Anda di halaman 1dari 85

PENGOLAHAN HASIL TERNAK BESAR

(SAPI)

1. Identitas
a. Nama Mata Pelajaran : Produksi Hasil Hewani XI
b. Kompetensi Dasar :

3.1 Menerapkan pengendalian mutu bahan baku pengolahan hewani


4.1 Mengendalikan mutu bahan baku pengolahan hewani

c. Materi Pokok : Pengendalian Mutu Bahan untuk Olahan Ternak Besar


(Sapi)
d. Alokasi Waktu : 9 X 45 menit
e. Tujuan Pembelajaran :

Melalui pempelajaran tatap muka melalui observasi, diskusi literasi dan persentasi peserta
didik mampu mengembangkan kemampuan bernalar dalam berpikir analisis induktif dan
deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip mengendalikan mutu bahan untuk
olahan ternak besar (sapi) serta mampu mempunyai keterampilan mengembangkan
pengetahuan, dan sikap percaya diri sebagai bekal kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Selain itu peserta didik dapat menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang
dianutnya, mengembangkan sikap jujur, peduli, dan bertanggungjawab, serta dapat
mengembangankan kemampuan berpikir kritis, berkomunikasi, berkolaborasi,
berkreasi(4C)

f. Materi Pembelajaran : 1. Penyembelihan dan Persiapan Karkas


2. Karakteristik Daging Sapi
2. Peta Konsep

1
3. Kegiatan Pembelajaran
a. Pendahuluan
Sebelum belajar pada materi ini silahkan kalian melihat gambar di bawah ini

b. Kegiatan Inti
1) Petunjuk Umum UKB
a) Baca dan pahami materi pada Buku Teks Pelajaran Sejarah peminatan
b) Setelah memahami isi materi dalam bacaan berlatihlah untuk berfikir
tinggi melalui tugas-tugas yang terdapat pada UKB ini baik bekerja sendiri
maupun bersama teman sebangku atau teman lainnya.
c) Kerjakan UKB ini dibuku kerja atau langsung mengisikan pada bagian yang
telah disediakan.

2
d) Kalian dapat belajar bertahap dan berlanjut melalui kegiatan ayo berlatih,
apabila kalian yakin sudah paham dan mampu menyelesaikan permasalahan-
permasalahan dalam kegiatan belajar 1, 2, dan 3 kalian boleh sendiri atau
mengajak teman lain yang sudah siap untuk mengikuti tes formatif agar
kalian dapat belajar ke UKB berikutnya.

2) Kegiatan Belajar
Ayo……ikuti kegiatan belajar berikut dengan penuh kesabaran dan konsentrasi !!!

Kegiatan Belajar 1

Fisiologi dan Komposisi Daging Sapi


A. Lembar Informasi

A1. Definisi Daging


Menurut Soeparno (2005), daging adalah semua jaringan hewan dan semua produk
hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang dapat dimakan serta tidak menimbulkan
gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Organ-organ misalnya hati, paru-paru,
limpa, pankreas, otak, jantung, ginjal dan jaringan otot termasuk dalam definisi ini.

Gambar 1.1 Daging sapi


Sumber: dokumentasi pribadi
Menurut SNI 01-3947-1995, Daging adalah urat daging (otot) yang melekat pada

kerangka, kecuali urat daging bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari hewan
sehat pada saat dipotong (Dewan Standardisasi Nasional, 1995)
3
A2. Kandungan gizi Daging
Kandungan daging terdiri dari air 50-70% air, protein 15-20%, lemak 15-25%
(kecuali lemak babi 45%), berbagai macam vitamin dan mineral.
Protein daging lebih mudah dicerna dibandingkan dengan yang bersumber dari
bahan pangan nabati. Nilai protein daging yang tinggi disebabkan oleh kandungan asam
amino esensialnya yang lengkap dan seimbang.
Ternak rata-rata menghasilkan karkas (bagian badan hewan) 55%, macam-macam
hasil sampingan 9%, kulit 6% dan bahan lainnya 30%. Daging yang baik ditentukan oleh
warna, bau, penampakan dan kekenyalan.Semakin daging tersebut lembab atau basah
serta lembek (tidak kenyal) menunjukan kualitas daging yang kurang baik.
Komposisi kimia daging tergantung dari spesies hewan, kondisi hewan, jenis
karkas, proses pengawetan, penyimpanan dan metode pengepakan. Lemak juga sangat
mempengaruhi komposisi kimia daging. Daging tanpa lemak mengandung 70% air, 9%
lemak dan 1% abu. Bagan komposisi kimia daging keseluruhan terlihat dalam Gambar 2.

Gambar 1.2 Bagan komposisi kimia daging


Daging merupakan sumber protein, baik dari segi kuantitas maupun kualitas,
karena daging mengandung protein rata-rata sekitar 18 - 20 % dan susunan asam
aminonya terutama asam amino esensialnya komplet. Di samping itu, daging juga
mengandung vitamin dan mineral khususnya zat besi. Komposisi kimia daging dan
komposisi asam amino esensial dan nonesensial dalam daging dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel. Komposisi nutrisi daging, sapi dan babi
4
Sumber daging
Komposisi
Sapi Domba Babi
Air (%)a 60 56 42.0
Protein (%)a 17.5 15.7 11.9
Lemak (%)a 22 27.7 45.0
Ca (mg/100 gram) 11.0 10,0 9
P (mg/100 gram) 171 147 175
Fe (mg/100 gram) 2.8 1.2 2.3
Vitamin A (SI) 30.0 - -
Vitamin B (mg/g) 0.08 0.05 0.58

Protein daging terdiri dari protein-protein sederhana dan protein terkonjugasi


dengan radikal nonprotein. Berdasarkan asalnya protein dapat dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu protein sarkoplasma, protein myofibril dan protein jaringan ikat. Protein
sarkoplasma merupakan protein larut air karena umumnya dapat terekstrak air dan
larutan garam encer. Protein miofibril terdiri dari aktin dan miosin serta sejumlah kecil
troponin, tropomiosin dan aktinin. Protein tersebut dapat larut dalam larutan garam encer
(salt soluble protein). Protein jaringan ikat merupakan fraksi protein yang tidak larut,
terdiri dari protein kolagen, elastin dan retikulum. Fungsi protein dalam pengolahan
daging terlihat dalam Tabel 2
Table 2. Fungsi protein dalam teknologi daging
Protein Sifat dasar Fungsi dalam teknologi daging
Albumin+miogen dalam  Larut air Dalam sosis Bruehwurst sebagai
daging  Menggumpal jika pengemulsi
dipanaskan
 Daya emulsi rendah
Globulin dan aktomiosin  Larut dalam garam  Pembentuk struktur dan
dalam otot daging  Daya ikat air tinggi pengemulsi dalam sosis
 Kapasitas emulsi (Bruehwurst)
tinggi  Pembentuk struktur dalam
 Pembentuk gel tinggi sosis fermentasi
Kolagen Pada suhu dingin Gelatin
membentuk gel Casing
Suelze ( sosis gel)
Mioglobin dalam darah Merah cerah Pembentukan warna merah pada
dan daging Abu-abu jika bereaksi curing daging

5
dengan O2
Merah muda jika
bereaksi dengan NO

Protein sarkoplasma terpenting adalah mioglobin. Mioglobin merupakan pigmen


yang menentukan warna daging segar dan produk olahan daging. Mioglobin bersifat larut
air dan garam encer. Mioglobin merupakan pigmen berwarna merah keunguan yang dapat
mengalami perubahan warna akibat reaksi kimia. Jika mengalami oksigenasi, maka
mioglobin akan membentuk oksimioglobin yang berwarna merah cerah. Reaksi oksidasi
besi dalam mioglobin atau oksimioglobin akan mengubah keduanya menjadi
metmioglobin yang berwarna cokelat.

A3. Histologi Daging


Komponen penyusun dari karkas hewan yaitu kulit, otot, lemak, dan tulang. Otot
merupakan komponen penting yang sering disebut sebagai daging, namun definisi secara
luas daging merupakan timbunan lemak dan tulang yang masih berikatan dengan otot
yang dapat diolah dan dijual (Kauffman, 2001). Secara umum komposisi daging terdiri
dari beberapa jaringan yaitu

1. Jaringan Otot
Jaringan otot merupakan komponen terbanyak dalam karkas yaitu sebesar 35-65
persen dari berat karkas atau 35 - 40 persen dari berat hewan hidup. Otot ini melekat
pada kerangka tetapi ada juga yang langsung melekat pada logamen, tulang rawan, dan
kulit. Jaringan otot dari hewan mamalia dan unggas diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Jaringan otot bergaris melintang atau jaringan otot kerangka, yaitu jaringan otot yang
langsung menempel pada tulang melalui jaringan ikat tendon.
b. Jaringan otot tidak bergaris melintang atau jaringan otot licin, yaitu jaringan otot yang
terdapat pada alat-alat jeroan.
c. Jaringan otot bergaris spesial, yaitu jaringan otot bergaris melintang juga, akan tetapi
berbeda dengan jaringan otot kerangka. Jaringan otot ini terdapat khusus pada jantung.

2. Jaringan Lemak

6
Berdasarkan lokasinya pada daging, jaringan lemak dari karkas hewan
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Jaringan lemak subkutan atau jaringan lemak netral, yaitu jaringan lemak yang terdapat
langsung dibawah kulit.
b. Jaringan lemak intermuskular atau “seam fat”, yaitu jaringan lemak yang terdapat
diantara otot.
c. Jaringan lemak intramuskular atau “marbling”, yaitu jaringan lemak yang terdapat
diantara serabut otot dalam otot. Jaringan lemak ini digunakan sebagai salah satu
faktor kualitas dari daging.
Marbling merupakan butiran lemak putih yang terlihat oleh mata yang tersebar
pada jaringan otot daging. Marbling akan mencair saat daging dipanaskan dan
berkontribusi dalam meningkatkan cita rasa daging (juiciness), memberikan aroma
daging yang sedap, serta berperan meningkatkan keempukan daging.
Marbling lebih tinggi pada sapi yang diberi pakan biji- bijian (grain-fed-beef)
daripada sapi yang diberi pakan rumput (grass-fed-beef). Daging dengan lebih banyak
marbling akan lebih empuk dan lebih bercitarasa daripada daging dengan sedikit
marbling. Daging dengan sedikit marbling memiliki kandungan kalori dan lemak jenuh
lebih sedikit dan lebih dianjurkan dikonsumsi oleh ahli gizi.
d. Jaringan lemak intrasellular, yaitu jaringan lemak yang terdapat didalam serabut otot.

3. Jaringan Ikat
Jaringan ikat berfungsi sebagai pengikat bagian-bagian daging serta
mempertautkannya ke tulang. Jaringan ikat yang penting adalah serabut kolagen, serabut
elastin dan serabut retikulan. Serabut kolagen terutama mengandung protein kolagen
yang berwarna putih dan bersifat terhidrolisa dan larut dalam air panas, banyak terdapat
pada tendon (jaringan ikat yang menghubungkan daging dan tulang). yang komponen
Jaringan ikat dari karkas hewan diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Kollogen, yaitu jaringan ikat berwarna putih yang banyak terdapat pada tendon, tulang
dan kulit. Kharakteristik dari kollagen ini adalah terhidrolisa dengan perebusan.
b. Elastin, yaitu jaringan ikat berwarna kuning yang berbeda dengan kollagen, tidak
terhidrolisa dengan perebusan. Jaringan ikat ini banyak terdapat pada ligamentum, yaitu

7
jaringan ikat yang menghubungkan tulang dengan tulang melalui persendian dan pada
jaringan ikat yang terdapat pada dinding serabut otot (endomisium).
c. Retikulin, yaitu jaringan ikat yang mempunyai kharakteristik mirip dengan kollagen.
Jaringan ikat ini banyak terdapat pada dinding serabut otot (endomisium).

Unit struktural jaringan otot adalah jaringan sel daging, atau serabut otot (Gambar
3). Serabut otot terdiri dari miofibril-miofibril. Miofibril tersebut dikelilingi oleh sarkoplasma
(sitoplasma) dan dilindungi oleh sarkolema (dinding sel). Selain miofibril, di dalam
sarkoplasma juga terdapat inti sel, mitokondria, retikulum sarkoplasma, kompleks golgi,
glikogen dan lemak.

Gambar 3. Diagram serabut otot


Sumber : Cassens, 1987
Miofilamen terdiri dari dua jenis protein yaitu filamen aktin yang tipis dan miosin yang tebal. Kedua filamen
tersebut terkenal sebagai unit kontraktil yang berperan pada proses kontraksi dan relaksasi otot daging. Bagian
filamen di antara dua garis gelap Z yang berdekatan disebut sarkomer. Protein aktin dan miosin ini membentuk
filamen yang sifatnya berbeda dalam memantulkan cahaya dan dalam menimbulkan segmen isotropik dan
anisotropik. Ciri segmen tropik ditandai dengan adanya daerah terang yang disebut band I dan terbagi oleh garis gelap
Z. Segmen anisotropik ditandai dengan adanya daerah gelap yang sebut band A yang ditandai dengan adanya daerah
terang H pada bagian tengahnya yang terbagi dalam dua daerah gelap psedo H atau garis gelap M. Deskripsi lebih
jelas dan terperinci mengenai otot daging dapat dilihat pada Gambar 4

8
Gambar 4. Penampang melintang melalui suatu serabut otot pada perhubungan band A-ban 1
Sumber : Forrest et.al., 1975
A4. Kualitas daging
Daging yang masih segar biasanya ditandai oleh warnanya yang merah dan segar,
bau darah segar dan masih kenyal. Daging yang mempunyai ciri-ciri segar dapat juga
diketahui dengan melakukan uji fisis untuk menentukan kelezatan daging. Adapun Ciri-ciri
daging yang masih baik adalah :
1. Apa bila ditekan dengan jari kembali dengan cepat
2. Apabila daging dikoyak dengan tangan, daging kukuh/sulit koyak
3. Dengan cara meraba daging yang digiling/dihaluskan diantara dua jari, bila terasa
lembut maka daging mempunyai mutu yang baik

Pemeriksaan fisik bisa dibilang merupakan pemeriksaan yang paling pertama


dilakukan untuk mengetahui kualitas daging. Namun, untuk mengetahui lebih jauh
terhadap kualitas daging dan menghasilkan data yang objektif, ada beberapa cara uji
daging yang diakui secara internasional. Berikut adalah uraian singkat tentang beberapa
cara uji kualitas daging. 
1. Warna
Warna dan penampilan adalah indikator yang biasa digunakan konsumen untuk menentukan
kesegaran dan kualitas daging dan unggas. Stabilitas warna daging tergantung pada banyak faktor
seperti genetika hewan, pola makan dan metode pengolahan. Evaluasi warna sangat penting dalam
membantu produsen penyedia  daging dan unggas untuk memastikan produk mereka memiliki kualitas
terbaik secara konsisten

9
Untuk memastikan evaluasi dan komunikasi warna yang obyektif, diperlukan instrumen
pengukuran warna. Instrument pengukuran warna juga dapat membantu produk daging dan unggas
diklasifikasikan kandungan lemak daging merahnya dengan menghitung jumlah marbling (lemak yang
terdapat di antara otot-otot dan tampak dari luar seperti marmer). Dalam industri pangan
mengevaluasi warna kekuningan pada kulit dapat membantu menentukan kadar lemak.

Gambar 5. Alat menguji warna daging


Sumber : http://analisawarna.com/2019/04/24/mengukur-warna-daging-dan-produk-unggas/

Pengukuran warna daging menggunakan indikator meat color standart, dalam setiap warna


yang ada dalam meat color standart mempunyai skala tertentu warna. Penilaian warna daging
dilakukan dengan melihat warna permukaan otot dengan bantuan cahaya senter dan mencocokanya
dengan standar warna. Nilai skor warna ditentukan berdasarkan skor standar warna yang paling sesuai
dengan warna daging. Standar warna daging terdiri atas sembilan skor mulai dari warna merah muda
hingga merah tua. (BSN, 2008). Warna dari daging dicocokkan dengan meat colour score dan
selanjutnya ditulis skalanya.

Gambar 6. Meat Colour Score


Sumber. http://ilmupangan.blogspot.com/2010/02/oleh-elvira-syamsir-daging.html
Badan Standar Nasional Indonesia melalui SNI 3932:2008 telah mengeluarkan prosedur
pengujian fisik karkas daging untuk warna yaitu
Warna daging sapi yang baru biasanya berwarna ungu gelap. Warna tersebut berubah menjadi
terang (merah ceri) jika daging dibiarkan terkena oksigen. Perubahan warna ungu menjadi terang

10
tersebut bersifat reversibel (dapat balik). Daging yang terlalu lama terkena oksigen, warna merah
terang akan berubah menjadi coklat. Faktor-faktor yang menjadi penentu utama warna daging adalah
konsentrasi pigmen daging mioglobin yang dipengaruhi oleh pakan, spesies, bangsa, umur, jenis
kelamin, stres, pH dan oksigen.
Menurut Lawrie (2003) warna daging dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk pakan,
spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen.
Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi penentu utama warna daging yaitu konsentrasi pigmen
daging mioglobin. Tipe molekul moiglobin, status kimia mioglobin, dan kondisi kimia serta fisik
komponen lain dalam daging mempunyau peranan besar dalam menentukan warna daging.
Perbedaan warna permukaan daging, disebabkan oleh status kimia molekul  mioglobin. Bentuk
kimia warna daging segar yang diinginkan oleh konsumen adalah merah terang oksimioglobin.
Bentuk daging sapi yang baik adalah berwarna merah terang, mengkilap tidak pucat dan tidak
kotor. Mioglobin merupakan pigmen berwarna merah keunguan yang menentukan daging segar.
Mioglobin dapat mengalami perubahan bentuk akibat berbagai reaksi kimia bila terkena udara,
pigmen mioglobin akan teroksidasi menjadi oksimioglobin yang mengeluarkan warna merah
terang. Oksidasi lebih lanjut dari oksimioglobin akan menghasilkan pigmen metmioglobin yang
berwarna coklat (Soeparno, 2005)
2. pH Daging
Menurut Aberle et al. (2001) dan Lawrie (2003), pH daging dapat menurun
dengan cepat hingga mencapai 5,4-5,5 selama beberapa jam setelah
pemotongan. Standar pH daging hewan yang sehat dan cukup istirahat yang
baru dipotong adalah 7-7,2 dan akan terus menurun selama 24 jam. Penurunan
pH tersebut tidak sama untuk semua urat daging dari seekor hewan dan di
antara hewan juga berbeda. Nilai pH postmortem akan ditentukan oleh jumlah
asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob. Nilai
pH akan semakin rendah pada hewan yang mengalami stress sebelum
pemotongan dan akan dihasilkan daging yang pucat, lembek dan berair (pale,
soft, exudative = PSE).
Soeparno et al. (2011) menyatakan bahwa pH lebih dipengaruhi oleh stres
sebelum pemotongan, pemberian injeksi hormon atau obat-obatan, spesies,
individu ternak, jenis otot, stimulasi listrik,aktivitas enzim dan terjadinya
glikolisis.Aberle et al.(2001) berpendapat banyak atau sedikitnya glikogen
11
berpengaruh terhadap pH akhir daging, dan hal ini tergantung pada kondisi
ternak sebelum pemotongan sehingga memberi dampak terhadap karakteristik
daging pascamati.
pH daging diukur dengan pH meter. Daging seberat 2 gram dicincang dan
dimasukkan ke dalam beaker glass, lalu ditambahkan 18 ml aquades, diaduk
hingga homogen. pH diukur dengan pH meter dengan memasukkan pH meter
(pH meter sebelumnya telah dikalibrasi dengan larutan buffer pH 7) ke dalam
beaker glass dan ditunggu hingga pH daging konstan.   Menurut Soeparno
(2005) pH otot saat penyembelihan adalah 7,0. pH akan mengalami penurunan
karena terbentuknya asam laktat, sehingga pH pada daging akan menjadi lebih
rendah. Kondisi normal pH akhir daging pH ultimat normal daging diukur 24 jam
dari waktu penyembelihan adalah sekitar 5,4 sampai 5,8 yang sesuai dengan
titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein miofibril
3. Daya Ikat Air (DIA)
Daya ikat air oleh protein daging dalam bahasa asing disebut sebagai Water Holding
Capacity (WHC), didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan airnya atau air
yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan, misalnya pemotongan daging,
pemanasan, penggilingan, dan tekanan.
Daging juga mempunyai kemampuan untuk menyerap air secara spontan dari
lingkungan yang mengandung cairan (water absorption). Ada tiga bentuk ikatan air di
dalam otot yakni air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4 – 5% sebagai
lapisan monomolekuler pertama, kedua air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari
molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar kira-kira 4%, dimana lapisan kedua ini akan
terikat oleh protein bila tekanan uap air meningkat. Ketiga dalah adalah lapisan molekul-
molekul air bebas diantara molekul protein, besarnya kira-kira 10%. Denaturasi protein
tidak akan mempengaruhi perubahan molekul pada air terikat (lapisan pertama dan
kedua), sedang air bebas yang berada diantara molekul akan menurun pada saat protein
daging mengalami denaturasi.
Pengujian daya mengikat air merupakan pengujian untuk mengetahui seberapa besar
kemampuan daging dalam mengikat air bebas. Daging dengan daya ikat air rendah akan
kehilangan banyak cairan, sehingga terjadi kehilangan berat. Semakin kecil nilai daya ikat

12
air, maka susut masak daging semakin besar, sehingga kualitas daging semakin rendah
karena banyak komponen-komponen terdegradasi.
Penurunan daya mengikat air dapat diketahui dengan adanya eksudasi (pengeluaran) cairan yang
disebut weep pada daging mentah yang belum dibekukan atau drip pada daging mentah beku yang
disegarkan kembali atau kerut pada daging masak. Dimana eksudasi (pengeluaran) tersebut berasal dari
cairan dan lemak daging.
Uji daya ikat air dilakukan dengan melakukan 2 tahap pengujian yaitu mengetahui nilai kadar air
bebas dan mengetahui nilai Kadar air total. Prosedur yang dilakukan untuk mengetahui niai kadar air bebas
adalah dengan memotong daging lalu menimbangnya seberat lebih kurang 0,3 gram (300 mg), kemudian
potongan daging tersebut diletakkan diatas kertas saring dan diberi beban 10 kg selama 5 menit. Area
basah yang tergambar pada kertas saring tersebut digambar diatas plastik mika, luas area basah dihitung
dengan menggunakan kertas millimeter blok. Berat air yang dilepaskan selama pengepresan dapat dihitung
dengan rumus :
mg H2O = area basah (cm2) - 8 ,0
0,0948
sehingga kadar air bebas dapat dihitung sebagai berikut :
Kadar Air Bebas = (MgH2O / berat sampel )x 100%.
Setelah mengetahui kadar air bebas maka yang perlu dihitung adalah Kadar Air Total (KAT) agar kita dapat
mengetahui nilai Daya Ikat Air pada sample daging.
Kadar Air Total (KAT). Sampel daging sebanyak lebih kurang 1 gram (X) ditimbang, kemudian
dimasukkan ke dalam botol timbang yang telah diketahui berat kosong (Y). Sampel dioven selama 105ºC
selama 24 jam, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai beratnya konstan (Z). Kadar air sampel dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut :
KAT = (x + y – z)/x * 100%

X = berat sampel

Y = berat botol timbang

Z = berat sampel dan botol timbang setelah dioven 105ºC

Setelah diperoleh nilai kadar air bebas dan nilai kadar air total maka dapat diketahui nilai
daya ikat air pada sample daging dengan rumus
DIA = kadar air total – kadar air bebas
Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan terjadinya variasi pada daya ikat air oleh daging
diantaranya: faktor pH, faktor perlakuan maturasi, pemasakan atau pemanasan, faktor biologik seperti
jenis otot, jenis ternak, jenis kelamin dan umur ternak. Demikian pula faktor pakan, transportasi, suhu,
13
kelembaban, penyimpanan dan preservasi, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak
intramuskuler
4. Susut Masak
Susut masak adalah perhitungan berat yang hilang selama pemasakan atau
pemanasan pada daging. Pada umumnya, makin lama waktu pemasakan makin besar
kadar cairan daging hingga mencapai tingkat yang konstan. Susut masak merupakan
indicator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya
air yang terikat dalam dan diantara serabut otot. Jus daging merupakan komponen dari
daging yang ikut menetukan keempukan daging (Soeparno, 1992 ).
Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi . Susut masak daging sehubungan
dengan jus daging yaitu banyaknya air yang berikatan didalam dan diantara serabut otot.
Daging dengan susut masak lebih rendah mempunyai kualitas relative lebih baik
dibandingkan dengan susut masak lebih besar. Jus daging dapat dirasakan pada saat
dikunyah dan memiliki korelasi dengan keempukan (Sanjaya et al., 2007; Soeparno et al.,
2011).
Uji Susut Masak dilakukan dengan menyiapkan sampel daging sapi yang dipotong searah
serat dan ditimbang sebanyak lebih kurang 25 gram (X)/ daging dimasukkan ke dalam plastik
polyethylene dan dikemas vakum dengan mesin vakum. Daging dimasak dengan menggunakan
dalam panci diatas kompor gas pada suhu 90ºC selama 30 menit. Daging kemudian didinginkan
(thawing) masih dalam keadaan tertutup menggunakan air mengalir. Daging dikeluarkan dari
plastik polyethylene kemudian dilap dengan kertas tissue, kemudian ditimbang berat akhir
ditimbang (Y).

