SKRIPSI
OLEH
Asri Karima
NIM : 1110101000069
LEMBAR PERNYATAAN
Jakarta,
Juli 2014
Asri Karima
karena
itu,
peneliti
menyarankan
agar
dilakukannya
langkah
iii
with the ability of workers and to enrich the variation of workers job to prevent
boredom. Suggestions for the workers are telling to the HSE Department about the
discomfort of workplace temperature, be positive thinking to yourself ability, and
building a relation to help you in finding a job.
Keyword
References
: 140 (1990-2014)
vi
vii
Data Pribadi
Nama
: Asri Karima
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
No. Handphone
: 081212355109
: riikarima.asri@live.com
Pendidikan Formal
Tahun
2010 2014
Nama Institusi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Program Studi Kesehatan Masyarakat
2007 2010
2004 2007
1998 - 2004
viii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Swt Yang Maha Pengasih Lagi Maha
Penyayang, puji dan syukur saya ucapkan kepada Ilahi Rabbi yang selalu
memberikan kenikmatan tak terhingga kepada kita. Atas segala kekuatan dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Stress Kerja pada Pekerja di PT X Tahun 2014. Sholawat
serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Saw yang telah menuntun
umatnya dari zaman kegelapan ke zaman terang benderang seperti saat ini.
Penulisan skripsi ini semata-mata bukan murni usaha penulis melainkan
banyak pihak yang telah memberikan bantuan berupa doa, motivasi, dan bimbingan.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penulisan skripsi ini kepada:
1. Keluarga saya (ibu, bapak, kakak, dan adik) terima kasih atas segala doa dan
dukungan selama penelitian.
2. Bapak Prof. Dr. (hc) dr. M. K. Tadjudin Sp. And., selaku dekan Fakultas
Kedokteran
dan
Ilmu
Kesehatan
Universitas
Islam
Negeri
Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Ir. Febrianti M.Si selaku kepala program studi kesehatan masyarakat
yang senantiasa menjadikan program studi ini menjadi lebih baik.
4. Ibu Iting Shofwati ST, MKKK selaku dosen pembimbing I yang selalu sabar
dan keikhlasannya memberikan bimbingannya. Terima kasih ibu atas waktu,
doa dan motivasinya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Ibu Yuli Amran SKM, MKM selaku dosen pembimbing II yang selalu siap
memberikan bimbingannya dan arahan yang positif sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
6. Ibu Fase Badriah Ph.D selaku dosen penguji sidang skripsi, terima kasih atas
kesediaan ibu menjadi penguji dan memberikan sarannya yang positif untuk
perbaikan skripsi penulis.
ix
7. Ibu Raihana Nadra Alkaff MMA selaku dosen penguji sidang skripsi, terima
kasih atas kesediaan ibu menjadi penguji dan memberikan saran yang positif
untuk perbaikan skripsi penulis.
8. Ibu Meilani Anwar M.Epid selaku dosen penguji sidang skripsi, terima kasih
atas kesediaan ibu menjadi penguji dan memberikan saran yang positif untuk
perbaikan skripsi penulis.
9. Untuk kak Moch. Noval Mauludi terima kasih atas bimbingan, motivasi, dan
pertolongannya selama penyusunan skripsi. Thanks dear for helping me
wholeheartedly.
10. Bapak Ruri selaku manajer HRGA yang sudah mengijinkan penulis
melaksanakan penelitian ini.
11. Ibu Niken, Pak Himawan, Pak Cecep, Pak Jamal dan seluruh pekerja di PT X
yang telah bersedia membantu penelitian ini.
12. Untuk teman-teman K3 2010, Kiki, Dewi, Sinta, Evi, Dini, Mono, Agung,
Ajis, Dian, Randi, Dika, Dani, Iqbal, Zaki, dan Sony semoga silaturahmi kita
tetap terjaga meski sudah jarang berjumpa. Semoga kita dapat meraih
kesuksesan dengan jalan yang diridhoi Allah Swt.
13. Teman-teman di masa lalu, Kebabers dan Kesmas UIN angkatan 2010 yang
sudah membantu selama perkuliahan dan penyusunan skripsi penulis.
Dengan memanjatkan doa kepada Allah Swt, penulis berharap seluruh
kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah Swt. Aamiin. Semoga
skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Penulis
DAFTAR ISI
III
KERANGKA
KONSEP,
DEFINISI
OPERASIONAL
DAN
HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep............................................................................. 61
3.2 Definisi Operasional......................................................................... 63
3.3 Hipotesis .......................................................................................... 69
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Jenis dan Desain Penelitian ................................................................... 70
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. 70
4.3 Populasi dan Sampel.............................................................................. 70
4.3.1 Populasi ....................................................................................... 70
6.21 Hubungan Antara Variasi Beban Kerja dengan Stress Kerja ................ 160
6.22 Hubungan Antara Tanggung Jawab terhadap Pekerja Lain dengan Stress
Kerja ...................................................................................................... 162
6.23 Hubungan Antara Kemampuan yang Tidak Digunakan dengan Stress
Kerja ...................................................................................................... 164
6.24 Hubungan Antara Tuntutan Mental dengan Stress Kerja ...................... 166
6.25 Hubungan Antara Shift Kerja dengan Stress Kerja ............................... 168
6.26 Hubungan Antara Aktivitas di Luar Pekerjaan dengan Stress Kerja ..... 170
6.27 Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Stress Kerja ..................... 171
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan .................................................................................................. 175
7.2 Saran ........................................................................................................ 178
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 182
LAMPIRAN
DAFTAR ISTILAH
CCOHS
CDC
EAP
HVAC
ILO
NIOSH
OSHA
WHO
xi
DAFTAR BAGAN
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 5.10 Hubungan Antara Umur, Jumlah Anak, Masa Kerja, Kepribadian Tipe A,
dan Penilaian Diri dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X
Tahun 2014 ............................................................................................ 103
Tabel 5.11 Hubungan Antara Kebisingan, Pencahayaan, Suhu, Ventilasi, dan Shift
Kerja dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ................ 106
Tabel 5.12 Hubungan Antara Faktor Pekerjaan dengan Stress Kerja Pada Pekerja di
PT X Tahun 2014 ................................................................................... 107
Tabel 5.13 Hubungan Antara Aktivitas di Luar Pekerjaan dengan Stress Kerja Pada
Pekerja di PT X Tahun 2014 .................................................................. 113
Tabel 5.14 Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Stress Kerja Pada Pekerja di
PT X Tahun 2014 ................................................................................... 114
Tabel 5.15 Hubungan Antara Faktor Individual, Pekerjaan, Aktivitas di Luar
Pekerjaan dan Dukungan Sosial dengan Stress Kerja Pada Pekerja di
PT X Tahun 2014 .................................................................................. 115
Tabel 5.16 Hasil Analisis Variabel Kandidat Model Multivariat ............................ 117
Tabel 5.17 Hasil Analisis Model Akhir Variabel Multivariat ................................. 118
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1970 disebutkan bahwa pelaksanaan
keselamatan kerja dilakukan salah satunya untuk mencegah dan mengendalikan
timbulnya penyakit akibat kerja baik secara fisik, psikis, peracunan, infeksi dan
penularan. Penyakit akibat kerja sendiri terjadi akibat paparan faktor risiko yang
terdapat di tempat kerja, seperti kondisi tempat kerja, peralatan kerja, material
yang dipakai, proses produksi, cara kerja, limbah perusahaan dan hasil produksi
(NIOSH, 1999b).
Menurut NIOSH, stress akibat kerja merupakan masalah umum yang saat
ini terjadi di tempat kerja di Amerika. Berdasarkan hasil penelitian Northwestern
National Life, satu dari empat pekerja di Amerika berpendapat bahwa pekerjaan
merupakan penyebab stress nomor satu dalam hidup mereka. Dalam sebuah
survei yang dilakukan Princeton Survey Research Associates disebutkan bahwa,
tiga dari empat orang di Amerika mengatakan bahwa pekerja pada saat ini
memiliki tingkat stress kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan generasi
beberapa tahun sebelumnya (NIOSH, 1999b). Tuntutan pekerjaan yang semakin
tingginya tentunya memaksa pekerja untuk dapat bekerja secara cepat. Hal ini
yang kemudian membuktikan bahwa pekerja semakin menyadari bahwa
pekerjaan merupakan salah satu sumber stress yang seringkali terjadi dalam
kehidupan mereka.
Selain itu, berdasarkan data CDC , jumlah kasus stress kerja yang terjadi
di dunia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dari 4409 kasus pada
tahun 1998 menjadi 5659 kasus pada tahun 2001. Jumlah kasus ini bertambah
khususnya pada pekerja yang berusia muda. Dampak yang ditimbulkan akibat
terjadinya stress kerja tidak dapat dipandang sebelah mata. Stress kerja dapat
mengakibatkan terjadinya hari hilang kerja akibat kecelakaan kerja dan
timbulnya kesakitan (CDC, 2004). Kerugian yang dialami perusahaan akibat
stress kerja pun tidak sedikit. Setiap tahunnya industri di Amerika Serikat
mengalami kerugian lebih dari US 300 miliar sebagai akibat dari kecelakaan,
absenteisme, turnover pekerja, dan kompensasi asuransi akibat stress kerja yang
dialami para pekerjanya (AIS, 2013).
berdampak pada perpecahan rumah tangga dan isolasi terhadap kehidupan sosial
yang terdapat di sekitarnya.
Menurut Stranks (2005), stress kerja yang dialami pekerja tidak hanya
merugikan bagi pekerja tetapi juga perusahaan. Dampak stress kerja yang
dialami oleh pekerja dapat mempengaruhi performa dalam mencapai target
perusahaan. Selain itu, menurut WHO, organisasi yang tidak sehat tidak akan
mendapatkan usaha terbaik yang diberikan para pekerjanya. Hal ini tidak hanya
berdampak pada performa organisasi tetapi juga keberlangsungan organisasi ke
depannya. Kerugian akibat stress kerja yang dapat dirasakan perusahaan, antara
lain meningkatnya absenteisme pekerja, menurunnya komitmen terhadap
perusahaan, meningkatnya jumlah turnover pekerja, dan meningkatnya angka
kecelakaan kerja. Bahkan dalam tingkat yang lebih serius, stress kerja juga dapat
berdampak pada meningkatnya komplain dari klien yang berujung pada
rusaknya citra perusahaan.
Pengukuran stress kerja penting dilakukan untuk mengetahui gambaran
tingkat stress kerja yang dialami oleh para pekerja. Sehingga perusahaan dapat
mengevaluasi penyebab stress kerja yang dialami para pekerja mereka.
Pengukuran ini juga dapat digunakan sebagai langkah antisipasi untuk mencegah
dan mengendalikan stress kerja yang terjadi. Oleh karena itu, peneliti ingin
melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan stress
kerja pada pekerja di PT X tahun 2014.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam kegiatan proses produksi, PT X memiliki lebih dari 100 pekerja
yang terbagi dalam beberapa unit departemen. Setiap unit departemen memiliki
5
tugas dan fungsi yang berbeda serta lokasi kerja yang berbeda juga. Selain itu,
pekerja pada bagian kantor maupun plant memiliki paparan sumber stress yang
berbeda, seperti pajanan lingkungan fisik dan shift kerja.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 11 pekerja di
PT X diketahui bahwa terdapat empat pekerja (36,4 %) mengalami gejala stress
yang cukup tinggi. Sedangkan tujuh pekerja lainnya (63,6 %) juga merasakan
adanya gejala stress tetapi dalam intensitas yang jarang dan dalam tingkat yang
lebih ringan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat permasalahan stress kerja yang
dirasakan oleh pekerja. Berdasarkan hasil studi pendahuluan tersebut maka
peneliti ingin melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan
dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014?
2. Bagaimana gambaran faktor individual (jenis kelamin, umur, status
pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian diri)
pekerja di PT X tahun 2014?
3. Bagaimana gambaran faktor pekerjaan (kebisingan, pencahayaan, suhu,
ventilasi,
konflik
peran,
ketaksaan
peran,
konflik
interpersonal,
Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan stress kerja pada pekerja
di PT X tahun 2014.
1.4.2
Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014
konflik interpersonal,
hubungan
antara
faktor
pekerjaan
(kebisingan,
oleh
para
pekerja
guna
meningkatkan
produktivitas
perusahaan
1.5.2 Bagi Pekerja
1. Sebagai gambaran faktor penyebab stress yang dialami baik pengaruh
dari faktor pekerjaan maupun luar pekerjaan
2. Sebagai bahan evaluasi diri untuk dapat mengukur tingkat stress yang
dialami pekerja
3. Sebagai langkah pengendalian untuk menurunkan tingkat stress yang
dialami pekerja dan mencegah dampak yang akan ditimbulkan
1.5.3 Bagi Peneliti
1. Sebagai bahan referensi penelitian mengenai stress kerja
ini
dilakukan
untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Stress
Kata stress pertama kali diperkenalkan oleh Selye pada dunia psikologi
dan kedokteran sekitar tahun 1930-an. Menurut Selye, stress merupakan reaksi
organisme terhadap keadaan terancam dan tertekan. Selye menemukan bahwa
stress dihasilkan dari reaksi rantai hormon neuroendokrin yang terjadi di dalam
tubuh. Hal ini terjadi dengan diawalinya eksitasi pada jaringan otak yang diikuti
peningkatan sekresi hormon dari kelenjar adrenal. Peningkatan sekresi hormon
tersebut di dalam tubuh akan mempengaruhi peningkatan detak jantung dan
tekanan darah. Reaksi dalam tubuh ini biasa disebut dengan pengaturan
ergotropik dan diidentikkan sebagai mekanisme dasar terjadinya stress di dalam
tubuh seseorang (Kroemer & Grandjeai, 1997).
Perkembangan penelitian mengenai stress selama beberapa dekade
terakhir telah mendorong munculnya beragam definisi stress baik dari segi
psikologi, fisiologi, sosial dan ilmu perilaku. Berikut ini adalah definisi stress
menurut para ahli:
a.
Lazarus dan
11
c.
