Anda di halaman 1dari 11

MODUL 3

KEBIJAKAN PEMERINTAH UNTUK MENJAMIN MANAJEMEN BERBASIS


SEKOLAH

KB. 1. STANDART PELAYANAN MINIMAL PENGELOLAAN PENDIDIKAN


MBS ditujukan untuk efektifitsas (mutu) dan efisiensi pengelolaan serta akiuntabilitas
kepada berbagai stakeholder dan Standart pelayanan minimum (SPM) sebagai pencapaian
kualitasnya. Pasal 34 ayat 2 UU no 20 Th. 2003 mengamanatkan bahwa pemerintah dan
pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan
dasar tanpa memungut biaya, dan pasal 51 ayat 1 UU no 20 Th. 2003 menyatakan bahwa
pengelolaan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah
dilaksanakan berdasarkan standart pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis
sekolah, dan SK mendiknas no. 0351U/2001 tentang penyusunan standart pelayanan minimal
penyelenggaraan persekolahan bidang pendidikan dasar dan menengah.
A. TUJUAN PENYELENGGARAAN (SEKOLAH MENEGAH PERTAMA)
Sekolah menengah pertama (SMP) bertujuan memberkan kemampuan dasar yang
merupakan perluasan serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh di SD.
B. STANDART KOMPETENSI SISWA
1. Akhlak dan budi pekerti yang luhur
2. Pengetahuan dan keterampilan dasar sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
3. Keerdasan dan kebugaran, apresiasi seni, dan dasar-dasar olahraga sesuai bakat dan
minatnya.
4. Kemampuan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
C. KURIKULUM
Kurikulum merupakan rancangan kegiatan dan pengalaman yang akan diberikan
sekolah kepada siswa yang meuat:
1. Susunan program pengajaran, yaitu mata pelajaran yang akan diajarkan
2. Materi pengajaran
3. Strategi belajar mengajar
4. Bahasa pengantar
5. Penilaian, dan
6. Bimbingan belajar
D. ANAK DIDIK
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal anak didik ini diataranya adalah:
1. Daya tampung siswa
2. Persyaratan sebagai siswa
3. Pakaian siswa
4. Unit kegiatan siswa
E. KETENAGAAN
Mencakup jenis tenaga minimal di sekolah seperti Kepala Sekolah, wakil kepala
sekolah, tata usaha, guru mapel, guru pembimbing, laboran dan pustakawan.
F. SARANA DAN PRASARANA
Sarana prasarana yang harus menjadi perimbangan minimal dalam penyelenggaraan
sekolah adalah berkaitan dengan lahan dan ruang, perabot, alat dan media pendidikan, serta
ketersediaan buku pelajaran dan bacaan.
G. ORGANISASI
Sekolah disyaratkan mempunyai susunan organisasi misalnya Kepala Sekolah, wakil
kepala sekolah, tata usaha, guru mapel, guru pembimbing, laboran dan pustakawan.
H. PEMBIAYAAN
1. Sumber pembiayaan
a) Pemerintah daerah
b) Dana msyarakat
c) Sumber lainnya misalnya hibah, pinjaman sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Komponen Pembiayaan
a) Kegiatan edukatif untuk proses belajar mengajar
b) Kegiatan penunjang untuk kegiatan operasionalisasi ruan belajar dan kegiatan
ekstrakurikuler
c) Perawatan sarana pendidikan
d) Perawatan kegiatan penunjang
e) Kesejahteraan guru dan pegawai sekolah
f) Langganan daya dan jasa
g) Program khusus yang mengacu pada legiatan peningkatan mutu sekolah yang
bersangkutan
3. satuan pembiayaan
Satuan biaya dapat dihitung berdasarkan satuan biaya tetap dan satuan biaya tidak
tetap yang dihitung berdasarkan jumlah siswa, lokasi dan program kegiatan yang sesuai
dengan jenis dan komponen biaya yang relevan.
4. Penentuan pembiayaan
Penentuan biaya yang dibebankan pada masyarakat / orang tua ditentukan berdasarkan
persetujuan pemerintah daerah atas usulan dari kepala sekolah bersama dengan badan peran
serta masyarakat/komite.
5. Pengelolaan pendidikan
Pengloalaan pembiayaan dilakukan secara transparan dan dipertanggungjawabkan
setiap tahun kepada stakeholders.
6. Rencana Anggaran Penerimaan dan Belanja Sekolah (RAPBS)
7. Pemeriksaan pembiayaan (Audit)
8. Pelaporan
I. PERAN SERTA MASYARAKAT
1. Membantu kelancaran penyelenggaraan pendidikan di sekolah
2. Memelihara, meningkatkan,dan mengembangkan sekolah
3. Memantau, mengawasi, dan mengevaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah
J. MANAJEMEN SEKOLAH
1. Setiap sekolah menerapkan manajemen berbasis sekolah
2. Untuk mencapai tujuan maka setiap sekolah:
a) Merumuskan visi, misi, dan target mutu;
b) Merencanakan program sekolah;
c) Melaksanakan program yang te;ah ditetapkan;
d) Memonotor dan mengevaluasi pelaksanaan program;
e) Merumuskan target mutu baru;
f) Melaporkan kemajuan yang dicapai kepada orang tua, masyarakat dan
pemerintah;
3. Untuk mengawasi program maka dilakukan kontrol melalui ;
a) Pemantauan dan pengawasan internal dan eksternal
b) Transparansi manajemen
c) Akuntabilitas publik
4. Penilaian sekolah
Penilaian sekolah dapat bersifat nasiona;, lokal, dan sekolah sesuai dengan tujuan dan
lingkupnya.