Susut masak (%) = (x -y )/x * 100%

Menurut Soeparno (2005), bahwa pada umumnya nilai susut masak daging sapi bervariasi
antara 1,5–54,5% dengan kisaran 15–40%. Nilai susut masak ini erat hubunganya dengan daya
mengikat air. Semakin tinggi daya mengikat air maka ketika proses pemanasan air dan cairan
nutrisi akan sedikit yang keluar atau terbuang sehingga massa daging yang berkurangpun sedikit.
kandungan susut masak yang rendah akan membuat kualitas daging menjadi baik. Hal ini
dikuatkan oleh Yanti et al. (2008), bahwa daging yang mempunyai nilai susut masak rendah di
bawah 35 % memiliki kualitas yang baik karena kemungkinan keluarnya nutrisi daging selama
pemasakan juga rendah.
5. Keempukan dan Tekstur

14
Ada 2 faktor penting yaitu faktor antemortem (genetik, fisiologis, umur,
manajemen, jenis kelamin dan stress) dan faktor postmortem (chilling, refrigerasi,
pelayuan, pembekuan, lama dan temperatur penyimpanan, termasuk pemasakan dan
pengempukan).Komponen daging yang mempengaruhi keempukan daging adalah
jaringan ikat, serabut otot, marbling. Marbling adalah lemak intramuskuler, terletak di
jaringan ikat perimisium di antara otot.
Keempukan daging adalah kualitas daging setelah dimasak. Berdasarkan kemudahan untuk
dikunyah tanpa kehilangan sifat dan jaringan yang layak. Penilaian keempukan daging dapat
dilakukan secara obyektif dan subyektif. Penilaian secara obyektif meliputi metode pengujian
secara fisik dan kimia, sedangkan secara subyektif menggunakan metode panel test
(Soeparno, 2005).
Uji Keempukan dilakukan dengan menyiapkan sampel daging dari uji susut masak yang kemufian
dipotong searah serat dan dengan ukuran tabal 0,67 cm dan tebal 1,5 cm. Sampel diletakkan pada alat
warner–bratzler shear force. Pengujian dilakukan ditiga bagian kemudian hasilnya dirata-rata.

Gambar 7. warner–bratzler shear force


Sumber : https://texturetechnologies.imgix.net/images/blog/blade-fish.jpg

Tiga faktor yang mempengaruhi proses keempukan daging ketika daging dimasak yaitu
mencairnya lemak, berubahnya kolagen menjadi gelatin dan putusnya serabut otot sehingga
menjadi lebih empuk. Kecenderungan pada daging yang memberi lebih banyak lemak
intramuskular akan memberi lebih banyak ruang pada protein-protein daging untuk mengikat
molekul-molekul air sehingga akan lebih empuk (Soeparno, 2005).
Lawrie (2003) menyatakan bahwa kandungan air dalam daging akan mempengaruhi kesan jus
daging (juiciness). Keempukan akan semakin rendah dengan meningkatnya umur ternak. Hal ini
disebabkan kadar kolagen dalam jaringan ikat yang mengalami perubahan-perubahan molekuler
15
dan mempengaruhi keempukan daging dengan semakin bertambahnya umur ternak. Oleh karena itu
ternak yang tua akan cenderung menghasilkan daging yang relatif alot daripada ternak yang muda.
Perbedaan ini juga kemungkinan lain karena perbedaan jumlah ikatan silang serabut-serabut
kolagen.

6. Penilaian Warna dan Marbling


Badan Standar Nasional Indonesia telah mengeluarkan Prosedur penilaian mutu fisik daging
sapi dalam dokumen SNI 3932:2008 yang berisi penilaian mutu fisik daging dimaksudkan untuk
memprediksi palatabilitas daging dengan melihat penampilan warna daging dan lemak, derajat
marbling dan tekstur daging.
Peralatan yang digunakan pada penilaian mutu fisik daging sapi terdiri atas stempel mutu,
senter dengan lampu putih dan intensitas minimum 700 lux, standar warna daging, standar warna
lemak, standar marbling dan standar tekstur.
Pengambilan contoh Penilaian mutu fisik daging dilakukan pada karkas setelah setelah
mengalami proses chilling selama 24 jam - 48 jam. Penilaian dilakukan dengan pengamatan secara
seksama pada permukaan irisan melintang otot mata rusuk ke-12 (m. longissimus dorsi ) dari setiap
karkas bagian kanan. Karkas yang dievaluasi tidak boleh menunjukan adanya penyimpangan
kualitas daging.
Metoda penilaian Pengujian mutu fisik daging dilakukan secara organoleptik dengan
menggunakan indra penglihatan terhadap penampilan fisik otot dan lemak. Nilai penampilan fisik
daging dan lemak selanjutnya ditentukan dengan menggunakan alat bantu standar mutu.
Penampilan fisik daging yang dievaluasi meliputi warna daging dan lemak, intensitas marbling dan
tekstur otot.
Penilaian warna daging dilakukan dengan melihat warna permukan otot mata rusuk dengan
bantuan cahaya senter dan mencocokannya dengan standar warna. Nilai skor warna ditentukan
berdasarkan skor standar warna yang paling sesuai dengan warna daging. Standar warna daging
terdiri atas sembilan skor mulai dari warna merah muda hingga merah tua sebagaimana terlihat
pada Gambar 8.

16
Gambar 8 - Standar warna daging sapi
Penilaian warna lemak dilakukan dengan melihat warna lemak subkutis dengan bantuan
cahaya senter dan mencocokkannya dengan standar warna. Nilai skor warna ditentukan berdasarkan
skor standar warna yang paling sesuai dengan warna lemak. Standar warna lemak terdiri atas
sembilan skor mulai dari warna putih hingga kuning sebagaimana terlihat pada Gambar 9.

Gambar 9 - Standar warna lemak


Penilaian marbling dilakukan dengan melihat intensitas marbling pada permukaan otot mata
rusuk dengan bantuan cahaya senter dan mencocokannya dengan standar. marbling. Nilai skor
marbling ditentukan berdasarkan skor standar marbling yang paling sesuai dengan intensitas

17
marbling otot mata rusuk. Standar marbling terdiri atas dua belas skor mulai dari praktis tidak ada
marbling hingga banyak sebagaimana terlihat pada Gambar 10.

18
19
Gambar 10. Standar marbling
Tekstur Penilaian tekstur otot dilakukan dengan melihat kehalusan/kekasaran permukaan
otot mata rusuk dengan bantuan cahaya senter dan mencocokannya dengan standar tekstur daging.
Nilai skor tekstur ditentukan berdasarkan skor standar tekstur yang paling sesuai dengan tekstur
daging. Standar tekstur daging terdiri atas tiga skor yaitu halus, sedang dan kasar (lihat contoh
standar tekstur daging).
Peringkat mutu daging ditentukan berdasarkan kesesuaian nilai skor untuk masing-masing
sifat fisik dengan syarat mutu yang telah ditetapkan. Karkas yang telah dievaluasi dibubuhi dengan
stempel sesuai dengan peringkat mutunya.
Dengan mengetahui pemeriksaan fisik daging, maka setidaknya kita akan bisa menilai
kualitas daging secara cepat. Namun, untuk mengetahui lebih lanjut perlu dilakukan uji daging di
laboratorium.

B. Rangkuman
1) Menurut SNI 01-3947-1995, Daging adalah urat daging (otot) yang melekat pada

kerangka, kecuali urat daging bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari
hewan sehat pada saat dipotong (Dewan Standardisasi Nasional, 1995)
2) Kandungan daging terdiri dari air 50-70% air, protein 15-20%, lemak 15-25%
(kecuali lemak babi 45%), berbagai macam vitamin dan mineral.
3) Secara umum komposisi daging terdiri dari beberapa jaringan yaitu jaringan otot,
jaringan lemak dan jaringan ikat
4) Badan Standar Nasional Indonesia telah mengeluarkan Prosedur penilaian mutu
fisik daging sapi dalam dokumen SNI 3932:2008 yang berisi penilaian mutu fisik
daging dimaksudkan untuk memprediksi palatabilitas daging dengan melihat
penampilan warna daging dan lemak, derajat marbling dan tekstur daging
5) Ternak rata-rata menghasilkan karkas (bagian badan hewan) 55%, macam-macam
hasil sampingan 9%, kulit 6% dan bahan lainnya 30%. Daging yang baik
ditentukan oleh warna, bau, penampakan dan kekenyalan.Semakin daging tersebut
lembab atau basah serta lembek (tidak kenyal) menunjukan kualitas daging yang
kurang baik.
6) Komponen daging terdiri dari :
a. Jaringan otot
20
b. Jaringan lemak
c. Jaringan ikat
7) Berdasarkan lokasinya lemak terdiri dari
a. Jaringan lemak subkutan
b. Jaringan lemak intermuskular
c. Jaringan lemak intramuskular
8) Kualitas daging dapat ditentukan dengan melakukan uji fisik yaitu
a. Warna daging
b. pH daging
c. Daya ikat air
d. Susut masak
e. Keempukan

C. Latihan Soal
1) Jelaskan definisi daging berdasarkan SNI 01-3947-1995
2) Berdasarkan asalnya protein dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu...
3) Sebutkan fungsi dari protein albumin dan miogen dalam pengolahan daging
4) Sebutkan fungsi kolagen dalam pengolahan daging
5) Sebutkan fungsi protein mioglobin dalam pengolahan daging
6) Jelaskan mengapa warna daging dapat terlihat merah cerah dan dapat berubah
menjadi berwarna coklat
7) Sebutkan jenis lemak berdasarkan lokasinya pada daging
8) Jelaskan fungsi jaringan ikat
9) Jelaskan apa yang dimaksud dengan marbling
10)Jelaskan bagaimana marbling dapat menjadi salah satu penentu kualitas daging
11)Jelaskan bagaimana melakukan uji fisik kualitas daging berupa warna daging
12) Jelaskan apa yang mempengaruhi ph daging postmoterm (pasca kematian)?
13) Jabarkan bagaimana cara melakukan uji fisik kualitas daging untuk mengetahui
pHnya
14) Jelaskan mengapa daya ikat air pada daging dapat menentukan kualitas daging?
15) Jabarkan bagaimana cara melakukan uji daya ikat air pada sebuah sample daging
16) Jelaskan apa perbedaan weep dengan drip
17)Jelaskan mengapa susut masak menjadi salah satu indikator nilai nutrisi daging
18) Jabarkan bagaimana cara melakukan uji susut masak pada sampel daging
19) Jabarkan bagaimana cara melakukan uji keempukan pada sampel daging
20)Jelaskan tiga faktor yang mempengaruhi proses keempukan daging ketika daging dimasak

21
Kegiatan Belajar 2
Penyembelihan dan Persiapan Karkas

A. Lembar Informasi
A1. Penyembelihan
1) Definisi Penyembelihan
Penyembelihan merupakan proses mematikan ternak dengan cara memotong tiga
saluran pada leher, yaitu saluran esofagus, arteri karotis dan vena jugularis. Selain itu,
cara mematikan ernak bisa dilakukan dengan cara lain, misalnya dipingsankan terlebih
dahulu, kemudian disembelih, khususnya untuk ternak-ternak yang agresif.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh ternak yang akan dipotong agar
diperoleh kualitas daging yang baik, yaitu
(1) ternak harus dalam keadaan sehat, bebas dari berbagai jenis penyakit,
(2) ternak harus cukup istirahat, tidak diperlakukan kasar, serta tak mengalami stres agar
kandungan glikogen otot maksimal
Penanganan sebelum penyembelihan yang harus dijaga adalah kondisi fisik dan
emosional ternak sebelum dan pada penyembelihan sebab berpengaruh terhadap mutu
daging. Ternak yang tenang dan banyak istirahat akan menghasilkan daging bermutu
tinggi dibanding yang kehabisan tenaga dan tertekan. Keadaan ternak yang istirahat
penuh atau kehabisan tenaga akan menentukan cadangan glikogen dalam otot.
Keempukan daging dapat terjadi karena ternak menyimpan glikogen di dalam otot sebagai
sumber persediaan energi, untuk itu mengistirahatkan ternak yang akan dipotong selama
24 jam dapat meningkatkan jumlah glikogen yang pada akhirnya akan menyebabkan
jaringan otot menjadi lunak dan empuk.
Lokasi peternakan sapi pada umumnya berjauhan dengan rumah pemotongan
hewan (RPH), sehingga dalam penyediaan daging, kita harus mendatangkan ternak sapi
dari tempat yang jauh. Selama dalam perjalanan ini sering terjadi perlakuan yang kasar
pada sapi dan terjadinya pergesekkaan bahkan tumbukkan dengan benda-benda lainnya
yang mengakibatkan terjadinya luka dan memar. Hal ini berakibat pada rusaknya kulit dan
turunnya mutu karkas, disamping itu selama perjalanan dapat mengakibatkan ternak

22
menjadi stress yang mengakibatkan terjadinya penyusutan berat badan. Penyusutan ini
berkisar antara 2 sampai 5 %, tegantung pada lama perjalanan, cuaca, cara penanganan
ternak, dan kondisi alat pengangkutan.
Ternak yang telah mengalami perjalanan jauh, harus diistirahatkan di tempat
penampungan (holding ground) sekurang-kurangnya 24 jam. Di tempat penampungan ini,
sapi diistirahatkan dan diberi makanan berenergi tinggi untuk mengembalikan kondisi
badannya kekondisi semula., karena pemotongan sapi dalam keadaan letih akan
menghasilkan daging dengan kualitas yang jelek. Ada pendapat yang menyatakan bahwa
12 jam sebelum dilakukan pemotongan, sebaiknya sapi dipuasakan terlebih dahulu.
Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan perlakuan pemuasaan ini, yaitu (1) dapat
mengurangi sifat agresifitas dari sapi, (2) untuk mengurangi isi pencernaan yang dapat
mencemari daging, (3) untuk mendapatkan berat kosong dari ternak, sedangkan
kerugiannya, yaitu : (1) pemuasaan dapat mengakibatkan sapi menjadi stress, (2) pada
waktu pemotongan, daya ronta dan regang sapi yang lemah sehingga daya pancar darah
sewaktu dipotong tidak sekuat sapi yang tidak dipuasakan.
Di tempat penampungan biasanya terjadi transaksi antara jagal dengan pedagang
sapi. Transaksi biasanya didasarkan pada kondisi ternak, sapi yang disukai konsumen
adalah sapi yang mempunyai rusuk, pinggang dan punggung yang ditutupi oleh lemak
yang tipis, hal ini menunjukkan bahwa sapi tersebut mempunyai perlemakkan yang tipis,
disamping itu sapi dengan kulit yang longgar dan kenyal lebih disukai pula, karena
memberikan petunjuk kualitas karkas yang baik.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemotongan ternak sapi, yaitu :(1)
ternak tidak diperlakukan dengan kasar, (2) ternak tidak dalam keadaan stress, (3)
penyembelihan dan pengeluaran darah dilakukan dengan cepat dan sempurna, (4)
menghindari terjadinya kerusakkan karkas, (5) cara pemotongan yang bersih, ekonomis
dan aman bagi pekerja.
Secara umum cara pemotongan dibagi menjadi dua, yaitu pemotongan secara
langsung dan tidak langsung. Pemotongan secara langsung, yaitu ternak setelah
dijatuhkan langsung dipotong pada bagian lehernya sehingga memotong oesophagus,
pembuluh darah arteri carotis dan vena jugularis.Sedangkan pemotongan secara tidak
langsung, yaitu ternak sebelum dipotong dipingsankan terlebih dahulu. Tujuan dari
pemingsanan, yaitu : (1) untuk memudahkan dalam pemotongan, (2) untuk

23
menghindarkan perlakuan kasar pada ternak, (3) diperolehnya kulit dan karkas dengan
kualitas yang baik, karena pada waktu menjatuhkan ternak untuk dipotong, tidak
terbanting atau terbentur dengan benda yang keras, sehingga dapat mengurangi cacat
pada kulit dan memar pada karkas.
Pemingsanan ternak dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu : (1)
menggunakan alat pemingsan yang disebut dengan knocker, (2) dengan senjata
pemingsan yang disebut dengan stunning gun, (3) dengan cara pembiusan, (4) dengan
menggunakan arus listrik. Pemingsanan menggunakan senjata, diarahkan pada titik
tengah kening tulang kepala antara kedua kelopak mata (Gambar 11)

Gambar 11. Titik penembakkan sapi dengan peluru untuk memingsankan sapi

Pemotongan tidak boleh dilakukan pada ternak betina yang hamil dan masih
produktif. Ternak yang terjangkit mulut dan kuku (Apthae epzootica) dapat dipotong,
dengan pesyaratan bagian-bagian dalam, kepala, mulut, lidah dan kaki harus direbus
dahulu sebelum dipasarkan, sedangkan ternak yang terjangkit penyakit surra, harus
dipotong pada malam hari, karena penyakit ini disebarkan oleh lalat yang mempunyai
aktifitas pada siang hari, tetapi apabila ternak terjangkit anthraxs, maka setelah pemotongan harus
dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur yang dalam.
Pemotongan harus dilakukan di rumah pemotongan hewan RPH, kecuali dalam
keadaan darurat, yaitu : (1) ternak yang mengalami kecelakaan atau sakit, sehingga
dapat menyebabkan kematian bila tidak segera dipotong, (2) ternak yang disembelih
untuk keperluan hajat. Ternak yang dipotong karena kecelakaan atau sakit, dagingnya
tidak boleh langsung dipasarkan, tetapi harus diperiksa oleh pejabat yang berwenang.

24
Maksud pemeriksaan adalah : (a) melindungi konsumen dari penyakit yang dapat
ditimbulkan karena mengkonsumsi daging yang tidak sehat, (b) melindungi konsumen
dari pemalsuan daging, (c) mencegah penularan penyakit diantara ternak. Keputusan hasil
pemeriksaan akan menentukan apakah karkas dan bagian-bagian karkas dapat
dikonsumsi, diproses lebih lanjut atau tidak.
Setelah penyembelihan, darah harus segera dikeluarkan sebanyak mungkin kemudian
ternak dikuliti (babi dan ayam tidak dikuliti) dengan cara digantung pada posisi kaki
belakang, kemudian saluran pencernaan dan organ-organ dalam lainnya dikeluarkan
dengan cara membelah bagian abdomen hingga ke dada ternak. Penuntasan darah harus
sempurna karena bakteri dari usus dan darah yang tinggal dapat menyerang daging yang
dihasilkan. Di samping itu, residu darah yang tertinggal dalam karkas dapat mengubah
warna daging menjadi lebih gelap dan pencemaran lemak oleh darah.
Uji refleks mata, kaki dan ekor dapat digunakan sebagai penguji apakah ternak yang
disembelih telah mati atau tidak. Uji refleks mata dengan melihat apakah mata masih
bergerak atau tidak. Jika mata tidak bergerak maka ternak telah mati. Uji refleks kaki
dilakukan dengan memukul persendian kaki atau memijat sela-sela kuku, bila masih
terjadi gerakan atau kontraksi terkejut maka hewan masih hidup. Jika ekor yang
digerakkan dengan membengkokkan tidak bergerak (uji refleks ekor) maka hewan telah
mati.
Dressing adalah pemisahan bagian kepala, kulit dan jeroan dari tubuh ternak.
Tahapan proses dressing terdiri dari: (1) pemisahan dan pengulitan kepala; (2) pemisahan
keempat kaki pada bagian persendian tulang kanon (cannon); dan (3) pengulitan kulit
tubuh; (4) membuka rongga dada dengan gergaji yaitu tepat melalui ventral tengah
tulang dada; (5) membuka rongga abdomen dengan irisan sepanjang ventral tengah
kemudian pemisahan penis atau jaringan ambing dan lemak ruang abdominal yang sudah
lepas; (6) membelah benggol pelvik dan memisahkan kedua bagian tulang pelvik; (7)
membuat irisan sekitar anus dan tutup dengan kantong plastik; (8) memisahkan saluran
makanan dari saluran pernapasan; (9) mengeluarkan kantung kencing, uterus, intestinum
dan mesentrium, rumen dan bagian lain dari lambung, dan hati. Setelah memotong
diafragma, dipisahkan pluck yaitu jantung, paru-paru dan trakea; (10) dipisahkan karkas
menjadi bagian kanan dan kiri dengan gergaji yaitu tepat di daerah tengah punggung.

25
Metode pengulitan kepala yaitu dengan pengulitan di lantai, digantung atau menggunakan
mesin.
Pengulitan di mulai dengan membuat irisan panjang pada kulit sepanjang garis tengah
dada dan bagian perut (abdomen), kemudian dilanjutkan sepanjang permukaan dalam
(medial) kaki. Kulit mulai dipisahkan dari ventral ke arah punggung tubuh. Keuntungan
pengulitan di lantai yaitu biaya peralatan rendah dan pengulitan dapat dilakukan secara
massal, sedangkan kerugiannya yaitu kulit dan karkas menjadi kotor oleh darah dan
kotoran, lebih sulit menguliti sehingga kemungkinan rusak karkas ataupun kulit sangat
besar. Pengulitan dengan cara digantung dapat menghindari pencemaran kulit dan karkas
dari kotoran serta dapat meminimalisasi kemungkinan cacat. Adapun kerugian cara
tersebut adalah membutuhkan alat penggantung khusus dan per ekor hanya dapat
dikerjakan oleh dua orang. Pengulitan mekanis dapat mencegah karkas dan kulit kotor
dan mencegah cacat karkas. Cara ini membutuhkan modal besar dan tenaga yang ahli.

