Anda di halaman 1dari 89

PENGOLAHAN HASIL TERNAK BESAR

(SAPI)

1. Identitas
a. Nama Mata Pelajaran : Produksi Hasil Hewani XI
b. Kompetensi Dasar :

3.1 Menerapkan pengendalian mutu bahan baku pengolahan hewani


4.1 Mengendalikan mutu bahan baku pengolahan hewani

c. Materi Pokok : Pengendalian Mutu Bahan untuk Olahan Ternak Besar (Sapi)
d. Alokasi Waktu : 9 X 45 menit
e. Tujuan Pembelajaran :

Melalui pempelajaran tatap muka melalui observasi, diskusi literasi dan persentasi peserta
didik mampu mengembangkan kemampuan bernalar dalam berpikir analisis induktif dan
deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip mengendalikan mutu bahan untuk
olahan ternak besar (sapi) serta mampu mempunyai keterampilan mengembangkan
pengetahuan, dan sikap percaya diri sebagai bekal kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Selain itu peserta didik dapat menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang
dianutnya, mengembangkan sikap jujur, peduli, dan bertanggungjawab, serta dapat
mengembangankan kemampuan berpikir kritis, berkomunikasi, berkolaborasi,
berkreasi(4C)

f. Materi Pembelajaran : 1. Penyembelihan dan Persiapan Karkas


2. Karakteristik Daging Sapi
2. Peta Konsep

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


3. Kegiatan Pembelajaran
a. Pendahuluan
Sebelum belajar pada materi ini silahkan kalian melihat gambar di bawah ini

b. Kegiatan Inti
1) Petunjuk Umum UKB
a) Baca dan pahami materi pada Buku Teks Pelajaran Sejarah peminatan
b) Setelah memahami isi materi dalam bacaan berlatihlah untuk berfikir tinggi
melalui tugas-tugas yang terdapat pada UKB ini baik bekerja sendiri maupun
bersama teman sebangku atau teman lainnya.
c) Kerjakan UKB ini dibuku kerja atau langsung mengisikan pada bagian yang telah
disediakan.

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


d) Kalian dapat belajar bertahap dan berlanjut melalui kegiatan ayo berlatih,
apabila kalian yakin sudah paham dan mampu menyelesaikan permasalahan-
permasalahan dalam kegiatan belajar 1, 2, dan 3 kalian boleh sendiri atau
mengajak teman lain yang sudah siap untuk mengikuti tes formatif agar kalian
dapat belajar ke UKB berikutnya.

2) Kegiatan Belajar
Ayo……ikuti kegiatan belajar berikut dengan penuh kesabaran dan konsentrasi !!!

Kegiatan Belajar 1

Fisiologi dan Komposisi Daging Sapi


A. Lembar Informasi

A1. Definisi Daging


Menurut Soeparno (2005), daging adalah semua jaringan hewan dan semua produk hasil
pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang dapat dimakan serta tidak menimbulkan gangguan
kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Organ-organ misalnya hati, paru-paru, limpa, pankreas,
otak, jantung, ginjal dan jaringan otot termasuk dalam definisi ini.

Gambar 1.1 Daging sapi


Sumber: dokumentasi pribadi
Menurut SNI 01-3947-1995, Daging adalah urat daging (otot) yang melekat pada kerangka,
kecuali urat daging bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari hewan sehat pada saat
dipotong (Dewan Standardisasi Nasional, 1995)

A2. Kandungan gizi Daging

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Kandungan daging terdiri dari air 50-70% air, protein 15-20%, lemak 15-25% (kecuali
lemak babi 45%), berbagai macam vitamin dan mineral.
Protein daging lebih mudah dicerna dibandingkan dengan yang bersumber dari bahan
pangan nabati. Nilai protein daging yang tinggi disebabkan oleh kandungan asam amino
esensialnya yang lengkap dan seimbang.
Ternak rata-rata menghasilkan karkas (bagian badan hewan) 55%, macam-macam hasil
sampingan 9%, kulit 6% dan bahan lainnya 30%. Daging yang baik ditentukan oleh warna, bau,
penampakan dan kekenyalan.Semakin daging tersebut lembab atau basah serta lembek (tidak
kenyal) menunjukan kualitas daging yang kurang baik.
Komposisi kimia daging tergantung dari spesies hewan, kondisi hewan, jenis karkas, proses
pengawetan, penyimpanan dan metode pengepakan. Lemak juga sangat mempengaruhi komposisi
kimia daging. Daging tanpa lemak mengandung 70% air, 9% lemak dan 1% abu. Bagan komposisi
kimia daging keseluruhan terlihat dalam Gambar 2.

Gambar 1.2 Bagan komposisi kimia daging


Daging merupakan sumber protein, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, karena daging
mengandung protein rata-rata sekitar 18 - 20 % dan susunan asam aminonya terutama asam amino
esensialnya komplet. Di samping itu, daging juga mengandung vitamin dan mineral khususnya zat
besi. Komposisi kimia daging dan komposisi asam amino esensial dan nonesensial dalam daging
dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel. Komposisi nutrisi daging, sapi dan babi
Sumber daging
Komposisi
Sapi Domba Babi
Air (%)a 60 56 42.0
Protein (%)a 17.5 15.7 11.9

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Lemak (%)a 22 27.7 45.0
Ca (mg/100 gram) 11.0 10,0 9
P (mg/100 gram) 171 147 175
Fe (mg/100 gram) 2.8 1.2 2.3
Vitamin A (SI) 30.0 - -
Vitamin B (mg/g) 0.08 0.05 0.58

Protein daging terdiri dari protein-protein sederhana dan protein terkonjugasi dengan radikal
nonprotein. Berdasarkan asalnya protein dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu protein
sarkoplasma, protein myofibril dan protein jaringan ikat. Protein sarkoplasma merupakan protein
larut air karena umumnya dapat terekstrak air dan larutan garam encer. Protein miofibril terdiri dari
aktin dan miosin serta sejumlah kecil troponin, tropomiosin dan aktinin. Protein tersebut dapat larut
dalam larutan garam encer (salt soluble protein). Protein jaringan ikat merupakan fraksi protein
yang tidak larut, terdiri dari protein kolagen, elastin dan retikulum. Fungsi protein dalam
pengolahan daging terlihat dalam Tabel 2
Table 2. Fungsi protein dalam teknologi daging
Protein Sifat dasar Fungsi dalam teknologi daging
Albumin+miogen dalam  Larut air Dalam sosis Bruehwurst sebagai
daging  Menggumpal jika pengemulsi
dipanaskan
 Daya emulsi rendah
Globulin dan aktomiosin  Larut dalam garam  Pembentuk struktur dan
dalam otot daging  Daya ikat air tinggi pengemulsi dalam sosis
 Kapasitas emulsi tinggi (Bruehwurst)

 Pembentuk gel tinggi  Pembentuk struktur dalam sosis


fermentasi
Kolagen Pada suhu dingin Gelatin
membentuk gel Casing
Suelze ( sosis gel)
Mioglobin dalam darah dan Merah cerah Pembentukan warna merah pada
daging Abu-abu jika bereaksi curing daging
dengan O2

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Merah muda jika bereaksi
dengan NO

Protein sarkoplasma terpenting adalah mioglobin. Mioglobin merupakan pigmen yang


menentukan warna daging segar dan produk olahan daging. Mioglobin bersifat larut air dan garam
encer. Mioglobin merupakan pigmen berwarna merah keunguan yang dapat mengalami perubahan
warna akibat reaksi kimia. Jika mengalami oksigenasi, maka mioglobin akan membentuk
oksimioglobin yang berwarna merah cerah. Reaksi oksidasi besi dalam mioglobin atau
oksimioglobin akan mengubah keduanya menjadi metmioglobin yang berwarna cokelat.

A3. Histologi Daging


Komponen penyusun dari karkas hewan yaitu kulit, otot, lemak, dan tulang. Otot merupakan
komponen penting yang sering disebut sebagai daging, namun definisi secara luas daging
merupakan timbunan lemak dan tulang yang masih berikatan dengan otot yang dapat diolah dan
dijual (Kauffman, 2001). Secara umum komposisi daging terdiri dari beberapa jaringan yaitu

1. Jaringan Otot
Jaringan otot merupakan komponen terbanyak dalam karkas yaitu sebesar 35-65 persen dari
berat karkas atau 35 - 40 persen dari berat hewan hidup. Otot ini melekat pada kerangka tetapi ada
juga yang langsung melekat pada logamen, tulang rawan, dan kulit. Jaringan otot dari hewan
mamalia dan unggas diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Jaringan otot bergaris melintang atau jaringan otot kerangka, yaitu jaringan otot yang langsung
menempel pada tulang melalui jaringan ikat tendon.
b. Jaringan otot tidak bergaris melintang atau jaringan otot licin, yaitu jaringan otot yang terdapat
pada alat-alat jeroan.
c. Jaringan otot bergaris spesial, yaitu jaringan otot bergaris melintang juga, akan tetapi berbeda
dengan jaringan otot kerangka. Jaringan otot ini terdapat khusus pada jantung.

2. Jaringan Lemak
Berdasarkan lokasinya pada daging, jaringan lemak dari karkas hewan diklasifikasikan
sebagai berikut :
a. Jaringan lemak subkutan atau jaringan lemak netral, yaitu jaringan lemak yang terdapat langsung
dibawah kulit.

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


b. Jaringan lemak intermuskular atau “seam fat”, yaitu jaringan lemak yang terdapat diantara otot.
c. Jaringan lemak intramuskular atau “marbling”, yaitu jaringan lemak yang terdapat diantara
serabut otot dalam otot. Jaringan lemak ini digunakan sebagai salah satu faktor kualitas dari
daging.
Marbling merupakan butiran lemak putih yang terlihat oleh mata yang tersebar pada
jaringan otot daging. Marbling akan mencair saat daging dipanaskan dan berkontribusi dalam
meningkatkan cita rasa daging (juiciness), memberikan aroma daging yang sedap, serta berperan
meningkatkan keempukan daging.
Marbling lebih tinggi pada sapi yang diberi pakan biji- bijian (grain-fed-beef) daripada
sapi yang diberi pakan rumput (grass-fed-beef). Daging dengan lebih banyak marbling akan
lebih empuk dan lebih bercitarasa daripada daging dengan sedikit marbling. Daging dengan
sedikit marbling memiliki kandungan kalori dan lemak jenuh lebih sedikit dan lebih dianjurkan
dikonsumsi oleh ahli gizi.
d. Jaringan lemak intrasellular, yaitu jaringan lemak yang terdapat didalam serabut otot.

3. Jaringan Ikat
Jaringan ikat berfungsi sebagai pengikat bagian-bagian daging serta mempertautkannya ke
tulang. Jaringan ikat yang penting adalah serabut kolagen, serabut elastin dan serabut retikulan.
Serabut kolagen terutama mengandung protein kolagen yang berwarna putih dan bersifat
terhidrolisa dan larut dalam air panas, banyak terdapat pada tendon (jaringan ikat yang
menghubungkan daging dan tulang). yang komponen Jaringan ikat dari karkas hewan
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Kollogen, yaitu jaringan ikat berwarna putih yang banyak terdapat pada tendon, tulang dan kulit.
Kharakteristik dari kollagen ini adalah terhidrolisa dengan perebusan.
b. Elastin, yaitu jaringan ikat berwarna kuning yang berbeda dengan kollagen, tidak terhidrolisa
dengan perebusan. Jaringan ikat ini banyak terdapat pada ligamentum, yaitu jaringan ikat yang
menghubungkan tulang dengan tulang melalui persendian dan pada jaringan ikat yang terdapat pada
dinding serabut otot (endomisium).
c. Retikulin, yaitu jaringan ikat yang mempunyai kharakteristik mirip dengan kollagen. Jaringan
ikat ini banyak terdapat pada dinding serabut otot (endomisium).

Unit struktural jaringan otot adalah jaringan sel daging, atau serabut otot (Gambar 3).
Serabut otot terdiri dari miofibril-miofibril. Miofibril tersebut dikelilingi oleh sarkoplasma

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


(sitoplasma) dan dilindungi oleh sarkolema (dinding sel). Selain miofibril, di dalam sarkoplasma
juga terdapat inti sel, mitokondria, retikulum sarkoplasma, kompleks golgi, glikogen dan lemak.

Gambar 3. Diagram serabut otot


Sumber : Cassens, 1987
Miofilamen terdiri dari dua jenis protein yaitu filamen aktin yang tipis dan miosin yang
tebal. Kedua filamen tersebut terkenal sebagai unit kontraktil yang berperan pada proses kontraksi
dan relaksasi otot daging. Bagian filamen di antara dua garis gelap Z yang berdekatan disebut
sarkomer. Protein aktin dan miosin ini membentuk filamen yang sifatnya berbeda dalam
memantulkan cahaya dan dalam menimbulkan segmen isotropik dan anisotropik. Ciri segmen
tropik ditandai dengan adanya daerah terang yang disebut band I dan terbagi oleh garis gelap Z.
Segmen anisotropik ditandai dengan adanya daerah gelap yang sebut band A yang ditandai dengan
adanya daerah terang H pada bagian tengahnya yang terbagi dalam dua daerah gelap psedo H atau
garis gelap M. Deskripsi lebih jelas dan terperinci mengenai otot daging dapat dilihat pada Gambar
4

Gambar 4. Penampang melintang melalui suatu serabut otot pada perhubungan band A-ban 1
Sumber : Forrest et.al., 1975
A4. Kualitas daging

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Daging yang masih segar biasanya ditandai oleh warnanya yang merah dan segar, bau darah
segar dan masih kenyal. Daging yang mempunyai ciri-ciri segar dapat juga diketahui dengan
melakukan uji fisis untuk menentukan kelezatan daging. Adapun Ciri-ciri daging yang masih baik
adalah :
1. Apa bila ditekan dengan jari kembali dengan cepat
2. Apabila daging dikoyak dengan tangan, daging kukuh/sulit koyak
3. Dengan cara meraba daging yang digiling/dihaluskan diantara dua jari, bila terasa lembut
maka daging mempunyai mutu yang baik
Pemeriksaan fisik bisa dibilang merupakan pemeriksaan yang paling pertama dilakukan
untuk mengetahui kualitas daging. Namun, untuk mengetahui lebih jauh terhadap kualitas daging
dan menghasilkan data yang objektif, ada beberapa cara uji daging yang diakui secara internasional.
Berikut adalah uraian singkat tentang beberapa cara uji kualitas daging.
1. Warna
Warna dan penampilan adalah indikator yang biasa digunakan konsumen untuk
menentukan kesegaran dan kualitas daging dan unggas. Stabilitas warna daging tergantung pada
banyak faktor seperti genetika hewan, pola makan dan metode pengolahan. Evaluasi warna
sangat penting dalam membantu produsen penyedia daging dan unggas untuk memastikan
produk mereka memiliki kualitas terbaik secara konsisten
Untuk memastikan evaluasi dan komunikasi warna yang obyektif, diperlukan instrumen
pengukuran warna. Instrument pengukuran warna juga dapat membantu produk daging dan
unggas diklasifikasikan kandungan lemak daging merahnya dengan menghitung jumlah
marbling (lemak yang terdapat di antara otot-otot dan tampak dari luar seperti marmer). Dalam
industri pangan mengevaluasi warna kekuningan pada kulit dapat membantu menentukan kadar
lemak.

Gambar 5. Alat menguji warna daging


Sumber : http://analisawarna.com/2019/04/24/mengukur-warna-daging-dan-produk-unggas/
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
Pengukuran warna daging menggunakan indikator meat color standart, dalam setiap
warna yang ada dalam meat color standart mempunyai skala tertentu warna. Penilaian warna
daging dilakukan dengan melihat warna permukaan otot dengan bantuan cahaya senter dan
mencocokanya dengan standar warna. Nilai skor warna ditentukan berdasarkan skor standar
warna yang paling sesuai dengan warna daging. Standar warna daging terdiri atas sembilan skor
mulai dari warna merah muda hingga merah tua. (BSN, 2008). Warna dari daging dicocokkan
dengan meat colour score dan selanjutnya ditulis skalanya.

Gambar 6. Meat Colour Score


Sumber. http://ilmupangan.blogspot.com/2010/02/oleh-elvira-syamsir-daging.html
Badan Standar Nasional Indonesia melalui SNI 3932:2008 telah mengeluarkan prosedur
pengujian fisik karkas daging untuk warna yaitu
Warna daging sapi yang baru biasanya berwarna ungu gelap. Warna tersebut berubah
menjadi terang (merah ceri) jika daging dibiarkan terkena oksigen. Perubahan warna ungu
menjadi terang tersebut bersifat reversibel (dapat balik). Daging yang terlalu lama terkena
oksigen, warna merah terang akan berubah menjadi coklat. Faktor-faktor yang menjadi penentu
utama warna daging adalah konsentrasi pigmen daging mioglobin yang dipengaruhi oleh pakan,
spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres, pH dan oksigen.
Menurut Lawrie (2003) warna daging dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk pakan,
spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen.
Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi penentu utama warna daging yaitu konsentrasi pigmen
daging mioglobin. Tipe molekul moiglobin, status kimia mioglobin, dan kondisi kimia serta fisik
komponen lain dalam daging mempunyau peranan besar dalam menentukan warna daging.
Perbedaan warna permukaan daging, disebabkan oleh status kimia molekul mioglobin. Bentuk
kimia warna daging segar yang diinginkan oleh konsumen adalah merah terang oksimioglobin.
Bentuk daging sapi yang baik adalah berwarna merah terang, mengkilap tidak pucat dan tidak
kotor. Mioglobin merupakan pigmen berwarna merah keunguan yang menentukan daging segar.

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Mioglobin dapat mengalami perubahan bentuk akibat berbagai reaksi kimia bila terkena udara,
pigmen mioglobin akan teroksidasi menjadi oksimioglobin yang mengeluarkan warna merah
terang. Oksidasi lebih lanjut dari oksimioglobin akan menghasilkan pigmen metmioglobin yang
berwarna coklat (Soeparno, 2005)
2. pH Daging
Menurut Aberle et al. (2001) dan Lawrie (2003), pH daging dapat menurun dengan cepat
hingga mencapai 5,4-5,5 selama beberapa jam setelah pemotongan. Standar pH daging hewan yang
sehat dan cukup istirahat yang baru dipotong adalah 7-7,2 dan akan terus menurun selama 24 jam.
Penurunan pH tersebut tidak sama untuk semua urat daging dari seekor hewan dan di antara hewan
juga berbeda. Nilai pH postmortem akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari
glikogen selama proses glikolisis anaerob. Nilai pH akan semakin rendah pada hewan yang
mengalami stress sebelum pemotongan dan akan dihasilkan daging yang pucat, lembek dan berair
(pale, soft, exudative = PSE).
Soeparno et al. (2011) menyatakan bahwa pH lebih dipengaruhi oleh stres sebelum
pemotongan, pemberian injeksi hormon atau obat-obatan, spesies, individu ternak, jenis otot,
stimulasi listrik,aktivitas enzim dan terjadinya glikolisis.Aberle et al.(2001) berpendapat banyak
atau sedikitnya glikogen berpengaruh terhadap pH akhir daging, dan hal ini tergantung pada kondisi
ternak sebelum pemotongan sehingga memberi dampak terhadap karakteristik daging pascamati.
pH daging diukur dengan pH meter. Daging seberat 2 gram dicincang dan dimasukkan ke
dalam beaker glass, lalu ditambahkan 18 ml aquades, diaduk hingga homogen. pH diukur dengan
pH meter dengan memasukkan pH meter (pH meter sebelumnya telah dikalibrasi dengan larutan
buffer pH 7) ke dalam beaker glass dan ditunggu hingga pH daging konstan. Menurut Soeparno
(2005) pH otot saat penyembelihan adalah 7,0. pH akan mengalami penurunan karena terbentuknya
asam laktat, sehingga pH pada daging akan menjadi lebih rendah. Kondisi normal pH akhir
daging pH ultimat normal daging diukur 24 jam dari waktu penyembelihan adalah sekitar 5,4
sampai 5,8 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein
miofibril
3. Daya Ikat Air (DIA)
Daya ikat air oleh protein daging dalam bahasa asing disebut sebagai Water Holding Capacity
(WHC), didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan airnya atau air yang ditambahkan
selama ada pengaruh kekuatan, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan
tekanan.

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Daging juga mempunyai kemampuan untuk menyerap air secara spontan dari lingkungan yang
mengandung cairan (water absorption). Ada tiga bentuk ikatan air di dalam otot yakni air yang
terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4 – 5% sebagai lapisan monomolekuler pertama,
kedua air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik,
sebesar kira-kira 4%, dimana lapisan kedua ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap air
meningkat. Ketiga dalah adalah lapisan molekul-molekul air bebas diantara molekul protein,
besarnya kira-kira 10%. Denaturasi protein tidak akan mempengaruhi perubahan molekul pada air
terikat (lapisan pertama dan kedua), sedang air bebas yang berada diantara molekul akan menurun
pada saat protein daging mengalami denaturasi.
Pengujian daya mengikat air merupakan pengujian untuk mengetahui seberapa besar
kemampuan daging dalam mengikat air bebas. Daging dengan daya ikat air rendah akan kehilangan
banyak cairan, sehingga terjadi kehilangan berat. Semakin kecil nilai daya ikat air, maka susut
masak daging semakin besar, sehingga kualitas daging semakin rendah karena banyak komponen-
komponen terdegradasi.
Penurunan daya mengikat air dapat diketahui dengan adanya eksudasi (pengeluaran) cairan
yang disebut weep pada daging mentah yang belum dibekukan atau drip pada daging mentah beku
yang disegarkan kembali atau kerut pada daging masak. Dimana eksudasi (pengeluaran) tersebut
berasal dari cairan dan lemak daging.
Uji daya ikat air dilakukan dengan melakukan 2 tahap pengujian yaitu mengetahui nilai
kadar air bebas dan mengetahui nilai Kadar air total. Prosedur yang dilakukan untuk mengetahui
niai kadar air bebas adalah dengan memotong daging lalu menimbangnya seberat lebih kurang 0,3
gram (300 mg), kemudian potongan daging tersebut diletakkan diatas kertas saring dan diberi beban
10 kg selama 5 menit. Area basah yang tergambar pada kertas saring tersebut digambar diatas
plastik mika, luas area basah dihitung dengan menggunakan kertas millimeter blok. Berat air yang
dilepaskan selama pengepresan dapat dihitung dengan rumus :
mg H2O = area basah (cm2) - 8 ,0
0,0948
sehingga kadar air bebas dapat dihitung sebagai berikut :
Kadar Air Bebas = (MgH2O / berat sampel )x 100%.
Setelah mengetahui kadar air bebas maka yang perlu dihitung adalah Kadar Air Total (KAT) agar
kita dapat mengetahui nilai Daya Ikat Air pada sample daging.
Kadar Air Total (KAT). Sampel daging sebanyak lebih kurang 1 gram (X) ditimbang,
kemudian dimasukkan ke dalam botol timbang yang telah diketahui berat kosong (Y). Sampel

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


dioven selama 105ºC selama 24 jam, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai beratnya
konstan (Z). Kadar air sampel dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
KAT = (x + y – z)/x * 100%

X = berat sampel

Y = berat botol timbang

Z = berat sampel dan botol timbang setelah dioven 105ºC

Setelah diperoleh nilai kadar air bebas dan nilai kadar air total maka dapat diketahui nilai daya ikat
air pada sample daging dengan rumus
DIA = kadar air total – kadar air bebas
Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan terjadinya variasi pada daya ikat air oleh
daging diantaranya: faktor pH, faktor perlakuan maturasi, pemasakan atau pemanasan, faktor
biologik seperti jenis otot, jenis ternak, jenis kelamin dan umur ternak. Demikian pula faktor pakan,
transportasi, suhu, kelembaban, penyimpanan dan preservasi, kesehatan, perlakuan sebelum
pemotongan dan lemak intramuskuler
4. Susut Masak
Susut masak adalah perhitungan berat yang hilang selama pemasakan atau pemanasan pada
daging. Pada umumnya, makin lama waktu pemasakan makin besar kadar cairan daging hingga
mencapai tingkat yang konstan. Susut masak merupakan indicator nilai nutrisi daging yang
berhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya air yang terikat dalam dan diantara serabut
otot. Jus daging merupakan komponen dari daging yang ikut menetukan keempukan daging
(Soeparno, 1992 ).
Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi . Susut masak daging sehubungan dengan jus
daging yaitu banyaknya air yang berikatan didalam dan diantara serabut otot. Daging dengan susut
masak lebih rendah mempunyai kualitas relative lebih baik dibandingkan dengan susut masak lebih
besar. Jus daging dapat dirasakan pada saat dikunyah dan memiliki korelasi dengan keempukan
(Sanjaya et al., 2007; Soeparno et al., 2011).
Uji Susut Masak dilakukan dengan menyiapkan sampel daging sapi yang dipotong searah
serat dan ditimbang sebanyak lebih kurang 25 gram (X)/ daging dimasukkan ke dalam plastik
polyethylene dan dikemas vakum dengan mesin vakum. Daging dimasak dengan menggunakan
dalam panci diatas kompor gas pada suhu 90ºC selama 30 menit. Daging kemudian didinginkan

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


(thawing) masih dalam keadaan tertutup menggunakan air mengalir. Daging dikeluarkan dari
plastik polyethylene kemudian dilap dengan kertas tissue, kemudian ditimbang berat akhir
ditimbang (Y).

