(SAPI)
1. Identitas
a. Nama Mata Pelajaran : Produksi Hasil Hewani XI
b. Kompetensi Dasar :
c. Materi Pokok : Pengendalian Mutu Bahan untuk Olahan Ternak Besar (Sapi)
d. Alokasi Waktu : 9 X 45 menit
e. Tujuan Pembelajaran :
Melalui pempelajaran tatap muka melalui observasi, diskusi literasi dan persentasi peserta
didik mampu mengembangkan kemampuan bernalar dalam berpikir analisis induktif dan
deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip mengendalikan mutu bahan untuk
olahan ternak besar (sapi) serta mampu mempunyai keterampilan mengembangkan
pengetahuan, dan sikap percaya diri sebagai bekal kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Selain itu peserta didik dapat menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang
dianutnya, mengembangkan sikap jujur, peduli, dan bertanggungjawab, serta dapat
mengembangankan kemampuan berpikir kritis, berkomunikasi, berkolaborasi,
berkreasi(4C)
b. Kegiatan Inti
1) Petunjuk Umum UKB
a) Baca dan pahami materi pada Buku Teks Pelajaran Sejarah peminatan
b) Setelah memahami isi materi dalam bacaan berlatihlah untuk berfikir tinggi
melalui tugas-tugas yang terdapat pada UKB ini baik bekerja sendiri maupun
bersama teman sebangku atau teman lainnya.
c) Kerjakan UKB ini dibuku kerja atau langsung mengisikan pada bagian yang telah
disediakan.
2) Kegiatan Belajar
Ayo……ikuti kegiatan belajar berikut dengan penuh kesabaran dan konsentrasi !!!
Kegiatan Belajar 1
Protein daging terdiri dari protein-protein sederhana dan protein terkonjugasi dengan radikal
nonprotein. Berdasarkan asalnya protein dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu protein
sarkoplasma, protein myofibril dan protein jaringan ikat. Protein sarkoplasma merupakan protein
larut air karena umumnya dapat terekstrak air dan larutan garam encer. Protein miofibril terdiri dari
aktin dan miosin serta sejumlah kecil troponin, tropomiosin dan aktinin. Protein tersebut dapat larut
dalam larutan garam encer (salt soluble protein). Protein jaringan ikat merupakan fraksi protein
yang tidak larut, terdiri dari protein kolagen, elastin dan retikulum. Fungsi protein dalam
pengolahan daging terlihat dalam Tabel 2
Table 2. Fungsi protein dalam teknologi daging
Protein Sifat dasar Fungsi dalam teknologi daging
Albumin+miogen dalam Larut air Dalam sosis Bruehwurst sebagai
daging Menggumpal jika pengemulsi
dipanaskan
Daya emulsi rendah
Globulin dan aktomiosin Larut dalam garam Pembentuk struktur dan
dalam otot daging Daya ikat air tinggi pengemulsi dalam sosis
Kapasitas emulsi tinggi (Bruehwurst)
1. Jaringan Otot
Jaringan otot merupakan komponen terbanyak dalam karkas yaitu sebesar 35-65 persen dari
berat karkas atau 35 - 40 persen dari berat hewan hidup. Otot ini melekat pada kerangka tetapi ada
juga yang langsung melekat pada logamen, tulang rawan, dan kulit. Jaringan otot dari hewan
mamalia dan unggas diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Jaringan otot bergaris melintang atau jaringan otot kerangka, yaitu jaringan otot yang langsung
menempel pada tulang melalui jaringan ikat tendon.
b. Jaringan otot tidak bergaris melintang atau jaringan otot licin, yaitu jaringan otot yang terdapat
pada alat-alat jeroan.
c. Jaringan otot bergaris spesial, yaitu jaringan otot bergaris melintang juga, akan tetapi berbeda
dengan jaringan otot kerangka. Jaringan otot ini terdapat khusus pada jantung.
2. Jaringan Lemak
Berdasarkan lokasinya pada daging, jaringan lemak dari karkas hewan diklasifikasikan
sebagai berikut :
a. Jaringan lemak subkutan atau jaringan lemak netral, yaitu jaringan lemak yang terdapat langsung
dibawah kulit.
3. Jaringan Ikat
Jaringan ikat berfungsi sebagai pengikat bagian-bagian daging serta mempertautkannya ke
tulang. Jaringan ikat yang penting adalah serabut kolagen, serabut elastin dan serabut retikulan.
Serabut kolagen terutama mengandung protein kolagen yang berwarna putih dan bersifat
terhidrolisa dan larut dalam air panas, banyak terdapat pada tendon (jaringan ikat yang
menghubungkan daging dan tulang). yang komponen Jaringan ikat dari karkas hewan
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Kollogen, yaitu jaringan ikat berwarna putih yang banyak terdapat pada tendon, tulang dan kulit.
Kharakteristik dari kollagen ini adalah terhidrolisa dengan perebusan.
b. Elastin, yaitu jaringan ikat berwarna kuning yang berbeda dengan kollagen, tidak terhidrolisa
dengan perebusan. Jaringan ikat ini banyak terdapat pada ligamentum, yaitu jaringan ikat yang
menghubungkan tulang dengan tulang melalui persendian dan pada jaringan ikat yang terdapat pada
dinding serabut otot (endomisium).
c. Retikulin, yaitu jaringan ikat yang mempunyai kharakteristik mirip dengan kollagen. Jaringan
ikat ini banyak terdapat pada dinding serabut otot (endomisium).
Unit struktural jaringan otot adalah jaringan sel daging, atau serabut otot (Gambar 3).
Serabut otot terdiri dari miofibril-miofibril. Miofibril tersebut dikelilingi oleh sarkoplasma
Gambar 4. Penampang melintang melalui suatu serabut otot pada perhubungan band A-ban 1
Sumber : Forrest et.al., 1975
A4. Kualitas daging
X = berat sampel
Setelah diperoleh nilai kadar air bebas dan nilai kadar air total maka dapat diketahui nilai daya ikat
air pada sample daging dengan rumus
DIA = kadar air total – kadar air bebas
Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan terjadinya variasi pada daya ikat air oleh
daging diantaranya: faktor pH, faktor perlakuan maturasi, pemasakan atau pemanasan, faktor
biologik seperti jenis otot, jenis ternak, jenis kelamin dan umur ternak. Demikian pula faktor pakan,
transportasi, suhu, kelembaban, penyimpanan dan preservasi, kesehatan, perlakuan sebelum
pemotongan dan lemak intramuskuler
4. Susut Masak
Susut masak adalah perhitungan berat yang hilang selama pemasakan atau pemanasan pada
daging. Pada umumnya, makin lama waktu pemasakan makin besar kadar cairan daging hingga
mencapai tingkat yang konstan. Susut masak merupakan indicator nilai nutrisi daging yang
berhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya air yang terikat dalam dan diantara serabut
otot. Jus daging merupakan komponen dari daging yang ikut menetukan keempukan daging
(Soeparno, 1992 ).
Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi . Susut masak daging sehubungan dengan jus
daging yaitu banyaknya air yang berikatan didalam dan diantara serabut otot. Daging dengan susut
masak lebih rendah mempunyai kualitas relative lebih baik dibandingkan dengan susut masak lebih
besar. Jus daging dapat dirasakan pada saat dikunyah dan memiliki korelasi dengan keempukan
(Sanjaya et al., 2007; Soeparno et al., 2011).
Uji Susut Masak dilakukan dengan menyiapkan sampel daging sapi yang dipotong searah
serat dan ditimbang sebanyak lebih kurang 25 gram (X)/ daging dimasukkan ke dalam plastik
polyethylene dan dikemas vakum dengan mesin vakum. Daging dimasak dengan menggunakan
dalam panci diatas kompor gas pada suhu 90ºC selama 30 menit. Daging kemudian didinginkan
Menurut Soeparno (2005), bahwa pada umumnya nilai susut masak daging sapi bervariasi
antara 1,5–54,5% dengan kisaran 15–40%. Nilai susut masak ini erat hubunganya dengan daya
mengikat air. Semakin tinggi daya mengikat air maka ketika proses pemanasan air dan cairan
nutrisi akan sedikit yang keluar atau terbuang sehingga massa daging yang berkurangpun sedikit.
kandungan susut masak yang rendah akan membuat kualitas daging menjadi baik. Hal ini dikuatkan
oleh Yanti et al. (2008), bahwa daging yang mempunyai nilai susut masak rendah di bawah 35 %
memiliki kualitas yang baik karena kemungkinan keluarnya nutrisi daging selama pemasakan juga
rendah.
