Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PENERAPAN TERAPI KOMPLEMENTER


DAN TREN ISSUE

B13A
OLEH : KELOMPOK 4

1. Ni Wayan Pande Wira Dewi (203221101)


2. Ni Putu Yulia Restiana (203221102)
3. Sayu Raka Indrayanti (203221103)
4. Ni Nyoman Manik Ariyanti (203221104)
5. I Putu Suarayana (203221105)
6. Ni Made Putri Setiawati (203221106)
7. Kadek Anjasmiyana (203221107)
8. Dewa Ayu Windewati (203221108)
9. I Wayan Sudiana (203221109)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


STIKES WIRA MEDIKA BALI
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas limpah hidayah, rahmat dan lindungannya,
khirnya makalah ini kami selesaikan dengan lancar.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas kami. Selain itu kami menyusun makalah
ini untuk menambah wawasan untuk memahami tentang Penerapan Terapi Komplementer dan
Tren Issue.
Mungkin masalah yang kami buat ini belum sempurna karna kami juga masih dalam
proses belajar, oleh karena itu kami menerima saran/kritikan pembaca supaya makalah
selanjutnya bisa lebih baik dari sebelumnya.
Dalam makalah ini kami membahas tentang Penerapan Terapi Komplementer dan Tren
Issue. Semoga makalah yang kami buat ini bisa bermafaat bagi pembaca.
Demikianlah makalah yang kami susun dan jika ada tulisan atau perkataan yang kurang
berkenan (sopan) kami mohon maaf sebesar-besarnya, semoga makalah ini bermanfaat buat
pembaca.

Denpasar, 8 April 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................................................................. 2
Daftar Isi............................................................................................................................................................. 3

BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................................... 6
1.3 Tujuan........................................................................................................................................................... 6
1.4 Manfaat........................................................................................................................................................ 6

BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Definisi Terapi Komplementer............................................................................................................. 7
2.2 Macam-macam Terapi Komplementer............................................................................................... 9
2.3 Peran Perawat dalam Terapi Komplementer............................................................................... ..11
2.4 Penerapan Terapi Komplementer pada HIV/AIDS……………………………………..11

BAB III : PENUTUP


3.1 Simpulan................................................................................................................................................... 17
3.2 Saran........................................................................................................................................................... 17

Daftar Pustaka…………………………………………………………………………….....18

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kasus HIV/AIDS di Indonesia ditemukan pertama kali pada tahun 1987 sampai
Desember 2016, kasus HIV/AIDS tersebar di 407 (80%) dari 507 kabupaten/kota di
seluruh provinsi Indonesia. Provinsi pertama kali ditemukan adanya HIV-AIDS adalah
Provinsi Bali, sedangkan yang terakhir melaporkan adalah Provinsi Sulawesi Barat pada
Tahun 2012. Prevalensi HIV/AIDS pada tahun 2016 cenderung meningkat dari tahun
sebelumnya. Persentase AIDS pada laki-laki sebanyak 67,9% dan perempuan 31,5%.
Sementara itu 0,6% tidak melaporkan jenis kelamin. Jumlah AIDS terbanyak dilaporkan
dari Jawa Timur(16.911), Papua (13.398), DKI Jakarta (8.648), Bali (6.803), Jawa Tengah
(6.444), Jawa Barat (5.251), Sumatera Utara (3.897), Sulawesi Selatan (2.812), Kalimantan
Barat (2.567), dan NTT (1.954). Faktor risiko penularan terbanyak melalui heteroseksual
(67,8%), penasun (10,5%), diikuti homoseksuai (4,1%), dan penularan melalui peninatal
(3%) (Kemenkes RI, 2016). Pada tahun 2016 trend penyebaran kasus HIV/AIDS yang
paling banyak yaitu LSL (lelaki suka lelaki) (Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2016).
Berdasarkan masalah yang muncul di atas maka kelompok sepakat untuk
mendiskusikan penerapan terapi komplementer dan trend issue HIV AIDS dalam
keperawatan.
Perkembangan terapi komplementer akhir akhir ini menjadi sorotan banyak negara.
Pengobatan komplementer atau alternatif menjadi bagian penting dalam pelayanan
kesehatan di Amerika Serikat dan negara lainnya (Snyder & Lindquis, 2002). Estimasi di
Amerika Serikat 627 juta orang adalah pengguna terapi alternatif dan 386 juta orang yang
mengunjungi praktik konvensional (Smith et al., 2004). Data lain menyebutkan terjadi
peningkatan jumlah pengguna terapi komplementer di Amerika dari 33% pada tahun 1991
menjadi 42% di tahun 1997 (Eisenberg, 1998 dalam Snyder & Lindquis, 2002).Klien yang
menggunakan terapi komplemeter memiliki beberapa alasan. Salah satu alasannya adalah
filosofi holistik pada terapi komplementer, yaitu adanya harmoni dalam diri dan promosi
kesehatan dalam terapi komplementer. Alasan lainnya karena klien ingin terlibat untuk
pengambilan keputusan dalam pengobatan dan peningkatan kualitas hidup dibandingkan
sebelumnya. Sejumlah 82% klien melaporkan adanya reaksi efek samping dari pengobatan