Susut masak (%) = (x -y )/x * 100%

Menurut Soeparno (2005), bahwa pada umumnya nilai susut masak daging sapi bervariasi
antara 1,5–54,5% dengan kisaran 15–40%. Nilai susut masak ini erat hubunganya dengan daya
mengikat air. Semakin tinggi daya mengikat air maka ketika proses pemanasan air dan cairan
nutrisi akan sedikit yang keluar atau terbuang sehingga massa daging yang berkurangpun sedikit.
kandungan susut masak yang rendah akan membuat kualitas daging menjadi baik. Hal ini dikuatkan
oleh Yanti et al. (2008), bahwa daging yang mempunyai nilai susut masak rendah di bawah 35 %
memiliki kualitas yang baik karena kemungkinan keluarnya nutrisi daging selama pemasakan juga
rendah.
5. Keempukan dan Tekstur
Ada 2 faktor penting yaitu faktor antemortem (genetik, fisiologis, umur, manajemen,
jenis kelamin dan stress) dan faktor postmortem (chilling, refrigerasi, pelayuan, pembekuan, lama
dan temperatur penyimpanan, termasuk pemasakan dan pengempukan).Komponen daging yang
mempengaruhi keempukan daging adalah jaringan ikat, serabut otot, marbling. Marbling adalah
lemak intramuskuler, terletak di jaringan ikat perimisium di antara otot.
Keempukan daging adalah kualitas daging setelah dimasak. Berdasarkan kemudahan untuk
dikunyah tanpa kehilangan sifat dan jaringan yang layak. Penilaian keempukan daging dapat
dilakukan secara obyektif dan subyektif. Penilaian secara obyektif meliputi metode pengujian
secara fisik dan kimia, sedangkan secara subyektif menggunakan metode panel test
(Soeparno, 2005).
Uji Keempukan dilakukan dengan menyiapkan sampel daging dari uji susut masak yang
kemufian dipotong searah serat dan dengan ukuran tabal 0,67 cm dan tebal 1,5 cm. Sampel
diletakkan pada alat warner–bratzler shear force. Pengujian dilakukan ditiga bagian kemudian
hasilnya dirata-rata.

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Gambar 7. warner–bratzler shear force
Sumber : https://texturetechnologies.imgix.net/images/blog/blade-fish.jpg

Tiga faktor yang mempengaruhi proses keempukan daging ketika daging dimasak yaitu
mencairnya lemak, berubahnya kolagen menjadi gelatin dan putusnya serabut otot sehingga
menjadi lebih empuk. Kecenderungan pada daging yang memberi lebih banyak lemak
intramuskular akan memberi lebih banyak ruang pada protein-protein daging untuk mengikat
molekul-molekul air sehingga akan lebih empuk (Soeparno, 2005).
Lawrie (2003) menyatakan bahwa kandungan air dalam daging akan mempengaruhi kesan jus
daging (juiciness). Keempukan akan semakin rendah dengan meningkatnya umur ternak. Hal ini
disebabkan kadar kolagen dalam jaringan ikat yang mengalami perubahan-perubahan molekuler
dan mempengaruhi keempukan daging dengan semakin bertambahnya umur ternak. Oleh karena itu
ternak yang tua akan cenderung menghasilkan daging yang relatif alot daripada ternak yang muda.
Perbedaan ini juga kemungkinan lain karena perbedaan jumlah ikatan silang serabut-serabut
kolagen.

6. Penilaian Warna dan Marbling


Badan Standar Nasional Indonesia telah mengeluarkan Prosedur penilaian mutu fisik daging
sapi dalam dokumen SNI 3932:2008 yang berisi penilaian mutu fisik daging dimaksudkan untuk
memprediksi palatabilitas daging dengan melihat penampilan warna daging dan lemak, derajat
marbling dan tekstur daging.
Peralatan yang digunakan pada penilaian mutu fisik daging sapi terdiri atas stempel mutu,
senter dengan lampu putih dan intensitas minimum 700 lux, standar warna daging, standar warna
lemak, standar marbling dan standar tekstur.

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Pengambilan contoh Penilaian mutu fisik daging dilakukan pada karkas setelah setelah
mengalami proses chilling selama 24 jam - 48 jam. Penilaian dilakukan dengan pengamatan secara
seksama pada permukaan irisan melintang otot mata rusuk ke-12 (m. longissimus dorsi ) dari setiap
karkas bagian kanan. Karkas yang dievaluasi tidak boleh menunjukan adanya penyimpangan
kualitas daging.
Metoda penilaian Pengujian mutu fisik daging dilakukan secara organoleptik dengan
menggunakan indra penglihatan terhadap penampilan fisik otot dan lemak. Nilai penampilan fisik
daging dan lemak selanjutnya ditentukan dengan menggunakan alat bantu standar mutu.
Penampilan fisik daging yang dievaluasi meliputi warna daging dan lemak, intensitas marbling dan
tekstur otot.
Penilaian warna daging dilakukan dengan melihat warna permukan otot mata rusuk dengan
bantuan cahaya senter dan mencocokannya dengan standar warna. Nilai skor warna ditentukan
berdasarkan skor standar warna yang paling sesuai dengan warna daging. Standar warna daging
terdiri atas sembilan skor mulai dari warna merah muda hingga merah tua sebagaimana terlihat
pada Gambar 8.

Gambar 8 - Standar warna daging sapi


Penilaian warna lemak dilakukan dengan melihat warna lemak subkutis dengan bantuan
cahaya senter dan mencocokkannya dengan standar warna. Nilai skor warna ditentukan berdasarkan
skor standar warna yang paling sesuai dengan warna lemak. Standar warna lemak terdiri atas
sembilan skor mulai dari warna putih hingga kuning sebagaimana terlihat pada Gambar 9.

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Gambar 9 - Standar warna lemak
Penilaian marbling dilakukan dengan melihat intensitas marbling pada permukaan otot mata
rusuk dengan bantuan cahaya senter dan mencocokannya dengan standar. marbling. Nilai skor
marbling ditentukan berdasarkan skor standar marbling yang paling sesuai dengan intensitas
marbling otot mata rusuk. Standar marbling terdiri atas dua belas skor mulai dari praktis tidak ada
marbling hingga banyak sebagaimana terlihat pada Gambar 10.

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Gambar 10. Standar marbling
Tekstur Penilaian tekstur otot dilakukan dengan melihat kehalusan/kekasaran permukaan
otot mata rusuk dengan bantuan cahaya senter dan mencocokannya dengan standar tekstur daging.
Nilai skor tekstur ditentukan berdasarkan skor standar tekstur yang paling sesuai dengan tekstur
daging. Standar tekstur daging terdiri atas tiga skor yaitu halus, sedang dan kasar (lihat contoh
standar tekstur daging).
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
Peringkat mutu daging ditentukan berdasarkan kesesuaian nilai skor untuk masing-masing
sifat fisik dengan syarat mutu yang telah ditetapkan. Karkas yang telah dievaluasi dibubuhi dengan
stempel sesuai dengan peringkat mutunya.
Dengan mengetahui pemeriksaan fisik daging, maka setidaknya kita akan bisa menilai
kualitas daging secara cepat. Namun, untuk mengetahui lebih lanjut perlu dilakukan uji daging di
laboratorium.

B. Rangkuman
1) Menurut SNI 01-3947-1995, Daging adalah urat daging (otot) yang melekat pada kerangka,
kecuali urat daging bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari hewan sehat pada saat
dipotong (Dewan Standardisasi Nasional, 1995)
2) Kandungan daging terdiri dari air 50-70% air, protein 15-20%, lemak 15-25% (kecuali
lemak babi 45%), berbagai macam vitamin dan mineral.
3) Secara umum komposisi daging terdiri dari beberapa jaringan yaitu jaringan otot, jaringan
lemak dan jaringan ikat
4) Badan Standar Nasional Indonesia telah mengeluarkan Prosedur penilaian mutu fisik daging
sapi dalam dokumen SNI 3932:2008 yang berisi penilaian mutu fisik daging dimaksudkan
untuk memprediksi palatabilitas daging dengan melihat penampilan warna daging dan
lemak, derajat marbling dan tekstur daging
5) Ternak rata-rata menghasilkan karkas (bagian badan hewan) 55%, macam-macam hasil
sampingan 9%, kulit 6% dan bahan lainnya 30%. Daging yang baik ditentukan oleh warna,
bau, penampakan dan kekenyalan.Semakin daging tersebut lembab atau basah serta lembek
(tidak kenyal) menunjukan kualitas daging yang kurang baik.
6) Komponen daging terdiri dari :
a. Jaringan otot
b. Jaringan lemak
c. Jaringan ikat

7) Berdasarkan lokasinya lemak terdiri dari


a. Jaringan lemak subkutan
b. Jaringan lemak intermuskular
c. Jaringan lemak intramuskular

8) Kualitas daging dapat ditentukan dengan melakukan uji fisik yaitu

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


a. Warna daging
b. pH daging
c. Daya ikat air
d. Susut masak
e. Keempukan

C. Latihan Soal
1) Jelaskan definisi daging berdasarkan SNI 01-3947-1995
2) Berdasarkan asalnya protein dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu...
3) Sebutkan fungsi dari protein albumin dan miogen dalam pengolahan daging
4) Sebutkan fungsi kolagen dalam pengolahan daging
5) Sebutkan fungsi protein mioglobin dalam pengolahan daging
6) Jelaskan mengapa warna daging dapat terlihat merah cerah dan dapat berubah menjadi
berwarna coklat
7) Sebutkan jenis lemak berdasarkan lokasinya pada daging
8) Jelaskan fungsi jaringan ikat
9) Jelaskan apa yang dimaksud dengan marbling
10) Jelaskan bagaimana marbling dapat menjadi salah satu penentu kualitas daging
11) Jelaskan bagaimana melakukan uji fisik kualitas daging berupa warna daging
12) Jelaskan apa yang mempengaruhi ph daging postmoterm (pasca kematian)?
13) Jabarkan bagaimana cara melakukan uji fisik kualitas daging untuk mengetahui pHnya
14) Jelaskan mengapa daya ikat air pada daging dapat menentukan kualitas daging?
15) Jabarkan bagaimana cara melakukan uji daya ikat air pada sebuah sample daging
16) Jelaskan apa perbedaan weep dengan drip
17) Jelaskan mengapa susut masak menjadi salah satu indikator nilai nutrisi daging
18) Jabarkan bagaimana cara melakukan uji susut masak pada sampel daging
19) Jabarkan bagaimana cara melakukan uji keempukan pada sampel daging
20) Jelaskan tiga faktor yang mempengaruhi proses keempukan daging ketika daging dimasak

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Kegiatan Belajar 2
Penyembelihan dan Persiapan Karkas

A. Lembar Informasi
A1. Penyembelihan
1) Definisi Penyembelihan
Penyembelihan merupakan proses mematikan ternak dengan cara memotong tiga saluran pada
leher, yaitu saluran esofagus, arteri karotis dan vena jugularis. Selain itu, cara mematikan ernak bisa
dilakukan dengan cara lain, misalnya dipingsankan terlebih dahulu, kemudian disembelih,
khususnya untuk ternak-ternak yang agresif.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh ternak yang akan dipotong agar diperoleh
kualitas daging yang baik, yaitu
(1) ternak harus dalam keadaan sehat, bebas dari berbagai jenis penyakit,
(2) ternak harus cukup istirahat, tidak diperlakukan kasar, serta tak mengalami stres agar kandungan
glikogen otot maksimal
Penanganan sebelum penyembelihan yang harus dijaga adalah kondisi fisik dan emosional
ternak sebelum dan pada penyembelihan sebab berpengaruh terhadap mutu daging. Ternak yang
tenang dan banyak istirahat akan menghasilkan daging bermutu tinggi dibanding yang kehabisan
tenaga dan tertekan. Keadaan ternak yang istirahat penuh atau kehabisan tenaga akan menentukan
cadangan glikogen dalam otot. Keempukan daging dapat terjadi karena ternak menyimpan glikogen
di dalam otot sebagai sumber persediaan energi, untuk itu mengistirahatkan ternak yang akan
dipotong selama 24 jam dapat meningkatkan jumlah glikogen yang pada akhirnya akan
menyebabkan jaringan otot menjadi lunak dan empuk.
Lokasi peternakan sapi pada umumnya berjauhan dengan rumah pemotongan hewan (RPH),
sehingga dalam penyediaan daging, kita harus mendatangkan ternak sapi dari tempat yang jauh.
Selama dalam perjalanan ini sering terjadi perlakuan yang kasar pada sapi dan terjadinya
pergesekkaan bahkan tumbukkan dengan benda-benda lainnya yang mengakibatkan terjadinya luka
dan memar. Hal ini berakibat pada rusaknya kulit dan turunnya mutu karkas, disamping itu selama
perjalanan dapat mengakibatkan ternak menjadi stress yang mengakibatkan terjadinya penyusutan
berat badan. Penyusutan ini berkisar antara 2 sampai 5 %, tegantung pada lama perjalanan, cuaca,
cara penanganan ternak, dan kondisi alat pengangkutan.
Ternak yang telah mengalami perjalanan jauh, harus diistirahatkan di tempat penampungan
(holding ground) sekurang-kurangnya 24 jam. Di tempat penampungan ini, sapi diistirahatkan dan

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


diberi makanan berenergi tinggi untuk mengembalikan kondisi badannya kekondisi semula., karena
pemotongan sapi dalam keadaan letih akan menghasilkan daging dengan kualitas yang jelek. Ada
pendapat yang menyatakan bahwa 12 jam sebelum dilakukan pemotongan, sebaiknya sapi
dipuasakan terlebih dahulu. Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan perlakuan pemuasaan ini,
yaitu (1) dapat mengurangi sifat agresifitas dari sapi, (2) untuk mengurangi isi pencernaan yang
dapat mencemari daging, (3) untuk mendapatkan berat kosong dari ternak, sedangkan kerugiannya,
yaitu : (1) pemuasaan dapat mengakibatkan sapi menjadi stress, (2) pada waktu pemotongan, daya
ronta dan regang sapi yang lemah sehingga daya pancar darah sewaktu dipotong tidak sekuat sapi
yang tidak dipuasakan.
Di tempat penampungan biasanya terjadi transaksi antara jagal dengan pedagang sapi.
Transaksi biasanya didasarkan pada kondisi ternak, sapi yang disukai konsumen adalah sapi yang
mempunyai rusuk, pinggang dan punggung yang ditutupi oleh lemak yang tipis, hal ini
menunjukkan bahwa sapi tersebut mempunyai perlemakkan yang tipis, disamping itu sapi dengan
kulit yang longgar dan kenyal lebih disukai pula, karena memberikan petunjuk kualitas karkas yang
baik.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemotongan ternak sapi, yaitu :(1) ternak tidak
diperlakukan dengan kasar, (2) ternak tidak dalam keadaan stress, (3) penyembelihan dan
pengeluaran darah dilakukan dengan cepat dan sempurna, (4) menghindari terjadinya kerusakkan
karkas, (5) cara pemotongan yang bersih, ekonomis dan aman bagi pekerja.
Secara umum cara pemotongan dibagi menjadi dua, yaitu pemotongan secara langsung dan
tidak langsung. Pemotongan secara langsung, yaitu ternak setelah dijatuhkan langsung dipotong
pada bagian lehernya sehingga memotong oesophagus, pembuluh darah arteri carotis dan vena
jugularis.Sedangkan pemotongan secara tidak langsung, yaitu ternak sebelum dipotong
dipingsankan terlebih dahulu. Tujuan dari pemingsanan, yaitu : (1) untuk memudahkan dalam
pemotongan, (2) untuk menghindarkan perlakuan kasar pada ternak, (3) diperolehnya kulit dan
karkas dengan kualitas yang baik, karena pada waktu menjatuhkan ternak untuk dipotong, tidak
terbanting atau terbentur dengan benda yang keras, sehingga dapat mengurangi cacat pada kulit dan
memar pada karkas.
Pemingsanan ternak dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu : (1) menggunakan alat
pemingsan yang disebut dengan knocker, (2) dengan senjata pemingsan yang disebut dengan
stunning gun, (3) dengan cara pembiusan, (4) dengan menggunakan arus listrik. Pemingsanan
menggunakan senjata, diarahkan pada titik tengah kening tulang kepala antara kedua kelopak mata
(Gambar 11)

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Gambar 11. Titik penembakkan sapi dengan peluru untuk memingsankan sapi

Pemotongan tidak boleh dilakukan pada ternak betina yang hamil dan masih produktif.
Ternak yang terjangkit mulut dan kuku (Apthae epzootica) dapat dipotong, dengan pesyaratan
bagian-bagian dalam, kepala, mulut, lidah dan kaki harus direbus dahulu sebelum dipasarkan,
sedangkan ternak yang terjangkit penyakit surra, harus dipotong pada malam hari, karena penyakit
ini disebarkan oleh lalat yang mempunyai aktifitas pada siang hari, tetapi apabila ternak terjangkit
anthraxs, maka setelah pemotongan harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur yang
dalam.
Pemotongan harus dilakukan di rumah pemotongan hewan RPH, kecuali dalam keadaan
darurat, yaitu : (1) ternak yang mengalami kecelakaan atau sakit, sehingga dapat menyebabkan
kematian bila tidak segera dipotong, (2) ternak yang disembelih untuk keperluan hajat. Ternak yang
dipotong karena kecelakaan atau sakit, dagingnya tidak boleh langsung dipasarkan, tetapi harus
diperiksa oleh pejabat yang berwenang. Maksud pemeriksaan adalah : (a) melindungi konsumen
dari penyakit yang dapat ditimbulkan karena mengkonsumsi daging yang tidak sehat, (b)
melindungi konsumen dari pemalsuan daging, (c) mencegah penularan penyakit diantara ternak.
Keputusan hasil pemeriksaan akan menentukan apakah karkas dan bagian-bagian karkas dapat
dikonsumsi, diproses lebih lanjut atau tidak.
Setelah penyembelihan, darah harus segera dikeluarkan sebanyak mungkin kemudian ternak dikuliti
(babi dan ayam tidak dikuliti) dengan cara digantung pada posisi kaki belakang, kemudian saluran
pencernaan dan organ-organ dalam lainnya dikeluarkan dengan cara membelah bagian abdomen
hingga ke dada ternak. Penuntasan darah harus sempurna karena bakteri dari usus dan darah yang
tinggal dapat menyerang daging yang dihasilkan. Di samping itu, residu darah yang tertinggal

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


dalam karkas dapat mengubah warna daging menjadi lebih gelap dan pencemaran lemak oleh
darah.
Uji refleks mata, kaki dan ekor dapat digunakan sebagai penguji apakah ternak yang
disembelih telah mati atau tidak. Uji refleks mata dengan melihat apakah mata masih bergerak atau
tidak. Jika mata tidak bergerak maka ternak telah mati. Uji refleks kaki dilakukan dengan memukul
persendian kaki atau memijat sela-sela kuku, bila masih terjadi gerakan atau kontraksi terkejut
maka hewan masih hidup. Jika ekor yang digerakkan dengan membengkokkan tidak bergerak (uji
refleks ekor) maka hewan telah mati.
Dressing adalah pemisahan bagian kepala, kulit dan jeroan dari tubuh ternak. Tahapan proses
dressing terdiri dari: (1) pemisahan dan pengulitan kepala; (2) pemisahan keempat kaki pada bagian
persendian tulang kanon (cannon); dan (3) pengulitan kulit tubuh; (4) membuka rongga dada
dengan gergaji yaitu tepat melalui ventral tengah tulang dada; (5) membuka rongga abdomen
dengan irisan sepanjang ventral tengah kemudian pemisahan penis atau jaringan ambing dan lemak
ruang abdominal yang sudah lepas; (6) membelah benggol pelvik dan memisahkan kedua bagian
tulang pelvik; (7) membuat irisan sekitar anus dan tutup dengan kantong plastik; (8) memisahkan
saluran makanan dari saluran pernapasan; (9) mengeluarkan kantung kencing, uterus, intestinum
dan mesentrium, rumen dan bagian lain dari lambung, dan hati. Setelah memotong diafragma,
dipisahkan pluck yaitu jantung, paru-paru dan trakea; (10) dipisahkan karkas menjadi bagian kanan
dan kiri dengan gergaji yaitu tepat di daerah tengah punggung. Metode pengulitan kepala yaitu
dengan pengulitan di lantai, digantung atau menggunakan mesin.
Pengulitan di mulai dengan membuat irisan panjang pada kulit sepanjang garis tengah dada dan
bagian perut (abdomen), kemudian dilanjutkan sepanjang permukaan dalam (medial) kaki. Kulit
mulai dipisahkan dari ventral ke arah punggung tubuh. Keuntungan pengulitan di lantai yaitu biaya
peralatan rendah dan pengulitan dapat dilakukan secara massal, sedangkan kerugiannya yaitu kulit
dan karkas menjadi kotor oleh darah dan kotoran, lebih sulit menguliti sehingga kemungkinan rusak
karkas ataupun kulit sangat besar. Pengulitan dengan cara digantung dapat menghindari
pencemaran kulit dan karkas dari kotoran serta dapat meminimalisasi kemungkinan cacat. Adapun
kerugian cara tersebut adalah membutuhkan alat penggantung khusus dan per ekor hanya dapat
dikerjakan oleh dua orang. Pengulitan mekanis dapat mencegah karkas dan kulit kotor dan
mencegah cacat karkas. Cara ini membutuhkan modal besar dan tenaga yang ahli.