K. INDIKATOR KEBERHASILAN
Matriks Indikator Keberhasilan Standar Pelayanan Minimal
(SPM) Penyelenggaraan Sekolah Menengah Pertama

Komponen Ketercapaian Kewenangan


No. Indikator
SPM Minimal P PR K S
1. Kurikulum Ketersediaan kurikulum Ada

nasional
Tersebarnya kurikulum lokal Ada √ √ √
Keterlaksanaan kurikulum Sesuai

nasional
Keterlaksanaan kurikulum Sesuai

lokal
% daya serap kurikulum 75%
nasional
Persentase daya serap 80%
√ √ √ √
kurikulum lokal
2. Anak Didik Angka Partisipasi Kasar Meningkat

(APK)
Angka Partisipasi Murni Meningkat
√ √ √ √
(APM)
Angka Pendaftaran Siswa Meningkat √ √ √ √
Angka Putus Sekolah (APS) Menurun √ √
Komponen Ketercapaian Kewenangan
No. Indikator
SPM Minimal P PR K S
Angka Mengulang Kelas Menurun
√ √
(AMK)
Kelangsungan Belajar Meningkat
√ √
(Survival Rate)
Persentase Kelulusan 90% √
3. Ketenagaan Kinerja Kepala Sekolah Baik √ √ √
Persentase Guru 60%
√ √ √
Berkualifikasi
Persentase Guru Berkeahlian 60% √ √
Rasio Guru dengan Siswa 1:28 √ √
4. Sarana dan Lahan Cukup √ √
Prasarana Bangunan Lengkap √ √
Perabot Lengkap √ √
Peralatan/Lab./Media
Rasio Buku Teks dengan 1:02
√ √
Siswa
Sarana Olahraga Lengkap √ √
Infrastruktur Lengkap √ √
5. Organisasi Struktur Organisasi Ada √
Personalia Ada √
Uraian Tugas Ada √
Mekanisme Kerja Baik/Lancar √
6. Pembiayaan Anggaran Pemerintah Ada √ √ √ √
Anggaran Swadaya Ada √ √
Komponen yang Dibiayai Seluruhnya √ √ √
7. Manajemen Pemahaman Visi dan Misi Baik

Sekolah Sekolah
Tingkat Kehadiran Guru 90% √
Tingkat Kehadiran Tenaga 90%

Administrasi
Tingkat Kehadiran Tenaga 90%

Lainnya
Tingkat Kehadiran Siswa 90% √
Tertib Administrasi Lengkap √
Kinerja Sekolah Baik √
8. Peran Serta Peran Serta Ada