5. Keempukan dan Tekstur
Ada 2 faktor penting yaitu faktor antemortem (genetik, fisiologis, umur, manajemen,
jenis kelamin dan stress) dan faktor postmortem (chilling, refrigerasi, pelayuan, pembekuan, lama
dan temperatur penyimpanan, termasuk pemasakan dan pengempukan).Komponen daging yang
mempengaruhi keempukan daging adalah jaringan ikat, serabut otot, marbling. Marbling adalah
lemak intramuskuler, terletak di jaringan ikat perimisium di antara otot.
Keempukan daging adalah kualitas daging setelah dimasak. Berdasarkan kemudahan untuk
dikunyah tanpa kehilangan sifat dan jaringan yang layak. Penilaian keempukan daging dapat
dilakukan secara obyektif dan subyektif. Penilaian secara obyektif meliputi metode pengujian
secara fisik dan kimia, sedangkan secara subyektif menggunakan metode panel test
(Soeparno, 2005).
Uji Keempukan dilakukan dengan menyiapkan sampel daging dari uji susut masak yang
kemufian dipotong searah serat dan dengan ukuran tabal 0,67 cm dan tebal 1,5 cm. Sampel
diletakkan pada alat warner–bratzler shear force. Pengujian dilakukan ditiga bagian kemudian
hasilnya dirata-rata.
Tiga faktor yang mempengaruhi proses keempukan daging ketika daging dimasak yaitu
mencairnya lemak, berubahnya kolagen menjadi gelatin dan putusnya serabut otot sehingga
menjadi lebih empuk. Kecenderungan pada daging yang memberi lebih banyak lemak
intramuskular akan memberi lebih banyak ruang pada protein-protein daging untuk mengikat
molekul-molekul air sehingga akan lebih empuk (Soeparno, 2005).
Lawrie (2003) menyatakan bahwa kandungan air dalam daging akan mempengaruhi kesan jus
daging (juiciness). Keempukan akan semakin rendah dengan meningkatnya umur ternak. Hal ini
disebabkan kadar kolagen dalam jaringan ikat yang mengalami perubahan-perubahan molekuler
dan mempengaruhi keempukan daging dengan semakin bertambahnya umur ternak. Oleh karena itu
ternak yang tua akan cenderung menghasilkan daging yang relatif alot daripada ternak yang muda.
Perbedaan ini juga kemungkinan lain karena perbedaan jumlah ikatan silang serabut-serabut
kolagen.
B. Rangkuman
1) Menurut SNI 01-3947-1995, Daging adalah urat daging (otot) yang melekat pada kerangka,
kecuali urat daging bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari hewan sehat pada saat
dipotong (Dewan Standardisasi Nasional, 1995)
2) Kandungan daging terdiri dari air 50-70% air, protein 15-20%, lemak 15-25% (kecuali
lemak babi 45%), berbagai macam vitamin dan mineral.
3) Secara umum komposisi daging terdiri dari beberapa jaringan yaitu jaringan otot, jaringan
lemak dan jaringan ikat
4) Badan Standar Nasional Indonesia telah mengeluarkan Prosedur penilaian mutu fisik daging
sapi dalam dokumen SNI 3932:2008 yang berisi penilaian mutu fisik daging dimaksudkan
untuk memprediksi palatabilitas daging dengan melihat penampilan warna daging dan
lemak, derajat marbling dan tekstur daging
5) Ternak rata-rata menghasilkan karkas (bagian badan hewan) 55%, macam-macam hasil
sampingan 9%, kulit 6% dan bahan lainnya 30%. Daging yang baik ditentukan oleh warna,
bau, penampakan dan kekenyalan.Semakin daging tersebut lembab atau basah serta lembek
(tidak kenyal) menunjukan kualitas daging yang kurang baik.
6) Komponen daging terdiri dari :
a. Jaringan otot
b. Jaringan lemak
c. Jaringan ikat
C. Latihan Soal
1) Jelaskan definisi daging berdasarkan SNI 01-3947-1995
2) Berdasarkan asalnya protein dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu...
3) Sebutkan fungsi dari protein albumin dan miogen dalam pengolahan daging
4) Sebutkan fungsi kolagen dalam pengolahan daging
5) Sebutkan fungsi protein mioglobin dalam pengolahan daging
6) Jelaskan mengapa warna daging dapat terlihat merah cerah dan dapat berubah menjadi
berwarna coklat
7) Sebutkan jenis lemak berdasarkan lokasinya pada daging
8) Jelaskan fungsi jaringan ikat
9) Jelaskan apa yang dimaksud dengan marbling
10) Jelaskan bagaimana marbling dapat menjadi salah satu penentu kualitas daging
11) Jelaskan bagaimana melakukan uji fisik kualitas daging berupa warna daging
12) Jelaskan apa yang mempengaruhi ph daging postmoterm (pasca kematian)?
13) Jabarkan bagaimana cara melakukan uji fisik kualitas daging untuk mengetahui pHnya
14) Jelaskan mengapa daya ikat air pada daging dapat menentukan kualitas daging?
15) Jabarkan bagaimana cara melakukan uji daya ikat air pada sebuah sample daging
16) Jelaskan apa perbedaan weep dengan drip
17) Jelaskan mengapa susut masak menjadi salah satu indikator nilai nutrisi daging
18) Jabarkan bagaimana cara melakukan uji susut masak pada sampel daging
19) Jabarkan bagaimana cara melakukan uji keempukan pada sampel daging
20) Jelaskan tiga faktor yang mempengaruhi proses keempukan daging ketika daging dimasak
A. Lembar Informasi
A1. Penyembelihan
1) Definisi Penyembelihan
Penyembelihan merupakan proses mematikan ternak dengan cara memotong tiga saluran pada
leher, yaitu saluran esofagus, arteri karotis dan vena jugularis. Selain itu, cara mematikan ernak bisa
dilakukan dengan cara lain, misalnya dipingsankan terlebih dahulu, kemudian disembelih,
khususnya untuk ternak-ternak yang agresif.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh ternak yang akan dipotong agar diperoleh
kualitas daging yang baik, yaitu
(1) ternak harus dalam keadaan sehat, bebas dari berbagai jenis penyakit,
(2) ternak harus cukup istirahat, tidak diperlakukan kasar, serta tak mengalami stres agar kandungan
glikogen otot maksimal
Penanganan sebelum penyembelihan yang harus dijaga adalah kondisi fisik dan emosional
ternak sebelum dan pada penyembelihan sebab berpengaruh terhadap mutu daging. Ternak yang
tenang dan banyak istirahat akan menghasilkan daging bermutu tinggi dibanding yang kehabisan
tenaga dan tertekan. Keadaan ternak yang istirahat penuh atau kehabisan tenaga akan menentukan
cadangan glikogen dalam otot. Keempukan daging dapat terjadi karena ternak menyimpan glikogen
di dalam otot sebagai sumber persediaan energi, untuk itu mengistirahatkan ternak yang akan
dipotong selama 24 jam dapat meningkatkan jumlah glikogen yang pada akhirnya akan
menyebabkan jaringan otot menjadi lunak dan empuk.
Lokasi peternakan sapi pada umumnya berjauhan dengan rumah pemotongan hewan (RPH),
sehingga dalam penyediaan daging, kita harus mendatangkan ternak sapi dari tempat yang jauh.