McGrath
mendefinisikan stress
sebagai
hasil
dari permintaan
berbeda
tergantung
dengan
persepsi
setiap
individu
yang
tetapi juga dapat berdampak pada fisiologi individu. Faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya stress kerja, antara lain kurangnya kontrol terhadap
pekerjaan, ketidaksesuaian permintaan terhadap pekerja, dan kurangnya
dukungan dari rekan kerja dan manajemen. Reaksi
Lingkungan Fisik
Lingkungan Psikososial
Pengalaman dengan
Kondisi Stress
Bahaya bagi kesehatan pekerja baik secara fisik, psikologis, dan sosial
Sumber: Adaptasi dari Cox, Griffiths & Rial-Gonzales (2000) dalam WHO (2010)
Bagan 2.1 Lingkungan Kerja Psikososial
14
15
Psikologis
terasa
Perilaku
a. Nafsu
makan
menurun
b. Sedih
berkepanjangan
b. Sakit kepala
c. Nyeri dada
c. Sulit
berkonsentrasi
d. Mulut kering
e. Napas pendek
d. Merasa tertekan
f. Tekanan
tinggi
e. Pesimis
darah
f. Merasa
gagal
g. Nyeri otot
h. Sembelit
diare
atau
i. Kelelahan
j. Insomnia
k. Mudah sakit
l. Gangguan
pencernaan
m. Jantung berdebar
cepat
n. Rahang kaku
o. Berkeringat
banyak
p. Nafsu
makan
menurun/bertamb
ah
q. Tangan gemetar
selalu
g. Selalu merasa
ketakutan
h. Gelisah
tidur
a. Tidak sabar
b. Suka berdebat
c. Menyebabkan
terjadinya
kecelakaan kerja
d. Penggunaan
alkohol/obatobatan
e. Merokok
f. Mengabaikan
tanggung jawab
ketika
i. Merasa kesepian
j. Mudah
menangis
k. Merasa
orang
ramah
orangtidak
l. Tidak
dapat
menikmati hidup
m. Berbicara lebih
sedikit
n. Merasa
disukai
orang
tidak
orang-
Sumber: NIOSH
Stress akut merupakan reaksi kompleks yang terjadi di antara
ketiga perubahan di atas. Perubahan baik secara fisiologis, psikologis, dan
perilaku tersebut akan mendapatkan reaksi dari tubuh yang dapat
16
Tahap alarm
Tahapan awal ini merupakan tahap reaksi alarm dalam tubuh berupa
mekanisme pertahanan tubuh. Untuk mengatasi stressor yang dihadapi,
tubuh membutuhkan pengeluaran energi yang cukup tinggi. Hal ini
dilakukan dengan meningkatkan aktivitas kelenjar tiroid dan adrenal. Saraf
simpatik kemudian meresponnya dengan meningkatkan sekresi hormon
18
penurunan
memori
jangka
pendek,
kemampuan
individu tidak dapat melewati tahapan ini maka katabolisme yang terjadi
akan menyebabkan penyakit kronis, seperti syok, disfungsi kekebalan
tubuh, fluktuasi tingkat energi, dll.
c. Tahap pemulihan
Pada tahap ini stress mulai dapat dikendalikan, perbaikan jaringan terjadi
dan fungsi tubuh kembali normal. Dalam keadaan ini, sistem pencernaan,
metabolisme dan fungsi sel mengalami perbaikan. Istirahat, pertumbuhan,
dan aktivitas mental yang lebih tenang akan mengembalikan kesehatan
individu pada level yang baik.
d. Tahap adaptasi
Jika tubuh tidak mampu melalui tahap pemulihan, keadaan stress akan
menjadi kronis. Pada tahapan ini, tubuh tidak dapat menyesuaikannya
kondisinya terhadap keadaan stress yang dihadapi sehingga berbagai
kondisi kronis mulai muncul, seperti menurunnya tingkat energi,
menurunkan self-esteem, gangguan tidur, perubahan nafsu makan,
gangguan emosional, merasa sedih berkepanjangan, tidak mampu
merasakan sakit, gairah seks menurun, konsentrasi menurun, serta
hilangnya motivasi.
e. Tahap kelelahan
Pada tahap ini tubuh semakin kehilangan kemampuannya untuk pulih dari
kondisi kronis yang dihadapi. Sebagai akibat stress yang berkepanjangan,
maka kelenjar tiroid dan adrenal mulai merasa kehilangan sumber energi
dari dalam tubuh. Individu akan berusaha mencari sumber energi dari luar
tubuh dengan mengkonsumsi alkohol, kopi, nikotin, dan obat-obatan. Pada
20
kebisingan,
sanitasi
lingkungan,
substansi
berbahaya,
pada lingkungan kerja yang dingin, dimana menurut Fox (1967) dan
Enander (1987), suhu lingkungan kerja yang terlalu dingin juga
menurunkan produktivitas kerja. Pada beberapa pekerjaan seperti tugas
yang berhubungan dengan kemampuan kognitif, suhu lingkungan yang
dingin dapat meningkatkan performa kerja karena dapat menurunkan
terjadinya kelelahan. Akan tetapi, semakin kompleks tingkat pekerjaan
maka performa kerja akan semakin memburuk jika suhu lingkungan
terlalu panas atau dingin (Barling et al., 2005).
Berdasarkan hasil penelitian Pilcher et al (2002), menemukan
bahwa suhu yang terlalu dingin memiliki dampak negatif terhadap
proses pembelajaran dan tugas yang membutuhkan memori. Sedangkan
suhu yang terlalu panas berdampak negatif terhadap tugas yang
membutuhkan perhatian dan persepsi. Akan tetapi, efek ini hanya
terlihat pada durasi yang singkat karena pekerja biasanya sudah
teraklimatisasi jika terpajan dalam durasi waktu yang lama (Perrewe &
Ganster, 2010).
d. Ventilasi
Kualitas udara yang buruk di lingkungan kerja dapat memicu
terjadinya sakit kepala dan kelelahan sehingga menyebabkan pekerja
sulit berkonsentrasi. Rendahnya kualitas udara ini dapat disebabkan
beberapa hal, seperi tingginya konsentrasi polutan di udara, buruknya
sirkulasi udara, atau kurangnya ventilasi. Selain itu, faktor lain yang
juga mempengaruhi kualitas udara yaitu asap rokok, sistem pendingin
24
pekerjaan
pasti
mengharuskan
pekerjanya
untuk
berinteraksi dengan orang lain, misalnya dengan rekan kerja, klien, atau
kontraktor. Dalam beberapa pekerjaan, interaksi sosial merupakan
sumber kepuasan kerja. Akan tetapi, di sisi lainnya, interaksi sosial
berpotensi menimbulkan konflik yang dapat mengakibatkan stress.
Dalam tingkat yang lebih bahkan konflik interpersonal tadi dapat
mengakibatkan terjadinya kekerasan fisik. Penyebab munculnya konflik
interpersonal seringkali disebabkan kompetisi antar pekerja. Di
beberapa perusahaan, pekerja diwajibkan mencapai beberapa target
untuk bisa mendapatkan penghargaan, promosi jabatan atau reward.
Konflik interpersonal memang masih jarang dibahas akan tetapi
dampaknya terhadap stress kerja sangat nyata terutama dalam jangka
waktu yang lama. Bentuk konflik interpersonal dapat terjadi dalam
bentuk aktif maupun pasif. Konflik interpersonal secara aktif dapat
terjadi ketika seseorang berargumen dan mengeluarkan kata-kata kasar
kepada orang lain. Sedangkan konflik interpersonal pasif dapat terjadi
misalnya
ketika
seseorang
lupa
mengundang
rekannya
untuk
27
yang
pekerjaan
bisa
terjadi
ketika
adanya
situasi
terhadap
pekerjaannya.
Hasil
penelitian
tersebut
kemudian
Kekhawatiran
yang
terjadi
terus
menerus
ini
dapat
2012).
Meskipun
seorang
pekerja
telah
berusaha
31
36
mempengaruhi
kinerja
mereka
menjadi
kurang
baik.
2.
3.
4.
5.
39
lebih rendah. Pada penelitian tersebut umur yang lebih tua berada pada
kategori 34 tahun ke atas (Fitri, 2013).
c. Status Pernikahan
Status pernikahan dapat berpengaruh pada tingkat stress
seseorang. Individu yang berstatus menikah biasanya memiliki tingkat
stress yang lebih rendah dibandingkan dengan individu yang tidak
menikah. Hal ini terjadi dikarenakan apabila pekerja mendapat
dukungan dalam karir dari pasangannya maka stress kerja yang
dialaminya akan cenderung karena adanya dukungan dari pasangan
(Fink, 2010). Akan tetapi, pengaruh status pernikahan terhadap stress
hanya akan berpengaruh positif apabila pernikahan tersebut berjalan
dengan baik.
Pernikahan yang tidak bahagia akan lebih mungkin menimbulkan
stress dibandingkan dengan individu yang tidak menikah. Berdasarkan
hasil penelitian Kiecolt-Glaser et al (2003) membuktikan bahwa
individu yang bercerai dan individu yang menikah tetapi tidak bahagia
akan memiliki tingkat stress yang sama tingginya dibandingkan dengan
individu yang memiliki pernikahan yang bahagia (Ogden, 2012). Hal
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada perawat dimana
terdapat hubungan antara status pernikahan dengan kejadian stress kerja
(Sukmono, 2013).
d. Jumlah Anak
Kehadiran anak dalam sebuah pernikahan dianggap sebagai
penyatu hubungan antara suami dan istri. Akan tetapi, di lain pihak
40
41
44
Efek psikologis
Efek psikologis yang dapat timbul akibat kondisi stress,
antara lain
1. Sulitnya berkonsentrasi
2. Ketidakpuasan dalam bekerja
3. Gangguan afektif, seperti kecemasan, depresi, dan mudah marah
46
bahwa
karakteristik
pengontrolan
pekerjaan,
pemanfaatan
keterampilan,
pekerja
keterlibatan
dan
seperti
rendahnya
pengambilan
keputusan,
ketidakseimbangan
imbalan
seperti konsumsi alkohol dan rokok berlebih, diet yang rendah dan
gangguan tidur. Berdasarkan hasil penelitian Ng & Jeffery (2003)
yang dilakukan pada 12110 pekerja dari 26 tempat kerja menunjukkan
adanya hubungan antara perasaan stress dengan perilaku. Berdasarkan
hasil self-reported responden dalam penelitian tersebut menunjukkan
bahwa perilaku yang biasa muncul akibat perasaan stress, seperti
perilaku seks yang tidak sehat, diet lemak yang tinggi, rendahnya
aktivitas, merokok dan peningkatan jumlah rokok, dan rendahnya
efikasi diri (WHO, 2010).
2.5.2 Dampak Bagi Perusahaan
Sikap para manager dalam menghadapi stress sangat beragam. Di
beberapa perusahaan, ada kalanya ketika pekerja mengeluhkan stress
akibat beban kerja yang dialaminya maka pilihan yang dihadapinya yaitu
berhenti dari pekerjaan tersebut. Padahal seharusnya keluhan tersebut
dijadikan bahan evaluasi terhadap stress kerja yang dialami para pekerja.
Perusahaan seringkali hanya meninjau pencapaian performa perusahaan.
Peninjauan terhadap stress kerja yang dialami pekerja seharusnya
dilakukan untuk mencegah meningkatnya tingkat stress kerja yang dialami
para pekerja. Hal ini dikarenakan stress yang dialami pekerja dapat
berdampak juga pada performa perusahaan. Berikut adalah beberapa
dampak stress kerja bagi perusahaan.
a. Meningkatnya keluhan dari klien
b. Rendahnya komitmen pekerja untuk mecapai tujuan perusahaan
c. Meningkatnya angka kecelakaan kerja
50
51
Penjelasan
Pekerja harus disediakan informasi
Penempatan,
pelatihan,
dan Keterampilan,
pengetahuan
dan
kerja.
penempatan
Sebelum
pekerja
melakukan
sebaiknya
harus
disediakan
agar
52
Deskripsi kerja
Deskripsi
kerja
kebijakan,
tergantung
objektif
dan
dari
strategi
membantu
pekerja
dalam
pekerjaan
yang
akan
dihadapinya.
Komunikasi
dikomunikasikan
dengan
bersifat
komprehensif
serta
suasana
kerja
yang
menyenangkan.
b. Pencegahan sekunder
Untuk melakukan pencegahan stress sekunder dapat dilakukan dengan
memberikan pendidikan dan pelatihan kepada para pekerja dalam mencegah
dan mengatasi stress kerja.
c. Pencegahan tersier
Langkah pencegahan terakhir yang dapat dilakukan yaitu dengan
meningkatkan sensitivitas dan respon sistem manajemen serta meningkatkan
pelayanan kesehatan kerja. Pencegahan tersier ini menekankan pada
peningkatan respon dan pelayanan kesehatan kerja yang efisien. Program
manajemen stress kerja juga seharusnya dikembangkan dalam langkah
pencegahan ini.
2.7 Penanggulangan Stress Kerja
Menurut NIOSH, pengendalian stress di tempat kerja dapat dilakukan
dengan dua cara pendekatan, yaitu pendekatan dalam manajemen stress dan
perubahan organisasi.
a. Manajemen stress
Manajemen stress biasanya dilakukan dengan cara memberikan pelatihan
manajemen stress bagi para pekerja melalui Employee Assistance Program
(EAP). Pelatihan ini diberikan untuk meningkatkan kemampuan pekerja
dalam mengatasi situasi pekerjaan yang sulit. Hampir setengah dari
perusahaan besar di Amerika Serikat telah menyediakan pelatihan
manajemen stress bagi para pekerja mereka. Program manajemen stress ini
mencakup penjelasan mengenai sifat dan sumber stress, dampak stress
bagi kesehatan, dan kemampuan untuk mengurangi stress bagi pekerja.
54
program
ini
yaitu
murah
dan
mudah
seringkali
bersifat
sementara
sehingga
pekerja
seringkali
mengabaikannya.
b. Perubahan organisasi
Perubahan organisasi dapat dilakukan dengan menggunakan jasa konsultan
untuk melakukan perbaikan kondisi kerja di suatu organisasi. Pendekatan
ini cara langsung yang dapat digunakan untuk mengurangi stress di tempat
kerja. Pendekatan cara ini dilakukan dengan cara mengidentidikasi aspek
stress kerja yang terdapat di tempat kerja, seperti beban kerja berlebih,
harapan yang bertentangan, dll dan melakukan desain strategi untuk
mengurangi atau menghilangkan stressor yang telah diidentifikasi.
Keuntungan dari pendekatan ini yaitu secara langsung mengatasi
permasalahan stress kerja hingga ke penyebab dasarnya. Akan tetapi, para
manajer seringkali tidak menyukai pendekatan ini karena melibatkan
perubahan dalam rutinitas kerja, jadwal produksi atau perubahan struktur
organisasi. Secara umum, prioritas utama dalam menanggulangi stress
kerja harus dilakukan dengan cara perubahan organisasi untuk
memperbaiki kondisi kerja. Akan tetapi, kombinasi perubahan organisasi
55
57
Nama Instrumen
Job Content Questionnaire
Penyusun
Karasek, 1985
Kelebihan
a. Dapat
stress
digunakan
yang
Kekurangan
untuk
berhubungan
dengan
untuk
lingkungan kerja
b. Tidak ada penilaian kepribadian
digunakan
dalam
absenteisme
dan
turnover
pekerja
c. Validitas dan reliabilitas kuesioner
sudah teruji
d. Dapat digunakan pada berbagai sektor
industri
54
Nama Instrumen
AnOrganizational
Penyusun
2002
Kelebihan
Kekurangan
Quality
of
Questionnaire
Social
Research
University of Michigan
kesehatan fisik
digunakan
juga
untuk
55
Nama Instrumen
Job Stress Survey (JSS)
Penyusun
Spielberg, 1994
Kelebihan
Kekurangan
dan
frekuensi
tempat
kerja
faktor
yang
lingkungan
kondisi
stress
dan
dan
reliabilitas
diragukan
kerja,
dan
56
Nama Instrumen
Penyusun
1988
Kekurangan
Kelebihan
serta
faktor
dibutuhkan
stress
kronis
konsultasi
bersama
pendukung
petugas medis
lainnya
b. Mengevaluasi efek stress pada kondisi
akut dan kronis
c. Reliabilitas dan validitas instrument
telah teruji
d. Tersedia dalam berbagai bahasa
The Hassles and Uplifts Kanner, Coyne, Schaefer a. Dapat
Scales
digunakan
untuk
mengukur a. Menyediakan
sedikit
informasi
untuk
yang
melakukan
kehidupan sehari-hari
intervensi pencegahan stress kerja
b. Sumber stress yang diukur berasal dari
dalam maupun luar lingkungan kerja
57
Nama Instrumen
HSE Indicator Tool (HSE)
Penyusun
Health
and
Kelebihan
Safety
Kekurangan
Executive
dengan pekerjaan
b. Hasil temuan dalam instrumen ini
b. Penggunaannya dapat dipakai sebagai
instrument tunggal atau digabungkan
para
pekerja
dengan
serta
data
Thomas
Holmes
dan
a. Digunakan
untuk
memprediksi
58
diukur lebih bersifat komprehensif. Selain itu, kuesioner ini merupakan instrumen baku pengukuran stress kerja yang disahkan oleh
NIOSH. Reliabilitas dan validitas kuesioner juga dapat dipercaya karena sudah diuji dan sering digunakan dalam penelitian
59
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
Faktor Individual
Jenis Kelamin
Umur
Status Pernikahan
Jumlah dan Umur Anak
Masa Kerja
Kepribadian Tipe A
Penilaian Diri
Faktor Pekerjaan
Kebisingan
Pencahayaan
Suhu
Ventilasi
Konflik Peran
Ketaksaan Peran
Konflik Interpersonal
Ketidakpastian Pekerjaan
Kurangnya Kontrol
Kurangnya Kesempatan
Kerja
Jumlah Beban Kerja
Variasi Beban Kerja
Tanggung Jawab terhadap
Pekerja Lain
Kemampuan yang Tidak
Digunakan
Tuntutan Mental
Shift Kerja
Stress Kerja
Akut
Stress Kerja
Kronis
Faktor Pendukung
Dukungan Sosial
Sumber: Caplan, Cobb, French, Harrison, dan Pinneau (1975), Cooper dan Marshal
(1976), dan House (1974) dalam (Murphy & Hurrell, 1992)
Bagan 2.2 Kerangka Teori
60
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep mengacu pada variabel yang akan diteliti. Berdasarkan
pada kerangka teori pada bab sebelumnya, maka variabel yang akan diteliti pada
penelitian ini, yaitu variabel independen yang terdiri dari faktor individual,
faktor pekerjaan, faktor aktivitas di luar pekerjaan, dan faktor pendukung.