A2. Penyiapan Karkas

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Istilah karkas untuk sapi, kerbau, kuda, kambing, domba dan hewan-hewan sejenisnya adalah
tubuh ternak yang telah dihilangkan kepala, kaki, dikuliti, darah, organ pencernaan, organ dalam
lainnya.
Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh dua faktor yaitu sebelum dan sesudah
pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang biasa disebut dengan antemortem yang dapat
mempengaruhi kualitas daging adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur,
pakan, dan stress dan setelah pemotongan (post mortem) yang mempengaruhi kualitas daging antara
lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, karkas dan daging, bahan
tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormone dan antibiotik, lemak intramuskuler atau
marbling, metode penyimpanan, macam otot daging, dan lokasi pada suatu otot daging.

A3. Klasifikasi karkas


Karkas diklasifikasikan berdasarkan umur dan jenis kelamin seperti terlihat pada Tabel 3
Tabel 3. Klasifikasi karkas berdasarkan umur dan jenis kelamin
Kelompok Deskripsi
Veal Karkas yang berasal dari sapi dengan umur di bawah 1 tahun
Yearling Karkas yang berasal dari sapi dengan umur 1 sampai dengan 2 tahun dan
belum menunjukkan adanya gigi seri permanen yang terkikis
Young Karkas yang berasal dari sapi dara dengan 3 sampai dengan 7 gigi seri
permanen terkikis
Young prime Karkas yang berasak dari sapi kastrasi atau sapi jantan yang tidak
menunjukkan tanda kelamin sekunder yang mempunyai 3 atau lebih gigi seri
permanen yang terkikis
Prime Karkas yang berasak dari sapi betina atau jantan dengan 8 gigi seri permanen
terkikis
Cow /Steer/Ox Karkas yang berasal dari sapi betina atau jantan yang telah mencapai dewasa
kelamin

A4. Peta karkas sapi


Peta karkas sapi dapat dilihat pada Gambar 12 berikut ini

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Gambar 12. Peta karkas Sapi
Dalam perdagangan internasional, pemotongan karkas biasanya mengikuti suatu aturan tertentu
dan bagian-bagian potongannya juga memiliki nama-nama tertentu. Pemotongan utama karkas
menurut perdagangan internasional adalah sebagai berikut:
a. karkas sapi dewasa (beef): round, sirloin, short loin, flank, plate, rib, brisket, cross cut,
chuck, dan foreshank.
b. karkas sapi muda (veal): long leg, flank, short loin, rack, breast, square cut chuck, dan
shank.
c. Karkas domba/kambing (lamb): leg, short loin, breast, rack, brisket, shoulder dan
foreshank.
d. Karkas babi: ham, belly, loin, spare ribs, shoulder dan jowl.

Gambar 13. Potongan Primal Karkas Veal

A5. Klasifikasi potongan daging


Klasifikasi potongan daging dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Potongan Daging berdasarkan Golongan
Golongan (Kelas) Potongan Daging
I 1. Has dalam (Tenderloin)
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
2. Has luar (Striploin/sirloin)
3. Lamusir (cube roll)
II 1. Tanjung (rump)
2. Kelapa (round)
3. Penutup (topside)
4. Pendasar (silverside)
5. Gandik (eye round)
6. Kijen (chuck tender)
7. Sampil besar (chuck)
8. Sampil kecil (blade)
III 1. Sengkel (shin/shank)
2. Daging iga (rib meat)
3. Samcan (thin flank)
4. Sandung lamur (brisket)

Potongan daging sesuai klasifikasi di atas dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Klasifikasi Potongan daging


Ariani Kusumaningrum, STP, MM
B. Rangkuman
1. Penyembelihan merupakan proses mematikan ternak dengan cara memotong tiga saluran pada
leher, yaitu saluran esofagus, arteri karotis dan vena jugularis.
2. Penanganan sebelum penyembelihan yang harus dijaga adalah kondisi fisik dan emosional
ternak sebelum dan pada penyembelihan sebab berpengaruh terhadap mutu daging
3. Istilah karkas untuk sapi, kerbau, kuda, kambing, domba dan hewan-hewan sejenisnya adalah
tubuh ternak yang telah dihilangkan kepala, kaki, dikuliti, darah, organ pencernaan, organ dalam
lainnya.
4. Penanganan sebelum penyembelihan yang harus dijaga adalah kondisi fisik dan emosional
ternak sebelum dan pada penyembelihan sebab berpengaruh terhadap mutu daging. Ternak yang
tenang dan banyak istirahat akan menghasilkan daging bermutu tinggi dibanding yang kehabisan
tenaga dan tertekan
5. Secara umum cara pemotongan dibagi menjadi dua, yaitu pemotongan secara langsung dan tidak
langsung.

C. Tes Formatif
1. Jelaskan apa yang dimaksud karkas adalah
2. Tiga saluran pada leher yang digunakan untuk mematikan ternak yang akan disembelih
adalah….
3. Sebutkan faktor antemortem yang dapat mempengaruhi kualitas daging
4. Sebutkan faktor postmortem yang dapat mempengaruhi kualitas daging
5. Berapa persen perkiraan terjadinya penyusutan berat badan sapi akibat tranportasi
6. Sebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyusutan berat badan sapi akibat
transportasi
7. Sebutkan penampilan sapi yang disukai oleh konsumen
8. Berapa lama sebaiknya sapi harus diistirahatkan di tempat penampungan
9. Keuntungan dan kerugian apa yang terjadi akibat pemuasaan ternak sapi sebelum dilakukan
pemotongan
10. Jelaskan mengapa ternak yang akan disembelih harus relaks dan cukup istirahat?
11. Apa saja yang perlu diperhatikan dalam pemotongan sapi
12. Apa yang dimaksud dengan pemotongan ternak secara tidak langsung
13. Sebutkan tujuan pemingsanan ternak sebelum dilakukan pemotongan
14. Sebutkan 4 cara pemingsanan ternak sapi

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


15. Apa yang dimaksud dengan pemotongan sapi dalam keadaan darurat
16. Jelaskan tahapan dressing pada ternak sapi
17. Tulislah nama-nama bagian karkas

18. Sebutkan klasifikasi potongan daging berdasarkan kelasnya beserta nama-nama


potongannya
19. Jelaskan cara pemotongan ternak sapi yang mengalami penyakit
20. Jelaskan mengapa ternak yang dipotong karena kecelakaan atau sakit, dagingnya tidak boleh
langsung dipasarkan, tetapi harus diperiksa oleh pejabat yang berwenang

Kegiatan Belajar 3
Penanganan Karkas
A. Lembar Informasi
A.1 Resprirasi Pra Mortem
Seperti manusia, hewan pun melakukan respirasi. Penyembelihan hewan akan menghentikan
proses respirasi. Sebelum kita membahas proses apa yang terjadi setelah pasca penyembelihan (post
morterm) perlu kita pahami apa yang terjadi pada proses dan setelah proses respirasi.
Pada proses respirasi sel menghasilkan energi . Pada intinya, respirasi sel adalah proses
pengubahan glukosa oleh oksigen menjadi energi. Jadi memang glukosa dan oksigen yang menjadi
tokoh utamanya. Secara kimiawi, reaksi umum dari proses respirasi sel adalah sebagai berikut:

Gambar 15. Respirasi

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


dalam proses respirasi sel, terdapat beberapa tahap yang harus dilalui untuk bisa mendapatkan
energi dari glukosa salah satunya glikolisis. Pada prinsipnya, glikolisis merupakan proses
pemecahan glukosa. Pada glikolisis, satu molekul glukosa dipecah menjadi 2 molekul asam piruvat.
Asam piruvat adalah senyawa alami yang diproduksi oleh tubuh yang membantu membuat dan
menggunakan energy. sebagai perantara dalam metabolisme protein dan karbohidrat, membantu
melepaskan energi ke tubuh

Gambar 16. Glikolisis

Salah satu hasil dari glikolisis adalah ATP (Adenosin Trifosfat). ATP adalah molekul yang
membawa energi dalam sel. Ini adalah mata uang energi utama sel, dan itu adalah produk akhir dari
proses fotofosforilasi (menambahkan gugus fosfat ke molekul yang menggunakan energi dari
cahaya), respirasi sel, dan fermentasi. Semua makhluk hidup menggunakan ATP. Selain digunakan
sebagai sumber energi, itu juga digunakan dalam jalur transduksi sinyal untuk komunikasi sel dan
dimasukkan ke dalam asam deoksiribonukleat (DNA) selama sintesis DNAKetika sel memerlukan
energi, maka ATP dapat segera dipecah atau dikonversi melalui reaksi hidrolisis (yaitu reaksi
dengan air) dan terbentuk energi.

Energi yang terbentuk ini dapat diangkut dan digunakan oleh seluruh bagian sel
tersebut.Energi yang terkandung dalam ATP baru dapat digunakan, jika ATP terlebih dahulu
dipecah melalui reaksi hidrolisis dengan cara melepaskan 2 ikatan fosfat, yaitu antara ikatan fosfat
kedua dan ketiga kemudian dihasilkan Adenosin Difosfat (ADP). Hasil glikolisis ini adalah asam
piruvat dan ATP yang akan digunakan pada proses pembentukan energy selanjutnya yaitu siklus
krebs.

Respirasi aerob terjadi melalui glikolisis, siklus krebs dan transfer elekton. Siklus krebs
terjadi di dalam mitokondria sedangkan glikolisis terjadi pada sitoplasma.Oleh sebab itu, asam
piruvat hasil glikolisis harus masuk mitokondria terlebih dahulu agar dapat menjalani siklus krebs.
dalam keadaan tersedia oksigen, asam piruvat akan memasuki proses respirasi aerob untuk diolah

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


menjadi energi dengan hasil akhir air dan karbondioksida. Apabila tidak terdapat oksigen, asam
piruvat akan menjalani proses respirasi anaerob untuk diubah menjadi asam laktat.
Fase pasca mortem merupakan tahapan setelah mati. Pasca mortem mengakibatkan
perubahan-perubahan secara biokimia pada ternak yang telah disembelih. Kematian mengakibatkan
terjadinya glikolisis anaerobik dan terhentinya respirasi. Berhentinya respirasi mengakibatkan
siklus krebs terhenti sehingga mengakibatkan penurunan konsentrasi ATP dan menghasilkan
produksi asam laktat . Perubahan-perubahan yang terjadi akan menghasilkan flavor daging,
perubahan rigor jaringan otot, perubahan kelarutan air dan daya ikat air.

A2. Fase-fase perubahan fisiologis Post Mortem


Pasca mortem dibagi tiga fase yaitu fase pre-rigor, rigor mortis dan pasca rigor mortis.
Perubahan yang terjadi selama proses pasca mortem dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Proses Pasca Mortem

Pemahaman mengenai fase-fase daging pasca penyembelihan akan membuat para pengolah
pangan dapat menentukan cara penangan bahan daging sebagai bahan baku produksi olahan
daging
1) Fase Prarigor mortis
Setelah proses penyembelihan, maka sirkulasi darah pada hewan akan berhenti. Hal ini
akan menyebabkan fungsi darah sebagai pembawa oksigen terhenti. Dengan berhentinya proses
respirasi maka akan terjadi reaksi glikolisis yang anaerobik dan menghasilkan produksi asam
laktat, sehingga dilanjutkan dengan adanya serangkaian perubahan biokimia dan kimia seperti
perubahan pH daging, perubahan kelarutan protein, perubahan daya ikat air (water holding
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
capacity), perubahan jaringan otot. Pada fase ini daging masih relatif konstan sehingga pada
tahap ini tekstur daging lentur dan lunak.
Jika ditinjau dari kelarutan protein daging pada larutan garam, daging pada fase pre rigor
ini mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan daging pada fase post rigor. Hal ini
disebabkan daging pada fase prerigor ini hampir 50% protein-protein daging yang larut dalam
larutan garam (protein miofibril), dapat diekstraksi keluar dari jaringan. Karakteristik ini sangat
baik apabila daging pada fase ini digunakan untuk pembuatan produk-produk yang
membutuhkan sistem emulsi pada tahap proses pembuatannya seperti bakso dan sosis.
Mengingat pada sistem emulsi dibutuhkan kualitas dan jumlah protein yang baik untuk
berperan sebagai emulsifier.
2) Fase rigor mortis
Pada tahap ini, terjadi perubahan tekstur pada daging dimana jaringan otot menjadi keras,
kaku, dan tidak mudah digerakkan yang disebabkan karena berhentinya proses respirasi,
sehingga menyebabkan penurunan jumlah ATP (Adenosine Tri Phosphate) pada jaringan
daging yang berfungsi sebagai sumber energi.
Rigor mortis juga sering disebut sebagai kejang bangkai. Kondisi daging pada fase ini
perlu diketahui kaitannya dengan proses pengolahan. Daging pada fase ini jika dilakukan
pengolahan akan menghasilkan daging olahan yang keras dan alot. Kekerasan daging selama
rigor mortis disebabkan terjadinya perubahan struktur serat-serat protein. Protein dalam daging
yaitu protein aktin dan miosin mengalami ”cross-linking”.
3) Fase Post rigor mortis
Fase post rigor atau pasca rigor pada fase ini daging akan kembali lunak tapi bukan
diakibatkan oleh pemecahan ikatan aktin dan miosin melainkan peranan enzim katepsin yang
membantu pemecahan protein aktomiosin menjadi protein sederhana. daging pada fase post
rigor baik untuk diolah karena tekstur daging sudah kembali melunak, namun pengolahan
daging harus dilakukan sesegera mungkin untuk menghindari kontaminasi mikrobia semakin
banyak dan terjadinya perubahan ke arah penurunan mutu terhindari.

Pemaparan daging lebih lanjut akan menjadikan daging semakin mengalami penurunan
mutu. daging akan menjadi lembek dan menghasilkan aroma busuk. kebusukan pada daging
disebabkan oleh pemecahan protein menjadi protein sederhana yang menyisakan gugus amino
(alkali) dan sulfur yang merupakan senyawa yang menyebabkan timbulnya bau busuk pada
daging.
Secara umum jika digambarkan fase-fase daging setelah proses penyembelihan adalah
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
Gambar 17. Sifat Fisiologi Pasca Moterm
Pemahaman mengenai fase-fase daging pasca penyembelihan akan membuat para pengolah
pangan dapat menentukan cara penangan bahan daging sebagai bahan baku produksi olahan daging.

A3. Pelayuan
Karkas dari hasil pemotongan sapi umumnya mempunyai temperatur yang tinggi, yaitu
sekitar 39°C. Hal ini harus segera diturunkan untuk menghindarkan perubahan-perubahan yang
menyebabkan terjadinya kerusakan daging, oleh karena itu karkas harus segera disimpan dalam
ruang pendingin yang disebut dengan proses pelayuan.
Pelayuan disebut juga aging, conditioning atau hanging, yaitu dengan menggantungkan
karkas selama waktu tertentu di dalam ruangan dengan temperatur diatas titik beku karkas (-1,5°
C). Pelayuan biasanya dilakukan pada ruangan pendingin dengan temperatur pada kisaran 15° - 16°
C selama 24 jam, atau dapat pula dilakukan pada kisaran temperatur 0° - 3° C dengan waktu yang
lebih lama. Selama proses pelayuan terjadi proses autolisis, yaitu perombakan tenunan daging oleh
enzim yang terdapat di dalam daging, sehingga daging menjadi lebih empuk dan berkembangnya
flavor daging yang lebih baik.
Selama pelayuan terjadi proses fisiologis otot postmortem. Proses fisiologis tersebut adalah
rigor mortis, yaitu proses kekakuan otot yang terjadi setelah penyembelihan. Proses kekakuan ini
merupakan kontraksi otot yang irreversibel. Bila daging diperoleh dari karkas yang masih rigor
mortis maka daging akan terasa lebih alot/keras. Oleh karena itu proses rigor mortis harus dilalui.
Pelayuan dengan cara menggantung karkas akan mengurangi pemendekan otot akibat rigor
mortis karena secara fisik, penggantungan menyebabkan gaya berat karkas menahan proses
kontraksi otot. Selain itu dengan adanya pelayuan maka memberikan kesempatan enzim proteolitik
untuk mendegradasi protein-protein serat sehingga menjadikan daging terasa lebih empuk.
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
Fase-fase yang dialami jaringan otot hewan setelah dipotong adalah fase pre rigor mortis,
rigor mortis, dan pasca rigor mortis. Pada fase rigor mortis jaringan otot menjadi keras dan kaku.
Fase ini sangat tergantung pada kondisi penyimpanan. Penyimpanan pada suhu rendah dapat
menyebabkan fase rigor mortis berlangsung cukup lama. Sedangkan fase pasca rigor mortis adalah
fase pembentukan aroma, pada fase ini daging kembali menjadi lunak dan empuk karena daya ikat
air dalam otot kembali meningkat. Rigor mortis merupakan proses yang harus diperhatikan karena
kesalahan penanganan bisa berpengaruh pada kualitas daging. Karkas yang pre rigor atau sedang
rigor disimpan beku maka bila karkas/daging dilakukan thawing akan terjadi pengkerutan yang
hebat hingga bisa mencapai 50% karena terjadi rigor mortis kembali (thaw rigor). Hal ini
menyebabkan ukuran karkas atau daging menjadi lebih kecil dari ukuran semula. Oleh karena itu
pembekuan karkas atau daging biasanya dilakukan pada keadaan postrigor.
Berkenaan dengan sifat rigor mortis ini maka dalam pelayuan biasanya dilakukan pada
temperatur antara 15-16C. Pada temperatur ini rigor mortis masih bisa berlangsung sehingga tidak
menimbulkan pengkerutan. Pelayuan pada temperatur rendah akan menyebabkan pengkerutan
dingin (cold shortening). Temperatur di bawah 15C menyebabkan karkas yang belum rigor atau
sedang rigor menjadi tidak bisa melangsungkan rigor mortis dan bila dikembalikan ke temperatur
ruang maka rigor mortis yang tertunda tadi berlangsung kembali tetapi diikuti dengan pengkerutan
karkas/daging.

A4. Perubahan Fisiologi Pada Karkas


1. Perubahan Warna
Pigmen daging terdiri atas dua protein yakni hemoglobin, pigmen darah, dan myoglobin,
pigmen otot Dalam pencampuran yang tepat pada jaringan otot, myoglobin terdiri atas 80 -90%
dari total pigmen. Warna daging ternyata disebabkan oleh sebuah protein yang bernama
myoglobin, suatu protein yang berfungsi untuk menyimpan oksigen (O2) dan memfasilitasi
difusi oksigen tersebut pada proses kontraksi sel-sel otot. Pada myoglobin terdapat lubang yang
mengandung heme (cincin porphyrin dengan ion besi (Fe2+) di pusatnya), tempat dimana
oksigen di simpan sebelum dilepaskan untuk membuat energi sel.
Oksigen pada myoglobin ini diperoleh dari hemoglobin yang berasal dari sel darah
merah. Hemoglobin mengandung empat struktur protein mirip myoglobin. Terjadinya transfer
oksigen dari hemoglobin ke myoglobin terjadi karena oksigen memiliki afinitas yang lebih
besar terhadap myoglobin dibandingkan terhadap hemoglobin. Sebagai analogi, hemoglobin
dalam sel darah merah adalah seperti mobil truk yang mengangkut muatannya berupa oksigen

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


dari paru-paru. Satu hemoglobin bisa mengangkut empat molekul oksigen. Nah di tempat
tujuan, dalam hal ini sel otot, hemoglobin membongkar muatan oksigennya dan memberikannya
kepada gerobak pengangkut yang lebih kecil yaitu myoglobin yang hanya bisa memuat satu
molekul oksigen per gerobak. Gerobak myoglobin ini berfungsi untuk menyimpan oksigen
sampai sel otot memerlukannya.

Gambar 18. Penyebab Warna Merah Pada Daging


Sumber : https://sainspop.com
Ikatan oksigen dengan heme pada myoglobin inilah yang menghasilkan warna merah
karena ikatan oksigen pada heme-nya, sama seperti warna merah pada darah. Semakin banyak
kandungan myoglobin di dalam daging, semakin banyak oksigen yang terikat, sehingga
semakin merah warna daging tersebut
Jumlah mioglobin bervariasi diantar jenis ternak, umur, jenis kelamin, otot, dan aktivitas
fisik, yang akan memepengaruhi variasi warna daging. Perbedaan jenis ternak terlihat antara
warna ringan pada daging babi dibanding warna merah cerah pada daging sapi. Warna pucat
otot pada karkas anak sapi (veal) adalah indikasi bahwa otot yang belum dewasa pada ternak
mempunyai kandungan mioglobin yang rendah dibanding pada ternak yang lebih dewasa. Pada
pejantan mempunyai otot-otot yang mengandung lebih banyak mioglobin daripada ternak betina
atau jantan pada umur yang sama. Karena perbedaan kandungan mioglobin, otot dada ayam
lebih terang daripada otot yang lebih gelap (tua) warnanya seperti pada kaki dan paha. Ternak
aduan (permainan) mempunyai otot yang lebih gelap daripada ternak peliharaan (domestic)

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


karena sebagian disebabkan induksi mioglobin oleh aktivitas fisik. Pada umumnya, daging sapi
dan domba mempunyai mioglobin yang lebih banyak daripada daging babi, anak sapi, ikan atau
unggas.
Pada saat kita memotong daging sapi mentah, akan keluar cairan yang berwarna
kemerah-merahan. Cairan itu bukanlah darah tetapi myoglobin yang terlarut dalam air karena
darah sapi sudah keluar seluruhnya pada proses penyembelihan. Kemudian, ketika dimasak,
daging sapi akan berubah warna menjadi cokelat. Perubahan warna ini terjadi karena myoglobin
mengalami denaturasi (kerusakan struktur) sehingga heme-nya terlepas. Dalam keadaan bebas,
ion Fe2+ pada heme dengan mudah mengalami oksidasi menjadi Fe3+ yang berwarna
kecokelatan.
2. Perubahan pH Daging
pH awal diukur pada awal pengukuran setelah pemotongan sampai 45 menit, dan pH
akhir kira-kira setelah 24 jam. pH normal daging adalah 5,3-5,9. Faktor-faktor yang
mempengaruhi antara lain stress sebelum pemotongan, injeksi hormon atau obat-obatan,
spesies, individu ternak dan macam otot, stimulasi listrik, aktivitas enzim dan terjadinya
glikolisis (Soeparno et al., 2011)
Proses pemotongan sangat berpengaruh terhadap kualitas daging yang dihasilkan.
Setelah ternak dipotong akan terjadi perubahan secara fisik maupun kimia. Pasca
penyembelihan terjadi penurunan pH pada daging dikarenakan adanya metabolisme anaerobic
yang akan menghasilkan asam laktat pada jaringan daging. Produksi asam laktat ini akan
menyebabkan penurunan pH daging yang akan terjadi secara bertahap dari pH normal menjadi
pH akhir sekitar 3.5 hingga 5.5.
Setelah proses penyembelihan, maka sirkulasi darah pada hewan akan berhenti. Hal ini
akan menyebabkan fungsi darah sebagai pembawa oksigen terhenti. Dengan berhentinya proses
respirasi maka akan terjadi reaksi glikolisis yang anaerobik dan menghasilkan produksi asam
laktat. Terbentuknya asam laktat menyebabkan penurunan pH daging dan menyebabkan
kerusakan struktur protein otot dan kerusakan tersebut tergantung pada temperatur dan
rendahnya pHTernak yang kelelahan sebelum proses pemotongan akan memiliki sedikit energi
untuk mengatasi stress, akibatnya jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama
proses glikolisis anaerob akan terbatas sehingga daging yang dihasilkan mempunyai pH yang
tinggi dengan warna merah gelap atau dikenal dengan istilah daging DFD (Dark Firm and Dry)
dengan pH berkisar 6, 2

