Anda di halaman 1dari 22

‘‘Asuhan Keperawatan Pada Ibu Hamil

dengan Gagal Ginjal’’

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 7:


FEBRIANA SITUMORANG (08200100183)
JATU PUSPITASARI (08200100159)
YUNITA RATNASARI DEWI (08200100156)
ESTI RAHAYU (08200100158)
NOVIA SRI HARYATI (08200100157)
PURNAMA DEWI (08200100160)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN 


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU JAKARTA 
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan
Pada Ibu Hamil dengan Gagal Ginjal” tepat pada waktunya. Makalah ini kami susun
untuk melengkapi tugas mata kuliah Maternitas, selain itu untuk mengetahui dan
memahami Asuhan Keperawatan Pada Ibu Hamil dengan Gagal Ginjal.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
diharapkan kepada dosen dan teman teman dapat memberikan masukan berupa kritik
dan saran yang bersifat membangun.

Penyusun,

Kelompok 7
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan air dalam tubuh, mengatur konsentrasi
garam dalam darah dan keseimbangan asam basah darah serta ekskresi bahan buangan
dan kelebihan garam (Pearce 1995 dalam Dewi, 2015). Gagal ginjal kronis atau penyakit
renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irrevesible
dimana kemampuan tubuh gagal mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektrolit, yang menyebabkan uremia (Brunner & Suddarth, 2001 dalam Haryono
2013).
Penyakit Ginjal Kronik didunia saat ini mengalami peningkatan dan menjadi masalah
kesehatan serius, hasil penelitian Global Burden of Disease tahun 2010, penyakit ginjal
kronik merupakan penyebab kematian peringkat ke 27 di dunia tahun 1990 dan meningkat
menjadi urutan ke 18 pada tahun 2010. Lebih dari 2 juta penduduk di dunia mendapatkan
perawatan dengan dialisis atau transplantasi ginjal, dan hanya sekitar 10% yang benar-
benar mengalami perawatan tersebut.
Prevalensi gagal ginjal di dunia menurut ESRD (End-Stage Renal Disease) pada
tahun 2011 sebanyak 2.786.000 orang, tahun 2012 sebanyak 3.018.000 orang dan tahun
2013 sebanyak 3.200.000 orang, dari data tersebut disimpulkan adanya peningkatan
angka kesakkitan pasien gagal ginjal tiap tahunnya sebesar 6%, sekitar 78% dari pasien
gagal ginjal kronik didunia menggunakan terapi dialisis untuk kelangsungan hidupnya.
(Riskesdas, 2013) Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis gagal ginjal kronik
yaitu 499.800 orang (0,2%), prevalensi tertinggi didapatkan di Sulawesi Tengah sebesar
0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-masing sebesar 0,4%,
sedangkaN di Sumatra Utara sebesar 0,2 %. Urutan penyebab gagal ginjal yang
mendapatkan hemodialisis karena hipertensi (44%), penyakit diabetik melitus atau
nefropati diabetik (22%) berdasarkan data Indonesian Renal Registry (2015).
Keberhasilan persalinan pada wanita dengan PGK yang mendapat dialisis mencapai
90-100% setelah tahun 1990. Ada beberapa seri kasus pada tahun 2000, terutama dari
pusat-pusat kesehatan, yang melaporkan tingkat keberhasilan lebih dari 70%. Meskipun
mengalami peningkatan angka keberhasilan,kehamilan pada dialisis jangka panjang sering
dianggap sebagai suatu tantangan karena sering menimbulkan dampak buruk pada
janin,seperti kelahiran prematur dan janin yang kecil dari usia gestasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Gagal ginjal Kronik