Masyarakat Masyarakat/Komite/BP3
Perhatian Orang Tua Ada √
Perhatian Tokoh Masyarakat Ada √ √
Peran Serta Dunia Usaha Ada √ √
Keterangan:
P    = Pemerintah Pusat
PR = Pemerintah Provinsi
K   = Pemerintah Kabupaten/Kota
S    = Sekolah 
KB. 2 MEMPERSIAPKAN KOMPONEN PENDUKUNG MANAJEMEN BERBASIS
SEKOLAH
Menyiapkan sekolah untuk melaksanakan MBS harus merupakan satu paket sosialisasi
dengan memperhatikan hubungan antar elemen terkait dalam manajemen sekolah sesuai
kaidah MBS. Terdapat tiga masalah penting dalan penyiapan MBS yaitu;
1. Kesiapan personel yang melaksanakan dan terlibat dalam pelaksanaan khususnya
perubahan sikap
2. Kepastian pendanaan yang dikelola sekolah
3. Kurang dipahaminya sistem penyelenggaraan dan pengelolaan sekolah secara utuh.
A. PENINGKATAN KEKMAMPUAN PERSONEL
Untuk meningkatkan kemampuan personel dalam mendukung MBS dapat
dilaksanakan antara lain;
1. Training-Workshop Manajemen pola MDS
Penerapan MBS memerlukan praktik kepemimpinan kolektif, kolaboratif, dan partisipatif.
(2010: 3.)
Pada umumnya training berisi dasar-dasar konsep MBS, dasar-dasar kebijakan/hukum,
pengalaman praktik, dan model pelaksanaan MBS dalam kerangka Sisdiknas yang
berorientasi pada mutu. Workshop-training ini dapat dilakukan oleh pemerintah pusat,
pemerintah provinsi atau kabupaten/kota. (2010: 3.)
2. Training kemampuan profesional guru/tenaga kependidikan
Kompetensi, merupakan bagian penting dalam pelaksamaan MBS. Dalam hubungan ini
training KBK hendaknya terintegrasi (terkoordinasi). Demikian pula training program Life
Skills, dan “pendekatan kontekstual” atau contextual learning (CTL) yang merupakan
implikasi MBS, dalam hal pembelajaran perlu dilatihkan sekaligus. (2010: 3.)
Dalam pelatihan guru, ada dua kategori, yaitu yang bersifat remedial (memperbaiki
kelemahan guru terutama dalam penguasaan substansi/materi) dan pelatihan yang bersifat
fine-tuning atau penyegaran yang bertujuan memperkenalkan model-model pembelajaran
baru dan inovasi lainnya. (2010: 3.)
Oleh karena itu, training untuk guru ke depan harus bersifat Competence Based Training atau
pelatihan yang berbasis kompetensi. Selesai pelatihan mereka harus benar-benar dapat
melaksanakan tugas secara profesional dan mandiri. (2010: 3.)
3. Training-workshop bagi kelompok kerja pengembang dan pendamping MBS
Idealnya, setiap provinsi dan kabupaten/kota memiliki Kelompok Kerja Tetap “Pengembang
dan Pendamping” pelaksanaan MBS dan program-program terkait lainnya. Tugas mereka
yang utama adalah merintis MBS bagi sekolah yang baru akan mulai menerapkan, dan
memberi asistensi atau pendampingan bagi yang sudah mulai melaksanakan MBS, disamping
memonitor perkembangan/kemajuan MBS di wilayah kerjanya. (2010: 3.)

B. PENDANAAN PENDIDIKAN BERBASIS SEKOLAH


Pengalokasian anggaran langsung ke sekolah merupakan bagian penting dari
penerapan MBS, bahkan di negara-negara lain penanaman MBS atau School Based
Management banyak diberi ciri khusus dengan nama yang bersifat financial, seperti Financial
Delegation, Grant Maintained Schools and Lokal management, Financial Delegation and
Localized management, dan Local Budgeting and Community Involvement (Umaedi, 2004).
(2010: 3.)