Sedangkan variabel dependen yang akan diukur yaitu stress kerja akut. Adapun
stress kerja kronis tidak dilakukan pengukuran karena adanya keterbatasan
penelitian berupa tidak tersedianya data medical check up untuk mendukung
penentuan tingkat stress kerja kronis. Berikut ini adalah gambaran kerangka
konsep yang akan diteliti:
61
Variabel Independen
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
Faktor Individual
Jenis Kelamin
Umur
Status Pernikahan
Jumlah Anak
Masa Kerja
Kepribadian Tipe A
Penilaian Diri
Faktor Pekerjaan
Kebisingan
Pencahayaan
Suhu
Ventilasi
Konflik Peran
Ketaksaan Peran
Konflik Interpersonal
Ketidakpastian Pekerjaan
Kurangnya Kontrol
Kurangnya Kesempatan
Kerja
Jumlah Beban Kerja
Variasi Beban Kerja
Tanggung Jawab terhadap
Pekerja Lain
Kemampuan yang Tidak
Digunakan
Tuntutan Mental
Shift Kerja
Variabel Dependen
Stress Kerja
Akut
Faktor Pendukung
Dukungan Sosial
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
62
Variabel
Definisi
Alat Ukur
Cara Ukur
Hasil Ukur
Skala
Rata-rata skor
Rasio
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden
Jenis Kelamin
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden
1. Tidak Menikah
Jumlah
anak
yang
dimiliki NIOSH Generic
responden yang dalam keadaan Job Stress
hidup sampai waktu pengumpulan Questionnaire
data ini dilakukan
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden
Umur
Status Pernikahan
Jumlah Anak
1. Perempuan
Ordinal
2. Laki-laki
Rasio
Ordinal
2. Menikah
Jumlah anak
Rasio
63
No
Variabel
Definisi
Alat Ukur
Cara Ukur
Masa Kerja
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden
Kepribadian Tipe
A
Kepribadian
individu
yang NIOSH Generic
cenderung bersifat kompetitif, Job Stress
ambisius, tidak sabar, agresif dan Questionnaire
sangat kritis
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden
Penilaian Diri
Persepsi
individu
terhadap NIOSH Generic
kemampuan, keberhasilan, dan Job Stress
kelayakan dirinya yang dapat Questionnaire
mempengaruhi perilaku individu
tersebut
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden
Kebisingan
NIOSH Generic
Job Stress
Questionnaire
dan Data Hasil
Pengukuran
Kebisingan
Hasil Ukur
Skala
Rasio
Rata-rata skor
Rasio
Rata-rata skor
Rasio
1. Bising
Ordinal
2. Tidak bising
64
No
10
11
12
Variabel
Pencahayaan
Suhu
Ventilasi
Definisi
Persepsi pekerja terhadap tingkat
pencahayaan yang terdapat di
sekitar lingkungan kerja yang
disertai dengan pengukuran tingkat
pencahayaan di lingkungan kerja
untuk mengetahui kondisi aktual
sebagai data pendukung
Alat Ukur
Cara Ukur
NIOSH Generic
Job Stress
Questionnaire
dan Luxmeter
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden dan
pengukuran tingkat
pencahayaan
(hanya sebagai data
pendukung)
Persepsi
pekerja
terhadap
kenyamanan suhu di lingkungan
kerja yang disertai dengan hasil
pengukuran
suhu
udara
di
lingkungan kerja untuk mengetahui
kondisi aktual sebagai data
pendukung
NIOSH Generic
Job Stress
Questionnaire
dan
Termohigrometer
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden dan
pengukuran suhu
udara di
lingkungan kerja
(hanya sebagai data
pendukung)
NIOSH Generic
Job Stress
Questionnaire,
Data Hasil
Pengukuran
Kadar Debu, dan
alat ukur meteran
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden dan
pengukuran luas
ruangan serta
ventilasi di ruang
kerja (hanya
sebagai data
pendukung)
Hasil Ukur
Skala
1. Buruk
Ordinal
2. Baik
1. Tidak Nyaman
Ordinal
2. Nyaman
1. Buruk
Ordinal
2. Baik
65
No
Variabel
13
Konflik Peran
14
15
16
17
Definisi
Alat Ukur
Cara Ukur
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden
Konflik
Interpersonal
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden
Ketidakpastian
Pekerjaan
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden
Kurangnya
Kontrol
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden
Ketaksaan Peran
Hasil Ukur
Skala
Rata-rata skor
Rasio
Rasio
Rata-rata skor
Rata-rata skor
Rasio
Rata-rata skor
Rasio
Rata-rata skor
Rasio
66
No
18
19
20
21
22
Variabel
Definisi
Alat Ukur
Cara Ukur
Hasil Ukur
Skala
Rata-rata skor
Rasio
Kurangnya
Kesempatan
Kerja
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden
Jumlah Beban
Kerja
NIOSH Generic
Job Stress
Questionnaire
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden
Rata-rata skor
Rasio
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden
Rata-rata skor
Rasio
Tanggung Jawab
Terhadap Orang
Lain
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden
Rata-rata skor
Rasio
Keterampilan
yang Tidak
Digunakan
Kemampuan
yang
dimiliki NIOSH Generic
responden yang tidak digunakan Job Stress
dalam melaksanakan pekerjaan Questionnaire
yang dilakukannya
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden
Rata-rata skor
Rasio
Variasi Beban
Kerja
67
No
23
24
25
26
Variabel
Tuntutan Mental
Definisi
Alat Ukur
Cara Ukur
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden
NIOSH Generic
Job Stress
Questionnaire
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden
Aktivitas di Luar
Pekerjaan
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden
Dukungan Sosial
Menyebarkan
kuesioner kepada
responden
Shift Kerja
Hasil Ukur
Skala
Rata-rata skor
Rasio
1. Shift
2. Tidak Shift
Ordinal
Rata-rata skor
Rasio
Rata-rata skor
Rasio
68
3.3 Hipotesis
1. Ada hubungan antara faktor individual (jenis kelamin, umur, status
pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian
diri) dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014
2. Ada hubungan antara faktor pekerjaan (kebisingan, pencahayaan, suhu,
ventilasi,
konflik
peran,
ketaksaan
peran,
konflik
interpersonal,
69
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik yaitu penelitian
yang dilakukan untuk menguji kausal atau determinan suatu fenomena. Desain
studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan stress kerja
yang dapat diukur pada saat yang bersamaan.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan April-Juni 2014 di PT X.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja di PT X. Jumlah
pekerja berjumlah 113 orang. Berikut adalah data jumlah pekerja di
masing-masing departemen.
70
Jumlah Pekerja
Departemen Produksi
41 orang
Departemen HR-GA
11 orang
20 orang
11 orang
3 orang
7 orang
7 orang
5 orang
Departemen Lab
8 orang
4.3.2 Sampel
Besar sampel untuk uji hipotesis koefisien korelasi dapat digunakan
rumus sebagai berikut :
Dimana :
Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5%, sehingga Z = 1.96
Kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 10 %, maka Z = 1.28
r = korelasi minimal yang dianggap bermakna. Ditetapkan sebesar 0.4
Dengan demikian,
71
72
73
Tidak
Tidak
Item
Sangat
Biasa Saja
Setuju
Setuju
Setuju
Setuju
Skor Item
Positif
Skor Item
Negatif
Contoh skoring akan dijelaskan sebagai berikut. Untuk variabel satu
misalnya rata-rata nilai yang didapatkan pada satu orang yaitu:
A1 + A2 + A3 + A4 + A5 +A6 + A7/7
Perhitungan nilai rata-rata untuk tiap individu dilakukan dengan
membagi antara skor total jawaban dengan jumlah pertanyaan yaitu sebesar 7.
Adapun contoh penghitungan total rata-rata dari rata-rata variabel 1 :
1. 5 orang mempunyai rata-rata skor untuk variabel 1 masing-masing sebagai
berikut : 2,67 ; 2,33 ; 2,44 ; 2,56 ; 2,67
2. Maka total rata-rata populasi adalah : (2,67 + 2,33 + 2,44 + 2,56 + 2,67)/5 =
2,53
3. Begitu seterusnya pada variabel-variabel lainnya.
74
pengukuran
dan
pengujian.
Pengujian
validitas
dapat
75
mengukur stress kerja pada berbagai jenis pekerjaan (Stroh, Northcraft, &
Neale, 2008).
4.5.2 Reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
ukur dapat dipercaya atau diandalkan. Reliabilitas biasanya menunjukkan
sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat terlihat konsisten bila dilakukan
berulang kali dengan menggunakan kuesioner yang sama. Pengujian
reliabilitas salah satunya dapat dilakukan dengan rumus statistik alpha
cronbach. Hasil analisis reliabilitas tersebut nantinya akan dibandingkan
dengan tabel r kritis product moment. Apabila hasil perhitungan statistik >
nilai tabel r kritis product moment maka alat ukur yang digunakan
dinyatakan reliabel (Notoatmodjo, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan pada petugas
pemadam kebakaran di Iran menunjukkan nilai reliabilitas NIOSH Generic
Job Stress Questionnaire sebesar lebih dari 0,7 (Kazronian, Zakerian,
Saraji, & Hosseini, 2013). Sedangkan reliabilitas NIOSH Generic Job
Stress Questionnaire yang digunakan di Jepang memiliki nilai reliabilitas
lebih dari 0,68 (Yasuaki, Takeji, & Yoshihiro, 2012). Berdasarkan hasil uji
reliabilitas yang telah dilakukan didapatkan nilai alpha cronbach sebesar
0,804. Jika dibandingkan dengan nilai r kritis sebesar 0,6 maka kuesioner
ini sudah dianggap reliabel untuk digunakan sebagai instrumen penelitian.
76
: 100 lux
2. Ruang kerja
: 350 lux
77
: 200lux
78
a. Pengukuran kebisingan
Hasil pengukuran kebisingan yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan hasil pengukuran kebisingan yang dilakukan oleh Departemen
HSE PT X pada bulan Desember 2013. Pengukuran kebisingan ini
dilakukan pada beberapa titik, yaitu depan office, mill 1, mill 3,
warehouse, dan kompresor. Pengukuran dilakukan menggunakan alat
Sound Level Meter. Hasil pengukuran kebisingan ini akan dibandingkan
dengan NAB kebisingan berdasarkan Permenaker No 13 Tahun 2011,
yaitu sebesar 85 dB.
b. Pengukuran kadar debu
Hasil pengukuran kadar debu yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan hasil pengukuran kadar debu yang dilakukan oleh Departemen
HSE PT X pada bulan Mei 2014. Pengukuran kadar debu ini dilakukan
pada 17 titik di lingkungan kerja. Pengukuran kadar debu dilakukan
dengan
menggunakan
alat
AirChek
XR500.
Sebelum
dilakukan
79
Variabel
Jenis kelamin
Keterangan
Jenis
kelamin
perempuan
lebih
berisiko
mengalami
stress kerja
Perempuan = 2
Umur
Status pernikahan
Menikah = 1
Tidak Menikah = 2
4
Jumlah Anak
Semakin
banyak
jumlah anak maka
semakin
berisiko
mengalami stress kerja
Masa Kerja
Jumlah
bulan
masa
kerja
dalam
Tidak tepat = 2
Netral =3
Tepat =4
Sangat Tepat = 5
Untuk
pernyataan
yang
bersifat berlawanan dengan
variabel maka pemberian kode
dibalik.
80
No
7
Variabel
Tidak setuju = 2
Netral =3
Setuju =4
Keterangan
Skor total 1-5
Semakin rendah skor
variabel tersebut maka
semakin berhubungan
dengan stress kerja
Sangat setuju = 5
Untuk
pernyataan
yang
bersifat berlawanan dengan
variabel maka pemberian kode
dibalik.
8
Kebisingan
Tidak Bising = 1
Bising = 2
Pencahayaan
Baik = 1
Buruk = 2
10
Suhu
Nyaman = 1
Tidak Nyaman = 2
11
Ventilasi
Baik = 1
Buruk = 2
12
Skor total 1 7
ketaksaan peran
Kurang tepat = 3
Tidak tepat = 4
Tepat = 5
Sangat tepat = 6
Sangat tepat sekali = 7
Untuk
pernyataan
yang
bersifat berlawanan maka
pemberian kode dibalik.
81
No
Variabel
13
Konflik
interpersonal,
Ketidakpastian
pekerjaan,
Kurangnya Kontrol,
Kurangnya
Kesempatan Kerja,
Jumlah
Beban
Kerja,
Variasi
Beban
Kerja,
Tanggung Jawab
terhadap
Pekerja
Lain, Kemampuan
yang
Tidak
Digunakan
Tidak setuju = 2
Tuntutan mental
Sangat setuju = 1
Agak setuju = 2
14
Netral =3
Setuju =4
Keterangan
Sangat setuju = 5
Pemberian kode ini juga
dilakukan untuk skala sangat
tidak yakin sangat yakin,
tidak pernah sangat sering,
dan sangat tidak tepat sangat
tepat.
Untuk
pernyataan
yang
bersifat berlawanan dengan
variabel maka pemberian kode
dibalik.
Shift Kerja
Tidak Shift = 1
Shift =2
16
Aktivitas di Luar Ya = 1
Pekerjaan
82
asumsi analisis multivariat yang terdiri dari lima tahap, antara lain:
1. Asumsi Eksistensi
Asumsi ini berkaitan dengan teknik pengambilan sampel. Cara
mengetahui asumsi ini yaitu dengan melakukan analisis
deskriptif
variabel
residual
dari
model.
Bila
residual
85
4. Asumsi Homoscedascity
Asumsi ini merupakan varian nilai varibel dependen sama untuk
semua nilai variabel independen. Untuk mengetahui asumsi ini
dilakukan dengan melakukan pembuatan plot residual. Bila titik
tebaran tidak berpola tertentu dan menyebar merata di garis titik
nol maka dapat disebut varian homogen pada setiap variabel
independen yang artinya asumsi ini terpenuhi. Bila titik tebaran
membentuk pola tertentu maka variannya diduga terjadi
heteroscedascity.
5. Asumsi Normalitas
Pada asumsi ini variabel dependen mempunyai distribusi normal
untuk setiap pengamatan variabel independen. Asumsi ini dapat
diketahui dari nilai normal P-P plot residual. Bila data menyebar
di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal maka
model regresi memenuhi asumsi normalitas (Amran, 2012).
