HYPOBARIK
Untuk mengatasi kerusakan akibat stres oksidatif pada keadaan hipoksia hipobarik
ini, dilakukan latihan dengan memberikan pajanan hipoksia hipobarik berulang yang
disebut hypobaric chamber training. Dengan perlakuan ini, diharapkan terjadi suatu
hypoxia preconditioning. Dengan adanya hypoxia preconditioning, diharapkan
terjadi kerusakan yang lebih ringan pada jaringan dibandingkan tanpa
preconditioning, karena telah terjadi adaptasi dari sistem antioksidan tubuh.
Hypobaric chamber untuk latihan tersebut di Indonesia hanya terdapat di Lembaga
Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra) Dr. Saryanto milik TNI
Angkatan
Udara,
Jakarta.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui dampak hipoksia hipobarik
terhadap ginjal, khususnya dengan menilai aktivitas MnSOD dan kadar MDA. Akan
tetapi, penelitian tersebut dilakukan dengan simulasi ketinggian dan durasi yang
berbeda dengan prosedur hypobaric chamber training yang dilakukan pada manusia
di Lakespra Saryanto sehingga hasil yang diperoleh juga berbeda antara penelitian
yang
satu
dengan
lainnya.
Penggunaan hypobaric chamber ideal untuk penelitian karena pada keadaan
sesungguhnya, kondisi hipoksia tidak berdiri sendiri. Faktor-faktor lain seperti radiasi
ultraviolet, aktivitas fisik dan perubahan temperatur yang juga terjadi di ketinggian
dapat mempengaruhi keseimbangan prooksi dan antioksidan sehingga stres
oksidatif yang terjadi makin meningkat. Selain itu, reoksigenasi jaringan
pascahipoksia juga dinilai dapat menimbulkan stres oksidatif lebih lanjut.
Efek Hipoksia Pada Ketinggian Yang Berbeda
Tubuh manusia akan mengalami gangguan berupa kekurangan oksigen atau hipoksia apabila ia
semakin berada di tempat yang tinggi, seperti saat naik pesawat terbang. Dalam
dunia penerbangan, jenis hipoksia yang paling sering terjadi adalah hipoksia hipoksik atau
hipoksia hipobarik yang dapat berakibat fatal jika tidak disadari dan tidak ditangani dengan baik.
2450 m (8000 feet): Nilai saturasi oksigen (SpO2) adalah sekitar 93% pada individu yang tidak
mengidap penyakit jantung atau paru. Oleh karena itu, individu dengan gangguan jantung atau
paru yang berat harus menggunakan oksigen tambahan selama penerbangan.
3050 m (10000 ft): Dengan SpO2 89%, seseorang akan mengalami gangguan menghitung jika ia
berada pada ketinggian ini. Seluruh awak udara wajib menggunakan oksigen pada tekanan kabin
ketinggian melebihi 10000 ft. Pesawat non-pressured cabin dan helikopter tidak boleh
terbang
melebihi
ketinggian
ini.
3650 m (12000 ft): SpO2 87%. Terjadi gangguan menghitung dan memori jangka pendek.
4250 m (14000 ft): SpO2 83% dan terjadi gangguan fungsi mental termasuk intelegensi dan
perubahan
emosi.
4550 m (15000 ft): SpO2 80%. Seluruh individu yang tidak menggunakan oksigen tambahan
akan
mengalami
gangguan
fungsi
tubuh.
6100 m (20000 ft): SpO2 60% dan individu yang tidak teraklimatisasi akan kehilangan
kesadaran dalam waktu 10 menit. Ada istilah dalam kedokteran penerbangan yaitu TUC (time
of useful consciousness) yang ditentukan sejak dari mulai munculnya hipoksia
sampai hilangnya waktu untuk melakukan perbuatan penting, misalnya memasang masker
oksigen. Pada ketinggian ini, TUC adalah sebesar 10 menit, sehingga rentang waktu sejak
munculnya gejala hipoksia sampai memasang masker oksigen hanya sebesar 10 menit.
7600 m (25000 ft): SpO2 <60% dengan TUC <2.5 menit dan mulai muncul bends (emboli
nitrogen).
9150
m
(30000
ft): TUC
hanya
sekitar
30
detik.
10350 m (34000 ft): TUC sekitar 22 detik. Penggunaan oksigen 100% akan meningkatkan SpO2
menjadi 95%. Perlu diperhatikan bahwa pesawat komersial biasanya terbang pada ketinggian
35000 ft, sehingga kondisi apa pun yang dapat menyebabkan gangguan pada tekanan kabin
(misalnya
kerusakan
pada
struktur
pesawat)
akan berakibat
fatal.
11300 m (37000 ft): TUC sekitar 18 detik. Dengan oksigen 100%, SpO2 akan meningkat
menjadi 89%. Pada ketinggian lebih dari 37000 ft, oksigen akan meninggalkan darah kecuali jika
diberikan
oksigen
tekanan
positif.
13700 m (45000 ft): TUC sekitar 15 detik. Oksigen tekanan positif menjadi tidak praktis karena
sulitnya
ekspirasi
melawan tekanan
oksigen
yang
keluar
dari
masker.
Gejala hipoksia yang muncul bervariasi antar individu. Di lingkungan
militer, para pilot wajib menjalani latihan aerofisiologi untuk mengenali
gejala hipoksia yang dialami sehingga mereka dapat segera mengambil
tindakan untuk mengatasi hipoksia tersebut.
http://dindafisioterapi.blogspot.co.id/2015/11/fisiologi-latihan-dari-hypobaric_60.html