Anda di halaman 1dari 21

UNIVERSITAS INDONESIA

Perubahan Fisiologis Gaster Tikus Wistar Dengan Hipoksia Hipobarik


Intermiten Ketinggian 25.000 Kaki Dari
Permukaan Laut

PROPOSAL PENELITIAN

dr. Rizky Dwi Kurnia Robby


NPM : 1206234465

Pembimbing :
Dr. dr. Yefta Moenadjat, SpB, SpBP
Kol. Kes. DR. dr. Wawan Mulyawan, SpBS, SpKP

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM STUDI ILMU BEDAH
JAKARTA
2017
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipoksia adalah suatu keadaan kurangnya suplai oksigen ke dalam jaringan.


Kondisi ini sering dialami seseorang jika berada di ketinggian tertentu.
Berkurangnya suplai oksigen ini dapat mengakibatkan gangguan pada
metabolisme tubuh dan homeostasis sel serta menyebabkan kerusakan jaringan.
Salah satu dampak yang paling sering terjadi adalah pada sistem gastrointestinal.1

Pada beberapa penelitian mengatakan bahwa dalam keadaan hipoksia hipobarik


dapat menimbulkan beberapa gejala seperti anoreksia, mual dan mengakibatkan
metabolisme tubuh menjadi menurun. Penelitian mengatakan bahwa hal ini terjadi
oleh karena penurunan motilitas lambung yang terjadi secara konsisten yang
diamati secara konsisten menyebabkan penurunan tingkat kandungan lambung,
peningkatan volume residu lambung, dan kemudian distensi dinding lambung,
yang pada akhirnya dapat memodulasi sinyal neurohumoral yang berasal dari
perut, menyebabkan peningkatan sensasi kenyang dan penekanan perilaku makan.
Penurunan tingkat kandungan lambung juga dapat menyebabkan penurunan
tingkat penyerapan nutrisi dan cairan, menyebabkan kelelahan karena kekurangan
sumber energi di ketinggian. Kemungkinan juga bahwa konsumsi makanan secara
paksa dapat menyebabkan distensi dinding lambung bila ada volume residu
lambung yang cukup besar yang disebabkan oleh penurunan motilitas lambung,
yang dapat memicu mual atau muntah di ketinggian. Oleh karena itu, penekanan
motilitas lambung, yang dikaitkan dengan perubahan aktivitas saraf vagal,
mungkin merupakan faktor kunci yang menyebabkan anoreksia, mual, dan
kekurangan energi pada ketinggian. Angka kejadian hipoksia cukup sering terjadi
dalam kondisi medis. Oleh karena itu perlu dilakukan eksplorasi lebih lanjut
mengenai efek dari hipoksia ini terhadap sistem gastrointestinal.1,2

1.2 Rumusan Masalah

2
Semakin bertambahnya jumlah pajanan dengan hipobarik intermiten pada gaster
hewan coba tikus Wistar pada ketinggian 25.000 kaki dalam waktu lima menit
dalam interval tujuh hari, dapat meyebabkan terjadinya perubahaan gaster pada
hewan coba tikus Wistar yang mengalami hipoksia pada perlakuan hipobarik
intermiten. Sehingga gaster yang sering terpapar mempunyai kemampuan untuk
beradaptasi lebih baik dalam kondisi hipoksia.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Apakah terjadi perubahan fisiologis gaster pada kondisi hipoksia pada ketinggian
25.000 kaki selama lima menit dalam interval tujuh hari?

1.4 Hipotesis

Terjadi perubahan fisiologis gaster pada kondisi hipoksia pada ketinggian 25.000
kaki selama lima menit dalam interval tujuh hari.

1.5 Tujuan Penelitiaan


Penelitiaan ini bertujuan untuk melihat perubahan fisiologis gaster yang dinilai
pada hewan coba tikus Witsar pada perlakuan hipobarik intermiten yang
dilakukan di TNI AU, dimana dampak preconditioning hypoxia dan dampak pada
fisiologis gaster.

1.6 Manfaat Penelitiaan


1.6.1 Bidang Akademik

Penelitian ini dapat memperluas khazanah akademik penelitian pada pasien


terutama tentang hipoksia dan hubungannya dengan perubahan fisiologis gaster
pada hewan coba tikus Wistar pada perlakuan hipobarik intermiten pada
ketinggian 25.000 kaki sebanyak 1 kali, 2 kali, 3 kali, 4 kali selama lima menit
dalam interval tujuh hari.

