Anda di halaman 1dari 13

LOKALITAS DALAM ARSITEKTUR

KONSEP KELOKALAN PADA TATA RUANG


DAN MASSA DESA PANGLIPURAN
TERKAIT GOOD ARCHITECUTRE

NAMA : KENNETH NATHALIO A.


NPM : 2017420026
DOSEN KELAS : Dr. Ir. BACHTIAR FAUZY, M.T.

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN


FAKULTAS TEKNIK JURUSAN ARSITEKTUR
PROGRAM STUDI SARJANA ARSITEKTUR
Akreditasi Institusi Berdasarkan BAN Perguruan Tinggi No: 4339/SK/BAN-
PT/Akred/PT/XI/2017 dan Akreditasi Program Studi Berdasarkan BAN
Perguruan Tinggi No: 4501/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2019

BANDUNG
2021
Abstrak

KONSEP KELOKALAN PADA TATA RUANG DAN MASSA


DESA PANGLIPURAN BALI TERKAIT GOOD
ARCHITECTURE
Oleh
Kenneth Nathalio Alexander

Desa Panglipuran terletak di Kabupaten Bangli, Bali. Merupakan salah satu desa
kuno yang berada di Bali Desa Penglipuran terbentuk dari perpindahan penduduk dari Desa
Balong Gede. Pada awalnya penduduk diperintahkan oleh raja Balong Gede untuk
mendirikan suatu wilayah suci baru, akan tetapi para pekerja memutuskan untuk menetap
dan kemudian mendirikan pemukiman baru di sekitar wilayah suci tersebut. Dikarenakan
pemukiman rakyat didirikan setelah pura dan juga karena kontur daerah, maka pura
diletakkan pada zona hirarki paling tinggi sesuai dengan derajat kedudukannya.
Penelitian menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif dengan cara
mendeskripsikan keadaan eksisting tata massa dan ruang desa panglipuran dan membandingkannya
dengan konsep budaya Bali. Desa panglipuran memiliki konsep Tri Mandala yang
mengkategorikan zonasi sebagai Utama (suci), Madya (peralihan), dan Nista (profan).
Orientasi Tri Mandala ada 2; Kangin (Timur) - Kauh (Barat), dan Kaja (Gunung) - Kelod
(Laut) dimana Kangin lebih utama karena tempat matahari terbit, dan Kaja lebih utama,
dan di desa Panglipuran, Gunung berada di arah utara sehingga area timur laut bangunan
lebih utama. Pada bagian selatan bangunan, ada sebuah tempat terpencil dan makam yang
dianggap sebagai tempat yang tidak suci.
Tata massa linear bangunan pada desa ini ditata dengan menerapkan konsep dari Tri
Hita Karana sebagai upaya untuk menjaga hubungan baik antara Tuhan, manusia, dan alam.
Konsep ini umumnya digunakan pada bangunan- bangunan tradisional Bali. Pada konsep
ini dapat dipahami bahwa wujud arsitektur bisa memiliki nilai yang luhur jika dilihat dari
makna- makna dari susunan arsitekturnya. Konsep tersebutlah yang menghasilkan suatu
pandangan yang memiliki nilai kelokalan yang muncul. Ekspresi yang dihadirkan dapat
merangsang indra untuk merasakan suasana dan sesuatu yang memiliki nilai magis dan suci
serta menghargai Tuhan dan alam.

i
DAFTAR ISI

Abstrak..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 2
2.1. Teori Bentuk dan Ruang .............................................................................. 2
2.2. Metode Penelitian ........................................................................................ 3
BAB 3 RESILIENSI TEKTONIKA SOPO NAGARI SIHOTANG TERHADAP
GEMPA BUMI ..................................................................................................... 4
BAB 4 KESIMPULAN ..................................................................................................... 8
4.1. Kesimpulan .................................................................................................. 8
4.2. Saran ............................................................................................................ 8

