Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Badai Krisis multidimensi masih terus berkecamuk. Sektor industri masih
belum menampakkan kepulihannya. Harga barang melambung tinggi karena
bisa jadi kenaikan Bahan Bakar Minyak yang terjadi beberapa waktu lalu.
Lalu dalam kondisis yang seperti saat ini, masyarakat kecil lah yang paling
merasakan dampaknya. Akibatnya sebagian kebutuhan mereka terabaikan.
Yang memprihatinkan jika yang muncul yaitu masalah terkait kesehatan.
Sering muncul kasus, bahwa keluarga yang kurang tercukupi kebutuhannya
tersebut menderita penyakit yang kronis, tapi membiarkan penyakit itu
menggerogoti tubuh. Paling banter hanya sekedar berobat ala kadarnya. Tidak
lain dan tidak bukan karena biaya ke dokter dan harga obat obatan yang
dirasa cukup mahal. Hal ini dapat menjadi lebih parah jika dibiarkan berlarut
larut. Faktor ekonomi merupakan pemicu utama dalam mempengaruhi sikap
dalam mengambil tindakan seseorang yang mengalami permasalahan terkait
kesehatan.
Selain itu banyak orang yang dapat mempertahankan hidup dengan cara
mencangkokkan organ tubuh. Transplantansi organ tubuh itu termasuk
masalah ijtihad, karena tidak terdapat hukumnya di Al Qur’an maupun
Sunnah, dan mengingat masalah transplantansi itu merupakan masalah yang
kompleks, menyangkut berbagai bidang studi, maka seharusnya masalah ini
dianalisis dengan memakai pendekatan multidisipliner, misalnya kedokteran,
biologi, hukum, etika, dan agama agar bisa diperoleh kesimpulan berupa
hukum ijtihad yang proporsional dan mendasar.
Dalam makalah ini akan sedikit dijelaskan terkait transplantansi dan
euthanasia yang terkadang menjadi kontroversi di kalangan masyarakat.
Bagaimana pandangan ajaran Islam terkait permasalahan tersebut. Dan
bagaimana pula realitas yang terjadi di masyarakat. 

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Transplantasi organ tubuh euthanasia?
2. Menjelaskan donor anggota tubuh?
3. Mengetahui tipe tipe donor anggota tubuh?
4. Mengetahui syarat syarat Transplantasi?
5. Mengetahui hukum Transplantasi?
6. Menjelaskan donor organ Babi?
7. Apakah pengertian Euthanasia?
8. Mengetahui macam macam Euthanasia?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk menambah wawasan
kita dalam menyikapi, memahami dan merealisasikan sikap dalam
kehidupansehari-hari.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Transplantasi (Pencangkokan) Organ Tubuh


Transplantasi (pencangkokan) adalah pemindahan organ tubuh yang
mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang
tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik, yang apabila diobati dengan
prosedur medis biasa, harapan penderita untuk bertahan hidupnya tidak ada
lagi. Transplantasi ini dilakukan dengan memindahkan sebagian atau seluruh
jaringan atau organ dari satu individu pada individu itu sendiri atau pada
individu lainnya baik yang sama maupun beda spesies.
Transplantasi organ adalah transplantasi atau cangkok atau pemindahan
seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain, atau dari
suatu bagian ke bagian yang lain pada tubuh yang sama. Transplantasi ini
ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak atau tak befungsi pada
penerima dengan organ lain yang masih berfungsi dari donor.
Organ-organ yang dapat ditransplantasikan adalah jantung, transplantasi
ginjal, hati, paru-paru, pankreas, organ pencernaan, dan kelenjar timus, juga
jaringan, termasuk cangkok tulang, tendon (2 hal ini biasa disebut cangkok
mukuloskeletal), cangkok kornea, cangkok kulit, penanaman Katup jantung
buatan, saraf dan pembuluh darah. Di dunia, cangkok ginjal adalah yang
terbanyak di antara cangkok organ, diikuti oleh hati dan jantung. Jaringan
yang paling banyak ditransplantasikan adalah cangkok kornea dan
mukuloskeletal; jumlahnya 10x lebih banyak dari transplantasi organ.
Saat ini di Indonesia, telah dilakukan transplantasi seperti yang telah
dilakukan di negara-negara maju. Transplantasi yang terakhir dinyatakan
berhasil di dunia adalah transplantasi penis manusia, ditransplantasikan pada
bulan Desember 2014 dan dinyatakan berhasil dan berfungsi 4 bulan
kemudian, dalam arti tidak ada penolakan dari tubuh dan yang terpenting
adalah dapat berfungsi normal untuk sistem ekskresi juga secara seksual.