A2. Penyiapan Karkas


Istilah karkas untuk sapi, kerbau, kuda, kambing, domba dan hewan-hewan
sejenisnya adalah tubuh ternak yang telah dihilangkan kepala, kaki, dikuliti, darah, organ
pencernaan, organ dalam lainnya.
Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh dua faktor yaitu sebelum dan sesudah
pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang biasa disebut dengan antemortem yang
dapat mempengaruhi kualitas daging adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis
kelamin, umur, pakan, dan stress dan setelah pemotongan ( post mortem) yang
mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik,
metode pemasakan, karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk
daging, hormone dan antibiotik, lemak intramuskuler atau marbling, metode
penyimpanan, macam otot daging, dan lokasi pada suatu otot daging.

A3. Klasifikasi karkas


Karkas diklasifikasikan berdasarkan umur dan jenis kelamin seperti terlihat pada
Tabel 3
Tabel 3. Klasifikasi karkas berdasarkan umur dan jenis kelamin
Kelompok Deskripsi
26
Veal Karkas yang berasal dari sapi dengan umur di bawah 1 tahun
Yearling Karkas yang berasal dari sapi dengan umur 1 sampai dengan
2 tahun dan belum menunjukkan adanya gigi seri permanen
yang terkikis
Young Karkas yang berasal dari sapi dara dengan 3 sampai dengan 7
gigi seri permanen terkikis
Young prime Karkas yang berasak dari sapi kastrasi atau sapi jantan yang
tidak menunjukkan tanda kelamin sekunder yang mempunyai
3 atau lebih gigi seri permanen yang terkikis
Prime Karkas yang berasak dari sapi betina atau jantan dengan 8
gigi seri permanen terkikis
Cow /Steer/Ox Karkas yang berasal dari sapi betina atau jantan yang telah
mencapai dewasa kelamin

A4. Peta karkas sapi


Peta karkas sapi dapat dilihat pada Gambar 12 berikut ini

Gambar 12. Peta karkas Sapi


Dalam perdagangan internasional, pemotongan karkas biasanya mengikuti suatu
aturan tertentu dan bagian-bagian potongannya juga memiliki nama-nama tertentu.
Pemotongan utama karkas menurut perdagangan internasional adalah sebagai berikut:
a. karkas sapi dewasa (beef): round, sirloin, short loin, flank, plate, rib, brisket, cross
cut, chuck, dan foreshank.
b. karkas sapi muda (veal): long leg, flank, short loin, rack, breast, square cut chuck,
dan shank.

27
c. Karkas domba/kambing (lamb): leg, short loin, breast, rack, brisket, shoulder dan
foreshank.
d. Karkas babi: ham, belly, loin, spare ribs, shoulder dan jowl.

Gambar 13. Potongan Primal Karkas Veal

A5. Klasifikasi potongan daging


Klasifikasi potongan daging dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Potongan Daging berdasarkan Golongan
Golongan (Kelas) Potongan Daging
I 1. Has dalam (Tenderloin)
2. Has luar (Striploin/sirloin)
3. Lamusir (cube roll)
II 1. Tanjung (rump)
2. Kelapa (round)
3. Penutup (topside)
4. Pendasar (silverside)
5. Gandik (eye round)
6. Kijen (chuck tender)
7. Sampil besar (chuck)
8. Sampil kecil (blade)
III 1. Sengkel (shin/shank)
2. Daging iga (rib meat)
3. Samcan (thin flank)
4. Sandung lamur (brisket)

Potongan daging sesuai klasifikasi di atas dapat dilihat pada Gambar 14.

28
Gambar 14. Klasifikasi Potongan daging

B. Rangkuman
1. Penyembelihan merupakan proses mematikan ternak dengan cara memotong tiga
saluran pada leher, yaitu saluran esofagus, arteri karotis dan vena jugularis.
2. Penanganan sebelum penyembelihan yang harus dijaga adalah kondisi fisik dan
emosional ternak sebelum dan pada penyembelihan sebab berpengaruh terhadap mutu
daging
3. Istilah karkas untuk sapi, kerbau, kuda, kambing, domba dan hewan-hewan sejenisnya
adalah tubuh ternak yang telah dihilangkan kepala, kaki, dikuliti, darah, organ
pencernaan, organ dalam lainnya.
4. Penanganan sebelum penyembelihan yang harus dijaga adalah kondisi fisik dan
emosional ternak sebelum dan pada penyembelihan sebab berpengaruh terhadap mutu
29
daging. Ternak yang tenang dan banyak istirahat akan menghasilkan daging bermutu
tinggi dibanding yang kehabisan tenaga dan tertekan
5. Secara umum cara pemotongan dibagi menjadi dua, yaitu pemotongan secara langsung
dan tidak langsung.

C. Tes Formatif
1. Jelaskan apa yang dimaksud karkas adalah
2. Tiga saluran pada leher yang digunakan untuk mematikan ternak yang akan
disembelih adalah….
3. Sebutkan faktor antemortem yang dapat mempengaruhi kualitas daging
4. Sebutkan faktor postmortem yang dapat mempengaruhi kualitas daging
5. Berapa persen perkiraan terjadinya penyusutan berat badan sapi akibat tranportasi
6. Sebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyusutan berat badan
sapi akibat transportasi
7. Sebutkan penampilan sapi yang disukai oleh konsumen
8. Berapa lama sebaiknya sapi harus diistirahatkan di tempat penampungan
9. Keuntungan dan kerugian apa yang terjadi akibat pemuasaan ternak sapi sebelum
dilakukan pemotongan
10.Jelaskan mengapa ternak yang akan disembelih harus relaks dan cukup istirahat?
11.Apa saja yang perlu diperhatikan dalam pemotongan sapi
12. Apa yang dimaksud dengan pemotongan ternak secara tidak langsung
13. Sebutkan tujuan pemingsanan ternak sebelum dilakukan pemotongan
14. Sebutkan 4 cara pemingsanan ternak sapi
15. Apa yang dimaksud dengan pemotongan sapi dalam keadaan darurat
16. Jelaskan tahapan dressing pada ternak sapi
17.Tulislah nama-nama bagian karkas

30
18.Sebutkan klasifikasi potongan daging berdasarkan kelasnya beserta nama-nama
potongannya
19.Jelaskan cara pemotongan ternak sapi yang mengalami penyakit
20.Jelaskan mengapa ternak yang dipotong karena kecelakaan atau sakit, dagingnya
tidak boleh langsung dipasarkan, tetapi harus diperiksa oleh pejabat yang
berwenang

Kegiatan Belajar 3
Penanganan Karkas
A. Lembar Informasi
A.1 Resprirasi Pra Mortem
Seperti manusia, hewan pun melakukan respirasi. Penyembelihan hewan akan
menghentikan proses respirasi. Sebelum kita membahas proses apa yang terjadi setelah pasca
penyembelihan (post morterm) perlu kita pahami apa yang terjadi pada proses dan setelah proses
respirasi.
Pada proses respirasi sel menghasilkan energi . Pada intinya, respirasi sel adalah proses
pengubahan glukosa oleh oksigen menjadi energi. Jadi memang glukosa dan oksigen yang menjadi
tokoh utamanya. Secara kimiawi, reaksi umum dari proses respirasi sel adalah sebagai berikut:

Gambar 15. Respirasi

dalam proses respirasi sel, terdapat beberapa tahap yang harus dilalui untuk bisa mendapatkan
energi dari glukosa salah satunya glikolisis. Pada prinsipnya, glikolisis merupakan proses
31
pemecahan glukosa. Pada glikolisis, satu molekul glukosa dipecah menjadi 2 molekul asam piruvat.
Asam piruvat adalah senyawa alami yang diproduksi oleh tubuh yang membantu membuat dan
menggunakan energy. sebagai perantara dalam metabolisme protein dan karbohidrat, membantu
melepaskan energi ke tubuh

Gambar 16. Glikolisis

Salah satu hasil dari glikolisis adalah ATP (Adenosin Trifosfat). ATP adalah molekul yang
membawa energi dalam sel. Ini adalah mata uang energi utama sel, dan itu adalah produk akhir dari
proses fotofosforilasi (menambahkan gugus fosfat ke molekul yang menggunakan energi dari
cahaya), respirasi sel, dan fermentasi. Semua makhluk hidup menggunakan ATP. Selain digunakan
sebagai sumber energi, itu juga digunakan dalam jalur transduksi sinyal untuk komunikasi sel dan
dimasukkan ke dalam asam deoksiribonukleat (DNA) selama sintesis DNAKetika sel memerlukan
energi, maka ATP dapat segera dipecah atau dikonversi melalui reaksi hidrolisis (yaitu reaksi
dengan air) dan terbentuk energi.

Energi yang terbentuk ini dapat diangkut dan digunakan oleh seluruh bagian sel
tersebut.Energi yang terkandung dalam ATP baru dapat digunakan, jika ATP terlebih dahulu
dipecah melalui reaksi hidrolisis dengan cara melepaskan 2 ikatan fosfat, yaitu antara ikatan fosfat
kedua dan ketiga kemudian dihasilkan Adenosin Difosfat (ADP). Hasil glikolisis ini adalah asam
piruvat dan ATP yang akan digunakan pada proses pembentukan energy selanjutnya yaitu siklus
krebs.

Respirasi aerob terjadi melalui glikolisis, siklus krebs dan transfer elekton. Siklus krebs
terjadi di dalam mitokondria sedangkan glikolisis terjadi pada sitoplasma.Oleh sebab itu, asam
piruvat hasil glikolisis harus masuk mitokondria terlebih dahulu agar dapat menjalani siklus krebs.
dalam keadaan tersedia oksigen, asam piruvat akan memasuki proses respirasi aerob untuk diolah
menjadi energi dengan hasil akhir air dan karbondioksida. Apabila tidak terdapat oksigen, asam
piruvat akan menjalani proses respirasi anaerob untuk diubah menjadi asam laktat.
Fase pasca mortem merupakan tahapan setelah mati. Pasca mortem mengakibatkan
perubahan-perubahan secara biokimia pada ternak yang telah disembelih. Kematian mengakibatkan
32
terjadinya glikolisis anaerobik dan terhentinya respirasi. Berhentinya respirasi mengakibatkan
siklus krebs terhenti sehingga mengakibatkan penurunan konsentrasi ATP dan menghasilkan
produksi asam laktat . Perubahan-perubahan yang terjadi akan menghasilkan flavor daging,
perubahan rigor jaringan otot, perubahan kelarutan air dan daya ikat air.

A2. Fase-fase perubahan fisiologis Post Mortem


Pasca mortem dibagi tiga fase yaitu fase pre-rigor, rigor mortis dan pasca rigor mortis.
Perubahan yang terjadi selama proses pasca mortem dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Proses Pasca Mortem

Pemahaman mengenai fase-fase daging pasca penyembelihan akan membuat para


pengolah pangan dapat menentukan cara penangan bahan daging sebagai bahan
baku produksi olahan daging
1) Fase Prarigor mortis
Setelah proses penyembelihan, maka sirkulasi darah pada hewan akan berhenti.
Hal ini akan menyebabkan fungsi darah sebagai pembawa oksigen terhenti. Dengan
berhentinya proses respirasi maka akan terjadi reaksi glikolisis yang anaerobik dan
menghasilkan produksi asam laktat, sehingga dilanjutkan dengan adanya serangkaian
perubahan biokimia dan kimia seperti perubahan pH daging, perubahan kelarutan
protein, perubahan daya ikat air (water holding capacity), perubahan jaringan otot.
Pada fase ini daging masih relatif konstan sehingga pada tahap ini tekstur daging
lentur dan lunak.
33
Jika ditinjau dari kelarutan protein daging pada larutan garam, daging pada fase
pre rigor ini mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan daging pada fase post
rigor. Hal ini disebabkan daging pada fase prerigor ini hampir 50% protein-protein
daging yang larut dalam larutan garam (protein miofibril), dapat diekstraksi keluar dari
jaringan. Karakteristik ini sangat baik apabila daging pada fase ini digunakan untuk
pembuatan produk-produk yang membutuhkan sistem emulsi pada tahap proses
pembuatannya seperti bakso dan sosis. Mengingat pada sistem emulsi dibutuhkan
kualitas dan jumlah protein yang baik untuk berperan sebagai emulsifier.
2) Fase rigor mortis
Pada tahap ini, terjadi perubahan tekstur pada daging dimana jaringan otot
menjadi keras, kaku, dan tidak mudah digerakkan yang disebabkan karena
berhentinya proses respirasi, sehingga menyebabkan penurunan jumlah ATP
(Adenosine Tri Phosphate ) pada jaringan daging yang berfungsi sebagai sumber
energi.
Rigor mortis juga sering disebut sebagai kejang bangkai. Kondisi daging pada fase
ini perlu diketahui kaitannya dengan proses pengolahan. Daging pada fase ini jika
dilakukan pengolahan akan menghasilkan daging olahan yang keras dan alot.
Kekerasan daging selama rigor mortis disebabkan terjadinya perubahan struktur serat-
serat protein. Protein dalam daging yaitu protein aktin dan miosin mengalami ”cross-
linking”.
3) Fase Post rigor mortis
Fase post rigor atau pasca rigor pada fase ini daging akan kembali lunak tapi
bukan diakibatkan oleh pemecahan ikatan aktin dan miosin melainkan peranan enzim
katepsin yang membantu pemecahan protein aktomiosin menjadi protein sederhana.
daging pada fase post rigor baik untuk diolah karena tekstur daging sudah kembali
melunak, namun pengolahan daging harus dilakukan sesegera mungkin untuk
menghindari kontaminasi mikrobia semakin banyak dan terjadinya perubahan ke arah
penurunan mutu terhindari.

Pemaparan daging lebih lanjut akan menjadikan daging semakin mengalami


penurunan mutu. daging akan menjadi lembek dan menghasilkan aroma busuk.
kebusukan pada daging disebabkan oleh pemecahan protein menjadi protein

34
sederhana yang menyisakan gugus amino (alkali) dan sulfur yang merupakan
senyawa yang menyebabkan timbulnya bau busuk pada daging.
Secara umum jika digambarkan fase-fase daging setelah proses penyembelihan
adalah

Gambar 17. Sifat Fisiologi Pasca Moterm


Pemahaman mengenai fase-fase daging pasca penyembelihan akan membuat para
pengolah pangan dapat menentukan cara penangan bahan daging sebagai bahan baku
produksi olahan daging.

A3. Pelayuan
Karkas dari hasil pemotongan sapi umumnya mempunyai temperatur yang tinggi,
yaitu sekitar 39°C. Hal ini harus segera diturunkan untuk menghindarkan perubahan-
perubahan yang menyebabkan terjadinya kerusakan daging, oleh karena itu karkas harus
segera disimpan dalam ruang pendingin yang disebut dengan proses pelayuan.
Pelayuan disebut juga aging, conditioning atau hanging, yaitu dengan
menggantungkan karkas selama waktu tertentu di dalam ruangan dengan temperatur
diatas titik beku karkas (-1,5° C). Pelayuan biasanya dilakukan pada ruangan pendingin
dengan temperatur pada kisaran 15° - 16° C selama 24 jam, atau dapat pula dilakukan
pada kisaran temperatur 0° - 3° C dengan waktu yang lebih lama. Selama proses
pelayuan terjadi proses autolisis, yaitu perombakan tenunan daging oleh enzim yang

35
terdapat di dalam daging, sehingga daging menjadi lebih empuk dan berkembangnya
flavor daging yang lebih baik.
Selama pelayuan terjadi proses fisiologis otot postmortem. Proses fisiologis tersebut
adalah rigor mortis, yaitu proses kekakuan otot yang terjadi setelah penyembelihan.
Proses kekakuan ini merupakan kontraksi otot yang irreversibel. Bila daging diperoleh dari
karkas yang masih rigor mortis maka daging akan terasa lebih alot/keras. Oleh karena itu
proses rigor mortis harus dilalui.
Pelayuan dengan cara menggantung karkas akan mengurangi pemendekan otot
akibat rigor mortis karena secara fisik, penggantungan menyebabkan gaya berat karkas
menahan proses kontraksi otot. Selain itu dengan adanya pelayuan maka memberikan
kesempatan enzim proteolitik untuk mendegradasi protein-protein serat sehingga
menjadikan daging terasa lebih empuk.
Fase-fase yang dialami jaringan otot hewan setelah dipotong adalah fase pre rigor
mortis, rigor mortis, dan pasca rigor mortis. Pada fase rigor mortis jaringan otot menjadi
keras dan kaku. Fase ini sangat tergantung pada kondisi penyimpanan. Penyimpanan
pada suhu rendah dapat menyebabkan fase rigor mortis berlangsung cukup lama.
Sedangkan fase pasca rigor mortis adalah fase pembentukan aroma, pada fase ini daging
kembali menjadi lunak dan empuk karena daya ikat air dalam otot kembali meningkat.
Rigor mortis merupakan proses yang harus diperhatikan karena kesalahan penanganan
bisa berpengaruh pada kualitas daging. Karkas yang pre rigor atau sedang rigor disimpan
beku maka bila karkas/daging dilakukan thawing akan terjadi pengkerutan yang hebat
hingga bisa mencapai 50% karena terjadi rigor mortis kembali ( thaw rigor). Hal ini
menyebabkan ukuran karkas atau daging menjadi lebih kecil dari ukuran semula. Oleh
karena itu pembekuan karkas atau daging biasanya dilakukan pada keadaan postrigor.
Berkenaan dengan sifat rigor mortis ini maka dalam pelayuan biasanya dilakukan
pada temperatur antara 15-16C. Pada temperatur ini rigor mortis masih bisa berlangsung
sehingga tidak menimbulkan pengkerutan. Pelayuan pada temperatur rendah akan
menyebabkan pengkerutan dingin (cold shortening). Temperatur di bawah 15C
menyebabkan karkas yang belum rigor atau sedang rigor menjadi tidak bisa
melangsungkan rigor mortis dan bila dikembalikan ke temperatur ruang maka rigor mortis
yang tertunda tadi berlangsung kembali tetapi diikuti dengan pengkerutan karkas/daging.

36
A4. Perubahan Fisiologi Pada Karkas
1. Perubahan Warna
Pigmen daging terdiri atas dua protein yakni hemoglobin, pigmen darah, dan myoglobin,
pigmen otot Dalam pencampuran yang tepat pada jaringan otot, myoglobin terdiri atas 80
-90% dari total pigmen. Warna daging ternyata disebabkan oleh sebuah protein yang bernama
myoglobin, suatu protein yang berfungsi untuk menyimpan oksigen (O 2) dan memfasilitasi
difusi oksigen tersebut pada proses kontraksi sel-sel otot. Pada myoglobin terdapat lubang
yang mengandung heme (cincin porphyrin dengan ion besi (Fe2+) di pusatnya), tempat dimana
oksigen di simpan sebelum dilepaskan untuk membuat energi sel.
Oksigen pada myoglobin ini diperoleh dari hemoglobin yang berasal dari sel darah
merah. Hemoglobin mengandung empat struktur protein mirip myoglobin. Terjadinya transfer
oksigen dari hemoglobin ke myoglobin terjadi karena oksigen memiliki afinitas yang lebih
besar terhadap myoglobin dibandingkan terhadap hemoglobin. Sebagai analogi, hemoglobin
dalam sel darah merah adalah seperti mobil truk yang mengangkut muatannya berupa oksigen
dari paru-paru. Satu hemoglobin bisa mengangkut empat molekul oksigen. Nah di tempat
tujuan, dalam hal ini sel otot, hemoglobin membongkar muatan oksigennya dan
memberikannya kepada gerobak pengangkut yang lebih kecil yaitu myoglobin yang hanya bisa
memuat satu molekul oksigen per gerobak. Gerobak myoglobin ini berfungsi untuk
menyimpan oksigen sampai sel otot memerlukannya.

37
Gambar 18. Penyebab Warna Merah Pada Daging
Sumber : https://sainspop.com
Ikatan oksigen dengan heme pada myoglobin inilah yang menghasilkan warna merah
karena ikatan oksigen pada heme-nya, sama seperti warna merah pada darah. Semakin banyak
kandungan myoglobin di dalam daging, semakin banyak oksigen yang terikat, sehingga
semakin merah warna daging tersebut
Jumlah mioglobin bervariasi diantar jenis ternak, umur, jenis kelamin, otot, dan
aktivitas fisik, yang akan memepengaruhi variasi warna daging. Perbedaan jenis ternak terlihat
antara warna ringan pada daging babi dibanding warna merah cerah pada daging sapi. Warna
pucat otot pada karkas anak sapi (veal) adalah indikasi bahwa otot yang belum dewasa pada
ternak mempunyai kandungan mioglobin yang rendah dibanding pada ternak yang lebih
dewasa. Pada pejantan mempunyai otot-otot yang mengandung lebih banyak mioglobin
daripada ternak betina atau jantan pada umur yang sama. Karena perbedaan kandungan
mioglobin, otot dada ayam lebih terang daripada otot yang lebih gelap (tua) warnanya seperti
pada kaki dan paha. Ternak aduan (permainan) mempunyai otot yang lebih gelap daripada
ternak peliharaan (domestic) karena sebagian disebabkan induksi mioglobin oleh aktivitas fisik.
Pada umumnya, daging sapi dan domba mempunyai mioglobin yang lebih banyak daripada
daging babi, anak sapi, ikan atau unggas.
Pada saat kita memotong daging sapi mentah, akan keluar cairan yang berwarna
kemerah-merahan. Cairan itu bukanlah darah tetapi myoglobin yang terlarut dalam air karena
darah sapi sudah keluar seluruhnya pada proses penyembelihan. Kemudian, ketika dimasak,
daging sapi akan berubah warna menjadi cokelat. Perubahan warna ini terjadi karena
myoglobin mengalami denaturasi (kerusakan struktur) sehingga heme-nya terlepas. Dalam
keadaan bebas, ion Fe2+ pada heme dengan mudah mengalami oksidasi menjadi Fe3+ yang
berwarna kecokelatan.
2. Perubahan pH Daging
pH awal diukur pada awal pengukuran setelah pemotongan sampai 45 menit, dan pH
akhir kira-kira setelah 24 jam. pH normal daging adalah 5,3-5,9. Faktor-faktor yang
mempengaruhi antara lain stress sebelum pemotongan, injeksi hormon atau obat-obatan,
spesies, individu ternak dan macam otot, stimulasi listrik, aktivitas enzim dan terjadinya
glikolisis (Soeparno et al., 2011)

