7 hari. Resiko yang terjadi
pada pembedahan ini termasuk perlengketan, trauma terhadap
organ sekitar seperti usus, ovarium, rektum serta perdarahan.
Sampai saat ini miomektomi dengan laparoskopi merupakan
prosedur standar bagi wanita dengan mioma uteri yang masih ingin
mempertahankan fungsi reproduksinya
o Histerektomi
Dilakukan apabila pasien tidak menginginkan anak lagi, dan
pada penderita yang memiliki leiomioma yang simptomatik atau
yang sudah bergejala. Histerektomi adalah pengangkatan uterus,
yang umumnya adalah tindakan terpilih. Tindakan histerektomi
pada mioma uteri sebesar 30% dari seluruh kasus. Kriteria ACOG
untuk histerektomi adalah sebagai berikut:
 Terdapatnya 1 sampai 3 leiomioma asimptomatik atau yang
dapat teraba dari luar dan dikeluhkan olah pasien.
 Perdarahan uterus berlebihan:
 Perdarahan banyak bergumpal-gumpal atau berulang-ulang
selama lebih dari 8 hari.
 Anemia akibat kehilangan darah akut atau kronis.
 Rasa tidak nyaman di pelvis akibat mioma meliputi:
 Nyeri hebat dan akut.
 Rasa tertekan punggung bawah atau perut bagian bawah
yang kronis.

37
 Penekanan buli-buli dan frekuensi urine yang berulang-
ulang dan tidak disebabkan infeksi saluran kemih
Tindakan histerektomi dapat dilakukan secara abdominal
(laparotomi), vaginal dan pada beberapa kasus dilakukan
laparoskopi. Histerektomi perabdominal dapat dilakukan dengan 2
cara yaitu total abdominal hysterectomy (TAH) dan subtotal
abdominal histerectomy (STAH). Masing-masing prosedur ini
memiliki kelebihan dan kekurangan. STAH dilakukan untuk
menghindari resiko operasi yang lebih besar seperti perdarahan
yang banyak, trauma operasi pada ureter, kandung kemih dan
rektum. Namun dengan melakukan STAH kita meninggalkan
serviks, dimana kemungkinan timbulnya karsinoma serviks dapat
terjadi. Pada TAH, jaringan granulasi yang timbul pada tungkul
vagina dapat menjadi sumber timbulnya sekret vagina dan
perdarahan paska operasi di mana keadaan ini tidak terjadi pada
pasien yang menjalani STAH.
Histerektomi juga dapat dilakukan pervaginam, dimana
tindakan operasi tidak melalui insisi pada abdomen. Secara umum
histerektomi vaginal hampir seluruhnya merupakan prosedur
operasi ekstraperitoneal, dimana peritoneum yang dibuka sangat
minimal sehingga trauma yang mungkin timbul pada usus dapat
diminimalisasi. Maka histerektomi pervaginam tidak terlihat parut
bekas operasi sehingga memuaskan pasien dari segi kosmetik.
Selain itu kemungkinan terjadinya perlengketan paska operasi
lebih minimal dan masa penyembuhan lebih cepat dibandng
histerektomi abdominal.

2.10 Mioma Uteri pada Kehamilan


Mioma dapat memberikan pengaruh terhadap kehamilan berupa: 10,11
 Kemungkinan abortus lebih besar karena distorsi kavum uteri
khususnya pada mioma submukosum

38
 Kelainan letak janin
 Plasenta previa dan plasenta akreta
 Inersia maupun atonia uteri akibat gangguan mekanik dalam fungsi
miometrium
 Plasenta sukar lepas (retensio plasenta) terutama pada mioma
submukosa dengan intramural.
 Menganggu proses involusi uterus dalam masa nifas
 Jika letaknya dekat pada serviks, dapat menghalangi kemajuan
persalinan dan menghalangi jalan lahir.
 Persalinan prematuritas
Sementara itu, kehamilan dapat mempengaruhi mioma uteri:
 Mioma membesar terutama pada bulan-bulan pertama karena pengaruh
estrogen yang meningkat
 Dapat terjadi degenerasi merah pada waktu hamil maupun masa nifas
seperti telah diutarakan sebelumnya, yang kadang-kadang memerlukan
pembedahan segera guna mengangkat sarang mioma. Namun,
pengangkatan sarang mioma demikian itu jarang menyebabkan
perdarahan.
 Meskipun jarang, mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi
dengan gejala dan tanda sindrom akut abdomen
Terapi mioma dengan kehamilan adalah konservatif karena
miomektomi pada kehamilan sangat berbahaya disebabkan kemungkinan
perdarahan hebat dan dapat juga menimbulkan abortus. Operasi terpaksa
dilakukan jika penyulit-penyulit yang menimbulkan gejala akut atau
karena mioma sangat besar. Jika mioma menghalangi jalan lahir,
dilakukan SC disusul histerektomi namun jika dilakukan miomektomi
lebih baik ditunda sampai sesudah masa nifas.