Analisis ini dilakukan dengan memasukkan kandidat variabel yang
dianalisis secara multivariat. Kandidat variabel tersebut merupakan
variabel yang memiliki nilai Pvalue < 0,25. Selanjutnya setelah dianalisis
secara bersamaan maka variabel yang dapat masuk ke dalam model
multivariat hanya variabel yang memiliki nilai Pvalue 0,05. Proses
pengeluaran variabel yang memiliki Pvalue > 0,05 dilakukan satu persatu
hingga semua variabel memiliki Pvalue 0,05. Setelah itu, seluruh
variabel yang masuk ke dalam model analisis multivariat akan dilakukan
86
X : variabel independen
87
BAB V
HASIL
5.1 Gambaran Umum Perusahaan
5.1.1 Profil Perusahaan
PT X merupakan anggota dari Sablieres et Carriere Reunies (SCR)S yang berpusat di Belgia. didirikan pada tahun 1872 oleh Stanislas
Emsens. Oleh karena tingginya angka kebutuhan akan mineral terutama
silika maka SCR-S mengembangkan usahanya hingga ke beberapa negara
termasuk salah satunya Indonesia.
Pada bulan April tahun 1997 didirikanlah PT X yang masuk ke
dalam anggota regional Asia yang merupakan hasil kerja sama antara
UNIMIN Corporation (USA), SCR-S NV (Belgium) dan PT Lautan Luas
Tbk. (Indonesia). Hingga saat ini PT X yang berlokasi di Kawasan Industri
Jababeka I Cikarang Barat telah memiliki dua daerah penambangan yaitu
di Capkala (November 2003) sebagai tempat penambangan clay (tanah
liat) dan Belitung (April 2005) sebagai tempat penambangan silika. Untuk
cabang perkantoran dan pabrik pengolahan terdapat di dua tempat, yaitu
Cikarang yang merupakan tempat pengolahan silika dan feldspar serta di
Cikupa yang merupakan tempat pengolahan zircon. Kemudian pada bulan
Juli 2011, PT X mendapatkan sertifikasi ISO 9002:1994 Quality
Management System (QMS) dan pada bulan Agustus 2003 mendapatkan
ISO 9001;2000 oleh LRQA (Lioyds Register Quality Assurance) dari
badan sertifikasi Amerika Serikat. Selanjutnya sertifikasi ISO 14001
mengenai sistem manajemen lingkungan dan OHSAS 18001 mengenai
88
bukti
komitmen
mereka
dalam
mengutamakan
memuaskan
atau
melebihi
harapan
pelanggan
melalui
90
Mean SD
Min-Max
95% CI
Stress Kerja
1,42 0,37
0,71-2,6
1,33-1,51
69
91
Kategori
Perempuan
13
Laki-laki
60
87
Tidak Menikah
15
21,7
Menikah
54
78,3
Jenis Kelamin
Status Pernikahan
Mean SD
Min - Max
95% CI
Umur
33,09 6,09
20 - 48
31,62 33,09
69
Jumlah
Anak
1 0,91
0-3
0,71 1,15
69
Masa Kerja
71,64 57,94
2 - 200
57,72 85,56
69
Kepribadian
Tipe A
3,24 0,22
2,65 - 4
3,19 3,29
69
Penilaian
Diri
3,59 0,45
2,7 4,8
3,48 3,69
69
1. Jenis Kelamin
Berdasarkan tabel 5.2, didapatkan hasil bahwa dari jumlah pekerja
laki-laki yang menjadi responden pada penelitian ini lebih banyak
dibandingkan pekerja perempuan, yaitu sebanyak 60 responden (87 %)
dari 69 responden.
92
2. Status Pernikahan
Berdasarkan tabel 5.2, didapatkan hasil bahwa jumlah responden yang
telah berstatus menikah, yaitu sebanyak 54 responden (78,3 %) dari 69
responden.
3. Umur
Rata-rata umur responden, yaitu sebesar 33,09 tahun dengan tingkat
kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 31,62 33,09.
4. Jumlah Anak
Rata-rata jumlah anak yang dimiliki responden, yaitu sebesar 1 dengan
tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 0,71 1,15.
5. Masa Kerja
Rata-rata masa kerja yang telah dilalui oleh responden, yaitu sebesar
71,64 bulan dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai
57,72 85,56.
6. Kepribadian Tipe A
Rata-rata skor kepribadian tipe A yang dimiliki responden, yaitu
sebesar 3,24 dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang
nilai 3,19 3,29.
7. Penilaian Diri
Rata-rata skor penilaian diri terhadap diri responden, yaitu sebesar 3,59
dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 3,48 3,69.
5.2.3 Faktor Pekerjaan
Pendeskripsian faktor pekerjaan yang berkaitan dengan stress kerja
terdiri dari enam belas variabel, antara lain kebisingan, pencahayaan, suhu,
93
ventilasi,
konflik
peran,
ketaksaan
peran,
konflik
interpersonal,
Kategori
Bising
32
46,4
Tidak Bising
37
53,6
Buruk
17
24,6
Baik
52
75,4
Tidak Nyaman
38
55,1
Nyaman
31
44,9
Buruk
48
69,6
Baik
21
30,4
Shift
30
43,5
Tidak Shift
39
56,5
Kebisingan
Pencahayaan
Suhu
Ventilasi
Shift Kerja
94
Hasil Pengukuran
Sesuai standar
43
62,3
26
36,8
Sesuai standar
32
46,4
37
53,6
Sesuai standar
41
59,4
28
40,6
Sesuai standar
69
100
Sesuai standar
60
86,96
13,04
Kebisingan
Pencahayaan
Suhu
Kadar Debu
Ventilasi
95
Mean SD
Min - Max
95% CI
Konflik
Peran
3,56 0,83
1 - 5,62
3,36 3,76
69
Ketaksaan
Peran
2,48 0,73
1 5,33
2,3 2,66
69
Konflik
Interpersonal
2,27 0,63
1 3,94
2,12 2,42
69
Ketidakpastia
n Pekerjaan
2,7 0,91
1-5
2,48 2,92
69
Kurangnya
Kontrol
2,93 0,75
1 4,88
2,75 3,11
69
Kurangnya
Kesempatan
Kerja
3,29 0,8
1-5
3,09 3,48
69
Jumlah
Beban Kerja
3,26 0,38
2,55 4,45
3,17 3,35
69
Variasi
Beban Kerja
3,62 0,59
2-5
3,48 3,76
69
Tanggung
Jawab
terhadap
Pekerja Lain
2,96 1,06
1-5
2,7 3,21
69
Kemampuan
yang Tidak
Digunakan
2,55 0,81
1-5
2,36 2,74
69
Tuntutan
Mental
3,09 0,4
2,2 - 4
2,99 3,19
69
96
1. Kebisingan
Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden
berpendapat bahwa area kerja mereka tidak bising, yaitu sebanyak 37
responden (53,6 %). Adapun berdasarkan tabel 5.5, dari hasil
pengukuran kebisingan yang dilakukan, jumlah responden yang bekerja
pada area tidak bising yaitu sebanyak 43 responden (62,3 %).
2. Pencahayaan
Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden
berpendapat bahwa pencahayaan di area kerja mereka baik, yaitu
sebanyak 52 responden (75,4 %). Adapun berdasarkan hasil pengukuran
pencahayaan pada tabel 5.5 didapatkan bahwa jumlah responden yang
bekerja di area kerja dengan tingkat pencahayaan tidak sesuai standar
mencapai 37 responden (53,6 %).
3. Suhu
Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden
berpendapat bahwa suhu udara di area kerja mereka tidak nyaman, yaitu
sebanyak 38 responden (55,1 %). Sedangkan dari hasil pengukuran
suhu udara pada tabel 5.5 didapatkan hasil bahwa jumlah responden
yang bekerja di area kerja dengan suhu udara yang sesuai standar
mencapai 41 responden (59,4 %).
4. Ventilasi
Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden
berpendapat bahwa ventilasi di area kerja mereka buruk, yaitu sebanyak
48 responden (69,6 %). Adapun berdasarkan hasil pengukuran kadar
97
98
9. Ketidakpastian Pekerjaan
Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor
ketidakpastian pekerjaan yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar
2,7 dengan tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 2,48 2,92.
10. Kurangnya Kontrol
Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor kurangnya
kontrol yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 2,93 dengan tingkat
kepercayaan 95 % pada rentang skor 2,75 3,11.
11. Kurangnya Kesempatan Kerja
Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor kurangnya
kesempatan kerja yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 3,29
dengan tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 3,09 3,48.
12. Jumlah Beban Kerja
Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor jumlah
beban kerja yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 3,26 dengan
tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 3,17 3,35.
13. Variasi Beban Kerja
Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor variasi
beban kerja yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 3,62 dengan
tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 3,48 3,76.
14. Tanggung Jawab terhadap Pekerja Lain
Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor tanggung
jawab terhadap pekerja lain yang dimiliki oleh responden, yaitu
99
100
Mean SD
Min-Max
95% CI
Aktivitas di
Luar
Pekerjaan
2,19 1,17
0-5
1,91 2,47
69
Mean SD
Min-Max
95% CI
3,87 0,67
2,12 - 5
3,71 4,03
69
101
Kategori
Perempuan
Mean
SD
1,34
0,348
Jenis Kelamin
Laki-laki
Tidak
Status
Menikah
1,43
0,374
60
1,39
0,32
15
Pernikahan
Menikah
1,43
0,38
95% CI
Pvalue
-0,170,36
0,479
-0,170,26
0,726
54
102
Pvalue
Umur
0,034
0,784
Jumlah Anak
-0,063
0,607
Masa Kerja
-0,08
0,946
Kepribadian Tipe A
0,09
0,461
-0,323
0,007
Penilaian Diri
sebesar 1,39 dengan standar deviasi 0,32. Dari hasil uji statistik
didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,726 sehingga pada tingkat
kepercayaan 5 % berarti tidak terdapat hubungan antara status
pernikahan dengan stress kerja.
3. Hubungan Antara Umur Dengan Stress Kerja
Berdasarkan tabel 5.10 didapatkan hasil bahwa hubungan antara umur
dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola
positif artinya semakin bertambah umur maka akan semakin meningkat
tingkat stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik menunjukkan nilai
probabilitas sebesar 0,784 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak
terdapat hubungan antara umur dengan stress kerja.
4. Hubungan Antara Jumlah Anak Dengan Stress Kerja
Berdasarkan tabel 5.10 didapatkan hasil bahwa hubungan antara
jumlah anak dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang berpola
negatif. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,607
artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara
jumlah anak dengan stress kerja.
5. Hubungan Antara Masa Kerja Dengan Stress Kerja
Berdasarkan tabel 5.10 didapatkan hasil bahwa hubungan antara masa
kerja dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang berpola negatif.
Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,946 artinya
pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara masa
kerja dengan stress kerja.
104
munculnya
stess
kerja.
Faktor
pekerjaan
yang
dapat
konflik
peran,
ketaksaan
peran,
konflik
interpersonal,
105
pekerjaan dengan stress kerja pada pekerja di PT X seperti pada tabel 5.11
dan 5.12
Tabel 5.11 Hubungan Antara Kebisingan, Pencahayaan, Suhu,
Ventilasi, dan Shift Kerja Dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X
Tahun 2014
Variabel
Kebisingan
Pencahayaan
Suhu
Ventilasi
Shift Kerja
Kategori
Mean
SD
Bising
1,46
0,42
32
Tidak
Bising
1,38
0,32
37
Buruk
1,41
0,45
17
Baik
1,42
0,34
52
Tidak
Nyaman
1,5
0,43
38
Nyaman
1,32
0,26
31
Buruk
1,47
0,39
48
Baik
1,3
0,28
21
Shift
1,41
0,39
30
Tidak
Shift
1,42
0,35
95% CI
Pvalue
-0,25-0,1
0,392
-0,21-0,2
0,95
-0,35- 0,003
0,046
-0,35-0,03
0,09
-0,17-0,19
0,92
39
106
Pvalue
Konflik Peran
0,324
0,007
Ketaksaan Peran
0,245
0,043
Konflik Interpersonal
0,308
0,01
Ketidakpastian Pekerjaan
0,346
0,004
- 0,209
0,085
0,154
0,208
0,375
0,001
0,16
0,19
- 0,031
0,801
- 0,061
0,617
0,097
0,428
Kurangnya Kontrol
Tuntutan Mental
107
stress kerja.
7. Hubungan Antara Ketaksaan Peran Dengan Stress Kerja
Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara
ketaksaan peran dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang
lemah dan berpola positif artinya semakin bertambah ketaksaan peran
maka akan semakin meningkat tingkat stress kerja yang dialami. Hasil
109
terdapat
110
Pvalue
0,127
0,297
113
r
- 0,231
Pvalue
0,056
Variabel
Pvalue
Faktor Individual
Jenis Kelamin
0,479
Umur
0,784
Status Pernikahan
0,726
Jumlah Anak
0,607
Masa Kerja
0,946
Kepribadian Tipe A
0,461
Penilaian Diri
0,007
Faktor Pekerjaan
Kebisingan
0,392
Pencahayaan
0,95
Suhu
0,046
Ventilasi
0,09
Konflik Peran
0,007
Ketaksaan Peran
0,043
Konflik Interpersonal
0,01
115
Ketidakpastian Pekerjaan
0,004
Kurangnya Kontrol
0,085
0,208
0,001
0,19
0,801
0,617
Tuntutan Mental
0,428
Shift Kerja
0,92
0,297
Dukungan Sosial
0,056
116
Pvalue
4
5
0,118 0,125
6
0,143
7
0,071
8
-
Penilaian Diri
1
0,125
2
0,118
3
0,117
Suhu
0,106
0,103
0,1
0,102
0,097
0,102
0,05
0,026
Ventilasi
0,75
0,748
0,715
0,672
Konflik Peran
0,73
0,727
0,746
Ketaksaan Peran
0,979
0,08
0,068
0,054
0,038
0,033
0,036
0,049
0,011
0,622
0,616
0,588
0,6
0,618
0,167
0,161
0,16
0,167
0,184
0,211
0,011
0,01
0,006
0,006
0,006
0,005
0,008
0,001
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,052
0,049
0,044
0,042
0,04
0,044
0,047
0,038
0,875
0,873
Konflik
Interpersonal
Ketidakpastian
Pekerjaan
Kurangnya
Kontrol
Kurangnya
Kesempatan
Kerja
Jumlah Beban
Kerja
Variasi Beban
Kerja
Dukungan
Sosial
berhubungan
dengan
stress
keja,
yaitu
suhu,
konflik
117
R
Square
Pvalue
Partial
Correlation
0,171
0,277
0,156
0,315
0,171
0,404
0,623
0,482
-0,188
-0,258
Suhu
Konflik
Interpersonal
Kurangnya
Kesempatan
Kerja
0,621
Jumlah Beban
Kerja
Variasi Beban
Kerja
0,386
0,000
-1,117
4. Persamaan garis yang diperoleh dari hasil analisis ini adalah sebagai berikut:
Y = + x
Stress kerja = -1,117 + 0,171 (Suhu) + 0,156 (Konflik Interpersonal) + 0,171
(Kurangnya Kesempatan Kerja) + 0,623 (Jumlah Beban
Kerja) 0,188 (Variasi Beban Kerja)
Artinya dari persamaan garis tersebut, yaitu
a. Setiap kenaikan suhu sebesar 1oC maka stress kerja akan lebih besar
sebesar 0,171 kali.
b. Setiap bertambahnya konflik interpersonal yang terjadi maka stress kerja
akan lebih besar sebesar 0,156 kali.
c. Setiap semakin sedikitnya kesempatan kerja yang diberikan maka stress
kerja yang terjadi akan lebih besar sebesar 0,171 kali.
d. Setiap semakin banyaknya jumlah beban kerja yang diberikan maka
stress kerja yang terjadi akan lebih besar sebesar 0,623 kali.
e. Setiap penurunan variasi beban kerja maka stress kerja yang dialami
akan lebih rendah sebesar 0,188 kali.
5. Berdasarkan hasil partial correlation didapatkan hasil bahwa variabel yang
paling dominan berhubungan dengan peningkatan stress kerja adalah
variabel jumlah beban kerja.