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia dikenal dengan arsitektur tradisionalnya yang beragam. Arsitektur
tradisional menjadi suatu ciri khas yang menandai suatu daerah dengan kontekstualitas
budaya dan keadaan alam. Keadaan alam dan budaya menjadi dasar dari suatu bentuk yang
mempengaruhi lokalitas yang tercermin pada suatu karya arsitektur.
Kebudayaan di Indonesia memiliki berbagai ragam jenis dan bentuk yang memiliki
suatu daya tariknya tersendiri. Ragam jenis dan bentuk kebudayaan tersebut dipengaruhi
oleh konteks kelokalan yang berbeda- beda pada tiap daerah. Nilai- nilai kelokalan
terbentuk dari suatu kepercayaan, kebiasaan masyarakat, keadaan sosial, serta kondisi
alam. Konteks kelokalan tumbuh dalam suatu tatanan masyarakat yang diwariskan dari
generasi ke generasi.
Bali merupakan salah satu daerah yang masih mempertahankan nilai- nilai
kelokalannya. Hal tersebut dapat terlihat dari mulai kegiatan sosial masyarakatnya,
kepercayaan, bahasa, peninggalan sejarah, sampai gaya arsitektur bangunannya yang
berdiri. Konteks kelokalan dan budaya yang kuat menjadikan peninggalan arsitektur
tradisional Bali memiliki suatu nilai estetika yang menarik. Salah satunya terdapat pada
Desa adat Panglipuran yang berada di kabupaten Bangli, Bali.

1
BAB II
TEORI DAN METODOLOGI
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Bentuk dan Ruang


Dalam buku Architecture Form, Space, and Order, D. K. Ching menyatakan bahwa
terdapat beragam konfigurasi elemen bentuk yang menghasilkan dan mendifinisikan tipe-
tipe suatu organisasi ruang. Organisasi ruang dapat dibagi menjadi 5 kategori, yaitu.:

a. Organisasi Terpusat
Sebuah ruang dominan yang terpusat dengan pengelompokan sejumlah ruang
sekunder. Organisasi yang terpusat merupakan suatu komposisi yang stabil, terkonsentrasi,
yang terdiri dari ruang sekunder yang mengelilingi ruang sentral besar dan dominan.

b. Organisasi Linear
Bentuk organisasi linear bersifat flexsibel dan dapat menanggapi terhadap
bermacam-macam kondisi tapak. Bentuk ini dapat disesuaikan dengan adanya perubahan-
perubahan topografi, mengitari suatu badan air atau sebatang pohon, atau mengarahkan
ruang-ruangnya untuk memperoleh sinar matahari dan pemandangan. Dapat berbentuk
lurus, bersegmen, atau melengkung. Konfigurasinya dapat berbentuk horizontal sepanjang
tapaknya, diagonal menaiki suatu kemiringan atau berdiri tegak seperti sebuah menara

c. Organisasi Radial
Organisasi radial adalah sebuah bentuk yang ekstrovert yang mengembangkan
keluar lingkupnya serta memadukan unsurunsur baik organisasi terpusat maupun linear.
Variasi tertentu dari organisai radial adalah pola baling-baling di mana lenganlengan
linearnya berkembang dari sisi sebuah ruang pusat berbentuk segi empat atau bujur
sangkar. Susunan ini menghasilkan suatu pola dinamis yang secara visual mengarah kepada
gerak berputar mengelilingi pusatnya.

d. Organisasi Cluster
Kelompok ruang berdasarkan kedekatan hubungan atau bersama-sama
memanfaatkan satu ciri hubungan visual. Tidak adanya tempat utama di dalam pola
organisasi berbentuk kelompok, maka tingkat kepentingan sebuah ruang harus ditegaskan
lagi melalui ukuran, bentuk atau orientasi di dalam polanya.