4
konvensional yang diterima menyebabkan memilih terapi komplementer (Snyder &
Lindquis, 2002).
Terapi komplementer yang ada menjadi salah satu pilihan pengobatan masyarakat.
Di berbagai tempat pelayanan kesehatan tidak sedikit klien bertanya tentang terapi
komplementer atau alternatif pada petugas kesehatan seperti dokter ataupun perawat.
Masyarakat mengajak dialog perawat untuk penggunaan terapi alternatif (Smith et al.,
2004). Hal ini terjadi karena klien ingin mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan
pilihannya, sehingga apabila keinginan terpenuhi akan berdampak ada kepuasan klien. Hal
ini dapat menjadi peluang bagi perawat untuk berperan memberikan terapi komplementer.
Peran yang dapat diberikan perawat dalam terapi komplementer atau alternatif
dapat disesuaikan dengan peran perawat yang ada, sesuai dengan batas kemampuannya.
Pada dasarnya, perkembangan perawat yang memerhatikan hal ini sudah ada. Sebagai
contoh yaitu American Holistic Nursing Association (AHNA), Nurse Healer Profesional
Associates (NHPA) (Hitchcock et al., 1999). Ada pula National Center for
Complementary/Alternative Medicine (NCCAM) yang berdiri tahun 1998 (Snyder &
Lindquis, 2002).

5
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Terapi Komplementer ?
2. Apa saja macam-macam Terapi Komplementer ?
3. Bagaimana peran perawat dalam Terapi Komplementer ?
4. Bagaimana penerapan Terapi Komplementer pada HIV/AIDS ?

1.3 Tujuan
1. Untuk memahami definisi dari Terapi Komplementer.
2. Untuk mengetahui macam-macam Terapi Komplementer.
3. Agar mengetahui bagaimana peran perawat dalam Terapi Komplementer.
4. Agar memahami bagaimana penerapan Terapi Komplementer pada HIV/AIDS.

1.4 Manfaat
Untuk mengintegrasikan terapi komplementer pada HIV/Aids and long term care

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Terapi Komplementer


Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang digabungkan dalam
pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional ke dalam pengobatan
modern (Andrews et al., 1999). Terminologi ini dikenal sebagai terapi modalitas atau aktivitas
yang menambahkan pendekatan ortodoks dalam pelayanan kesehatan (Crips & Taylor, 2001).
Terapi komplementer juga ada yang menyebutnya dengan pengobatan holistik. Pendapat ini
didasari oleh bentuk terapi yang mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu sebuah
keharmonisan individu untuk mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi
(Smith et al., 2004).
Pendapat lain menyebutkan terapi komplementer dan alternatif sebagai sebuah domain
luas dalam sumber daya pengobatan yang meliputi sistem kesehatan, modalitas, praktik dan
ditandai dengan teori dan keyakinan, dengan cara berbeda dari sistem pelayanan kesehatan yang
umum di masyarakat atau budaya yang ada (Complementary and alternative medicine/CAM
Research Methodology Conference, 1997 dalam Snyder & Lindquis, 2002). Terapi
komplementer dan alternatif termasuk didalamnya seluruh praktik dan ide yang didefinisikan
oleh pengguna sebagai pencegahan atau pengobatan penyakit atau promosi kesehatan dan
kesejahteraan.
Definisi tersebut menunjukkan terapi komplemeter sebagai pengembangan terapi
tradisional dan ada yang diintegrasikan dengan terapi modern yang mempengaruhi keharmonisan
individu dari aspek biologis, psikologis, dan spiritual. Hasil terapi yang telah terintegrasi tersebut
ada yang telah lulus uji klinis sehingga sudah disamakan dengan obat modern. Kondisi ini sesuai
dengan prinsip keperawatan yang memandang manusia sebagai makhluk yang holistik (bio,
psiko, sosial, dan spiritual).
Prinsip holistik pada keperawatan ini perlu didukung kemampuan perawat dalam
menguasai berbagai bentuk terapi keperawatan termasuk terapi komplementer. Penerapan terapi
komplementer pada keperawatan perlu mengacu kembali pada teori-teori yang mendasari praktik
keperawatan. Misalnya teori Rogers yang memandang manusia sebagai sistem terbuka,