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Standar pH daging hewan yang sehat dan cukup istirahat yang baru dipotong adalah 7-
7,2 dan dapat menurun dengan cepat hingga mencapai 5,5-5, 7 dan akan terus menurun selama
24 jam . Perlu dipahami bahwa setelah hewan dipotong, penyediaan oksigen otot terhenti,
dengan demikian persediaan oksigen tidak lagi di otot dan sisa metabolism tidak dapat
dikeluarkan lagi dari otot, sehingga daging akan mengalami penurunan pH. pH daging dapat
menurun dengan cepat hingga mencapai 5,4-5,5 selama beberapa jam setelah pemotongan..
Penurunan pH tersebut tidak sama untuk semua urat daging dari seekor hewan dan di antara
hewan juga berbeda. Nilai pH postmortem akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang
dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob. Nilai pH akan semakin rendah pada
hewan yang mengalami stress sebelum pemotongan dan akan dihasilkan daging yang pucat,
lembek dan berair (pale, soft, exudative = PSE).
Daging PSE banyak terjadi pada ternak babi stres yang sering disebut Porcine Stress
Syndrome (PSS), namun dapat pula terjadi pada jenis ternak yang lain. Kondisi daging PSE
tergambar dari namanya (Pale, Soft, Exudative), yaitu daging menjadi lunak dan cenderung
lentur, permukaan daging basah, serta warna daging pucat. Ketika dimasak daging PSE sangat
kering dan secara organoleptik kurang diterima. Daging PSE ini kurang baik untuk pengolahan
karena memiliki nilai WHC yang rendah. Bagan terjadinya PSE terlihat pada Gambar

https://kanalpengetahuan.tp.ugm.ac.id

Daging DFD adalah penyimpangan kualitas daging yang banyak terjadi pada sapi dan babi. DFD
adalah fenomena di mana daging menjadi lebih gelap penampakannya dibandingkan daging
normal. Permukaan daging kering, pH lebih tinggi (6,0 – 6,2) dibanding normal (5,3 – 5,8). DFD
terjadi pada ternak yang mengalami stres dan banyak gerak/berontak dalam waktu yang cukup lama
sebelum disembelih. Akibatnya, cadangan glikogen tubuh menjadi sangat rendah, proses glikolisis

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


anaerob yang menghasilkan asam laktat untuk penurunan pH daging tidak terjadi dan pH ultimat
tetap tinggi. Karena pH tinggi, daya ikat air daging DFD juga tinggi.
3. Perubahan Struktur Jaringan Otot
Faktor yang mempengaruhi struktur jaringan otot terutama keempukan daging terdiri dari
faktor antemortem dan post mortem. Faktor antemortem antara lain adalah genetik, fisiologi,
makanan, dan manajemen pemeliharaan ternak, sedangkan faktor post mortem antara lain adalah
metode pemotongan, penyimpanan dan pengolahan daging. Selama proses pasca mortem terjadi
perubahan struktur jaringan otot yaitu penurunan keempukan akibat kelebihan energi, sehingga
jaringan otot berkontraksi. Setelah fase rigor mortis terlewati, jaringan otot mengalami fase pasca
rigor, di mana jaringan otot menjadi lunak dan daging menjadi empuk (tender). Mekanisme
proteolitik merupakan teori yang sering digunakan untuk menerangkan keempukan daging pada
pasca rigor, yaitu melonggarnya ikatan aktin dan miosin serta terurainya sebagian kolagen oleh
asam yang terbentuk. Dengan turunnya pH, enzim katepsin akan aktif mendesintegrasi garis-garis
gelap Z pada miofilamen, menghilangkan gaya adhesi antara serabut-serabut otot. Selain itu enzirn
katepsin yang bersifat protoelitik tersebut dapat melonggarkan serat otot. Ada hubungan yang erat
antara pengaruh pH dan keempukan daging.
4. PERUBAHAN DAYA IKAT AIR
Daya ikat air oleh daging adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang
ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan,
penggilingan atau tekanan. Kemampuan menahan air menjadi faktor penting terutama pada daging
yang akan digunakan pada industri yang melibatkan proses penghancuran dan atau pengemulsian,
misalnya produksi pasta daging, sosis, bakso, ham matang, dan lain-lain.
Daya ikat air juga erat hubungannya dengan kehilangan air sewaktu daging dibekukan dan
dicairkan kembali (thawed). Pada fase prerigor daya ikat air daging masih relatif tinggi, akan tetapi
secara bertahap menurun seiring dengan perubahan nilai pH dan jumlah ATP jaringan otot. Daging
yang mempunyai daya ikat air tinggi, di mana pH-nya jauh di atas isoelektrik dari aktomiosin, maka
protein akan mengikat air lebih banyak dan akibatnya permukaan daging menjadi kelihatan kering,
tetapi ketika dimasak kehilangan airnya sedikit dan mampu memerangkap air lebih banyak
sehingga memberi cita rasa basah dan memberi kesan empuk.
Habisnya ATP Pasca Mortem pada fase rigor mortis menyebabkan terjadinya ikatan yang
kuat antara filamen aktin dan miosin. Kuatnya ikatan jaringan protein miofibrilar tersebut juga
dapat menyebabkan menyempitnya ruangan untuk mengikat air, sehingga daya ikat air daging pada
fase rigor mortis sangat rendah. Selama proses pasca rigor daya ikat air daging dapat meningkat

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


lagi, hal ini dihubungkan dengan perubahan muatan elektrik molekul protein otot, atau dengan
melonggarnya jaringan miofibrilar akibat aktivitas enzim proteolitik
5. PENETRASI MIKROORGANISME
Di dalam tubuh hewan yang masih hidup terdapat suatu mekanisme biologis tertentu yang
akan tidak berfungsi lagi setelah hewan tersebut mati, dan akan menyebabkan enzim pencernaan
akan menyerang jaringan tubuh. Bersamaan dengan itu mikroorganisme masuk ke dalam daging
hewan yang telah mati. Penetrasi mikroorganisme berasal dari lingkungan sekitarnya, dan terjadi
mulai dari saat pemotongan hewan serta pada proses penanganan lebih lanjut. Di dalam daging,
mikroorganisme yang tumbuh terutama dari jenis bakteri yang mengambil kebutuhan nutrisinya
dari daging yang ditempati. Tingkat kerusakan daging tergantung dari tingkat kebutuhan nutrisi
bakteri. Kebanyakan bakteri termasuk bakteri pembusuk daging dari genus Pseudomonas. Karkas
ternak akan terkontaminasi secara internal apabila tidak didinginkan setelah penyembelihan. bakteri
anaerobik (kebanyakan Clostridia) yang merupakan mikroorganisme perusak tingkat rendah dapat
tumbuh di dalam otot.

B. Rangkuman
1. Fase yang dialami daging setelah penyembelihan adalah pra rigor, rigor mortis dan post rigor.
2. Fase pre-rigor mortis adalah fase yang terjadi setelah hewan mengalami kematian. Pada fase ini
otot dalam keadaan relokasi, proses kimiawi dan pertumbuhan sangat lambat.
3. Fase rigor mortis adalah fase setelah pre-rigor mortis. Secara fisik pada fase ini terjadi
perubahan daging, yang menjadi kaku dan kehilangan fleksibilitasnya. Lama fase rigor mortis
tergantung pada jenis hewannya. Fase ini berpengaruh langsung terhadap keempukan daging.
4. Fase pasca rigor mortis adalah fase setelah rigor mortis. Pada fase ini tidak ada pembentukan
energi (ATP) yang dapat digunakan untuk kontraksi dan pensilnya akhir dan miosin, sehingga
daging menjadi empuk kembali.
5. Perubahan fisikokimia meliputi perubahan pH, perubahan struktur jaringan otot, perubahan
kelarutan protein dan perubahan daya ikat air. Perubahan pH setelah post mortem dipengaruhi
faktor intrinsik dan ekstrinsik.
6. Faktor yang mempengaruhi perubahan struktur jaringan otot adalah faktor antemortem dan post-
mortem. Perubahan kelarutan protein dipengaruhi oleh pH, tersedianya ATP dan faktor lain.
Perubahan daya ikat air dipengaruhi oleh pH dan jumlah ATP jaringan otot.

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


7. Perubahan warna daging ditentukan oleh pigmen daging yang utama, yaitu mioglobin. Banyak
faktor yang mempengaruhi warna daging yaitu pakan, spesies, jenis hewan, umur, jenis kelamin,
stres, pH dan oksigen.
8. Masuknya mikroorganisme ke dalam daging terjadi bersamaan dengan masuknya enzim
pencernaan ke dalam jaringan tubuh. Hal ini terjadi disebabkan oleh terhentinya mekanisme
biologis karena hewan mati disembelih.
9. Untuk memperoleh keempukan yang sempurna dan cita rasa yang khas, daging mengalami
proses pelayuan. Pelayuan disebut juga aging, conditioning atau hanging, yaitu dengan
menggantungkan karkas selama waktu tertentu di dalam ruangan dengan temperatur diatas titik
beku karkas (-1,5° C).
10. Tujuan proses pelayuan adalah agar proses pembentukan asam laktat dapat berlangsung
sempurna sehingga terjadi penurunan pH. Selama proses daging pelayuan daging mengalami
perubahan-perubahan sebagai berikut: daging menjadi lunak, daging menjadi kurang transparan,
perubahan pH daging, perubahan daya ikat air dan pembentukan aroma daging.
11. Pembekuan karkas atau daging biasanya dilakukan pada keadaan postrigor.

C. Tes Formatif
1. Jelaskan apa yang terjadi pada proses pelayuan
2. Mengapa karkas perlu dilayukan
3. Mengapa pelayuan mengakibatkan terjadinya penyusutan berat karkas
4. Mengapa pelayuan pada suhu yang lebih rendah mengakibatkan
5. terjadinya pemendekkan otot daging
6. Sebutkan tujuan utama dari pelayuan karkas
7. Jelaskan mengapa daging yang baru disembelih menjadi alot/atos?
8. Jelaskan mengapa pelayuan tidak boleh dilakukan menggunakan suhu rendah(< 15C) atau
suhu beku
9. Jelaskan mengapa pelayuan karkas daging dengan cara menggantung daging dapat
mengempukkan daging?
10. Jelaskan mengapa pembekuan karkas daging harus dilakukan pada saat postrigor?
11. Kondisi daging pasca penyembelihan yang paling sesuai untuk pembuatan produk yang
membuat sistem emulsi adalah ..
12. Mengapa proses pelayuan membuat serat daging menjadi empuk?
13. Jelaskan apa yang dimaksud dengan daging dengan kondisi PSE

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


14. Jelaskan apa yang dimaksud dengan daging kondisi DFD
15. Jelaskan mengapa daging dengan kondisi PSE tidak baik untuk pengolahan
16. Jelaskan mengapa pH daging yang telah disembelih mengalami penurunan
17. Jelaskan mengapa warna karkas anak sapi lebih pucat daripada karkas sapi dewasa?
18. Jelaskan mengapa daging sapi yang dimasak berubah menjadi berwarna coklat?
19. Karkas ternak akan terkontaminasi secara internal apabila tidak didinginkan setelah
penyembelihan oleh bakteri dari genus....
20. Bakteri anaerobik yang merupakan mikroorganisme perusak tingkat rendah dapat tumbuh
di dalam otot adalah dari genus....

Kegiatan Belajar 4
Pengawetan Daging
A. Lembar Informasi

Pengawetan daging merupakan suatu cara menyimpan daging untuk jangka waktu yang
cukup lama agar kualitas maupun kebersihannya tetap terjaga.
Tujuan pengawetan adalah menjaga ketahanan terhadap serangan jamur (kapang), bakteri, virus dan
kuman agar daging tidak mudah rusak. Ada beberapa cara pengawetan yaitu: pendinginan,
pelayuan, pengasapan, pengeringan, pengalengan dan pembekuan(Leith. 1989).

A1. Pendinginan
Pendinginan adalah metode yang paling banyak digunakan untuk tujuan pengawetan daging
segar. Temperatur pendinginan yang rendah akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme,
reaksi-reaksi enzimatis dan kimia yang menjadi penyebab penurunan mutu serta kerusakan daging.
Pendinginan cepat sangat baik dilakukan untuk mencegah kerusakan oleh mikroorganisme.
Penyimpanan karkas atau daging pada suhu dingin, meskipun dalam waktu yang singkat tetap
diperlikan untuk mengurangi kontaminasi atau untuk mengendalikan perkembangan
mikroorganisme. Kemungkinan kerusakan daging atau karkas selama penyimpanan pada suhu
dingin dapat diperkecil dengan cara penyimpanan karkas dalam bentuk dipotong-potong.
Temperature internal karkas sesaat setelah pemotongan yang berkisar antara 30-39ºC, selama
penyimpanan dingin temperature internal tersebut segera diturunkan sampai 5ºC atau lebih dingin
lagi.faktor yang mempengaruhi laju pendinginan antara lain : panas spesifik karkas atau kapasitas
karkas, berat ukuran karkas, jumlah lemak eksternal, temperatur udara lingkungan pendingin,
jumlah karkas dalam ruangan pendingin dan jarak antara karkas.
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
Kelembaban relatif di dalam ruangan pendingin sebaiknya dijaga tetap tinggi (88-92%) untuk
mencegah pengerutan karkas yang berlebihan yang disebabkan oleh hilangnya cairan karkas selama
pendinginan. Kehilangan berat selama pendinginan secara relatif lebih besar pada karkas
yangmempunyai lapisan lemak eksternal lebih sedikit daripada belahan karkas yang besar dan
mempunyai lemak eksternal lebih banyak.
Pemendekan otot yang terjadi karena pendinginan yang terlalu cepat (lebih rendah dari 15ºC
sampai 19ºC), sementara otot masih dalam kondisi prerigor dapat dihindarkan dengan cara
pendinginan daging secara cepat sampai kira-kira 15ºC dan dipertahankan di temperature ini
hingga tercapainya kondisi rigormotis. Kemudian temperatur ini dapat diturunkan secepat mungkin
pada temperatur dingin.
Penyimpanan daging dingin sebaiknya dibatasi dalam waktu yang relatif singkat, karena
perubahan-perubahan kerusakan yang meningkat sesuai dengan lama waktu penyimpanan. Factor
yang mempengaruhi lama simpan daging dingin, antara lain adalah jumlah mikroba awal,
temperature dan kelembaban selama penyimpanan, ada tidaknya pelindung (lemak atau kulit),
ruang pendingin dan tipe produk yang disimpan.
Pendinginan akan berhasil mengawetkan daging jika syarat-syarat berikut ini dipenuhi.
1. Pencemaran awal kurang dari 150 koloni/cm2.
2. Waktu pemotongan dan penanganan karkas tidak boleh lebih dari 45 menit.
3. Pendinginan mampu mengurangi suhu sampai -1oC dalam 24 jam untuk permukaan
daging, dan 72 jam untuk jaringan bagian dalam.
4. Kelembaban relatif ± 85% dan kecepatan 80 cm/detik, untuk mendapatkan susut bobot 2 -
4%.
5. Pendinginan karkas dilakukan dengan cara menggantung, untuk karkas sapi dapat
dilakukan dengan kuarter bagian. Karkas daging sapi dapat dilapisi dengan kain pembungkus
daging sebelum didinginkan, sedangkan karkas veal (sapi muda) dapat dilapisi sebelum atau setelah
pendinginan. Karkas domba biasanya dilapisi segera setelah penyembelihan, sedangkan karkas babi
dan unggas tidak perlu dilapisi.
Kecepatan pendinginan tergantung pada ukuran dan bobot karkas, kapasitas panas karkas,
ketebalan jaringan lemak, serta temperatur dan sirkulasi udara di dalam ruang pendinginan. Dengan
menggunakan udara dingin dengan kecepatan tinggi, waktu pendinginan dapat dipercepat 25 - 35%.
Kehilangan cairan serta pengerutan daging dapat dikurangi dengan menjaga kelembaban nisbi
88 - 92%. Pendinginan veal (sapi muda), domba dan babi secara umum sama dengan pendinginan
sapi, hanya ukuran karkasnya yang berbeda. Setelah melalui proses pendinginan, daging

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


didistribusikan kepada konsumen atau pasar dengan berbagai cara. Cara yang sering digunakan
adalah mendistribusikannya dalam bentuk karkas utuh dalam kendaraan berpendingin, atau yang
mulai banyak dilakukan adalah mengemas potongan-potongan daging dalam kemasan karton.
Beberapa produsen mengemas potongan-potongan tersebut dalam kemasan vakum sebelum
dimasukkan dalam kemasan karton.

A2. Pembekuan
Pembekuan adalah metode yang baik untuk mengawetkan daging dan menyebabkan hanya
sedikit perubahan yang merugikan apabila dilakukan dengan seksama. Namun demikian, daging
beku sering bermutu inferior oleh karena tidak dilakukan tindakan-tindakan pengamanan pada
waktu persiapan, pembekuan, dan penyimpanan beku. Jika dilakukan dengan metode yang benar,
pembekuan dapat mengawetkan daging tanpa menyebabkan perubahan yang nyata terhadap bentuk,
ukuran, penampakan, warna, cita rasa dan nilai gizi. Sampai saat ini belum ada metode pengawetan
daging segar yang dapat menghasilkan produk akhir yang awet seperti yang dihasilkan dengan
metode pembekuan.
Beberapa persyaratan untuk memperoleh hasil daging beku yang baik adalah:
1. Daging segar harus berasal dari ternak yang sehat
2. Pengeluaran darah pada saat pemotongan harus sesempurna mungkin
3. Periode pelayuan harus dibatasi
4. Karkas atau daging dibungkus mengunakan material yang berkualitas baik
5. Temperatur pembekuan setidak-tidaknya -18ºC atau lebih rendah

Kualitas daging beku dipengaruhi oleh factor-faktor berikut:


1. Lama waktu daging di dalam penyimpanan dingin sebelum pembekuan
2. Laju pembekuan
3. Lama penyimpanan dingin
4. Kondisi penyimpanan beku (temperatur, dan kelembaban)
5. Umur ternak
6. pH daging
7. kontaminasi dengan logam berat
8. Jumlah mikroba awal

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Pembekuan merupakan metode yang sangat baik untuk pengawetan daging. Nilai nutrisi
daging secara relatif tidak mengalami perubahan selama pembekuan dan penyimpanan beku dalam
jangka waktu yang terbatas.
Laju pembekuan ada dua macam, yaitu: pembekuan lambat dan pembekuan cepat. Waktu
yang diperlukan untuk melewati temperature 0ºC sampai -5ºC , biasanya dipergunakan sebagai
petunjuk kecepatan pembekuan. Beberapa metode pembekuan daging yang dapat digunakan adalah
: udara diam, pembekuan plat, pembekuan cepat, pencelupan ke dalam cairan, atau pemercikan
cairan pembeku dan pembentukan kriogenik.
Perubahan karkas daging beku sangat minimal pada temperature -18ºC, sehingga temperature
tempat ini dipergunakan sebagai dasar penyimpana beku. Pada temperatur ini daging beku mulai
menunjukkan perubahan kualitas, terutama flavor daging setelah penyimpanan 4-6 bulan.
Pembekuan cepat pada daging tanpa pengepak (permukaan daging tanpa proteksi) dapat
mengakibatkan daging seperti terbakar,daging berwarna keputih-putihan atau coklat kekuning-
kuningan, jernih yang disebut freezer burn atau terbakar beku. Freezer burn disebabkan oleh
sublimasi yaitu terbentuknya lapisan kondensasi dari jaringan molecular di dekat permukaan
daging, sehingga mencegah akses air dari dalam dan meningkatkan desikasi permukaan.
Pada laju pembekuan yang sangat cepat. Kristal es kecil-kecil terbentuk di dalam sel,
sehingga struktur daging tidak mengalami perubahan. Pada laju pembekuan yang lambat, Kristal es
mulai terjadi di luar serabut otot, karena tekanan osmotik akstraseluler lebih kecil dari pada di
dalam otot. Pembentukan es ekstraseluler berlangsung terus, sehingga cairan ekstraseluler yang
tersisa dan belum membeku akan meningkat kekuatan fisiknya dan menarik air secara osmotik dari
bagian dalam sel otot yang sangat dingin. Air ini akan membeku pada Kristal es yang sudah
terbentuk sebelumnya dan menyebabkan Kristal es membesar. Kristal-kristal es yang membesar ini
menyebakan distorsi dan merusak serabut otot serta sarkolema. Kekuatan ionik ekstraseluler yang
tinggi, juga menyebabkan denaturasi sejumlah protein otot. Denaturasi protein menyebabkan
hilangnya daya ikat air daging , dan pada saat penyegaran kembali terjadi kegagalan serabut otot
menyerap kembali semua air yang mengalami translokasi atau keluar pada proses pembekuan.
Cairan inilah disebut drip.
Produk-produk daging yang bertulang (bone in beef) seperti oxtail, short rib, atau spare rib,
akan lebih baik jika yang disajikan di counter penjualan hanya sebagian kecil atau menurut
kebutuhan saja, bila sudah menipis baru ditambah dengan stok yang baru, sedangkan yang lain
tetap disimpan dalam penyimpanan beku. Hal ini bertujuan untuk mencegah atau menghambat
pertumbuhan mikroorganisme perusak karena ditengah bagian daging ini yaitu di tengah-tengah

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


tulang mengandung sumsum tulang yang sangat cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan
mikroorganisme perusak.
Penyegaran kembali daging beku disebut thawing, yang dapat dilakukan dengan cara : udara
dingin, air hangat, air pada temperature kamar, pemanasan atau pemasakan langsung tanpa
penyegaran kembali dan udara terbuka.

B. Rangkuman
1. Pendinginan adalah metode yang paling banyak digunakan untuk tujuan pengawetan daging
segar. Temperatur pendinginan yang rendah akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme,
reaksi-reaksi enzimatis dan kimia yang menjadi penyebab penurunan mutu serta kerusakan
daging. Pendinginan cepat sangat baik dilakukan untuk mencegah kerusakan oleh
mikroorganisme.
2. Pemendekan otot yang terjadi karena pendinginan yang terlalu cepat (lebih rendah dari 15ºC
sampai 19ºC), sementara otot masih dalam kondisi prerigor dapat dihindarkan dengan cara
pendinginan daging secara cepat sampai kira-kira 15ºC dan dipertahankan di temperature ini
hingga tercapainya kondisi rigormotis. Kemudian temperatur ini dapat diturunkan secepat
mungkin pada temperatur dingin
3. Pembekuan merupakan metode yang sangat baik untuk pengawetan daging. Nilai nutrisi daging
secara relatif tidak mengalami perubahan selama pembekuan dan penyimpanan beku dalam
jangka waktu yang terbatas.
4. Laju pembekuan ada dua macam, yaitu: pembekuan lambat dan pembekuan cepat. Waktu yang
diperlukan untuk melewati temperature 0ºC sampai -5ºC , biasanya dipergunakan sebagai
petunjuk kecepatan pembekuan. Beberapa metode pembekuan daging yang dapat digunakan
adalah : udara diam, pembekuan plat, pembekuan cepat, pencelupan ke dalam cairan, atau
pemercikan cairan pembeku dan pembentukan kriogenik.