38
Proses pemotongan sangat berpengaruh terhadap kualitas daging yang dihasilkan.
Setelah ternak dipotong akan terjadi perubahan secara fisik maupun kimia. Pasca
penyembelihan terjadi penurunan pH pada daging dikarenakan adanya metabolisme
anaerobic yang akan menghasilkan asam laktat pada jaringan daging. Produksi asam laktat ini
akan menyebabkan penurunan pH daging yang akan terjadi secara bertahap dari pH normal
menjadi pH akhir sekitar 3.5 hingga 5.5.
Setelah proses penyembelihan, maka sirkulasi darah pada hewan akan berhenti. Hal ini
akan menyebabkan fungsi darah sebagai pembawa oksigen terhenti. Dengan berhentinya
proses respirasi maka akan terjadi reaksi glikolisis yang anaerobik dan menghasilkan produksi
asam laktat. Terbentuknya asam laktat menyebabkan penurunan pH daging dan menyebabkan
kerusakan struktur protein otot dan kerusakan tersebut tergantung pada temperatur dan
rendahnya pHTernak yang kelelahan sebelum proses pemotongan akan memiliki sedikit energi
untuk mengatasi stress, akibatnya jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama
proses glikolisis anaerob akan terbatas sehingga daging yang dihasilkan mempunyai pH yang
tinggi dengan warna merah gelap atau dikenal dengan istilah daging DFD (Dark Firm and Dry)
dengan pH berkisar 6, 2
Standar pH daging hewan yang sehat dan cukup istirahat yang baru dipotong adalah 7-
7,2 dan dapat menurun dengan cepat hingga mencapai 5,5-5, 7 dan akan terus menurun selama 24
jam . Perlu dipahami bahwa setelah hewan dipotong, penyediaan oksigen otot terhenti,
dengan demikian persediaan oksigen tidak lagi di otot dan sisa metabolism tidak dapat
dikeluarkan lagi dari otot, sehingga daging akan mengalami penurunan pH. pH daging dapat
menurun dengan cepat hingga mencapai 5,4-5,5 selama beberapa jam setelah pemotongan..
Penurunan pH tersebut tidak sama untuk semua urat daging dari seekor hewan dan di antara
hewan juga berbeda. Nilai pH postmortem akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang
dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob. Nilai pH akan semakin rendah pada
hewan yang mengalami stress sebelum pemotongan dan akan dihasilkan daging yang pucat,
lembek dan berair (pale, soft, exudative = PSE).
Daging PSE banyak terjadi pada ternak babi stres yang sering disebut Porcine Stress
Syndrome (PSS), namun dapat pula terjadi pada jenis ternak yang lain. Kondisi daging PSE
tergambar dari namanya (Pale, Soft, Exudative), yaitu daging menjadi lunak dan cenderung
lentur, permukaan daging basah, serta warna daging pucat. Ketika dimasak daging PSE sangat

39
kering dan secara organoleptik kurang diterima. Daging PSE ini kurang baik untuk pengolahan
karena memiliki nilai WHC yang rendah. Bagan terjadinya PSE terlihat pada Gambar

https://kanalpengetahuan.tp.ugm.ac.id

Daging DFD adalah penyimpangan kualitas daging yang banyak terjadi pada sapi dan babi. DFD
adalah fenomena di mana daging menjadi lebih gelap penampakannya dibandingkan daging
normal. Permukaan daging kering, pH lebih tinggi (6,0 – 6,2) dibanding normal (5,3 – 5,8). DFD
terjadi pada ternak yang mengalami stres dan banyak gerak/berontak dalam waktu yang cukup
lama sebelum disembelih. Akibatnya, cadangan glikogen tubuh menjadi sangat rendah, proses
glikolisis anaerob yang menghasilkan asam laktat untuk penurunan pH daging tidak terjadi dan pH
ultimat tetap tinggi. Karena pH tinggi, daya ikat air daging DFD juga tinggi.
3. Perubahan Struktur Jaringan Otot
Faktor yang mempengaruhi struktur jaringan otot terutama keempukan daging terdiri dari
faktor antemortem dan post mortem. Faktor antemortem antara lain adalah genetik, fisiologi,
makanan, dan manajemen pemeliharaan ternak, sedangkan faktor post mortem antara lain adalah
metode pemotongan, penyimpanan dan pengolahan daging. Selama proses pasca mortem terjadi
perubahan struktur jaringan otot yaitu penurunan keempukan akibat kelebihan energi, sehingga
jaringan otot berkontraksi. Setelah fase rigor mortis terlewati, jaringan otot mengalami fase pasca
rigor, di mana jaringan otot menjadi lunak dan daging menjadi empuk (tender). Mekanisme
proteolitik merupakan teori yang sering digunakan untuk menerangkan keempukan daging pada
pasca rigor, yaitu melonggarnya ikatan aktin dan miosin serta terurainya sebagian kolagen oleh
asam yang terbentuk. Dengan turunnya pH, enzim katepsin akan aktif mendesintegrasi garis-garis
gelap Z pada miofilamen, menghilangkan gaya adhesi antara serabut-serabut otot. Selain itu

40
enzirn katepsin yang bersifat protoelitik tersebut dapat melonggarkan serat otot. Ada hubungan
yang erat antara pengaruh pH dan keempukan daging.
4. PERUBAHAN DAYA IKAT AIR
Daya ikat air oleh daging adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang
ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan,
penggilingan atau tekanan. Kemampuan menahan air menjadi faktor penting terutama pada
daging yang akan digunakan pada industri yang melibatkan proses penghancuran dan atau
pengemulsian, misalnya produksi pasta daging, sosis, bakso, ham matang, dan lain-lain.
Daya ikat air juga erat hubungannya dengan kehilangan air sewaktu daging dibekukan
dan dicairkan kembali (thawed). Pada fase prerigor daya ikat air daging masih relatif tinggi, akan
tetapi secara bertahap menurun seiring dengan perubahan nilai pH dan jumlah ATP jaringan otot.
Daging yang mempunyai daya ikat air tinggi, di mana pH-nya jauh di atas isoelektrik dari
aktomiosin, maka protein akan mengikat air lebih banyak dan akibatnya permukaan daging
menjadi kelihatan kering, tetapi ketika dimasak kehilangan airnya sedikit dan mampu
memerangkap air lebih banyak sehingga memberi cita rasa basah dan memberi kesan empuk.
Habisnya ATP Pasca Mortem pada fase rigor mortis menyebabkan terjadinya ikatan yang
kuat antara filamen aktin dan miosin. Kuatnya ikatan jaringan protein miofibrilar tersebut juga
dapat menyebabkan menyempitnya ruangan untuk mengikat air, sehingga daya ikat air daging
pada fase rigor mortis sangat rendah. Selama proses pasca rigor daya ikat air daging dapat
meningkat lagi, hal ini dihubungkan dengan perubahan muatan elektrik molekul protein otot, atau
dengan melonggarnya jaringan miofibrilar akibat aktivitas enzim proteolitik
5. PENETRASI MIKROORGANISME
Di dalam tubuh hewan yang masih hidup terdapat suatu mekanisme biologis tertentu
yang akan tidak berfungsi lagi setelah hewan tersebut mati, dan akan menyebabkan enzim
pencernaan akan menyerang jaringan tubuh. Bersamaan dengan itu mikroorganisme masuk ke
dalam daging hewan yang telah mati. Penetrasi mikroorganisme berasal dari lingkungan
sekitarnya, dan terjadi mulai dari saat pemotongan hewan serta pada proses penanganan lebih
lanjut. Di dalam daging, mikroorganisme yang tumbuh terutama dari jenis bakteri yang mengambil
kebutuhan nutrisinya dari daging yang ditempati. Tingkat kerusakan daging tergantung dari
tingkat kebutuhan nutrisi bakteri. Kebanyakan bakteri termasuk bakteri pembusuk daging dari
genus Pseudomonas. Karkas ternak akan terkontaminasi secara internal apabila tidak didinginkan

41
setelah penyembelihan. bakteri anaerobik (kebanyakan Clostridia) yang merupakan
mikroorganisme perusak tingkat rendah dapat tumbuh di dalam otot.

B. Rangkuman
1. Fase yang dialami daging setelah penyembelihan adalah pra rigor, rigor mortis dan post
rigor.
2. Fase pre-rigor mortis adalah fase yang terjadi setelah hewan mengalami kematian.
Pada fase ini otot dalam keadaan relokasi, proses kimiawi dan pertumbuhan sangat
lambat.
3. Fase rigor mortis adalah fase setelah pre-rigor mortis. Secara fisik pada fase ini terjadi
perubahan daging, yang menjadi kaku dan kehilangan fleksibilitasnya. Lama fase rigor
mortis tergantung pada jenis hewannya. Fase ini berpengaruh langsung terhadap
keempukan daging.
4. Fase pasca rigor mortis adalah fase setelah rigor mortis. Pada fase ini tidak ada
pembentukan energi (ATP) yang dapat digunakan untuk kontraksi dan pensilnya akhir
dan miosin, sehingga daging menjadi empuk kembali.
5. Perubahan fisikokimia meliputi perubahan pH, perubahan struktur jaringan otot,
perubahan kelarutan protein dan perubahan daya ikat air. Perubahan pH setelah post
mortem dipengaruhi faktor intrinsik dan ekstrinsik.
6. Faktor yang mempengaruhi perubahan struktur jaringan otot adalah faktor antemortem
dan post-mortem. Perubahan kelarutan protein dipengaruhi oleh pH, tersedianya ATP
dan faktor lain. Perubahan daya ikat air dipengaruhi oleh pH dan jumlah ATP jaringan
otot.
7. Perubahan warna daging ditentukan oleh pigmen daging yang utama, yaitu mioglobin.
Banyak faktor yang mempengaruhi warna daging yaitu pakan, spesies, jenis hewan,
umur, jenis kelamin, stres, pH dan oksigen.
8. Masuknya mikroorganisme ke dalam daging terjadi bersamaan dengan masuknya enzim
pencernaan ke dalam jaringan tubuh. Hal ini terjadi disebabkan oleh terhentinya
mekanisme biologis karena hewan mati disembelih.
9. Untuk memperoleh keempukan yang sempurna dan cita rasa yang khas, daging
mengalami proses pelayuan. Pelayuan disebut juga aging, conditioning atau hanging,

42
yaitu dengan menggantungkan karkas selama waktu tertentu di dalam ruangan dengan
temperatur diatas titik beku karkas (-1,5° C).
10. Tujuan proses pelayuan adalah agar proses pembentukan asam laktat dapat
berlangsung sempurna sehingga terjadi penurunan pH. Selama proses daging pelayuan
daging mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut: daging menjadi lunak,
daging menjadi kurang transparan, perubahan pH daging, perubahan daya ikat air dan
pembentukan aroma daging.
11. Pembekuan karkas atau daging biasanya dilakukan pada keadaan postrigor.

C. Tes Formatif
1. Jelaskan apa yang terjadi pada proses pelayuan
2. Mengapa karkas perlu dilayukan
3. Mengapa pelayuan mengakibatkan terjadinya penyusutan berat karkas
4. Mengapa pelayuan pada suhu yang lebih rendah mengakibatkan
5. terjadinya pemendekkan otot daging
6. Sebutkan tujuan utama dari pelayuan karkas
7. Jelaskan mengapa daging yang baru disembelih menjadi alot/atos?
8. Jelaskan mengapa pelayuan tidak boleh dilakukan menggunakan suhu rendah(<
15C) atau suhu beku
9. Jelaskan mengapa pelayuan karkas daging dengan cara menggantung daging
dapat mengempukkan daging?
10.Jelaskan mengapa pembekuan karkas daging harus dilakukan pada saat postrigor?
11.Kondisi daging pasca penyembelihan yang paling sesuai untuk pembuatan produk
yang membuat sistem emulsi adalah ..
12.Mengapa proses pelayuan membuat serat daging menjadi empuk?
13.Jelaskan apa yang dimaksud dengan daging dengan kondisi PSE
14.Jelaskan apa yang dimaksud dengan daging kondisi DFD
15.Jelaskan mengapa daging dengan kondisi PSE tidak baik untuk pengolahan
16.Jelaskan mengapa pH daging yang telah disembelih mengalami penurunan
17.Jelaskan mengapa warna karkas anak sapi lebih pucat daripada karkas sapi
dewasa?
18.Jelaskan mengapa daging sapi yang dimasak berubah menjadi berwarna coklat?

43
19.Karkas ternak akan terkontaminasi secara internal apabila tidak didinginkan setelah
penyembelihan oleh bakteri dari genus....
20. Bakteri anaerobik yang merupakan mikroorganisme perusak tingkat rendah dapat
tumbuh di dalam otot adalah dari genus....

Kegiatan Belajar 4
Pengawetan Daging
A. Lembar Informasi

Pengawetan daging merupakan suatu cara menyimpan daging untuk jangka waktu
yang cukup lama agar kualitas maupun kebersihannya tetap terjaga.
Tujuan pengawetan adalah menjaga ketahanan terhadap serangan jamur (kapang),
bakteri, virus dan kuman agar daging tidak mudah rusak. Ada beberapa cara pengawetan
yaitu: pendinginan, pelayuan, pengasapan, pengeringan, pengalengan dan
pembekuan(Leith. 1989).

A1. Pendinginan
Pendinginan adalah metode yang paling banyak digunakan untuk tujuan pengawetan daging
segar. Temperatur pendinginan yang rendah akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme,
reaksi-reaksi enzimatis dan kimia yang menjadi penyebab penurunan mutu serta kerusakan daging.
Pendinginan cepat sangat baik dilakukan untuk mencegah kerusakan oleh mikroorganisme.
Penyimpanan karkas atau daging pada suhu dingin, meskipun dalam waktu yang singkat tetap
diperlikan untuk mengurangi kontaminasi atau untuk mengendalikan perkembangan
mikroorganisme. Kemungkinan kerusakan daging atau karkas selama penyimpanan pada suhu
dingin dapat diperkecil dengan cara penyimpanan karkas dalam bentuk dipotong-potong.
Temperature internal karkas sesaat setelah pemotongan yang berkisar antara 30-39ºC, selama
penyimpanan dingin temperature internal tersebut segera diturunkan sampai 5ºC atau lebih dingin
lagi.faktor yang mempengaruhi laju pendinginan antara lain : panas spesifik karkas atau kapasitas
karkas, berat ukuran karkas, jumlah lemak eksternal, temperatur udara lingkungan pendingin,
jumlah karkas dalam ruangan pendingin dan jarak antara karkas.

44
Kelembaban relatif di dalam ruangan pendingin sebaiknya dijaga tetap tinggi (88-92%) untuk
mencegah pengerutan karkas yang berlebihan yang disebabkan oleh hilangnya cairan karkas selama
pendinginan. Kehilangan berat selama pendinginan secara relatif lebih besar pada karkas
yangmempunyai lapisan lemak eksternal lebih sedikit daripada belahan karkas yang besar dan
mempunyai lemak eksternal lebih banyak.
Pemendekan otot yang terjadi karena pendinginan yang terlalu cepat (lebih rendah dari 15ºC
sampai 19ºC), sementara otot masih dalam kondisi prerigor dapat dihindarkan dengan cara
pendinginan daging secara cepat sampai kira-kira 15ºC  dan dipertahankan di temperature ini
hingga tercapainya kondisi rigormotis. Kemudian temperatur ini dapat diturunkan secepat mungkin
pada temperatur dingin.
Penyimpanan daging dingin sebaiknya dibatasi dalam waktu yang relatif singkat, karena
perubahan-perubahan kerusakan yang meningkat sesuai dengan lama waktu penyimpanan. Factor
yang mempengaruhi lama simpan daging dingin, antara lain adalah jumlah mikroba awal,
temperature dan kelembaban selama penyimpanan, ada tidaknya pelindung (lemak atau kulit),
ruang pendingin dan tipe produk yang disimpan.
Pendinginan akan berhasil mengawetkan daging jika syarat-syarat berikut ini dipenuhi.
1. Pencemaran awal kurang dari 150 koloni/cm 2.
2. Waktu pemotongan dan penanganan karkas tidak boleh lebih dari 45 menit.
3. Pendinginan mampu mengurangi suhu sampai -1 oC dalam 24 jam untuk permukaan daging, dan 72 jam untuk
jaringan bagian dalam.
4. Kelembaban relatif ± 85% dan kecepatan 80 cm/detik, untuk mendapatkan susut bobot 2 - 4%.
5. Pendinginan karkas dilakukan dengan cara menggantung, untuk karkas sapi dapat dilakukan dengan kuarter
bagian. Karkas daging sapi dapat dilapisi dengan kain pembungkus daging sebelum didinginkan, sedangkan karkas veal
(sapi muda) dapat dilapisi sebelum atau setelah pendinginan. Karkas domba biasanya dilapisi segera setelah
penyembelihan, sedangkan karkas babi dan unggas tidak perlu dilapisi.
Kecepatan pendinginan tergantung pada ukuran dan bobot karkas, kapasitas panas karkas, ketebalan jaringan
lemak, serta temperatur dan sirkulasi udara di dalam ruang pendinginan. Dengan menggunakan udara dingin dengan
kecepatan tinggi, waktu pendinginan dapat dipercepat 25 - 35%.
Kehilangan cairan serta pengerutan daging dapat dikurangi dengan menjaga kelembaban nisbi 88 - 92%.
Pendinginan veal (sapi muda), domba dan babi secara umum sama dengan pendinginan sapi, hanya ukuran karkasnya
yang berbeda. Setelah melalui proses pendinginan, daging didistribusikan kepada konsumen atau pasar dengan
berbagai cara. Cara yang sering digunakan adalah mendistribusikannya dalam bentuk karkas utuh dalam kendaraan
berpendingin, atau yang mulai banyak dilakukan adalah mengemas potongan-potongan daging dalam kemasan
karton. Beberapa produsen mengemas potongan-potongan tersebut dalam kemasan vakum sebelum dimasukkan
dalam kemasan karton.

45
A2. Pembekuan
Pembekuan adalah metode yang baik untuk mengawetkan daging dan menyebabkan hanya sedikit perubahan
yang merugikan apabila dilakukan dengan seksama. Namun demikian, daging beku sering bermutu inferior oleh
karena tidak dilakukan tindakan-tindakan pengamanan pada waktu persiapan, pembekuan, dan penyimpanan beku.
Jika dilakukan dengan metode yang benar, pembekuan dapat mengawetkan daging tanpa menyebabkan perubahan
yang nyata terhadap bentuk, ukuran, penampakan, warna, cita rasa dan nilai gizi. Sampai saat ini belum ada metode
pengawetan daging segar yang dapat menghasilkan produk akhir yang awet seperti yang dihasilkan dengan metode
pembekuan.
Beberapa persyaratan untuk memperoleh hasil daging beku yang baik adalah:
1.    Daging segar harus berasal dari ternak yang sehat
2.    Pengeluaran darah pada saat pemotongan harus sesempurna mungkin
3.    Periode pelayuan harus dibatasi
4.    Karkas atau daging dibungkus mengunakan material yang berkualitas baik
5.    Temperatur pembekuan setidak-tidaknya -18ºC atau lebih rendah

Kualitas daging beku dipengaruhi oleh factor-faktor berikut:


1.    Lama waktu daging di dalam penyimpanan dingin sebelum pembekuan
2.    Laju pembekuan
3.    Lama penyimpanan dingin
4.    Kondisi penyimpanan beku (temperatur, dan kelembaban)
5.    Umur ternak
6.    pH daging
7.    kontaminasi dengan logam berat
8.     Jumlah mikroba awal

Pembekuan merupakan metode yang sangat baik untuk pengawetan daging. Nilai nutrisi
daging secara relatif tidak mengalami perubahan selama pembekuan dan penyimpanan beku dalam
jangka waktu yang terbatas.
Laju pembekuan ada dua macam, yaitu: pembekuan lambat dan pembekuan cepat. Waktu
yang diperlukan untuk melewati temperature 0ºC sampai -5ºC , biasanya dipergunakan sebagai
petunjuk kecepatan pembekuan. Beberapa metode pembekuan daging yang dapat digunakan adalah 
: udara diam, pembekuan plat, pembekuan cepat, pencelupan ke dalam cairan, atau pemercikan
cairan pembeku dan pembentukan kriogenik.

46
Perubahan karkas daging beku sangat minimal pada temperature -18ºC, sehingga temperature
tempat ini dipergunakan sebagai dasar penyimpana beku. Pada temperatur ini daging beku mulai
menunjukkan perubahan kualitas, terutama flavor daging setelah penyimpanan 4-6 bulan.
Pembekuan cepat pada daging tanpa pengepak (permukaan daging tanpa proteksi) dapat
mengakibatkan daging seperti terbakar,daging berwarna keputih-putihan atau coklat kekuning-
kuningan, jernih yang disebut freezer burn atau terbakar beku. Freezer burn disebabkan oleh
sublimasi yaitu terbentuknya lapisan kondensasi dari jaringan molecular di dekat permukaan
daging, sehingga mencegah akses air dari dalam dan meningkatkan desikasi permukaan.
Pada laju pembekuan yang sangat cepat. Kristal es kecil-kecil terbentuk di dalam sel,
sehingga struktur daging tidak mengalami perubahan. Pada laju pembekuan yang lambat, Kristal es
mulai terjadi di luar serabut otot, karena tekanan osmotik akstraseluler lebih kecil dari pada di
dalam otot. Pembentukan es ekstraseluler berlangsung terus, sehingga cairan ekstraseluler yang
tersisa dan belum membeku akan meningkat kekuatan fisiknya dan menarik air secara osmotik dari
bagian dalam sel otot yang sangat dingin. Air ini akan membeku pada Kristal es yang sudah
terbentuk sebelumnya dan menyebabkan Kristal es membesar. Kristal-kristal es yang membesar ini
menyebakan distorsi dan merusak serabut otot serta sarkolema. Kekuatan ionik ekstraseluler yang
tinggi, juga menyebabkan denaturasi sejumlah protein otot. Denaturasi protein menyebabkan
hilangnya daya ikat air daging , dan pada saat penyegaran kembali terjadi kegagalan serabut otot
menyerap kembali semua air yang mengalami translokasi atau keluar pada proses pembekuan.
Cairan inilah disebut drip.
Produk-produk daging yang bertulang (bone in beef) seperti oxtail, short rib, atau  spare rib,
akan lebih baik jika yang disajikan di counter penjualan hanya sebagian kecil atau menurut
kebutuhan saja, bila sudah menipis baru ditambah dengan stok yang baru, sedangkan yang lain
tetap disimpan dalam penyimpanan beku. Hal ini bertujuan untuk mencegah atau menghambat
pertumbuhan mikroorganisme perusak karena ditengah bagian daging ini yaitu di tengah-tengah
tulang mengandung sumsum tulang yang sangat cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan
mikroorganisme perusak.
Penyegaran kembali daging beku disebut thawing, yang dapat dilakukan dengan cara : udara
dingin, air hangat, air pada temperature kamar, pemanasan atau pemasakan langsung tanpa
penyegaran kembali dan udara terbuka.

B. Rangkuman
1. Pendinginan adalah metode yang paling banyak digunakan untuk tujuan pengawetan daging
segar. Temperatur pendinginan yang rendah akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme,
47
reaksi-reaksi enzimatis dan kimia yang menjadi penyebab penurunan mutu serta kerusakan
daging. Pendinginan cepat sangat baik dilakukan untuk mencegah kerusakan oleh
mikroorganisme.
2. Pemendekan otot yang terjadi karena pendinginan yang terlalu cepat (lebih rendah dari 15ºC
sampai 19ºC), sementara otot masih dalam kondisi prerigor dapat dihindarkan dengan cara
pendinginan daging secara cepat sampai kira-kira 15ºC  dan dipertahankan di temperature ini
hingga tercapainya kondisi rigormotis. Kemudian temperatur ini dapat diturunkan secepat
mungkin pada temperatur dingin
3. Pembekuan merupakan metode yang sangat baik untuk pengawetan daging. Nilai nutrisi daging
secara relatif tidak mengalami perubahan selama pembekuan dan penyimpanan beku dalam
jangka waktu yang terbatas.
4. Laju pembekuan ada dua macam, yaitu: pembekuan lambat dan pembekuan cepat. Waktu yang
diperlukan untuk melewati temperature 0ºC sampai -5ºC , biasanya dipergunakan sebagai
petunjuk kecepatan pembekuan. Beberapa metode pembekuan daging yang dapat digunakan
adalah  : udara diam, pembekuan plat, pembekuan cepat, pencelupan ke dalam cairan, atau
pemercikan cairan pembeku dan pembentukan kriogenik.