1. Landasan Hukum
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
mengenai pendanaan Pendidikan diatur dalam Bab XIII, pasal 46, 47, 48, 49, masing-masing
pasal berturut-turut mengatur tentang Tanggung jawab Pendanaan, dan Pengalokasian Dana
Pendidikan.

BAB XIII
PENDANAAN PENDIDIKAN

Bagian Kesatu
Tanggung Jawab Pendanaan

Pasal 46

(1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah,


Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran


pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

(3) Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Sumber Pendanaan Pendidikan

Pasal 47

(1) Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan,


kecukupan, dan keberlanjutan.

(2) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang
ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Pengelolaan Dana Pendidikan
Pasal 48

(1) Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi,


transparansi, dan akuntabilitas publik.

(2) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Pengalokasian Dana Pendidikan

Pasal 49

(1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor
pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

(2) Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

(3) Dana pendidikan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk satuan pendidikan
diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

(4) Dana pendidikan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah diberikan dalam
bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah

BAB VIII
WAJIB BELAJAR

Pasal 34

(1) Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib
belajar.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar


minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

(3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh
lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

(4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pendidikan Berbasis Masyarakat

Pasal 55

(1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada


pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial,
dan budaya untuk kepentingan masyarakat.

(2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan


melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan
pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.

(3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari


penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau sumber lain
yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis,


subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah.

(5) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
2. Formula pendanaan sekolah
Mengacu pada prinsip yang dikemukakan sebelumnya, ada dua prinsip, yaitu
kecukupan dan keadilan yang perlu memperoleh perhatian.
a. Prinsip Kecukupan
Untuk menjamin prinsip kecukupan dalam pendanaan sekolah perlu dilakukan
perhitungan satuan biaya per anak untuk setiap bentuk satuan, jenjang dan jenis
sekolah. (2010: 3.)
Berdasarkan biaya satuan untuk SD per anak tersebut Pemerintah Kabupaten/Kota
dapat menghitung biaya pendidikan untuk SD dengan cara mengalikan jumlah seluruh
siswa SD di wilayahnya kali biaya per anak. (2010: 3.)
Pendanaan sekolah dengan block grant atau hibah layak (seperti pesan UU No. 20