2
e. Organisasi Grid
Kekuatan yang mengorganisir suatu grid dihasilkan dari keteraturan dan kontinuitas
pola-polanya yang meliputi unsurunsur yang diorganisir. Sebuah grid dapat mengalami
perubahan-perubahan bentuk yang lain. Pola grid dapat diputus untuk membentuk ruang
utama atau menampung bentuk-bentuk alami tapaknya. Sebagian grid dapat dipisahkan dan
diputar terhadap sebuah titik dalam pola dasarnya. Lewat dari daerahnya, grid dapat
mengubah kesannya dari suatu pola titik ke garis, ke bidang dan akhirnya ke ruang.

2.2. Metode Penelitian


Metode yang digunakan yaitu deskripsi-analitik yang dilakukan terhadap objek
penelitian untuk diolah dan dianalisis terkait hubungannya dengan budaya Jawa yang ada
didalamnya. Metode kualitatif menekankan pada deskripsi dan analisis terhadap objek yang
diteliti

3
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB 3 RESILIENSI TEKTONIKA SOPO NAGARI SIHOTANG TERHADAP GEMPA BUMI

Gambar 3.1 Gambar Satelit Desa Panglipuran

Desa Panglipuran terletak di Kabupaten Bangli, Bali. Merupakan salah satu desa
kuno yang berada di Bali Desa Penglipuran terbentuk dari perpindahan penduduk dari Desa
Balong Gede. Pada awalnya penduduk diperintahkan oleh raja Balong Gede untuk
mendirikan suatu wilayah suci baru, akan tetapi para pekerja memutuskan untuk menetap
dan kemudian mendirikan pemukiman baru di sekitar wilayah suci tersebut. Dikarenakan
pemukiman rakyat didirikan setelah pura dan juga karena kontur daerah, maka pura
diletakkan pada zona hirarki paling tinggi sesuai dengan derajat kedudukannya.
Pada awal berdirinya Desa Panglipuran, bangunan tempat tinggal penduduk desa
hanya terdiri dari gubuk bambu sederhana. Bangunan bambu tempat tinggal mula-mula
penduduk Desa Panglipuran menjadi spesial karena seluruh pembangunan “Paon” (rumah
mula-mula penduduk) menggunakan bahan bambu mulai dari struktur hingga pengisi. Hal
Ini disebabkan karena di sekitar Desa Panglipuran banyak tersedia hutan bambu yang
menjadi sumber cadangan bagi keberlanjutan bangunan bamboo para penduduk. Setelah

4
pemerintah merenovasi area desa dan menyediakan rumah bagi penduduk dengan gaya
arsitektur Bali, bangunan bamboo tadi diubah menjadi area dapur sederhana para
penduduk.

Desa panglipuran memiliki konsep Tri Mandala yang mengkategorikan zonasi


sebagai Utama (suci), Madya (peralihan), dan Nista (profan). Orientasi Tri Mandala ada 2;
Kangin (Timur) - Kauh (Barat), dan Kaja (Gunung) - Kelod (Laut) dimana Kangin lebih
utama karena tempat matahari terbit, dan Kaja lebih utama, dan di desa Panglipuran,
Gunung berada di arah utara sehingga area timur laut bangunan lebih utama. Pada bagian
selatan bangunan, ada sebuah tempat terpencil dan makam yang dianggap sebagai tempat
yang tidak suci. Tempat tersebut juga digunakan bagi para warga yang melanggar aturan,
yaitu menikah 2 kali dimana penduduk desa tersebut harus memiliki kesetiaan pada
pasangannya. Jika mereka ketahuan telah menikah 2 kali, maka mereka akan dikucilkan
dari para warga dan ditempatkan pada bagian selatan desa.
Pola tata ruang tradisional Bali pada dasarnya dilandasi oleh falsafah Bhuana Agung
(Makrokosmos) dan Bhuana Alit (Mikrokosmos). Konsep keruangan tradisional yang