C. Tes Formatif
1. Mengapa daging yang disimpan dalam refrigerator lebih tahan dibandingkan dengan daging
yang disimpan pada temperatur kamar.
2. Mengapa penyimpanan daging di dalam refrigerator tidak termasuk ke dalam cara
pengawetan.
3. Sebutkan keuntungan dari daging yang disimpan di dalam refrigerator
4. Sebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi penyimpanan daging dalam refrigerator

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


5. Berapa lama daya simpan daging di dalam refrigerator
6. Mengapa pembekuan daging disebut sebagai salah satu cara pengawetan daging.
7. Sebutkan beberapa kerugian dari pembekuan daging
8. Mengapa selama proses pembekuan, air yang dikandung di dalam daging tidak dapat
membeku sekaligus
9. Sebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi pembekuan daging
10. Jelaskan apa yang terjadi pada waktu daging beku dikembalikan ke kondisi semula
11. Bgaimana cara mengurangi kemungkinan resiko kerusakan karkas daging selama
penyimpanan pada suhu dingin?
12. Jelaskan mengapa kita hrus menjaga kelembaban relative ruang penyimpanan karkas?
13. Sebutkan factor-faktor yang mempengaruhi lama simpan daging pada suhu dingin
14. Sebutkan syarat-syarat untuk memperoleh daging beku yang baik
15. Sebutkan metode-metode pembekuan cepat yang dapat diterapkan pada pembekuan daging
16. Perubahan kulaitas apa yang terjadi setelah penyimpanan daging beku 4-6 bulan?
17. Apa yang dimaksud dengan freeze burn?
18. Jelaskan apa yang dimaksud dengan freeze burn
19. Jelaskan apa penyebab terbentuknya drip setelah daging di-thawing
20. Jelaskan bagaimana cara menghambat pertumbuhan organisme perusak pada daging yang
bertulang (bone in beef)

Kegiatan 5
Pengawetan Daging dengan Metode Curing

A. Lembar Informasi
A1. Definisi Curing
Curing merupakan proses pemeraman daging dengan menggunakan garam sendawa (garam
salpeter) biasanya dalam bentuk NaNO2, NaNO3, KNO2 dan KNO3; garam dapur, bumbu-bumbu,
fosfat (Sodium tripolifosfat/STPP) dan bahan-bahan lainnya. Tetapi biasanya curing dilakukan
hanya dengan garam salpeter/sendawa dan garam dapur saja, kemudian ditambahkan bahan-bahan
lainnya bila akan dibuat produk olahannya.
Curing merupakan salah satu cara mengawetkan daging secara kimiawi. Produk daging
curing ini disebut dengan cured meat. Cured meat merupakan produk intermediate daging karena
setelah dicuring, daging bisa diolah menjadi olahan lainnya, misalnya sosis, bakso dan lain-lainnya.

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Curing pada daging dimaksudkan untuk meningkatkan warna merah daging, menstabilkan
flavor, mengawetkan dan lain-lainnya. Jadi bila menghendaki produk daging (misalnya sosis)
dengan warna merah cerah daging, maka perlu dicuring dengan nitrit. Nitrat/nitrit berfungsi untuk
fiksasi warna merah daging, antimikrobial terutama Clostridium botulinum, dan menstabilkan
flavor. Garam berfungsi sebagai pembangkit flavor yang khas dan antimikrobial. Bumbu-bumbu
adalah penting untuk meningkatkan flavor sehingga meningkatkan kesukaan pada konsumen.
Selain itu bumbu juga bersifat antimikrobial dan antioksidan sehingga berperan mengawetkan.
Fosfat berfungsi untuk meningkatkan kekenyalan produk dan mengurangi pengkerutan daging
selama proses pengolahan serta menghambat oksidasi produk. Beberapa olahan tidak menggunakan
fosfat, jadi bersifat pilihan saja.
Khusus nitrat/nitrit, penggunaannya harus dibatasi karena bila berlebihan bisa berdampak
negatif bagi yang mengkonsumsinya. Kadar akhir nitrit pada suatu produk harus tidak lebih dari
200 ppm dan nitrat tidak lebih dari 500 ppm. Berdasarkan Departemen Pertanian Amerika Serikat,
penambahan garam nitriat atau nitrit tidak boleh lebih dari 239,7 g/100 liter larutan garam, 62,8
g/100 kg daging untuk curing kering dan 15,7 g/100 kg daging cacahan untuk sosis. Secara garis
besar, curing dapat dilakukan dengan cara kering dan basah. Cara kering adalah dengan
mengolesi/menaburkan campuran bahan curing secara merata ke seluruh bagian daging. Curing
kering ini bahan-bahannya adalah 26% NaCl, 5% KNO 3, 0,1% NaNO2 dan 0,5% sukrosa. Curing
secara basah adalah dengan merendam daging ke dalam larutan yang mengandung bahan-bahan
curing. Caranya adalah merendamkan daging ke dalam larutan garam dengan perbandingan 1:1.
Larutan garam yang dibuat adalah 26% NaCl, 2-4% KNO3, 0,1% NaNO2. Perendaman dilakukan
selama 10-20 hari. Selain direndam, cara basah ini bisa dilakukan dengan injeksi larutan curing.

A2. Corned beef

Salah satu olahan daging sapi yang menggunakan proses curing adalah corned beef. Corned
beef atau kornet, adalah salah satu jenis produk olahan daging sapi yang banyak digunakan dalam
resep masakan Indonesia. Kornet daging sapi diolah dengan cara diawetkan dalam air garam
(brine), yaitu air yang dicampur dengan larutan garam jenuh. Kemudian dimasak dengan cara
simmering, yaitu direbus dengan api kecil untuk menghindari hancurnya tekstur daging sapi.
Biasanya digunakan potongan daging yang mengandung serat memanjang, seperti brisket. Nama
"corned beef" berasal dari garam kasar yang digunakan. Corn artinya butiran, yaitu butiran garam

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Gambar 19. Corned Beef
Sumber : https://republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/10/20/mc71a4-daging-kornet-
aman-konsumsi-1

Tujuan pembuatan daging kornet adalah untuk memperoleh produk daging yang berwarna
merah, meningkatkan daya awet dan daya terima produk, serta menambah keragaman produk
olahan daging. Dengan diproses menjadi kornet, masalah penyimpanan daging sapi segar dapat
diatasi. Kornet kalengan dapat disimpan pada suhu kamar dengan masa simpan sekitar dua tahun.
Daging kornet dapat dihidangkan sebagai campuran perkedel, telur dadar, mie rebus, pengisi roti,
serta makanan lainnya (Nugroho, 2008).
A3. Alat-alat Pembuatan Corned beef
Peralatan yang diperlukan pada pembuatan korned adalah
(1) chopper untuk menggiling daging, sehingga dihasilkan daging cincang,
(2) mixer untuk mencampur adonan, sehingga menjadi homogen,
(3) alat pengukus untuk memasak adonan daging,
(4) exhauster untuk menyedot dan menghampakan udara di dalam kaleng,
(5) mesin penutup kaleng untuk menutup kaleng secara hermetis (kedap udara),
(6) retort untuk memanaskan kaleng dan isinya, sehingga tercipta kondisi yang steril
A4. Bahan-Bahan Pembuatan Corned Beef
Bahan dasar pembuatan kornet adalah daging sapi yang digiling. Bahan tambahan yang diperlukan
adalah garam dapur, nitrit, alkali fosfat, bahan pengisi, air, lemak, gula, dan bumbu.
a. Daging sapi
Hewan yang berbeda mempunyai komposisi daging yang berbeda pula. Komposisi daging
terdiri dari 75% air, 18% protein, 4% protein yang dapat larut (termasuk mineral) dan 3% lemak.
Daging tersebut kaya protein yang mempunyai kemampuan untuk mengikat air dan membentuk
emulsi yang baik. Ternak rata-rata menghasilkan karkas (bagian badan hewan) 55%, macam-
macam hasil sampingan 9%, kulit 6% dan bahan lainnya 30%. Daging yang baik ditentukan oleh
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
warna, bau, penampakan dan kekenyalan. Semakin daging tersebut lembab atau basah serta lembek
(tidak kenyal) menunjukkan kualitas daging yang kurang baik (Leith. 1989).
Pengawetan daging merupakan suatu cara menyimpan daging untuk jangka waktu yang
cukup lama agar kualitas maupun kebersihannya tetap terjaga. Tujuan pengawetan adalah menjaga
ketahanan terhadap serangan jamur (kapang), bakteri, virus dan kuman agar daging tidak mudah
rusak. Ada beberapa cara pengawetan yaitu: pendinginan, pelayuan, pengasapan, pengeringan,
pengalengan dan pembekuan (Leith. 1989). Pengawetan dengan cara pengeringan dilakukan dengan
penambahan garam, gula dan bahan kimia seperti nitrat (NO3) dan nitrit (NO2). Penambahan
garam, untuk pengawetan daging kira-kira sepersepuluh dari berat daging. Disamping sebagai
pengawet, garam juga berfungsi sebagai penambah rasa. Penambahan gula juga dimaksudkan
sebagai penambahan rasa pada bahan yang diolah.

b. Garam dapur (NaCl)


Garam dapur (NaCI) merupakan bahan penolong dalam proses pembentukan emulsi daging
kornet. Garam mampu memperbaiki sifat-sifat fungsional produk daging dengan cara mengekstrak
protein miofibriler dari serabut daging selama proses penggilingan dan pelunakan daging. Garam
berinteraksi dengan protein daging selama pemanasan, sehingga protein membentuk massa yang
kuat, dapat menahan air, dan membentuk tekstur yang baik. Selain itu, garam memberi cita rasa
asin pada produk, serta bersama-sama senyawa fosfat, berperan dalam meningkatkan daya menahan
air dan meningkatkan kelarutan protein serabut daging. Garam juga bersifat bakteriostatik dan
bakteriosidal, sehingga mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan mikroba pembusuk lainnya
(Nugroho. 2008).

c. Nitrit
Fungsi nitrit adalah menstabilkan warna merah daging, membentuk flavor yang khas,
menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan beracun, serta memperlambat terjadinya
ketengikan. Jumlah nitrit yang diizinkan tersisa pada produk akhir adalah 50 ppm (mg/kg).
Kemampuan nitrit dalam mempertahankan warna merah daging adalah dengan cara bereaksi
dengan pigmen mioglobin (pemberi warna merah daging) membentuk nitrosomioglobin berwarna
merah cerah yang bersifat stabil (Nugroho. 2008).

d. Alkali Fosfat

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Penambahan senyawa alkali fosfat pada daging akan meningkatkan daya ikat air dan protein daging
dan mengurangi pengerutan kornet yang dihasilkan. Alkali fosfat akan meningkatkan pH dan
menyebabkan terbukanya ikatan-ikatan antargugus protein daging yang akan memudahkan
pengikatan air. Bersama-sama dengan asam askorbat, senyawa fosfat dapat menghambat proses
ketengikan oksidatif, dan bisa memperbaiki tekstur. Fosfat dapat meningkatkan keempukan dan
juiciness daging kornet, meningkatkan daya terima warna, keseragaman dan stabilitas produk, serta
melindungi dari kemungkinan pencokelatan selama penyimpanan (Nugroho. 2008).

Gambar 20. Alkali fosfat

e. Air
Air yang ditambahkan ke dalam massa daging berfungsi untuk membantu melarutkan garam-garam
yang ada, sehingga dapat tersebar dan terserap dengan baik dalam massa produk. Selain itu, air juga
dapat memperbaiki sifat fluiditas emulsi dan meningkatkan tekstur (kekenyalan) produk akhir
(Nugroho. 2008).

f. Bahan Pengisi
Penambahan bahan pengisi dan pengikat pada produk daging adalah untuk meningkatkan
stabilitas, daya ikat air, flavor dan karakteristik irisan produk, serta untuk mengurangi pengerutan
selama pemasakan dan mengurangi biaya formulasi. Bahan pengisi yang dapat ditambahkan adalah
tepung tapioka, terigu, atau susu skim. Penambahan bahan pengisi pada produk daging harus tidak
melebihi 3,5 persen dari produk (Nugroho. 2008).

g. Lemak

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Penambahan lemak pada pembuatan daging kornet berfungsi untuk membentuk produk
yang kompak dan empuk, serta memperbaiki rasa dan aroma. Bertambahnya kadar air dan lemak di
dalam kornet akan menambah juiciness dan keempukannya (Nugroho. 2008).

h. Gula dan bumbu


Fungsi utama gula dalam pembuatan kornet adalah untuk memodifikasi rasa, menurunkan
kadar air, dan sebagai pengawet. Bumbu merupakan bahan aromatik yang diperoleh dari tumbuhan
atau diproduksi secara sintetis. Bumbu memberikan cita rasa enak yang diinginkan dalam kornet
(Nugroho. 2008).

A5. Prinsip Pembuatan Corned Beef


Daging sapi digiling dengan chopper pada suhu rendah sehingga selama penggilingan, suhu
dapat dipertahankan tetap di bawah 16°C. Hal tersebut dilakukan dengan menambahkan es batu
atau air dingin. Hasil gilingan berupa daging cincang yang masih kasar. Setelah dicincang, daging
dimasukkan ke dalam mixer untuk mencampur daging, bumbu, dan bahan lainnya menjadi adonan
yang homogen. Agar emulsi tetap terjaga stabilitasnya, pencampuran harus dilakukan pada suhu
rendah (10-16°C) (Wagiyono. 2003).
Emulsi daging yang telah terbentuk selanjutnya diisikan ke dalam kaleng yang sebelumnya
telah disterilkan dengan panas. Pengisian dilakukan dengan menyisakan sedikit ruang kosong di
dalam kaleng, disebut head space. Kaleng yang telah diisi, kemudian divakum (exhausting) dengan
cara melewatkannya melalui ban berjalan ke dalam exhauster box bersuhu 90-95°C selama 15
menit. Setelah keluar dari exhauster box, kaleng dalam keadaan panas langsung ditutup dengan
mesin penutup kaleng (Wagiyono. 2003).
Setelah ditutup, kaleng beserta isinya disterilisasi dengan cara memasukkan kaleng ke dalam
retort dan dimasak pada suhu 120°C dan tekanan 0,55 kg/cm2, selama 15 menit. Agar daging tidak
mengalami pemanasan yang berlebihan, kaleng yang telah disterilkan harus segera didinginkan di
dalam bak pendingin yang berisi air selama 20-25 menit. Setelah permukaan kaleng dibersihkan
dengan lap hingga kering, produk siap untuk diberi label dan dikemas (Wagiyono. 2003).
Diagram alir pembuatan kornet atau corned beef dapat dilihat sebagai berikut:

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Gambar 21. Bagan Alir Pembuatan Corned Beef

A6. Proses Produksi Korned


1. Pembersihan Bahan Baku (Daging Sapi)
Pembersihan dilakukan dengan menggunakan air bersih yang mengalir, guna menghilangkan
kotoran yang menempel pada bahan. Selain itu menghilangkan bagian-bagian yang tidak bisa
dimakan.
2. Chopping
Daging sapi digiling dengan chopper pada suhu rendah sehingga selama penggilingan, suhu dapat
dipertahankan tetap di bawah 16°C. Hal tersebut dilakukan dengan menambahkan es batu atau air
dingin. Hasil gilingan berupa daging cincang yang masih kasar.
3. Curing

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Setelah dicincang, daging dimasukkan ke dalam mixer untuk mencampur daging, bumbu, dan
bahan lainnya menjadi adonan yang homogen yang disebut dengan curing. Agar emulsi tetap
terjaga stabilitasnya, pencampuran harus dilakukan pada suhu rendah (10-16°C). Menurut Soeparno
(2005) curing adalah cara processing daging dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam
NaCl, Na-nitrat dan atau Na-nitrit dan gula (dekstrosa atau sukrosa), serta bumbu-bumbu. Maksud
curing antara lain untuk mendapatkan warna yang stabil, aroma, tekstur dan kelezatan yang baik,
dan untuk mengurangi pengerutan daging selama processing serta memperpanjang masa simpan
produk daging.
4. Filling
Emulsi daging yang telah terbentuk selanjutnya diisikan ke dalam kaleng yang sebelumnya
telah disterilkan dengan panas. kemudian ditimbang dengan timbangan kasar. Pengisian dilakukan
dengan metode hot filling. Hot filling adalah kombinasi proses pengawetan dengan pemanasan
(pasteurisasi) dengan metode lainnya (pengawetan sekunder) untuk memberikan tingkat keamanan
produk yang diinginkan. Produk pangan diisikan ke dalam kemasan dalam keadaan panas (hot
fiiling), umumnya pada suhu 180°F. Pemanasan yang diberikan tidak membunuh spora dan pada
proses pendinginan terbentuk kondisi vakum (anaerobik)..
Setelah dilakukan filling, kaleng disusun dalam nampan dan diletakkan ke atas conveyor
belt. Lalu dalam perjalanannya menuju ke exhauster box, kaleng-kaleng tersebut ditimbang kembali
dengan timbangan digital yang lebih akurat. Beratnya bervariasi tergantung jenis kaleng yang
digunakan. Pengisian dilakukan dengan menyisakan sedikit ruang kosong di dalam kaleng, disebut
head space. Ukuran head space bervariasi, umumnya kurang dari ¼ tinggi kaleng
5. Exhausting
Kaleng yang telah diisi, kemudian divakum (exhausting) dengan cara melewatkannya
melalui ban berjalan ke dalam exhauster box bersuhu 90-95°C selama 15 menit.
6. Seaming
Setelah keluar dari exhauster box, kaleng dalam keadaan panas langsung ditutup dengan
mesin penutup kaleng. Semakin tinggi suhu penutupan kaleng, maka semakin tinggi pula tingkat
kevakumannya (semakin rendah tekanannya). Proses penutupan kaleng juga merupakan hal yang
sangat penting karena daya awet produk dalam kaleng sangat tergantung pada kemampuan kaleng
(terutama bagian-bagian sambungan dan penutupan) untuk mengisolasikan produk di dalamnya
dengan udara luar. Penutupan yang baik akan mencegah terjadinya kebocoran yang dapat
mengakibatkan kerusakan.
7. Pencucian

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang tercecer di permukaan kaleng akibat
proses filling. Apabila kotoran tidak dibersihkan, dikhawatirkan mikroba akan dapat tumbuh dan
mengkontaminasi produk setelah dibuka, karena proses sterilisasi hanya difokuskan pada produk
yang berada dalam kaleng.
8. Sterilisasi
Setelah ditutup, kaleng beserta isinya disterilisasi dengan cara memasukkan kaleng ke dalam retort
dan dimasak pada suhu 120°C dan tekanan 0,55 kg/cm2, selama 15 menit.
9. Cooling
Agar daging tidak mengalami pemanasan yang berlebihan, kaleng yang telah disterilkan harus
segera didinginkan di dalam bak pendingin yang berisi air selama 20-25 menit. Pendinginan pasca
sterilisasi menjadi penting karena timbul perbedaan tekanan yang cukup besar yang dapat
menyebabkan rekontaminasi dari air pendingin ke dalam produk. Perlu dipastikan bahwa air
pendingin yang digunakan memenuhi persyaratan mikrobiologis. Untuk industri besar, proses
pendinginan biasanya dilakukan secara otomatis di dalam retort, yaitu sesaat setelah katup uap
dimadkan maka segera dibuka katup air dingin. Untuk ukuran kaleng yang besar, maka tekanan
udara dalam retort perlu dikendalikan sehingga tidak menyebabkan terjadinya kaleng-kaleng yang
menggelembung dan rusak.
10. Labelling
Setelah permukaan kaleng dibersihkan dengan lap hingga kering, produk siap untuk diberi label dan
dikemas.

A7. Ciri-ciri Kerusakan Kornet


Daging kornet yang ada di pasaran umumnya dikemas dengan kaleng. Kaleng mempunyai sifat
yang baik sebagai pengemas karena mampu menahan gas, uap air, jasad renik, debu, dan kotoran.
Kaleng juga memiliki kekuatan mekanik yang tinggi, tahan terhadap perubahan suhu yang ekstrem,
dan toksisitasnya relatif rendah. Umur simpan daging kornet dalam kaleng dapat mencapai 2 tahun
atau lebih, tergantung proses pengolahan, jenis kaleng, penyimpanan, dan distribusi (Astawan.
2012).
Kebusukan kornet dalam kaleng dapat disebabkan oleh proses pembuatan yang tidak benar,
kebocoran wadah karena penutupan yang kurang baik, atau penyimpanan pada suhu yang tidak
tepat dan terlalu lama. Kebusukan tersebut tidak selalu dapat dideteksi dari penampakan wadah
karena tidak selalu diikuti oleh perubahan bentuk wadah (Astawan, 2012).

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Secara umum, ciri-ciri yang dapat digunakan untuk menilai kualitas kornet dalam kaleng menurut
Astawan (2012) adalah sebagai berikut:
1. Flat Sour
Apabila produk di dalam kaleng memberikan cita rasa asam karena adanya aktivitas mikroba tanpa
memproduksi gas, kebusukan tersebut dikenal dengan sebutan flat sour (kaleng tetap datar, tidak
menggembung, tetapi produk menjadi asam). Jenis kebusukan ini disebabkan oleh aktivitas spora
bakteri tahan panas yang tidak terhancurkan selama proses sterilisasi. Hal tersebut bisa terjadi
akibat sanitasi selama pengolahan yang buruk atau karena proses pengolahan tidak tepat.
2. Penggembungan Kaleng (Swells)
Kaleng yang gembung dapat terjadi akibat terbentuknya gas di dalam wadah karena adanya
pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Adanya gas tersebut menyebabkan meningkatnya tekanan di
dalam kaleng, sehingga kaleng menjadi gembung pada bagian tutup dan dasar kaleng.Kaleng yang
gembung dapat juga disebabkan oleh penuhnya pengisian kornet, sehingga tidak cukup adanya
ruang kosong di dalam kaleng.
3. Stack Burn
Stack burn terjadi akibat pendinginan yang tidak sempurna, yaitu kaleng yang belum benar-benar
dingin sudah disimpan. Biasanya produk di dalam kaleng menjadi lunak, berwarna gelap, dan
menjadi tidak dapat dikonsumsi lagi.
4. Kaleng yang penyok
Kaleng yang penyok dapat mengakibatkan terjadinya lubang-lubang kecil yang merupakan sumber
masuknya mikroba pembusuk. Penyoknya kaleng dapat disebabkan oleh benturan-benturan
mekanis akibat perlakukan kasar, baik selama proses pembuatan, penyimpanan, pengangkutan, atau
pemasaran. Sebagai konsumen yang kritis, sebaiknya Anda tetap waspada dengan tidak memilih
setiap produk yang kalengnya dalam keadaan tidak normal.
5. Kaleng yang Bocor
Bocornya kaleng disebabkan oleh sambungan kaleng yang kurang rapat, penyolderan kurang
sempurna, atau tertusuk oleh benda tajam. Kaleng yang bocor ditandai dengan tumbuhnya mikroba
dan timbulnya bau kurang sedap. Kaleng oval umumnya lebih jarang mengalami kebocoran
daripada yang berbentuk silinder.
6. Kaleng yang Berkarat
Kaleng yang berkarat dapat mencerminkan bahwa produk tersebut telah lama diproduksi atau
disimpan pada tempat yang kurang tepat (keadaan lembab).
A8. Kriteria Mutu Korned

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3775-2006, kriteria produk kornet adalah sebagai
berikut :
Tabel 6. Kriteria Akhir Produk Kornet Menurut (SNI)

Sumber : Astawam, 2012


B. Rangkuman
1. Kornet adalah salah satu jenis produk olahan daging sapi
2. Tujuan pembuatan kornet daging sapi adalah untuk tetap dapat memperoleh produk daging
sapi yang berwarna merah, awet, dan praktis.