Tahun 2003) yang dihitung berdasarkan jumlah siswa kali biaya per siswa tampaknya
sudah baik, tetapi kalau diteliti lebih jauh belum memenuhi prinsip keadilan. Sekolah
yang kaya (kategori baik), sedang dan kurang (miskin) diperlakukan sama, padahal
kebutuhannya berbeda. (2010: 3.)
b. Prinsip Keadilan
Untuk memastikan bahwa setiap murid memperoleh layanan pendidikan yang layak
maka disamping satuan biaya per siswa/murid dihitung secara layak, perlu memerhatikan
unsur-unsur penentu atau variabel yang merupakan ciri sasaran perhitungan. Unsur-unsur
penentu yang menjadi pertimbangan, antara lain sebagai berikut.
1) Jenis dan bentuk satuan dan jenjang pendidikan, seperti TK/RA, SD/MI,
SLTP/MTs, SMU/MA, SMK/MAK, serta SLB/MLB, yang masing-masing memiliki
karakteristik keperluan pendanaan yang berbeda, baik karena tuntutan kurikulum maupun
karakteristik muridnya. (2010: 3.)
2) Pada setiap bentuk satuan, jenjang dan jenis yang sama, terdapat perbedaan:
a) Sekolah besar dan kecil dari segi jumlah muridnya, yang menyebabkan
kebutuhan pendanaan yang berbeda.
b) Sekolah yang kaya dan miskin, baik karena dukungan masyarakat (murid-
muridnya dari kalangan yang sosial-ekonominya kuat) atau sebaliknya. Anak-
anak keluarga miskin jangan sampai terlalu dirugikan layanan pendidikannya di
sekolah. (2010: 3.)
Kategori sekolah kaya dan miskin dapat diperhalus menjadi tiga kategori, yaitu
kuat, sedang, dan lemah yang disebabkan oleh lingkungan (status sosial ekonomi
masyarakat pendukungnya) masyarakatnya. (2010: 3.)
3) Biaya minimal atau biaya tetap (fix-cost)
Biaya minimal perlu ditetapkan sesuai syarat pendirian sekolah dan tuntutan
kurikulum. Sampai batas jumlah siswa tertentu, sekolah diberi biaya minimal yang dapat
untuk membiayai proses pembelajaran dan keperluan operasional lainnya (gaji tenaga dan
biaya operasional). Singkatnya, biaya minimal per sekolah adalah dana minimal yang harus
dialokasikan ke sekolah berdasarkan kebutuhan minimal agar pengelolaan sekolah dapat
berjalan semestinya, tanpa memperhitungkan jumlah murid pada sekolah tersebut. Biaya ini
tidak dapat dikurangi karena kalau dikurangi akan mengganggu proses pembelajaran. Alokasi
dana untuk biaya minimal sama untuk semua sekolah yang bentuk satuan, jenis dan
jenjangnya sama, sampai jumlah murid yang ditentukan. (2010: 3.)
4) Kombinasi banyaknya murid dan status sosial ekonomi
Pada bahasan tentang pendanaan minimal berdasarkan pembiayaan minimal sampai
jumlah murid yang ditentukan, telah disinggung perhitungan biaya tambahan berdasarkan
banyaknya murid di atas jumlah yang ditentukan. Namun, perhitungan biaya tambahan
tersebut tidak dapat disamaratakan, mengingat ada sekolah yang secara sosial-ekonomi kuat,
ada sekolah yang sedang, dan ada yang lemah. Sedangkan yang lemah harus diberi dana per
murid lebih besar dari pada yang sedang, dan perhitungan tambahan biaya per murid pada
sekolah yang sedang harus lebih besar dari pada yang kuat. Kalau dibuat sederhana menjadi 3
kategori tersebut, dan disepakati rasio antara lemah, sedang, dan kuat 4 : 2 : 1 atau dengan
indeks pengali 1:0,5:0,25 maka besarnya tambahan biaya bagi sekolah dari jumlah standar,
akan sama dengan banyaknya murid tambahan kali indeks kategori kali satuan biaya per
murid. (2010: 3.)