C. Tes Formatif
1. Mengapa daging yang disimpan dalam refrigerator lebih tahan dibandingkan dengan daging
yang disimpan pada temperatur kamar.
2. Mengapa penyimpanan daging di dalam refrigerator tidak termasuk ke dalam cara
pengawetan.
3. Sebutkan keuntungan dari daging yang disimpan di dalam refrigerator
4. Sebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi penyimpanan daging dalam refrigerator
5. Berapa lama daya simpan daging di dalam refrigerator
6. Mengapa pembekuan daging disebut sebagai salah satu cara pengawetan daging.
7. Sebutkan beberapa kerugian dari pembekuan daging
8. Mengapa selama proses pembekuan, air yang dikandung di dalam daging tidak dapat
membeku sekaligus
9. Sebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi pembekuan daging
10. Jelaskan apa yang terjadi pada waktu daging beku dikembalikan ke kondisi semula
11. Bgaimana cara mengurangi kemungkinan resiko kerusakan karkas daging selama
penyimpanan pada suhu dingin?
12. Jelaskan mengapa kita hrus menjaga kelembaban relative ruang penyimpanan karkas?
48
13. Sebutkan factor-faktor yang mempengaruhi lama simpan daging pada suhu dingin
14. Sebutkan syarat-syarat untuk memperoleh daging beku yang baik
15. Sebutkan metode-metode pembekuan cepat yang dapat diterapkan pada pembekuan daging
16. Perubahan kulaitas apa yang terjadi setelah penyimpanan daging beku 4-6 bulan?
17. Apa yang dimaksud dengan freeze burn?
18. Jelaskan apa yang dimaksud dengan freeze burn
19. Jelaskan apa penyebab terbentuknya drip setelah daging di-thawing
20. Jelaskan bagaimana cara menghambat pertumbuhan organisme perusak pada daging yang
bertulang (bone in beef)

Kegiatan 5
Pengawetan Daging dengan Metode Curing

A. Lembar Informasi
A1. Definisi Curing
Curing merupakan proses pemeraman daging dengan menggunakan garam sendawa (garam
salpeter) biasanya dalam bentuk NaNO2, NaNO3, KNO2 dan KNO3; garam dapur, bumbu-bumbu,
fosfat (Sodium tripolifosfat/STPP) dan bahan-bahan lainnya. Tetapi biasanya curing dilakukan
hanya dengan garam salpeter/sendawa dan garam dapur saja, kemudian ditambahkan bahan-bahan
lainnya bila akan dibuat produk olahannya.
Curing merupakan salah satu cara mengawetkan daging secara kimiawi. Produk daging
curing ini disebut dengan cured meat. Cured meat merupakan produk intermediate daging karena
setelah dicuring, daging bisa diolah menjadi olahan lainnya, misalnya sosis, bakso dan lain-lainnya.
Curing pada daging dimaksudkan untuk meningkatkan warna merah daging, menstabilkan
flavor, mengawetkan dan lain-lainnya. Jadi bila menghendaki produk daging (misalnya sosis)
dengan warna merah cerah daging, maka perlu dicuring dengan nitrit. Nitrat/nitrit berfungsi untuk
fiksasi warna merah daging, antimikrobial terutama Clostridium botulinum, dan menstabilkan
flavor. Garam berfungsi sebagai pembangkit flavor yang khas dan antimikrobial. Bumbu-bumbu
adalah penting untuk meningkatkan flavor sehingga meningkatkan kesukaan pada konsumen.
Selain itu bumbu juga bersifat antimikrobial dan antioksidan sehingga berperan mengawetkan.
Fosfat berfungsi untuk meningkatkan kekenyalan produk dan mengurangi pengkerutan daging
selama proses pengolahan serta menghambat oksidasi produk. Beberapa olahan tidak menggunakan
fosfat, jadi bersifat pilihan saja.

49
Khusus nitrat/nitrit, penggunaannya harus dibatasi karena bila berlebihan bisa berdampak
negatif bagi yang mengkonsumsinya. Kadar akhir nitrit pada suatu produk harus tidak lebih dari
200 ppm dan nitrat tidak lebih dari 500 ppm. Berdasarkan Departemen Pertanian Amerika Serikat,
penambahan garam nitriat atau nitrit tidak boleh lebih dari 239,7 g/100 liter larutan garam, 62,8
g/100 kg daging untuk curing kering dan 15,7 g/100 kg daging cacahan untuk sosis. Secara garis
besar, curing dapat dilakukan dengan cara kering dan basah. Cara kering adalah dengan
mengolesi/menaburkan campuran bahan curing secara merata ke seluruh bagian daging. Curing
kering ini bahan-bahannya adalah 26% NaCl, 5% KNO 3, 0,1% NaNO2 dan 0,5% sukrosa. Curing
secara basah adalah dengan merendam daging ke dalam larutan yang mengandung bahan-bahan
curing. Caranya adalah merendamkan daging ke dalam larutan garam dengan perbandingan 1:1.
Larutan garam yang dibuat adalah 26% NaCl, 2-4% KNO3, 0,1% NaNO2. Perendaman dilakukan
selama 10-20 hari. Selain direndam, cara basah ini bisa dilakukan dengan injeksi larutan curing.

A2. Corned beef

Salah satu olahan daging sapi yang menggunakan proses curing adalah corned beef. Corned
beef atau kornet, adalah salah satu jenis produk olahan daging sapi yang banyak digunakan dalam
resep masakan Indonesia. Kornet daging sapi diolah dengan cara diawetkan dalam air garam
(brine), yaitu air yang dicampur dengan larutan garam jenuh. Kemudian dimasak dengan cara
simmering, yaitu direbus dengan api kecil untuk menghindari hancurnya tekstur daging sapi.
Biasanya digunakan potongan daging yang mengandung serat memanjang, seperti brisket. Nama
"corned beef" berasal dari garam kasar yang digunakan. Corn artinya butiran, yaitu butiran garam

Gambar 19. Corned Beef


Sumber : https://republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/10/20/mc71a4-daging-kornet-aman-
konsumsi-1

Tujuan pembuatan daging kornet adalah untuk memperoleh produk daging yang berwarna
merah, meningkatkan daya awet dan daya terima produk, serta menambah keragaman produk olahan

50
daging. Dengan diproses menjadi kornet, masalah penyimpanan daging sapi segar dapat diatasi.
Kornet kalengan dapat disimpan pada suhu kamar dengan masa simpan sekitar dua tahun. Daging
kornet dapat dihidangkan sebagai campuran perkedel, telur dadar, mie rebus, pengisi roti, serta
makanan lainnya (Nugroho, 2008).
A3. Alat-alat Pembuatan Corned beef
Peralatan yang diperlukan pada pembuatan korned adalah
(1) chopper untuk menggiling daging, sehingga dihasilkan daging cincang,
(2) mixer untuk mencampur adonan, sehingga menjadi homogen,
(3) alat pengukus untuk memasak adonan daging,
(4) exhauster untuk menyedot dan menghampakan udara di dalam kaleng,
(5) mesin penutup kaleng untuk menutup kaleng secara hermetis (kedap udara),
(6) retort untuk memanaskan kaleng dan isinya, sehingga tercipta kondisi yang steril
A4. Bahan-Bahan Pembuatan Corned Beef
Bahan dasar pembuatan kornet adalah daging sapi yang digiling. Bahan tambahan yang diperlukan
adalah garam dapur, nitrit, alkali fosfat, bahan pengisi, air, lemak, gula, dan bumbu.
a. Daging sapi
Hewan yang berbeda mempunyai komposisi daging yang berbeda pula. Komposisi daging
terdiri dari 75% air, 18% protein, 4% protein yang dapat larut (termasuk mineral) dan 3% lemak.
Daging tersebut kaya protein yang mempunyai kemampuan untuk mengikat air dan membentuk
emulsi yang baik. Ternak rata-rata menghasilkan karkas (bagian badan hewan) 55%, macam-macam
hasil sampingan 9%, kulit 6% dan bahan lainnya 30%. Daging yang baik ditentukan oleh warna, bau,
penampakan dan kekenyalan. Semakin daging tersebut lembab atau basah serta lembek (tidak kenyal)
menunjukkan kualitas daging yang kurang baik (Leith. 1989).
Pengawetan daging merupakan suatu cara menyimpan daging untuk jangka waktu yang cukup
lama agar kualitas maupun kebersihannya tetap terjaga. Tujuan pengawetan adalah menjaga
ketahanan terhadap serangan jamur (kapang), bakteri, virus dan kuman agar daging tidak mudah
rusak. Ada beberapa cara pengawetan yaitu: pendinginan, pelayuan, pengasapan, pengeringan,
pengalengan dan pembekuan (Leith. 1989). Pengawetan dengan cara pengeringan dilakukan dengan
penambahan garam, gula dan bahan kimia seperti nitrat (NO3) dan nitrit (NO2). Penambahan garam,
untuk pengawetan daging kira-kira sepersepuluh dari berat daging. Disamping sebagai pengawet,
garam juga berfungsi sebagai penambah rasa. Penambahan gula juga dimaksudkan sebagai
penambahan rasa pada bahan yang diolah.

b. Garam dapur (NaCl)


Garam dapur (NaCI) merupakan bahan penolong dalam proses pembentukan emulsi daging
kornet. Garam mampu memperbaiki sifat-sifat fungsional produk daging dengan cara mengekstrak
protein miofibriler dari serabut daging selama proses penggilingan dan pelunakan daging. Garam
berinteraksi dengan protein daging selama pemanasan, sehingga protein membentuk massa yang kuat,
dapat menahan air, dan membentuk tekstur yang baik. Selain itu, garam memberi cita rasa asin pada
produk, serta bersama-sama senyawa fosfat, berperan dalam meningkatkan daya menahan air dan
meningkatkan kelarutan protein serabut daging. Garam juga bersifat bakteriostatik dan bakteriosidal,
sehingga mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan mikroba pembusuk lainnya (Nugroho. 2008).

c. Nitrit

51
Fungsi nitrit adalah menstabilkan warna merah daging, membentuk flavor yang khas,
menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan beracun, serta memperlambat terjadinya ketengikan.
Jumlah nitrit yang diizinkan tersisa pada produk akhir adalah 50 ppm (mg/kg). Kemampuan nitrit dalam
mempertahankan warna merah daging adalah dengan cara bereaksi dengan pigmen mioglobin (pemberi
warna merah daging) membentuk nitrosomioglobin berwarna merah cerah yang bersifat stabil
(Nugroho. 2008).

d. Alkali Fosfat
Penambahan senyawa alkali fosfat pada daging akan meningkatkan daya ikat air dan protein daging dan
mengurangi pengerutan kornet yang dihasilkan. Alkali fosfat akan meningkatkan pH dan menyebabkan
terbukanya ikatan-ikatan antargugus protein daging yang akan memudahkan pengikatan air. Bersama-
sama dengan asam askorbat, senyawa fosfat dapat menghambat proses ketengikan oksidatif, dan bisa
memperbaiki tekstur. Fosfat dapat meningkatkan keempukan dan juiciness daging kornet, meningkatkan
daya terima warna, keseragaman dan stabilitas produk, serta melindungi dari kemungkinan
pencokelatan selama penyimpanan (Nugroho. 2008).

Gambar 20. Alkali fosfat

e. Air
Air yang ditambahkan ke dalam massa daging berfungsi untuk membantu melarutkan garam-garam
yang ada, sehingga dapat tersebar dan terserap dengan baik dalam massa produk. Selain itu, air juga
dapat memperbaiki sifat fluiditas emulsi dan meningkatkan tekstur (kekenyalan) produk akhir
(Nugroho. 2008).

f. Bahan Pengisi
Penambahan bahan pengisi dan pengikat pada produk daging adalah untuk meningkatkan
stabilitas, daya ikat air, flavor dan karakteristik irisan produk, serta untuk mengurangi pengerutan
selama pemasakan dan mengurangi biaya formulasi. Bahan pengisi yang dapat ditambahkan adalah
tepung tapioka, terigu, atau susu skim. Penambahan bahan pengisi pada produk daging harus tidak
melebihi 3,5 persen dari produk (Nugroho. 2008).

g. Lemak

52
Penambahan lemak pada pembuatan daging kornet berfungsi untuk membentuk produk yang
kompak dan empuk, serta memperbaiki rasa dan aroma. Bertambahnya kadar air dan lemak di dalam
kornet akan menambah juiciness dan keempukannya (Nugroho. 2008).

h. Gula dan bumbu


Fungsi utama gula dalam pembuatan kornet adalah untuk memodifikasi rasa, menurunkan kadar
air, dan sebagai pengawet. Bumbu merupakan bahan aromatik yang diperoleh dari tumbuhan atau
diproduksi secara sintetis. Bumbu memberikan cita rasa enak yang diinginkan dalam kornet (Nugroho.
2008).

A5. Prinsip Pembuatan Corned Beef


Daging sapi digiling dengan chopper pada suhu rendah sehingga selama penggilingan, suhu
dapat dipertahankan tetap di bawah 16°C. Hal tersebut dilakukan dengan menambahkan es batu atau air
dingin. Hasil gilingan berupa daging cincang yang masih kasar. Setelah dicincang, daging dimasukkan
ke dalam mixer untuk mencampur daging, bumbu, dan bahan lainnya menjadi adonan yang homogen.
Agar emulsi tetap terjaga stabilitasnya, pencampuran harus dilakukan pada suhu rendah (10-16°C)
(Wagiyono. 2003).
Emulsi daging yang telah terbentuk selanjutnya diisikan ke dalam kaleng yang sebelumnya telah
disterilkan dengan panas. Pengisian dilakukan dengan menyisakan sedikit ruang kosong di dalam
kaleng, disebut head space. Kaleng yang telah diisi, kemudian divakum (exhausting) dengan cara
melewatkannya melalui ban berjalan ke dalam exhauster box bersuhu 90-95°C selama 15 menit. Setelah
keluar dari exhauster box, kaleng dalam keadaan panas langsung ditutup dengan mesin penutup kaleng
(Wagiyono. 2003).
Setelah ditutup, kaleng beserta isinya disterilisasi dengan cara memasukkan kaleng ke dalam
retort dan dimasak pada suhu 120°C dan tekanan 0,55 kg/cm 2, selama 15 menit. Agar daging tidak
mengalami pemanasan yang berlebihan, kaleng yang telah disterilkan harus segera didinginkan di dalam
bak pendingin yang berisi air selama 20-25 menit. Setelah permukaan kaleng dibersihkan dengan lap
hingga kering, produk siap untuk diberi label dan dikemas (Wagiyono. 2003).
Diagram alir pembuatan kornet atau corned beef dapat dilihat sebagai berikut:

53
Gambar 21. Bagan Alir Pembuatan Corned Beef

A6. Proses Produksi Korned


1. Pembersihan Bahan Baku (Daging Sapi)
Pembersihan dilakukan dengan menggunakan air bersih yang mengalir, guna menghilangkan kotoran
yang menempel pada bahan. Selain itu menghilangkan bagian-bagian yang tidak bisa dimakan.
2. Chopping
Daging sapi digiling dengan chopper pada suhu rendah sehingga selama penggilingan, suhu dapat
dipertahankan tetap di bawah 16°C. Hal tersebut dilakukan dengan menambahkan es batu atau air
dingin. Hasil gilingan berupa daging cincang yang masih kasar.
3. Curing
Setelah dicincang, daging dimasukkan ke dalam mixer untuk mencampur daging, bumbu, dan bahan
lainnya menjadi adonan yang homogen yang disebut dengan curing. Agar emulsi tetap terjaga
stabilitasnya, pencampuran harus dilakukan pada suhu rendah (10-16°C). Menurut Soeparno (2005)
curing adalah cara processing daging dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam NaCl, Na-
nitrat dan atau Na-nitrit dan gula (dekstrosa atau sukrosa), serta bumbu-bumbu. Maksud curing antara
lain untuk mendapatkan warna yang stabil, aroma, tekstur dan kelezatan yang baik, dan untuk
mengurangi pengerutan daging selama processing serta memperpanjang masa simpan produk daging.
4. Filling
54
Emulsi daging yang telah terbentuk selanjutnya diisikan ke dalam kaleng yang sebelumnya telah
disterilkan dengan panas. kemudian ditimbang dengan timbangan kasar. Pengisian dilakukan dengan
metode hot filling. Hot filling adalah kombinasi proses pengawetan dengan pemanasan (pasteurisasi)
dengan metode lainnya (pengawetan sekunder) untuk memberikan tingkat keamanan produk yang
diinginkan. Produk pangan diisikan ke dalam kemasan dalam keadaan panas (hot fiiling), umumnya
pada suhu 180°F. Pemanasan yang diberikan tidak membunuh spora dan pada proses pendinginan
terbentuk kondisi vakum (anaerobik)..
Setelah dilakukan filling, kaleng disusun dalam nampan dan diletakkan ke atas conveyor belt.
Lalu dalam perjalanannya menuju ke exhauster box, kaleng-kaleng tersebut ditimbang kembali dengan
timbangan digital yang lebih akurat. Beratnya bervariasi tergantung jenis kaleng yang digunakan.
Pengisian dilakukan dengan menyisakan sedikit ruang kosong di dalam kaleng, disebut head space.
Ukuran head space bervariasi, umumnya kurang dari ¼ tinggi kaleng
5. Exhausting
Kaleng yang telah diisi, kemudian divakum (exhausting) dengan cara melewatkannya melalui
ban berjalan ke dalam exhauster box bersuhu 90-95°C selama 15 menit.
6. Seaming
Setelah keluar dari exhauster box, kaleng dalam keadaan panas langsung ditutup dengan mesin
penutup kaleng. Semakin tinggi suhu penutupan kaleng, maka semakin tinggi pula tingkat
kevakumannya (semakin rendah tekanannya). Proses penutupan kaleng juga merupakan hal yang sangat
penting karena daya awet produk dalam kaleng sangat tergantung pada kemampuan kaleng (terutama
bagian-bagian sambungan dan penutupan) untuk mengisolasikan produk di dalamnya dengan udara luar.
Penutupan yang baik akan mencegah terjadinya kebocoran yang dapat mengakibatkan kerusakan.
7. Pencucian
Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang tercecer di permukaan kaleng akibat proses
filling. Apabila kotoran tidak dibersihkan, dikhawatirkan mikroba akan dapat tumbuh dan
mengkontaminasi produk setelah dibuka, karena proses sterilisasi hanya difokuskan pada produk yang
berada dalam kaleng.
8. Sterilisasi
Setelah ditutup, kaleng beserta isinya disterilisasi dengan cara memasukkan kaleng ke dalam retort dan
dimasak pada suhu 120°C dan tekanan 0,55 kg/cm2, selama 15 menit.
9. Cooling
Agar daging tidak mengalami pemanasan yang berlebihan, kaleng yang telah disterilkan harus segera
didinginkan di dalam bak pendingin yang berisi air selama 20-25 menit. Pendinginan pasca sterilisasi
menjadi penting karena timbul perbedaan tekanan yang cukup besar yang dapat menyebabkan
rekontaminasi dari air pendingin ke dalam produk. Perlu dipastikan bahwa air pendingin yang
digunakan memenuhi persyaratan mikrobiologis. Untuk industri besar, proses pendinginan biasanya
dilakukan secara otomatis di dalam retort, yaitu sesaat setelah katup uap dimadkan maka segera dibuka
katup air dingin. Untuk ukuran kaleng yang besar, maka tekanan udara dalam retort perlu dikendalikan
sehingga tidak menyebabkan terjadinya kaleng-kaleng yang menggelembung dan rusak.
10. Labelling
Setelah permukaan kaleng dibersihkan dengan lap hingga kering, produk siap untuk diberi label dan
dikemas.
55
A7. Ciri-ciri Kerusakan Kornet
Daging kornet yang ada di pasaran umumnya dikemas dengan kaleng. Kaleng mempunyai sifat yang
baik sebagai pengemas karena mampu menahan gas, uap air, jasad renik, debu, dan kotoran. Kaleng
juga memiliki kekuatan mekanik yang tinggi, tahan terhadap perubahan suhu yang ekstrem, dan
toksisitasnya relatif rendah. Umur simpan daging kornet dalam kaleng dapat mencapai 2 tahun atau
lebih, tergantung proses pengolahan, jenis kaleng, penyimpanan, dan distribusi (Astawan. 2012).
Kebusukan kornet dalam kaleng dapat disebabkan oleh proses pembuatan yang tidak benar, kebocoran
wadah karena penutupan yang kurang baik, atau penyimpanan pada suhu yang tidak tepat dan terlalu
lama. Kebusukan tersebut tidak selalu dapat dideteksi dari penampakan wadah karena tidak selalu
diikuti oleh perubahan bentuk wadah (Astawan, 2012).
Secara umum, ciri-ciri yang dapat digunakan untuk menilai kualitas kornet dalam kaleng menurut
Astawan (2012) adalah sebagai berikut:
1. Flat Sour

Apabila produk di dalam kaleng memberikan cita rasa asam karena adanya aktivitas mikroba tanpa
memproduksi gas, kebusukan tersebut dikenal dengan sebutan flat sour (kaleng tetap datar, tidak
menggembung, tetapi produk menjadi asam). Jenis kebusukan ini disebabkan oleh aktivitas spora
bakteri tahan panas yang tidak terhancurkan selama proses sterilisasi. Hal tersebut bisa terjadi akibat
sanitasi selama pengolahan yang buruk atau karena proses pengolahan tidak tepat.
2. Penggembungan Kaleng (Swells)

Kaleng yang gembung dapat terjadi akibat terbentuknya gas di dalam wadah karena adanya
pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Adanya gas tersebut menyebabkan meningkatnya tekanan di dalam
kaleng, sehingga kaleng menjadi gembung pada bagian tutup dan dasar kaleng.Kaleng yang gembung
dapat juga disebabkan oleh penuhnya pengisian kornet, sehingga tidak cukup adanya ruang kosong di
dalam kaleng.
3. Stack Burn

Stack burn terjadi akibat pendinginan yang tidak sempurna, yaitu kaleng yang belum benar-benar dingin
sudah disimpan. Biasanya produk di dalam kaleng menjadi lunak, berwarna gelap, dan menjadi tidak
dapat dikonsumsi lagi.
4. Kaleng yang penyok

Kaleng yang penyok dapat mengakibatkan terjadinya lubang-lubang kecil yang merupakan sumber
masuknya mikroba pembusuk. Penyoknya kaleng dapat disebabkan oleh benturan-benturan mekanis
akibat perlakukan kasar, baik selama proses pembuatan, penyimpanan, pengangkutan, atau pemasaran.
Sebagai konsumen yang kritis, sebaiknya Anda tetap waspada dengan tidak memilih setiap produk yang
kalengnya dalam keadaan tidak normal.