119
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
1. Jumlah pertanyaan yang terlalu banyak dapat membuat responden merasa
kelelahan sehingga tidak fokus dalam mengisi kuesioner tersebut tetapi hal ini
telah ditangani dengan melakukan uji reliabilitas terlebih dahulu.
2. Kuesioner
yang
digunakan
menggunakan
tipe
self-report
sehingga
Secara umum, gejala stress kerja yang dialami seseorang dapat terlihat
dari berbagai perubahan, baik psikologis, fisiologis, dan perilaku (NIOSH,
1999b). Hasil penelitian mengenai gambaran stress kerja pada pekerja di PT X
tahun 2014 berada pada tingkat yang tidak terlalu tinggi. Berdasarkan hasil
distribusi frekuensi stress kerja yang dialami responden, nilai rata-rata skor
stress kerja dari seluruh responden yaitu sebesar 1,42 dengan nilai minimum
sebesar 0,71 dan nilai maksimum sebesar 2,6. Jika rata-rata skor stress kerja
yang didapatkan dibandingkan dengan median rata-rata total skor sebesar 2
maka rata-rata skor yang didapatkan dalam penelitian ini masih di bawah nilai
rata-rata total skor. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan tingkat stress
kerja yang dialami oleh para responden tidak terlalu tinggi.
Meskipun rata-rata tingkat stress kerja yang dialami para responden
cenderung tidak tinggi tetapi faktor-faktor yang melatarbelakangi peningkatan
tingkat stress kerja tersebut secara statistik terbukti berhubungan signifikan
dengan faktor pekerjaan. Dari hasil analisis yang telah dilakukan, terdapat lima
variabel yang masuk ke dalam model multivariat, yaitu suhu, konflik
interpersonal, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, dan variasi
beban kerja. Hal ini membuktikan bahwa pihak manajemen sebaiknya
melakukan langkah pencegahan dan pengendalian untuk dapat mengurangi
tingkat stress kerja yang dialami para pekerja mereka.
Stress kerja yang dialami para pekerja dapat berdampak jangka panjang
dengan munculnya berbagai gangguan kesehatan apabila tidak diatasi dengan
baik (Perlmutter & Villoldo, 2011). Berdasarkan hasil studi kohort yang
dilakukan pada populasi MONICA/KORA di Jerman menunjukkan bahwa
121
pekerja sehat yang mengalami paparan stress di tempat kerja secara signifikan
mengalami peningkatan tekanan darah dan menghadapi risiko penyakit jantung
dua kali lebih besar. Selain itu, dari penelitian ini juga ditemukan bahwa stress
akibat kerja dapat memicu dampak psikologis yang berbahaya, seperti depresi,
gangguan tidur, dan berbagai perilaku tidak sehat lainnya (Emeny, 2013).
Selain berdampak bagi kesehatan pekerja, stress kerja yang dialami oleh
para pekerja juga dapat berdampak bagi perusahaan. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan pada pekerja di Malaysia didapatkan hasil bahwa
stress kerja yang dialami para pekerja dapat berdampak besar pada kepuasan
kerja yang dirasakan para pekerja. Selain itu, kepuasan kerja ini yang kemudian
dapat meningkatkan terjadinya absenteisme dan turnover pekerja di suatu
perusahaan (Yahaya, Yahaya, Amat, Bon, & Zakariya, 2010). Pada penelitian
lainnya yang dilakukan pada pekerja sektor swasta dan negeri di Yunani
ditemukan bahwa meningkatnya stress kerja yang dialami para pekerja
berdampak secara signifikan terhadap menurunnya produktivitas perusahaan.
Hal ini dapat terjadi ketika pekerjaan yang mereka miliki sudah mulai
mengganggu kehidupan pribadi pekerja maka hal ini akan berdampak negatif
bagi produktivitas perusahaan (Halkos & Bousinakis, 2010).
6.3 Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan Stress Kerja
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan
stress di tempat kerja. Menurut ILO (2001), perempuan lebih berisiko
mengalami stress yang dapat berdampak pada timbulnya penyakit akibat stress
serta tingginya keinginan untuk meninggalkan pekerjaannya. Selain itu, respon
122
dilakukan oleh Hansson et al (2001) yang menemukan bahwa tingkat stress kerja
yang dialami oleh pekerja berumur tua biasanya cenderung rendah. Hal ini
dikarenakan pada pekerja berusia tua, mereka sudah cenderung lebih matang
sehingga memiliki kemampuan mengolah stress lebih baik dibandingkan dengan
pekerja berusia muda (Hansson, Robson, & Limas, 2001).
Meskipun berhubungan secara positif tetapi variabel umur tidak
berhubungan signifikan dengan variabel stress kerja. Hal ini dapat terjadi karena
faktor umur tidak mempengaruhi tingkat stress kerja yang dialami para pekerja
secara signifikan. Pekerja berumur tua cenderung mengalami stress yang lebih
tinggi akibat beban kerja dan tanggung jawab yang besar (Juneja, 2004). Pada
penelitian ini, faktor tanggung jawab dan beban kerja yang harus diemban oleh
pekerja tidak dipengaruhi oleh umur. Baik pekerja yang berusia muda maupun
tua memiliki beban kerja yang tidak berbeda sehingga variabel umur tidak
berpengaruh dengan tingkat stress kerja.
6.5 Hubungan Antara Status Pernikahan Dengan Stress Kerja
Status pernikahan dapat berpengaruh pada tingkat stress seseorang.
Individu yang berstatus menikah biasanya memiliki tingkat stress yang lebih
rendah dibandingkan dengan individu yang tidak menikah. Hal ini terjadi
dikarenakan apabila pekerja mendapat dukungan dalam karir dari pasangannya
maka stress kerja yang dialaminya akan cenderung karena adanya dukungan dari
pasangan (Fink, 2010). Akan tetapi, pengaruh status pernikahan terhadap stress
hanya akan berpengaruh positif apabila pernikahan tersebut berjalan dengan
baik.
126
Dari hasil penelitian ini, didapatkan hasil bahwa pekerja yang berstatus
menikah (78,3 %) lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang berstatus
tidak menikah (21,7 %). Status sebuah hubungan terhadap kesehatan merupakan
suatu hal yang penting. Akan tetapi, kualitas hubungan tersebut juga
berhubungan dengan kesehatan seseorang. Kebahagiaan sebuah pernikahan
merupakan salah satu cara memprediksi kebahagiaan secara global sehingga
dapat dikatakan bahwa pernikahan yang tidak bahagia akan menyebabkan stress
yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak menikah (Ogden,
2012).
Berdasarkan hasil analisis bivariat, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat
hubungan antara status pernikahan dengan stress kerja yang dialami para pekerja
di PT X. Hal ini terjadi dikarenakan rata-rata pekerja yang mengalami stress
kerja baik pada pekerja yang sudah menikah (1,43) maupun belum menikah
(1,39) juga tidak berbeda secara signifikan. Tingkat stress kerja yang cenderung
tidak berbeda ini dapat terjadi karena sama tingginya faktor pekerjaan baik pada
pekerja yang sudah menikah maupun belum menikah sehingga membuat kedua
kelompok pekerja tersebut memiliki tingkat stress kerja yang tidak jauh berbeda.
Hal ini yang kemudian mengakibatkan tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara status pernikahan dengan stress kerja.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
terhadap pekerja kesehatan dimana terdapat hubungan antara status pernikahan
dengan stress kerja. Pekerja yang berstatus menikah cenderung mengalami stress
lebih rendah dibandingkan dengan pekerja yang tidak menikah. Hal ini terjadi
dikarenakan pekerja yang berstatus menikah mendapatkan dukungan emosional
127
dari pasangannya yang tidak didapatkan oleh pekerja yang tidak menikah
sehingga stress kerja yang dialami cenderung lebih rendah (Olatunji & Mokuolu,
2014).
Dalam penelitian ini, tidak adanya hubungan antara status pernikahan
dengan stress kerja juga dapat disebabkan pada pekerja yang sudah menikah
dimana terdapat dukungan yang diberikan pasangan tidak terlalu berpengaruh
terhadap stress yang dialami akibat pekerjaannya. Sehingga tingkat stress kerja
baik pada pekerja yang berstatus menikah maupun tidak menikah tidak terlalu
dipengaruhi oleh adanya keberadaan pasangan.
6.6 Hubungan Antara Jumlah Anak Dengan Stress Kerja
Kehadiran anak dalam sebuah pernikahan dianggap sebagai penyatu
hubungan antara suami dan istri. Akan tetapi, di lain pihak kehadiran anak dalam
sebuah pernikahan dapat mengakibatkan menurunnya kepuasan pernikahan.
Menurunnya kepuasan pernikahan ini sebagai dampak adanya transisi menjadi
pasangan orang tua sehingga dapat menimbulkan perasaan stress. Hal ini
seringkali terjadi setelah kelahiran anak pertama (Shute, 2009).
Dari hasil penelitian ini, rata-rata jumlah anak yang dimiliki oleh para
pekerja berjumlah satu orang. Memiliki anak berarti bahwa pekerja memiliki
tugas tambahan untuk merawat anak mereka di rumah. Menurut Sonnentag
(2001), aktivitas merawat anak merupakan salah satu aktivitas dapat
mempengaruhi tingkat stress seseorang (Sonnentag, Perrewe, & Ganster, 2009).
Dalam beberapa keluarga, pertambahan jumlah anak dapat membuat tingkat
stress menjadi sangat tinggi (Vajdi, 1991).
128
dengan pekerja dengan masa kerja yang masih sedikit sehingga pekerja yang
memiliki masa kerja lebih lama akan mengalami stress yang lebih tinggi
(Harigopal, 1995).
Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel masa
kerja berhubungan negatif dengan stress kerja. Hasil penelitian ini berlawanan
dengan penelitian Frone (1998) yang menemukan bahwa semakin lama masa
kerja seseorang maka semakin tinggi stress kerja yang dialami seseorang. Hal ini
dikarenakan seseorang dengan masa kerja yang lama cenderung memiliki
pengalaman kerja yang baik sehingga memiliki tanggung jawab pekerjaan yang
lebih besar (Barling et al., 2005). Sedangkan pada penelitian ini, masa kerja
tidak berhubungan dengan stress kerja bisa terjadi dikarenakan besarnya
tanggung jawab yang diberikan kepada pekerja tidak tergantung pada masa
kerja. Pekerja baru maupun lama tidak memiliki perbedaan beban kerja yang
signifikan. Oleh karena itu, lama atau baru masa kerja pekerja tidak dapat
mempengaruhi tingkat stress kerja yang dialami pekerja di PT X.
6.8 Hubungan Antara Kepribadian Tipe A Dengan Stress Kerja
Individu yang memiliki kepribadian tipe A cenderung bersifat kompetitif,
ambisius, tidak sabar, agresif dan sangat kritis. Individu dengan tipe kepribadian
ini selalu berusaha mencapai tujuan mereka tanpa mempedulikan perasaan
bahagia dalam diri mereka. Individu yang memiliki tipe kepribadian ini
cenderung bereaksi secara berlebihan sehingga memiliki tekanan darah yang
tinggi. Selain itu, kepribadian tipe A juga membuat individu mudah marah
sehingga cenderung mengalami permusuhan dengan lingkungan di sekitarnya
(McLeod, 2011).
130
Dari hasil penelitian ini didapatkan rata-rata skor sebesar 3,24 dengan
nilai minimum sebesar 2,65 dan nilai maksimum sebesar 4. Jika dibandingkan
dengan total skor sebesar 1 5 maka rata-rata tersebut sudah melebihi nilai
median sebesar 2,5 sehingga rata-rata skor ini memiliki kecenderungan yang
tinggi. Seseorang yang memiliki kepribadian tipe A memiliki pola orientasi
untuk berprestasi dan berkompetisi, dan tidak sabar yang terlihat melalui sifat
agresif dan bermusuhan dengan orang lain. Menurut Maslach et al (2001)
kepribadian tipe A sangat berhubungan dengan kelelahan. Kepribadian tipe A
memicu ketidakberdayaan dan keputusasaan. Kepribadian tipe A dapat memicu
terjadinya stress kerja yang tinggi ketika kontrol terhadap pekerjaan rendah.
Pekerja dengan kepribadian tipe A cenderung mengambil tanggung jawab lebih
besar yang mengakibatkan beban kerja berlebih dan ketegangan secara
psikologis (Pestonjee & Pandey, 2013).
Berdasarkan hasil analisis bivariat, didapatkan hasil bahwa variabal
kepribadian tipe A berhubungan positif dengan stress kerja sehingga
peningkatan sikap yang berkaitan kepribadian tipe A akan semakin
meningkatkan stress kerja yang dialami. Meskipun demikian, variabel
kepribadian tipe A tidak berhubungan secara signifikan dengan stress kerja.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan guru sekola
di Haryana yang menunjukkan bahwa kepribadian tipe A dapat memicu
terjadinya burnout (Kumari, 2008). Selain itu dalam penelitian lainnya yang
dilakukan pada pekerja sektor swasta menemukan bahwa kepribadian tipe A
berhubungan stress kerja yang mengakibatkan timbulnya kelelahan dalam
bekerja (Aghaei, Asadollahi, Moezzi, Beigi, & Parvinnejad, 2013). Pada
131
diri
adalah
persepsi
individu
terhadap
kemampuan,
132
133
Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa jumlah pekerja yang
merasakan tempat kerja mereka bising (46,4%) lebih rendah dibandingkan
dengan pekerja yang merasakan bahwa tempat kerja mereka tidak bising (53,6
%). Akan tetapi, jika dibandingkan dengan hasil pengukuran kebisingan di
tempat kerja didapatkan hasil bahwa jumlah pekerja yang terpapar kebisingan
seharusnya hanya berjumlah 37,6%. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
pekerja yang seharusnya tidak terpapar kebisingan tetapi menganggap bahwa
tempat kerjanya bising. Karakteristik personal mempengaruhi respon seseorang
terhadap kebisingan yang dihadapinya. Seseorang yang menganggap tempat
kerja mereka bising biasanya memiliki perasaan yang mudah gelisah. Meskipun
demikian, kebisingan dapat diartikan berbeda pada setiap orang baik dari segi
intensitasnya, frekuensi mauun reaksinya tergantung dari pengalaman subjektif
yang pernah dirasakan orang tersebut (Sutherland & Cooper, 2010).
Berdasarkan hasil analisis bivariat didapatkan hasil bahwa kebisingan
tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan stress kerja yang dialami para
pekerja di PT X. Hal ini bisa terjadi dikarenakan jumlah responden yang
menganggap tempat kerja mereka bising lebih sedikit dibandingkan dengan
pekerja yang menganggap tempat kerja mereka tidak bising. Sehingga tidak
terlihat adanya pengaruh signifikan dengan adanya kebisingan terhadap stress
kerja yang terjadi. Oleh karena itu, sebaiknya pihak manajemen terus berupaya
untuk mengendalikan tingkat kebisingan yang terdapat di lingkungan kerja yang
diupayakan dengan melakukan pengendalian teknis untuk mencegah terjadinya
stress kerja akibat tingkat kebisingan yang tinggi.
134
135
karena itu, persepsi subjektif pekerja terhadap kondisi suhu udara di tempat
kerja merupakan hal yang penting. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan
mengontrol lingkungan fisik di tempat kerja dapat menjadi penyebab utama
timbulnya persepsi suhu udara yang tidak nyaman (Sutherland & Cooper,
2010).
Selain berhubungan signifikan dengan stress kerja, variabel suhu
merupakan salah satu variabel yang masuk ke dalam model multivariat. Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan pada perawat di
rumah sakit di Iran bahwa suhu udara yang nyaman berhubungan dengan
kualitas tidur yang baik (Azmoon, Dehghan, Akbari, & Souri, 2012). Penelitian
tersebut membuktikan bahwa suhu di tempat kerja dapat mempengaruhi
kondisi stress yang dialami seseorang.