Selama dalam perjalanan ini sering terjadi perlakuan yang kasar pada sapi dan terjadinya
pergesekkaan bahkan tumbukkan dengan benda-benda lainnya yang mengakibatkan terjadinya luka
dan memar. Hal ini berakibat pada rusaknya kulit dan turunnya mutu karkas, disamping itu selama
perjalanan dapat mengakibatkan ternak menjadi stress yang mengakibatkan terjadinya penyusutan
berat badan. Penyusutan ini berkisar antara 2 sampai 5 %, tegantung pada lama perjalanan, cuaca,
cara penanganan ternak, dan kondisi alat pengangkutan.
Ternak yang telah mengalami perjalanan jauh, harus diistirahatkan di tempat penampungan
(holding ground) sekurang-kurangnya 24 jam. Di tempat penampungan ini, sapi diistirahatkan dan
Pemotongan tidak boleh dilakukan pada ternak betina yang hamil dan masih produktif.
Ternak yang terjangkit mulut dan kuku (Apthae epzootica) dapat dipotong, dengan pesyaratan
bagian-bagian dalam, kepala, mulut, lidah dan kaki harus direbus dahulu sebelum dipasarkan,
sedangkan ternak yang terjangkit penyakit surra, harus dipotong pada malam hari, karena penyakit
ini disebarkan oleh lalat yang mempunyai aktifitas pada siang hari, tetapi apabila ternak terjangkit
anthraxs, maka setelah pemotongan harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur yang
dalam.
Pemotongan harus dilakukan di rumah pemotongan hewan RPH, kecuali dalam keadaan
darurat, yaitu : (1) ternak yang mengalami kecelakaan atau sakit, sehingga dapat menyebabkan
kematian bila tidak segera dipotong, (2) ternak yang disembelih untuk keperluan hajat. Ternak yang
dipotong karena kecelakaan atau sakit, dagingnya tidak boleh langsung dipasarkan, tetapi harus
diperiksa oleh pejabat yang berwenang. Maksud pemeriksaan adalah : (a) melindungi konsumen
dari penyakit yang dapat ditimbulkan karena mengkonsumsi daging yang tidak sehat, (b)
melindungi konsumen dari pemalsuan daging, (c) mencegah penularan penyakit diantara ternak.
Keputusan hasil pemeriksaan akan menentukan apakah karkas dan bagian-bagian karkas dapat
dikonsumsi, diproses lebih lanjut atau tidak.
Setelah penyembelihan, darah harus segera dikeluarkan sebanyak mungkin kemudian ternak dikuliti
(babi dan ayam tidak dikuliti) dengan cara digantung pada posisi kaki belakang, kemudian saluran
pencernaan dan organ-organ dalam lainnya dikeluarkan dengan cara membelah bagian abdomen
hingga ke dada ternak. Penuntasan darah harus sempurna karena bakteri dari usus dan darah yang
tinggal dapat menyerang daging yang dihasilkan. Di samping itu, residu darah yang tertinggal
Potongan daging sesuai klasifikasi di atas dapat dilihat pada Gambar 14.
C. Tes Formatif
1. Jelaskan apa yang dimaksud karkas adalah
2. Tiga saluran pada leher yang digunakan untuk mematikan ternak yang akan disembelih
adalah….
3. Sebutkan faktor antemortem yang dapat mempengaruhi kualitas daging
4. Sebutkan faktor postmortem yang dapat mempengaruhi kualitas daging
5. Berapa persen perkiraan terjadinya penyusutan berat badan sapi akibat tranportasi
6. Sebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyusutan berat badan sapi akibat
transportasi
7. Sebutkan penampilan sapi yang disukai oleh konsumen
8. Berapa lama sebaiknya sapi harus diistirahatkan di tempat penampungan
9. Keuntungan dan kerugian apa yang terjadi akibat pemuasaan ternak sapi sebelum dilakukan
pemotongan
10. Jelaskan mengapa ternak yang akan disembelih harus relaks dan cukup istirahat?
11. Apa saja yang perlu diperhatikan dalam pemotongan sapi
12. Apa yang dimaksud dengan pemotongan ternak secara tidak langsung
13. Sebutkan tujuan pemingsanan ternak sebelum dilakukan pemotongan
14. Sebutkan 4 cara pemingsanan ternak sapi
Kegiatan Belajar 3
Penanganan Karkas
A. Lembar Informasi
A.1 Resprirasi Pra Mortem
Seperti manusia, hewan pun melakukan respirasi. Penyembelihan hewan akan menghentikan
proses respirasi. Sebelum kita membahas proses apa yang terjadi setelah pasca penyembelihan (post
morterm) perlu kita pahami apa yang terjadi pada proses dan setelah proses respirasi.
Pada proses respirasi sel menghasilkan energi . Pada intinya, respirasi sel adalah proses
pengubahan glukosa oleh oksigen menjadi energi. Jadi memang glukosa dan oksigen yang menjadi
tokoh utamanya. Secara kimiawi, reaksi umum dari proses respirasi sel adalah sebagai berikut:
Salah satu hasil dari glikolisis adalah ATP (Adenosin Trifosfat). ATP adalah molekul yang
membawa energi dalam sel. Ini adalah mata uang energi utama sel, dan itu adalah produk akhir dari
proses fotofosforilasi (menambahkan gugus fosfat ke molekul yang menggunakan energi dari
cahaya), respirasi sel, dan fermentasi. Semua makhluk hidup menggunakan ATP. Selain digunakan
sebagai sumber energi, itu juga digunakan dalam jalur transduksi sinyal untuk komunikasi sel dan
dimasukkan ke dalam asam deoksiribonukleat (DNA) selama sintesis DNAKetika sel memerlukan
energi, maka ATP dapat segera dipecah atau dikonversi melalui reaksi hidrolisis (yaitu reaksi
dengan air) dan terbentuk energi.
Energi yang terbentuk ini dapat diangkut dan digunakan oleh seluruh bagian sel
tersebut.Energi yang terkandung dalam ATP baru dapat digunakan, jika ATP terlebih dahulu
dipecah melalui reaksi hidrolisis dengan cara melepaskan 2 ikatan fosfat, yaitu antara ikatan fosfat
kedua dan ketiga kemudian dihasilkan Adenosin Difosfat (ADP). Hasil glikolisis ini adalah asam
piruvat dan ATP yang akan digunakan pada proses pembentukan energy selanjutnya yaitu siklus
krebs.
Respirasi aerob terjadi melalui glikolisis, siklus krebs dan transfer elekton. Siklus krebs
terjadi di dalam mitokondria sedangkan glikolisis terjadi pada sitoplasma.Oleh sebab itu, asam
piruvat hasil glikolisis harus masuk mitokondria terlebih dahulu agar dapat menjalani siklus krebs.
dalam keadaan tersedia oksigen, asam piruvat akan memasuki proses respirasi aerob untuk diolah
Pemahaman mengenai fase-fase daging pasca penyembelihan akan membuat para pengolah
pangan dapat menentukan cara penangan bahan daging sebagai bahan baku produksi olahan
daging
1) Fase Prarigor mortis
Setelah proses penyembelihan, maka sirkulasi darah pada hewan akan berhenti. Hal ini
akan menyebabkan fungsi darah sebagai pembawa oksigen terhenti. Dengan berhentinya proses
respirasi maka akan terjadi reaksi glikolisis yang anaerobik dan menghasilkan produksi asam
laktat, sehingga dilanjutkan dengan adanya serangkaian perubahan biokimia dan kimia seperti
perubahan pH daging, perubahan kelarutan protein, perubahan daya ikat air (water holding
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
capacity), perubahan jaringan otot. Pada fase ini daging masih relatif konstan sehingga pada
tahap ini tekstur daging lentur dan lunak.
Jika ditinjau dari kelarutan protein daging pada larutan garam, daging pada fase pre rigor
ini mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan daging pada fase post rigor. Hal ini
disebabkan daging pada fase prerigor ini hampir 50% protein-protein daging yang larut dalam
larutan garam (protein miofibril), dapat diekstraksi keluar dari jaringan. Karakteristik ini sangat
baik apabila daging pada fase ini digunakan untuk pembuatan produk-produk yang
membutuhkan sistem emulsi pada tahap proses pembuatannya seperti bakso dan sosis.
Mengingat pada sistem emulsi dibutuhkan kualitas dan jumlah protein yang baik untuk
berperan sebagai emulsifier.