7
kompleks, mempunyai berbagai dimensi dan energi. Teori ini dapat mengembangkan pengobatan
tradisional yang menggunakan energi misalnya tai chi, chikung, dan reiki.
Teori keperawatan yang ada dapat dijadikan dasar bagi perawat dalam mengembangkan
terapi komplementer misalnya teori transkultural yang dalam praktiknya mengaitkan ilmu
fisiologi, anatomi, patofisiologi, dan lain-lain. Hal ini didukung dalam catatan keperawatan
Florence Nightingale yang telah menekankan pentingnya mengembangkan lingkungan untuk
penyembuhan dan pentingnya terapi seperti musik dalam proses penyembuhan. Selain itu, terapi
komplementer meningkatkan kesempatan perawat dalam menunjukkan caring pada klien
(Snyder & Lindquis, 2002).
Hasil penelitian terapi komplementer yang dilakukan belum banyak dan tidak dijelaskan
dilakukan oleh perawat atau bukan. Beberapa yang berhasil dibuktikan secara ilmiah misalnya
terapi sentuhan untuk meningkatkan relaksasi, menurunkan nyeri, mengurangi kecemasan,
mempercepat penyembuhan luka, dan memberi kontribusi positif pada perubahan
psikoimunologik (Hitchcock et al., 1999). Terapi pijat (massage) pada bayi yang lahir kurang
bulan dapat meningkatkan berat badan, memperpendek hari rawat, dan meningkatkan respons.
Sedangkan terapi pijat pada anak autis meningkatkan perhatian dan belajar. Terapi pijat juga
dapat meningkatkan pola makan, meningkatkan citra tubuh, dan menurunkan kecemasan pada
anak susah makan (Stanhope, 2004). Terapi kiropraksi terbukti dapat menurunkan nyeri haid dan
level plasma prostaglandin selama haid (Fontaine, 2005).
Hasil lainnya yang dilaporkan misalnya penggunaan aromaterapi. Salah satu aromaterapi
berupa penggunaan minyak esensial berkhasiat untuk mengatasi infeksi bakteri dan jamur
(Buckle, 2003). Minyak lemon thyme mampu membunuh bakteri streptokokus, stafilokokus dan
tuberkulosis (Smith et al., 2004). Tanaman lavender dapat mengontrol minyak kulit, sedangkan
teh dapat membersihkan jerawat dan membatasi kekambuhan (Key, 2008). Dr. Carl menemukan
bahwa penderita kanker lebih cepat sembuh dan berkurang rasa nyerinya dengan meditasi dan
imagery (Smith et al., 2004). Hasil riset juga menunjukkan hipnoterapi meningkatkan suplai
oksigen, perubahan vaskular dan termal, mempengaruhi aktivitas gastrointestinal, dan
mengurangi kecemasan (Fontaine, 2005).
Hasil-hasil tersebut menyatakan terapi komplementer sebagai suatu paradigma baru
(Smith et al., 2004). Bentuk terapi yang digunakan dalam terapi komplementer ini beragam
sehingga disebut juga dengan terapi holistik. Terminologi kesehatan holistik mengacu pada

8
integrasi secara menyeluruh dan mempengaruhi kesehatan, perilaku positif, memiliki tujuan
hidup, dan pengembangan spiritual (Hitchcock et al., 1999).
Terapi komplementer dengan demikian dapat diterapkan dalam berbagai level
pencegahan penyakit.
Terapi komplementer dapat berupa promosi kesehatan, pencegahan penyakit ataupun
rehabilitasi. Bentuk promosi kesehatan misalnya memperbaiki gaya hidup dengan menggunakan
terapi nutrisi. Seseorang yang menerapkan nutrisi sehat, seimbang, mengandung berbagai unsur
akan meningkatkan kesehatan tubuh. Intervensi komplementer ini berkembang di tingkat
pencegahan primer, sekunder, tersier dan dapat dilakukan di tingkat individu maupun kelompok
misalnya untuk strategi stimulasi imajinatif dan kreatif (Hitchcock et al., 1999).
Pengobatan dengan menggunakan terapi komplementer mempunyai manfaat selain dapat
meningkatkan kesehatan secara lebih menyeluruh juga lebih murah. Terapi komplementer
terutama akan dirasakan lebih murah bila klien dengan penyakit kronis yang harus rutin
mengeluarkan dana. Pengalaman klien yang awalnya menggunakan terapi modern menunjukkan
bahwa biaya membeli obat berkurang 200-300 dolar dalam beberapa bulan setelah menggunakan
terapi komplementer (Nezabudkin, 2007).
Minat masyarakat Indonesia terhadap terapi komplementer ataupun yang masih
tradisional mulai meningkat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pengunjung praktik terapi
komplementer dan tradisional di berbagai tempat. Selain itu, sekolah-sekolah khusus ataupun
kursuskursus terapi semakin banyak dibuka. Ini dapat dibandingkan dengan Cina yang telah
memasukkan terapi tradisional Cina atau traditional Chinese Medicine (TCM) ke dalam
perguruan tinggi di negara tersebut (Snyder & Lindquis, 2002).
Kebutuhan perawat dalam meningkatnya kemampuan perawat untuk praktik keperawatan
juga semakin meningkat. Hal ini didasari dari berkembangnya kesempatan praktik mandiri.
Apabila perawat mempunyai kemampuan yang dapat dipertanggungjawabkan akan
meningkatkan hasil yang lebih baik dalam pelayanan keperawatan.