1. Pengertian
Gagal ginjal kronis merupakan kondisi penyakit pada ginjal yang persisten
(keberlangsungan lebih dari 3 bulan) dengan:
a. Kerusakan ginjal; dan
b. Kerusakan Glomerular Filtration Rae (GFR) dengan angka GFR kurang dari
60ml/menit/1.73 m2
Berdasarkan analisa definisi diatas, jelas bahwa gagal ginjal kronis merupakan
gagal ginjal akut yang sudah berlangsung lama, sehingga mengakibatkan gangguan
peristen dan dampak yg bersifat kontinyu. Sedangkan National Kidney Foundation
(NKF) mendefinisikan dampak dari kerusakan ginjal adalah sebagai kondisi
mikroalbuminuria atau over proteinuria, abnormalitas sedimentasi, dan abnormalitas
gambaran ginjal (Azwar Agoes, dkk. 2018). Ginjal juga bertindak sebagai organ
endokrin yang memproduksi erythropoietin, vitamin Daktif dan renin. Produksi dari
ketiga hormone tersebut meningkat selama kehamilan normal, tetapi efek mereka
akan ditutupi oleh perubahan lain. Sebagai contoh, pada awal kehamilan,
vasodilatasi perifer meningkatkan renin-aldosteron yang menyebabkan ekspansi
volume plasma, sehingga tekanan darah turunp ada kehamilan 12 minggu.
Sebaliknya, ekspansi volume plasma akan menyebabkan peningkatan eritropoetin
yang menyebabkan peningkatan masa sel darah merah,menyebabkan anemia
fisiologis. Demikian pula, vitamin D aktif yang beredar dua kali lebih banyak
dibandingkan yang tidak hamil, tetapi bersamaan dengan itu terjadi pengurangan
separuh dari kadar hormon paratiroid hiperkalsiuria dan peningkatan kebutuhan
janin menyebabkan kadar plasma terionisasi kalsium tidak berubah. Proteinuria
akan sedikit meningkat pada kehamilan normal, namun peningkatan yang lebih
dari 260mg/24jam harus dipertimbangkan sebagai suatu keadaan yang abnormal.

2. Etiologi
a. Infeksi saluran kemih (Pielonefritis kronis).
b. Penyakit peradangan (Glomerulonefritis) untuk glumerulonefritis kronik ditandai
dengan kerusakan glomerulus secara progresif, akan tampak ginjal mengkerut. Ini
disebabkan jumlah nefron berkurang karena iskemia, karna tubulus mengalami
atropi, fibrosis intestisial dan penebalan dinding arteri.
c. Penyakit vaskuler hipertensif (Nefrosklerosis, stenosis renalis). Merupakan
penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal. Sebaliknya, GGK dapat
menyebabkan hipertensi.
d. Penyakit metabolik, misalnya: Diabetes Mielitus, Asam Urat, Hiperparatiroidisme
e. Nefropati toksik
f. Batu saluran kemih. (Rudi Haryono, 2013).

3. Pathway

4. Fisiologi Ginjal pada Kehamilan


Secara fisiologi, ginjal mengalami perubahan hemodinamik, tubulus ginjal, dan
perubahan endokrin selama kehamilan. Adaptasi ginjal untuk kehamilan diantisipasi
sebelum konsepsi, yaitu menjelang akhir setiap siklus menstruasi, laju filtrasi
glomerulus(GFR) akan meningkat 10-20%. Jika kehamilan terjadi, GFR terus
meningkat, sehingga pada kehamilan 16 minggu, nilai GFR 55% di atas nilai GFR
pada seseorang yang tidak hamil. Kenaikan ini dimediasi melalui peningkatan aliran
darah ginjal pada trimester kedua yang mencapai maksimum 70-80% di atas nilai
yang tidak hamil, sebelum turun pada saat aterm menjadi sekitar 45% di atas nilai
yang tidak hamil. Pada awal kehamilan terjadi peningkatan aliran darah ginjal
menyebabkan peningkatan laju filtrasi. Glomerulus hingga 50-70% diatas normal di
dua trimester awal dan tetap 40% di atas normal pada trimester ketiga.
Peningkatan aliran darah ginjal ini disebabkan adanya peningkatan curah jantung
dan penurunan resistensi vaskuler ginjal akibat vasodilatasi vaskularisasi ginjal.
Peningkatan LFG mulai terjadi pada minggu keempat kehamilan hingga menjadi
50% diatas normal dalam 13 minggu. Terjadi hiperfiltrasi gestasional disertai
dengan penurunan relatif dalam konsentrasi serum kreatinin dan urea, sehingga
nilai-nilai yang dianggap normal pada keadaan tidak hamil dapat menjadi
abnormal dalam kehamilan. Tekanan darah dan resistensi vaskuler perifer turun
segera setelah konsepsi. Penurunan resistensi vaskuler diperkirakan akibat
peningkatan sintesis prostaglandin vasodilator (prostasiklin).