2.11 Komplikasi
 Perdarahan sampai terjadi anemia.

39
 Degenerasi ganas. Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma
ditemukan hanya 0,32 – 0,6 % dari seluruh mioma serta merupakan 50
– 75 % dari semua sarkoma uterus. Keganasan umumnya baru
ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus yang telah diangkat.
Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma uteri cepat
membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma dalam
menopause.
 Torsi. Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul
gangguan sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Keadaan ini
dapat terjadi pada semua bentuk mioma tetapi yang paling sering
adalah jenis mioma submukosa pendinkulata. 10,11

2.12 Prognosis
Histerektomi dengan mengangkat seluruh mioma adalah kuratif.
Miomektomi yang ekstensif dan secara signifikan melibatkan miometrium
atau menembus endometrium, maka diharuskan SC pada persalinan
berikutnya. Mioma yang kambuh kembali setelah miomektomi terjadi
pada 15-40% pasien dan 2/3-nya memerlukan tindakan lebih lanjut.10

BAB III

KESIMPULAN

40
Kehamilan ektopik merupakan kehamilan dimana blastokist berimplantasi
di tempat selain lapisan endometrium rongga rahim. Terjadi pada 1-2% dari
kehamilan normal. Riwayat operasi tuba, infeksi pada tuba, abnormalitas anatomi
tuba, adhesi pertuba akibat apendisitis, salpingitis, dan endometriosis, faktor zigot,
ovarium, serta penggunaan KB jenis tertentu menjadi faktor risiko terjadinya
kehamilan ektopik. Kejadian ini paling sering terjadi di tuba, selain itu dapat
ditemukan juga di bagian pars interstitial, servikal, abdominal, ovarium, dan luka
post sesar. Trias klasik untuk membantu mendiagnosis kehamilan ektopik adalah
amenorea diikuti dengan adanya perdarahan pervaginam, nyeri perut ipsilateral.
Jika terjadi ruptur dapat ditemukan nyeri perut bagian bawah dan pelvis, dan
hematokel rektouterina. Diagnosis kehamilan ektopik dibuat berdasarkan
pemeriksaan fisik, sonografi transvaginal, dan serum β-hCG. Tatalaksana yang
diberikan dapat berupa medikamentosa dengan metrotreksat atau tindakan
operatif.

Mioma uteri adalah tumor jinak pada daerah rahim atau lebih tepatnya otot
rahim dan jaringan ikat di sekitarnya. Terjadi pada 20-25% perempuan di usia
produktif. Insiden 3-9 kali lebih banyak pada ras kulit berwarna dibandingkan ras
kulit putih. Mioma uteri banyak ditemukan pada usia reproduktif dan angka
kejadiannya rendah pada usia menopause, dan belum pernah dilaporkan terjadi
sebelum menarche1 Faktor risiko utama mioma uteri adalah Umur, Riwayat
keluarga, obesitas, paritas (makin sering melahirkan lebih sedikit
kemungkinannya), kehamilan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Obstetri patologi: ilmu kesehatan reproduksi / editor: Djamhoer


Martaadisoebrata, Firman F. Wirakusumah, Jusuf S. Effendi. Edisi 3. Jakarta:

41
EGC. 2013.
2. Stulberg D, Cain R. Ectopic Pregnancy Rates in The Medical Population
American Journal of Obstetric and Gynecology. 2013; 1:p.208-274.
3. ILMU Kebidanan Sarwono Prawirohardjo/editor ketua, Abdul Bari
Saifuddin, editor, Trijatmo Rachimhadi, Gulardi H, Wiknjosastro. Edisi 4
Cetakan 5. Jakarta: PT Bina Pustaka. 2016.
4. Taran FA, Kagan KO, Hübner M, Hoopmann M, Wallwie- ner D, Brucker S:
The diagnosis and treatment of ectopic pregnancy. Dtsch Arztebl Int 2015;
112: 693–704. DOI: 10.3238/arztebl.2015.0693
5. Santoso B. Analisis Faktor Risiko Kehamilan Ektopik. Jurnal Ners Vol. 6 No.
2 Oktober 2011: 164–168.
6. Cunningham FG et al. 2014. Kehamilan Ektopik. Dalam C. F. al, William
Obstetrics 23rd Ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc.
7. Barash JH, Buchanan EM, Hillson C, University TJ. Diagnosis and
Management of Ectopic Pregnancy. Ectopic Pregnancy. 2014;90(1):7.
10. Hoffman, BL, et al. 2016. Williams Gynecology. 3rd Edition. New York,
McGraw Hill
11. Kumar, V et al. 2015. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. 9th
Edition. Philadelphia, Elsevier
12. Salim, IA . et al. 2015. Karakteristik Mioma Uteri di RSUD Dr. Marrgono
Soekarjo Banyumas. XIII(3). Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Kesehatan.
13. Sparic, R. et al. 2016. Epidemiology of Uterine Myoma : A review. Int. J
Fertil Steril, Vol 9, No 4.

42

Anda mungkin juga menyukai