2.2 Macam-macam Terapi Komplementer


Terapi komplementer ada yang invasif dan noninvasif. Contoh terapi komplementer
invasif adalah akupuntur dan cupping (bekam basah) yang menggunakan jarum dalam
pengobatannya. Sedangkan jenis non-invasif seperti terapi energi (reiki, chikung, tai chi, prana,

9
terapi suara), terapi biologis (herbal, terapi nutrisi, food combining, terapi jus, terapi urin,
hidroterapi colon dan terapi sentuhan modalitas; akupresur, pijat bayi, refleksi, reiki, rolfing, dan
terapi lainnya (Hitchcock et al., 1999)
National Center for Complementary/ Alternative Medicine (NCCAM) membuat
klasifikasi dari berbagai terapi dan sistem pelayanan dalam lima kategori. Kategori pertama,
mind-body therapy yaitu memberikan intervensi dengan berbagai teknik untuk memfasilitasi
kapasitas berpikir yang mempengaruhi gejala fisik dan fungsi tubuh misalnya perumpamaan
(imagery), yoga, terapi musik, berdoa, journaling, biofeedback, humor, tai chi, dan terapi seni.
Kategori kedua, Alternatif sistem pelayanan yaitu sistem pelayanan kesehatan yang
mengembangkan pendekatan pelayanan biomedis berbeda dari Barat misalnya pengobatan
tradisional Cina, Ayurvedia, pengobatan asli Amerika, cundarismo, homeopathy, naturopathy.
Kategori ketiga dari klasifikasi NCCAM adalah terapi biologis, yaitu natural dan praktik biologis
dan hasil-hasilnya misalnya herbal, makanan).
Kategori keempat adalah terapi manipulatif dan sistem tubuh. Terapi ini didasari oleh
manipulasi dan pergerakan tubuh misalnya pengobatan kiropraksi, macam-macam pijat, rolfing,
terapi cahaya dan warna, serta hidroterapi. Terakhir, terapi energi yaitu terapi yang fokusnya
berasal dari energi dalam tubuh (biofields) atau mendatangkan energi dari luar tubuh misalnya
terapetik sentuhan, pengobatan sentuhan, reiki, external qi gong, magnet. Klasifikasi kategori
kelima ini biasanya dijadikan satu kategori berupa kombinasi antara biofield dan
bioelektromagnetik (Snyder & Lindquis, 2002).
Klasifikasi lain menurut Smith et al (2004) meliputi gaya hidup (pengobatan holistik,
nutrisi), botanikal (homeopati, herbal, aromaterapi); manipulatif (kiropraktik, akupresur &
akupunktur, refleksi, massage); mind-body (meditasi, guided imagery, biofeedback, color
healing, hipnoterapi). Jenis terapi komplementer yang diberikan sesuai dengan indikasi yang
dibutuhkan. Contohnya pada terapi sentuhan memiliki beberapa indikasinya seperti
meningkatkan relaksasi, mengubah persepsi nyeri, menurunkan kecemasan, mempercepat
penyembuhan, dan meningkatkan kenyamanan dalam proses kematian (Hitchcock et al., 1999).
Jenis terapi komplementer banyak sehingga seorang perawat perlu mengetahui
pentingnya terapi komplementer. Perawat perlu mengetahui terapi komplementer diantaranya
untuk membantu mengkaji riwayat kesehatan dan kondisi klien, menjawab pertanyaan dasar
tentang terapi komplementer dan merujuk klien untuk mendapatkan informasi yang reliabel,

10
memberi rujukan terapis yang kompeten, ataupun memberi sejumlah terapi komplementer
(Snyder & Lindquis, 2002). Selain itu, perawat juga harus membuka diri untuk perubahan dalam
mencapai tujuan perawatan integratif (Fontaine, 2005).