5. Manifestasi Klinis
Beberapa tanda dan gejala yang mungkin dapat diketahui adalah hipertensi,
penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas, anemia, mual dan muntah, lesu dan
gelisah, kelelahan, nyeri kepala tanpa sebab yang jelas, penurunan daya ingat,
kedutan dan keram otot, BAB berdarah, kulit kekuningan, dan rasa gatal (Azwar
Agoes, dkk. 2018).
Berikut ini adalah tanda dan gejala yang ditunjukan oleh gagal ginjal kronis:
a. Sistem kardiovaskuler, antara lain hipertensi, pitting edema, edema
periorbital, pembesaran vena leher, friction subpericardial.
b. Sistem pulmoner, antara lain nafas dangkal, krekel, kusmaull, sputum kental.
c. Sistem gastrointestinal, antara lain anoreksia, mual dan muntah, perdarahan
saluran GI, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas berbau ammonia.
d. Sistem musculoskeletal, antara lain kram otot, kehilangan kekuatan otot,
fraktur tulang.
e. Sistem integumen, antara lain war na kulit abu-abu mengilat, pruritis, kulit
kering bersisik, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
f. Siistem reproduksi, antara lain amenore, atrofi testis.
(Suyono dkk, 2001 dalam Rudi Haryono, 2015).
6. Kompikasi
Komplikasi gagal ginjal kronis yang memerlukan pendekan kolaboratif dalam
perawatan, mencakup:
a. Hiperkalemia, akibat penurunan ekresi, asidosis metabolik, katabolisme dan
asupan diit berlebih.
b. Perikarditis, efusi pericardial dan temponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi, akibat retensi cairan dan natrium serta mal fungsi sistem renin,
angiotensin, aldosteron.
d. Anemia, akibat penurunan eritropoeitin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi.
e. Penyakit tulang, akibat retensi fosfat, kadar kalium serum yang rendah
metabolisme vitamin D, abnormal dan peningkatan kadar alumunium. (Smeltzer,
2002 dalam Rudi Haryono, 2013).

7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Biokimiawi
Pemerikasaan utama dari analisa fungsi ginjal adalah ureum dan kreatinin
plasma. Untuk hasil yang lebih akurat mengetahui fungsi ginjal adalah dengan
analisa kreatinin klirens. Selain pemeriksaan fungsi ginjal (Renal Function Test),
pemeriksaan kadar elektrolit juga harus dilakukan untuk mengetahui status
keseimbangan elektrolit dalam tubuh sebagai bentuk kinerja ginjal.
b. Urinalis
Urinalis dilakukan untuk menapis ada atau tidaknya infeksi pada ginjal atau ada
atau tidaknya perdarahan aktif akbiat inflamasi pada jaringan parenkim ginjal.
c. Ultrasonografi Ginjal
Imaging (gambaran) diri ultrasonografi akan memberikan informasi yang
mendukung untuk menegakkan diagnosis gagal ginjal. Pada klien gagal ginjal
biasanya menunjukkan adanya obstruksi atau jaringan parut pada ginjal. Selain
itu, ukuran dari ginjal pun akan terlihat (Eko Prabowo & Andi Eka, 2017).

8. Penatalaksanaan
1. Obat-obatan
Antihipertensi, suplemen besi, agen pengikat fosfat, suplemen kalsium, furosemid
(membantu berkemih), tranfusi darah
2. Intake cairan dan makanan
a. Minum yang cukup
b. Pengaturan diet rendah protein (0,4-0,8 gram/kg BB) bisa memperlambat gagal
ginjal kronis.
c. Asupan garam biasanya tidak dibatasi kecuali jika dibatasi kecuali jika terjadi
edema atau hipertensi.
d. Tambahan vitamin B dan C diberikan jika penderita menjalani diet ketat atau
menjalani dialisa.
e. Asupan cairan dibatasi untuk mencegah terlalu rendahnya kadar garam
(Natrium) dalam darah.
f. Makanan kaya kalium harus dihindari
g. Membatasi asupan makanan kaya fosfat (misalnya produk olahan susu, hati,
kacang kacangan dan minuman ringan)
h. Hemodialisa
Hemodialisis adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti fungsi
ginjal untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari
peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hydrogen, urea, kreatinin,
asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permeable sebagai pemisah
darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi,
osmosis, dan ultrafiltrasi (Rudi Haryono, 2013).