2) Fase rigor mortis
Pada tahap ini, terjadi perubahan tekstur pada daging dimana jaringan otot menjadi keras,
kaku, dan tidak mudah digerakkan yang disebabkan karena berhentinya proses respirasi,
sehingga menyebabkan penurunan jumlah ATP (Adenosine Tri Phosphate) pada jaringan
daging yang berfungsi sebagai sumber energi.
Rigor mortis juga sering disebut sebagai kejang bangkai. Kondisi daging pada fase ini
perlu diketahui kaitannya dengan proses pengolahan. Daging pada fase ini jika dilakukan
pengolahan akan menghasilkan daging olahan yang keras dan alot. Kekerasan daging selama
rigor mortis disebabkan terjadinya perubahan struktur serat-serat protein. Protein dalam daging
yaitu protein aktin dan miosin mengalami ”cross-linking”.
3) Fase Post rigor mortis
Fase post rigor atau pasca rigor pada fase ini daging akan kembali lunak tapi bukan
diakibatkan oleh pemecahan ikatan aktin dan miosin melainkan peranan enzim katepsin yang
membantu pemecahan protein aktomiosin menjadi protein sederhana. daging pada fase post
rigor baik untuk diolah karena tekstur daging sudah kembali melunak, namun pengolahan
daging harus dilakukan sesegera mungkin untuk menghindari kontaminasi mikrobia semakin
banyak dan terjadinya perubahan ke arah penurunan mutu terhindari.
Pemaparan daging lebih lanjut akan menjadikan daging semakin mengalami penurunan
mutu. daging akan menjadi lembek dan menghasilkan aroma busuk. kebusukan pada daging
disebabkan oleh pemecahan protein menjadi protein sederhana yang menyisakan gugus amino
(alkali) dan sulfur yang merupakan senyawa yang menyebabkan timbulnya bau busuk pada
daging.
Secara umum jika digambarkan fase-fase daging setelah proses penyembelihan adalah
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
Gambar 17. Sifat Fisiologi Pasca Moterm
Pemahaman mengenai fase-fase daging pasca penyembelihan akan membuat para pengolah
pangan dapat menentukan cara penangan bahan daging sebagai bahan baku produksi olahan daging.
A3. Pelayuan
Karkas dari hasil pemotongan sapi umumnya mempunyai temperatur yang tinggi, yaitu
sekitar 39°C. Hal ini harus segera diturunkan untuk menghindarkan perubahan-perubahan yang
menyebabkan terjadinya kerusakan daging, oleh karena itu karkas harus segera disimpan dalam
ruang pendingin yang disebut dengan proses pelayuan.
Pelayuan disebut juga aging, conditioning atau hanging, yaitu dengan menggantungkan
karkas selama waktu tertentu di dalam ruangan dengan temperatur diatas titik beku karkas (-1,5°
C). Pelayuan biasanya dilakukan pada ruangan pendingin dengan temperatur pada kisaran 15° - 16°
C selama 24 jam, atau dapat pula dilakukan pada kisaran temperatur 0° - 3° C dengan waktu yang
lebih lama. Selama proses pelayuan terjadi proses autolisis, yaitu perombakan tenunan daging oleh
enzim yang terdapat di dalam daging, sehingga daging menjadi lebih empuk dan berkembangnya
flavor daging yang lebih baik.
Selama pelayuan terjadi proses fisiologis otot postmortem. Proses fisiologis tersebut adalah
rigor mortis, yaitu proses kekakuan otot yang terjadi setelah penyembelihan. Proses kekakuan ini
merupakan kontraksi otot yang irreversibel. Bila daging diperoleh dari karkas yang masih rigor
mortis maka daging akan terasa lebih alot/keras. Oleh karena itu proses rigor mortis harus dilalui.
Pelayuan dengan cara menggantung karkas akan mengurangi pemendekan otot akibat rigor
mortis karena secara fisik, penggantungan menyebabkan gaya berat karkas menahan proses
kontraksi otot. Selain itu dengan adanya pelayuan maka memberikan kesempatan enzim proteolitik
untuk mendegradasi protein-protein serat sehingga menjadikan daging terasa lebih empuk.
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
Fase-fase yang dialami jaringan otot hewan setelah dipotong adalah fase pre rigor mortis,
rigor mortis, dan pasca rigor mortis. Pada fase rigor mortis jaringan otot menjadi keras dan kaku.
Fase ini sangat tergantung pada kondisi penyimpanan. Penyimpanan pada suhu rendah dapat
menyebabkan fase rigor mortis berlangsung cukup lama. Sedangkan fase pasca rigor mortis adalah
fase pembentukan aroma, pada fase ini daging kembali menjadi lunak dan empuk karena daya ikat
air dalam otot kembali meningkat. Rigor mortis merupakan proses yang harus diperhatikan karena
kesalahan penanganan bisa berpengaruh pada kualitas daging. Karkas yang pre rigor atau sedang
rigor disimpan beku maka bila karkas/daging dilakukan thawing akan terjadi pengkerutan yang
hebat hingga bisa mencapai 50% karena terjadi rigor mortis kembali (thaw rigor). Hal ini
menyebabkan ukuran karkas atau daging menjadi lebih kecil dari ukuran semula. Oleh karena itu
pembekuan karkas atau daging biasanya dilakukan pada keadaan postrigor.
Berkenaan dengan sifat rigor mortis ini maka dalam pelayuan biasanya dilakukan pada
temperatur antara 15-16C. Pada temperatur ini rigor mortis masih bisa berlangsung sehingga tidak
menimbulkan pengkerutan. Pelayuan pada temperatur rendah akan menyebabkan pengkerutan
dingin (cold shortening). Temperatur di bawah 15C menyebabkan karkas yang belum rigor atau
sedang rigor menjadi tidak bisa melangsungkan rigor mortis dan bila dikembalikan ke temperatur
ruang maka rigor mortis yang tertunda tadi berlangsung kembali tetapi diikuti dengan pengkerutan
karkas/daging.
https://kanalpengetahuan.tp.ugm.ac.id
Daging DFD adalah penyimpangan kualitas daging yang banyak terjadi pada sapi dan babi. DFD
adalah fenomena di mana daging menjadi lebih gelap penampakannya dibandingkan daging
normal. Permukaan daging kering, pH lebih tinggi (6,0 – 6,2) dibanding normal (5,3 – 5,8). DFD
terjadi pada ternak yang mengalami stres dan banyak gerak/berontak dalam waktu yang cukup lama
sebelum disembelih. Akibatnya, cadangan glikogen tubuh menjadi sangat rendah, proses glikolisis
B. Rangkuman
1. Fase yang dialami daging setelah penyembelihan adalah pra rigor, rigor mortis dan post rigor.
2. Fase pre-rigor mortis adalah fase yang terjadi setelah hewan mengalami kematian. Pada fase ini
otot dalam keadaan relokasi, proses kimiawi dan pertumbuhan sangat lambat.
3. Fase rigor mortis adalah fase setelah pre-rigor mortis. Secara fisik pada fase ini terjadi
perubahan daging, yang menjadi kaku dan kehilangan fleksibilitasnya. Lama fase rigor mortis
tergantung pada jenis hewannya. Fase ini berpengaruh langsung terhadap keempukan daging.
4. Fase pasca rigor mortis adalah fase setelah rigor mortis. Pada fase ini tidak ada pembentukan
energi (ATP) yang dapat digunakan untuk kontraksi dan pensilnya akhir dan miosin, sehingga
daging menjadi empuk kembali.
5. Perubahan fisikokimia meliputi perubahan pH, perubahan struktur jaringan otot, perubahan
kelarutan protein dan perubahan daya ikat air. Perubahan pH setelah post mortem dipengaruhi
faktor intrinsik dan ekstrinsik.
6. Faktor yang mempengaruhi perubahan struktur jaringan otot adalah faktor antemortem dan post-
mortem. Perubahan kelarutan protein dipengaruhi oleh pH, tersedianya ATP dan faktor lain.