2.3 Peran Perawat Dalam Terapi Komplementer


Peran perawat yang dapat dilakukan dari pengetahuan tentang terapi komplementer
diantaranya sebagai konselor, pendidik kesehatan, peneliti, pemberi pelayanan langsung,
koordinator dan sebagai advokat. Sebagai konselor perawat dapat menjadi tempat bertanya,
konsultasi, dan diskusi apabila klien membutuhkan informasi ataupun sebelum mengambil
keputusan. Sebagai pendidik kesehatan, perawat dapat menjadi pendidik bagi perawat di sekolah
tinggi keperawatan seperti yang berkembang di Australia dengan lebih dahulu mengembangkan
kurikulum pendidikan (Crips & Taylor, 2001). Peran perawat sebagai peneliti di antaranya
dengan melakukan berbagai penelitian yang dikembangkan dari hasilhasil evidence-based
practice.
Perawat dapat berperan sebagai pemberi pelayanan langsung misalnya dalam praktik
pelayanan kesehatan yang melakukan integrasi terapi komplementer (Snyder & Lindquis, 2002).
Perawat lebih banyak berinteraksi dengan klien sehingga peran koordinator dalam terapi
komplementer juga sangat penting. Perawat dapat mendiskusikan terapi komplementer dengan
dokter yang merawat dan unit manajer terkait. Sedangkan sebagai advokat perawat berperan
untuk memenuhi permintaan kebutuhan perawatan komplementer yang mungkin diberikan
termasuk perawatan alternatif (Smith et al.,2004).

2.4 Penerapan Terapi Komplementer pada HIV/AIDS


Para pengidap HIV (Human Immunodeficiency Virus), dengan pemenuhan nutrisi dan
ketenangan spiritual bisa memperpanjang harapan hidup mereka. Terapi alternatif komplementer,
seperti; akupunktur, akupressur, meditasi, dan mengomsumsi tanaman obat dapat menambah
daya tahan tubuh dan pertumbuhan sel-sel imun. ketenangan spiritual dan nutrisi peningkat daya
tahan membuat virus lebih jinak dan memperlambat perkembangannya dalam tubuh manusia,
sehingga memberi kesempatan CD4 yaitu sel pembentuk daya tahan tubuh untuk berkembang
dan memperbanyak diri.

11
Akupunktur dan akupressur diberikan untuk memperkuat organ-organ vital, seperti; paru-
paru, ginjal, lambung, dan limpa, pada masa awal infeksi HIV. Sebelum d aya tahan tubuh dan
sel- sel CD4 turun karena infeksi HIV.
1. Terapi informasi
Untuk mengetahui ‘terapi informasi’, mungkin kita harus mencari arti kata ‘terapi’
terlebih dahulu. Dalam kamus, definisi terapi adalah “usaha untuk memulihkan kesehatan orang
yang sedang sakit”. Tidak disebut “usaha medis” dan juga tidak disebut penyembuhan penyakit.
Maka kita bisa paham bahwa terapi adalah lebih luas daripada sekedar pengobatan atau
perawatan. Apa yang dapat memberi kesenangan, baik fisik maupun mental, pada seseorang
yang sedang sakit dapat dianggap terapi.
Kita cenderung menganggap ‘terapi’ sebagai suatu yang fisik: pil, jamu, pijat, akupuntur.
Jarang kita dengar ‘informasi dianggap sebagai terapi. Terapi informasi melatarbelakangi semua
bentuk terapi lain. Tanpa informasi, bagaimana kita dapat mengetahui tentang berbagai terapi
yang ada? Apakah terapi itu efektif? Untuk gejala apa? Dimana terapi itu tersedia? Bagaimana
kita dapat memperolehnya? Dan berapa harganya?
Terapi informasi bukan sekedar penegtahuan. Kita ambil contoh seseorang yang baru
dites HIV dan hasilnya ternyata positif. Setelah lewat rasa terkejut (shock), banyak pertanyaan
akan muncul: apa itu AIDS? Apa bedanya dengan HIV? Bagaimana kelanjutanya? Bagaimana
penularanya? Apa pengobatanya? Gejalanya apa? Orang yang baru ditentukan terinfeksi HIV
(serta keluarga dan sahabatnya) pertama akan merasa mati kutu. Konseling pasca (atau sesudah)
tes yang paling sempurna pun tidak mungkin dapat menjawab semua pertanyaan kita dan kita
tidak berada dalam keadaan untuk bertanya, atau pun menangkapi jawaban. Pasti kita merasa
muram, kita tidak dapat membayangkan masa depan. Apa pengobatan untuk dperesi ini? Bukan
obta, bukan pengobatan medis, tetapi jawaban terhadap pertanyaan kita. Informasi, dengan
bentuk dan bahasa yang dapat kita pahami dn pada waktu kita perlukan. Informasi akan
mengobati ketidakpahaman kita, depresi kita, memulihkan dan menyelakan jiwa kita. Dan seperti
halnya berbagai macam terapi, terapi informasi adalah suatu perjalanan, sebuah proses yang akan
berlangsung secara terus-menerus.
Ketakutan terhadap hal yang tak dikenal adalah macam ketakutan yang buruk. Kita
semua pernah mengalami kekhawatiran yang diakibatkan oleh ketakutan kita tahu dampaknya
terhadap tidur, nafsu makan, terhadap kemampuan kita untuk melanjutkan kehidupan kita sehari-
hari. Kita