9. Penyakit Gagal Ginjal dalam Kehamilan


Penyakit ginjal kronik merupakan suatu spektrum dari berbagai proses
patofisiologi yang berkaitan dengan berbagai proses patofisiologi yang berkaitan
dengan kelainan fungsi ginjal serta penurunan progresif laju filtrasi glomerulus (LFG),
yang pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.Selanjutnya gagal ginjal adalah
keadaan klinis yang ditandai denganpenurunan fungsi ginjal yang ireversibel,diikuti
dengan penimbunan sisa metabolism proteindan gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit,yang pada derajat tertentu memerlukan terapi pengganti ginjal
permanen,berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Penyakit ginjal pada kehamilan merupakan suatu kelainan medis yang penting
yang mengakibatkan semakin menurunnya fungsi ginjal dan meningkatnya
morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. Wanita hamil dengan penyakit ginjal kronik
dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori:
a. Wanita hamil dengan insufisiensi renal ringan (kreatinin serum <1,4 mg/dl) dan
tanpa hipertensi.
b. Wanita hamil dengan insufisiensi renal moderat/sedang ( kreatinin serum 1,4-2,8
mg/dl).
c. Wanita hamil dengan insufisiensi renal berat (kreatinin serum > 2,8 mg/dl).
Penurunan fungsi ginjal bisa terjadi akibat kehamilan pada pasien-pasien
dengan penyakit ginjal,dipengaruhi oleh derajat beratnya penyakit ginjal. Kehamilan
dihubungkan dengan penurunan fungsi ginjal permanen antara 0-10% pada
perempuan dengan LFG hanya menurun ringan (kreatinin serum < 1,5 mg/dl).
Banyak wanita dengan penyakit ginjal kronis yang mengalami kehamilan
mempunyai disfungsi ginjal ringan dan kehamilan biasanya tidak mempengaruhi
prognosis pada penyakit ginjal tersebut.Sebuah studi yang meneliti 360 wanita
dengan glomerulonefritis primer dan disfungsi ginjal ringan (kreatinin serum < 110
μmol/l),proteinuria minimal (1 g/24h) dan tidak adanya kontrol ataupun kontrol yang
baik terhadap hipertensi sebelum kehamilan menunjukkan bahwa kehamilan
mempunyai sedikit bahkan tidak mempunyai efek jangka panjang terhadap fungsi
ginjal ibu. Situasi yang berbeda terjadi pada wanita dengan gangguan ginjal sedang
sampai berat (stadium 3-5).Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa risiko
terbesar terhadap perburukan ginjal terjadi pada wanita dengan fungsi ginjal yang
buruk. Proteinuria persisten dan hipertensi akan meningkatkan risiko yang lebih
buruk. Pada beberapa penelitian retrospektif terhadap wanita yang menderita
penyakit ginjal pun didapatkan bahwa mereka yang pada awalnya sudah memiliki
gangguan ginjal sedang (serum kreatinin 124-168 mmol/l) mempunyai risiko sebesar
40% terhadap perburukan fungsi ginjal selama kehamilan,dan separuhnya akan
menetap setelah kelahiran. Begitupun halnya dengan wanita yang sudah memiliki
gangguan ginjal berat (serum kreatinin > 177mmol/l) akan mengalami perburukan
pada kehamilan trimester ketiga,dan sebagian besar akan menetap dan memburuk
hingga akhirnya akan menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Perburukan fungsi ginjal
selama kehamilan pun dialami pada wanita yang sebelum hamil mempunyai GFR<40
ml/menit/1,73m dan proteinuria > 1g/24 jam.
Pemantauan surveilans janin secara periodik sangat penting karena penyakit
ginjal dihubungkan dengan IUGR (Intra Uterine Growth Restriction) dan saat yang
tepat untuk dilakukan intervensi tergantung perubahan status janin. Persalinan
prematur mungkin diperlukan jika Terdapat tanda-tanda distressjanin Fungsi ginjal
menurun secara progresif Hipertensi tidak terkontrol PreeklampsiBeberapa literatur
menyarankan persalinan elektif lebih dini (34-36 minggu) pada pasien-pasien dengan
penyakit ginjal ataupun pada pasien yang menjalani dialisis,terutama jika paru-paru
janin telah matur. Pada pasien-pasien dengan transplantasi ginjal, persalinan tetap
menunggu awitan, jika ibu dan janin tidak menunjukkan tanda-tanda distress.
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
1. Pengkajian
a. Anamnase
1) Identitas Penderita
Gagal ginjal kronik beresiko lebih besar pada usia ˃60 tahun. Hal ini
disebabkan karena semakin bertambahnya usia, semakin berkurang fungsi
ginjal dan berhubungan dengan penurunan kecepatan ekskresi glomerulus dan
memburuknya fungsi tubulus (Pranandari & Supadmi, 2015). Untuk jenis
kelamin laki-laki lebih beresiko terkena penyakit gagal ginjal kronik sebesar
0,3% daripada perempuaan (Riskesdas, 2013). Pekerjaan yang beresiko
menderita penyakit gagal ginjal kronik adalah petani, buruh, kuli, supir truck
dengan alasan mereka sering mengkonsumsi minuman penambah stamina
(Dharma, 2014).
2) Keluhan Utama
Keluhan sangat bervariasi, bisa berupa output urine menurun (oliguria sampai
anuria), anoreksia, mual, muntah, fatigue, nafas bau urea, sesak nafas, edema,
pucat, dan hematuria (Prabowo & Pranata, 2014).
3) Riwayat Penyakit sekarang
Pada klien dengan gagal ginjal kronis biasanya terjadi penurunan urine output,
penurunan kesadaran, demam, perubahan pola napas karena komplikasi dari
gangguan sistem ventilasi, fatigue, perubahan fisiologis kulit, bau urea napas
(Prabowo & Pranata, 2014)
4) Riwayat Kesehatan Terdahulu
Kemungkinan adanya riwayat penyakit Diabetes Mellitus, nefrosklerosis,
hipertensi, gagal ginjal akut yang tidak tertangani dengan baik, obstruksi atau
infeksi urinarius, penyalahgunaan analgetik (Prabowo & Pranata, 2014).
5) Riwayat Kesehatan Keluarga
Gagal ginjal kronis bukan penyakit menular dan menurun, sehingga sisilah
keluarga tidak terlalu berdampak pada penyakit ini. Namun, pencetus sekunder
seperti DM dan hipertensi memiliki pengaruh terhadap kejadian penyakit gagal
ginjal kronis, karena penyakt tersebut bersifat herediter, kaji pola kesehatan
keluarga yag diterapkan jka ada anggota keluarga yang sakit, misalnya minum
jamu saat sakit (Prabowo & Pranata, 2014).
6) Perilaku yang mempengaruhi kesehatan
Gaya hidup atau perilaku yang tidak sehat seperti kebiasaan mengkonsumsi
makanan cepat saji, kesibukan yang membuat stress, duduk seharian di kantor,
sering minum kopi dan jarang minum air putih, merupakan faktor pemicu
terjadinya penyakit ginjal (Aroem, 2015). Perilaku merokok, kurang aktivitas
fisik, kurangnya konsumsi air putih, konsumsi minuman beralkohol, konsumsi
minuman bersoda, konsumsi minuman berenergi, konsumsi kafein.
Tabel 2.3 Status cairan dan nutrisi (Stepherd, 2011)
Status cairan dan nutrisi Sebelum sakit Saat sakit