3
2.2 Donor Anggota Tubuh
Pada zaman sekarang banyak dilihat adanya donor darah (yang merupakan
bagian dari tubuh manusia). Masalah “donor darah” telah merata di negara-
negara muslim tanpa ada seorang ulama pun yang mengingkarinya, bahkan
mereka ikut menganjurkannya, lebih dari itu, mereka ikut menjadi donor. Hal
ini menunjukkan adanya ijma’ sukuti (kesepakatan ulama secara diam-diam),
yang menunjukkan bahwa donor darah dapat diterima syara’ (hukum islam).
Didalam kaidah syar’iyyah ditetapkan bahwa mudarat itu harus
dihilangkan sedapat mungkin, karena itu disyariatkan untuk menolong orang
yang sedang dalam keadaan tertekan, menolong yang terluka, memberi
makan orang yang kelaparan, melepaskan tawanan, mengobati orang yang
sakit, dan menyelamatkan orang yang menghadapi bahaya, baik mengenai
jiwa maupun lainnya.
Dengan alasan itu, maka menghilangkan penderitaan seorang muslim
yang menderita gagal ginjal misalnya, dengan mendonorkan salah satu
ginjalnya yang sehat, merupakan perbuatan yang terpuji dan berpahala bagi
orang yang melakukannya. Bahkan tidak diragukan lagi, bahwa hal itu
termasuk jenis sedekah yang paling tinggi dan paling utama menurut
pandangan syara’ (hukum islam). Namun demikian, seseorang tidak boleh
mendonorkan sebagian organ utbuhnya yang justru akan menimbulkan
bahaya atau kesengsaraan bagi dirinya, atau merugikan seseorang yang
mempunyai hak tetap atas dirinya.
Dengan demikian, tidak diperkenankan seseorang mendonorkan organ
tubuh yang hanya satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati atau jantung,
karena ia tidak mungkin hidup tanpa organ tersebut.
            Kaidah Ushuliyyah mengatakan:
َّ ‫ض َر ُر الَ يُ َزا ُل ِبال‬
‫ض َر ِر‬ َّ ‫ال‬
“Tidak diperbolehkan menghilangkan dharar (bahaya) dengan menimbulkan
dharar (bahaya) pula.”
Tidak boleh menghilangkan dharar (bahaya) pada orang lain dengan
menimbulkan dharar (bahaya) yang sama pada dirinya, apalagi bahayanya
lebih besar daripadanya. Karena itu, tidak boleh mendermakan organ tubuh

4
bagian luar, seperti mata, tangan, dan kaki. Karena cara yang demikian itu
berarti menghilangkan dharar (bahaya) orang lain dengan menimbulkan
dharar (bahaya) yang lebih besar pada dirinya.
2.3 Tipe-Tipe Donor Anggota Tubuh
Ada 3 (tiga ) tipe donor organ tubuh, dan setiap tipe mempunyai
permasalahannya sendiri, yaitu :
1. Donor dalam keadaan hidup sehat
Tipe ini memerlukan seleksi yang cermat dan pemeriksaan
kesehatan yang lengakap, baik terhadap donor maupun terhadap penerima
(resipien), demi menghindari kegagalan transplantasi yang disebabkan
oleh karena penolakan tubuh resipien, dan sekaligus untuk mencegah
resiko bagi donor.
2. Donor dalam keadaan koma
Untuk tipe ini, pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat
kontrol dan penunjang kehidupan, misalnya dengan bantuan alat
pernafasan khusus. Kemudian alat-alat penunjang kehidupan tersebut
dicabut, setelah selesai proses pengambilan organ tubuhnya. Hanya,
kriteria mati secara medis klinis dan yuridis perlu ditentukan dengan tegas
dan tuntas. Apakah kriteria mati itu ditandai dengan berhentinya denyut
jantung dan pernafasan ataukah ditandai dengan berhentinya fungsi
otak.penegasan kriteria mati secara klinis dan yuridis itu sangat penting
bagi dokter sebagai pegangan dalam menjalankan tugasnya, sehingga ia
tidak khawatir dituntut melakukan pembunuhan berencana oleh keluarga
yang bersangkutan sehubungan dengan praktek transplantasi itu.
3. Donor dalam keadaan meninggal
Tipe ini merupakan tipe yang ideal, sebab secara medis tinggal
menunggu penentuan kapan donor dinggap meninggal secara medis dan
yuridis dan harus diperhatikan pula daya tahan organ tubuh yang mau
dambil untuk transplantasi.