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


3. Peralatan yang diperlukan adalah chopper, mixer, alat pengukus, exhauster, mesin penutup
kaleng, dan retort.
4. Bahan dasar pembuatan kornet adalah daging sapi yang digiling. Bahan tambahan yang
diperlukan adalah garam dapur, nitrit, alkali fosfat, bahan pengisi, air, lemak, gula, bumbu.
5. Secara umum, dapat dikatakan bahwa daging kornet dalam kaleng mempunyai nilai gizi
yang cukup baik, khususnya protein, vitamin, dan mineral.
6. Secara umum, ciri-ciri yang dapat digunakan untuk menilai kualitas kornet dalam kaleng
adalah flat sour, penggembungan kaleng (swells), stackburn, kaleng yang penyok, kaleng
yang bocor, dan kaleng yang berkarat.
C. Test Formatif
1. Apa yang dimaksud dengan curing?
2. Mengapa cured meat disebut sebagai produk intermediate ?
3. Jelaskan bagaimana curing dapat berfungsi sebagai pengawet?
4. Jelaskan fungsi fosfat (Sodium tripolifosfat/STPP) pada produk-produk yang di-curing
5. Sebutkan secara runut cara curing basah
6. Apa yang dimaksud dengan space head pada pengalengan corned beef
7. Jelaskan proses filling pada proses pengalengan corned beef
8. Jelaskan apa yang dimaksud dengan seaming?
9. Jelaskan apa yang dimaksud dengan hot filling
10. Jelaskan mengapa cooling adalah proses penting pada produksi corned beef
11. Jelaskan apa yang dimaksud dengan flat sour
12. Jelaskan apa yang dimaksud dengan stack burn
13. Jelaskan penyebab swells pada kaleng corned beef
14. Apa fungsi penambahan lemak pada proses produksi corned beef
15. Jelaskan fungsi penambahan alkali fosfat pada proses produksi corned beef
16. Jelaskan bagaimana nitrit menyebabkan warna merah cerah pada corned beef
17. Jelaskan apa fungsi bahan pengisi pada produksi corned beef
18. Sebutkan bahan pengisi yang digunakan pada produksi corned beef
19. Jelaskan fungsi nitrit sebagai pengawet pada corned beef
20. Jelaskan bagaimana proses ekshausting pada proses produksi corned beef
D. Lembar Kerja
Judul Praktikum : Pembuatan Corned Beef
Tempat dan Tanggal : ………………………

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Tujuan Praktikum : Siswa dapat membuat corned beef sesuai standar.

A. Bahan dan Alat :


1. Bahan:
 Daging sapi 500gr
 Lemak sapi 300gr
 Terigu 30gr
 Sendawa 10gr
 Garam 10gr
 Bawang putih 50gr
 Lada bubuk 10gr
 Pala bubuk 5gr

2. Alat :
 Panci presto
 Grinder
 Kompor
 Timbangan
 Pisau
 Plastic tahan panas
 Lap tangan.
 Tempat sampah
 Jas lab lengkap tutup kepala

B. Prosedur Kerja
1. Daging dipotong ukuran 4x4, tambahkan sendawa diaduk hingga rata
2. Simpat semalam dalam refrigator
3. Daging yang telah dicuring, digiling bersama lemak sapi menggunakan grinder
4. Campurkan terigu dan bumbu diaduk hingga merata
5. Adonan daging dimasukkan kedalam kantong plastic tahan panas dan diseal dengan lilin
6. Pemanasan kornet dilakukan menggunakan panic presto selama 1 jam
7. Kemudian simpan dalam freezer

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Kegiatan Belajar 6
Produksi Bakso Sapi
A. Lembar Informasi
A.1 Emulsi Pada adonan bakso
Bakso merupakan suatu sistem emulsi yang mempunyai karakteristik hampir sama dengan
minyak dalam air (o/w), dimana lemak sebagai fase diskontinyu dan air sebagai fase kontinyu,
dengan protein yang berperan sebagai emulsifier. Selama percampuran adonan, protein terlarut
membentuk matrik yang menyelubungi lemak. Pada pemasakan akan terjadi koagulasi protein oleh
panas dan terjadi pengikatan butiran yang terperangkap dalam matrik protein.

Gambar 22. Bakso sapi


Sumber : https://cookpad.com/id/resep/6892157-bakso-sapi-garing-pure-daging-sapi
Pada umumnya suatu sistem emulsi bersifat tidak stabil dan mudah mengalami pemisahan
antara komponen-komponennya. Untuk menstabilkan emulsi, biasanya ditambahkan bahan-bahan
tertentu yang kerap dikenal dengan istilah emulsifier, stabilizer atau emulsifying agent. Beberapa
ahli mengatakan emulsifier tersebut mengandung gugus polar dan non polar. Gugus polar bersifat
hidrofilik dan mempunyai sifat larut dalam air, sedangkan gugus non polar bersifat lipotik yang
mempunyai kecendrungan larut dalam lemak atau minyak. Sifat ganda dari emulsifer tersebut yang
diduga berperan dalam menstabilkan suatu sistem emulsi.
Protein daging berperan sebagai emulsifier dalam sistem emulsi bakso. Bentuk molekul
protein dapat terikat baik pada minyak atau air, dengan demikian dapat berkerja sebagai emulsifier.
Begitu pentingnya peran protein dalam suatu sistem emulsi bakso, maka kondisi protein harus
selalu dijaga dan dicegah dari kerusakan. Dengan demikian harus diketahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kerusakan protein. Faktor utama yang perlu dikendalikan adalah: pengaruh panas.
Timbulnya panas yang tinggi melebihi 16C sebelum dan selama emulsifikasi (pembuatan adonan)
harus dihindari kerusakan protein yang berperan sebagai emulsifier.
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
Protein dapat menjalankan fungsinya sebagai emulsifier apabila dilakukan pelarutan
terlebih dahulu. Beberapa jenis protein yang berperan sebagai emulsifier dapat digolongkan menjdi
3 golongan berdasarkan kelarutannya dalam air dan larutan garam yaitu: Protein yang larut dalam
air, protein yang larut dalam garam, dan protein yang tidak larut dalam kedua-duanya yaitu jaringan
pengikat. Golongan protein yang larut dalam air adalah protein sarkoplasma. Termasuk dalam
protein sarkoplasma ini adalah mioglobin yang berperan pemberi warna pada daging. Sedangkan
yang tergolong protein yang larut dalam garam adalah aktin dan miosin.

A2. Bahan-bahan Pembuatan Bakso Sapi

1. Bahan Utama (Daging Sapi )


Daging tersusun oleh 2 bagian utama yaitu serat-serat otot yang berbentuk rambut dan
tenunan pengikat. Serat-serat otot daging diikat kuat oleh tenunan pengikat yang
menghubungkannya dengan tulang.
Daging sapi merupakan komoditas yang memiliki nilai gizi yang tinggi karena
mengandung protein yang tinggi. Komposisi daging sapi bervariasi tergantung dari jenis sapi,
jenis kelamin dan dari bagian mana daging sapi diambil. Protein dalam daging merupakan salah
satu komponen penting. Bentuk protein lain dalam daging berupa kolagen, retikulin dan elastin
pada tenunan pengikat, mioglobin pada pigmen, nukleoprotein dan enzim. Unsur protein dalam
daging memegang peranan penting dalam pembuatan bakso. Protein tersebut berfungsi sebagai
emulsifier dalam sistem emulsi bakso. Informasi detail tentang emulsi bakso akan dijelaskan
pada lembar tersendiri.
Beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman dalam pemilihan daging sapi untuk bahan
dasar bakso adalah kesegaran dan letak posisi daging. Kesegaran daging sangat mempengaruhi
produk bakso yang dihasilkan. Faktor kesegaran juga harus didukung pertimbangan-
pertimbangan berikut: penamapakan mengkilap, warna tidak pucat, tidak bebau asam dan tidak
busuk, tekstur daging elastis (tidak lembek) dan jika dipegang terasa basah dan tidak lengket.
Daging untuk pembuatan bakso harus daging segar atau daging yang belum mengalami
pelayuan terlebih dahulu, karena daging yang telah mengalami pelayuan atau aging, tekstur
daging menjadi lunak, hal ini juga akan menyebabkan tekstur bakso juga lunak, kurang
kompak, tidak kenyal/tidak elastis, mudah pecah, serta rendemen rendah. Daging yang telah
dilayukan, kemampuannya untuk mengikat air menjadi rendah, karena protein actin dan miosin
makin berkurang. Faktor kedua yang perlu juga diperhatikan adalah letak posisi daging.
Diusahakan dipilih daging yang tidak banyak mengandung lemak. Daging bagian lamusir

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


belakang (sirloin), bagian paha belakang (round), dan pinggang bagian belakang, tidak banyak
mengandung lemak.
Kadang-kadang kita sulit untuk mendapatkan daging sapi sesuai dengan yang kita
harapkan. Daging yang kita peroleh ternyata sudah melalui proses pelayuan, maka kita dapat
memberikan perlakuan khusus agar bakso yang dihasilkan tetap bermutu tinggi. Perlakuan
khusus yang dimaksud berupa penambahan poliposhpat atau dengan menambahkan garam
dapur. Apabila kita terpaksa harus melakukan penyimpanan, sebaiknya daging disimpan pada
suhu 15C atau 20C atau dibekukan pada suhu -5C. Daging yang disimpan pada suhu 15C
selama 24 jam masih bagus untuk bakso. Demikian pula untuk daging yang disimpan pada suhu
20C selama 8 jam atau disimpan pada suhu –5C selama 4 hari.

2. Bahan-bahan Pendukung
Seperti pengolahan pada umumnya, pada pembuatan bakso selain bahan dasar juga diperlukan
bahan-bahan lain. Bahan-bahan pendukung dalam pembuatan bakso berupa tepung tapioka,
kadang-kadang tepung aren atau tepung sagu, bumbu-bumbu (bawang putih, merica, bawang
merah goreng) serta es batu.

Tepung Tapioka

Tapioka adalah pati yang diperoleh dari hasil ekstrasi ketela pohon (Manihot utilisima POHL)
yang telah mengalami pencucian secara sempurna, pengeringan dan penggilingan (Sunarto,
1984 dalam Ahtini, 1997). Pati merupakan polimer glukosa dengan ikatan  glikosidik. Pati
terdiri dari 2 fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan
fraksi yang tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan -
(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan -(1,6)-D-glukosa
sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, FG, 1989). Tepung tapioka pada umumnya
mengadung amilosa  18, dan kandungan amilopektinnya sangat tinggi. Sifat khas dari pati
yang penting kita ketahui adalah gelatinisasi. Kisaran suhu gelatinisasi tepung tapioka 58,5-
70C. Pola gelatinisasi tepung tapioka mirip dengan biji-bijian yang mengadung amilopektin
sangat tinggi. Jenis pati tersebut rata-rata mengadung gel yang cukup stabil dalam
mempertahankan konsistensinya.

Tepung tapioka yang ditambahkan dalam formulasi bakso dimaksudkan sebagai bahan pengisi.
Bahan pengisi dapat diartikan sebagai material bukan daging yang ditambahkan pada “sistem
emulsi” (dalam hal ini bakso) yang dapat mengikat sejumlah air. Selain itu juga bertujuan
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
memperbaiki stabilitas emulsi, mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki irisan
produk, meningkatkan citra rasa dan mengurangi biaya produksi.

Es batu

Es batu ditambahkan kedalam formulasi bakso dimaksudkan mencegah terjadinya kenaikan


suhu daging giling selama emulsifikasi. Kita ketahui bahwa kenaikan suhu melebihi 16C akan
mengurangi aktivitas protein daging dalam peranannya sebagai emulsifier. Emulsifier yang
tidak berfungsi dengan optimal, akan menyebabkan sistem emulsi yang terbentuk tidak akan
optimal. Selain untuk tujuan tersebut, es batu dapat melarutkan protein dalam daging khususnya
jenis protein larut dalam air. Es batu akan menjadi air yang berperan dalam mengatur
konsistensi adonan yang akan berpengaruh terhadap tekstur bakso yang akan dihasilkan.

A3. Proses Pembuatan Bakso


Prinsip umum pembuatan bakso meliputi langkah-langkah berikut: persiapan bahan,
penggilingan daging, pembuatan adonan (emulsifikasi), pembetukan bola bakso (pencetakan),
perebusan dan pengemasan. Mengingat bakso merupakan suatu sistem emulsi, maka tahapan-
tahapan proses diusahakan senantiasa dikendalikan untuk mencegah kerusakan emulsi.

Langkah-langkah Pembuatan Bakso

Langkah-langkah proses pembuatan bakso adalah sebagai berikut:

1. Persiapan bahan dasar

Perlakuan yang diperlukan pada daging sapi sebelum dilakukan penggilingan adalah
penghilangan lemak yang mungkin menempel pada daging. Apabila kita dapat memperoleh
daging sapi dari bagian lamusir belakang atau paha, penghilangan lemak tidak telalu
merepotkan, karena bagian-bagian ini relatif sedikit mengadung lemak. Lemak yang banyak
terikat kedalam adonan, selain merusak emulsi juga menyebabkan produk bakso yang
dihasilkan terasa berlemak. Selanjutnya dilakukan pemotongan daging sapi tanpa lemak
menjadi potongan berukuran kecil-kecil. Perlakuan ini dimaksudkan untuk mempermudah
dan mempercepat proses penggilingan/pelumatan. Proses penggilingan yang cepat (tidak
membutuhkan waktu lama) dapat mencegah kenaikan suhu yang diakibatkan oleh proses
tersebut, karena kenaikan suhu berpengaruh negatif terhadap sistem emulsi.

2. Penggilingan/Pelumatan

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Daging yang telah berbentuk potongan-potongan kecil, kemudian dilakukan
pelumatan/penggilingan. Tujuan proses penggilingan/pelumatan daging adalah untuk
memperkecil ukuran daging menjadi partikel-partikel yang ukurannya homogeny, sehingga
bila dicampur dengan bumbu-bumbu, maka bumbu tersebut akan tercampur rata dengan
adonan. Tujuan yang kedua adalah untuk mendapatkan tekstur yang baik pada produk
akhir.

Proses penggilingan dapat dilakukan dengan menggunakan alat penggilingan khusus


yang banyak dijumpai di pasar atau menggunakan food processor yang telah banyak
diperdagangkan. Alat penggiling khusus seperti yang telah banyak dijumpai di pasar
mempunyai kelebihan yaitu dapat menggiling lebih halus dan lebih homogen. Ditempat
tersebut juga biasanya menerima jasa penggilingan daging dengan biaya relatif murah.
Untuk skala produksi industri kecil menengah, penggilingan daging dapat menggunakan
mesin/alat silent cutter.

Proses penggilingan menggunakan alat penggiling mengandung resiko akan


menimbulkan panas selama proses penggilingan. Panas tersebut dapat disebabkan oleh
adanya gesekan antara daging atau adanya gesekan daging dengan alat penggiling. Untuk
mencegah terjadinya kenaikan suhu selama proses penggilingan, ditambahkan potongan-
potongan es batu. Dengan demikian kenaikan suhu selama proses penggilingan dapat
dicegah tidak melebihi 16C.

3. Pembuatan Adonan (Emulsifikasi)

Pada tahapan ini terjadi proses emulsifikasi yaitu pencampuran antara daging sapi yang
telah dihaluskan dengan tepung tapioka/aren/sagu, dan bumbu-bumbu. Jumlah tepung yang
ditambahkan sekitar 10-40% dari berat daging. Bumbu-bumbu yang berupa merica, bawang
putih, dan bawang merah goreng ditambahkan dengan jumlah sesuai selera, sedangkan
garam biasanya ditambahkan dengan jumlah 2,5% dari berat daging.

Pada tahap ini juga dimungkinkan terjadinya kenaikan suhu sebagai akibat timbulnya
panas selama emulsifikasi. Untuk mencegah kejadian ini, perlu ditambahkan es batu. Jumlah
es batu yang ditambahkan 10-30% dari berat daging. Penambahan es batu selain untuk
menjaga kenaikan panas agar tidak melebihi 16ºC, juga berfungsi untuk menambahkan air
kedalam adonan sehingga adonan tekstur bakso yang dihasilkan menjadi baik. Es batu juga

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


berfungsi melarutkan protein daging yaitu protein larut dalam air, dengan demikian fungsi
protein sebagai emulsifier lebih optimal.

4. Pembentukan Bola Bakso dan Perebusan

Setelah proses emulsifikasi selesai yang ditandai dengan bahan-bahan berbentuk adonan,
kemudian dilakukan pencetakan menjadi bola-bola bakso yang siap untuk direbus.
Pembentukan adonan menjadi bola-bola bakso dapat mempergunakan tangan dibantu
dengan sendok atau menggunakan mesin pencetak.

Cara membentuk bola bakso dengan menggunakan tangan, yaitu dengan mengambil
segenggam adonan lalu diremas/dikepalkan atau ditekan sampai adonan keluar diantara ibu
jari dan telunjuk, sehingga membentuk bulatan dan diambil dengan sendok langsung
dimasukan ke dalam air panas (suhu 80ºC). Perebusan pada suhu 80ºC (air rebusan belum
mendidih) bertujuan agar diperoleh pemasakan bola bakso yang merata. Apabila pada awal
pemasakan, bola bakso dimasukkan kedalam air rebusan yang sudah mendidih, dapat
menyebabkan bola bakso pecah dan kematangannya tidak merata. Untuk ukuran bola
bakso diusahakan seragam, yaitu tidak terlalu kecil tetapi juga tidak terlalu besar, sehingga
kematangan bola bakso ketika direbus akan memilki tingkat kematangan yang seragam dan
tidak menyulitkan dalam pengendalian prosesnya.

Perebusan bola bakso dilakukan selama ±15 menit. Bakso yang sudah masak ditandai
dengan mengapung di permukaan air. Bakso yang sudah matang selanjutnya diangkat dan
ditiriskan. Agar bakso dapat tahan lama maka bakso harus dikemas dalam kantong plastik
dan disimpan dalam suhu beku.

A4. Kriteria Mutu Bakso

Mutu bakso dapat dinilai dengan cara yang paling sederhana yaitu pengujian secara organoleptik
(sensoris), meliputi kenampakan, warna, bau, rasa dan tekstur, serta kenampakan adanya jamur
dan lendir pada bakso. Untuk lebih jelasnya kriteria mutu bakso menurut Singgih Wibowo dapat
lihat pada Tabel 7

Tabel 7. Kriteria Mutu Bakso

Parameter Bakso Daging


Kenampakan Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan
cemerlang, tidak kusam. Sedikitpun tidak tampak

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


berjamur, dan tidak berlendir.
Warna Coklat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau coklat
muda hingga agak keputihan atau abu-abu. Warna tesebut
merata tanpa warna lain yang mengganggu.
Bau Bau khas daging segar rebus dominan, tanpa bau tengik,
masam, basi, atau bau busuk. Bau bumbu cukup tajam.
Rasa Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu
cukup menonjol tetapi tidak berlebihan. Tidak terdapat rasa
asing yang mengganggu.
Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal tetapi tidak liat atau
membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah
berair dan tidak rapuh.
Sumber: Singgih Wibowo, 1997

Syarat mutu bakso daging menurut SNI bakso daging berkaitan dengan kondisi fisik dan
nilai gizi tertera pada Tabel 8

Tabel 8. Syarat mutu bakso daging

Sumber: SNI, 2014.

Bakso yang berkualitas baik dapat dilihat dari tekstur, warna dan rasa. Teksturnya yang
halus, kompak, kenyal dan empuk. Halus yaitu permukaan irisannya rata, seragam dan serat
dagingnya tidak tampak.

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


B. Rangkuman

1. Prinsip umum pembuatan bakso meliputi langkah-langkah berikut: persiapan bahan,


penggilingan daging, pembuatan adonan (emulsifikasi), pembetukan bola bakso (pencetakan),
perebusan dan pengemasan. Mengingat bakso merupakan suatu sistem emulsi, maka tahapan-
tahapan proses diusahakan senantiasa dikendalikan untuk mencegah kerusakan emulsi.

2. Pemilihan daging sapi untuk bahan dasar bakso adalah kesegaran dan letak posisi daging.
Kesegaran daging sangat mempengaruhi produk bakso yang dihasilkan. Daging untuk
pembuatan bakso harus daging segar atau daging yang belum mengalami pelayuan terlebih
dahulu, karena daging yang telah mengalami pelayuan atau aging, tekstur daging menjadi
lunak, hal ini juga akan menyebabkan tekstur bakso juga lunak, kurang kompak, tidak
kenyal/tidak elastis, mudah pecah, serta rendemen rendah.

3. Daging yang telah dilayukan, kemampuanya untuk mengikat air menjadi rendah, karena
protein actin dan miosin makin berkurang. Faktor kedua yang perlu juga diperhatikan adalah
letak posisi daging. Diusahakan dipilih daging yang tidak banyak mengandung lemak. Daging
bagian lamusir belakang (sirloin), bagian paha belakang (round), dan pinggang bagian
belakang, tidak banyak mengandung lemak.

C. Tes Formatif

1. Jelaskan mengapa bakso disebut sebagai produk emulsifikasi?


2. Fungsi protein daging pada system emulsi bakso adalah sebagai
3. Jelaskan bagaimana emulsifier dapat membuat stabil suatu emulsi
4. a) fase kontinyu pada system emulsi bakso adalah …
b) fase diskontinyu pada system emulsi bakso adalah …..
5. Jelaskan mengapa factor utama yang dikendalikan pada pembuatan emulsi bakso adalah
pengaruh panas?
6. Jelaskan mengapa daging sapi yang dipilih sebagai bahan baku bakso tidak boleh telah
melalui proses pelayuan
7. Penangan apa yang harus kita lakukan jika ternyata daging sapi yang akan menjadi bahan
baku bakso ternyata telah melalui proses pelayuan
8. Jelaskan 2 fungsi penambahan es batu pada proses produksi pembuatan bakso
9. Jelaskan fungsi penambahan tepung tapioka pada proses produksi bakso sapi
10. Mengapa perebusan adonan bakso tidak boleh dilakukan di atas suhu 80◦C?