Nafsu makan Baik Kehilangan nafsu makan

Pola makan

Minum: Jenis: Soda, alkohol, Air putih


penambah stamina
300-500ml/hari

Jumlah: Intake cairan + hasil


metabolisme (5xKgBB)
= output cairan + IWL

(15xKgBB)
Pantangan makan Tidak ada Makanan dengan natrium
pantangan dan kalium tinggi dan
makanan makanan tinggi fosfor

Menu makan Nasi, lauk pauk, sayur Diet lunak, cukup energi

dan rendah protein


Berat badan Berat badan normal Terjadi peningkatan
berat badan disebabkan
edema
b. Pemeriksaan Fisik (Muttaqin, 2011)
1) Keadaan umum
Kondisi klien gagal ginjal kronis biasanya lemah (fatigue), tingkat ksadaran
tergantung pada tingkat toksisitas, sering didapatkan RR meningkat
(tachypneu), hipertensi/hipotensi sesuai dengan kondisi fluktuatif (Prabowo
& Pranata, 2014).
2) Sistem pernafasan
Inspeksi: pergerakan dada simetris, adanya penggunaan otot bantu napas,
sesak napas, irama pernapasan tidak teratur, dan pemakaian alat bantu
napas, nafas cepat dan dalam (Kussmaul), dispnoe nokturnal paroksismal
(DNP), takhipnoe (peningkatan frekuensi).
Palpasi : biasanya vocal fremitus sama antrara kanan dan kiri. Perkusi:
biasanya terdengar suara sonor.
Auskultasi: suara napas, adanya suara napas tambahan, biasanya
wheezing.
3) Sistem Persyarafan
Inspeksi: didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral,
seperti perubahan proses pikir dan disorientasi, klien sering mengalami
kejang, adanya neuropati perifer, burning feet syndrom, restless leg
syndrom, kram otot dan nyeri otot.
4) Sistem Perkemihan
Inspeksi : ditemukan perubahan pola kemih pada periode oliguri akan terjadi
penurunan frekuensi dan penurunan urine <400 ml/hari, warna urin juga
menjadi lebih pekat. Sedangkan pada periode diuresis terjadi peningkatan
yang menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai
tanda perbaikan filtrasi glomelurus. Pada pemeriksaan didapatkan
proteinuria, BUN dan kreatinin meningkat. Dapat juga terjadi penurunan
libido berat. Biasanya pada kasus gagal ginjal kronis dapat terjadi
ketidakseimbangan cairan.