Perubahan daya ikat air dipengaruhi oleh pH dan jumlah ATP jaringan otot.
C. Tes Formatif
1. Jelaskan apa yang terjadi pada proses pelayuan
2. Mengapa karkas perlu dilayukan
3. Mengapa pelayuan mengakibatkan terjadinya penyusutan berat karkas
4. Mengapa pelayuan pada suhu yang lebih rendah mengakibatkan
5. terjadinya pemendekkan otot daging
6. Sebutkan tujuan utama dari pelayuan karkas
7. Jelaskan mengapa daging yang baru disembelih menjadi alot/atos?
8. Jelaskan mengapa pelayuan tidak boleh dilakukan menggunakan suhu rendah(< 15C) atau
suhu beku
9. Jelaskan mengapa pelayuan karkas daging dengan cara menggantung daging dapat
mengempukkan daging?
10. Jelaskan mengapa pembekuan karkas daging harus dilakukan pada saat postrigor?
11. Kondisi daging pasca penyembelihan yang paling sesuai untuk pembuatan produk yang
membuat sistem emulsi adalah ..
12. Mengapa proses pelayuan membuat serat daging menjadi empuk?
13. Jelaskan apa yang dimaksud dengan daging dengan kondisi PSE
Kegiatan Belajar 4
Pengawetan Daging
A. Lembar Informasi
Pengawetan daging merupakan suatu cara menyimpan daging untuk jangka waktu yang
cukup lama agar kualitas maupun kebersihannya tetap terjaga.
Tujuan pengawetan adalah menjaga ketahanan terhadap serangan jamur (kapang), bakteri, virus dan
kuman agar daging tidak mudah rusak. Ada beberapa cara pengawetan yaitu: pendinginan,
pelayuan, pengasapan, pengeringan, pengalengan dan pembekuan(Leith. 1989).
A1. Pendinginan
Pendinginan adalah metode yang paling banyak digunakan untuk tujuan pengawetan daging
segar. Temperatur pendinginan yang rendah akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme,
reaksi-reaksi enzimatis dan kimia yang menjadi penyebab penurunan mutu serta kerusakan daging.
Pendinginan cepat sangat baik dilakukan untuk mencegah kerusakan oleh mikroorganisme.
Penyimpanan karkas atau daging pada suhu dingin, meskipun dalam waktu yang singkat tetap
diperlikan untuk mengurangi kontaminasi atau untuk mengendalikan perkembangan
mikroorganisme. Kemungkinan kerusakan daging atau karkas selama penyimpanan pada suhu
dingin dapat diperkecil dengan cara penyimpanan karkas dalam bentuk dipotong-potong.
Temperature internal karkas sesaat setelah pemotongan yang berkisar antara 30-39ºC, selama
penyimpanan dingin temperature internal tersebut segera diturunkan sampai 5ºC atau lebih dingin
lagi.faktor yang mempengaruhi laju pendinginan antara lain : panas spesifik karkas atau kapasitas
karkas, berat ukuran karkas, jumlah lemak eksternal, temperatur udara lingkungan pendingin,
jumlah karkas dalam ruangan pendingin dan jarak antara karkas.
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
Kelembaban relatif di dalam ruangan pendingin sebaiknya dijaga tetap tinggi (88-92%) untuk
mencegah pengerutan karkas yang berlebihan yang disebabkan oleh hilangnya cairan karkas selama
pendinginan. Kehilangan berat selama pendinginan secara relatif lebih besar pada karkas
yangmempunyai lapisan lemak eksternal lebih sedikit daripada belahan karkas yang besar dan
mempunyai lemak eksternal lebih banyak.
Pemendekan otot yang terjadi karena pendinginan yang terlalu cepat (lebih rendah dari 15ºC
sampai 19ºC), sementara otot masih dalam kondisi prerigor dapat dihindarkan dengan cara
pendinginan daging secara cepat sampai kira-kira 15ºC dan dipertahankan di temperature ini
hingga tercapainya kondisi rigormotis. Kemudian temperatur ini dapat diturunkan secepat mungkin
pada temperatur dingin.
Penyimpanan daging dingin sebaiknya dibatasi dalam waktu yang relatif singkat, karena
perubahan-perubahan kerusakan yang meningkat sesuai dengan lama waktu penyimpanan. Factor
yang mempengaruhi lama simpan daging dingin, antara lain adalah jumlah mikroba awal,
temperature dan kelembaban selama penyimpanan, ada tidaknya pelindung (lemak atau kulit),
ruang pendingin dan tipe produk yang disimpan.
Pendinginan akan berhasil mengawetkan daging jika syarat-syarat berikut ini dipenuhi.
1. Pencemaran awal kurang dari 150 koloni/cm2.
2. Waktu pemotongan dan penanganan karkas tidak boleh lebih dari 45 menit.
3. Pendinginan mampu mengurangi suhu sampai -1oC dalam 24 jam untuk permukaan
daging, dan 72 jam untuk jaringan bagian dalam.
4. Kelembaban relatif ± 85% dan kecepatan 80 cm/detik, untuk mendapatkan susut bobot 2 -
4%.
5. Pendinginan karkas dilakukan dengan cara menggantung, untuk karkas sapi dapat
dilakukan dengan kuarter bagian. Karkas daging sapi dapat dilapisi dengan kain pembungkus
daging sebelum didinginkan, sedangkan karkas veal (sapi muda) dapat dilapisi sebelum atau setelah
pendinginan. Karkas domba biasanya dilapisi segera setelah penyembelihan, sedangkan karkas babi
dan unggas tidak perlu dilapisi.
Kecepatan pendinginan tergantung pada ukuran dan bobot karkas, kapasitas panas karkas,
ketebalan jaringan lemak, serta temperatur dan sirkulasi udara di dalam ruang pendinginan. Dengan
menggunakan udara dingin dengan kecepatan tinggi, waktu pendinginan dapat dipercepat 25 - 35%.
Kehilangan cairan serta pengerutan daging dapat dikurangi dengan menjaga kelembaban nisbi
88 - 92%. Pendinginan veal (sapi muda), domba dan babi secara umum sama dengan pendinginan
sapi, hanya ukuran karkasnya yang berbeda. Setelah melalui proses pendinginan, daging
A2. Pembekuan
Pembekuan adalah metode yang baik untuk mengawetkan daging dan menyebabkan hanya
sedikit perubahan yang merugikan apabila dilakukan dengan seksama. Namun demikian, daging
beku sering bermutu inferior oleh karena tidak dilakukan tindakan-tindakan pengamanan pada
waktu persiapan, pembekuan, dan penyimpanan beku. Jika dilakukan dengan metode yang benar,
pembekuan dapat mengawetkan daging tanpa menyebabkan perubahan yang nyata terhadap bentuk,
ukuran, penampakan, warna, cita rasa dan nilai gizi. Sampai saat ini belum ada metode pengawetan
daging segar yang dapat menghasilkan produk akhir yang awet seperti yang dihasilkan dengan
metode pembekuan.
Beberapa persyaratan untuk memperoleh hasil daging beku yang baik adalah:
1. Daging segar harus berasal dari ternak yang sehat
2. Pengeluaran darah pada saat pemotongan harus sesempurna mungkin
3. Periode pelayuan harus dibatasi
4. Karkas atau daging dibungkus mengunakan material yang berkualitas baik
5. Temperatur pembekuan setidak-tidaknya -18ºC atau lebih rendah
B. Rangkuman
1. Pendinginan adalah metode yang paling banyak digunakan untuk tujuan pengawetan daging
segar. Temperatur pendinginan yang rendah akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme,
reaksi-reaksi enzimatis dan kimia yang menjadi penyebab penurunan mutu serta kerusakan
daging. Pendinginan cepat sangat baik dilakukan untuk mencegah kerusakan oleh
mikroorganisme.