1.6.2 Bidang Klinis

Perubahaan fisiologis gaster pada hewan coba tikus Wistar yang mengalami
hipoksia pada perlakuan hipobarik intermiten pada penelitiaan ini diharapkan
memperjelas perubahan fisiologis gaster akibat efek hipoksia.

3
1.6.3 Bidang Penelitian

1. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan untuk penelitian-


penelitian lain terkait hipobaric chamber sebagai hypoxia preconditioning.
2. Penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk menilai faktor-faktor yang terkait
dengan perubahan fisiologis gaster yang mengalami hipoksia pada perlakuan
hipobarik intermiten di ketinggian 25.000 kaki sebanyak 1 kali, 2 kali, 3 kali,
4 kali selama lima menit dalam interval tujuh hari dengan hypobaric chamber.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipoksia
2.1.1 Definisi Hipoksia

Terdapat beberapa definisi hipoksia menurut beberapa sumber. Menurut webster’s


hipoksia didefinisikan sebagai suatu keadaan defisiensi oksigen pada jaringan
tubuh. Menurut kamus Dorland’s hipoksia didefinisikan sebagai kurangnya suplai
oksigen di bawah tingkat fisiologis tubuh meskipun memadai perfusi ke jaringan.
Menurut stedman’s hipoksia adalah suatu keadaan berkurangnya level normal ari
oksigen. Kondisi hipoksia merupakan pertanda bahwa terjadi permaslahan saat
tubuh kita mengambil oksigen.1

Tabel 1. Perubahan fsiologis tubuh


Terdapat berbagai cara yang dapat kita gunakan sebagai indikator oksigenasi
tubuh kita antara lain melalaui pemeriksaan saturasi oksigen arteri, tegangan
oksigen arterial dan A-a gradien oksigen.3,4

5
2.1.2 Mekanisme Hipoksia

Beberapa mekanisme terjadinya hipoksia :

Tabel 2. Mekanisme
terjadinya hipoksia

1. Hipoventilasi alveolus

Pada kondisi hipoventilasi alveolus tegangan oksigen di dalam alveolus akan


menurun. Akibatnya akan terjadi penurunan difusi oksigen dari alveolus ke
dalam pembuluh darah pulmoner sebagai efek dari hypoxemia dan juga
hypercapnia. Hipoksia akibat dari hipoventilasi yang berkepanjangan akan
mengakibatkan terjadinya penurunan dari kadar gradien A-a. 3,4

2. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi

Terjadi ketidakseimbangan antara vetilasi dan perfusi yang terjadi di paru-paru


menyebabkan terjadinya perubahan komposisi gas alveolus di paru-paru
dimana daerah paru dimana terjadi ventilasi yang rendah dibandingkan dengan
perfusi akan mendapatkan oksigen alveoli yang lebih rendah dengan kadar
CO2 yang lebih tinggi dan daerah paru dimana memiliki kadar ventilasi yang
tinggi dibandingkan perfusinya memiliki kadar Co2 yang lebih rendah dan
juga kadar oksigen yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Hasil
akhir dari kondisi ini adalah hypoxemia. 3,4

6
3. Right-to-left- shunt

Right-to-left shunt muncul akibat aliran darah dari sisi kanan jantung ke sisi
kiri jantung tanpa terjadi oksigenasi yang adekuat. Ada dua penyebab dari
right-to-left shunt ini yaitu shunting anatomis yang terjadi pada saat alveoli
dilewati dan shunting fisiologis yang terjadi apabila alveoli yang tidak
diventilasikan ini mengalami perfusi. 3,4

2.1.3 Akibat dari Hipoksia

Perubahan fisiologis yang terjadi pada keadaan hipoksia:

Tabel 3.
Perubahan fisiologis pada keadaan hipoksia

Pada keadaan hipoksia terjadi peningkatan proses ventilasi kemudian setelah 15


menit terjadi pengurangan hiperventilasi sekitar 25-30%; pengurangan ini terjadi
akibat reaksi sekunder neurotransmiter di sistem saraf pusat dan penurunan nilai
metabolik serebral. Selanjutnya setelah beberapa hari, ventilasi terus meningkat
akibat kompensasi ginjal terhadap alkalosis respiratorik melalui ekskresi
bikarbonat yang memperbaiki status asam basa sehingga merangsang pernapasan.