5
2.4 Syarat-Syarat Transplantasi
Syarat-syarat yang membolehkan transplantasi organ, antara lain :
a. Orang yang akan menyumbangkan organ adalah orang yang memiliki
kepemilikan penuh atas miliknya sehingga dia mampu untuk membuat
keputusan sendiri.
b. Orang yang akan menyumbangkan organ harus seseorang yang dewasa
atau usianya mencapai dua puluh tahun.
c. Harus dilakukan atas keinginannya sendiri tanpa tekanan atau paksaan dari
siapapun.
d. Organ yang disumbangkan tidak boleh organ vital yang mana kesehatan
dan kelangsungan hidup tergantung dari itu.
e. Tidak diperbolehkan mencangkok organ kelamin.
f. Dilakukan setelah memastikan bahwa si penyumbang ingin
menyumbangkan organnya setelah dia sudah meninggal. Bisa dilakukan
melalui surat wasiat atau menandatangani kartu donor atau yang lainnya.
g. Jika terdapat kasus si penyumbang organ belum memberikan persetujuan
terlebih dahulu tentang menyumbangkan organnya ketika dia meninggal
maka persetujuan bisa dilimpahkan kepada pihak keluarga penyumbang
terdekat yang dalam posisi dapat membuat keputusan atas penyumbang.
h. Organ atau jaringan yang akan disumbangkan haruslah organ atau jaringan
yang ditentukan dapat menyelamatkan atau mempertahankan kualitas
hidup manusia lainnya.
i. Organ yang akan disumbangkan harus dipindahkan setelah dipastikan
secara prosedur medis bahwa si penyumbang organ telah meninggal dunia.
j. Organ tubuh yang akan disumbangkan bisa juga dari korban kecelakaan
lalu lintas yang identitasnya tidak diketahui tapi hal itu harus dilakukan
dengan seizin hakim.
2.5 Hukum Transplantasi
1. Hukum donor dalam keadaan hidup sehat
Apabila pencangkokan mata (selaput bening mata atau kornea
mata), ginjal, atau jantung dari donor dalam keadaan hidup sehat, maka
islam tidak membenarkan (melarang), karena :

6
a. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 195 :
َ َ‫َوالَ تُ ْلقُ ْوا بِأ َ ْي ِد ْي ُك ْم إ‬
‫لى التَّ ْهلُ َك ِة‬
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam
kebinasaan.”
Ayat ini mengingatkan manusia agar tidak gegabah berbuat sesuatu
yang bisa berakibat fatal bagi dirinya, sekalipun mempunyai tujuan
kemanusiaan yang luhur.
Misalnya seorang menyumbangkan sebuah matanya atau sebuah
ginjalnya kepada orang lain yang buta atau tidak berfungsi ginjalnya,
sebab selain ia mengubah ciptaan Allah yang membuat mata dan ginjal
berpasangan, juga ia menghadapi risiko sewaktu-waktu mengalami
tidak normalnya atau tidak berfungsinya mata atau ginjalnya yang
tinggal sebuah itu.
b. Kaidah Hukum Islam
“Menghindari kerusakan risiko didahulukan atas menarik
kemaslahatan”.
Misalnya, menolong orang dengan cara mengorbankan dirinya
sendiri yang bisa berakibat fatal bagi dirinya, tidak diperbolehkan oleh
islam.
2. Hukum Donor Dalam Keadaan Koma
Apabila pencangkokan mata, ginjal, atau jantung dari donor dalam
keadaan koma atau hampir meninggal; maka islam pun tidak mengizinkan,
karena :
Hadits Nabi riwayat Malik dari Amar bin Yahya, riwayat Al Hakim, Al
Baihaqi, dan Al Daruqutni dari Abu Sa’id Al Hudri dan riwayat Ibnu
Majah dari Ibnu Abbas dan Ubadah bi Al Shamit :
ِ َ‫ض َر َر َوال‬
‫ض َرا َر‬ َ َ‫ال‬
“Tidak boleh membuat mudharat pada dirinya dan tidak boleh pula
membuat mudharat pada orang lain”.
Misalnya orang yang mengambil organ tubuh dari seorang donor
yang belum mati secara klinis dan yuridis untuk transplantasi, berarti ia
membuat mudharat kepada donor yang berakibat mempercepat