Tabel 2.4 Volume urine normal menurut Muttaqin (2011)


No Usia Jumlah urine/ hari

1 1-2 hari 15-60 ml

2 3-10 hari 100-300 ml

3 10 hari – 2 bulan 250-400 ml

4 2 bulan – 1 tahun 400-500 ml

5 1-3 tahun 500-600 ml


6 3-5 tahun 600-700 ml

7 5-8 tahun 700-1000 ml

8 8-14 tahun 800-1400 ml

9 14 tahun- dewasa 1500 ml

10 Dewasa tua ≤ 1500 ml

5) Sistem Integumen dan Muskuloskeletal


Inspeksi : didapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram
otot, nyeri kaki (memburuk saat malam hari), kulit gatal,
ada/berulangnya infeksi, pruritus, demam (sepsis, dehidrasi),
ptekie, area ekimosis pada kulit, fraktur tulang, defisit fosfat
kalsium pada kulit, keterbatasan gerak sendi, terjadi oedem pada
ekstremitas.
6) Sistem Penginderaan
Kadar batas pendengaran menunjukkan defisit frekuensi tinggi
pada awal penyakit, setelah itu pendengaran secara bertahap
memburuk. Amaurosis uremia adalah onset tiba-tiba kebutaan
bilateral, yang haru dikembalikan dalam waktu beberapa jam
sampai beberapa hari. Mata sering mengandung garam kalsium,
yang membuatnya terlihat seperti teriritasi.
(Black & Hawks, 2014).

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien Gagal Ginjal
Kronik menurut Nurarif & Kusuma (2015):
a. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluaran urin, retensi cairan dan
natrium,
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual,
muntah, perubahan membran mukosa mulut
c. Intoleransi aktivitas b.d keletihan, anemia, retensi produk sampah, prosedur
dialisis
d. Ketidakefektifan pola nafas b.d kongesti paru
e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d perlemahan aliran darah ke seluruh
tubuh
f. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d suplai okigen ke otak menurun
g. Kerusakan integritas kulit b.d pruritus, gangguan status metabolic sekunder
h. Resiko penurunan curah jantung b.d perubahan preload
3. Intervensi Keperawatan
No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
DX
1 Tujuan: 1. Jelaskan pada klien dan keluarga klien
Setelah dilakukan tentang indikator kelebihan cairan
tindakan keperawatan
selama 3x24 R/: mengurangi volume cairan dalam tubuh

2 Tujuan: 1. Jelaskan pada klien dan keluarga klien


tentang pentingnya nutrisi
Setelah dilakukan tindakan R/: agar menambah pengetahuan klien dan
keperawatan selama 3x24 keluarga klien
jam diharapkan kebutuhan
nutrisi klien terpenuhi, BB 2. Anjurkan klien untuk makan sedikit tapi
sesuai IMT sering
Kriteria Hasil: R/: agar nutrisinya dapat terserap dengan
baik
1. Klien dan keluarga
klien 3. Observasi BB
mampu mengetahui R/: agar mengetahui perubahan BB
tentang pentingnya
nutrisi 4. Observasi mukosa mulut
2. Klien mau makan R/: agar mengetahui adanya dehidrasi
makanan sedikit tapi
sering 5. Observasi konjungtiva
3. BB sesuai IMT (18,5- R/: agar mengetahui adanya anemia pada
25,00) pasien
4. Tidak ada penurunan
BB yang berarti 6. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
5. Hemoglobin dalam menentukan jumlah nutrisi yang
dibutuhkan klien dan menu makanan
batas normal (L.13,5 – yang sesuai untuk klien
18,0/P. 11.5-16,0 g/dl R/: agar nutrisi pasien terpenuhi dan
tidak terjadi malnutrisi
6. Hematokrit dalam
batas normal (L. 40 –
54 / P. 35
– 47 vol %)

7. Konjungtiva tidak
anemis

3 Tujuan: 1. Jelaskan pada klien dan keluarga klien


tentang aktivitas yang bisa dilakukan
Setelah dilakukan sesuai kemampuan
tindakan keperawatan R/: agar menambah pengetahuan klien
selama 1x24 jam dan keluarga klien
diharapkan klien dapat
mentoleransi aktivitas 2. Anjurkan pasien untuk melakukan
Kriteria hasil aktivitas sesuai kemampuan
1. Klien dan keluarga R/: agar pasien dapat melakukan aktivitas
klien secara mandiri
mampu memahami
tentang aktivitas yang 3. Observasi TTV sebelum dan sesudah
bisa dilakukan sesuai aktivitas
kemampuan R/: untuk mengetahui perubahan TTV
2. Klien mau melakukan sebelum dan sesudah aktivitas
aktivitas sesuai
kemampuan 4. Observasi perubahan EKG
3. TTV dalam batas R/:agar mengetahui apakah ada
normal saat komplikasi jantung
beraktivitas Tekanan
darah: 5. Kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi
Systole:100-120 mmHg medik dalam merencanakan program
terapi yang tepat
Diastole: 60-80 mmHg R/: agar mempercepat proses
Suhu: 36,5-37,4oc penyembuhan klien dan klien bisa
Nadi:60-80x/menit melakukan aktivitas sehari-hari secara
RR: 15-20x/menit mandiri
4. Tidak ada kelemahan
dalam aktivitas sehari-
hari
5. Mampu melakukan
aktivitas sehari-hari
secara mandiri