Untuk mengatasi ketidaknyamanan pekerja karena suhu udara yang tidak
sesuai maka pihak manajemen sebaiknya melakukan langkah pengendalian
bagi pekerja. Langkah pengendalian yang dapat dilakukan yaitu berupa
penurunan suhu udara dan penyesuaian kualitas seragam. Bagi lokasi plant,
penurunan suhu udara dapat dilakukan dengan menggunakan ventilasi dilusi.
Ventilasi dilusi ini berfungsi untuk menyuplai dan mengeluarkan udara dalam
jumlah yang besar dalam suatu area bangunan yang biasanya menggunakan
bantuan fan. Selain itu, ventilasi dilusi ini juga dapat digunakan untuk
mengendalikan panas di dalam suatu bangunan. Pemasangan ventilasi dilusi ini
dapat digunakan untuk menurunkan suhu udara dengan cara menyeimbangkan
antara volume ruangan dengan kecepatan udara yang akan dialirkan (CCOHS,
2008). Dengan demikian suhu udara akan menurun serta dapat memberikan
138
emosi
negatif,
menurunkan
interaksi
interpersonal
dan
1.
2.
3.
4.
5.
responden yaitu sebesar 3,56 dengan nilai minimum 1 dan nilai maksimum
5,62. Jika dibandingkan dengan nilai median rata-rata total skor variabel
konflik peran yaitu sebesar 3,5 maka skor pada variabel ini sudah cenderung
tinggi karena sudah melebihi nilai median. Selain itu, nilai maksimum yang
dicapai pun sudah cenderung sangat tinggi. Hal ini membuktikan bahwa
konflik peran yang dialami para pekerja sudah cukup tinggi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan pada
pekerja di perusahaan industri skala kecil dan menengah di India dimana
konflik peran berperan dalam meningkatkan stress kerja yang dialami para
pekerja. Hal ini dapat terjadi ketika pekerja diharuskan memenuhi tuntutan
bertentangan peran yang mereka lakukan. Konflik peran tersebut kemudian
membentuk harapan yang berlebihan sehingga sangat sulit untuk dicapai dan
berujung pada munculnya stress yang dialami para pekerja (Vanishree, 2014b).
Konflik peran yang dialami oleh para pekerja dapat menimbulkan
dampak terutama dalam meningkatkan turnover pekerja dan menurunkan
performa kerja (Barling et al., 2005). Selain itu, dari hasil penelitian lainnya
juga menunjukkan bahwa konflik peran berpengaruh negatif terhadap kepuasan
142
kerja dan komitmen tetapi berhubungan secara signifikan dan positif terhadap
gangguan psikologis yang direfleksikan melalui kesehatan mental seseorang
(Dobreva-Martinova, Villeneuve, Strickland, & Matheson, 2002).
Dari hasil analisis bivariat didapatkan hasil bahwa konflik peran
berhubungan positif dengan stress kerja. Hal ini berarti peningkatan konflik
peran yang dirasakan para pekerja dapat meningkatkan tingkat stress kerja
yang mereka alami. Apabila konflik peran terjadi secara terus menerus dan
dibarengi ketidakmampuan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi maka
sangat mungkin menyebabkan kelelahan secara emosional yang dapat
mempengaruhi kesehatan dan performa kerja. Menurut Schwab (1981) dan
Kelloway dan Barling (1991), menyatakan bahwa konflik peran dapat
memprediksi terjadi kelelahan emosional secara signifikan. Konsekuensi lain
dari konflik peran, yaitu pengasingan diri, rendahnya privasi , frustasi, dan
burnout (Harigopal, 1995).
Meskipun variabel konflik peran memiliki kecenderungan skor yang
tinggi, tetapi variabel ini tidak berhubungan signifikan dengan stress kerja yang
dialami para pekerja di PT X. Hal ini dapat teradi karena dipengaruhi
perbedaan karakteristik sampel yang dapat dipengaruhi oleh budaya kerja yang
diimplementasikan di suatu negara. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan di berbagai negara, seperti Amerika, Norwegia, Turki yang
menunjukkan hasil berbeda-beda pada setiap negara tersebut (Perrewe &
Ganster, 2011).
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa variabel konflik peran
tidak berhubungan secara signifikan terhadap stress kerja. Meskipun demikian,
143
masih cenderung rendah. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketaksaan peran
yang dirasakan para pekerja cukup rendah. Rendahnya ketaksaan peran yang
dirasakan para pekerja dapat dipengaruhi oleh adanya dukungan sosial yang
baik dari supervisor maupun rekan kerja (Sutherland & Cooper, 2010). Dengan
adanya dukungan sosial yang baik dari lingkungan di sekitarnya sehingga para
pekerja mengetahui dengan baik mengenai pekerjaan yang mereka lakukan.
Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel
ketaksaan peran tidak berhubungan signifikan dengan stress kerja yang dialami
para pekerja di PT X tetapi keduanya berhubungan positif. Hal ini berarti
apabila terjadi peningkatan ketaksaan peran yang dirasakan para pekerja maka
akan semakin meningkatkan stress kerja yang dialami para pekerja. Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan terhadap para
manager industri manufaktur di Pakistan menemukan bahwa ketaksaan peran
berhubungan secara signifikan terhadap peningkatan stress kerja. Sehingga
semakin tinggi ketaksaan peran yang dirasakan maka akan semakin tinggi juga
tingkat stress kerja yang dialami. Hal ini kemudian berdampak pada
menurunnya potensi kerja mereka sebesar 80 % akibat stress kerja yang
dialami (Ram et al., 2011).
Ketaksaan peran memiliki konsekuensi yang hampir sama dengan
permasalahan konflik peran. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
konflik peran dan ketaksaan peran berdampak pada timbulnya stress kerja yang
mengakibatkan menurunnya kepuasan kerja dari anggota organisasi, rendahnya
konsentrasi, dan rendahnya kemampuan pengambilan keputusan ( (Vanishree,
2014a) dan (Anton, 2009)). Selain itu, konflik peran dan ketaksaan peran dapat
145
signifikan
dengan
stress
kerja.
Meskipun
memiliki
146
pekerjaan
berkaitan
dengan
ancaman
kehilangan
dapat tetap bekerja. Akan tetapi, di sisi lainnya secara tidak langsung dapat
menimbulkan kondisi stress atau ketidakpuasan dalam diri pekerja yang dapat
berdampak pada menurunnya produktivitas kerja.
Dalam penelitian ini, didapatkan nilai rata-rata skor sebesar 2,7 dengan
nilai minimum sebesar 1 dan nilai maksimum mencapai 5. Jika dibandingkan
dengan nilai median rata-rata total skor sebesar 2,5 maka skor tersebut sudah
melebih nilai median dan memiliki kecenderungan cukup tinggi. Selain itu,
rata-rata tingkat ketidakpastian pekerjaan yang dirasakan oleh para pekerja
cenderung lebih tinggi pada pekerja yang berstatus pekerja tetap (2,77)
dibandingkan dengan pekerja tidak tetap (2,43). Hal ini menunjukkan bahwa
meskipun pekerja telah berstatus sebagai pekerja tetap tetapi keyakinan para
pekerja terhadap masa depan karir mereka di perusahaan ini cenderung rendah.
Menurut Filipkowski dan Johnson (2008), ketidakpastian pekerjaan yang
dirasakan para pekerja dapat menyebabkan rendahnya komitmen pekerja
terhadap organisasi dan meningkatkan turnover pekerja (Perrewe & Ganster,
2011). Bagi para pekerja, ketidakpastian pekerjaan mereka di masa depan dapat
dinilai sebagai ancaman karena hal ini memiliki konsekuensi yang serius yaitu
dapat mengubah kehidupan seseorang secara drastis dan merubah gaya hidup
secara tidak terduga (Perrewe & Ganster, 2010).
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara ketidakpastian pekerjaan dengan stress kerja yang dialami
para pekerja di PT X. Akan tetapi, kedua variabel tersebut saling berhubungan
secara positif yang berarti apabila terjadi ketidakpastian pekerjaan yang terjadi
semakin tinggi maka akan menghasilkan tingkat stress kerja yang lebih tinggi
150
juga. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan pada
pekerja dimana hasilnya menunjukkan bahwa ketidakpastian pekerjaan
berhubungan signifikan dalam meningkatkan absenteisme pekerja (Chirumbolo
& Areni, 2005). Selain itu, hasil penelitian pada pekerja di rumah sakit juga
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara ketidakpastian
pekerjaan
dengan
stress
kerja
(Zyl,
Eeden,
&
Rothmann,
2013).
(ILO,
2012).
Dengan
demikian,
setelah
dilakukan
langkah
melewati nilai median sebesar 2,5. Hal ini menunjukkan bahwa variabel ini
memiliki kecenderungan yang cukup tinggi dalam memberikan kebebasan
kepada para pekerja untuk melakukan kontrol terhadap pekerjaan yang mereka
miliki.
Kurangnya kesempatan pekerja untuk mengontrol pekerjaan yang mereka
miliki merupakan salah satu faktor yang berkontribusi penting terhadap
munculnya stress dan gangguan kesehatan yang dialami pekerja (Karwowski,
2006). Menurut Newton dan Jimmieson (2008), dengan memberikan
kesempatan kepada para pekerja untuk mengontrol pekerjaan yang mereka
lakukan maka hal ini akan membantu mengurangi stress yang berkaitan dengan
pekerjaannya. Kesempatan yang diberikan kepada para pekerja dapat
meningkatkan
kemudahan
bagi
para
pekerja
dalam
menyelesaikan
beban kerja yang membebani para pekerja sehingga kesempatan para pekerja
untuk mengontrol pekerjaan yang mereka miliki saat ini masih belum mampu
membantu mereka dalam mengurangi perasaan stress yang mereka alami.
Pekerja yang memiliki beban kerja tinggi yang tidak disertai kemampuan untuk
mengontrol pekerjaan dengan baik akan memiliki risiko untuk mengalami
kematian penyakit jantung atau penyakit yang berhubunngan dengan peredaran
darah (Byrne & Rosenman, 1990).
Meskipun variabel ini sudah memiliki kecenderungan yang baik, tetapi
sebaiknya pihak manajemen tetap memastikan bahwa setiap pekerja memiliki
kontrol yang baik terhadap pekerjaan yang mereka lakukan. Langkah
pengendalian yang dapat dilakukan berupa melibatkan pekerja dalam
pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kondisi pekerjaan, cara
melakukan pekerjaan harus disesuaikan dengan kemampuan mereka bekerja,
dan libatkan para pekerja untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi
sehingga partisipasi pekerja meningkat (ILO, 2012). Keterlibatan pekerja ini
dapat dilakukan ketika pelaksanaan rapat perencanaan, pelaksanaan maupun
evaluasi kerja. Dengan menjamin bahwa kontrol terhadap pekerjaan dapat
dilakukan dengan baik maka hal ini dapat mencegah terjadinya stress kerja
akibat kurangnya kontrol pekerja terhadap pekerjaan yang mereka lakukan.
6.19 Hubungan Antara Kurangnya Kesempatan Kerja Dengan Stress Kerja
Kurangnya kesempatan kerja yang tersedia dapat menjadi suatu masalah
besar bagi individu. Hal ini dikarenakan kurangnya lapangan pekerjaan yang
tersedia dapat memicu terjadinya stress. Ini dapat terjadi dikarenakan
munculnya
individu terhadap
kemungkinan
154
155
meningkatkan perilaku konsumsi alkohol dan rokok, serta depresi dan stress
(Eurofound, 2010).
Selain itu, berdasarkan hasil analisis multivariat, variabel kurangnya
kesempatan kerja merupakan salah satu variabel yang masuk ke dalam model
multivariat. Hal ini dapat terjadi karena rendahnya keyakinan para pekerja
untuk bisa mendapatkan kesempatan bekerja dan ketersediaan lowongan
pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan mereka di tempat lain. Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Warr (1983)
yang menunjukkan bahwa perasaan khawatir akibat kurangnya lapangan
pekerjaan dapat memicu terjadinya gangguan kesehatan mental, ketidakstabilan
emosi, dan kecemasan. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Cobb dan
Kasl (1977) menunjukkan bahwa meskipun seorang pekerja telah berusaha
mengantisipasi kemungkinan sulitnya mendapatkan pekerjaan lagi maka hal
tersebut tetap dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya depresi dan
perasaan gelisah (L. B. Singh, 2006).
Selain berdampak menimbulkan sejumlah gangguan kesehatan dan
stress, kekhawatiran pekerja terhadap kurangnya kesempatan kerja juga dapat
berdampak pada munculnya stress kronis jika terjadi secara terus menerus
(Heaney, Israel, & House, 1994). Menurut Vuuren (1990), perasaan khawatir
yang terus dirasakan pekerja dapat membahayakan kesejahteraan dan
kesehatan pekerja. Seorang pekerja yang mengalami dua kekhawatiran dalam
waktu yang bersamaan akan memiliki tingkat kesejahteraan yang buruk.
Selain merugikan bagi pekerja, kekhawatiran yang dialami pekerja juga
dapat berdampak buruk bagi perusahaan. Kekhawatiran yang dirasakan para
156
dominan berpengaruh terhadap stress kerja yang dialami para pekerja. Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Margolis et al (1974), jumlah
beban kerja secara signifikan berkaitan dengan munculnya sejumlah gejala
stress, seperti rendahnya motivasi kerja, rendahnya penghargaan diri, tingginya
absenteisme, serta perilaku minum alkohol (Rose, 1994). Selain itu, dalam
penelitian lainnya yang dilakukan de Jonge et al (2000) menemukan bahwa
tingginya beban kerja secara signifikan berhubungan dengan timbulnya
ketidakpuasan dalam bekerja, gangguan emosional, tingkat depresi yang tinggi,
dan munculnya sejumlah gejala psikosomatis (Koradecka, 2010). Sehingga
secara umum, hasil penelitian ini sejalan dengan teori stress kerja dan
penelitian terdahulunya.
Jumlah beban kerja merupakan variabel yang paling dominan
berpengaruh terhadap stress kerja yang dialami para pekerja di PT X. Secara
statistik, peningkatan beban kerja ini akan semakin meningkatkan stress kerja.
Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah pengendalian stress kerja yang saat
ini dialami oleh para pekerja. Langkah pengendalian ini dapat dilakukan
dengan cara mendesain ulang pekerjaan. Desain ulang pekerjaan ini dilakukan
159
untuk mengatur jumlah beban kerja yang diberikan kepada para pekerja serta
menyesuaikannya dengan kemampuan fisik dan mental yang dimiliki pekerja.
Selain itu, melalui desain ulang pekerjaan ini juga dapat memberi kesempatan
bagi pekerja untuk berdiskusi mengenai penyelesaian pekerjaan yang dapat
mereka lakukan. Dengan melakukan desain ulang pekerjaan ini maka bisa
tercipta prosedur dan ekspektasi yang jelas antara atasan dengan bawahannya
(Borkowski, 2011). Pengaturan jumlah beban kerja juga harus disertai dengan
perencanaan deadline yang bersifat realistis untuk dicapai dan baik bagi
kesejahteraan dan produktivitas pekerja (ILO, 2012). Pengaturan jumlah beban
kerja ini harus dilakukan saat perencanaan pekerjaan oleh atasan terhadap
bawahan mereka baik manajer terhadap supervisor maupun supervisor terhadap
pekerja.
6.21 Hubungan Antara Variasi Beban Kerja Dengan Stress Kerja
Variasi beban kerja yang beragam dapat menimbulkan stress bagi pekerja
ketika
mereka
merasa
tidak
mampu
melaksanakan
tugas
tersebut.
dapat
yang didapatkan pada variabel ini sudah cenderung tinggi karena melebihi nilai
median tersebut. Hal ini dapat terjadi dikarenakan pekerja seringkali
mengalami penambahan beban kerja yang disertai kebutuhan untuk lebih
berkonsentrasi dan berpikir lebih mendalam tetapi pekerja tidak mampu
menyelesaikan beban kerja tersebut dengan baik. Variasi beban kerja sebagai
salah satu sumber stress juga berhubungan signifikan terhadap penilaian diri
yang rendah akibat ketidakmampuannya mengerjakan pekerjaan yang dimiliki
pekerja tersebut (Rose, 1994).
Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel variasi beban kerja
berhubungan positif dan signifikan terhadap stress kerja. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Caplan et al (1975) pada 23
negara menemukan bahwa tingginya kompleksitas pekerjaan akan semakin
meningkatkan gejala depresi pada pekerja (Koradecka, 2010). Dalam penelitian
lain yang dilakukan terhadap pekerja manufaktur di Jepang menunjukkan hal
yang sama bahwa variasi beban kerja yang tinggi berhubungan secara
signifikan terhadap peningkatan gejala depresi baik pada pekerja laki-laki
maupun perempuan. Hasil penelitian ini kemudian menyarankan agar
dilakukan perubahan terhadap iklim tempat kerja untuk meningkatkan nilai
kesehatan para pekerja (Ikeda et al., 2009).
Berdasarkan hasil analisis multivariat, variabel variasi beban kerja
merupakan salah satu variabel yang masuk ke dalam model multivariat. Hasil
analisis multivariat yang dilakukan menunjukkan bahwa peningkatan variasi
beban kerja dapat menurunkan tingkat stress kerja yang dialami para pekerja.
Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya kebosanan yang dirasakan oleh para
161
pekerja akibat beban kerja yang kurang beragam. Kebosanan merupakan salah
satu potensi stress yang dapat menyebabkan ketidakpuasan bekerja. Salah satu
cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kebosanan yaitu dengan mengubah
karakteristik pekerjaan agar lebih menstimulasi, menantang, dan berarti bagi
pekerja (Dewe, O'Driscoll, & Cooper, 2010).
Salah satu cara yang dapat dilakukan pihak manajemen untuk
meningkatkan variasi beban kerja, yaitu dengan cara memperkaya pekerjaan.
Memperkaya pekerjaan dilakukan dengan mendesain ulang pekerjaan agar
sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki pekerja. Proses
mendesain ulang ini akan membantu pekerja mengurangi stress yang
dirasakannya akibat variasi beban kerja yang dianggap kurang serta
menghilangkan kebosanan pekerja akibat beban kerja yang terlalu monoton.
Pengaturan jumlah beban kerja ini harus dilakukan saat perencanaan pekerjaan
oleh atasan terhadap bawahan mereka baik manajer terhadap supervisor
maupun supervisor terhadap pekerja. Dengan peningkatan variasi beban kerja
yang baru nantinya dapat meningkatkan motivasi dan tantangan terhadap tugas
yang dihadapi sehingga pekerja memiliki tingkat variasi beban kerja yang
beragam (H. Singh, 2009).
6.22 Hubungan Antara Tanggung Jawab Terhadap Pekerja Lain Dengan Stress
Kerja
Tanggung jawab merupakan sumber stress yang berasal dari peranan
dalam organisasi. Tanggung jawab dalam pekerjaan terbagi menjadi dua, yaitu
tanggung jawab terhadap benda dan tanggung jawab terhadap orang lain.
Memegang tanggung jawab terhadap orang lain secara signifikan dapat
162
dengan baik tetapi hal ini bukan merupakan suatu hal yang menyebabkan
terjadinya stress. Akan tetapi, terdapat faktor pekerjaan lainnya yang dapat
menimbulkan terjadinya stress.
6.24 Hubungan Antara Tuntutan Mental Dengan Stress Kerja
Tuntutan mental merupakan sumber stress yang signifikan terutama pada
pekerjaan yang menuntut interaksi secara langsung dengan klien perusahaan
khususnya pada sektor jasa. Pekerjaan yang mengharuskan berinteraksi dengan
orang lain memiliki banyak sumber emosi yang bersifat negatif, seperti
kesedihan, mudah marah, tidak sabar, dll. Secara umum, standar yang
diterapkan perusahaan pasti menuntut pekerjanya untuk selalu bersikap ramah
terhadap klien yang dihadapi. Akan tetapi, hal ini bukanlah suatu perkara yang
mudah untuk dilakukan seorang pekerja (Koradecka, 2010).
Dari hasil penelitian ini didapatkan rata-rata tuntutan mental yang
dirasakan pekerja yaitu sebesar 3,09 dengan nilai minimum 2,2 dan nilai
maksimum 4. Jika dibandingkan dengan nilai total skor antara 1 4 maka ratarata skor tersebut sudah melewati nilai median sebesar 2. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa rata-rata skor pada variabel ini memiliki kecenderungan
yang tinggi. Beban kerja berlebih yang dimiliki pekerja dapat menyebabkan
kurangnya waktu kerja serta sulitnya bagi pekerja untuk mencapai sasaran
organisasi. Beban kerja yang disertai dengan tuntutan mental dapat
menyebabkan terjadinya stress bahkan burnout. Ketika tuntutan mental yang
dihadapi pekerja dalam jumlah yang besar maka mereka akan mengalami
frustasi. Menurut Dean Jeffrey Klepfer, frustasi dapat menyebabkan
166
Tuntutan mental
sesuai, pelarangan konsumsi alkohol dan obat terlarang (Stranks, 2005), serta
diupayakan agar pekerja berusia tua tidak bekerja secara shift lagi karena
pekerja berusia tua lebih berisiko mengalami masalah gangguan sirkadian
dibandingkan pekerja berusia muda (Barling et al., 2005).
6.26 Hubungan Antara Aktivitas di Luar Pekerjaan Dengan Stress Kerja
Aktivitas di luar pekerjaan juga dapat berpengaruh dalam menimbulkan
kondisi stress bagi seorang pekerja. Pada semua model stress kerja, aktivitas di
luar pekerjaan diakui sebagai salah satu sumber stress bagi pekerja. Aktivitas di
luar pekerjaan yang dapat mempengaruhi kondisi stress sangat beragam, seperti
masalah keuangan, pernikahan, kehidupan sosial, anak, dsb. Sumber stress
yang berasal dari aktivitas di luar pekerjaan dapat memperburuk kondisi stress
yang dialami pekerja akibat aktivitas pekerjaannya. Oleh karena itu,
menghilangkan sumber stress dari aktivitas di luar pekerjaan sebaiknya
dilakukan. Hal ini dilakukan untuk mencegah menurunnya kepuasan kerja
seseorang serta menghambat perkembangan reaksi stress dari sumber yang
telah didapat ketika bekerja (Hurrell, 1990).
Dari hasil penelitian ini, rata-rata skor aktivitas di luar pekerjaan sebesar
2,19 dengan nilai minimum sebesar 0 dengan nilai maksimum sebesar 5. Jika
dibandingkan dengan total skor antara 0 -7 maka rata-rata skor pada variabel
ini belum melebihi nilai median sebesar 3,5 sehingga memiliki kecenderungan
yang rendah. Stress yang terjadi di tempat kerja juga dapat dipengaruhi oleh
tuntutan di luar pekerjaan. Tuntutan di luar pekerjaan dapat berasal dari
keluarga maupun tuntutan seseorang terhadap dirinya sendiri. Sama seperti
stress kerja yang dapat mempengaruhi kehidupan keluarga, maka tuntutan di
170
maka pekerja tidak akan mungkin mendapatkan tindakan yang tidak adil.
Selain itu, jika dalam lingkungan kerja banyak terdapat sumber stress,
dukungan sosial bisa menjadi penahan dampak negatif sumber stress yang
terdapat di lingkungan tersebut (Koradecka, 2010).
Dalam penelitian ini, rata-rata skor dukungan sosial yang didapatkan oleh
para responden, yaitu sebesar 3,87 dengan nilai minimum sebesar 2,12 dan
nilai maksimum sebesar 5. Jika dibandingkan dengan nilai total skor sebesar 15 maka skor yang didapatkan dalam penelitian ini sudah melebihi nilai median
total skor. Sehingga dapat dikatakan bahwa dukungan sosial yang didapatkan
oleh para responden di tempat kerja sudah cukup baik.
Dukungan sosial sangat baik dalam melindungi pekerja dari kondisi
stress akibat pekerjaan. Dukungan sosial dapat mempengaruhi kesehatan
seseorang dengan melindunginya dari berbagai dampak negatif akibat stress
kerja yang tinggi. Selain itu, deukungan sosial sangat membantu seseorang
untuk dapat mengatasi keadaan stress yang dialaminya. Dukungan sosial
bekerja dengan dua cara, yaitu seseorang yang terpapar stress kerja tinggi tetapi
memiliki dukungan sosial baik maka akan lebih menganggap keadaan stress
yang dialaminya sebagai suatu hal yang biasa saja dibandingkan dengan orang
lain yang hanya memiliki dukungan sosial yang rendah. Cara yang kedua, yaitu
dukungan sosial dapat mengubah respon seseorang terhadap keadaan stress
yang dialaminya. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh House (1981) yang mengukur mengenai jumlah dukungan sosial yang
diterima dari supervisor, rekan kerja, keluarga, dan teman. House menemukan
bahwa pekerja yang mendapat dukungan sosial dari supervisor dan rekan kerja
172
akan merasakan stress yang lebih rendah. Sedangkan dukungan sosial dari
keluarga atau teman hanya memiliki dampak yang kecil atau bahkan tidak
memiliki dampak sama sekali (Rout, 2002). Selain itu, dalam mengatasi stress
yang dialami seseorang, dukungan sosial dapat berfungsi sebagai tiga hal, yaitu
efek pencegahan, efek penyembuhan, dan efek moderating (Rossi, Perrewe, &
Sauter, 2006).
Meskipun rata-rata skor yang didapatkan pada variabel ini sudah cukup
baik, tetapi secara statistik menunjukkan bahwa dukungan sosial tidak
memiliki hubungan yang signifikan dengan stress kerja yang dialami oleh para
pekerja di PT X. Hal ini menunjukkan bahwa hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan teori yang menyatakan bahwa beban kerja yang tinggi jika disertai
dengan dukungan sosial yang baik maka mampu mencegah dampak stress yang
dialami oleh seseorang (Kato, 2008). Hal ini dapat terjadi dikarenakan
dukungan sosial yang dimiliki oleh para pekerja tidak mampu mengurangi
perasaan stress yang diakibatkan tingginya faktor pekerjaan, seperti jumlah
beban kerja yang tinggi, konflik interpersonal, dan kurangnya kesempatan
kerja. Meskipun dalam teori lainnya dikatakan bahwa rendahnya dukungan
sosial lebih berisiko meningkatkan depresi dibandingkan dengan faktor
lainnya, seperti konflik peran, ketaksaan peran dan rendahnya partisipasi. Akan
tetapi dalam penelitian ini, dukungan sosial yang baik sekalipun tidak mampu
menurunkan stress kerja yang dialami para pekerja akibat tingginya faktor
pemicu stress yang berasal dari faktor pekerjaan. Selain itu, berdasarkan
penelitian terdahulu juga ditemukan pengaruh karakteristik pekerjaan yang
dapat mempengaruhi hasil penelitian sehingga pada penelitian ini tidak
173
terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan stress kerja. Selain itu, pada
beberapa studi terdahulu juga tidak ditemukan hubungan antara dukungan
sosial dengan stress kerja khususnya ketika dilakukan analisis regresi pada
kedua variabel tersebut (Rossi et al., 2006).
Dari hasil penelitian ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa
dukungan sosial yang tercipta di lingkungan kerja sudah baik. Oleh karena itu,
lingkungan sosial yang baik ini sebaiknya tetap terjaga untuk mencegah
timbulnya stress kerja. Dukungan sosial yang baik dapat berupa hubungan
yang harmonis antara manajemen dan pekerja, saling memberikan dukungan
terhadap sesama pekerja, serta meningkatkan aktivitas sosial dan rekreasi untuk
menjaga hubungan yang baik antar pekerja.
174
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap pekerja di PT X dapat
disimpulkan bahwa:
1.
Rata-rata tingkat stress kerja yang dialami oleh responden, yaitu sebesar
1,42.
2.
3.
175
5.
6.
7.
177
8.
Tidak ada hubungan antara faktor aktivitas di luar pekerjaan dengan stress
kerja pada pekerja di PT X 2014.
9.
Tidak ada hubungan antara faktor dukungan sosial dengan stress kerja
pada pekerja di PT X 2014.
10. Faktor yang masuk model akhir multivariat, yaitu jumlah beban kerja,
kurangnya kesempatan kerja, konflik interpersonal, suhu, dan variasi
beban kerja dengan faktor yang paling dominan berhubungan yaitu faktor
jumlah beban kerja.
7.2 Saran
7.2.1 Bagi Perusahaan
1. Mendesain ulang pekerjaan untuk menyesuaikan antara jumlah beban
kerja dengan kemampuan pekerja, mendiskusikan cara penyelesaian
pekerjaan bersama dengan pekerja, dan perencanaan deadline
pekerjaan yang realistis serta memperkaya jenis pekerjaan yang
dilakukan pekerja sehingga variasi beban kerja yang dimiliki menjadi
beragam dan pekerja terhindar dari kebosanan kerja. Desain ulang ini
dapat dilakukan pada tahap perencanaan pekerjaan dan dilakukan baik
oleh pihak atasan dan bawahan (manajer dengan supervisor atau
supervisor dengan pekerja).
2. Melakukan komunikasi yang efektif secara rutin setiap meeting
mingguan tiap departemen untuk mendiskusikan masalah yang terjadi
di dalam departemen serta menerapkan strategi konflik dengan cara
kompromi atau menggunakan peraturan untuk menyelesaikan konflik
interpersonal antar pekerja.
178
pergantian
udara
secara
alamiah
dan
melakukan
179
tanggung jawab
yang harus
diemban
dan
berusaha
180
2.
181
DAFTAR PUSTAKA
Afrianti, R., Widyahening, I. S., Amri, Z., & Kusumawardhani, A. (2011). Stressor
Kerja dan Insomnia pada Petugas Pemadam Kebakaran di Jakarta Selatan.
Journal Indonesia Medical Association, 61(12).
Aghaei, M., Asadollahi, A., Moezzi, A. D., Beigi, M., & Parvinnejad, F. (2013). The
Relation Between PersonalitY Type, Locus of Control, Occupational
Satisfaction and Occupational Exhaustion and Determining the Effectiveness
of Stress Innoculation Training (SIT) on Reducing it among Staffers of Saipa
Company. Journal of Recent Science, 2(12), 6-11.
AIS. (2013). Workplace Stress. http://www.stress.org/workplace-stress/
Ajala, E. M. (2012). The Influence of Workplace Environment on Workers Welfare,
Performance and Productivity. African Educational Research Network, 12(1).
Aldwin, C. M. (2007). Stress, Coping, and Development: An Integrative Perspective.
United States of America: The Guilford Press.
Amran, Y. (2012). Pengolahan dan Analisis Data Statistik di Bidang Kesehatan.
Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Aneshensel, C. S., Phelan, J. C., & Bierman, A. (2013). Handbook of the Sociology
of Mental Health. New York: Springer Science.
Anismasahun, & Oladeni. (2012). Effects of Length of Marriage and Number of
Children on Marital Satisfaction Among Baptist Couples in Lagos State,
Nigeria. International Journal of Current Research, 4, 163-171.
182
Anton. (2009). The Impact of Role Stress on Workers Behavior Through Job
Satisfaction
and
Organizational
Commitment.
International
Journal
M.
(2005).
Stress in the Workplace: A General Overview of the Causes, the Effects, and
the Solution. http://www.cmhanl.ca/pdf/Work%20Place%20Stress.pdf
Bizymoms. (2013). The Lack of Job Opportunities. http://www.bizymoms.com/jobcareer/lack-of-job-opportunities.html
Borkowski, N. (2011). Organizational Behavior in Health Care. United States of
America: Jones and Barlett Publishers.