Pada sistem kardiovaskular peningkatan curah jantung, vasokonstriksi hipoksik


pulmoner dan rangsang saraf simpatis pembuluh darah menyebabkan peningkatan
tekanan arteri pulmoner rata-rata yang selanjutnya dapat mengakibatkan
hipertensi pulmoner serta peningkatan kerja ventrikel kanan

Acute mountain sickness adalah penyakit yang sering terlihat dalam kondisi
hipobarik. Didapatkan bahwa pada kondisi hipobarik, terdapat peningkatan dari

7
insidensi AMS serta keparahan dari AMS ini. Stabilitas postural juga sangat
dipengaruhi kondisi hipobarik ini. Kontras visual terhadap warna-warna juga
berkurang pada kondisi hipobarik dibandingkan dengan kondisi normobarik dan
ini juga berpengaruh terhadap kestabilan postur.4,5

Selain variable-variabel diatas, didapatkan beberapa hal juga yang meningkat


pada kondisi hipobarik dibandingkan dengan normobarik. Penelitian sebelumnya
tidak menemukan hubungan yang signifikan antara dua kondisi ini. Kadar NO
yang dikeluarkan dan juga NO Sistemik ini lebih rendah pada kondisi hipobarik,
kami juga menemukan ada peningkatan stress oksidatif pada kondisi hipobarik
dibandingkan dengna kondisi normobarik. Perlu dilakukan verifikasi lebih lanjut
mengenai fakta yang kita temukan ini.6,7

2.1.4 Hipoksia hipobarik (High altitude)

Pengaruh Ketinggian dan Hipoksia

Acute Mountain Sickness

Acute Mountain Sickness (AMS) umum terjadi pada pendaki yang mendaki
dengan cepat di ketinggian lebih dari 3000 meter. Gejala terjadi dalam beberapa
jam sampai 2 hari setelah mendaki dan berkurang pada hari ke tiga.Gejalanya
antara lain sakit kepala terutama pagi hari, sesak napas, kelelahan, hilangnya
nafsu makan, muntah serta insomnia. Kejadian AMS tergantung dari ketinggian
yang dicapai, kecepatan pendakian dan kerentanan individu. Laki-laki dan
perempuan dapat menderita AMS walaupun perempuan lebih cenderung terkena
AMS. Penyakit infeksi pernapasan dapat menjadi faktor risiko. Penduduk yang
mempunyai respons pernapasan tumpul terhadap hipoksia lebih berisiko untuk
terkena AMS dibandingkan pendatang. Begitu pula individu yang mempunyai
respons cepat pada tekanan arteri pulmoner terhadap hipoksia.7,8

Patofisiologi

Proses pasti terjadinya AMS tidak diketahui. Hipoksia yang menginduksi


vasodilatasi serebral dan efektornya seperti nitrik oksid (NO) dianggap menjadi
penyebab timbulnya nyeri kepala melalui aktivasi sistem trigeminovaskular.

8
Acute mountain sickness mungkin berhubungan dengan kemampuan individu
untuk mengkompensasi edema otak. Individu yang mempunyai rasio cairan
serebrospinal kranial lebih besar, akan lebih baik dalam mengkompensasi edema
melalui pemindahan cairan serebrospinal sehingga lebih jarang menderita AMS.
Faktor lain yang dianggap mempengaruhi kejadian AMS adalah perubahan
pernapasan saat sampai di ketinggian. Individu dengan PCO2 tinggi saat sampai
di ketinggian lebih mudah terkena AMS. Latihan lama yang dilakukan pendaki
juga dapat menyebabkan retensi natrium dan air melalui aktivasi sistem renin-
aldosteron yang akan meningkatkan risiko untuk terkena AMS. Penatalaksanaan
dan Pencegahan Penatalaksanaan AMS tergantung dari cepatnya diagnosis. Gejala
AMS ringan dapat berkurang dengan istirahat, pemberian analgetik dan tinggal di
ketinggian yang sama selama observasi. Pada keadaan berat, penderita harus turun
secepat mungkin dan diberi suplemen oksigen atau masuk ke ruang hipobarik.
Asetazolamid 125 – 250 mg/12 jam dapat diberikan bila tidak mungkin untuk
segera turun. Untuk pencegahan, asetazolamid diberikan 125 mg/12 jam mulai
sejak 24 jam sebelum pendakian. Deksametason 4 mg/6 jam diberikan untuk
kasus sedang sampai berat. 1 Deksametason dengan dosis 4 mg/6-12 jam, mulai 6
jam sebelum pendakian dapat dipakai untuk pencegahan. Ginkgo biloba 80 – 120
mg/12 jam dapat mencegah terjadinya AMS. Diet tinggi karbohidrat dapat
meningkatkan PO2 alveolar sehingga dapat mengurangi gejala AMS.7,8