2. Pemendekan otot yang terjadi karena pendinginan yang terlalu cepat (lebih rendah dari 15ºC
sampai 19ºC), sementara otot masih dalam kondisi prerigor dapat dihindarkan dengan cara
pendinginan daging secara cepat sampai kira-kira 15ºC dan dipertahankan di temperature ini
hingga tercapainya kondisi rigormotis. Kemudian temperatur ini dapat diturunkan secepat
mungkin pada temperatur dingin
3. Pembekuan merupakan metode yang sangat baik untuk pengawetan daging. Nilai nutrisi daging
secara relatif tidak mengalami perubahan selama pembekuan dan penyimpanan beku dalam
jangka waktu yang terbatas.
4. Laju pembekuan ada dua macam, yaitu: pembekuan lambat dan pembekuan cepat. Waktu yang
diperlukan untuk melewati temperature 0ºC sampai -5ºC , biasanya dipergunakan sebagai
petunjuk kecepatan pembekuan. Beberapa metode pembekuan daging yang dapat digunakan
adalah : udara diam, pembekuan plat, pembekuan cepat, pencelupan ke dalam cairan, atau
pemercikan cairan pembeku dan pembentukan kriogenik.
C. Tes Formatif
1. Mengapa daging yang disimpan dalam refrigerator lebih tahan dibandingkan dengan daging
yang disimpan pada temperatur kamar.
2. Mengapa penyimpanan daging di dalam refrigerator tidak termasuk ke dalam cara
pengawetan.
3. Sebutkan keuntungan dari daging yang disimpan di dalam refrigerator
4. Sebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi penyimpanan daging dalam refrigerator
Kegiatan 5
Pengawetan Daging dengan Metode Curing
A. Lembar Informasi
A1. Definisi Curing
Curing merupakan proses pemeraman daging dengan menggunakan garam sendawa (garam
salpeter) biasanya dalam bentuk NaNO2, NaNO3, KNO2 dan KNO3; garam dapur, bumbu-bumbu,
fosfat (Sodium tripolifosfat/STPP) dan bahan-bahan lainnya. Tetapi biasanya curing dilakukan
hanya dengan garam salpeter/sendawa dan garam dapur saja, kemudian ditambahkan bahan-bahan
lainnya bila akan dibuat produk olahannya.
Curing merupakan salah satu cara mengawetkan daging secara kimiawi. Produk daging
curing ini disebut dengan cured meat. Cured meat merupakan produk intermediate daging karena
setelah dicuring, daging bisa diolah menjadi olahan lainnya, misalnya sosis, bakso dan lain-lainnya.
Salah satu olahan daging sapi yang menggunakan proses curing adalah corned beef. Corned
beef atau kornet, adalah salah satu jenis produk olahan daging sapi yang banyak digunakan dalam
resep masakan Indonesia. Kornet daging sapi diolah dengan cara diawetkan dalam air garam
(brine), yaitu air yang dicampur dengan larutan garam jenuh. Kemudian dimasak dengan cara
simmering, yaitu direbus dengan api kecil untuk menghindari hancurnya tekstur daging sapi.
Biasanya digunakan potongan daging yang mengandung serat memanjang, seperti brisket. Nama
"corned beef" berasal dari garam kasar yang digunakan. Corn artinya butiran, yaitu butiran garam
Tujuan pembuatan daging kornet adalah untuk memperoleh produk daging yang berwarna
merah, meningkatkan daya awet dan daya terima produk, serta menambah keragaman produk
olahan daging. Dengan diproses menjadi kornet, masalah penyimpanan daging sapi segar dapat
diatasi. Kornet kalengan dapat disimpan pada suhu kamar dengan masa simpan sekitar dua tahun.
Daging kornet dapat dihidangkan sebagai campuran perkedel, telur dadar, mie rebus, pengisi roti,
serta makanan lainnya (Nugroho, 2008).
A3. Alat-alat Pembuatan Corned beef
Peralatan yang diperlukan pada pembuatan korned adalah
(1) chopper untuk menggiling daging, sehingga dihasilkan daging cincang,
(2) mixer untuk mencampur adonan, sehingga menjadi homogen,
(3) alat pengukus untuk memasak adonan daging,
(4) exhauster untuk menyedot dan menghampakan udara di dalam kaleng,
(5) mesin penutup kaleng untuk menutup kaleng secara hermetis (kedap udara),
(6) retort untuk memanaskan kaleng dan isinya, sehingga tercipta kondisi yang steril
A4. Bahan-Bahan Pembuatan Corned Beef
Bahan dasar pembuatan kornet adalah daging sapi yang digiling. Bahan tambahan yang diperlukan
adalah garam dapur, nitrit, alkali fosfat, bahan pengisi, air, lemak, gula, dan bumbu.
a. Daging sapi
Hewan yang berbeda mempunyai komposisi daging yang berbeda pula. Komposisi daging
terdiri dari 75% air, 18% protein, 4% protein yang dapat larut (termasuk mineral) dan 3% lemak.
Daging tersebut kaya protein yang mempunyai kemampuan untuk mengikat air dan membentuk
emulsi yang baik. Ternak rata-rata menghasilkan karkas (bagian badan hewan) 55%, macam-
macam hasil sampingan 9%, kulit 6% dan bahan lainnya 30%. Daging yang baik ditentukan oleh
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
warna, bau, penampakan dan kekenyalan. Semakin daging tersebut lembab atau basah serta lembek
(tidak kenyal) menunjukkan kualitas daging yang kurang baik (Leith. 1989).
Pengawetan daging merupakan suatu cara menyimpan daging untuk jangka waktu yang
cukup lama agar kualitas maupun kebersihannya tetap terjaga. Tujuan pengawetan adalah menjaga
ketahanan terhadap serangan jamur (kapang), bakteri, virus dan kuman agar daging tidak mudah
rusak. Ada beberapa cara pengawetan yaitu: pendinginan, pelayuan, pengasapan, pengeringan,
pengalengan dan pembekuan (Leith. 1989). Pengawetan dengan cara pengeringan dilakukan dengan
penambahan garam, gula dan bahan kimia seperti nitrat (NO3) dan nitrit (NO2). Penambahan
garam, untuk pengawetan daging kira-kira sepersepuluh dari berat daging. Disamping sebagai
pengawet, garam juga berfungsi sebagai penambah rasa. Penambahan gula juga dimaksudkan
sebagai penambahan rasa pada bahan yang diolah.
c. Nitrit
Fungsi nitrit adalah menstabilkan warna merah daging, membentuk flavor yang khas,
menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan beracun, serta memperlambat terjadinya
ketengikan. Jumlah nitrit yang diizinkan tersisa pada produk akhir adalah 50 ppm (mg/kg).
Kemampuan nitrit dalam mempertahankan warna merah daging adalah dengan cara bereaksi
dengan pigmen mioglobin (pemberi warna merah daging) membentuk nitrosomioglobin berwarna
merah cerah yang bersifat stabil (Nugroho. 2008).
d. Alkali Fosfat
e. Air
Air yang ditambahkan ke dalam massa daging berfungsi untuk membantu melarutkan garam-garam
yang ada, sehingga dapat tersebar dan terserap dengan baik dalam massa produk. Selain itu, air juga
dapat memperbaiki sifat fluiditas emulsi dan meningkatkan tekstur (kekenyalan) produk akhir
(Nugroho. 2008).
f. Bahan Pengisi
Penambahan bahan pengisi dan pengikat pada produk daging adalah untuk meningkatkan
stabilitas, daya ikat air, flavor dan karakteristik irisan produk, serta untuk mengurangi pengerutan
selama pemasakan dan mengurangi biaya formulasi. Bahan pengisi yang dapat ditambahkan adalah
tepung tapioka, terigu, atau susu skim. Penambahan bahan pengisi pada produk daging harus tidak
melebihi 3,5 persen dari produk (Nugroho. 2008).
g. Lemak
2. Alat :
Panci presto
Grinder
Kompor
Timbangan
Pisau
Plastic tahan panas
Lap tangan.