4 Tujuan: 1. Jelaskan pada klien dan kelurga klien


Setelah dilakukan tentang penyebab pola nafas tidak
tindakan keperawatan efektif
selama 1x24 jam R/: untuk menambah pengetahuan klien
diharapkan pola nafas dan keluarga klien
klien menjadi efektif
Kriteria hasil: 2. Anjurkan klien untuk melakukan
1. Pasien dan keluarga latihan nafas dalam secara mandiri
pasien dapat R/: agar klien dapat mengatur pola
mengetahui tentang nafasnya saat terjadi sesak
penyebab pola nafas
tidak efektif 3. Ajarkan pada klien teknik nafas dalam
2. Pasien mau melakukan R/: agar menambah keterampilan klien
latihan nafas
dalam 4. Observasi adanya suara nafas
secara mandiri tambahan
R/: agar mengetahui adanya jalan nafas
yang terhambat atau tidak
3. Pasien 5. Observasi adanya pernafasan cuping
mampu mempratekkan hidung
teknik nafas dalam R/: untuk mengetahui adanya retensi
4. Tidak memakai alat karbondioksida atau tidak
bantu pernafasan
5. Tidak ada pernafasan 6. Observasi RR
cuping hidung R/: agar mengetahui perubahan RR pada
6. RR dalam batas klien
normal (15-20x/menit)
7. Tidak ada otot bantu 7. Observasi adanya retraksi otot bantu
pernafasan pernafasan
R/: agar mengetahui pasien kesulitan
dalam bernafas atau tidak

8. Kolaborasi dengan tim dokter dalam


pemberian bronkodilator
R/: mempercepat proses penyembuhan

5 Tujuan: 1. Jelaskan pada klien dan keluarga klien


Setelah dilakukan tentang perubahan sensasi
tindakan keperawatan R/: untuk menambha pengetahuan klien
selama 1x24 jam dan keluarga klien
diharapkan sirkulasi darah
ke jaringan perifer efektif 2. Anjurkan keluarga klien untuk
Kriteria hasil: mengobservasi kulit dan melaporkan
1. Klien dan keluarga jika ada laserasi
klien mengetahui R/: agar tidak terjadi laserasi pada klien

3. Observasi perubahan fungsi motoric


Tentang penyebab R/: jika ada perubahan berarti sirkulasi
perubahan sensasi perifer terganggu
2. Keluarga klien mau
melakukan observasi 4. Observasi penurunan nadi perifer
kulit klien dan R/: jika ada perubahan berarti sirkulasi
melaporkan jika ada perifer terganggu
laserasi
3. Tidak ada perubahan 5. Observasi CRT
fungsi motoric R/: agar mengetahui adanya perubahan
4. Tidak ada penurunan CRT, perubahan itulah yang menunjukkan
nadi perifer perfusi jaringan perifer lancer atau tidak.
5. Tidak ada parestesi
6. Kolaborasi dengan tim dokter dalam
6. CRT<3 detik pemberian analgetik
R/: untuk mempercepat proses
penyembuhan

6 Tujuan: 1. Anjurkan px untuk head up 30o


Setelah dilakukan R/: agar membantu memperlancar
tindakan keperawatan peredaran darah ke otak
selama 1x24 jam
diharapkan sirkulasi 2. Observasi GCS dan tingkat kesadaran
serebral stabil p
1. GCS px normal4-5-6 R/: untuk mengetahui perubahan GCS dan
2. Tingkat kesadaran tingkat kesadaran
composmentis
3. TTV dalam batas 3. Observasi TTV
Normal R/: untuk mengetahui perubahan TTV

4. Observasi adanya nyeri kepala


Tekanan darah: R/:untuk mengetahui adanya
Systole:100-120 mmHg peningkatan TIK
Diastole: 60-80 mmHg 5. Kolaborasi dengan tim medis lain dalam
Suhu: 36,5-37,4oc pemberian terapi
Nadi:60-80x/menit R/: untuk mempercepat proses
RR: 15-20x/menit penyembuhan