Chronic Mountain Sickness

Chronic mountain sickness (CMS) terjadi pada individu yang lahir dan tinggal di
ketinggian atau pendatang yang pindah dan tinggal di ketinggian untuk jangka
waktu lama. Kelainan ini lebih sering diderita laki-laki setengah baya
dibandingkan perempuan. Terdapat perbedaan etnik dan geografik dalam
prevalensi CMS. Orang Andes dan Han lebih sering menderita CMS
dibandingkan orang Tibet. Gejala dan tanda CMS sama dengan penderita
polisitemia, yaitu sakit kepala, pusing, lemah, gangguan memori dan tingkah laku,
sianosis serta sulit tidur. Pada pemeriksaan penunjang didapat peningkatan nilai
hematokrit dan hemoglobin, penurunan saturasi O2 dan PaO2 serta peningkatan
PaCO2. Patofisiologi Hipoksemia merupakan faktor penting dalam perkembangan
CMS. Hipoksemia berat selama tidur dapat menjadi penyebab meningkatnya nilai

9
hematokrit. Hipoventilasi yang berhubungan dengan tumpulnya kemosensitivitas
terhadap hipoksia menyebabkan hipoksemia sehingga merangsang respons
hemopoetik. Faktor lain yaitu ketinggian (makin tinggi, makin besar insidens
CMS), fungsi paru (dipengaruhi riwayat merokok, polusi udara dan infeksi), umur
(insidens meningkat dengan umur, mungkin karena fungsi paru dan respons
ventilasi menurun sesuai perkembangan usia), gender (perempuan jarang terkena,
mungkin akibat efek perangsangan pernapasan oleh hormon).8-10

2.2 Anatomi, Fisiologi dan Karakteristik Tikus Wistar

Tikus wistar digunakan dalam penelitian ini disebabkan karena karakteristiknya


yang unik. Tikus ini memiliki ciri yaitu kepala dan ekor yang pendek. Anatomi
dan fisiologi dari tikus wistar ini cukup mendekati hewan coba yang ideal.
Gambaran histopatologi dari tikus wistar ini juga cukup dikenali oleh manusia
sehingga sering digunakan oleh hewan uji.

Gambar 1. Anatomi tikus wistar

Untuk memastikan bahwa kondisi hewan tikus wistar ini tetap ideal, kami
memastikan bahwa kendang tikus selalu kering dalam penelitian ini. Kami juga
memastikan bahwa lingkungan dari tikus tetap baik, menjaga suhu dari kendang
antara 18-27 derajat celcius dengan kelembapan yang ideal antara 40-70%.
Cahaya diusahakan 12 jam terang dan selebihnya gelap. Kualitas makanan tikus
juga harus dijaga tetap baik agar tidak menjadi faktor perancu dalam penelitian
ini.

2.5 Efek Fisiologis dari Hipoksia Hipobarik

Coppel et al meneliti tentang berada pada ketinggian yang cukup tinggi dan
lingkungan yang hipoksia. Tim penelitian ini mencoba melihat beberapa

10
penelitian yang mereplikasikan bagaimana kondisi pada ketinggian yang rendah
baik dan efeknya pada berbagai parameter fisiologis dari tubuh:9-10

Penelitian Lama mengalami Perubahan tekanan P-value


paparan
Loeppky 1997 00:00 12.9 kPA <0.005
Savourey 2007 00:10 0.72 0.27
Faiss 00:12 0.83 >0.05