Tempat sampah
Jas lab lengkap tutup kepala
B. Prosedur Kerja
1. Daging dipotong ukuran 4x4, tambahkan sendawa diaduk hingga rata
2. Simpat semalam dalam refrigator
3. Daging yang telah dicuring, digiling bersama lemak sapi menggunakan grinder
4. Campurkan terigu dan bumbu diaduk hingga merata
5. Adonan daging dimasukkan kedalam kantong plastic tahan panas dan diseal dengan lilin
6. Pemanasan kornet dilakukan menggunakan panic presto selama 1 jam
7. Kemudian simpan dalam freezer
2. Bahan-bahan Pendukung
Seperti pengolahan pada umumnya, pada pembuatan bakso selain bahan dasar juga diperlukan
bahan-bahan lain. Bahan-bahan pendukung dalam pembuatan bakso berupa tepung tapioka,
kadang-kadang tepung aren atau tepung sagu, bumbu-bumbu (bawang putih, merica, bawang
merah goreng) serta es batu.
Tepung Tapioka
Tapioka adalah pati yang diperoleh dari hasil ekstrasi ketela pohon (Manihot utilisima POHL)
yang telah mengalami pencucian secara sempurna, pengeringan dan penggilingan (Sunarto,
1984 dalam Ahtini, 1997). Pati merupakan polimer glukosa dengan ikatan glikosidik. Pati
terdiri dari 2 fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan
fraksi yang tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan -
(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan -(1,6)-D-glukosa
sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, FG, 1989). Tepung tapioka pada umumnya
mengadung amilosa 18, dan kandungan amilopektinnya sangat tinggi. Sifat khas dari pati
yang penting kita ketahui adalah gelatinisasi. Kisaran suhu gelatinisasi tepung tapioka 58,5-
70C. Pola gelatinisasi tepung tapioka mirip dengan biji-bijian yang mengadung amilopektin
sangat tinggi. Jenis pati tersebut rata-rata mengadung gel yang cukup stabil dalam
mempertahankan konsistensinya.
Tepung tapioka yang ditambahkan dalam formulasi bakso dimaksudkan sebagai bahan pengisi.
Bahan pengisi dapat diartikan sebagai material bukan daging yang ditambahkan pada “sistem
emulsi” (dalam hal ini bakso) yang dapat mengikat sejumlah air. Selain itu juga bertujuan
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
memperbaiki stabilitas emulsi, mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki irisan
produk, meningkatkan citra rasa dan mengurangi biaya produksi.
Es batu
Perlakuan yang diperlukan pada daging sapi sebelum dilakukan penggilingan adalah
penghilangan lemak yang mungkin menempel pada daging. Apabila kita dapat memperoleh
daging sapi dari bagian lamusir belakang atau paha, penghilangan lemak tidak telalu
merepotkan, karena bagian-bagian ini relatif sedikit mengadung lemak. Lemak yang banyak
terikat kedalam adonan, selain merusak emulsi juga menyebabkan produk bakso yang
dihasilkan terasa berlemak. Selanjutnya dilakukan pemotongan daging sapi tanpa lemak
menjadi potongan berukuran kecil-kecil. Perlakuan ini dimaksudkan untuk mempermudah
dan mempercepat proses penggilingan/pelumatan. Proses penggilingan yang cepat (tidak
membutuhkan waktu lama) dapat mencegah kenaikan suhu yang diakibatkan oleh proses
tersebut, karena kenaikan suhu berpengaruh negatif terhadap sistem emulsi.
2. Penggilingan/Pelumatan
Pada tahapan ini terjadi proses emulsifikasi yaitu pencampuran antara daging sapi yang
telah dihaluskan dengan tepung tapioka/aren/sagu, dan bumbu-bumbu. Jumlah tepung yang
ditambahkan sekitar 10-40% dari berat daging. Bumbu-bumbu yang berupa merica, bawang
putih, dan bawang merah goreng ditambahkan dengan jumlah sesuai selera, sedangkan
garam biasanya ditambahkan dengan jumlah 2,5% dari berat daging.
Pada tahap ini juga dimungkinkan terjadinya kenaikan suhu sebagai akibat timbulnya
panas selama emulsifikasi. Untuk mencegah kejadian ini, perlu ditambahkan es batu. Jumlah
es batu yang ditambahkan 10-30% dari berat daging. Penambahan es batu selain untuk
menjaga kenaikan panas agar tidak melebihi 16ºC, juga berfungsi untuk menambahkan air
kedalam adonan sehingga adonan tekstur bakso yang dihasilkan menjadi baik. Es batu juga
Setelah proses emulsifikasi selesai yang ditandai dengan bahan-bahan berbentuk adonan,
kemudian dilakukan pencetakan menjadi bola-bola bakso yang siap untuk direbus.
Pembentukan adonan menjadi bola-bola bakso dapat mempergunakan tangan dibantu
dengan sendok atau menggunakan mesin pencetak.
Cara membentuk bola bakso dengan menggunakan tangan, yaitu dengan mengambil
segenggam adonan lalu diremas/dikepalkan atau ditekan sampai adonan keluar diantara ibu
jari dan telunjuk, sehingga membentuk bulatan dan diambil dengan sendok langsung
dimasukan ke dalam air panas (suhu 80ºC). Perebusan pada suhu 80ºC (air rebusan belum
mendidih) bertujuan agar diperoleh pemasakan bola bakso yang merata. Apabila pada awal
pemasakan, bola bakso dimasukkan kedalam air rebusan yang sudah mendidih, dapat
menyebabkan bola bakso pecah dan kematangannya tidak merata. Untuk ukuran bola
bakso diusahakan seragam, yaitu tidak terlalu kecil tetapi juga tidak terlalu besar, sehingga
kematangan bola bakso ketika direbus akan memilki tingkat kematangan yang seragam dan
tidak menyulitkan dalam pengendalian prosesnya.
Perebusan bola bakso dilakukan selama ±15 menit. Bakso yang sudah masak ditandai
dengan mengapung di permukaan air. Bakso yang sudah matang selanjutnya diangkat dan
ditiriskan. Agar bakso dapat tahan lama maka bakso harus dikemas dalam kantong plastik
dan disimpan dalam suhu beku.
Mutu bakso dapat dinilai dengan cara yang paling sederhana yaitu pengujian secara organoleptik
(sensoris), meliputi kenampakan, warna, bau, rasa dan tekstur, serta kenampakan adanya jamur
dan lendir pada bakso. Untuk lebih jelasnya kriteria mutu bakso menurut Singgih Wibowo dapat
lihat pada Tabel 7
Syarat mutu bakso daging menurut SNI bakso daging berkaitan dengan kondisi fisik dan
nilai gizi tertera pada Tabel 8
Bakso yang berkualitas baik dapat dilihat dari tekstur, warna dan rasa. Teksturnya yang
halus, kompak, kenyal dan empuk. Halus yaitu permukaan irisannya rata, seragam dan serat
dagingnya tidak tampak.
2. Pemilihan daging sapi untuk bahan dasar bakso adalah kesegaran dan letak posisi daging.
Kesegaran daging sangat mempengaruhi produk bakso yang dihasilkan. Daging untuk
pembuatan bakso harus daging segar atau daging yang belum mengalami pelayuan terlebih
dahulu, karena daging yang telah mengalami pelayuan atau aging, tekstur daging menjadi
lunak, hal ini juga akan menyebabkan tekstur bakso juga lunak, kurang kompak, tidak
kenyal/tidak elastis, mudah pecah, serta rendemen rendah.
3. Daging yang telah dilayukan, kemampuanya untuk mengikat air menjadi rendah, karena
protein actin dan miosin makin berkurang. Faktor kedua yang perlu juga diperhatikan adalah
letak posisi daging. Diusahakan dipilih daging yang tidak banyak mengandung lemak. Daging
bagian lamusir belakang (sirloin), bagian paha belakang (round), dan pinggang bagian
belakang, tidak banyak mengandung lemak.
C. Tes Formatif
B. Prosedur Kerja
1. Siapkan daging yang segar, pisahkan dari lemak dan uratnya, kemudian daging jangan dicuci.
Untuk ikan bersihkan dari sisik, isi perut dan insangnya, kemudian dicuci sampai bersih.