12
semua tahu bagaimana ketakutan ini dapat memepengaruhi kesehatan kita sendiri. Adalah
terkenal bahwa stres dapat mempengaruhi system kekebalan tubuh kita, jadi dalam keadaan stres,
kita lebih mungkin terinfeksi penyakit seperti flu dan ini juga akan menambah rasa khawatir dan
takut, terutama bagi odha.
Pertolongan pertama untuk mengobati ketakutan terhadap hal yang tak diketahui adalah
informasi yang jelas dan tepat. Bila kita mulai memahami apa arti menjadi HIV-positif, kita
dapat mulai menerima penyakit ini, mungkin bahwa itu bukan vonis mati, dan mulai
merencanakan tanggapan kita sendiri yaitu kumpulan terapi lain yang kita akan mengukutinya.
Dengan perncanaan begitu dan tindakanya dan rasa ketakutan kita akan berkurang dan stress
yang terkait denganya akan mulai menurun juga. Jadi, informasi untuk membantu kita jadi
paham.
2. Terapi spiritual
Dewasa ini konsep kedokteran moderen mengenai pengobatan ialah dengan pertimbangan
aspek biopsikososial. Artinya pengobatan tidak hanya berusaha untuk mengembalikan fungsi
fisik seseorang tetapi juga fungsi psikis dan social. Pendekatan ini menepatkna kembali
pengobatan spiritual sebagai salah satu cara pengobatan dalam upaya penyembuhan penderita.
Di Indonesia pengobatan spiritual biasanya dikaitkan dengan agama. Seseorang pemeluk
agama islam misalnya cenderung untuk menjalani pengobatan spiritual yang dilaksanakan sesuai
ajaran agama islam, misalnya berzikir, berdoa, berpuasa, sholat hajat dll. Dalam agama lain juga
terdapat kegiatan ritual untuk penyembuhan baik yang dibimbing oleh rohaniawan maupun yang
dilakukan sendiri. Odha dapat memilih untuk menjalankana pengobata spiritual yang sesuai
dengan agamanya atau pengobatan spiritual yang berlaku umum. Bila dia memilih pengobatan
spiritual yang sesuai dengan agamanya maka kegiatan tersebut tidak asing lagi baginya serta
mendukung jemaah yang dikenal dan akrab akan mempermudah sosialisasi.
3. Terapi nutrisi
Nutrisi yang sehat dan seimbang diperlukan pasien HIV /AIDS untuk mempertahankan
kekuatan, meningkatkan fungsi system imun, meningkatkan kemampuan tubuh untuk memerangi
infeksi, dan menjaga orang yang hidup dengan HIV/AIDS tetap aktif dan produktif. Defisiensi
vitamin dan mineral bisa dijumpai pada orang degan HIV, dan defisiensi sudah terjadi sejak dini
walaupun pada ODHA mengonsumsi makanan dengan gizi berimbang. Defisiensi terjadi karena

13
HIV menyebabkan kehilangan nafsu makan dan gangguan absorbs zat gizi. Di unti perawatan
intermediet penyakit terdapat 87% ODHA dengan berat badan di bawah normal.
Sebagian besar para ODHA dan keluarga mengatakan bahwa nafsu makanya menurun
sehingga frekuensi makan juga berkurang. Keadaan ini dimanfaatkan oleh HIV untuk
berkembang lebih cepat. Di samping itu daya tahan tubuh untuk melawan HIV menjadi
berkurang. Untuk mendapatkan nutrisi yang sehat dan berimbang, ODHA sebaiknya
mengosumsi makanan yang bervariasi, seperti makanan pokok, kacang-kacangan, produk susu,
daging, serta sayur dan buah-buahan setiap hari, lemak dan gula, dan meminum banyak air
bersih dan aman. Bila diperlukan bisa diberikan zat gizi mikro dalam bentuk supleme makanan
sera jus buah dan sayur.
a. Pentingnya nutrsi bagi pasien HIV/AIDS
Nutrisi yang sehat dan sembang harus selalu diberikan pada klien dengan HIV/AIDS pada
semua tahap infeksi HIV. Perawatan dan dukungan nutrisi bagi pasien berfungsi untuk (1)
mempertahankan kekuatan tubuh dan berat badan, (2) mengganti kehilangan vitamin dan minerl,
(3) meningkatkan fungsi sitem imun dan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi, (4)
memperpanjang periode dari infeksi hingga perkembangan menjadi panyakit AIDS, (5)
meningkatkan respon terhadap pengobatan, mengurangi waktu dan uang yang dihabiskan untuk
perawatan kesehatan, (6) menjaga orang yang hidup dengan HIV/AIDS agar dapat tetap aktif,
sehingga memungkinkan mereka untuk merawat diri sendiri, keluarga dan anak-anak mereka,
dan (7) menjaga orang dengan HIV/AIDS agar tetap produktif, mampu berkerja, tumbuh baik
dan tetap berkontribusi terhadap pemasukan kelurga mereka (FAO-WHO, 2002).
Makanan penting bagi tubuh kita untuk: (1) berkembang, mengganti dan memperbaiki sel-sel
dan jaringan, (2) memproduksi energy agar tetap hangat, bergerak dan berkerja, (3) membawa
proses kimia misalnya pencernaan makanan, (4)melindungi melawan, bertahan terhadap infeksi
serta mambantu proses penyembuhan penyakit. Makan terdiri atas zat gizi mikro dan makro. Zat
gizi mikro dibutuhkan tubuh dalam jumlah kecil, sedangkan zat gizi makro (kabohidrat, protein
dan lemak) dibutuhkan dalam jumlah yang lebih banyak (FAO-WHO, 2002).