7
kematiannya. Manusia wajib berikhtiyar untuk menyembuhkan
penyakitnya, demi mempertahankan hidupnya; tetapi hidup dan mati itu
ditangan Allah. Karena itu, manusia tidak boleh mencabut nyawanya
sendiri (bunuh diri) atau mempercepat kematian orang lain sekalipun
dilakukan oleh dokter dengan maksud untuk menguraikan menghentikan
penderitaan si pasien.
3. Hukum Donor Dalam Keadaan Meninggal
Apabila pencangkokan mata, ginjal, atau jantung dari donor yang
telah meninggal secara yuridis dan klinis, maka Islam membolehkan
dengan syarat :
a. Resipien (penerima sumbangan donor) berada dalam keadaan darurat,
yang mengancam jiwanya, dan ia sudah menempuh pengobatan secara
medis dan nonmedis, tetapi tidak berhasil.
b. Pencangkokan tidak akan menimbulkan komlikasi penyakit yang lebih
gawat bagi resipien dibanding dengan keadaannya sebelum
pencangkokan.
Adapun dalil syar’i yang dapat dijadikan dasar untuk membolehkan
pencangkokan organ tubuh tersebut sebagai berikut :
a. Al-Qur’an surat Al Maidah ayat 32
َ َ‫َوالَ تُ ْلقُ ْوا بِأ َ ْي ِد ْي ُك ْم إ‬
‫لى التَّ ْهلُ َك ِة‬
“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya.”
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai
tindakan kemanusiaan yang dapat menyelamatkan jiwa manusia.
Misalnya, seorang yang menemukan bayi di sampah, wajib
mengambilnya untuk menyelamatkan jiwanya. Demikian pula
seorang yang dengan ikhlas hati mau menyumbangkan organ
tubuhnya (mata, ginjal, atau jantung) setelah ia meninggal, maka
Islam membolehkan bahkan memandangnya sebagai amal perbuatan
kemanusiaan yang tinggi nilanya, karena menolong jiwa sesama
manusia atau membantu berfungsinya kembali organ tubuh
sesamanya yang tidak berfungsi.

8
b. Hadis Nabi
“berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya
Allah tidak meletakkan suatu penyakit, kecuali Dia juga meletakkan
obat penyembuhannya selain penyakit tua.” (HR. Ahmad bin
Hanbal, Al Tirmidzi, Abu Daud, Al nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu
Hibban, dan Hakim dari Usman bin Syarik).
Hadis ini menunjukkan bahwa Umat Islam wajib berobat jika
menderita sakit, apapun macam penyakitnya, sebab setiap penyakit
berkah kasih sayang Allah, pasti ada obat penyembuhnya, kecuali
sakit tua. Karena itu penyakit yang sangat ganas seperti kanker dan
AIDS yang telah banyak membawa korban manusia di seluruh
dunia, terutama di dunia barat, yang hingga kini belum diketahui
obatnya, maka pada suatu waktu akan ditemukan pula obatnya.
c. Kaidah Hukum Islam
‫ض َر ُر يُ َزا ُل‬
َّ ‫ال‬
“Bahaya itu dilenyapkan/dihilangkan.”
Seorang yang menderita sakit jantung atau ginjal yang sudah
mencapai stadium yang gawat, maka ia menghadapi bahaya maut
sewaktu-waktu. Maka menurut kaidah hukum di atas bahaya maut
itu harus ditanggulangi dengan usaha-usaha pengobatan. Dan jika
usaha pengobatan secara medis tidak bisa menolong, maka demi
menyelamatkan jiwanya, pencangkokan jantung atau ginjal
diperbolehkan karena keadaan darurat.
2.6 Donor Organ Babi
Jika tidak ditemukan organ lain, bolehkan transplantasi menggunakan
organ babi ? Menanggapi masalah ini, kalangan Syafi’iyah berpendapat
bahwa seseorang boleh menyambung tulangnya dengan benda najis, jika
memang tidak ada benda lain yang sama atau lebih efektif. Jadi, organ babi
baru dibolehkan jika tidak ada organ lain yang menyamainya. Menurut
Hanafiyah, berobat dengan barang haram, tidak dibolehkan. Memang ada
dhahir hadits yang melarangnya, yaitu:

9
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagi kalian didalam sesuatu
yang haram.”
Menurut pendapat kami donor anggota tubuh itu diperbolehkan kecuali
ada larangannya. Dengan begitu donor anggota tubuh, baik donor organ tubuh
dalam keadaan hidup sehat, donor dalam keadaan koma, dan donor dalam
keadaan meninggal itu diperbolehkan. Proses transplantasi dapat dilakukan
dengan berbagai alasan yaitu : tidak mendatangkan bahaya (mudharat) bagi
pendonor dan penerima donor, antara pendonor dan penerima donor sama-
sama ikhlas dan rela mendonorkan dan menerima donor tersebut, harus ada
izin dari yang punya dan ahli waris, dan organ yang disumbangkan haruslah
organ yang ditentukan dapat menyelamatkan atau mempertahankan kualitas
hidup penerima donor.
Dalam Al-Qur’an surat Al Maidah ayat 32 yang berbunyi :
َ َّ‫َو َمنْ أَ ْحيَاهَا فَ َكأَنَّ َما أَ ْحيَا الن‬
‫اس َج ِمي ًعا‬
Artinya :
“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya.”
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai tindakan
kemanusiaan yang dapat menyelamatkan jiwa manusia.
Dalam kaidah hukum Islam juga disebutkan bahwa “Bahaya itu harus
dihilangkan” atau ‫ض َر ُر يُ[ َزا ُل‬
َّ ‫ال‬. Didalam kaidah Hukum Islam ini ditetapkan
bahwa mudharat itu harus dihilangkan sedapat mungkin, karena itu
disyariatkan untuk menolong orang yang sedang dalam keadaan tertekan.,
menolong yang terluka, memberi makan orang yang kelaparan, melepaskan
tawanan, mengobati orang yang sakit, dan menyelamatkan orang yang
menghadapi bahaya, baik mengenai jiwa maupun lainnya.
Diatas sudah kami jelaskan bahwa transplantasi dalam keadaan apapun itu
diperbolehkan asalkan tidak ada larangannya. Akan tetapi apabila
transplantasi itu mendatangkan mudharat bagi pendonor dan penerima donor
dan transplantasi itu dilakukan karena keterpaksaan makan transplantasi
organ tubuh dalam keadaan apapun tidak diperbolehkan.

10
Dalam Hadis Nabi saw disebutkan bahwa “Tidak boleh membuat
madharat pada diri sendiri dan tidak boleh pula membuat madharat pada
orang lain.”
Transplantasi dengan menggunakan organ babi menurut pendapat kami
tidak diperbolehkan. Kami sepakat dengan pendapat Hanafiyah, karena
dalam sebuah hadis disebutkan bahwa “Sesungguhnya Allah tidak
menjadikan obat bagi kalian didalam sesuatu yang haram.” Disini sudah
jelas bahwa Allah tidak menjadikan barang yang haram sebagai obat,
misalnya babi. Akan tetapi apabila dalam keadaan darurat/mendesak dan obat
yang bisa menyembuhkan penyakit tersebut sukar ditemukan, sedangkan
penyakit tersebut hanya bisa disembuhkan dengan organ babi maka donor
dengan menggunakan organ babi diperbolehkan.

2.7 Pengertian Euthanasia


Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti
“baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003: 177). Dalam
bahasa Arab, Euthanasia dikenal dengan istilah qatl ar-rahma atau taysîr al-
maut. Euthanasia yakni menghilangkan derita si Sakit dengan jalan
mengakhiri kehidupannya.
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti
“baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam
bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut.
Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau
penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga
berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan
penderitaan hebat menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145).
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata
eu berarti baik, dan thanatos berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri
hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu euthanasia
sering disebut juga dengan mercy killing, a good death, atau enjoy death
(mati dengan tenang). Jadi euthanasia berarti mempermudah kematian (hak
untuk mati). Hak untuk mati ini secara diam-diam telah dilakukan yang tak

11
kunjung habis diperdebatkan. Bagi yang setuju menganggap euthanasia
merupakan pilihan yang sangat manusiawi, sementara yang tidak setuju
menganggapnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral, etika dan
agama.
Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa
penderitaan, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya
bukan untuk menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau
meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya.
Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan
panggilan manusia untuk mempertahankan dan memperkembangkan
hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari
segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan
menghendakinya.

2.8 Macam Macam Euthanasia


1. Euthanasia Aktif
Disebut euthanasia aktif apabila dokter atau tenaga kesehatan
lainnya dengan sengaja melakukan tindakan untuk memperpendek atau
mengakhiri hidup pasien, atau tindakan dokter mempercepat kematian
pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut.
Contohnya : Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang
luar biasa sehingga pasien sering pingsan.
Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi
(overdosis) yang dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan
pernapasannya sekaligus. (Utomo, 2003: 178). Dengan demikian melalui
euthanasia aktif berarti manusia mengambil hak Allah SWT yang sudah
menjadi ketetapanNya.
Kode etik kedokteran Islami yang disahkan oleh Konferensi
Internasional Pengobatan Islam yang pertama (The First International
Conference of Islamic Medical) menyatakan bahwa euthanasia aktif sama
halnya dengan bunuh diri dan hal ini tidak dibenarkan.