183
Burgard, S. A., Kalousova, L., & Seefeldt, K. S. (2012). Perceived Job Insecurity and
Health: The Michigan Recession and Recovery Study. Journal of
Occupational and Environmental Medicine, 54(9), 1101-1106.
Byrne, D. G., & Rosenman, R. H. (1990). Anxiety and the Heart. United States of
America: Hemisphere Publishing Corporation.
Cardwell, M., & Flanagan, C. (2005). Psychology AS
Casper,
J.
(2014).
Stress
Response
Ability.
http://nutritionalbalancing.org/center/htma/conditions/articles/distress.php
CCOHS.
(2008).
Industrial
Ventilation.
http://www.ccohs.ca/oshanswers/prevention/ventilation/introduction.html
CDC. (2004). Worker Health Chartbook. Columbia: Department of Health and
Human Services.
Chirumbolo, A., & Areni, A. (2005). The Influence of Job Insecurity on Job
Performance and Absenteeism: The Moderating Effect of Work Attitudes.
Journal of Industrial Psychology, 31(4), 65-71.
CMHA.
(2014).
Children
and
the
Stress
of
Parenting.
http://www.cmha.ca/mental_health/the-stress-of-parenting/#.U15CD_mSxnY
Cooper, C. L. (2013). From Stress to Wellbeing. New York: Palgrave Macmillan.
Crandall, R., & Perrewe, P. L. (1995). Occupational Stress: A Handbook. United
States of America: Taylor & Francis.
Desy. (2002). Tingkat Stress Kerja dan Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Stress Kerja pada Karyawan Bagian Marketing Services PT Unilever
Indonesia Tbk Jakarta Tahun 2002. Universitas Indonesia, Depok.
184
Dewe, P. J., O'Driscoll, M. P., & Cooper, C. L. (2010). Coping wth Work Stress: A
Review and Critique. United Kingdom: John Wiley & Sons Ltd.
Dobreva-Martinova, T., Villeneuve, M., Strickland, L., & Matheson, K. (2002).
Occupational Role Stress in the Canadian forces: Its association with
Individual and Organizational Well-Being. Canadian Journal of Behavioural
Science, 34(2), 111-121.
Dollard, M. F., Winefield, A. H., & Winefield, H. R. (2003). Occupational Stress in
the Service Professions. New York: Taylor & Francis Ltd.
Edelmann, R. J. (2000). Interpersonal Conflicts At Work. India: Universities Press.
Emeny, R. (2013). Workplace Stress Poses Risk to Health. Brain, Behavior, and
Immunity and Psychosomatic Medicine.
Eurofound. (2010). Work Related Stress
Fink, G. (2010). Stress Consequences: Mental, Neuropsychological, and
Socioeconomic. United Kingdom: Elsevier.
Firmana, A. S., Firmana, W. H., & Hariyono, W. (2011). Hubungan Shift Kerja
Dengan Stres Kerja Pada Karyawan Bagian Operation PT Newmon Nusa
Tenggara di Kabupaten Sumbawa. Kesehatan Masyarakat, 5.
Fitri, A. M. (2013). Analisis Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian
Stress Kerja Pada Karyawan Bank. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2.
Flin, R. H., O'Connor, P., & Crichton, M. (2008). Safety at the Sharp End: A Guide
to Non-technical Skills. United States of America: Ashgate Publishing
Limited.
185
Forbes. (2012). The Key to Economic Growth: Reduce The Unemployment Rate.
http://www.forbes.com/sites/mikepatton/2012/08/27/the-key-to-economicgrowth-reduce-the-unemployment-rate/
Gatchel, R. J., & Schultz, I. Z. (2012). Handbook of Occupational Health and
Wellness. New York: Springer.
Golubic, R., Milosevic, M., Knezevic, B., & Mustajbegovic, J. (2009). Work-related
Stress, Education, And Work Ability Among Hospital Nurses. Journal of
Advanced Nursing, 65(10), 2056-2066.
Gryna, F. M. (2004). Work Overload: Redesigning Jobs to Minimize Stress and
Burnout. United States of America: Quality Press.
Halkos, G., & Bousinakis, D. (2010). The Effct of Stress and Satisfaction on
Productivity. International Journal of Productivity and Performance
Management, 59(5), 415-431.
Hansson, R., Robson, S., & Limas, M. (2001). Stress and Coping Among Older
Workers. NCBI, 17(3), 247-256.
Hardy, S., Carson, J., & Thomas, B. (1998). Occupational Stress: Personal and
Professional Approaches. United Kingdom: Stanley Thornes Ltd.
Harigopal, K. (1995). Organizational Stress: A Study of Role Conflict
Heaney, C. A., Israel, B. A., & House, J. S. (1994). Chronic Job Insecurity Among
Automobile Workers: Effects on Job Satisfaction and Health. Social Science
Medical, 38(10), 1431-1437.
Heery, E., & Salmon, J. (1998). The Insecure Workforce: Cardiff University.
Hess, J. (2008). Marital Satisfaction and Parental Stress. (Magister), Utah State
University,
Logan,
Utah.
Retrieved
from
186
http://books.google.co.id/books?id=taT34ocDf8C&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false
Hidayat, B. U. A. (2012). Hubungan Tingkat Stress dengan Kejadian Insomnia pada
Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro.
Universitas
Diponegoro,
Semarang.
Retrieved
from
http://eprints.undip.ac.id/33160/10/Artikel_HUBUNGAN_TINGKAT_STRE
S_DENGAN_KEJADIAN_INSOMNIA.pdf
Hiriyappa, B. (2013). A Person Who Can Manage The Stress At Workplace in an
Organization
HSE. (2001). A Critical Review of Psychosocial Hazard Measure.
Hubbard, J. R. (1998). Handbook of Stress Medicine: An Organ System Approach
Hurrell, J. J. (1990). An Overview of Organizational Stress and Health. United States
of America: NIOSH.
Ikeda, Nakata, Takahashi, JHojou, Haratani, Nishikido, & Kamibeppu. (2009).
Correlates of Depressive Symptomps Among Workers in Small and Medium
Scale Manufacturing Enterprises in Japan. Occupational Health, 51, 26-37.
ILO. (2003). Work Stress in The Context of Transition. Budapest: ILO.
ILO. (2012). Stress Prevention at Work Checkpoints
Ivancevich, J. M., & Ganster, D. C. (2014). Job Stress From Theory to Suggestion.
USA: Taylor & Francis.
Jamal, M., & Ahmed, S. W. (2009). Job Stress, Stress-Prone Type A Behavior, and
Personal
and
Organizational
Consequences.
Canadian
Journal
of
187
Jex, S. M., & Britt, T. W. (2008). Organizational Psychology: A ScientistPractitioner Approach. Canada: John Wiley & Sons Inc.
Juneja, N. (2004). How Principals Manage Stress: Strategies for Successful Coping.
India: Krishan Mittal.
Karwowski, W. (2006). International Encyclopaedia of Ergonomics and Human
Factors. United States of America: CRC Press.
Kato, K. (2008). The Effect of Co-Worker Support on A Worker's Stress: The
Mediating Effects of Perceived Job Characteristics. Michigan States
University,
Michigan.
Retrieved
from
http://books.google.co.id/books?id=AGNsKc11JuIC&pg=PA11&dq=qualitat
ive+workload&hl=id&sa=X&ei=0C6hU9DaBo6UuATpvoKACw&ved=0CF
IQ6AEwCA#v=onepage&q=qualitative%20workload&f=false
Kazronian, S., Zakerian, S., Saraji, J., & Hosseini, M. (2013). Reliability and
Validity Study of the NIOSH Generic Job Stress Questionnaire Among
Firefighters in Iran. Journal Health and Safety of Work, 3(3).
Klau, I. C. T. (2010). Hubungan Stres Kerja Pada Perawat Shift Malam Dengan
Kinerja Perawat di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Malang. Universitas
Brawijaya,
Malam
Retrieved
from
http://old.fk.ub.ac.id/artikel/id/filedownload/keperawatan/ike%20christine.pd
f
Konno, & Munakata. (2014). Skill Underutilization is Associated with Higher
Prevalence of Hypertension the Watari Study. Occupational Health.
Koradecka, D. (2010). Handbook of Occupational Safety and Health. United States
of America: CRC Press.
188
yang
Panas.
http://www.labour.gov.hk/eng/public/oh/HeatStroke_Indo.pdf
Leavitt, J., & Leavitt, F. (2011). Improving Medical Outcomes: The Psychology of
Doctor-Patient Visits. United Kingdom: Rowman & Littlefield Publishers
Inc.
Lewin, D., Kaufman, B. E., & Gollan, P. J. (2011). Advances in Industrial and Labor
Relations. United Kingdom: Emerald Group Publishing Limited.
Lundberg, U., & Cooper, C. L. (2011). The Science of Occupational Health: Stress,
Psychobiology, and the New World of Work. United Kingdom: Blackwell
Publishing.
Matthews, G., Deary, I. J., & Whiteman, M. C. (2003). Personality Traits
McLeod,
S.
(2011).
Type
Personality.
http://www.simplypsychology.org/personality-a.html
189
Mroczek, D. K., & Almeida, D. M. (2004). The Effect of Daily Stress, Personality,
and Age on Daily Negative Effect. Journal of Personality.
Mruk, C. J. (2006). Self Esteem Research, Theory, and Practice. United States of
America: Springer Publishing Company.
Munandar, A. S. (2001). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI Press.
Murphy, L. R., & Hurrell, J. (1992). Stress Management in Work Settings An
Overview of Organizational Stress and Health
Retrieved from
http://www.cdc.gov/niosh/pdfs/87-111-c.pdf
Nelson, D., & Quick, J. (2013). Organizational Behavior: Science, The Real World
and You. United States of America: Cengange Learning.
NIOSH. (1999a). Stress At Work. What Can Be Done About Job Stress?
http://www.cdc.gov/niosh/docs/99-101/pdfs/99-101.pdf
NIOSH. (1999b). Stress At Work. Columbia: NIOSH.
Nishitani, N., Sakakibara, H., & Akiyama, I. (2013). Short Sleeping Time and Job
Stress in Japanese White-Collar Workers. The Open Sleep Journal, 6, 104109.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nuryati, K. (2007). Tingkat Stress Kerja Pada Karyawan SPBU Bagian Operator
Ditinjau Dari Shift Kerja. Universitas Katholik Soegijapranata, Semarang.
O'Rourke, J., & Collins, S. (2009). Managing Conflict and Workplace Relationships
Ogden, J. (2012). Health Psychology. New York: McGraw Hill.
Olatunji, & Mokuolu, B. (2014). The Influence of Sex, Marital Status, and Tneure of
Service on Job Stress, and Job Satisfaction of Health Workers in a Nigerian
190
(2014).
Stress
Definition
and
Symptoms.
https://osha.europa.eu/en/topics/stress/definitions_and_causes
Oxington, K. H. (2005). Psychology of Stress. New York: Nova Science Publisher.
Paludi, M. A., Vlydegger, R., & Paludi, C. A. (2006). Understanding Workplace
Violence: A Guide for Managers and Employees. United States of America:
Praeger Publishers.
Penn, R. (1994). Skill and Occupational Change. United Kingdom: Oxford
University Press.
Perlmutter, D., & Villoldo, A. (2011). Power Up Your Brain
Perrewe, P. L., & Ganster, D. C. (2010). New Development in Theoretical and
Conceptual Approaches to Job Stress. United Kingdom: Emerald Group.
Perrewe, P. L., & Ganster, D. C. (2011). The Role of Individual Differences in
Occupational Stress and Well Being. United Kingdom: Emerald Group
Publishing Limited.
Pestonjee, D., & Pandey, S. (2013). Stress and Work: Perspective in Understanding
and Managing Stress. India: Sage Publishing.
Praag, H. V., Kloet, E. d., & Os, J. v. (2004). Stress, the Brain and Depression. New
York: Cambridge University Press.
191
Quah, J., & Campbell, K. M. (1994). Role Conflict and Role Ambiguity as Factors in
Work Stress Among Managers in Singapore. Huma Resource Management,
2.
Rahim, M. A. (2011). Managing Conflict in Organizations. United States of
America: Transaction Publishers.
Ram, N., Khoso, I., Shah, A. A., Chandio, F. R., & Shaikih, F. M. (2011). Role
Conflict and Role Ambiguity as Factors in Work Stress Among Managers: A
Case Study of Manufacturing Sector in Pakistan. Asian Social Science, 7(2).
Rauschenbach, C., Krumm, S., Thielgen, M., & Hertel, G. (2013). Age and Work
Related Stress: A Review and Meta Analysis. Journal of Managerial
Psychology, 28(7), 781-804.
Resnick, B. (2004). Restorative Care Nursing for Older Adults: A Guide for All Care
Settings. New York: Springer Publishing Company Inc.
Robbins, S. P. (2009). Organizational Behaviour in Southern Africa. South Africa:
Pearson Education.
Rose, A. H. (1994). Human Stress and The Environment (Vol. 5). Swiss: Gordon and
Breach Science Publishers.
Ross, R. R., & Altmaier, E. M. (2000). Intervention in Occupational Stress: A
Handbook of Counselling for Stress At Work. London: Sage Publications.
Rossi, A. M., Perrewe, P. L., & Sauter, S. L. (2006). Stress and Quality of Working
Life: Current Perspective in Occupational Health. United States of America:
IAP-Information Age Publishing Inc.
Rout, U. R., & Rout, J. K. (2002). Stress Management for Primary Health Care
Professional. United States of America: Kluwer Academic.
192
Behavior:
Frontline
Social
Service
Personnel
N.
(2009).
Having
Children
Adds
Stress
to
Marriage.
http://health.usnews.com/health-news/blogs/on-parenting/2009/04/13/havingchildren-adds-stress-to-marriage
Singh, H. (2009). Organizational Behaviour. India: Neekuni Print Process.
Singh, L. B. (2006). The Scourge of Unemployment in India and Psychological
Health. India: Ashok Kumar Mittal.
193
Sonnentag, S., Perrewe, P. L., & Ganster, D. C. (2009). Current Perspective on Job
Stress Recovery. United Kingdom: Emerald Group Publishing Limited.
Speegle, M. (2013). Safety, Health, and Environmental Concepts for the Process
Industry. United States of America: Delmar.
Stellman, J. M. (1998). Encyclopaedia of Occupational Health and Safety. Geneva:
ILO.
Stranks, J. (2005). Stress at Work Management and Prevention. Inggris: Elsevier
Butterworth-Heinemann.
Stroh, L. K., Northcraft, G. B., & Neale, M. A. (2008). OrganizationaL Behavior: A
Management Challenge. United States of America: Taylor & Francis.
Sukmono, T. (2013). Hubungan Antara Karakteristik Individu Dengan Tingkat
Stress Kerja Perawat Indonesia yang Bekerja di Qatar. Universitas
Muhammadiyah
Semarang,
Semarang.
Retrieved
from
http://digilib.unimus.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptunimusgdl-trisukmono-7019
Sutherland, V. J., & Cooper, C. L. (2010). Strategic Stress Management: An
Organizational Approach. United Kingdom: Palgrave Macmillan.
Swain, S. (2008). Applied Psychology: India Specific and Cross-Cultural
Perspectives. India: New Vishals.
Swapana, C., Singh, A., & Demen, J. (2008). Type A Behavior Pattern, Stress and
Coronary Heart Disease. Annals of General Psychiatry, 7.
Tawatsupa, B., Lim, L. L., Kjellstrom, T., Seubsman, S.-a., & Sleigh, A. (2010). The
Association
Between
Overall
Health,
Psychological
Distress,
and
194
195
Yasuaki, S., Takeji, U., & Yoshihiro, H. (2012). Post Traumatic Stress Disorder and
Job Stress Among Firefighters of Urban Japan.
Zyl, L. V., Eeden, C. V., & Rothmann, S. (2013). Job Insecurity and The Emotional
and Behavioral Consequences Journal Bussiness Management, 44(1).
196