3. Bantuan oendanaan bagi sekolah swasta (dikelola oleh masyarakat)


Kalau diteliti kembali pesan Pasal 55, ayat (3) dan (4), terdapat dua hal penting, yaitu
pertama, dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat berasal dari antara lain
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, kedua bahwa lembaga pendidikan berbasis masyarakat
dapat memperoleh subsidi dana dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah
dan atau Pemerintah Daerah. (2010: 3.)

4. Kenijakan makro dan mezzo pendanaan oendidikan berbasis sekolah


Secara makro (nasional), orang sulit menemukan besarnya pendanaan pendidikan
untuk sekolah seluruh Indonesia. Hal ini terutama karena pendanaan pendidikan digunakan
oleh beberapa departemen yang menyelenggarakan dan mengelola pendidikan.
Dengan uraian tersebut, sekarang terasa bahwa dalam hal pendanaan sekolah, sangat
tergantung dari bagaimana sikap Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Bolanya ada pada
kebijakan makro (pusat) dan mezzo (pemerintah daerah)

C. REORIENTASI KEPENGAWASAN SEKOLAH, LEMBAGA TRAINING GURU DAN


TENAGA KEPENDIDIKAN SERTA PENGATURAN SARANA DAN MONITORING.
1. Kepengawasan
Dalam pola MBS, hak guru dan tenaga kependidikan sebagai profesional mandiri
sangat ditekankan. Oleh karena itu, fungsi pengawasan sekolah kalau akan diefektifkan untuk
membantu profesionalisme guru dan tenaga kependidikan dalam praktik, perlu dirumuskan.
2. Lembaga pelatihan guru dan tenaga kependidikan
Meskipun ada lembaga-lembaga yang tugas pokoknya melaksanakan pelatihan, tetapi
sekolah yang melaksanakan MBS memiliki kebebasan untuk memilih lembaga/instansi mana
tempat mereka “membeli” pelatihan yang sesuai kebutuhan mereka, bahkan lembaga swasta
sekalipun. Sekolah juga melakukan kerjasama dengan instansi mana pun yang mereka piih
dalam rangka staff development.
3. Pengaturan kembali kebijakan pengadaan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan
Pengadaan/pengediaan sarana dan prasarana pendidikan yang semula dilakukan secara
terkonsentrasi baik di pusat maupun di daerah perlu diatur ulang. Jenis-jenis sarana dan
prasarana yang pengadaannya dapat dilakukan oleh sekolah perlu diserahkan tanggung
jawabnya kepada sekolah. Bersama komite sekolah, mereka dapat merencanakan kebutuhan,
menilai dan mengadakan sarana pendidikan sesuai kebutuhan masing-masing, menggunakan
dana hibah (yang masuk anggaran sekolah) yang diterimanya.
4. Monitoring dan evaluasi MBS
Pengelolaan Ketenagaan, Sarana dan Prasarana dalam kaitannya dengan manajemen
berbasis sekolah perlu dimonitor dan dievaluasi. Sejauh mana elemen-elemen tersebut
diterapkan secara fungsional saling memperkuat dan mendukung sehingga memberi dampak
efektivitas, efisien, transparansi, dan akuntabilitas layanan pendidikan.
Modul 6
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia

Kegiatan Belajar 1
Langkah-langkah MBS
Bagi sekolah yang sudah beroperasi, Umaedi (2004) mengajukan paling tidak ada 6
langkah yang dapat dilakukan dalam implementasi MBS, yaitu:
1. Evaluasi diri (self assessment);
2. Perumusan visi, misi, dan tujuan;
3. Perencanaan;
4. Pelaksanaan;
5. Evaluasi;
6. Pelaporan.

A. Evaluasi Diri (Self Assessment)


Evaluasi diri merupakan langkah awal bagi sekolah yang ingin atau akan
melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah. Kegiatan ini dimulai dengan curah pendapat
(brainstorming) yang diikuti oleh kepala sekolah, guru, dan seluruh staf, serta diikuti juga
anggota Komite Sekolah. Prakarsa dan pimpinan rapat adalah Kepala Sekolah.
Evaluasi atau penilaian diri (self assesment) sering disebut school review atau
penilaian keadaan sekolah secara menyeluruh sebagai tindakan awal sebelum melakukan
perencanaan pengembangan sekolah.
Kegiatan evaluasi diri meskipun dilakukan secara bebas dan demokratis yang diawali
dengan curah pendapat, akhirnya menghasilkan rumusan tentang profil sekolah atau pemetaan
keadaan sekolah dalam segala aspeknya, mulai dari komponen ketenagaan, sarana dan
prasarana, pendanaan, program-program sekolah dan proses pembelajaran, prestasi (kinerja)
siswa dan guru yang dicapai di dalam pelaksanaan program dan proses pembelajaran, serta
ketertinggalan dan persoalan yang belum atau tidak teratasi yang dialami oleh sekolah.
B. Perumusan visi, misi, dan tujuan
Bagi sekolah yang baru didirikan, perumusan visi dan misi serta tujuan merupakan
langkah awal yang harus dilakukan, menjelaskan ke mana arah pendidikan yang ingin dituju
oleh para pendiri/penyelenggara pendidikan. (2010: 6.)
Bagi sekolah yang sudah berjalan, perumusan visi, misi, dan tujuan merupakan
langkah lanjutan atau langkah kedua sebagai tindak lanjut dari kegiatan evaluasi diri terutama
bagi sekolah yang belum memiliki rumusan yang jelas. (2010: 6.)
C. Perencanaan
Perencanaan pada tingkat sekolah adalah kegiatan yang ditujukan untuk menjawab apa
yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya untuk mewujudkan tujuan (tujuan-
tujuan) yang telah ditetapkan/disepakati pada sekolah yang bersangkutan, termasuk anggaran
yang diperlukan untuk membiayai kegiatan yang direncanakan.

Anda mungkin juga menyukai