Dari penelitian-penelitian diatas didapatkan perubahan fisiologis berikut ini pada


saat adanya paparan dari kondisi hipoksia hipobarik:7-10

1. Perubahan dari parameter oksigenasi dan juga ventilasi

Mayoritas penelitian-penelitian yang telah dibuat sebelumnya memperlihatkan


perubahan yang signifikan terutama dalam bidang oksigenasi dan juga
ventilasi. Perubahan dari parameter oksigenasi ini biasanya diukur dari pulse
oximetry (SpO2) dan berkorelasi satu sama lain. Pada paparan dalam jangka
waktu yang sangat pendek, saturasi oksigen akan lebih rendah pada grup
hipobarik dibandingkan pada grup yang non-hipobarik. Namun, hal ini tidak
berlaku pada exposure jangka panjang. Hal ini mungkin disebabkan oleh
aklimatisasi yang terjadi pada saat terjadinya hipoksia. Ventilasi yang
berkurang setiap menitnya dan juga ventilasi alveolar yang berkurang dilihat
dalam kondisi hipoksia. Hal ini terlihat pada volume tidal yang lebih kecil
terlihat pada kondisi hipoksia. Namun, frekuensi bernafas akan berubah secara
teratur. Meskipun ada penurunan SpO2 yang signifikan terutama pada HH,
saturasi oksigen biasanya dipertahankan dalam tingkatan yang mirip pada
berbagai lingkungan dan juga waktu-waktu yang berbeda ini. Meskipun terjadi
penurunan dari ventilasi, nilai kadar CO2 tidak berubah secara signifikan
dalam kondisi apapun. Savourey et al menemukan juga bahwa kadar O2 dan
CO2 pada dua penelitian yang dilakukan pada tahun 2003 dan 2007. Namun,
ada masalah reliabilitas dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan ini.

11
2. Perubahan sistem kardiovaskular

Perubahan dari sistem kardiovaskular dalam kondisi hipobarik ini tidak


konsisten. Ada beberapa studi yang memperlihatkan peningkatan denyut
jantung. Namun, studi yang lain menunjukan penurunan denyut jantung dan
tekanan darah.

3. Perubahan variable neurologis

Acute mountain sickness adalah penyakit yang sering terlihat dalam kondisi
hipobarik. Didapatkan bahwa pada kondisi ini terdapat peningkatan dari
insidensi AMS serta keparahan dari AMS ini. Stabilitas postural juga sangat
dipengaruhi kondisi hipobarik ini. Kontras visual terhadap warna-warna juga
berkurang pada kondisi hipobarik dibandingkan dengan kondisi normobarik
dan ini juga berpengaruh terhadap kestabilan postur.

4. Perubahan homeostasis yang lain

Selain variable-variabel diatas, didapatkan beberapa hal juga yang meningkat


pada kondisi hipobarik dibandingkan dengan normobarik. Penelitian
sebelumnya tidak menemukan hubungan yang signifikan antara dua kondisi
ini. Kadar NO yang dikeluarkan dan juga NO Sistemik ini lebih rendah pada
kondisi hipobarik, juga ditemukan ada peningkatan stress oksidatif pada
kondisi hipobarik dibandingkan dengna kondisi normobarik. Perlu dilakukan
verifikasi lebih lanjut mengenai fakta yang kita temukan ini.

12
2.6 Kerangka Teori

Perubahan
ketinggian

Pajanan hipobarik
intermiten pada Hipoksia
ketinggian 25000 kaki

Kadar PCO2 Retensi natrium


Edema otak
yang tinggi dan air

Perubahan
fisiologi gaster

Mual

13
2.7 Kerangka Konsep

Non-hipobarik
chamber

Dua kelompok
tikus

Hipobarik
Chamber

Pemeriksaan 1 Pemeriksaan 2 Pemeriksaan 3 Pemeriksaan 4


Referensi
kali kali kali kali

Hipobarik intermiten interval 7 hari

Pemeriksaan histopatologi

14
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Desain penelitian


Penelitian ini menggunakan desain uji eksperimental in vitro menggunakan hewan
coba tikus Wistar (Rattus norvegicus).