5
mengatur hubungan Bhuana Agung dengan Bhuana Alit yaitu Tri Hita Karana. Tri Hita
Karana secara harafiah Tri adalah tiga; Hita berarti kemakmuran, baik, gembira, dan
Karana adalah sumbernya sebab (Penyebab).
Karakteristik Desa Adat Penglipuran mengikuti pola linier, dimana As utama yaitu
poros utara-selatan yang merupakan aksis linier desa yang sekaligus sebagai open
space untuk kegiatan bersama-sama. Open space ini membagi dua bagian desai, yaitu :
jejer barat dan jejer timur. Konsep makro Trihita Krama ini diturunkan dalam pola
keruangan Desa Adat Penglipuran menjadi suatu tatanan ruang yang berdasar pada konsep
tata ruang Tri Mandala. Konsep Tri Hita Mandala membagi tiga fungsi utama desa yaitu
:ruang utama, ruang madya, ruang nista.
Ruang Utama : ruang yang paling disucikan yang terletak pada bagian utara desa
(paling tinggi). Area ini berfungsi sebagai aktivitas yang berhubungan dengan Tuhan.
Ruang Madya : bagian ruang kedua di Desa Adat Penglipuran yang berada di tengah.
Ruang madya terbagi dua yaitu : Madya Pekarangan (tempat permukiman warga), Madya
Tegalan (area tak terhalang dengan guna lahan jenis hutan).
Ruang Nista : bagian ruang yang ketiga, yang terletak di bagian paling selatan Desa
Adat Penglipuran yang menyimbolkan dunia paling tidak suci. Ruang nista terbagi dua
yaitu: nista sakral (area kuburan) , dan nista tegalan (area hutan dan ladang).
Pada tatanan massa Desa Adat Penglipuran dapat terlihat pola ruang yang terbentuk
di desa ini adalah linier. Pola ruang ini juga membagi Desa Adat Penglipuran menjadi tiga
bagian secara vertikal, yaitu : area rumah tinggal, jalan, dan area rumah tinggal; dan secara
horizontal membagi tiga juga,yaitu : area utama, area madya, dan area nista.

6
7
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
BAB 4 KESIMPULAN

4.1. Kesimpulan
Arsitektur desa panglipuran ini jika dilihat dari tatanan massanya memiliki tatanan
linear. Bangunan pada desa ini ditata dengan menerapkan konsep dari Tri Hita Karana
sebagai upaya untuk menjaga hubungan baik antara Tuhan, manusia, dan alam. Konsep ini
umumnya digunakan pada bangunan- bangunan tradisional Bali. Pada konsep ini dapat
dipahami bahwa wujud arsitektur bisa memiliki nilai yang luhur jika dilihat dari makna-
makna dari susunan arsitekturnya. Konsep tersebutlah yang menghasilkan suatu pandangan
yang memiliki nilai kelokalan yang muncul. Ekspresi yang dihadirkan dapat merangsang
indra untuk merasakan suasana dan sesuatu yang memiliki nilai magis dan suci serta
menghargai Tuhan dan alam.

4.2. Saran
Desa adat panglipuran ini harus dipertahankan sebagai salah satu warisan budaya.
Bentukan arsitekturnya yang tetap menjaga nilai- nilai budaya yang diwariskan selain dapat
menjadi suatu daya tarik wisata juga menjadi sarana edukasi tentang pentingnya menjaga
hubungan baik dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia. Melihat desa adat panglipuran
secara arsitektur bisa dijadikan sebagai suatu contoh dalam merencanakan suatu kawasan
yang memiliki ciri khasnya tersendiri.

8
9
DAFTAR PUSTAKA
Ching, Francis D.K. (2008). Arsitektur: Bentuk, Ruang, Dan Tatana Edisi Ketiga.
Erlangga. Jakarta
Hartoko, Dick. 1984. Manusia dan Seni. Yogyakarta: Kanisius.

https://rekreartive.com/desain-bentuk-dan-ciri-khas-arsitektur-bali/
https://id.wikipedia.org/wiki/Desa_Penglipuran

10

Anda mungkin juga menyukai