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


D. Lembar Kerja
Judul Praktikum : Pembuatan Bakso Sapi
Tempat dan Tanggal : ………………………
Tujuan Praktikum : Siswa melakukan praktik pembuatan bakso maka diharapkan siswa dapat
menggiling daging sapi, mengukur dosis tepung tapioka, membuat bulatan
bola bakso, mencampur dengan bumbu dan tepung, merebus bola bakso
dan mengemas bakso

A. Bahan dan Alat :


1. Bahan:
 Daging sapi segar
 Tepung tapioca
 Garam
 Bawang merah goreng
 Bawang putih
 Penyedap rasa
 Merica
 Es batu
2. Alat :
 Timbangan
 Pisau steinless
 Cobek
 Gilingan daging
 Sendok makan
 Panci rebusan
 Mangkuk
 Serok
 Wadah bakso(panci dll)
 Kompor
 Ember
 Sendok kuah
 Lap tangan.
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
 Tempat sampah
 Jas lab lengkap tutup kepala

B. Prosedur Kerja
1. Siapkan daging yang segar, pisahkan dari lemak dan uratnya, kemudian daging jangan dicuci.
Untuk ikan bersihkan dari sisik, isi perut dan insangnya, kemudian dicuci sampai bersih.
2. Siapkan bumbu untuk dihaluskan. Untuk 1 kg daging diperlukan :
 Bawang putih 30 gram
 Bawang goreng 20 gram
 Merica 2,5 gram
 Garam 20 gram
 TepungTapioka/tepung aren/sagu 10% (b/b)
4. Untuk daging dipotong kecil-kecil dan ikan difillet (dipisahkan daging dari durinya), kemudian
digiling sambil ditambahkan es batu sebanyak 15-30% dari berat daging /ikan.
5. Masukkan bumbu-bumbu dan garam sambil terus digiling bersama-sama es batu, kemudian
tambahkan tapioka.
6. Cetaklah adonan menjadi bola-bola bakso, kemudian direbus dalam air panas dengan suhu 
80C (air tidak mendidih) selama  15 menit hingga bola-bola bakso mengapung.
7. Bola bakso diangkat dan ditiriskan, setelah dingin dikemas dengan kantong plasitk.

Kegiatan Belajar 7
Salah satu produk olahan daging yang cukup terkenal adalah sosis. Sosis berasal dari
bahasa Latin Salsus yang berarti penggaraman atau pengawetan daging dengan larutan garam,
memberikan rasa, warna dan aroma yang khas pada sosis yang disebabkan adanya proses curing
dan pemasakan.

A. Lembar Informasi

A1. Definisi Sosis

Sosis (Sausage) berasal dari bahasa Latin Salsus yang berarti penggaraman atau pengawetan
daging dengan larutan garam, memberikan rasa, warna dan aroma yang khas pada sosis terutama
disebabkan adanya proses curing dan pemasakan. Sosis dapat didiskripsikan sebagai produk olahan
dari daging (sapi atau ayam) yang telah dicincang, diberi bumbu-bumbu, kemudian dimasukkan ke
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
dalam pembungkus yang berbentuk bulat panjang yang dapat berupa usus hewan atau pembungkus
buatan dengan atau tanpa dimasak, dengan atau tanpa diasap (Hadiwiyoto S., 1983).

Gambar 23. Sosis Sapi

Sumber : http://www.markaindo.co.id/id/publikasi/mengenal-lebih-dekat-sosis-sapi-yang-banyak-
disukai/

Sosis pada prinsipnya diolah dengan cara mengemulsikan lemak ke dalam protein daging,
dengan molekul protein bertindak sebagai emulsifier-nya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
efektifitas protein daging sebagai emulsifier (penstabil emulsi) meliputi pH, konsentrasi NaCl dan
garam-garam lain, serta protein yang larut dalam air serta protein yang larut dalam garam. Pada pH
mendekati titik isoelektrik dari protein yang terlarut dalam garam, kapasitas emulsifikasi proteinnya
mengalami kenaikan sejalan dengan naiknya konsentrasi NaCl.

Agar dapat diperoleh sosis dengan kualitas yang baik maka perlu dilakukan seleksi terhadap
macam daging yang digunakan sebagai bahan dasar sosis. Sebagai bahan dasar, daging yang masih
dalam fase prerigor mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan daging yang telah
berada pada fase postrigor. Hal ini disebabkan hampir 50% protein-protein daging pada fase
prerigor yang dapat larut dalam larutan garam, dapat diekstraksi keluar dari jaringan (Forrest et al,
1975).

Disamping bahan-bahan yang berupa daging dan lemak, seringkali juga ditambahkan bahan-
bahan lain yang bukan berasal dari jaringan daging. Bahan-bahan ini berperan sebagai “extender”.
Fungsi utama dari bahan ini adalah untuk memudahkan pembentukan emulsi sosis, disamping
untuk meningkatkan kemampuan mengikat molekul air (Forrest et al, 1975). “Extender” yang
biasanya digunakan berupa susu skim, tepung jagung, tepung gandum, dan sodium kaseinat.

Sosis merupakan suatu sistem emulsi, emulsi tersebut berupa emulsi minyak dalam air,
dengan air berperan sebagai fase kontinyu, lemak sebagai fase diskontinyu dan protein sebagai
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
emulsifiernya. Dalam sistem emulsi tersebut, protein membentuk matriks yang menyelubungi
globula-globula lemak. Protein dalam daging yang terutama berfungsi sebagai emulsifying agent
adalah miosin dan aktin, dan juga kombinasi keduanya yaitu aktomyosin (Price dan Schweigert,
1971).

a. Jenis-jenis Sosis
Sosis yang diproduksi cukup banyak jenisnya, diantaranya adalah:

1. Sosis segar

Daging yang digunakan untuk membuat sosis tidak mengalami curing terlebih dulu.
Contoh sosis jenis ini: Bratwurst, Bockwurst.

2. Sosis masak

Daging yang akan dibuat sosis bisa dimasak terlebih dulu atau tidak. Kemudian diberi
bumbu, dicacah, dimasukkan ke dalam selonsong kemudian dimasak. Kadang-kadang
setelah dimasak diasap, kemudian disimpan di tempat dingin. Contoh: sosis hati (Liver
sausage), Braunschweiger, Livercheese.

3. Sosis masak yang diasap

Dibuat dari daging yang dicuring. Hampir sama dengan sosis masak, tetapi diasap dulu
baru dimasak. Contoh: Frankfurters, Bologna, Cotto salami.

4. Sosis kering
A2. Bahan-Bahan Produksi Sosis

Proses pembuatan sosis memerlukan berbagai macam bahan, baik bahan dasar maupun
pendukung. Bahan dasar yang digunakan tergantung dari jenis sosis yang akan dibuat, yaitu sosis
sapi atau ayam. Bahan pendukung dikelompokkan menjadi bahan pengisi, pengikat, bumbu dan
selonsong.

1. Bahan Utama (Daging Sapi)

Bahan dasar yang digunakan untuk membuat sosis adalah daging. Menurut Sumarni
(1993), daging merupakan gumpalan lembut yang terdiri atas urat-urat pada tubuh binatang,
diantara kulit dan tulang. Daging dapat dibagi dalam dua golongan besar, yakni daging merah
dan daging putih. Daging merah adalah daging yang berasal dari ternak seperti kambing,
domba, kerbau, sapi dan babi. Daging putih adalah daging yang berasal dari unggas, yaitu
ayam, itik, kalkun, merpati dan angsa. Karakteristik daging sapi yang digunakan untuk
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
membuat sosis adalah: daging berwarna merah cerah; bau khas daging segar; bila ditekan tidak
meninggalkan bekas (elastis); tidak terdapat bagian-bagian yang berwarna hitam dan kehijauan.

Produksi Sosis Sapi

2. Bahan Pendukung
Bahan Pengisi dan Pengikat
Bahan pengisi adalah bahan makanan yang ditambahkan dalam pembuatan sosis, biasanya
bahan sumber karbohidrat. Sebagai pengisi umumnya dipakai berbagai jenis tepung, seperti
tepung maizena, tepung tapioka, tepung sagu, tepung terigu, dan tepung beras. Penambahan
bahan pengisi bertujuan untuk membentuk tekstur yang padat. Fungsi bahan pengisi adalah
sebagai pengisi yang dapat menarik air, memperbaiki tekstur, menstabilkan emulsi,
memperbaiki adonan, dan mengurangi biaya produksi.

Bahan pengikat berbeda dengan bahan pengisi. Bahan pengikat adalah bahan makanan sumber
protein atau protein dalam bentuk isolat. Sebagai bahan pengikat, bahan yang mengandung
protein atau isolat protein harus dalam kondisi proteinnya belum mengalami koagulasi. Bahan
pengisi dan pengikat yang dipilih adalah mempunyai sifat daya serap air baik, warna yang baik,
aroma dan rasa tidak mengganggu sosis, serta tidak mahal.

a) Serpihan Es atau Air Es


Air es atau serpihan es ditambahkan dalam pembentukan emulsi adonan sosis, bertujuan untuk
melarutkan protein dan membentuk larutan garam sehingga mempermudah pembentukan
emulsi serta mempertahankan suhu adonan dari pengaruh panas yang berasal dari alat mekanis.
Penambahan air es atau serpihan es antara 16-25% dari berat daging dapat menghasilkan emulsi
yang stabil.

b) Garam Dapur dan Garam Polifosfat


Garam merupakan salah satu bahan paling penting dalam pembuatan sosis dan memegang
peranan penting dalam pembentukan rasa produk. Penambahan garam dapur dan garam
polifosfat secara bersamaan dapat mempengaruhi pH, pengembangan adonan dan daya ikat air
dari daging. Peranan lain adalah mempertahankan warna, membentuk cita rasa, mengurangi
penyusutan, dan memperbaiki penyebaran lemak dalam adonan. Dalam dosis tertentu
(konsentrasi lebih dari 5%), garam dapur dapat berfungsi sebagai pengawet. Penambahan
garam dalam dosis 1,5-3% tidak bertujuan untuk mengawetkan.

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


c) Bumbu-bumbu
Bumbu-bumbu yang ditambahkan dalam pembuatan sosis terdiri atas pala, merica, bawang
putih, dan pemantap rasa. Tujuan dari penambahan bumbu ini adalah untuk menambah dan
meningkatan cita rasa yang diinginkan.

d) Zat Pewarna
Penambahan zat pewarna pada pembuatan sosis dimaksudkan untuk mendapatkan produk
dengan warna yang seragam, menambah daya tarik serta menampilkan warna asli daging sapi
dan menutupi kerusakan secara visual. Zat pewarna yang digunakan adalah zat pewarna
makanan, baik alami maupun buatan.

e) Selongsong Sosis (Casing)


Casing dipergunakan untuk membungkus produk sosis selain itu juga menentukan bentuk dan
ukuran produk sesuai keinginan. Casing juga bertindak sebagai cetakan dan wadah selama
penanganan serta memegang peranan dalam menarik perhatian konsumen.

Berdasarkan bahan pembuatnya, casing dibedakan menjadi 2 yaitu :

a. Casing alami, yaitu casing yang dibuat dari usus hewan seperti usus sapi
dan usus kambing. Kelebihan casing ini rasanya lebih enak, sedangkan kekurangannya
adalah ukurannya tidak seragam dan tidak mencukupi skala industri yang memproduksi
sosis dalam jumlah besar.

b. Casing sintetis atau buatan terdiri dari 2 macam yaitu casing yang dapat
dimakan (edible) seperti casing yang terbuat dari kolagen dan agar-agar, serta casing yang
tidak dapat dimakan (non edible) seperti casing yang terbuat dari plastik atau kain.

Gambar beberapa casing atau selongsong dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Gambar 24. Casing atau selongsong sosis

A3. Proses Pembuatan Sosis


Proses pembuatan sosis meliputi beberapa tahapan, yaitu pemilihan daging, penimbangan,
pemotongan, curring, penggilingan, pelembutan dan pengadukan, pengisian dan pengikatan,
pemasakan, pendinginan, pengemasan, dan penyimpanan.

Pemilihan Daging

Daging yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan sosis harus dipilih daging yang baik
agar dihasilkan produk sosis yang baik juga. Daging yang dipilih adalah daging yang sehat,
bersih dari kotoran, lendir, kulit, bulu serta kotoran lainnya, daging dalam keadaan tanpa
tulang, warna dan aroma khas daging segar.

Penimbangan

Bahan dasar yang telah dipilih selanjutnya ditimbang dengan tujuan untuk mengetahui
berapa banyak bahan dasar yang digunakan dan berapa banyak bahan-bahan pendukung
yang dibutuhkan.

Pemotongan

Daging yang siap diolah dipotong-potong kecil dengan tujuan untuk mempermudah proses
penggilingan dan mempercepat penyerapan bahan curring ke dalam daging sekaligus
memisahkan tulang dari daging sehingga daging hasil penggilingan lebih halus tanpa ada
serbuk keras yang berasal dari tulang.

Curing

Curing adalah proses pengolahan daging dengan tujuan mengawetkan daging dan untuk
memperolah flavor yang diinginkan serta menimbulkan warna merah pada daging. Bahan-
bahan yang digunakan dalam proses curring adalah garam dapur, sendawa dan gula.

Daging sapi yang telah dipotong menjadi bagian-bagian kecil kemudian ditambahkan
sendawa dan garam kemudian diaduk rata untuk memperoleh warna daging merah stabil,
aroma, tekstur dan kelezatan yang baik, mengurangi pengerutan daging selama proses
pengolahan serta memperpanjang daya simpan produk daging. Daging yang mengalami
proses curring selanjutnya disimpan pada suhu 2-4C selama 24 jam.

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Penggilingan

Daging yang telah mengalami proses curring selanjutnya digiling dengan mesin penggiling
(mincer) sehingga diperoleh daging giling/cincang. Proses penggilingan bertujuan untuk
memudahkan proses pelembutan.

Pelembutan dan Pengadukan

Daging cincang yang dihasilkan dari proses penggilingan selanjutnya dimasukkan ke dalam
alat pelembut (meat cutter/silent cutter) selama 5-10 menit pada suhu 10-20C. Pada proses
pelembutan dan pengadukan terdapat dua tahapan proses, yaitu pertama adalah proses
pelembutan daging hasil penggilingan, dan kedua adalah proses pengadukan yang bertujuan
untuk meratakan bumbu-bumbu, bahan pengisi dan bahan pengikat agar tercampur secara
homogen sehingga menghasilkan emulsi yang baik.

Pengisian dan Pengikatan

Adonan yang telah diaduk dan dihaluskan kemudian dimasukkan ke dalam mesin pengisi
(sausage filler/vaccuum filler). Mesin ini bekerja semi otomatis untuk mengisi adonan ke
dalam selongsong. Adapun tujuan proses ini adalah untuk mendapatkan sosis sesuai ukuran
yang dikehendaki.

Gambar 24. Pengisian adonan sosis ke dalam selongsong

Sumber : https://www.pasarwarga.com/mobile/products/ssf-sv7-mesin-pembuat-sosis-mesin-cetak-
sosis-sausage-machinesausage-fillersausage-stuffer

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Pengisian adonan ke dalam selongsong cukup padat dan tidak ada rongga udara agar
dihasilkan sosis dengan penampakan seragam, halus dan memiliki kekenyalan yang baik.
Pengisian adonan yang terlalu padat akan menyebabkan selongsong pecah pada saat
pemasakan, sedangkan bila pengisian terlalu kendor akan menghasilkan sosis dengan bentuk
yang tidak sempurna atau keriput. Selongsong yang telah diisi adonan sosis selanjutnya
diikat dengan panjang yang telah ditentukan. Pengikatan dapat dilakukan dengan cara
diplintir selonsongnya (biasanya bila menggunakan selongsong alami) atau diikat dengan
tali rami.

Pemasakan

Pemasakan sosis dilakukan dengan cara dikukus atau direbus pada suhu 85C selama 10
menit, sampai suhu di dalam sosis mencapai 78C. Tujuan dari proses pemasakan adalah
untuk membentuk tekstur dan keempukan daging, menghambat pertumbuhan mikroba,
pembentukan warna yang lebih menarik, memberi aroma khas pada produk, inaktivasi
enzim proteolitik, dan memperpanjang daya simpan.

Pendinginan

Setelah selesai proses pemasakan, sosis didinginkan, sebaiknya dengan cara digantung,
sampai benar-benar dingin. Tujuan proses pendinginan adalah untuk mencegah terjadinya
embun pada saat pengemasan dan mengawetkan selama penyimpanan.

Pengemasan

Pengemasan bertujuan melindungi sosis terhadap kerusakan yang terlalu cepat baik karena
proses kimiawi maupun kontaminasi mikrobial, serta menampilkan produk dengan cara
yang menarik.

Pengemasan dilakukan dengan cara memasukkan sosis yang telah dingin ke dalam kemasan
yang sesuai dan datur dalam mesin pengemas vakum sehingga dihasilkan produk sosis yang
dikemas dalam plastik hampa udara. Pengemasan dengan vakum akan mencegah timbulnya
mikroba aerobik atau mikroba patogen lainnya.

Penyimpanan

Sosis yang telah dikemas dapat disimpan dalam alat pendingin (chiller) atau pembeku
(freezer). Biasanya sosis yang disimpan pada alat pendingin mempunyai ketahanan simpan

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


selama 20 hari. Sedangkan sosis yang disimpan pada alat pembeku dapat bertahan selama
kurang lebih 3 bulan.

Untuk mengetahui kualitas produk sosis yang telah rusak dapat dilihat secara fisik, yaitu:

1. sosis sapi yang berwarna merah bila telah rusak warnanya akan pudar dan berubah
menjadi putih,

2. sosis yang telah rusak bau dagingnya lebih tajam,

3. sosis yang tingkat kerusakannya tinggi akan berlendir,

4. sosis yang rusak rasanya asam.

B. Rangkuman

1. Proses pembuatan sosis meliputi beberapa tahapan, yaitu pemilihan daging, penimbangan,
pemotongan, curring, penggilingan, pelembutan dan pengadukan, pengisian dan pengikatan,
pemasakan, pendinginan, pengemasan, dan penyimpanan.

2. Bahan pengisi yang ditambahkan dalam pembuatan sosis, biasanya bahan sumber karbohidrat
dari berbagai jenis tepung, seperti tepung maizena, tepung tapioka, tepung sagu, tepung terigu,
dan tepung beras.

3. Fungsi bahan pengisi adalah sebagai pengisi yang dapat menarik air, memperbaiki tekstur,
menstabilkan emulsi, memperbaiki adonan, dan mengurangi biaya produksi.

4. Bahan pengikat dalam pembuatan sosis adalah bahan makanan sumber protein atau protein
dalam bentuk isolat. Sebagai bahan pengikat, bahan yang mengandung protein atau isolat
protein harus dalam kondisi proteinnya belum mengalami koagulasi.

B. Tes Formatif

1. Jelaskan secara komprehensip kriteria baku pada pengolahan sosis!


2. Peralatan apa saja yang diperlukan dalam proses`pengolahan sosis hingga siap dipasarkan?
3. Mengapa dan jelaskan pada saat pembuatan adonan sosis diperlukan penambahan es?
4. Jelaskan prosedur pengolahan sosis!
5. Jelaskan kriteria mutu produk sosis yang baik!
6. Sebutkan jenis-jenis sosis
7. Jelaskan apa fungsi curing pada proses produksi sosis sapi
8. Jelaskan fungsi 2 tahap pengadukan pada proses produksi sosis sapi
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
9. Selain sebagai cita rasa apakah fungsi penambahan garam pada proses produksi sosis sapi?
10. Jelaskan apa perbedaan bahan pengisi dan bahan pengikat pada bahan baku produksi sosis

D.LEMBAR KERJA

Judul : Pembuatan Sosis Sapi

Tujuan : Setelah melakukan praktik pembuatan sosis sapi, maka hasil yang
diharapkan adalah sosis dengan kriteria: tekstur kenyal dan elastis,
kenampakan halus, rasa gurih dan aroma yang khas.

ALAT DAN BAHAN

Alat : Bahan :

1. Chopper/meat grinder 1. Daging ayam/sapi : 500


2. Silent cutter gram
3. Sausage filler 2. Bawang putih : 15 gram
4. Vaccum packer
3. Merica : 1,5 gram
5. Pisau
6. Talenan 4. Garam : 9 gram
7. Baskom 5. STPP : 1 gram
8. Timbangan
6. Ketumbar : 1,5
9. Mangkok
gram
10. Kukusan
11. Kompor 7. Susu skim/ ISP : 10
gram

8. Maizena/tepung aren : 50 gram

9. Minyak sayur : 107 gram

10. Kaldu bubuk : 5 gram

11. Gula putih/dekstrosa : 5 gram

12. Pewarna merah :


secukupnya

13. Es : 50-75
gram

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


14. Selonsong/ : secukupnya

15. Bahan curing : (sendawa 0,9 gram,


garam 2,4 gram, gula 0,3 gram)

LANGKAH KERJA

1. Daging disiapkan sesuai dengan kriteria yang dikehendaki.

2. Timbang semua bahan sesuai keperluan. Potong-potong daging menjadi kecil selanjutnya
lakukan proses curing dengan mencampur bahan curing sampai rata, kemudian ditaburkan
pada daging dan diaduk rata. Simpan selama kurang lebih 24 jam.

3. Potongan daging selanjutnya digiling dengan chopper/meat grinder.

4. Selanjutnya masukkan ke dalam silent cutter untuk dilakukan pelembutan dan pengadukan

5. Tambahkan es batu, bahan pendukung dan bumbu-bumbu yang sudah dalam keadaan halus.

6. Adonan yang telah halus/lembut dimasukkan ke dalam sausage filler yamg telah dilengkapi
selongsong sosis.

7. Isi selongsong dengan adonan sampai padat dan tidak ada gelembung/rongga udara,
kemudian diikat.

8. Masak dengan cara dikukus atau direbus pada suhu 85C sampai matang.

9. Dinginkan dengan cara digantung atau diangin-angin.


10. Kemas dengan menggunakan vaccum packer.

Kegiatan Belajar 8
Produksi Abon Sapi
A. Lembar Informasi
A1. Definisi Abon Sapi
Abon merupakan produk hasil olahan daging dalam bentuk kering. Abon dibuat dari daging
yang disuwir-suwir, kemudian ditambah bumbu-bumbu dan digoreng. Daging yang umum
digunakan untuk pembuatan abon adalah daging sapi atau kerbau. Meskipun demikian, semua jenis
daging termasuk daging ikan dapat digunakan untuk pembuatan abon.

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Menurut Peraturan Kepala Badan POM Nomor 21 tahun 2016 tentang Kategori Pangan,
abon daging adalah makanan kering berbentuk khas dibuat dari daging, direbus, disayat-sayat,
dibumbui, digoreng dan dapat juga dipres. Abon terbuat dari daging berbagai jenis hewan seperti
sapi, ayam, babi, dan lain-lain. Karakteristik dasar dari abon daging adalah Bau, rasa dan warna
normal dan kadar air tidak lebih dari 7%
Abon tergolong produk olahan daging yang awet. Untuk mempertahankan mutunya selama
penyimpanan, abon dikemas dalam kantong plastik dan ditutup dengan rapat. Dengan cara
demikian, abon dapat disimpan pada suhu kamar selama beberapa bulan.