3.1.1 Instrumen penelitian

 Larutan buffered formalin 10%  Instrumen bedah minor


 Disposable syringe 1 mL dan 3  Jangka sorong (vernier caliper)
mL
 Aquadest 25 Ml  Heparin 25.000 unit
 Sarung tangan  Larutan NaCl 0,9 %
 Masker  Apron
 Hypobaric chamber

3.1.2 Tahapan dan prosedur tindakan

Gambar 3.1 Tahapan dan prosedur tindakan

Keterangan: Tahapan dan prosedur tindakan penelitian dimulai dengan melakukan


screening hewan coba tikus dan memberikan perlakuan yang sama sebelum
dilakukan pajanan hypobaric chamber, kemudian selama tujuh hari mendapat
perlakuan yang sama, kelompok tikus tersebut dibagi dalam dua kelompok yaitu:
kelompok pertama yang tidak terpajan dan kelompok kedua yang terpajan dengan

15
ketinggian 25.000 kaki dalam interval tujuh hari (dibagi menjadi empat sesuai
frekuensi pajanan: 1 kali, 2 kali, 3 kali, dan 4 kali), kemudian tikus yang terpajan
dilakukan penilaian hipoksia berdasarkan AGD tikus Wistar, selanjutnya tiap
minggu tikus yang kelompok kedua yang terpajan dikorbankan dan diambil organ
gasternya untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi di laboratorium Patologi
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

3.1.3 Teknik pengolahan sampel

Fiksasi jaringan dengan menggunakan Buffered formalin 10% dan pewarnaan


akan dilakukan dengan metode pewarnaan hematoksilin eosin (HE). Pengukuran
dilakukan dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi mikrometer yang
telah dikalibrasi pada pembesaran seratus kali untuk dievaluasi perubahan dari
gaster secara patologi anatomi di laboratorium Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

3.2 Waktu dan tempat penelitian


Penelitian dilakukan di Lakespra (Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang
Angkasa) Dinas Kesehatan TNI AU yang menjadi pusat pemeriksaan kesehatan
dan pusat indoktrinasi serta latihan aerofisiologi, penelitian dilakukan pada bulan
Oktober 2017.

3.3 Populasi dan sampel penelitian


Hewan coba yang digunakan adalah organ gaster tikus Wistar (Rattus norvegicus)
hidup, jenis kelamin jantan dan berat badan 150-200 gram.

3.4 Cara pemilihan dan pengambilan sampel


Sampel dalam penelitian ini akan diambil dari organ gaster tikus Wistar (Rattus
norvegicus) yang dilakukan di Lakespra Dinas Kesehatan TNI AU yang
memenuhi kriteria inklusi dan tidak terdapat kriteria eksklusi segera setelah
hewan coba tikus mati.

3.5 Kriteria inklusi dan eksklusi


3.5.1. Kriteria inklusi

16
a. Hewan tikus Wistar (Rattus norvegicus)
b. Jenis kelamin jantan
c. Usia sekitar 40-60 hari
d. Berat tikus 150-200 gram
e. Mendapat perlakuan yang sama dalam tujuh hari (semua tikus sehat dan tidak
terdapat infeksi pernapasan)

3.5.2. Kriteria eksklusi


Hewan tikus Wistar Rattus norvegicus yang mempunyai infeksi gaster sebelum
dilakukan pajanan hypobaric chamber.
3.6 Perhitungan besar sampel
Adapun besar sampel keseluruhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dua puluh lima ekor. Dua puluh lima ekor tikus putih tersebut dibagi dalam dua
kelompok uji, yang masing-masing kelompok uji terdiri dari lima ekor tikus putih.
Perhitungan besar sampel dihitung dengan rumus Federer sebagai berikut :

(t-1) (n-1) ≥15

(5-1)(n-1) ≥15

4n-4 ≥15

4n ≥19

n ≥4,75-5

Keterangan :

t : Jumlah kelompok uji

n : Besar sampel per kelompok

Besar sampel ideal menurut hitungan rumus Federer diatas adalah lima ekor tikus
putih atau lebih. Dengan demikian jumlah tikus jantan semua kelompok uji secara
keseluruhan adalah dua puluh lima ekor.

17
3.7 Identifikasi variabel
 Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tikus yang dimasukkan hypobaric
chamber 1 kali, 2 kali, 3 kali, 4 kali
 Variabel terikat dalam penelitian ini adalah terdapat perubahan pada gaster
secara patologi anatomi

3.8 Analisis data


Pengolahan dan analisis data akan dilakukan dengan software SPSS 20.0 for
Windows. Analisis data yang akan dilakukan adalah analisis univariat dan
bivariat.