12
2. Euthanasia Pasif
Yakni apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja
tidak lagi memberikan bantuan yang dapat memperpanjang hidup
pasien.Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien.
Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah karena keadaan
ekonomi pasien yang terbatas, dana yang dibutuhkan untuk pengobatan
sangat tinggi, dan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah
tidak efektif lagi.
Misalnya, orang sakit sudah dalam keadaan koma, disebabkan
benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh, atau orang yang
terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka
penderita bisa meninggal. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan
terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya. (Utomo,
2003: 177).

3. Kasus Euthanasia
Contoh kasus euthanasia khususnya di negara Indonesia yaitu
kasusnya Panca Satria H.K, ia tidak tega melihat penderitaan istrinya yang
bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun terbaring karena koma selama 3 bulan
pasca operasi Caesar. Selain itu faktor ekonomi juga menjadi alasan
utamanya. Kemudian Panca Satria H.K mengajukan surat izin Euthanasia
ke Pengadilan Negeri Jakarta, hal tersebut di tolak oleh Pengadilan. Dan
setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7
Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.

Analisis Kasus Euthanasia


Dalam hal ini Euthanasia aktif hukumnya yaitu haram menurut
syariat Islam, karena dokter secara sengaja melakukan tindakan aktif
dengan memberikan obat overdosis yang pada hakikatnya merupakan
racun yang sangat berat dan mempunyai efek mematikan bagi pasien. Hal
ini dapat di kategorikan pembunuhan secara sengaja. Meskipun dokter
melakukan atas dasar rasa kasihan terhadap pasien. Seperti Firman Allah
SWT dalam QS. An Nisa ayat 29 :

13
‫َوال تَ ْقتُلُوا أَ ْنفُ َس ُك ْم إِ َّن هَّللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِحي ًما‬
Artinya : Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.
Sedangkan Euthanasia pasif,Adapun memudahkan proses kematian
dengan cara pasif, maka semua berkisar pada `menghentikan pengobatan`
atau tidak memberikan pengobatan. Dalam kasus ini dokter sudah tidak
mampu lagi memberikan pertolongan medis. Islam sangat
memperhatikan keselamatan dan kehidupan manusia. Karena itulah Islam
melarang seseorang melakukan bunuh diri. Sebab, pada hakikatnya jiwa
yang bersemayam pada jasadnya bukanlah milik sendiri. Sebaliknya jiwa
merupakan titipan Allah SWT yang harus dipelihara dan digunakan
secara benar. Maka dari itu, dia tidak boleh membunuh dirinya sendiri.
Disebutkan pada HR. Bukhari dan Muslim dari Jundub bin Abdullah r.a :
“Telah ada sebelum kamu seseorang laki laki yang mendapat luka, lalu
keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya
dengan pisau itu. Kemudian tidak berhenti henti darahnya keluar
sehingga ia mati. Maka Allah bersabda,”Hambaku telah menyegerakan
kematiannya sebelum aku mematikan. Aku mengharamkan surga
untuknya.”
“Barangsiapa menghempaskan diri dari sebuah bukit, lalu ia
menewaskan dirinya, maka ia akan masuk neraka dalam keadaan
terhempas di dalamnya, kekal lagi dikekalkan di neraka untuk selama
lamanya. Dan barang siapa menenguk racun lalu menewaskan dirinya,
maka racun itu tetap di tangannya sambil ia menegukkannya didalam
neraka jahanam, kekal lagi dikekalkan didalamnya selama lamanya.
Dan barangsiapa membunuh dirinya dengan sepotong besi, maka
besinya itu terus berada ditangannya ia tikamkan ke perutnya didalam
api neraka jahanam selama lamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari
Dhahak r.a )
Oleh karena itu seseorang dilarang keras membunuh orang lain.
Islam memberikan ancaman dan juga sanksi bagi pelakunya. Allah
berfirman dalam QS An Nisa ayat 93:

14
ِ ‫ب هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َولَ َعنَهُ َوأَ َع َّد لَهُ َع َذابًا ع‬
‫َظي ًما‬ ِ ‫َو َم ْن يَ ْقتُلْ ُم ْؤ ِمنًا ُمتَ َع ِّمدًا فَ َج َزا ُؤهُ َجهَنَّ ُم خَالِدًا فِيهَا َو َغ‬
َ ‫ض‬
Artinya : Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan
sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah
murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar
baginya.
Allah SWT berfirman dalam QS An Nisa ayat 29-30 :
ْ ُ‫ك ُع ْد َوانا ٌ َوظُ ْلما ٌ فَ َسوْ فَ ن‬
َ‫ا ن‬€€‫ارٌا َو َك‬€€َ‫لِ ْي ِه ن‬€‫ص‬ َ ِ‫ َو َم ْن يَ ْف َعلْ َذل‬.‫َواَل تَ ْقتُلُوْ ا أَ ْنفُ َس ُك ْم أِ َّن هللاَ َكانَ بِ ُك ْم َر ِح ْي ٌما‬
َ ‫َذلِكَ ع‬
‫َلى هللاِ يَ ِس ْيرٌا‬
“ Dan janganlah kamu membunuh dirimu (sendiri). Sesungguhnya Allah
SWT Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian
dengan melanggar dan aniaya, maka kami kelak akan memasukkannya ke
dalam api neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”.
Dalam komentarnya mengenai ayat ini, Imam Fakhrurazi
menyatakan bahwa secara fitrah, manusia beriman tidak akan melakukan
tindakan bunuh diri. Akan tetapi dalam kondisi tertentu misalnya karena
frustasi, mengalami kegagalan, dan sebagainya akan terbuka peluang
cukup besar untuk melakukannya. Dalam rangka itulah Al Qur’an
melarang keras kaum mukminin untuk melakukan bunuh diri. Karena
alasan itu pula, seseorang pesakitan dalam Islam dianjurkan untuk segera
berobat. Sebab, orang berobat pada hakikatnya dalam rangka
mempertahankan kehidupannya
Beberapa fuqaha terkait masalah berobat sebagian besar dari
mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menanggapnya mustahab dan
sebagian kecil lebih sedikit dari golongan kedua berpendapat wajib. Dalam
hal ini saya sependapat dengan yang ketiga yaitu mewajibkan berobat.
Apabila ada seseorang yang sakit dan tidak berobat, hal itu
dilakukan karena orang tersebut sudah pasrah total kepada Allah SWT.,
menurut kami hal tersebut tidak di benarkan, karena seseorang yang sakit
harus berusaha mencari obat untuk kesembuhan penyakitnya, jika sudah
berusaha semaksimal mungkin namun belum mendapat kesembuhan maka
bertawakkal kepadaNya. Dalam soal muamalah duniawiyah, muncul

15
kaidah ushuliyyah “Asal segala sesuatu boleh sampai ada dalil yang
menunjukkan keharamannya”.
Secara Global kalangan Syafi’iyah dan jumhur Ulama membagi
pidana pembunuhan menjadi tiga yaitu :
1. Pembunuhan Secara Sengaja (al qatl al’amd)
Yakni pembunuhan yang dilakukan secara sengaja menggunakan
alat atau benda yang biasanya dapat mematikan. Seperti menggunakan
pisau, sabit, besi, dan racun.
2. Pembunuhan Semi Sengaja (al qatl al syabih al ‘amd)
Yakni pembunuhan secara sengaja dengan menggunakan benda
yang biasanya tidak mematikan. Misalnya memukul secara pelan
dengan menggunakan cambuk atau tangan.
3. Pembunuhan Keliru (al qatl al khatha’)
Artinya pembunuhan yang dilakukan secara tak sengaja. Misalnya
seseorang jatuh mengenai orang lain kemudian orang tersebut
meninggal.
Euthanasia aktif masuk dalam kategori pembunuhan sengaja,
karena dokter melakukan hal itu secara sengaja dan jelas jelas
menggunakan obat yang dapat mempercepat kematian pasien.
Konsekuensinya dalam hal ini dokter mendapat hukuman
Qishash(hukuman mati karena membunuh). Kemudian, Euthanasia
Positif yaitu inisiatif untuk melakukan euthanasia timbul dari pasien.
Maka dokter dikenai ta’zir. Dalam hal ini hukuman diserahkan penuh
atas kebijakan hakim. Sedangkan pasien dianggap melakukan bunuh
diri.
Dalam Islam prinsipnya segala upaya atau perbuatan yang
berakibat matinya seseorang, baik disengaja atau tidak sengaja, tidak
dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan; sebagaimana disebutkan
dalam hadits: “Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali karena
salah satu dari tiga alasan, yaitu: pezina mukhshan (sudah
berkeluarga), maka ia harus dirajam (sampai mati); seseorang yang
membunuh seorang muslim lainnya dengan sengaja, maka ia harus

