Desa merupakan suatu daerah yang memiliki system kemasyarakatan yang erat dan
sebagian besar penduduknya bermata pencaharian dibidang agraris (warpani, 1984). Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Kawasan pedesaan merupakan wilayah yang mempunyai kegiatan utama
pertanian, termasuk pengolahan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan
ekonomi. (UU No.26 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat 23, Penataan Ruang).
Menurut Bintarto, desa adalah perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur
fisiografis sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang terdapat di suatu tempat dalam
hubungan dan pengaruh timbal balik dengan daerah lain. Unsur-unsur desa menurut Bintarto
ada tiga sebagai berikut.
1) Daerah yang meliputi berbagai aspek, seperti lokasi, luas, bentuk lahan, keadaan tanah,
dan keadaan tata air.
2) Penduduk yang terdiri dari jumlah penduduk, kepadatan penduduk, tingkat kelahiran,
tingkat kematian, perbandingan jenis kelamin, mata pencaharian, dan sebagainya.
3) Tata kehidupan berkaitan erat dengan adat istiadat, norma-norma yang berlaku di daerah
tersebut, sistem pergaulan, dan pola-pola budayanya.
Gambar: Pola desa memanjang pantai dan sejajar jalan kereta api
(Sumber: Sabtanti Rahayu, hal.51)
5. Pola radial
Pola persebaran desa radial atau melingkar terdapat di daerah gunung berapi, biasanya
terletak di kanan kiri sungai-sungai di lereng gunung tersebut.
Beberapa faktor yang menentukan pola keruangan dan sistem perhubungan dan
pengangkutan di desa. (Rahayu, 2009)
1) Letak desa terhadap bentang alam atau bentang budaya tertentu, seperti sungai, laut,
pegunungan, dan kota. Desa yang terletak di dataran, sistem pengangkutan lebih
bervariasi sehingga kelancaran hubungan dengan daerah lain lebih mudah. Hampir
semua jenis angkutan dapat dengan mudah mencapai desa ini, sedangkan sistem
perhubungan di dataran tinggi/pegunungan terbatas. Desa yang terletak di pantai
memiliki potensi untuk membuat sistem perhubungan laut.
2) Topografi, yaitu kondisi relief atau bentuk muka bumi. Perbedaan topografi
menyebabkan sistem pengangkutan antara daerah dataran rendah dan dataran tinggi
berbeda. Alat angkutan darat lebih banyak di daerah dataran rendah karena pembangunan
jaringan lalu lintas lebih mudah daripada daerah perbukitan atau pegunungan.
3) Kondisi sosial dan perkembangan masyarakat juga menentukan sistem pengangkutan dan
perhubungan di desa. Usaha dan upaya masyarakat berpengaruh terhadap sistem
transportasi. Kemampuan masyarakat dalam mengatasi kondisi fisik akan mempermudah
dalam mewujudkan sarana transportasi.
Desa Sekardadi merupakan salah satu turunan Desa Bayung Gede yang memiliki
kekerabatan sangat kuat. Desa Sekardadi memiliki keunikan pada pembentukan pola spasial
permukiman dan tata letak huniannya. Keunikan pola spasial permukimannya menarik untuk
diungkap lebih jauh, baik filosofi maupun perwujudannya secara fisik.
Sebagai konsep tata nilai dalam pembentukan pola permukiman Bali Pegunungan
yang sampai saat ini masih diaplikasikan secara turun-menurun dari generasi ke generasi,
maka arah gunung merupakan hulu atau kaja sebagai zona sakral dengan hierarki tertinggi
(utama). Sementara itu, arah laut merupakan teben atau kelod dengan nilai paling profan dan
lebih rendah (Adiputra, 2016; Rahayu, 2012; Pardiman, 1986; Gelebet, 1982).
Berdasarkan paparan tersebut, maka konsep hulu-teben merupakan pengetahuan dasar
di dalam dialog pembentukan pola Desa Sekardadi. Dengan demikian, Gunung Batur yang
terletak di kaja (utara) menjadi orientasi desa. Konsep hulu-teben membedakan ruang desa
menjadi tiga zona: 1) zona hulu sebagai lokasi pura (zona parahyangan); 2) zona tengah
untuk kawasan perumahan (zona pawongan); dan 3) teben merupakan zona kuburan desa
adat (zona palemahan). Ketiga zona tersebut dilandasi oleh Konsep Tri Hita Karana
(Parwata, 2004).
Pengaturan pola spasial desa yang dilandasi oleh konsep Hulu-Teben dan Tri Hita
Karana, memungkinkan Desa Sekardadi memiliki pola linier (linear pattern). Jalan utama
desa yang membentang dari utara ke selatan merupakan pusat yang tidak hanya berfungsi
sebagai sirkulasi umum, tetapi juga berfungsi sebagai ruang terbuka yang menghubungkan
pintu masuk pekarangan setiap rumah.
Gambar: Pola linier desa merupakan perwujudan dari konsep hulu-teben
Sumber: Hasil pemetaan dilapangan oleh Agusintadewi, 2016)
Pembentukan pola spasial permukiman Desa Sekardadi mengikuti Konsepsi Tri Kita
Karana (Parahyangan, palemahan, dan pawongan), Tri Mandala (Utama, Madya, dan
Nista), konsepsi hulu-teben (atas-bawah) sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur.
Gunung Batur yang terletak di sebelah utara/kaja merupakan pusat orientasi desa. Kemudian
konsepsi tata nilai tersebut diterjemahkan secara fisik ke dalam pola spasial permukiman
dengan jalan utama desa sebagai ruang terbuka yang memanjang (linier) dari arah utara
menuju selatan (kaja-kelod), yang membagi desa menjadi tiga zona: 1) Zona hulu/kaja
sebagai lokasi pura (zona parahyangan). Zona ini memiliki kondisi topografi lebih tinggi,
sehingga memiliki hierarki tertinggi dan paling sakral (Zona Utama Mandala) yang ditandai
dengan penempatan Pura Puseh (tempat pemujaan untuk Dewa Brahma, yaitu Dewa
Penciptaan; 2) Zona tengah untuk kawasan permukiman dan fasilitas huniannya (zona
pawongan) dengan kondisi topografi lebih landai sebagai Zona Madya Mandala untuk
meletakkan Pura Bale Agung (tempat pemujaan untuk Dewa Wisnu sebagai Dewa
Pemelihara); dan 3) Zona Teben pada ujung selatan (kelod) yang memiliki kondisi topografi
lebih rendah untuk menempatkan Pura Dalem (tempat pemujaan untuk Dewa Siwa sebagai
Dewa Pelebur) dan setra atau kuburan desa adat (zona palemahan). Zona ini memiliki nilai
hierarki paling rendah dibandingkan dua zona lainnya (Zona Nista Mandala).
Sumber:
Agusintadewi. (2016). Pola Spasial Permukiman Tradisional Bali Aga di Desa Sekardadi,
Kintamani. RUAS.
Rahayu, dkk. (2009). Nuansa Geografi. Jakarta: PT. WIDYA DUTA GRAFIKA.