14
b. Bahan makanan yang dianjurkan dikonsumsi pasien
Berbagai bahan makanan yang banyak di dapatkan di Indonesia seperti tempe, kelapa,
wortel, kembang kol, sayuran dan kacang-kacangan dapat diberikan dalam penatalaksanaan gizi
pada pasien.
1. Tempe atau produknya mengandung protein dan vitamin B12 untuk mencukupi kebutuhan
pasien dan mengandung bakterisida yang dapat mengobati dan mencegah diare.
2. Kelapa dan produknya dapat memenuhi kebutuhan lemak sekaligus sebagai sumber energy
karena mengandung medium chain trigliserida (MCT) yang mudah diserap dan tidak
menyebabkan diare. MCT merupakan sumber energy yang dapat digunakan untuk pembentukan
sel.
3. Wortel kaya kandungan beta karoten sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan
sebagai bahan pembentukan CD4, vitamin C, vitamin E, dan beta karoten berfungsi sebagai
antiradical bebas yang dihasilkan oleh perusakan oleh HIV pada sel tubuh.
4. Sayuran hijau dan kacang-kacangan, mengandung vitamin neurotropik yakni vitamin B1, B6,
B12 dan zat gizi mikro lainya yang berfungsi untuk pembentukan CD4 dan pencegahan anemia.
5. Buah alpukat mengandung banyak lemak yang sangat tinggi dan dapat dikonsumsi sebagai
bahan makanan tambahan. Lemak tersebut dalam bentuk MUFA (mono unsaturated fatty acid)
yang 63% dari jumlah tersebut berfungsi sebagai antioksidan dan dapat menurunkan HDL, selain
itu alpukat juga mengandung glutation untuk menghambat replikasi HIV.
c. Jus buah dan sayur
Orang yang terinfeksi HIV akan kehilangan selerah makan dan sulit menguyah makanan,
daya serap pencernaan dan tubuh juga lemah, oleh karenyanya pasien membutuhkan makanan
yang mudah dikunya dan diserap tubuh serta meningkatlkan nafsu makan. Olahan berupa jus
dibutuhkan agar kandungan gizinya mudah dan cepat diserap oleh tubuh sehingga energi akan
meningkatnkan dan tuuh lebih sehat.
Gizi yang terkandung dalam jus buah dan sayuran tergolong lengkap seperti protein,
kabohidrat, asam lemak esensial, vitamin, dan mineral. Lemak yang terkandung dalam buah dan
sayur termaksud lemak yang menguntungkan yang berperan sebagai komponen sel saraf,
membrane sel, homon dalam tubuh.
Jus mengandung enzim alami yang bermanfaat untuk pencernaan sehinggah tubuh tidak
mengeluarkan enzim pencernaan dan energy dapat dihemat untukperbaikan peremajaan sel. Jus

