Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dan persekutuan alam

lingkungan. Hutan sebagai kekayaan alam harus dikelola secara lestari.

Pengelolaan hutan lestari perlu dilaksanakan agar perubahan hutan yang terjadi

secara terus menerus dapat berlangsung tanpa mengurangi nilai kelestariannya.

Pengelolaan hutan secara lestari dengan mewujudkan asas kelestarian, baik itu

kelestarian hasil hutan maupun kelestarian perusahaan.

Kelestarian hutan dapat diwujudkan dengan pengaturan hasil hutan yang

tepat. Pengaturan hasil hutan merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan hutan.

Pengaturan hasil hutan kayu berdasarkan asas kelestarian akan diperoleh hasil

secara teratur dan berkelanjutan, serta terwujudnya kondisi hutan normal.

Pengaturan hasil hutan akan meliputi tiga hal penting yaitu perhitungan jumlah

dari kayu yang akan dihasilkan, pembagian hasil ke dalam tebangan, dan

penyusunan rencana penebangan.

Hutan tanaman jati di Jawa dikelola oleh Perum Perhutani dengan tujuan

untuk mencapai pengelolaan hutan yang lestari. Untuk mewujudkan pengelolaan

yang lestari, Perum Perhutani telah melakukan tindakan yaitu penataan batas

1
2

dengan pemasangan pal-pal batas kawasan, permudaan hutan dengan sistem

tumpangsari, dan menetapkan etat sesuai Surat Keputusan Direktur Jenderal

Kehutanan No. 143/KPTS/DJ/1974 sering dikenal dengan Instruksi 1974 tentang

Peraturan Inventarisasi Hutan Jati dan Peraturan Penyusunan Rencana Pengaturan

Kelestarian Hutan Khusus Kelas Perusahaan Tebang Habis Jati. Pengelolaan

hutan tanaman jati oleh Perum Perhutani diarahkan untuk pemanfaatan hasil hutan

dengan menerapkan perhitungan etat yang tidak over cutting agar terciptanya

kelestarian hutan.

Perhitungan etat berdasarkan Instruksi 1974 dikenal juga sebagai Metode

UTR (Umur Tebang Rata-rata). Penaksiran volume pada UTR bukan pada akhir

daur. Dalam metode ini, luas hutan produktif masing-masing kelas umur tidak

mengalami perubahan selama waktu tersebut atau dianggap konstan. Kenyataan

saat ini keadaan hutan tidak normal dengan dominasi kelas umur muda, maka

perlu penyesuaian terhadap metode UTR.

Kondisi tidak normal ditunjukkan dengan bertambahnya luas Kelas

Umur muda (KU I) tiap tahun yang diakibatkan berbagai macam kerusakan dan

kegagalan tanaman. Kerusakan termasuk dalam faktor resiko yang terjadi pada

tegakan hingga mencapai daur. Perhitungan etat dengan metode UTR

menganggap kondisi hutan normal, tidak memperhatikan perubahan terjadi dan

dominasi KU muda. Kondisi ini yang menyebabkan penebangan KU muda untuk

memenuhi etat. Berdasarkan kondisi tersebut diperlukan suatu metode

perhitungan etat yang tepat untuk merancang tebangan selama daur.


3

Daur yang digunakan saat ini 60 tahun. Daur panjang memiliki kelemahan

antara lain butuh waktu lama menunggu sampai produksi. Daur panjang yang

tidak mempertimbangkan faktor resiko akan berdampak terhadap penurunan

potensi tegakan yang akan mempengaruhi produksi yang dihasilkan. Maka, perlu

daur pendek sebagai alternatif produksi pada tegakan yang mengalami resiko

kerusakan. Sebagai contoh penerapan multidaur dilakukan pada tegakan yang

mengalami resiko kerusakan (casualty per cent). Konsep multidaur diharapkan

akan membentuk tegakan hutan yang mendekati keadaan normal, sehingga suatu

saat luas dan hasil kayu dapat kurang lebih sama setiap tahun atau periode

tertentu.

Analisis multidaur menggunakan casualty per cent dilakukan pada KPH

Randublatung. Lokasi ini dipilih karena KPH Randublatung mengalami

penurunan dari jangka 1973-1982 sampai jangka 2013-2022 sangat signifikan.

Terjadi juga perubahan kelas hutan produktif, dilihat dari data evaluasi potensi

KPH Randublatung selama tahun 2010-2012 yaitu luas kelas hutan jati produktif

menurun dari 24.777,1 Ha menjadi 22.919,6 Ha atau menurun sebesar 8%.

Perubahan struktur tegakan akan berpengaruh pada rancangan pengaturan hasil

selama daur. Maka perlu diadakan penelitian analisis multidaur dalam pengaturan

hasil, sehingga akan memberikan hasil pada tegakan serta nilai tegakan yang

optimal, berkesinambungan, dan kelestarian hutan tetap terjaga.