16
dibunuh juga. Dan seorang yang keluar dari Islam (murtad),
kemudian memerangi Allah dan Rasulnya, maka ia harus dibunuh,
disalib dan diasingkan dari tempat kediamannya” (HR Abu Dawud
dan An-Nasa’i).
Menurut kami sependapat dengan hadits di atas,terkait kasus
euthanasia baik aktif maupun pasif tidak diperbolehkan, karena hal
tersebut merampas hak untuk hidup seseorang. Hak hidup yang pada
dasarnya hak fundamental atau hak asasi dari setiap manusia. UUD
tahun 1945 melindungi hak tersebut dalam BAB XA pasal 28 A yang
menyebutkan yang berbunyi “setiap orang berhak untuk hidup serta
mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Selain itu dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan
euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan
kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan
penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa
orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri.
Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak
pidana di negara mana pun. (Utomo, 2003:178).

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Transplantasi (pencangkokan) adalah pemindahan organ tubuh yang
mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang
tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik. Transplantasi dikelompokkan
menjadi tiga yaitu donor dalam keadaan hidup sehat, donor dalam keadaan
koma, donor dalam keadaan meninggal. Donor anggota tubuh itu
diperbolehkan kecuali ada larangannya. Dengan begitu ketiga jenis donor
tersebut diperbolehkan. Proses transplantasi dapat dilakukan dengan berbagai
alasan yaitu : tidak mendatangkan bahaya (mudharat) bagi pendonor dan
penerima donor, antara pendonor dan penerima donor sama-sama ikhlas dan
rela mendonorkan dan menerima donor tersebut, harus ada izin dari yang
punya dan ahli waris, dan organ yang disumbangkan haruslah organ yang
ditentukan dapat menyelamatkan atau mempertahankan kualitas hidup
penerima donor. Selain itu ada donor dengan menggunakan organ babi.
Menurut Hanafiyah, berobat dengan barang haram, tidak dibolehkan.
Memang ada dhahir hadits yang melarangnya, yaitu: “Sesungguhnya Allah
tidak menjadikan obat bagi kalian didalam sesuatu yang haram.”
Sedangkan Euthanasia merupakan menghilangkan derita si Sakit dengan
jalan mengakhiri kehidupannya. Euthanasia dikelompokkan menjadi dua
macam yaitu euthanasia aktif (dokter mempercepat kematian pasien dengan
cara memberikan suntikan atau racun ) dan euthanasia pasif (penghentian
pengobatan terhadap pasien).
Kedua euthanasia ini tidak di boleh dilakukan menurut Islam karena
Penderita yang menghabisi nyawanya dengan tangannya sendiri atau bantuan
orang lain(dokter) itu berarti ia mendahului atau melanggar kehendak dan
wewenang Tuhan. Al Qur’an melarang keras kaum mukminin untuk
melakukan bunuh diri. Karena alasan itu pula, seseorang pesakitan dalam

18
Islam dianjurkan untuk segera berobat. Sebab, orang berobat pada hakikatnya
dalam rangka mempertahankan kehidupannya
Beberapa fuqaha terkait masalah berobat sebagian besar dari mereka
berpendapat mubah, sebagian kecil menanggapnya mustahab dan sebagian
keci lebih sedikit dari golongan kedua berpendapat wajib. Dalam hal ini saya
sependapat dengan yang ketiga yaitu mewajibkan berobat.Seharusnya ia
bersikap sabar dan tawakkal menghadapi musibah, seraya tetap berikhtiar
mengatasi musibah dan berdoa kepada Allah SWT.
3.2 Saran
Diharapkan dengan adanya penjelasan tentang transplantasi organ
mahasiswa lebih lagi menambah wawasan yang lebih luas dalam menelaah
tentang manfaat yang benar dalam masalah transplantasi organ diberbagai
segi kehidupan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Al-Hafidz, Ahsin W. FIKIH KESEHATAN. 2010. AMZAH. Jakarta


Umam, Cholil. Agama Menjawab tentang Berbagai Masalah Abad Modern. 1994.
Ampel Suci. Surabaya
Yasid, Abu. Fiqh Realitas Respon Ma’had Ali Terhadap Wacana Hukum Islam).
2005. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam. 1989. Haji Mas
Agung.Jakarta.
http://nursemuslimfikunpad.blogspot.com/aulalghifary.blogspot.com
diakses pada tanggal 19 November 2017 pukul 12:44
Ekharini, Transplantasi organ
http://anythingekharini.blogspot.co.id/2015/03/makalah-transplantasi-
organ.html diakses pada tanggal 19 November 2017 pukul 12:46

20

Anda mungkin juga menyukai