15
hanya memerlukan waktu penyerapan 5 menit sedangkan makanan yang lain memerlukan waktu
3-5 jam (putu, oka 2005).
4. Terapi fisik
Terapi fisik adalah upaya yang bisa dijadikan alternatif pelengkap dalam upaya memperbaiki
disfungi yang berikatan dengan tubuh yang disebabkan HIV, virus penyebab AIDS. Ada
beberapa jenis terapi fisik yang bisa dilakukan. Antara lain terapi makanan dan jamani.
Pada asanya terapi yang dilakukan bisa membuat daya tahan tubuh atau keadaan kekebalan
ODHA bisa dipertahankan secara maksimal, juga kondisi fisiknya tetap dilatih agar lebih kuat.
Misalnya massa otot orang pada masa AIDS yang biasanya akan menurun drastis, semakin kurus.
Saat seseorang mulai menunjukan gejala, masa otot dan lemak berkurang perlahan namun pasti.
Kalau dari awalnya masa otot tidak diperhatikan, maka penampilan serta daya tahan akan sangat
berpengaruh.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa olahraga dengan tigkat/ kadar sedang ternyata bisa
meningkatkan sistem kekebalan tubuh menjadi lebih tinggi. Selama berolahraga, tubuh
mengelurkan berbagai hormon. Antara lain yang berfungsi meningkatnkan mutu dan jumlah
limfosit B dan T, serta endfrin, dan enkafalin, serta homon yang berfungsi menurunkan
kekebalan seperti suatu hormone yang disebut ACTH. ACTH bekerja meningkatkan kadar
kortisol yang berperan menekan produksi sel kekebalan.
Keluarnya hormen tersebut sangat beraneka ragam tergantung beberapa factor, antara lain
beratnya latihan. Latihan ringan sampai sedang akan mengelurkan hormone yang merangsang
pembentukan system kekebalan. Sementara latihan berat yang menimbulkan kelelahan justru
sebaliknya, yaitu menekan produksi sel kekebalan.
Agar keadaan tubuh tetap stabil lebih baik memilih jenis olahraga yang tidak menimbulkan
stress. Seperti jalan kaki dan renag. Terapi jenis jasmani lain yang bisa dilakukan adalah tehnik
aromaterapi. Beberapa alhi menyarankan penggunaan wewangian berbagai jenis tumbuhan,
seperti lavender. Yoga, meditasi, dan pemijatan merupakan tehnik yang baik untuk dipilih
sebagai alternative terapi fisik-jasmani yang lain. Beberapa penelitian membuktikan bahwa jenis
olah fisik tersebut mampu menghilangkan stress dan membuat tubuh tenang. Ketenangan yang
diperoleh bisa meningkat pembuatan sel kekebalan tubuh di dalam tubuh.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Masyarakat Indonesia sudah mengenal adanya terapi tradisional seperti jamu yang telah
berkembang lama. Kenyataannya klien yang berobat di berbagai jenjang pelayanan kesehatan
tidak hanya menggunakan pengobatan Barat (obatkimia) tetapi secara mandiri memadukan
terapitersebut yang dikenal dengan terapi komplementer.Perkembangan terapi komplementer
ataua lternatif sudah luas, termasuk didalamnya orang yang terlibat dalam memberi pengobatan
karena banyaknya profesional kesehatan dan terapis selain dokter umum yang terlibat dalam
terapi komplementer. Hal ini dapat meningkatkan perkembangan ilmu pengetahuan melalui
penelitian-penelitian yang dapat memfasilitas iterapi komplementer agar menjadi lebih dapat
dipertanggungjawabkan.

3.2 Saran
Perawat sebagai salah satu profesional kesehatan, dapat turut serta berpartisipasi dalam
terapi komplementer. Peran yang dijalankan sesuaidengan peran-peran yang ada. Arah
perkembangan kebutuhan masyarakat dan keilmuan mendukung untuk meningkatkan peran
perawat dalam terapi komplementer karena pada kenyataannya,beberapa terapi keperawatan
yang berkembang diawali dari alternatif atau tradisional terapi.Kenyataan yang ada, buku-buku
keperawatan membahas terapi komplementer sebagai isu praktik keperawatan abad ke 21. Isu ini
dibahas dari aspek pengembangan kebijakan, praktik keperawatan,pendidikan, dan riset. Apabila
isu ini berkembangdan terlaksana terutama oleh perawat yang mempunyai pengetahuan dan
kemampuan tentangterapi komplementer, diharapkan akan dapat meningkatkan pelayanan
kesehatan sehingga kepuasan klien dan perawat secara bersama-sama dapat meningkat (HH, TH).

17
DAFTAR PUSTAKA

Andrews, M., Angone, K.M., Cray, J.V., Lewis, J.A., & Johnson, P.H. (2003). Nurse’s handbook
of alternative and complementary therapies. Pennsylvania: Springhouse.

Buckle, S. (2003). Aromatherapy. http// .www.naturalhealthweb.com/articles, diperoleh 25


Januari 2008.

Fontaine, K.L. (2005). Complementary & alternative therapies for nursing practice. 2th ed. New
Jersey: Pearson Prentice Hall.

Hitchcock, J.E, Schubert, P.E., Thomas, S.A. (2006). Community health nursing: Caring in
action. USA: Delmar Publisher.

Key, G. (2008). Aromatherapy beauty tips. http// .www.naturalhealthweb. com/articles/


georgekey3.html, diperoleh 25 Januari 2008.

Nezabudkin, V. (2007). How to research alternatif treatment before using


them.http// .www.naturalhealthweb.com/articles/ Nezabudkin1.html, diperoleh 25 Januari 2008.

Smith, S.F., Duell, D.J., Martin, B.C. (2004). Clinical nursing skills: Basic to advanced skills.
New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Snyder, M. & Lindquist, R. (2002). Complementary/alternative therapies in nursing. 4th ed. New
York: Springer.

Stanhope, M. & Lancaster, J. (2004). Community & public health nursing. 6th ed. St. Louis:
Mosby Inc.

18

Anda mungkin juga menyukai