5. Kaleng yang Bocor


Bocornya kaleng disebabkan oleh sambungan kaleng yang kurang rapat, penyolderan kurang sempurna,
atau tertusuk oleh benda tajam. Kaleng yang bocor ditandai dengan tumbuhnya mikroba dan timbulnya
bau kurang sedap. Kaleng oval umumnya lebih jarang mengalami kebocoran daripada yang berbentuk
silinder.
6. Kaleng yang Berkarat

56
Kaleng yang berkarat dapat mencerminkan bahwa produk tersebut telah lama diproduksi atau disimpan
pada tempat yang kurang tepat (keadaan lembab).
A8. Kriteria Mutu Korned
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3775-2006, kriteria produk kornet adalah sebagai berikut
:
Tabel 6. Kriteria Akhir Produk Kornet Menurut (SNI)

Sumber : Astawam, 2012


B. Rangkuman
1. Kornet adalah salah satu jenis produk olahan daging sapi
57
2. Tujuan pembuatan kornet daging sapi adalah untuk tetap dapat memperoleh produk daging sapi
yang berwarna merah, awet, dan praktis.
3. Peralatan yang diperlukan adalah chopper, mixer, alat pengukus, exhauster, mesin penutup
kaleng, dan retort.
4. Bahan dasar pembuatan kornet adalah daging sapi yang digiling. Bahan tambahan yang
diperlukan adalah garam dapur, nitrit, alkali fosfat, bahan pengisi, air, lemak, gula, bumbu.
5. Secara umum, dapat dikatakan bahwa daging kornet dalam kaleng mempunyai nilai gizi yang
cukup baik, khususnya protein, vitamin, dan mineral.
6. Secara umum, ciri-ciri yang dapat digunakan untuk menilai kualitas kornet dalam kaleng adalah
flat sour, penggembungan kaleng (swells), stackburn, kaleng yang penyok, kaleng yang bocor,
dan kaleng yang berkarat.
C. Test Formatif
1. Apa yang dimaksud dengan curing?
2. Mengapa cured meat disebut sebagai produk intermediate ?
3. Jelaskan bagaimana curing dapat berfungsi sebagai pengawet?
4. Jelaskan fungsi fosfat (Sodium tripolifosfat/STPP) pada produk-produk yang di-curing
5. Sebutkan secara runut cara curing basah
6. Apa yang dimaksud dengan space head pada pengalengan corned beef
7. Jelaskan proses filling pada proses pengalengan corned beef
8. Jelaskan apa yang dimaksud dengan seaming?
9. Jelaskan apa yang dimaksud dengan hot filling
10. Jelaskan mengapa cooling adalah proses penting pada produksi corned beef
11. Jelaskan apa yang dimaksud dengan flat sour
12. Jelaskan apa yang dimaksud dengan stack burn
13. Jelaskan penyebab swells pada kaleng corned beef
14. Apa fungsi penambahan lemak pada proses produksi corned beef
15. Jelaskan fungsi penambahan alkali fosfat pada proses produksi corned beef
16. Jelaskan bagaimana nitrit menyebabkan warna merah cerah pada corned beef
17. Jelaskan apa fungsi bahan pengisi pada produksi corned beef
18. Sebutkan bahan pengisi yang digunakan pada produksi corned beef
19. Jelaskan fungsi nitrit sebagai pengawet pada corned beef
20. Jelaskan bagaimana proses ekshausting pada proses produksi corned beef
D. Lembar Kerja
Judul Praktikum : Pembuatan Corned Beef
Tempat dan Tanggal : ………………………
Tujuan Praktikum : Siswa dapat membuat corned beef sesuai standar.

A. Bahan dan Alat :


1. Bahan:
58
 Daging sapi 500gr
 Lemak sapi 300gr
 Terigu 30gr
 Sendawa 10gr
 Garam 10gr
 Bawang putih 50gr
 Lada bubuk 10gr
 Pala bubuk 5gr

2. Alat :
 Panci presto
 Grinder
 Kompor
 Timbangan
 Pisau
 Plastic tahan panas
 Lap tangan.
 Tempat sampah
 Jas lab lengkap tutup kepala

B. Prosedur Kerja
1. Daging dipotong ukuran 4x4, tambahkan sendawa diaduk hingga rata
2. Simpat semalam dalam refrigator
3. Daging yang telah dicuring, digiling bersama lemak sapi menggunakan grinder
4. Campurkan terigu dan bumbu diaduk hingga merata
5. Adonan daging dimasukkan kedalam kantong plastic tahan panas dan diseal
dengan lilin
6. Pemanasan kornet dilakukan menggunakan panic presto selama 1 jam
7. Kemudian simpan dalam freezer

Kegiatan Belajar 6
Produksi Bakso Sapi
A. Lembar Informasi
A.1 Emulsi Pada adonan bakso
Bakso merupakan suatu sistem emulsi yang mempunyai karakteristik hampir sama dengan
minyak dalam air (o/w), dimana lemak sebagai fase diskontinyu dan air sebagai fase kontinyu,
dengan protein yang berperan sebagai emulsifier. Selama percampuran adonan, protein terlarut
membentuk matrik yang menyelubungi lemak. Pada pemasakan akan terjadi koagulasi protein oleh
panas dan terjadi pengikatan butiran yang terperangkap dalam matrik protein.

59
Gambar 22. Bakso sapi
Sumber : https://cookpad.com/id/resep/6892157-bakso-sapi-garing-pure-daging-sapi
Pada umumnya suatu sistem emulsi bersifat tidak stabil dan mudah mengalami pemisahan
antara komponen-komponennya. Untuk menstabilkan emulsi, biasanya ditambahkan bahan-bahan
tertentu yang kerap dikenal dengan istilah emulsifier, stabilizer atau emulsifying agent. Beberapa
ahli mengatakan emulsifier tersebut mengandung gugus polar dan non polar. Gugus polar bersifat
hidrofilik dan mempunyai sifat larut dalam air, sedangkan gugus non polar bersifat lipotik yang
mempunyai kecendrungan larut dalam lemak atau minyak. Sifat ganda dari emulsifer tersebut yang
diduga berperan dalam menstabilkan suatu sistem emulsi.
Protein daging berperan sebagai emulsifier dalam sistem emulsi bakso. Bentuk molekul
protein dapat terikat baik pada minyak atau air, dengan demikian dapat berkerja sebagai emulsifier.
Begitu pentingnya peran protein dalam suatu sistem emulsi bakso, maka kondisi protein harus
selalu dijaga dan dicegah dari kerusakan. Dengan demikian harus diketahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kerusakan protein. Faktor utama yang perlu dikendalikan adalah: pengaruh panas.
Timbulnya panas yang tinggi melebihi 16C sebelum dan selama emulsifikasi (pembuatan adonan)
harus dihindari kerusakan protein yang berperan sebagai emulsifier.
Protein dapat menjalankan fungsinya sebagai emulsifier apabila dilakukan pelarutan
terlebih dahulu. Beberapa jenis protein yang berperan sebagai emulsifier dapat digolongkan menjdi
3 golongan berdasarkan kelarutannya dalam air dan larutan garam yaitu: Protein yang larut dalam
air, protein yang larut dalam garam, dan protein yang tidak larut dalam kedua-duanya yaitu jaringan
pengikat. Golongan protein yang larut dalam air adalah protein sarkoplasma. Termasuk dalam
protein sarkoplasma ini adalah mioglobin yang berperan pemberi warna pada daging. Sedangkan
yang tergolong protein yang larut dalam garam adalah aktin dan miosin.

60
A2. Bahan-bahan Pembuatan Bakso Sapi

1. Bahan Utama (Daging Sapi )


Daging tersusun oleh 2 bagian utama yaitu serat-serat otot yang berbentuk rambut dan
tenunan pengikat. Serat-serat otot daging diikat kuat oleh tenunan pengikat yang
menghubungkannya dengan tulang.
Daging sapi merupakan komoditas yang memiliki nilai gizi yang tinggi karena
mengandung protein yang tinggi. Komposisi daging sapi bervariasi tergantung dari jenis sapi,
jenis kelamin dan dari bagian mana daging sapi diambil. Protein dalam daging merupakan
salah satu komponen penting. Bentuk protein lain dalam daging berupa kolagen, retikulin dan
elastin pada tenunan pengikat, mioglobin pada pigmen, nukleoprotein dan enzim. Unsur
protein dalam daging memegang peranan penting dalam pembuatan bakso. Protein tersebut
berfungsi sebagai emulsifier dalam sistem emulsi bakso. Informasi detail tentang emulsi bakso
akan dijelaskan pada lembar tersendiri.
Beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman dalam pemilihan daging sapi untuk bahan
dasar bakso adalah kesegaran dan letak posisi daging. Kesegaran daging sangat
mempengaruhi produk bakso yang dihasilkan. Faktor kesegaran juga harus didukung
pertimbangan-pertimbangan berikut: penamapakan mengkilap, warna tidak pucat, tidak bebau
asam dan tidak busuk, tekstur daging elastis (tidak lembek) dan jika dipegang terasa basah
dan tidak lengket. Daging untuk pembuatan bakso harus daging segar atau daging yang belum
mengalami pelayuan terlebih dahulu, karena daging yang telah mengalami pelayuan atau
aging, tekstur daging menjadi lunak, hal ini juga akan menyebabkan tekstur bakso juga lunak,
kurang kompak, tidak kenyal/tidak elastis, mudah pecah, serta rendemen rendah. Daging yang
telah dilayukan, kemampuannya untuk mengikat air menjadi rendah, karena protein actin dan
miosin makin berkurang. Faktor kedua yang perlu juga diperhatikan adalah letak posisi daging.
Diusahakan dipilih daging yang tidak banyak mengandung lemak. Daging bagian lamusir
belakang (sirloin), bagian paha belakang (round), dan pinggang bagian belakang, tidak banyak
mengandung lemak.
Kadang-kadang kita sulit untuk mendapatkan daging sapi sesuai dengan yang kita
harapkan. Daging yang kita peroleh ternyata sudah melalui proses pelayuan, maka kita dapat
memberikan perlakuan khusus agar bakso yang dihasilkan tetap bermutu tinggi. Perlakuan
khusus yang dimaksud berupa penambahan poliposhpat atau dengan menambahkan garam
dapur. Apabila kita terpaksa harus melakukan penyimpanan, sebaiknya daging disimpan pada
suhu 15C atau 20C atau dibekukan pada suhu -5C. Daging yang disimpan pada suhu 15C
selama 24 jam masih bagus untuk bakso. Demikian pula untuk daging yang disimpan pada
suhu 20C selama 8 jam atau disimpan pada suhu –5C selama 4 hari.

61
2. Bahan-bahan Pendukung
Seperti pengolahan pada umumnya, pada pembuatan bakso selain bahan dasar juga
diperlukan bahan-bahan lain. Bahan-bahan pendukung dalam pembuatan bakso berupa
tepung tapioka, kadang-kadang tepung aren atau tepung sagu, bumbu-bumbu (bawang putih,
merica, bawang merah goreng) serta es batu.

Tepung Tapioka

Tapioka adalah pati yang diperoleh dari hasil ekstrasi ketela pohon (Manihot utilisima POHL)
yang telah mengalami pencucian secara sempurna, pengeringan dan penggilingan (Sunarto,
1984 dalam Ahtini, 1997). Pati merupakan polimer glukosa dengan ikatan  glikosidik. Pati
terdiri dari 2 fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan
fraksi yang tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan -
(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan -(1,6)-D-glukosa
sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, FG, 1989). Tepung tapioka pada umumnya
mengadung amilosa  18, dan kandungan amilopektinnya sangat tinggi. Sifat khas dari pati
yang penting kita ketahui adalah gelatinisasi. Kisaran suhu gelatinisasi tepung tapioka 58,5-
70C. Pola gelatinisasi tepung tapioka mirip dengan biji-bijian yang mengadung amilopektin
sangat tinggi. Jenis pati tersebut rata-rata mengadung gel yang cukup stabil dalam
mempertahankan konsistensinya.

Tepung tapioka yang ditambahkan dalam formulasi bakso dimaksudkan sebagai bahan
pengisi. Bahan pengisi dapat diartikan sebagai material bukan daging yang ditambahkan pada
“sistem emulsi” (dalam hal ini bakso) yang dapat mengikat sejumlah air. Selain itu juga
bertujuan memperbaiki stabilitas emulsi, mereduksi penyusutan selama pemasakan,
memperbaiki irisan produk, meningkatkan citra rasa dan mengurangi biaya produksi.

Es batu

Es batu ditambahkan kedalam formulasi bakso dimaksudkan mencegah terjadinya


kenaikan suhu daging giling selama emulsifikasi. Kita ketahui bahwa kenaikan suhu melebihi
16C akan mengurangi aktivitas protein daging dalam peranannya sebagai emulsifier.
Emulsifier yang tidak berfungsi dengan optimal, akan menyebabkan sistem emulsi yang
terbentuk tidak akan optimal. Selain untuk tujuan tersebut, es batu dapat melarutkan protein
dalam daging khususnya jenis protein larut dalam air. Es batu akan menjadi air yang berperan
dalam mengatur konsistensi adonan yang akan berpengaruh terhadap tekstur bakso yang
akan dihasilkan.

A3. Proses Pembuatan Bakso


Prinsip umum pembuatan bakso meliputi langkah-langkah berikut: persiapan bahan,
penggilingan daging, pembuatan adonan (emulsifikasi), pembetukan bola bakso (pencetakan),
perebusan dan pengemasan. Mengingat bakso merupakan suatu sistem emulsi, maka
tahapan-tahapan proses diusahakan senantiasa dikendalikan untuk mencegah kerusakan
emulsi.
Langkah-langkah Pembuatan Bakso
Langkah-langkah proses pembuatan bakso adalah sebagai berikut:
62
1. Persiapan bahan dasar

Perlakuan yang diperlukan pada daging sapi sebelum dilakukan penggilingan adalah
penghilangan lemak yang mungkin menempel pada daging. Apabila kita dapat memperoleh
daging sapi dari bagian lamusir belakang atau paha, penghilangan lemak tidak telalu
merepotkan, karena bagian-bagian ini relatif sedikit mengadung lemak. Lemak yang banyak
terikat kedalam adonan, selain merusak emulsi juga menyebabkan produk bakso yang
dihasilkan terasa berlemak. Selanjutnya dilakukan pemotongan daging sapi tanpa lemak
menjadi potongan berukuran kecil-kecil. Perlakuan ini dimaksudkan untuk mempermudah
dan mempercepat proses penggilingan/pelumatan. Proses penggilingan yang cepat (tidak
membutuhkan waktu lama) dapat mencegah kenaikan suhu yang diakibatkan oleh proses
tersebut, karena kenaikan suhu berpengaruh negatif terhadap sistem emulsi.

2. Penggilingan/Pelumatan

Daging yang telah berbentuk potongan-potongan kecil, kemudian dilakukan


pelumatan/penggilingan. Tujuan proses penggilingan/pelumatan daging adalah untuk
memperkecil ukuran daging menjadi partikel-partikel yang ukurannya homogeny,
sehingga bila dicampur dengan bumbu-bumbu, maka bumbu tersebut akan tercampur
rata dengan adonan. Tujuan yang kedua adalah untuk mendapatkan tekstur yang baik
pada produk akhir.
Proses penggilingan dapat dilakukan dengan menggunakan alat penggilingan khusus
yang banyak dijumpai di pasar atau menggunakan food processor yang telah banyak
diperdagangkan. Alat penggiling khusus seperti yang telah banyak dijumpai di pasar
mempunyai kelebihan yaitu dapat menggiling lebih halus dan lebih homogen. Ditempat
tersebut juga biasanya menerima jasa penggilingan daging dengan biaya relatif murah.
Untuk skala produksi industri kecil menengah, penggilingan daging dapat menggunakan
mesin/alat silent cutter.

Proses penggilingan menggunakan alat penggiling mengandung resiko akan


menimbulkan panas selama proses penggilingan. Panas tersebut dapat disebabkan oleh
adanya gesekan antara daging atau adanya gesekan daging dengan alat penggiling.
Untuk mencegah terjadinya kenaikan suhu selama proses penggilingan, ditambahkan
potongan-potongan es batu. Dengan demikian kenaikan suhu selama proses
penggilingan dapat dicegah tidak melebihi 16C.
3. Pembuatan Adonan (Emulsifikasi)

Pada tahapan ini terjadi proses emulsifikasi yaitu pencampuran antara daging sapi
yang telah dihaluskan dengan tepung tapioka/aren/sagu, dan bumbu-bumbu. Jumlah
tepung yang ditambahkan sekitar 10-40% dari berat daging. Bumbu-bumbu yang berupa
merica, bawang putih, dan bawang merah goreng ditambahkan dengan jumlah sesuai
selera, sedangkan garam biasanya ditambahkan dengan jumlah 2,5% dari berat daging.
Pada tahap ini juga dimungkinkan terjadinya kenaikan suhu sebagai akibat timbulnya
panas selama emulsifikasi. Untuk mencegah kejadian ini, perlu ditambahkan es batu.

63
Jumlah es batu yang ditambahkan 10-30% dari berat daging. Penambahan es batu selain
untuk menjaga kenaikan panas agar tidak melebihi 16ºC, juga berfungsi untuk
menambahkan air kedalam adonan sehingga adonan tekstur bakso yang dihasilkan
menjadi baik. Es batu juga berfungsi melarutkan protein daging yaitu protein larut dalam
air, dengan demikian fungsi protein sebagai emulsifier lebih optimal.
4. Pembentukan Bola Bakso dan Perebusan

Setelah proses emulsifikasi selesai yang ditandai dengan bahan-bahan berbentuk


adonan, kemudian dilakukan pencetakan menjadi bola-bola bakso yang siap untuk
direbus. Pembentukan adonan menjadi bola-bola bakso dapat mempergunakan tangan
dibantu dengan sendok atau menggunakan mesin pencetak.
Cara membentuk bola bakso dengan menggunakan tangan, yaitu dengan mengambil
segenggam adonan lalu diremas/dikepalkan atau ditekan sampai adonan keluar diantara
ibu jari dan telunjuk, sehingga membentuk bulatan dan diambil dengan sendok langsung
dimasukan ke dalam air panas (suhu 80ºC). Perebusan pada suhu 80ºC (air rebusan
belum mendidih) bertujuan agar diperoleh pemasakan bola bakso yang merata. Apabila
pada awal pemasakan, bola bakso dimasukkan kedalam air rebusan yang sudah
mendidih, dapat menyebabkan bola bakso pecah dan kematangannya tidak merata.
Untuk ukuran bola bakso diusahakan seragam, yaitu tidak terlalu kecil tetapi juga tidak
terlalu besar, sehingga kematangan bola bakso ketika direbus akan memilki tingkat
kematangan yang seragam dan tidak menyulitkan dalam pengendalian prosesnya.

Perebusan bola bakso dilakukan selama ±15 menit. Bakso yang sudah masak ditandai
dengan mengapung di permukaan air. Bakso yang sudah matang selanjutnya diangkat
dan ditiriskan. Agar bakso dapat tahan lama maka bakso harus dikemas dalam kantong
plastik dan disimpan dalam suhu beku.

A4. Kriteria Mutu Bakso

Mutu bakso dapat dinilai dengan cara yang paling sederhana yaitu pengujian secara
organoleptik (sensoris), meliputi kenampakan, warna, bau, rasa dan tekstur, serta kenampakan
adanya jamur dan lendir pada bakso. Untuk lebih jelasnya kriteria mutu bakso menurut Singgih
Wibowo dapat lihat pada Tabel 7

Tabel 7. Kriteria Mutu Bakso

Parameter Bakso Daging


Kenampakan Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan
cemerlang, tidak kusam. Sedikitpun tidak tampak
berjamur, dan tidak berlendir.
Warna Coklat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau
coklat muda hingga agak keputihan atau abu-abu. Warna
tesebut merata tanpa warna lain yang mengganggu.
Bau Bau khas daging segar rebus dominan, tanpa bau tengik,
masam, basi, atau bau busuk. Bau bumbu cukup tajam.

64
Rasa Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu
cukup menonjol tetapi tidak berlebihan. Tidak terdapat
rasa asing yang mengganggu.
Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal tetapi tidak liat atau
membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah
berair dan tidak rapuh.
Sumber: Singgih Wibowo, 1997

Syarat mutu bakso daging menurut SNI bakso daging berkaitan dengan kondisi fisik dan
nilai gizi tertera pada Tabel 8

Tabel 8. Syarat mutu bakso daging

Sumber: SNI, 2014.

Bakso yang berkualitas baik dapat dilihat dari tekstur, warna dan rasa. Teksturnya yang
halus, kompak, kenyal dan empuk. Halus yaitu permukaan irisannya rata, seragam dan serat
dagingnya tidak tampak.
B. Rangkuman

1. Prinsip umum pembuatan bakso meliputi langkah-langkah berikut: persiapan bahan,


penggilingan daging, pembuatan adonan (emulsifikasi), pembetukan bola bakso
(pencetakan), perebusan dan pengemasan. Mengingat bakso merupakan suatu sistem
emulsi, maka tahapan-tahapan proses diusahakan senantiasa dikendalikan untuk mencegah
kerusakan emulsi.
2. Pemilihan daging sapi untuk bahan dasar bakso adalah kesegaran dan letak posisi daging.
Kesegaran daging sangat mempengaruhi produk bakso yang dihasilkan. Daging untuk
pembuatan bakso harus daging segar atau daging yang belum mengalami pelayuan terlebih
dahulu, karena daging yang telah mengalami pelayuan atau aging, tekstur daging menjadi
65
lunak, hal ini juga akan menyebabkan tekstur bakso juga lunak, kurang kompak, tidak
kenyal/tidak elastis, mudah pecah, serta rendemen rendah.

3. Daging yang telah dilayukan, kemampuanya untuk mengikat air menjadi rendah, karena
protein actin dan miosin makin berkurang. Faktor kedua yang perlu juga diperhatikan adalah
letak posisi daging. Diusahakan dipilih daging yang tidak banyak mengandung lemak. Daging
bagian lamusir belakang (sirloin), bagian paha belakang (round), dan pinggang bagian
belakang, tidak banyak mengandung lemak.

C. Tes Formatif

1. Jelaskan mengapa bakso disebut sebagai produk emulsifikasi?


2. Fungsi protein daging pada system emulsi bakso adalah sebagai
3. Jelaskan bagaimana emulsifier dapat membuat stabil suatu emulsi
4. a) fase kontinyu pada system emulsi bakso adalah …
b) fase diskontinyu pada system emulsi bakso adalah …..
5. Jelaskan mengapa factor utama yang dikendalikan pada pembuatan emulsi bakso adalah
pengaruh panas?
6. Jelaskan mengapa daging sapi yang dipilih sebagai bahan baku bakso tidak boleh telah
melalui proses pelayuan
7. Penangan apa yang harus kita lakukan jika ternyata daging sapi yang akan menjadi bahan
baku bakso ternyata telah melalui proses pelayuan
8. Jelaskan 2 fungsi penambahan es batu pada proses produksi pembuatan bakso
9. Jelaskan fungsi penambahan tepung tapioka pada proses produksi bakso sapi
10. Mengapa perebusan adonan bakso tidak boleh dilakukan di atas suhu 80◦C?