4

1.2 Rumusan Masalah

Konsep hutan normal dengan distribusi luasan kelas umur yang kurang

lebih sama merupakan salah satu implementasi dari prinsip kelestarian hasil

(sustained yield principles). Dalam konteks kelestarian hasil, pengaturan hasil

hutan kayu diarahkan pada terwujudnya hutan yang mendekati keadaan normal.

Kondisi hutan normal dengan kriteria di atas merupakan kondisi ideal yang

menurut Osmaston dalam Simon (1994) diistilahkan dengan kondisi hutan hampir

sempurna. Termasuk dalam kategori kondisi ideal tersebut belum

dipertimbangkannya faktor-faktor resiko tegakan selama perjalanan dari mulai

penanaman sampai masak tebang. Dengan demikian, kondisi hutan normal dapat

didekati dengan dua pendekatan yaitu, pendekatan ideal dan pendekatan yang

mempertimbangkan faktor resiko (casualty per cent).

Pengaturan hasil hutan di Perum Perhutani menggunakan Instruksi 1974

dengan daur tunggal. Daur tunggal tanpa mempertimbangkan faktor resiko pada

Instruksi 1974 menyebabkan penurunan struktur tegakan. Hal ini yang

menyebabkan struktur tegakan dengan daur 60 tahun didominasi kelas umur muda

dan semakin tua semakin kecil luasannya. Hal ini didasarkan pada kenyataan

bahwa tidak semua tegakan umur muda akan selamat sampai mencapai umur

masak tebang (Rohman, 2008). Apabila mempertimbangkan faktor resiko dalam

perhitungan etat maka struktur tegakan diarahkan mencapai kondisi normal.

KPH Randublatung merupakan KPH yang mengalami perubahan struktur

kelas hutan dari jangka 1973-1982 sampai jangka 2013-2022 yang signifikan.
5

Kondisi hutan tersebut dapat menimbulkan permasalahan berupa berkurangnya

tegakan yang siap untuk ditebang. Hal ini akan berdampak kurang baik terhadap

kondisi keuangan perusahaan. Dengan demikian perlu dirumuskan sistem

pengaturan hasil KPH Randublatung untuk memperbaiki struktur tegakan dengan

pendekatan konsep multidaur yang menyertakan faktor resiko agar struktur

tegakan dapat mendekati hutan normal sehingga terwujudnya kelestarian hasil dan

kelestarian perusahaan. Berdasarkan uraian di atas, secara garis besar masalah

dalam penelitian ini dirumuskan dengan pertanyaan kunci :

1. Berapa nilai faktor resiko kerusakan hutan tanaman jati di KPH

Randublatung?

2. Bagaimana rancangan multidaur dalam pengaturan hasil pada hutan produktif

KPH Randublatung dengan mempertimbangkan faktor resiko untuk

mewujudkan struktur hutan yang mendekati normal?

3. Bagaimana perbedaan nilai tegakan saat ditebang berdasarkan casualty per

cent, Instruksi 1974, dan rancangan multidaur mempertimbangkan casualty

per cent di KPH Randublatung?


6

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian sebagai berikut :

1. Menghitung nilai faktor resiko kerusakan hutan tanaman jati di KPH

Randublatung berdasarkan perkembangan struktur kelas hutan produktif.

2. Merancang multidaur dalam pengaturan hasil pada hutan produktif KPH

Randublatung dengan mempertimbangkan faktor resiko kerusakan untuk

mewujudkan struktur hutan yang mendekati normal.

3. Menghitung perbedaan nilai tebangan saat ditebang berdasarkan casualty per

cent, Instruksi 1974, dan rancangan multidaur mempertimbangkan casualty

per cent di KPH Randublatung.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini berawal dari adanya permasalahan di Perum Perhutani

yaitu adanya kemunduran kualitas tegakan yang berdampak pada terganggunya

kesinambungan produksi hasil hutan. Struktur tegakan hutan tanaman jati di

Perum Perhutani yang didominasi umur muda perlu dikelola menuju pada struktur

tegakan yang mendekati keadaan normal sesuai tujuan pengelolaan. Manfaat

penelitian ini dapat digunakan sebagai berikut :

1. Sebagai alternatif solusi bagi pihak perencana dan pengelola hutan berupa

penggunaan multidaur dalam pengaturan hasil (pemanenan kayu) setiap tahun

dengan mempertimbangkan faktor resiko kerusakan hutan.


7

2. Membuat pengaturan hasil dengan distribusi hutan yang mendekati normal

dapat lebih cepat tercapai.

3. Memberikan informasi nilai tegakan bagi perusahaan dari pengaturan hasil

hutan tanaman jati dengan berbagai konsep sebagai pertimbangan

pengelolaan hutan di masa yang akan datang.

4. Bagi peneliti lain, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan

yang dapat dikembangkan menjadi penelitian yang lebih komprehensif.

Anda mungkin juga menyukai