3.8.1 Analisis univariat


Dalam analisis univariat, data numerik seperti pelebaran diamater alveolus organ
paru akan diuji normalitas sebaran datanya dengan menggunakan uji Shapiro
Wilk. Data dinyatakan berdistribusi normal bila nilai p >0,05 hasil pada uji
Shapiro Wilk. Bila data terdistribusi normal, maka data akan disajikan sebagai
rerata rerata ± SD (Standar Deviasi). Bila data terdistribusi tidak normal, maka
akan disajikan sebagai median. Data ordinal yaitu perubahan pada gaster secara
patologi anatomi akan disajikan dalam frekuensi dan persentase.

3.8.2 Analisis bivariat


Analisis bivariat bertujuan menilai hubungan variabel bebas dengan variabel
terikat. Hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat akan dinilai
dengan uji Mann Whitney. Nilai p <0,05 dinyatakan bermakna secara statistik.

3.9 Etika Penelitian


Penelitian ini dalam proses pengajuan ke Komisi Etik Penelitian Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

3.10 Cara pengambilan data


Data diambil dari pemeriksaan histopatologi gaster hewan coba tikus Wistar
(Rattus norvegicus) yang sudah dimasukkan kedalam hypobaric chamber pada
ketinggian 25.000 kaki.

18
3.11 Alur penelitian

19
3.12 Jadwal penelitian

September Oktober November Desember


No Kegiatann
2017 2017 2017 2017
1 Proposal dan
etik
2 Pengumpulan
data
3 Analisis data
4 Penyusunan
laporan dan
pelaporan

3.13 Rincian biaya penelitian

Nominal
No Rencana Pengeluaran dalam
rupiah
1 Pembuatan proposal (cetak dan fotokopi) 300.000
2 Pengurusan etik dan izin penelitian 250.000
3 Pembelian tikus Wistar 25x@50.000 1.500.000
4 Perawatan dan makanan tikus 1000.000
Bahan habis pakai (heparin, disposable syring,
5
aquadest) 500.000
6 Sewa tempat penelitian 1.000.000
Pemeriksaan histopatologi
7
25x@500.000 12.500.000
8 Pembuatan laporan penelitian (cetak dan fotokopi) 400.000
9 Publikasi 3.000.000
Jumlah 20.450.000

20
Daftar pustaka

1. Michiels C. Physiological and pathological responses to hypoxia. AJOP. 2013;164:34-37.


2. Ahmad, Y.; Sharma, N.K.; Ahmad, M.F.; Sharma, M.; Garg, I.; Bhargava, K. An insight
into the changes in human plasma proteome on adaptation to hypobaric hypoxia. PLoS
ONE 2013, 8, e67548
3. Gao, Z.; Luo, G.; Ni, B. Progress in mass spectrometry-based proteomics in hypoxia-
related diseases and high-altitude medicine. OMICS 2017, 21, 1–8.
4. Pierson DJ. Normal and abnormal oxygenation: physiology and clinical syndromes.
Respir Care 1993;38(6):587-599; discussion 599-602.
5. Wedzicha JA. Effects of long-term oxygen therapy on neuropsychimic function and
quality of life. Respir Care 2000;45(1): 119-124.
6. Boutilier RG,St-PierreJ:Surviving hypoxia without reallydying.Comp Biochem Physiol
2000, 126:481–490
7. Consolazio CF, Johnson HL, Krzywicki HJ, and Daws TA. Metabolic aspects of acute
altitude exposure (4,300 meters) in adequately nourished humans. Am J Clin Nutr 25:
23–29, 1972.
8. Roach RC and Hackett PH. Frontiers of hypoxia research: acute mountain sickness. J Exp
Biol 204: 3161–3170, 2001.
9. Emilijah E, Hosein GR. The effect of altitude exposure to changes in intraoccular
pressure in air force pilot candidates using hypobaric chamber. IJO. 2011;8:4-7.
10. Winslow RM, Monge-C C. Hypoxia, polycythemia, and chronic mountain sickness.
Baltimore: Johns Hopkins University Press; 1987.

21

Anda mungkin juga menyukai