D. Lembar Kerja
Judul Praktikum : Pembuatan Bakso Sapi
Tempat dan Tanggal : ………………………
Tujuan Praktikum : Siswa melakukan praktik pembuatan bakso maka diharapkan siswa dapat
menggiling daging sapi, mengukur dosis tepung tapioka, membuat bulatan
bola bakso, mencampur dengan bumbu dan tepung, merebus bola bakso
dan mengemas bakso

A. Bahan dan Alat :


1. Bahan:
 Daging sapi segar
 Tepung tapioca
 Garam
66
 Bawang merah goreng
 Bawang putih
 Penyedap rasa
 Merica
 Es batu
2. Alat :
 Timbangan
 Pisau steinless
 Cobek
 Gilingan daging
 Sendok makan
 Panci rebusan
 Mangkuk
 Serok
 Wadah bakso(panci dll)
 Kompor
 Ember
 Sendok kuah
 Lap tangan.
 Tempat sampah
 Jas lab lengkap tutup kepala

B. Prosedur Kerja
1. Siapkan daging yang segar, pisahkan dari lemak dan uratnya, kemudian daging jangan dicuci.
Untuk ikan bersihkan dari sisik, isi perut dan insangnya, kemudian dicuci sampai bersih.
2. Siapkan bumbu untuk dihaluskan. Untuk 1 kg daging diperlukan :
 Bawang putih 30 gram
 Bawang goreng 20 gram
 Merica 2,5 gram
 Garam 20 gram
 TepungTapioka/tepung aren/sagu 10% (b/b)
4. Untuk daging dipotong kecil-kecil dan ikan difillet (dipisahkan daging dari durinya), kemudian
digiling sambil ditambahkan es batu sebanyak 15-30% dari berat daging /ikan.
5. Masukkan bumbu-bumbu dan garam sambil terus digiling bersama-sama es batu, kemudian
tambahkan tapioka.
6. Cetaklah adonan menjadi bola-bola bakso, kemudian direbus dalam air panas dengan suhu 
80C (air tidak mendidih) selama  15 menit hingga bola-bola bakso mengapung.
7. Bola bakso diangkat dan ditiriskan, setelah dingin dikemas dengan kantong plasitk.

Kegiatan Belajar 7
Terlebih dahulu daging diasap kemudian dikeringkan untuk mengurangi kadar airnya, lalu
dibuat sosis. Contoh: Sosis Genoa Salami, Sosis Peperoni dan Lebanon bologna.
1. Sosis asap
67
Daging yang dibuat sosis boleh dicuring atau tidak. Sebelum dikonsumsi harus dimasak
terlebih dulu. Contoh: Kielbasa, Mettwurst, Sosis babi asap.

2. Sosis daging masak spesial

Dibuat dengan bumbu-bumbu yang khusus, tergantung permintaan. Biasanya tidak


diasap. Kemasan berbentuk tipis/lembaran, berlapis-lapis disimpan di tempat dingin.
Contoh: Loaves, Head cheese, Scrapple
A2. Bahan-Bahan Produksi Sosis

Salah satu produk olahan daging yang cukup terkenal adalah sosis. Sosis berasal dari bahasa
Latin Salsus yang berarti penggaraman atau pengawetan daging dengan larutan garam,
memberikan rasa, warna dan aroma yang khas pada sosis yang disebabkan adanya proses
curing dan pemasakan.
Proses pembuatan sosis memerlukan berbagai macam bahan, baik bahan dasar maupun
pendukung. Bahan dasar yang digunakan tergantung dari jenis sosis yang akan dibuat, yaitu
sosis sapi atau ayam. Bahan pendukung dikelompokkan menjadi bahan pengisi, pengikat,
bumbu dan selonsong.
1. Bahan Utama (Daging Sapi)
Bahan dasar yang digunakan untuk membuat sosis adalah daging. Menurut Sumarni (1993),
daging merupakan gumpalan lembut yang terdiri atas urat-urat pada tubuh binatang, diantara
kulit dan tulang. Daging dapat dibagi dalam dua golongan besar, yakni daging merah dan
daging putih. Daging merah adalah daging yang berasal dari ternak seperti kambing, domba,
kerbau, sapi dan babi. Daging putih adalah daging yang berasal dari unggas, yaitu ayam, itik,
kalkun, merpati dan angsa.
Karakteristik daging sapi yang digunakan untuk membuat sosis adalah: daging berwarna merah
cerah; bau khas daging segar; bila ditekan tidak Produksi Sosis Sapi

A. Lembar Informasi
A1. Definisi Sosis
Sosis (Sausage) berasal dari bahasa Latin Salsus yang berarti penggaraman atau
pengawetan daging dengan larutan garam, memberikan rasa, warna dan aroma yang khas pada
sosis terutama disebabkan adanya proses curing dan pemasakan. Sosis dapat didiskripsikan
sebagai produk olahan dari daging (sapi atau ayam) yang telah dicincang, diberi bumbu-bumbu,
kemudian dimasukkan ke dalam pembungkus yang berbentuk bulat panjang yang dapat berupa
usus hewan atau pembungkus buatan dengan atau tanpa dimasak, dengan atau tanpa diasap
(Hadiwiyoto S., 1983).

68
Gambar 23. Sosis Sapi
Sumber : http://www.markaindo.co.id/id/publikasi/mengenal-lebih-dekat-sosis-sapi-yang-banyak-disukai/
Sosis pada prinsipnya diolah dengan cara mengemulsikan lemak ke dalam protein daging,
dengan molekul protein bertindak sebagai emulsifier-nya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
efektifitas protein daging sebagai emulsifier (penstabil emulsi) meliputi pH, konsentrasi NaCl dan
garam-garam lain, serta protein yang larut dalam air serta protein yang larut dalam garam. Pada
pH mendekati titik isoelektrik dari protein yang terlarut dalam garam, kapasitas emulsifikasi
proteinnya mengalami kenaikan sejalan dengan naiknya konsentrasi NaCl.
Agar dapat diperoleh sosis dengan kualitas yang baik maka perlu dilakukan seleksi
terhadap macam daging yang digunakan sebagai bahan dasar sosis. Sebagai bahan dasar,
daging yang masih dalam fase prerigor mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan
daging yang telah berada pada fase postrigor. Hal ini disebabkan hampir 50% protein-protein
daging pada fase prerigor yang dapat larut dalam larutan garam, dapat diekstraksi keluar dari
jaringan (Forrest et al, 1975).
Disamping bahan-bahan yang berupa daging dan lemak, seringkali juga ditambahkan
bahan-bahan lain yang bukan berasal dari jaringan daging. Bahan-bahan ini berperan sebagai
“extender”. Fungsi utama dari bahan ini adalah untuk memudahkan pembentukan emulsi sosis,
disamping untuk meningkatkan kemampuan mengikat molekul air (Forrest et al, 1975). “Extender”
yang biasanya digunakan berupa susu skim, tepung jagung, tepung gandum, dan sodium
kaseinat.
Sosis merupakan suatu sistem emulsi, emulsi tersebut berupa emulsi minyak dalam air,
dengan air berperan sebagai fase kontinyu, lemak sebagai fase diskontinyu dan protein sebagai
emulsifiernya. Dalam sistem emulsi tersebut, protein membentuk matriks yang menyelubungi
globula-globula lemak. Protein dalam daging yang terutama berfungsi sebagai emulsifying agent
adalah miosin dan aktin, dan juga kombinasi keduanya yaitu aktomyosin (Price dan Schweigert,
1971).
a. Jenis-jenis Sosis
Sosis yang diproduksi cukup banyak jenisnya, diantaranya adalah:
3. Sosis segar

Daging yang digunakan untuk membuat sosis tidak mengalami curing terlebih dulu.
Contoh sosis jenis ini: Bratwurst, Bockwurst.
4. Sosis masak

69
Daging yang akan dibuat sosis bisa dimasak terlebih dulu atau tidak. Kemudian diberi
bumbu, dicacah, dimasukkan ke dalam selonsong kemudian dimasak. Kadang-kadang
setelah dimasak diasap, kemudian disimpan di tempat dingin. Contoh: sosis hati (Liver
sausage), Braunschweiger, Livercheese.
5. Sosis masak yang diasap

Dibuat dari daging yang dicuring. Hampir sama dengan sosis masak, tetapi diasap dulu
baru dimasak. Contoh: Frankfurters, Bologna, Cotto salami.
6. Sosis kering

meninggalkan bekas (elastis); tidak terdapat bagian-bagian yang berwarna hitam dan
kehijauan.

2. Bahan Pendukung

Bahan Pengisi dan Pengikat


Bahan pengisi adalah bahan makanan yang ditambahkan dalam pembuatan sosis, biasanya
bahan sumber karbohidrat. Sebagai pengisi umumnya dipakai berbagai jenis tepung, seperti
tepung maizena, tepung tapioka, tepung sagu, tepung terigu, dan tepung beras. Penambahan
bahan pengisi bertujuan untuk membentuk tekstur yang padat. Fungsi bahan pengisi adalah
sebagai pengisi yang dapat menarik air, memperbaiki tekstur, menstabilkan emulsi,
memperbaiki adonan, dan mengurangi biaya produksi.

Bahan pengikat berbeda dengan bahan pengisi. Bahan pengikat adalah bahan makanan
sumber protein atau protein dalam bentuk isolat. Sebagai bahan pengikat, bahan yang
mengandung protein atau isolat protein harus dalam kondisi proteinnya belum mengalami
koagulasi. Bahan pengisi dan pengikat yang dipilih adalah mempunyai sifat daya serap air
baik, warna yang baik, aroma dan rasa tidak mengganggu sosis, serta tidak mahal.

a) Serpihan Es atau Air Es


Air es atau serpihan es ditambahkan dalam pembentukan emulsi adonan sosis, bertujuan
untuk melarutkan protein dan membentuk larutan garam sehingga mempermudah
pembentukan emulsi serta mempertahankan suhu adonan dari pengaruh panas yang berasal
dari alat mekanis. Penambahan air es atau serpihan es antara 16-25% dari berat daging dapat
menghasilkan emulsi yang stabil.

b) Garam Dapur dan Garam Polifosfat


Garam merupakan salah satu bahan paling penting dalam pembuatan sosis dan memegang
peranan penting dalam pembentukan rasa produk. Penambahan garam dapur dan garam
polifosfat secara bersamaan dapat mempengaruhi pH, pengembangan adonan dan daya ikat
air dari daging. Peranan lain adalah mempertahankan warna, membentuk cita rasa,

70
mengurangi penyusutan, dan memperbaiki penyebaran lemak dalam adonan. Dalam dosis
tertentu (konsentrasi lebih dari 5%), garam dapur dapat berfungsi sebagai pengawet.
Penambahan garam dalam dosis 1,5-3% tidak bertujuan untuk mengawetkan.

c) Bumbu-bumbu
Bumbu-bumbu yang ditambahkan dalam pembuatan sosis terdiri atas pala, merica, bawang
putih, dan pemantap rasa. Tujuan dari penambahan bumbu ini adalah untuk menambah dan
meningkatan cita rasa yang diinginkan.

d) Zat Pewarna
Penambahan zat pewarna pada pembuatan sosis dimaksudkan untuk mendapatkan produk
dengan warna yang seragam, menambah daya tarik serta menampilkan warna asli daging
sapi dan menutupi kerusakan secara visual. Zat pewarna yang digunakan adalah zat pewarna
makanan, baik alami maupun buatan.

e) Selongsong Sosis (Casing)


Casing dipergunakan untuk membungkus produk sosis selain itu juga menentukan bentuk dan
ukuran produk sesuai keinginan. Casing juga bertindak sebagai cetakan dan wadah selama
penanganan serta memegang peranan dalam menarik perhatian konsumen.

Berdasarkan bahan pembuatnya, casing dibedakan menjadi 2 yaitu :

a. Casing alami, yaitu casing yang dibuat dari usus hewan seperti usus sapi
dan usus kambing. Kelebihan casing ini rasanya lebih enak, sedangkan kekurangannya
adalah ukurannya tidak seragam dan tidak mencukupi skala industri yang memproduksi
sosis dalam jumlah besar.

b. Casing sintetis atau buatan terdiri dari 2 macam yaitu casing yang dapat
dimakan (edible) seperti casing yang terbuat dari kolagen dan agar-agar, serta casing
yang tidak dapat dimakan (non edible) seperti casing yang terbuat dari plastik atau kain.

Gambar beberapa casing atau selongsong dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 24. Casing atau selongsong sosis

71
A3. Proses Pembuatan Sosis
Proses pembuatan sosis meliputi beberapa tahapan, yaitu pemilihan daging,
penimbangan, pemotongan, curring, penggilingan, pelembutan dan pengadukan, pengisian
dan pengikatan, pemasakan, pendinginan, pengemasan, dan penyimpanan.
Pemilihan Daging

Daging yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan sosis harus dipilih daging yang
baik agar dihasilkan produk sosis yang baik juga. Daging yang dipilih adalah daging yang
sehat, bersih dari kotoran, lendir, kulit, bulu serta kotoran lainnya, daging dalam keadaan
tanpa tulang, warna dan aroma khas daging segar.

Penimbangan
Bahan dasar yang telah dipilih selanjutnya ditimbang dengan tujuan untuk mengetahui
berapa banyak bahan dasar yang digunakan dan berapa banyak bahan-bahan pendukung
yang dibutuhkan.

Pemotongan
Daging yang siap diolah dipotong-potong kecil dengan tujuan untuk mempermudah proses
penggilingan dan mempercepat penyerapan bahan curring ke dalam daging sekaligus
memisahkan tulang dari daging sehingga daging hasil penggilingan lebih halus tanpa ada
serbuk keras yang berasal dari tulang.
Curing
Curing adalah proses pengolahan daging dengan tujuan mengawetkan daging dan untuk
memperolah flavor yang diinginkan serta menimbulkan warna merah pada daging. Bahan-
bahan yang digunakan dalam proses curring adalah garam dapur, sendawa dan gula.
Daging sapi yang telah dipotong menjadi bagian-bagian kecil kemudian ditambahkan
sendawa dan garam kemudian diaduk rata untuk memperoleh warna daging merah stabil,
aroma, tekstur dan kelezatan yang baik, mengurangi pengerutan daging selama proses
pengolahan serta memperpanjang daya simpan produk daging. Daging yang mengalami
proses curring selanjutnya disimpan pada suhu 2-4C selama 24 jam.

Penggilingan
Daging yang telah mengalami proses curring selanjutnya digiling dengan mesin penggiling
(mincer) sehingga diperoleh daging giling/cincang. Proses penggilingan bertujuan untuk
memudahkan proses pelembutan.
Pelembutan dan Pengadukan

Daging cincang yang dihasilkan dari proses penggilingan selanjutnya dimasukkan ke


dalam alat pelembut (meat cutter/silent cutter) selama 5-10 menit pada suhu 10-20C.
Pada proses pelembutan dan pengadukan terdapat dua tahapan proses, yaitu pertama
adalah proses pelembutan daging hasil penggilingan, dan kedua adalah proses

72
pengadukan yang bertujuan untuk meratakan bumbu-bumbu, bahan pengisi dan bahan
pengikat agar tercampur secara homogen sehingga menghasilkan emulsi yang baik.
Pengisian dan Pengikatan
Adonan yang telah diaduk dan dihaluskan kemudian dimasukkan ke dalam mesin pengisi
(sausage filler/vaccuum filler). Mesin ini bekerja semi otomatis untuk mengisi adonan ke
dalam selongsong. Adapun tujuan proses ini adalah untuk mendapatkan sosis sesuai
ukuran yang dikehendaki.

Gambar 24. Pengisian adonan sosis ke dalam selongsong


Sumber : https://www.pasarwarga.com/mobile/products/ssf-sv7-mesin-pembuat-sosis-mesin-
cetak-sosis-sausage-machinesausage-fillersausage-stuffer

Pengisian adonan ke dalam selongsong cukup padat dan tidak ada rongga udara agar
dihasilkan sosis dengan penampakan seragam, halus dan memiliki kekenyalan yang baik.
Pengisian adonan yang terlalu padat akan menyebabkan selongsong pecah pada saat
pemasakan, sedangkan bila pengisian terlalu kendor akan menghasilkan sosis dengan
bentuk yang tidak sempurna atau keriput. Selongsong yang telah diisi adonan sosis
selanjutnya diikat dengan panjang yang telah ditentukan. Pengikatan dapat dilakukan
dengan cara diplintir selonsongnya (biasanya bila menggunakan selongsong alami) atau
diikat dengan tali rami.

Pemasakan
Pemasakan sosis dilakukan dengan cara dikukus atau direbus pada suhu 85C selama
10 menit, sampai suhu di dalam sosis mencapai 78C. Tujuan dari proses pemasakan
adalah untuk membentuk tekstur dan keempukan daging, menghambat pertumbuhan
mikroba, pembentukan warna yang lebih menarik, memberi aroma khas pada produk,
inaktivasi enzim proteolitik, dan memperpanjang daya simpan.

Pendinginan

73
Setelah selesai proses pemasakan, sosis didinginkan, sebaiknya dengan cara digantung,
sampai benar-benar dingin. Tujuan proses pendinginan adalah untuk mencegah terjadinya
embun pada saat pengemasan dan mengawetkan selama penyimpanan.

Pengemasan

Pengemasan bertujuan melindungi sosis terhadap kerusakan yang terlalu cepat baik
karena proses kimiawi maupun kontaminasi mikrobial, serta menampilkan produk dengan
cara yang menarik.

Pengemasan dilakukan dengan cara memasukkan sosis yang telah dingin ke dalam
kemasan yang sesuai dan datur dalam mesin pengemas vakum sehingga dihasilkan
produk sosis yang dikemas dalam plastik hampa udara. Pengemasan dengan vakum akan
mencegah timbulnya mikroba aerobik atau mikroba patogen lainnya.
Penyimpanan
Sosis yang telah dikemas dapat disimpan dalam alat pendingin (chiller) atau pembeku
(freezer). Biasanya sosis yang disimpan pada alat pendingin mempunyai ketahanan
simpan selama 20 hari. Sedangkan sosis yang disimpan pada alat pembeku dapat
bertahan selama kurang lebih 3 bulan.
Untuk mengetahui kualitas produk sosis yang telah rusak dapat dilihat secara fisik, yaitu:

1. sosis sapi yang berwarna merah bila telah rusak warnanya akan pudar dan berubah
menjadi putih,

2. sosis yang telah rusak bau dagingnya lebih tajam,

3. sosis yang tingkat kerusakannya tinggi akan berlendir,

4. sosis yang rusak rasanya asam.

B. Rangkuman

1. Proses pembuatan sosis meliputi beberapa tahapan, yaitu pemilihan daging, penimbangan,
pemotongan, curring, penggilingan, pelembutan dan pengadukan, pengisian dan pengikatan,
pemasakan, pendinginan, pengemasan, dan penyimpanan.

2. Bahan pengisi yang ditambahkan dalam pembuatan sosis, biasanya bahan sumber
karbohidrat dari berbagai jenis tepung, seperti tepung maizena, tepung tapioka, tepung sagu,
tepung terigu, dan tepung beras.

3. Fungsi bahan pengisi adalah sebagai pengisi yang dapat menarik air, memperbaiki tekstur,
menstabilkan emulsi, memperbaiki adonan, dan mengurangi biaya produksi.

4. Bahan pengikat dalam pembuatan sosis adalah bahan makanan sumber protein atau protein
dalam bentuk isolat. Sebagai bahan pengikat, bahan yang mengandung protein atau isolat
protein harus dalam kondisi proteinnya belum mengalami koagulasi.
74
C.Tes Formatif

1. Jelaskan secara komprehensip kriteria baku pada pengolahan sosis!


2. Peralatan apa saja yang diperlukan dalam proses`pengolahan sosis hingga siap dipasarkan?
3. Mengapa dan jelaskan pada saat pembuatan adonan sosis diperlukan penambahan es?
4. Jelaskan prosedur pengolahan sosis!
5. Jelaskan kriteria mutu produk sosis yang baik!
6. Sebutkan jenis-jenis sosis
7. Jelaskan apa fungsi curing pada proses produksi sosis sapi
8. Jelaskan fungsi 2 tahap pengadukan pada proses produksi sosis sapi
9. Selain sebagai cita rasa apakah fungsi penambahan garam pada proses produksi sosis sapi?
10. Jelaskan apa perbedaan bahan pengisi dan bahan pengikat pada bahan baku produksi sosis

D.LEMBAR KERJA

Judul : Pembuatan Sosis Sapi


Tujuan : Setelah melakukan praktik pembuatan sosis sapi, maka hasil yang
diharapkan adalah sosis dengan kriteria: tekstur kenyal dan elastis,
kenampakan halus, rasa gurih dan aroma yang khas.
ALAT DAN BAHAN

Alat : Bahan :
1. Chopper/meat grinder 1. Daging ayam/sapi : 500
gram
2. Silent cutter
2. Bawang putih : 15 gram
3. Sausage filler
3. Merica : 1,5 gram
4. Vaccum packer
4. Garam : 9 gram
5. Pisau
5. STPP : 1 gram
6. Talenan
6. Ketumbar : 1,5
7. Baskom gram
8. Timbangan 7. Susu skim/ ISP : 10
9. Mangkok gram

10. Kukusan 8. Maizena/tepung aren : 50 gram

11. Kompor 9. Minyak sayur : 107 gram


10. Kaldu bubuk : 5 gram
11. Gula putih/dekstrosa : 5 gram
12. Pewarna merah :
secukupnya
13. Es : 50-75
gram

75
14. Selonsong/ : secukupnya
15. Bahan curing : (sendawa 0,9 gram,
garam 2,4 gram, gula 0,3 gram)

LANGKAH KERJA
1. Daging disiapkan sesuai dengan kriteria yang dikehendaki.

2. Timbang semua bahan sesuai keperluan. Potong-potong daging menjadi kecil selanjutnya
lakukan proses curing dengan mencampur bahan curing sampai rata, kemudian ditaburkan
pada daging dan diaduk rata. Simpan selama kurang lebih 24 jam.

3. Potongan daging selanjutnya digiling dengan chopper/meat grinder.

4. Selanjutnya masukkan ke dalam silent cutter untuk dilakukan pelembutan dan pengadukan

5. Tambahkan es batu, bahan pendukung dan bumbu-bumbu yang sudah dalam keadaan
halus.

6. Adonan yang telah halus/lembut dimasukkan ke dalam sausage filler yamg telah dilengkapi
selongsong sosis.

7. Isi selongsong dengan adonan sampai padat dan tidak ada gelembung/rongga udara,
kemudian diikat.

8. Masak dengan cara dikukus atau direbus pada suhu 85C sampai matang.

9. Dinginkan dengan cara digantung atau diangin-angin.


10. Kemas dengan menggunakan vaccum packer.

Kegiatan Belajar 8
Produksi Abon Sapi
A. Lembar Informasi
A1. Definisi Abon Sapi
Abon merupakan produk hasil olahan daging dalam bentuk kering. Abon dibuat dari daging yang disuwir-
suwir, kemudian ditambah bumbu-bumbu dan digoreng. Daging yang umum digunakan untuk pembuatan abon adalah
daging sapi atau kerbau. Meskipun demikian, semua jenis daging termasuk daging ikan dapat digunakan untuk
pembuatan abon.
Menurut Peraturan Kepala Badan POM Nomor 21 tahun 2016 tentang Kategori Pangan, abon daging adalah
makanan kering berbentuk khas dibuat dari daging, direbus, disayat-sayat, dibumbui, digoreng dan dapat juga dipres.
Abon terbuat dari daging berbagai jenis hewan seperti sapi, ayam, babi, dan lain-lain. Karakteristik dasar dari abon
daging adalah Bau, rasa dan warna normal dan kadar air tidak lebih dari 7%
Abon tergolong produk olahan daging yang awet. Untuk mempertahankan mutunya selama penyimpanan,
abon dikemas dalam kantong plastik dan ditutup dengan rapat. Dengan cara demikian, abon dapat disimpan pada suhu
kamar selama beberapa bulan.