A2. Bahan-bahan Produksi Abon Sapi


Bahan pembuatan abon terdiri atas bahan baku dan bahan tambahan. Bahan baku merupakan bahan
pokok untuk abon. Bahan tambahan atau bahan penolong berfungsi menambah cita rasa produk,
mengawetkan, dan memperbaiki penampakan produk (Fachruddin, 1997).
1.Bahan Utama (Daging Sapi Daging sapi )
Daging sapi adalah jaringan otot yang diperoleh dari hewan sapi . Daging merupakan
komponen karkas yang tersusun dari lemak, jaringan adipose ulang, tulang rawan, jaringan ikat dan
jaringan tendon. Daging sapi berwarna merah terang atau cerah mengkilap dan tidak pucat. Secara
fisik daging elastis, sedikit kaku dan tidak lembek. Jika dipegang masih terasa basah dan tidak
lengket ditangan dan memiliki aroma daging sapi yang sangat khas (gurih) (Soeparno,1998).
Daging sapi sebagai sumber protein hewani memiliki nilai hayati (biological value) yang tinggi,
mengandung 19% protein, 5% lemak, 70% air, 3,5% zat-zat non protein dan 2,5 % mineral dan
bahan-bahan lainnya (Ramadhani, 2010)
Bahan baku daging segar berwarna merah segar (tidak pucat), aromanya khas (tidak berbau
busuk), dan apabila ditekan terasa kenyal (tidak lunak). Daging yang baik untuk dibuat abon, selain
memiliki kondisi yang segar, juga dipilih yang tidak mengandung bahan lemak dan jaringan liat
(Fachruddin, 1997). Kriteria daging sapi yang baik untuk dibuat abon adalah tidak liat, tidak banyak
mengandung lemak, dan tidak mengandung serabut jaringan. Oleh karena itu, bagian top side,
rump, silver side, chuck, dan blade sangat cocok untuk membuat abon (Fachruddin, 1997).

2.Bahan pendukung
Santan Kelapa

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Santan merupakan emulsi lemak dalam air berwarna putih yang diperoleh dari daging
kelapa segar. Kepekatan santan yang diperoleh tergantung pada ketuaan kelapa dan jumlah air yang
ditambahkan (Fachrudin, 1997)
Penambahan santan dapat menambah cita rasa dan nilai gizi produk yang dihasilkan. Santan
memberikan rasa gurih karena kandungan lemaknya cukup tinggi. Berdasarkan hasil penelitian,
abon yang dimasak dengan santan kelapa lebih disukai konsumen daripada abon yang diolah tanpa
penambahan santan. Walaupun penggunaan santan dalam pembuatan abon bukan merupakan
keharusan, namun sebaiknya digunakan untuk menambah cita rasa abon yang dihasilkan
(Fachrudin, 1997).
Rempah-rempah
Rempah-rempah (bumbu) yang ditambahkan pada pembuatan abon bertujuan memberi
aroma dan rasa yang dapat membangkitkan selera makan. Rempah-rempah dapat berupa umbi
(tuber), akar (Rhizome), batang atau kulit batang, daun, dan buah. Jenis rempah-rempah yang
digunakan dalam pembuatan abon adalah :
a.Bawang merah (Allium ascalonicum L.)
Bawang merah adalah nama tanaman dari familia Alliaceae dan nama dari umbi yang
dihasilkan. Umbi dari tanaman bawang merah merupakan bahan utama untuk bumbu dasar
makanan Indonesia. Bawang merah mengandung zat pengatur tumbuh hormon auksin dan giberelin
(Anonim, 2010).
b.Bawang putih (Allium sativum L.)
Bawang putih merupakan salah satu rempah yang biasa digunakan sebagai pemberi rasa dan
aroma. Bawang putih terutama digunakan menambah flavour, sehingga produk akhir mempunyai
flavour yang menarik. Bahan aktif dalam bawang putih adalah minyak atsiri dan bahan yang
mengandung belerang. Selain sebagai bumbu bawang putih dilaporkan juga dapat digunakan
sebagai bahan pengawet produk (Wills, 1956).
c.Kemiri (Aleurites moluccana)
Kemiri adalah tumbuhan yang bijinya dimanfaatkan sebagai sumber minyak dan rempah-
rempah. Dalam perdagangan antar-negara dikenal sebagai canleberry, indian walnut, serta
candlenut. Pohonnya disebut varnish tree.Tanaman sekarang tersebar luas di daerah-daerah tropis.
Tinggi tanaman ini mencapai sekitar 15-25 meter. Daunnya berwarna hijau pucat. Biji yang
terdapat di dalamnya memiliki lapisan pelindung yang sangat keras dan mengandung minyak yang
cukup banyak (Anonim, 2010).
d.Ketumbar (Cariandrum sativum)

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Bentuknya berupa biji kecil-kecil mempunyai diameter 1-2 milimeter. Mirip dengan biji
lada tetapi kecil dan lebih gelap. Selain itu terasa tidak berisi dan lebih ringan dari lada. Berbagai
makanan tradisional Indonesia kerap menggunakan bumbu berupa biji berbentuk butiran beraroma
keras yang dinamakan ketumbar, dengan tambahan bumbu tersebut aroma masakan menjadi lebih
nyata (Anonim, 2010).
e.Lengkuas (Alpina galanga)
Lengkuas adalah rempah-rempah populer dalam tradisi boga dan pengobatan tradisional
Indonesia maupun Asia Tenggara lainnya. Begian yang dimanfaatkan adalah rimpangnya yang
beraroma khas. Pemanfaatan lengkuas biasanya dengan cara dimemarkan rimpang yang akan
digunakan kemudian dicelupkan begitu ke dalam campuran masakan (Anonim, 2010).
f.Salam (Syzygium polyanthum)
Daun salam digunakan terutama sebagai rempah pengharum masakan di sejumlah makanan
Asia Tenggara, baik untuk masakan daging, ikan, sayur-mayur, maupun nasi. Daun ini
dicampurkan dalam keadaan utuh, kering ataupun segar dan turut dimasak hingga makanan tersebut
matang (Anonim, 2010).

Gula dan Garam


Gula merah adalah bahan yang ditambahkan dalam pembuatan abon dengan konsentrasi
tertentu. Gula merah ditambahkan pada kisaran 50 - 60 g tiap 1 kg daging (Purnomo, 1996).
Penggunaan gula dalam pembuatan abon bertujuan menambah citarasa dan memperbaiki tekstur
produk. Pada proses pembuatan abon bila mengalami reaksi Maillard sehingga menimbulkan warna
kecoklatan yang dapat menambah daya tarik produk abon. Gula memberikan rasa manis yang dapat
menambah kelezatan produk abon yang dihasilkan. Ukuran penggunaan gula dan garam harus
memperhatikan selera konsumen (Fachrudin, 1997).
Garam dapur (NaCl) merupakan bahan tambahan yang hampir selalu digunakan dalam
membuat masakan. Rasa asin yang ditimbulkan oleh garam dapat berfungsi sebagai penegas rasa
yang lainnya. Makanan tanpa dibubuhi garam akan terasa hambar. Garam dapat berfungsi pula
sebagai pengawet karena berbagai mikrobia pembusuk khususnya bersifat proteolitik, sangat peka
terhadap kadar garam meskipun rendah (kurang dari 6%) (Fachrudin, 1997).

Minyak Goreng

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Fungsi minyak goreng dalam pembuatan abon adalah sebagai penghantar panas, menambah rasa
gurih, dan menambah nilai gizi, khususnya kalori dari bahan pangan. Minyak goreng yang
digunakan dapat pula menjadi faktor yang mempengaruhi umur simpan abon (Fachrudin, 1997).
Minyak yang digunakan dalam pembuatan abon harus berkualitas baik, belum tengik, dan
memiliki titik asap yang tinggi. Titik asap adalah suhu pemanasan minyak sampai terbentuk
akroelin yang dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Minyak baru memiliki titik asap
yang tinggi, sedangkan minyak yang telah pernah digunakan (minyak bekas) titik asapnya akan
turun. Minyak goreng yang telah tengik atau minyak goreng yang belum dimurnikan (minyak
kelentik) tidak baik untuk menggoreng abon (Fachrudin, 1997).
Penggunaan minyak yang sudah berkali-kali (minyak bekas) akan mempengaruhi aroma
abon dan kurang baik dari segi kesehatan. Menurut hasil penelitian minyak yang dipakai berkali-
kali dapat bersifat karsinogenik atau dapat memicu timbulnya kanker (Fachrudin, 1997). Minyak
biasanya mengandung enzim yang dapat menghidrolisa minyak. Semua enzim yang termasuk
golongan lipase, mampu menghidrolisa lemak netral (trigliserida) sehingga menghasilkan asam
lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas yang dapat menguap, dengan jumlah atom C4, C6,
C8, dan C10, menghasilkan bau tengik dan tidak enak dalam bahan pangan berlemak. Asam lemak
bebas juga mengakibatkan karat dan warna gelap jika dipanaskan dalam wajan besi (Ketaren,
1986).

Air
Air adalah bahan yang terpenting dalam proses pembuatan abon, air juga merupakan
komponen penting dalam bahan makanan karena air mempengaruhi penampilan tekstur, cita rasa
makanan (Winarno, 2002). Air yang dipergunakan dalam proses pengolahan makanan, baik secara
langsung (ditambahkan dalam produk olahan) maupun tidak langsung (sebagai bahan pencuci,
perendaman, perebus), harus memenuhi syarat kualitas air minum yang antara lain meliputi sebagai
berikut :
a.Tidak berasa, tidak berwarna, dan tidak berbau.
b.Bersih dan jernih.
c.Tidak mengandung logam atau bahan kimia berbahaya.
d.Derajat kesadahan nol.
e.Tidak mengandung mikroorganisme berbahaya. (Suprapti, 2003)

A3. Proses Produksi Abon Sapi

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


Prinsipnya cara membuat berbagai jenis abon sama. Prosedur umum yang dilakukan dimulai
dari penyiangan dan pencucian bahan, pengukusan atau perebusan, pencabikan atau penghancuran,
penggorengan, penirisan minyak atau pres, dan pengemasan (Fachrudin, 1997).
Perebusan pada abon bertujuan untuk membuat tekstur bahan menjadi lebih empuk dan
mudah dicabik-cabik menjadi serat-serat yang halus. Lama perebusan dan tinggi suhu tidak boleh
berlebihan tetapi cukup mencapai titik didih saja. Suhu yang terlalu tinggi akan menurunkan mutu
rupa dan kualitas tekstur bahan. Menurut Anonim (2007), daging sapi direbus selama 60 – 120
menit pada suhu 1000 C agar daging benar-benar lunak.
Pada umumnya abon sapi dikenal dengan penampakan warna coklat seperti pada Gambar
25. Reaksi pencoklatan terjadi dalam proses pengolahan beberapa produk makanan. Reaksi ini akan
menghasilkan warna coklat yang dikehendaki dalam beberapa pengolahan produk makanan seperti
dalam pembuatan abon. Tetapi apabila kecepatan dan pola reaksi ini tidak dikendalikan dan dibatasi
dapat menyebabkan penurunan mutu produk. Penurunan mutu ini disebabkan karena terjadinya
interaksi zat-zat dalam bahan makanan tersebut, sehingga akan menyebabkan perubahan flavour
dan kenampakan produk menjadi kurang disukai. Faktor yang mempengaruhi laju atau kecepatan
reaksi pencoklatan diantaranya kandungan air. Menurut Labuza (1971), laju reaksi pencoklatan
non-enzimatis akan berjalan lambat pada aktivitas air (aw) yang rendah dan akan meningkat
bersamaan dengan meningkatnya aw sampai tercapai titik maksimum, kemudian reaksi akan
berjalan lambat. Menurut deMan (1997), pengendalian reaksi pencoklatan ini dapat dilakukan
dengan pengendalian kandungan air dalam sistem, dengan penambahan bahan-bahan lain dalam
makanan.

Gambar 25. Abon Sapi


Sumber : https://www.tokopedia.com/aping/abon-sapi-kayona-100gr

Gula adalah bahan yang ditambahkan dalam pembuatan abon dengan konsentrasi tertentu.
Gula ditambahkan pada kisaran 50 - 60 g tiap 1 kg daging (Astawan dan Astawan, 1988). Gula
yang ditambahkan pada bahan pangan olahan berperan sebagai humektan, yang dapat menurunkan
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
kadar air dan memberi rasa produk olahan. Humektan adalah bahan yang mengontrol perubahan
kelembaban antara produk dengan udara baik dalam wadah ataupun pada kulit (Winarno dan
Rahayu, 1994). Gula mempunyai kandungan sukrosa yang tinggi yaitu 79,97% (Nursamsi, 1981).
Peningkatan suhu dalam pembuatan abon akan menyebabkan sukrosa pecah menjadi fruktosa dan
glukosa yang akan bereaksi dengan asam amino (protein) daging membentuk warna coklat abon.
Kandungan gula yang tinggi akan meningkatkan kandungan glukosa sehingga laju reaksi akan
meningkat. Pengendalian dan pembatasan konsentrasi gula diharapkan dapat dibatasi dan
penurunan mutu produk akibat reaksi dapat ditekan (Winarno, 2002).

A4. Kriteria Mutu Abon Sapi


Abon sebagai salah satu produk industri pangan, memiliki standar mutu yang telah
ditetapkan oleh Departemen Perindustrian. Penetapan standar mutu merupakan acuan bahwa
produk tersebut memiliki kualitas yang baik dan aman bagi kesehatan, Adapun syarat mutu abon
dapat dilihat dalam Tabel 8

Tabel 8. Syarat Mutu Abon


No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan kenampakan:
a. Bentuk - Normal
b. Bau - Normal
c. Rasa - Normal
d. Warna - Normal
2 Air %b/b Maks. 7
3 Abu (tidak termasuk garam dihitung atas dasar %b/b Maks.7
bahan kering
4 Abu yang tidak larut dalam asam %b/b Maks. 0,1
5 Lemak %b/b Maks.30
6 Protein %b/b Min. 15
7 Serat Kasar %b/b Maks. 1,04
8 Gula jumlah - Maks. 30
9 Pengawet - Sesuai dengan SNI
0222-1987
10 Cemaran logam
a. Raksa (Hg) mg/Kg Maks. 0,05
b. Timbal (Pb) mg/Kg Maks. 2,0
c. Tembaga (Cu) mg/Kg Maks. 20,0
d. Seng (Zn) mg/Kg Maks. 40,0
e. Timah (Sn) mg/Kg Maks. 40,0
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
Cemaran Arsen (As) mg/Kg Maks. 1,0
11 Cemaran mikrobia
a. Angka lempeng total Koloni/g Maks. 5 x 104
b. MPN Coliform Koloni/g Maks. 10
c. Salmonella Koloni/ 25 gr Negatif
d. Staphylococcus aureus Koloni/g 0
Sumber : Standar Nasional Indonesia, 1995
Untuk abon yang diproduksi skala industri rumah tangga pangan (IRTP) maka Abon
Daging ini dibuat dengan mengacu pada aspek Pengendalian Proses Produksi sesuai Peraturan
Kepala Badan POM Nomor HK 03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 Tentang Cara Produksi Pangan
Yang Baik Untuk Industri Rumah Tangga. Dalam Peraturan tersebut dijelaskan bahwa untuk
menghasilkan produk yang bermutu dan aman, proses produksi harus dikendalikan dengan benar.
Pengendalian proses produksi pangan industri rumah tangga pangan dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
a) Penetapan spesifikasi bahan;
b) Penetapan komposisi dan formulasi bahan;
c) Penetapan cara produksi yang baku ;
d) Penetapan jenis, ukuran, dan spesifikasi kemasan
e) Penetapan keterangan lengkap tentang produk yang akan dihasilkan termasuk nama produk, kode
produksi, tanggal kedaluwarsa.
Berikut ini diberikan Tabel Identitas atau Karakteristik Produk Abon Daging Sapi yang harus
ditampilkan pada kemasan abon sapi
Tabel 9. Tabel Identitas dan Karakteristik Produk Abon Daging sapi
No Karakteristik Produk Uraian
1 Nama Produk Abon Daging Sapi
2 Komposisi Produk Daging sapi, minyak, garam, gula merah,
bawang merah, bawang putih, ketumbar, kemiri.
3 Metode Pengawetan Pengeringan dengan metode Penggorengan
4 Pengemas Primer Plastik polipropilen 0,6 – 0,8 mm
5 Umur simpan (kedaluwarsa produk) 3 bulan pada suhu kamar
6 Saran khusus penyimpanan Simpan ditempat sejuk dan kering
7 Metode dan Kondisi Distribusi Kendaraan roda 2/4 pada suhu kamar
8 Cara penyimpanan Suhu ruang
9 Saran penggunaan Langsung digunakan sebagai lauk

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


10 Persyaratan yang ditetapkan SNI 3707:2013 tantang Abon Sapi
Sumber : Koswara, dkk. 2017

B. Rangkuman
1. Menurut Peraturan Kepala Badan POM Nomor 21 tahun 2016 tentang Kategori Pangan, abon
daging adalah makanan kering berbentuk khas dibuat dari daging, direbus, disayat-sayat,
dibumbui, digoreng dan dapat juga dipres. Abon terbuat dari daging berbagai jenis hewan
seperti sapi, ayam, babi, dan lain-lain. Karakteristik dasar dari abon daging adalah Bau, rasa
dan warna normal dan kadar air tidak lebih dari 7%
2. Bahan pembuatan abon terdiri atas bahan baku dan bahan tambahan. Bahan baku merupakan
bahan pokok untuk abon. Bahan tambahan atau bahan penolong berfungsi menambah cita rasa
produk, mengawetkan, dan memperbaiki penampakan produk
3. Prinsipnya cara membuat berbagai jenis abon sama. Prosedur umum yang dilakukan dimulai
dari penyiangan dan pencucian bahan, pengukusan atau perebusan, pencabikan atau
penghancuran, penggorengan, penirisan minyak atau pres, dan pengemasan
4. Gula adalah bahan yang ditambahkan dalam pembuatan abon dengan konsentrasi tertentu. Gula
ditambahkan pada kisaran 50 - 60 g tiap 1 kg daging. Gula yang ditambahkan pada bahan
pangan olahan berperan sebagai humektan, yang dapat menurunkan kadar air dan memberi rasa
produk olahan.
5. Peningkatan suhu dalam pembuatan abon akan menyebabkan sukrosa pecah menjadi fruktosa
dan glukosa yang akan bereaksi dengan asam amino (protein) daging membentuk warna coklat
abon

C. Tes Formatif
1. Sebutkan tahapan pembuatan abon sapi
2. Jelaskan apa fungsi perebusan daging sapi pada proses produksi abon
3. Jelaskan apa fungsi penambahan santan pada proses produksi abon
4. Jelaskan apa yang mempengaruhi warna coklat pada produk abon sapi
5. Jelaskan cara memilih daging sapi yang tepat sebagai bahan baku abon sapi
6. Bagian-bagian sapi mana saja yang sesuai sebagai bahan baku abon sapi?
7. Selain sebagai citarasa apa fungsi penambahan NaCl pada proses produksi abon sapi
8. Sebutkan syarat-syarat air yang dapat digunakan pada proses produksi sapi

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


9. Identitas apa saja yang harus ditulis pada kemasan abon sapi
10. Agar abon sapi tidak cepat tengik maka apa saja yang harus dilakukan pada proses produksi
abon?

D. Lembar Kerja
Judul Praktikum : Pembuatan abon sapi
Tempat dan Tanggal : ………………………
Tujuan Praktikum : Siswa melakukan praktik pembuatan abon sapi yang sesuai standar
industri pangan

A. Bahan dan Alat :


1. Bahan:
 Daging Sapi atau Daging Kerbau 5 kg
 Ketumbar 25 gram
 Kemiri 125 gram
 Gula Merah 350 gram
 Bawang Merah 150 gram
 Bawang Putih 50 gram
 Garam 200 gram
 Kelapa 3 kg
 Minyak goreng 0,5 kg
2. Alat :
 Timbangan
 Pisau steinless
 Cobek
 Sendok makan
 Panci rebusan
 Mangkuk
 Garpu

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


 Serok
 Kompor
 Serok
 Lap tangan.
 Tempat sampah
 Jas lab lengkap tutup kepala
B. Prosedur Kerja
1. Daging sapi atau daging kerbau dipotong menjadi tetelan daging. Lemak dan jaringan ikat
dibuang dari seluruh permukaannya, lalu potong-potong dengan ukuran 4 x 4 x 4 cm. Selanjutnya
dicuci dengan air bersih, sehingga bebas dari kotoran dan sisa darah.
2. Daging yang telah dipersiapkan diatas ditimbang seberat 5 kg.
3. Rebus potongan-potongan daging tersebut dalam air mendidih selama 30 - 60 menit.
4. Setelah didinginkan, tumbuk daging yang telah direbus dengan cobek dan alu, lalu pisahkan
seratnya-seratnya dengan menggunakan garpu.
5. Timbang bumbu-bumbu yang diperlukan sebagai berikut : 25 gr ketumbar, 125 gr kemiri, 350 gr
gula merah, 150 gr bawang merah, 50 gr bawang putih dan 200 gr garam dapur.
6. Tumbuk bumbu-bumbu yang telah ditimbang tersebut satu per satu sampai halus, campur dan
aduk sampai semuanya tercampur secara homogen, lalu tumis dengan sedikit minyak goreng dalam
wajan.
7. Timbang daging kelapa seberat 3 kg, lalu parut dan peras santannya dengan penambahan air
panas secukupnya.
8. Masukkan santan yang dihasilkan ke dalam wajan, tambahan ke dalamnya daging yang telah
disuwir-suwir (dipisahkan dalam bentuk serat-serat daging) dan bumbu-bumbu yang telah
dipersiapkan, aduk sampai merata, lalu panaskan di atas kompor sampai kering dan tiriskan di atas.
9. Panaskan sebanyak 0.5 kg minyak goreng dalam wajan di atas kompor dengan api yang sedang
besarnya, masukkan ke dalamnya daging yang telah dipersiapkan sedikit demi sedikit dan goreng
sampai kering dan berwarna coklat muda, lalu tiriskan dan dinginkan di atas. Bila perlu dapat juga
dilakukan pengeluaran minyak dengan pengepresan baik manual maupun menggunakan alat
pengepres.
10. Kemas abon yang dihasilkan dalam kantong plastik atau kemasan lainnya.

Ariani Kusumaningrum, STP, MM


DAFTAR PUSTAKA

Fachruddin, L. 1997. Membuat Aneka Abon.Kanisius. Yogyakarta


HMI MPO Peternakan. Uji Kualitas Daging. hmipeternakanugm, Yogyakarta.
Koswara, Sutrisno. 2009. Teknologi Praktis Pengolahan Daging. Ebook Pangan.com
Koswara, Sutrisno, dkk. 2017. Produksi Pangan Untuk Industri Rumah Tangga: Abon Daging Sapi.
Direktorat Surveilan Dan Penyuluhan Keamanan Pangan Deputi Bidang Pengawasan
Keamanan Pangan Dan Bahan Berbahaya Badan Pengawas Obat Dan Makanan, jakarta.
Ningrum, Andriarti. 2017. Perubahan Sifat Fisikomia Daging Post Mortem. Kanal Pengetahuan dan
Informasi Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Rachmawan, Dr. Obin Ir., MS. 2001. Penanganan Daging. Departemen Pendidikan Nasional
Proyek Pengembangan Sistem Standar Pengelolaan SMK Direktorat Pendidikan
Menengah Kejuruan Jakarta
Suprijadi, 2015, Modul Diklat PKB Guru Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian (TPHP)
Pengolahan Hasil Hewani. Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Guru Dan Tenaga Kependidikan Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan Pendidik Dan
Tenaga Kependidikan Pertanian, Jakarta.
Sutaryo. 2004. Penyimpanan dan Pengawetan Daging. Fakultas Peternakan Universitas
Diponegoro. Semarang.
Tabara, Eka Surya. 2017. Laporan Praktikum Teknologi Hasil Ternak Kornet Daging Sapi. Jurusan
Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Djuanda, Bogor.

Ariani Kusumaningrum, STP, MM

Anda mungkin juga menyukai