7 Tujuan: 1. Jelaskan pada klien dan keluarga klien


Setelah dilakukan tentang penyebab kerusakan integritas
tindakan keperawatan kulit
selama 1x24 jam R/: agar menambah pengetahuan klien
diharapkan integritas
jaringan klien kembali 2. Anjurkan klien untuk memakai pakaian
normal yang longgar
Kriteria hasil: R/: agar kulit klien tidak tertekan
dengan baju yang sempit
1. Klien dan keluarga
klien 3. Anjurkan keluarga klien mengoleskan
mampu lotion pada daerah yang tertekan
memahami tentang R/: agar kelembapan kulit klien terjaga
penyebab kerusakan
integritas kulit 4. Observasi tanda kemerahan pada kulit
2. Klien mau memakai R/: agar mengetahui ada tanda
pakaian yang longgar infeksi atau tidak
3. Keluarga klien mau
mengoleskan lotion 5. Observasi aktivitas mobilisasi klien
pada daerah yang R/:agar tidak terjadi terjadi decubitus
Tertekan

6. Kolaborasi dengan tim medis dalam


pemberian obat diuresis
4. Tidak ada R/: agar oedeme nya berkurang dan
tanda kemerahan kerusakan integritas jaringan berkurang
pada kulit
5. Tidak ada decubitus
8 Tujuan 1. Jelaskan pada klien dan keluarga klien
Setelah dilakukan tentang penyebab penurunan cura
tindakan keperawatan jantung
selama 1x24 jam R/: agar menambah pengetahuan klien
diharapkan tidak terjadi dan keluarga klien
penurunan curah jantung
Kriteria hasil: 2. Anjurkan pada klien untuk mengurangi
1. Jelaskan pada stress
klien dan keluarga R/: agar kerja jantung tidak berat
klien tentang
penyebab 3. Monitor TTV
penurunan curah R/: agar mengetahui perubahan TTV
jantung
2. Pasien mau
4. Monitor sianosis
mengurangi stress
R /: agar mengetahui aliran darah
3. TTV dalam batas
lancer atau tidak
normal
saat beraktivitas
5. Kolaborasi dengan tim dokter dalam
Tekanan darah:
pemberian obat aritmia
Systole:100-120 mmHg
R/: agar mempercepat penyembuhan
Diastole: 60-80 mmHg
klien
Suhu: 36,5-37,4oc
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan (Setiadi, 2012).
Implementasi adalah pengelolaan dari perwujudan intervensi meliputi
kegiatan yang di validasi, rencana keperawatan, mendokumentasikan rencana
memberikan askep dalam pengumpulan data serta melaksanakan adusa dokter
dan ketentuan rumah sakit (Wijaya & Putri, 2013).

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaa
pasien ( Hasil yang diamati ) dengan tujuan dan kriteria hasil yang di buat
(Rohmah, N. 2014).
Evaluasi merupakan tahapan akhir dari suatu proses keperawatan yang
merupakan perbandingan yang sistematis dan rencana tentang kesehatan pasien
dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara melibatkan pasien dan
sesama tenaga kesehatan (Wijaya & Putri, 2013).
Daftar pustaka

Agoes, dkk. 2018. Penyakit di Usia Tua. Jakarta: EGC.

Ana. 2015. 14 Penyebab Gagal Ginjal Akut dan Kronik. http://halosehat.com/penyakit-


ginjal/penyebab-gagal-ginjal. Diakses pada tanggal 14 Mei 2019.

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medical Bedah. Jakarta : EGC.

Dewi, Nurma. 2015. Gambaran Tingkat Pengetahuan Pasien Gagal Ginjal Kronik Terhadap
Kepatuhan Menjalani Hemodialisa Di Rumah Sakit MH Thamrin. Jurnal Ilmiah Kesehatan:
Vol.1,No.7. Diakses pada tanggal 18/12/2018.

Harahap, Solihuddin. 2016. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Gagal Ginjal Kronik (GGK) DiRuang
Hemodialisa (HD) RSUP H. Adam Malik Medan. Diakses pada tanggal 15/01/2019.

Haryono, Rudi. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Sistem Perkemihan. Yogyakarta: Andi
Offest.

Kammerer. 2007. Adherene in Patients On Dialysis: Strategies for Succes. Nephrology Nursing
Journal: Vol.34,No.5, 479-485.

Price & Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Penerjemah dr.
Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC.

Riskesdas. 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Edisi
8. Jakarta : EGC.

WHO. 2003. Adherence long-term therapies. Evidence for action. Diperoleh dari http://
www.emro.who.int/ncd/publicity/adherence.report.in.diabetic.patien diakses pada tanggal
21/01/2019.

Anda mungkin juga menyukai