A2. Bahan-bahan Produksi Abon Sapi

76
Bahan pembuatan abon terdiri atas bahan baku dan bahan tambahan. Bahan baku
merupakan bahan pokok untuk abon. Bahan tambahan atau bahan penolong berfungsi
menambah cita rasa produk, mengawetkan, dan memperbaiki penampakan produk
(Fachruddin, 1997).
1.Bahan Utama (Daging Sapi Daging sapi )
Daging sapi adalah jaringan otot yang diperoleh dari hewan sapi . Daging
merupakan komponen karkas yang tersusun dari lemak, jaringan adipose ulang, tulang
rawan, jaringan ikat dan jaringan tendon. Daging sapi berwarna merah terang atau
cerah mengkilap dan tidak pucat. Secara fisik daging elastis, sedikit kaku dan tidak
lembek. Jika dipegang masih terasa basah dan tidak lengket ditangan dan memiliki
aroma daging sapi yang sangat khas (gurih) (Soeparno,1998). Daging sapi sebagai
sumber protein hewani memiliki nilai hayati (biological value) yang tinggi, mengandung
19% protein, 5% lemak, 70% air, 3,5% zat-zat non protein dan 2,5 % mineral dan bahan-
bahan lainnya (Ramadhani, 2010)
Bahan baku daging segar berwarna merah segar (tidak pucat), aromanya khas
(tidak berbau busuk), dan apabila ditekan terasa kenyal (tidak lunak). Daging yang baik
untuk dibuat abon, selain memiliki kondisi yang segar, juga dipilih yang tidak
mengandung bahan lemak dan jaringan liat (Fachruddin, 1997). Kriteria daging sapi
yang baik untuk dibuat abon adalah tidak liat, tidak banyak mengandung lemak, dan
tidak mengandung serabut jaringan. Oleh karena itu, bagian top side, rump, silver side,
chuck, dan blade sangat cocok untuk membuat abon (Fachruddin, 1997).

2.Bahan pendukung
Santan Kelapa
Santan merupakan emulsi lemak dalam air berwarna putih yang diperoleh dari
daging kelapa segar. Kepekatan santan yang diperoleh tergantung pada ketuaan kelapa
dan jumlah air yang ditambahkan (Fachrudin, 1997)
Penambahan santan dapat menambah cita rasa dan nilai gizi produk yang
dihasilkan. Santan memberikan rasa gurih karena kandungan lemaknya cukup tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian, abon yang dimasak dengan santan kelapa lebih disukai
konsumen daripada abon yang diolah tanpa penambahan santan. Walaupun
penggunaan santan dalam pembuatan abon bukan merupakan keharusan, namun
sebaiknya digunakan untuk menambah cita rasa abon yang dihasilkan (Fachrudin,
1997).
Rempah-rempah
Rempah-rempah (bumbu) yang ditambahkan pada pembuatan abon bertujuan
memberi aroma dan rasa yang dapat membangkitkan selera makan. Rempah-rempah
dapat berupa umbi (tuber), akar (Rhizome), batang atau kulit batang, daun, dan buah.
Jenis rempah-rempah yang digunakan dalam pembuatan abon adalah :
a.Bawang merah (Allium ascalonicum L.)
Bawang merah adalah nama tanaman dari familia Alliaceae dan nama dari umbi
yang dihasilkan. Umbi dari tanaman bawang merah merupakan bahan utama untuk
77
bumbu dasar makanan Indonesia. Bawang merah mengandung zat pengatur tumbuh
hormon auksin dan giberelin (Anonim, 2010).
b.Bawang putih (Allium sativum L.)
Bawang putih merupakan salah satu rempah yang biasa digunakan sebagai
pemberi rasa dan aroma. Bawang putih terutama digunakan menambah flavour,
sehingga produk akhir mempunyai flavour yang menarik. Bahan aktif dalam bawang
putih adalah minyak atsiri dan bahan yang mengandung belerang. Selain sebagai
bumbu bawang putih dilaporkan juga dapat digunakan sebagai bahan pengawet
produk (Wills, 1956).
c.Kemiri (Aleurites moluccana)
Kemiri adalah tumbuhan yang bijinya dimanfaatkan sebagai sumber minyak dan
rempah-rempah. Dalam perdagangan antar-negara dikenal sebagai canleberry, indian
walnut, serta candlenut. Pohonnya disebut varnish tree.Tanaman sekarang tersebar
luas di daerah-daerah tropis. Tinggi tanaman ini mencapai sekitar 15-25 meter.
Daunnya berwarna hijau pucat. Biji yang terdapat di dalamnya memiliki lapisan
pelindung yang sangat keras dan mengandung minyak yang cukup banyak (Anonim,
2010).
d.Ketumbar (Cariandrum sativum)
Bentuknya berupa biji kecil-kecil mempunyai diameter 1-2 milimeter. Mirip
dengan biji lada tetapi kecil dan lebih gelap. Selain itu terasa tidak berisi dan lebih
ringan dari lada. Berbagai makanan tradisional Indonesia kerap menggunakan bumbu
berupa biji berbentuk butiran beraroma keras yang dinamakan ketumbar, dengan
tambahan bumbu tersebut aroma masakan menjadi lebih nyata (Anonim, 2010).
e.Lengkuas (Alpina galanga)
Lengkuas adalah rempah-rempah populer dalam tradisi boga dan pengobatan
tradisional Indonesia maupun Asia Tenggara lainnya. Begian yang dimanfaatkan adalah
rimpangnya yang beraroma khas. Pemanfaatan lengkuas biasanya dengan cara
dimemarkan rimpang yang akan digunakan kemudian dicelupkan begitu ke dalam
campuran masakan (Anonim, 2010).
f.Salam (Syzygium polyanthum)
Daun salam digunakan terutama sebagai rempah pengharum masakan di
sejumlah makanan Asia Tenggara, baik untuk masakan daging, ikan, sayur-mayur,
maupun nasi. Daun ini dicampurkan dalam keadaan utuh, kering ataupun segar dan
turut dimasak hingga makanan tersebut matang (Anonim, 2010).

Gula dan Garam


Gula merah adalah bahan yang ditambahkan dalam pembuatan abon dengan
konsentrasi tertentu. Gula merah ditambahkan pada kisaran 50 - 60 g tiap 1 kg daging
(Purnomo, 1996). Penggunaan gula dalam pembuatan abon bertujuan menambah
citarasa dan memperbaiki tekstur produk. Pada proses pembuatan abon bila
mengalami reaksi Maillard sehingga menimbulkan warna kecoklatan yang dapat
menambah daya tarik produk abon. Gula memberikan rasa manis yang dapat
78
menambah kelezatan produk abon yang dihasilkan. Ukuran penggunaan gula dan
garam harus memperhatikan selera konsumen (Fachrudin, 1997).
Garam dapur (NaCl) merupakan bahan tambahan yang hampir selalu digunakan
dalam membuat masakan. Rasa asin yang ditimbulkan oleh garam dapat berfungsi
sebagai penegas rasa yang lainnya. Makanan tanpa dibubuhi garam akan terasa
hambar. Garam dapat berfungsi pula sebagai pengawet karena berbagai mikrobia
pembusuk khususnya bersifat proteolitik, sangat peka terhadap kadar garam meskipun
rendah (kurang dari 6%) (Fachrudin, 1997).

Minyak Goreng
Fungsi minyak goreng dalam pembuatan abon adalah sebagai penghantar panas,
menambah rasa gurih, dan menambah nilai gizi, khususnya kalori dari bahan pangan.
Minyak goreng yang digunakan dapat pula menjadi faktor yang mempengaruhi umur
simpan abon (Fachrudin, 1997).
Minyak yang digunakan dalam pembuatan abon harus berkualitas baik, belum
tengik, dan memiliki titik asap yang tinggi. Titik asap adalah suhu pemanasan minyak
sampai terbentuk akroelin yang dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan.
Minyak baru memiliki titik asap yang tinggi, sedangkan minyak yang telah pernah
digunakan (minyak bekas) titik asapnya akan turun. Minyak goreng yang telah tengik
atau minyak goreng yang belum dimurnikan (minyak kelentik) tidak baik untuk
menggoreng abon (Fachrudin, 1997).
Penggunaan minyak yang sudah berkali-kali (minyak bekas) akan mempengaruhi
aroma abon dan kurang baik dari segi kesehatan. Menurut hasil penelitian minyak yang
dipakai berkali-kali dapat bersifat karsinogenik atau dapat memicu timbulnya kanker
(Fachrudin, 1997). Minyak biasanya mengandung enzim yang dapat menghidrolisa
minyak. Semua enzim yang termasuk golongan lipase, mampu menghidrolisa lemak
netral (trigliserida) sehingga menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak
bebas yang dapat menguap, dengan jumlah atom C4, C6, C8, dan C10, menghasilkan
bau tengik dan tidak enak dalam bahan pangan berlemak. Asam lemak bebas juga
mengakibatkan karat dan warna gelap jika dipanaskan dalam wajan besi (Ketaren,
1986).

Air
Air adalah bahan yang terpenting dalam proses pembuatan abon, air juga
merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air mempengaruhi
penampilan tekstur, cita rasa makanan (Winarno, 2002). Air yang dipergunakan dalam
proses pengolahan makanan, baik secara langsung (ditambahkan dalam produk olahan)
maupun tidak langsung (sebagai bahan pencuci, perendaman, perebus), harus
memenuhi syarat kualitas air minum yang antara lain meliputi sebagai berikut :
a.Tidak berasa, tidak berwarna, dan tidak berbau.
b.Bersih dan jernih.
c.Tidak mengandung logam atau bahan kimia berbahaya.
79
d.Derajat kesadahan nol.
e.Tidak mengandung mikroorganisme berbahaya. (Suprapti, 2003)

A3. Proses Produksi Abon Sapi


Prinsipnya cara membuat berbagai jenis abon sama. Prosedur umum yang
dilakukan dimulai dari penyiangan dan pencucian bahan, pengukusan atau perebusan,
pencabikan atau penghancuran, penggorengan, penirisan minyak atau pres, dan
pengemasan (Fachrudin, 1997).
Perebusan pada abon bertujuan untuk membuat tekstur bahan menjadi lebih
empuk dan mudah dicabik-cabik menjadi serat-serat yang halus. Lama perebusan dan
tinggi suhu tidak boleh berlebihan tetapi cukup mencapai titik didih saja. Suhu yang
terlalu tinggi akan menurunkan mutu rupa dan kualitas tekstur bahan. Menurut
Anonim (2007), daging sapi direbus selama 60 – 120 menit pada suhu 100 C agar0

daging benar-benar lunak.


Pada umumnya abon sapi dikenal dengan penampakan warna coklat seperti
pada Gambar 25. Reaksi pencoklatan terjadi dalam proses pengolahan beberapa
produk makanan. Reaksi ini akan menghasilkan warna coklat yang dikehendaki dalam
beberapa pengolahan produk makanan seperti dalam pembuatan abon. Tetapi apabila
kecepatan dan pola reaksi ini tidak dikendalikan dan dibatasi dapat menyebabkan
penurunan mutu produk. Penurunan mutu ini disebabkan karena terjadinya interaksi
zat-zat dalam bahan makanan tersebut, sehingga akan menyebabkan perubahan
flavour dan kenampakan produk menjadi kurang disukai. Faktor yang mempengaruhi
laju atau kecepatan reaksi pencoklatan diantaranya kandungan air. Menurut Labuza
(1971), laju reaksi pencoklatan non-enzimatis akan berjalan lambat pada aktivitas air
(aw) yang rendah dan akan meningkat bersamaan dengan meningkatnya aw sampai
tercapai titik maksimum, kemudian reaksi akan berjalan lambat. Menurut deMan
(1997), pengendalian reaksi pencoklatan ini dapat dilakukan dengan pengendalian
kandungan air dalam sistem, dengan penambahan bahan-bahan lain dalam makanan.

Gambar 25. Abon Sapi


Sumber : https://www.tokopedia.com/aping/abon-sapi-kayona-100gr

Gula adalah bahan yang ditambahkan dalam pembuatan abon dengan


konsentrasi tertentu. Gula ditambahkan pada kisaran 50 - 60 g tiap 1 kg daging
(Astawan dan Astawan, 1988). Gula yang ditambahkan pada bahan pangan olahan
berperan sebagai humektan, yang dapat menurunkan kadar air dan memberi rasa
80
produk olahan. Humektan adalah bahan yang mengontrol perubahan kelembaban
antara produk dengan udara baik dalam wadah ataupun pada kulit (Winarno dan
Rahayu, 1994). Gula mempunyai kandungan sukrosa yang tinggi yaitu 79,97%
(Nursamsi, 1981). Peningkatan suhu dalam pembuatan abon akan menyebabkan
sukrosa pecah menjadi fruktosa dan glukosa yang akan bereaksi dengan asam amino
(protein) daging membentuk warna coklat abon. Kandungan gula yang tinggi akan
meningkatkan kandungan glukosa sehingga laju reaksi akan meningkat. Pengendalian
dan pembatasan konsentrasi gula diharapkan dapat dibatasi dan penurunan mutu
produk akibat reaksi dapat ditekan (Winarno, 2002).

A4. Kriteria Mutu Abon Sapi


Abon sebagai salah satu produk industri pangan, memiliki standar mutu yang
telah ditetapkan oleh Departemen Perindustrian. Penetapan standar mutu merupakan
acuan bahwa produk tersebut memiliki kualitas yang baik dan aman bagi kesehatan,
Adapun syarat mutu abon dapat dilihat dalam Tabel 8

Tabel 8. Syarat Mutu Abon


No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan kenampakan:
a. Bentuk - Normal
b. Bau - Normal
c. Rasa - Normal
d. Warna - Normal
2 Air %b/b Maks. 7
3 Abu (tidak termasuk garam dihitung atas %b/b Maks.7
dasar bahan kering
4 Abu yang tidak larut dalam asam %b/b Maks. 0,1
5 Lemak %b/b Maks.30
6 Protein %b/b Min. 15
7 Serat Kasar %b/b Maks. 1,04
8 Gula jumlah - Maks. 30
9 Pengawet - Sesuai dengan SNI
0222-1987
10 Cemaran logam
a. Raksa (Hg) mg/Kg Maks. 0,05
b. Timbal (Pb) mg/Kg Maks. 2,0
c. Tembaga (Cu) mg/Kg Maks. 20,0
d. Seng (Zn) mg/Kg Maks. 40,0
e. Timah (Sn) mg/Kg Maks. 40,0
Cemaran Arsen (As) mg/Kg Maks. 1,0
11 Cemaran mikrobia
a. Angka lempeng total Koloni/g Maks. 5 x 104
81
b. MPN Coliform Koloni/g Maks. 10
c. Salmonella Koloni/ 25 gr Negatif
d. Staphylococcus aureus Koloni/g 0
Sumber : Standar Nasional Indonesia, 1995

Untuk abon yang diproduksi skala industri rumah tangga pangan (IRTP) maka Abon
Daging ini dibuat dengan mengacu pada aspek Pengendalian Proses Produksi sesuai Peraturan
Kepala Badan POM Nomor HK 03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 Tentang Cara Produksi Pangan
Yang Baik Untuk Industri Rumah Tangga. Dalam Peraturan tersebut dijelaskan bahwa untuk
menghasilkan produk yang bermutu dan aman, proses produksi harus dikendalikan dengan benar.
Pengendalian proses produksi pangan industri rumah tangga pangan dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
a) Penetapan spesifikasi bahan;
b) Penetapan komposisi dan formulasi bahan;
c) Penetapan cara produksi yang baku ;
d) Penetapan jenis, ukuran, dan spesifikasi kemasan
e) Penetapan keterangan lengkap tentang produk yang akan dihasilkan termasuk nama produk, kode
produksi, tanggal kedaluwarsa.
Berikut ini diberikan Tabel Identitas atau Karakteristik Produk Abon Daging Sapi yang harus
ditampilkan pada kemasan abon sapi

Tabel 9. Tabel Identitas dan Karakteristik Produk Abon Daging sapi


No Karakteristik Produk Uraian
1 Nama Produk Abon Daging Sapi
2 Komposisi Produk Daging sapi, minyak, garam, gula merah,
bawang merah, bawang putih, ketumbar, kemiri.
3 Metode Pengawetan Pengeringan dengan metode Penggorengan
4 Pengemas Primer Plastik polipropilen 0,6 – 0,8 mm
5 Umur simpan (kedaluwarsa produk) 3 bulan pada suhu kamar
6 Saran khusus penyimpanan Simpan ditempat sejuk dan kering
7 Metode dan Kondisi Distribusi Kendaraan roda 2/4 pada suhu kamar
8 Cara penyimpanan Suhu ruang
9 Saran penggunaan Langsung digunakan sebagai lauk
10 Persyaratan yang ditetapkan SNI 3707:2013 tantang Abon Sapi
Sumber : Koswara, dkk. 2017

B. Rangkuman
82
1. Menurut Peraturan Kepala Badan POM Nomor 21 tahun 2016 tentang Kategori Pangan, abon
daging adalah makanan kering berbentuk khas dibuat dari daging, direbus, disayat-sayat,
dibumbui, digoreng dan dapat juga dipres. Abon terbuat dari daging berbagai jenis hewan
seperti sapi, ayam, babi, dan lain-lain. Karakteristik dasar dari abon daging adalah Bau, rasa
dan warna normal dan kadar air tidak lebih dari 7%
2. Bahan pembuatan abon terdiri atas bahan baku dan bahan tambahan. Bahan baku
merupakan bahan pokok untuk abon. Bahan tambahan atau bahan penolong
berfungsi menambah cita rasa produk, mengawetkan, dan memperbaiki
penampakan produk
3. Prinsipnya cara membuat berbagai jenis abon sama. Prosedur umum yang
dilakukan dimulai dari penyiangan dan pencucian bahan, pengukusan atau
perebusan, pencabikan atau penghancuran, penggorengan, penirisan minyak atau
pres, dan pengemasan
4. Gula adalah bahan yang ditambahkan dalam pembuatan abon dengan konsentrasi
tertentu. Gula ditambahkan pada kisaran 50 - 60 g tiap 1 kg daging. Gula yang
ditambahkan pada bahan pangan olahan berperan sebagai humektan, yang dapat
menurunkan kadar air dan memberi rasa produk olahan.
5. Peningkatan suhu dalam pembuatan abon akan menyebabkan sukrosa pecah
menjadi fruktosa dan glukosa yang akan bereaksi dengan asam amino (protein)
daging membentuk warna coklat abon

C. Tes Formatif
1. Sebutkan tahapan pembuatan abon sapi
2. Jelaskan apa fungsi perebusan daging sapi pada proses produksi abon
3. Jelaskan apa fungsi penambahan santan pada proses produksi abon
4. Jelaskan apa yang mempengaruhi warna coklat pada produk abon sapi
5. Jelaskan cara memilih daging sapi yang tepat sebagai bahan baku abon sapi
6. Bagian-bagian sapi mana saja yang sesuai sebagai bahan baku abon sapi?
7. Selain sebagai citarasa apa fungsi penambahan NaCl pada proses produksi abon sapi
8. Sebutkan syarat-syarat air yang dapat digunakan pada proses produksi sapi
9. Identitas apa saja yang harus ditulis pada kemasan abon sapi
10. Agar abon sapi tidak cepat tengik maka apa saja yang harus dilakukan pada proses produksi
abon?

D. Lembar Kerja
Judul Praktikum : Pembuatan abon sapi
Tempat dan Tanggal : ………………………
Tujuan Praktikum : Siswa melakukan praktik pembuatan abon sapi yang sesuai standar
industri pangan

A. Bahan dan Alat :


1. Bahan:
 Daging Sapi atau Daging Kerbau 5 kg
 Ketumbar 25 gram
 Kemiri 125 gram
83
 Gula Merah 350 gram
 Bawang Merah 150 gram
 Bawang Putih 50 gram
 Garam 200 gram
 Kelapa 3 kg
 Minyak goreng 0,5 kg
2. Alat :
 Timbangan
 Pisau steinless
 Cobek
 Sendok makan
 Panci rebusan
 Mangkuk
 Garpu
 Serok
 Kompor
 Serok
 Lap tangan.
 Tempat sampah
 Jas lab lengkap tutup kepala

B. Prosedur Kerja
CARA PEMBUATAN :
1. Daging sapi atau daging kerbau dipotong menjadi tetelan daging. Lemak dan jaringan ikat dibuang dari seluruh
permukaannya, lalu potong-potong dengan ukuran 4 x 4 x 4 cm. Selanjutnya dicuci dengan air bersih, sehingga bebas
dari kotoran dan sisa darah.
2. Daging yang telah dipersiapkan diatas ditimbang seberat 5 kg.
3. Rebus potongan-potongan daging tersebut dalam air mendidih selama 30 - 60 menit.
4. Setelah didinginkan, tumbuk daging yang telah direbus dengan cobek dan alu, lalu pisahkan seratnya-seratnya
dengan menggunakan garpu.
5. Timbang bumbu-bumbu yang diperlukan sebagai berikut : 25 gr ketumbar, 125 gr kemiri, 350 gr gula merah, 150 gr
bawang merah, 50 gr bawang putih dan 200 gr garam dapur.
6. Tumbuk bumbu-bumbu yang telah ditimbang tersebut satu per satu sampai halus, campur dan aduk sampai semuanya
tercampur secara homogen, lalu tumis dengan sedikit minyak goreng dalam wajan.
7. Timbang daging kelapa seberat 3 kg, lalu parut dan peras santannya dengan penambahan air panas secukupnya.
8. Masukkan santan yang dihasilkan ke dalam wajan, tambahan ke dalamnya daging yang telah disuwir-suwir
(dipisahkan dalam bentuk serat-serat daging) dan bumbu-bumbu yang telah dipersiapkan, aduk sampai merata, lalu
panaskan di atas kompor sampai kering dan tiriskan di atas.
9. Panaskan sebanyak 0.5 kg minyak goreng dalam wajan di atas kompor dengan api yang sedang besarnya, masukkan
ke dalamnya daging yang telah dipersiapkan sedikit demi sedikit dan goreng sampai kering dan berwarna coklat muda,
lalu tiriskan dan dinginkan di atas. Bila perlu dapat juga dilakukan pengeluaran minyak dengan pengepresan baik
manual maupun menggunakan alat pengepres.
10. Kemas abon yang dihasilkan dalam kantong plastik atau kemasan lainnya.

84
DAFTAR PUSTAKA

Fachruddin, L. 1997. Membuat Aneka Abon.Kanisius. Yogyakarta


HMI MPO Peternakan. Uji Kualitas Daging. hmipeternakanugm, Yogyakarta.
Koswara, Sutrisno. 2009. Teknologi Praktis Pengolahan Daging. Ebook Pangan.com
Koswara, Sutrisno, dkk. 2017. Produksi Pangan Untuk Industri Rumah Tangga: Abon Daging Sapi. Direktorat
Surveilan Dan Penyuluhan Keamanan Pangan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan
Dan Bahan Berbahaya Badan Pengawas Obat Dan Makanan, jakarta.
Ningrum, Andriarti. 2017. Perubahan Sifat Fisikomia Daging Post Mortem. Kanal Pengetahuan dan
Informasi Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Rachmawan, Dr. Obin Ir., MS. 2001. Penanganan Daging. Departemen Pendidikan Nasional Proyek
Pengembangan Sistem Standar Pengelolaan SMK Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan
Jakarta
Suprijadi, 2015, Modul Diklat PKB Guru Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian (TPHP) Pengolahan Hasil
Hewani. Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Guru Dan Tenaga
Kependidikan Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan Pendidik Dan Tenaga Kependidikan
Pertanian, Jakarta.
Sutaryo. 2004. Penyimpanan dan Pengawetan Daging. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro.
Semarang.
Tabara, Eka Surya. 2017. Laporan Praktikum Teknologi Hasil Ternak Kornet Daging Sapi. Jurusan Peternakan
Fakultas Pertanian Universitas Djuanda, Bogor.

85

Anda mungkin juga menyukai