2. Siapkan bumbu untuk dihaluskan. Untuk 1 kg daging diperlukan :
Bawang putih 30 gram
Bawang goreng 20 gram
Merica 2,5 gram
Garam 20 gram
TepungTapioka/tepung aren/sagu 10% (b/b)
4. Untuk daging dipotong kecil-kecil dan ikan difillet (dipisahkan daging dari durinya), kemudian
digiling sambil ditambahkan es batu sebanyak 15-30% dari berat daging /ikan.
5. Masukkan bumbu-bumbu dan garam sambil terus digiling bersama-sama es batu, kemudian
tambahkan tapioka.
6. Cetaklah adonan menjadi bola-bola bakso, kemudian direbus dalam air panas dengan suhu
80C (air tidak mendidih) selama 15 menit hingga bola-bola bakso mengapung.
7. Bola bakso diangkat dan ditiriskan, setelah dingin dikemas dengan kantong plasitk.
Kegiatan Belajar 7
Salah satu produk olahan daging yang cukup terkenal adalah sosis. Sosis berasal dari
bahasa Latin Salsus yang berarti penggaraman atau pengawetan daging dengan larutan garam,
memberikan rasa, warna dan aroma yang khas pada sosis yang disebabkan adanya proses curing
dan pemasakan.
A. Lembar Informasi
Sosis (Sausage) berasal dari bahasa Latin Salsus yang berarti penggaraman atau pengawetan
daging dengan larutan garam, memberikan rasa, warna dan aroma yang khas pada sosis terutama
disebabkan adanya proses curing dan pemasakan. Sosis dapat didiskripsikan sebagai produk olahan
dari daging (sapi atau ayam) yang telah dicincang, diberi bumbu-bumbu, kemudian dimasukkan ke
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
dalam pembungkus yang berbentuk bulat panjang yang dapat berupa usus hewan atau pembungkus
buatan dengan atau tanpa dimasak, dengan atau tanpa diasap (Hadiwiyoto S., 1983).
Sumber : http://www.markaindo.co.id/id/publikasi/mengenal-lebih-dekat-sosis-sapi-yang-banyak-
disukai/
Sosis pada prinsipnya diolah dengan cara mengemulsikan lemak ke dalam protein daging,
dengan molekul protein bertindak sebagai emulsifier-nya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
efektifitas protein daging sebagai emulsifier (penstabil emulsi) meliputi pH, konsentrasi NaCl dan
garam-garam lain, serta protein yang larut dalam air serta protein yang larut dalam garam. Pada pH
mendekati titik isoelektrik dari protein yang terlarut dalam garam, kapasitas emulsifikasi proteinnya
mengalami kenaikan sejalan dengan naiknya konsentrasi NaCl.
Agar dapat diperoleh sosis dengan kualitas yang baik maka perlu dilakukan seleksi terhadap
macam daging yang digunakan sebagai bahan dasar sosis. Sebagai bahan dasar, daging yang masih
dalam fase prerigor mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan daging yang telah
berada pada fase postrigor. Hal ini disebabkan hampir 50% protein-protein daging pada fase
prerigor yang dapat larut dalam larutan garam, dapat diekstraksi keluar dari jaringan (Forrest et al,
1975).
Disamping bahan-bahan yang berupa daging dan lemak, seringkali juga ditambahkan bahan-
bahan lain yang bukan berasal dari jaringan daging. Bahan-bahan ini berperan sebagai “extender”.
Fungsi utama dari bahan ini adalah untuk memudahkan pembentukan emulsi sosis, disamping
untuk meningkatkan kemampuan mengikat molekul air (Forrest et al, 1975). “Extender” yang
biasanya digunakan berupa susu skim, tepung jagung, tepung gandum, dan sodium kaseinat.
Sosis merupakan suatu sistem emulsi, emulsi tersebut berupa emulsi minyak dalam air,
dengan air berperan sebagai fase kontinyu, lemak sebagai fase diskontinyu dan protein sebagai
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
emulsifiernya. Dalam sistem emulsi tersebut, protein membentuk matriks yang menyelubungi
globula-globula lemak. Protein dalam daging yang terutama berfungsi sebagai emulsifying agent
adalah miosin dan aktin, dan juga kombinasi keduanya yaitu aktomyosin (Price dan Schweigert,
1971).
a. Jenis-jenis Sosis
Sosis yang diproduksi cukup banyak jenisnya, diantaranya adalah:
1. Sosis segar
Daging yang digunakan untuk membuat sosis tidak mengalami curing terlebih dulu.
Contoh sosis jenis ini: Bratwurst, Bockwurst.
2. Sosis masak
Daging yang akan dibuat sosis bisa dimasak terlebih dulu atau tidak. Kemudian diberi
bumbu, dicacah, dimasukkan ke dalam selonsong kemudian dimasak. Kadang-kadang
setelah dimasak diasap, kemudian disimpan di tempat dingin. Contoh: sosis hati (Liver
sausage), Braunschweiger, Livercheese.
Dibuat dari daging yang dicuring. Hampir sama dengan sosis masak, tetapi diasap dulu
baru dimasak. Contoh: Frankfurters, Bologna, Cotto salami.
4. Sosis kering
A2. Bahan-Bahan Produksi Sosis
Proses pembuatan sosis memerlukan berbagai macam bahan, baik bahan dasar maupun
pendukung. Bahan dasar yang digunakan tergantung dari jenis sosis yang akan dibuat, yaitu sosis
sapi atau ayam. Bahan pendukung dikelompokkan menjadi bahan pengisi, pengikat, bumbu dan
selonsong.
Bahan dasar yang digunakan untuk membuat sosis adalah daging. Menurut Sumarni
(1993), daging merupakan gumpalan lembut yang terdiri atas urat-urat pada tubuh binatang,
diantara kulit dan tulang. Daging dapat dibagi dalam dua golongan besar, yakni daging merah
dan daging putih. Daging merah adalah daging yang berasal dari ternak seperti kambing,
domba, kerbau, sapi dan babi. Daging putih adalah daging yang berasal dari unggas, yaitu
ayam, itik, kalkun, merpati dan angsa. Karakteristik daging sapi yang digunakan untuk
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
membuat sosis adalah: daging berwarna merah cerah; bau khas daging segar; bila ditekan tidak
meninggalkan bekas (elastis); tidak terdapat bagian-bagian yang berwarna hitam dan kehijauan.
2. Bahan Pendukung
Bahan Pengisi dan Pengikat
Bahan pengisi adalah bahan makanan yang ditambahkan dalam pembuatan sosis, biasanya
bahan sumber karbohidrat. Sebagai pengisi umumnya dipakai berbagai jenis tepung, seperti
tepung maizena, tepung tapioka, tepung sagu, tepung terigu, dan tepung beras. Penambahan
bahan pengisi bertujuan untuk membentuk tekstur yang padat. Fungsi bahan pengisi adalah
sebagai pengisi yang dapat menarik air, memperbaiki tekstur, menstabilkan emulsi,
memperbaiki adonan, dan mengurangi biaya produksi.
Bahan pengikat berbeda dengan bahan pengisi. Bahan pengikat adalah bahan makanan sumber
protein atau protein dalam bentuk isolat. Sebagai bahan pengikat, bahan yang mengandung
protein atau isolat protein harus dalam kondisi proteinnya belum mengalami koagulasi. Bahan
pengisi dan pengikat yang dipilih adalah mempunyai sifat daya serap air baik, warna yang baik,
aroma dan rasa tidak mengganggu sosis, serta tidak mahal.
d) Zat Pewarna
Penambahan zat pewarna pada pembuatan sosis dimaksudkan untuk mendapatkan produk
dengan warna yang seragam, menambah daya tarik serta menampilkan warna asli daging sapi
dan menutupi kerusakan secara visual. Zat pewarna yang digunakan adalah zat pewarna
makanan, baik alami maupun buatan.
a. Casing alami, yaitu casing yang dibuat dari usus hewan seperti usus sapi
dan usus kambing. Kelebihan casing ini rasanya lebih enak, sedangkan kekurangannya
adalah ukurannya tidak seragam dan tidak mencukupi skala industri yang memproduksi
sosis dalam jumlah besar.
b. Casing sintetis atau buatan terdiri dari 2 macam yaitu casing yang dapat
dimakan (edible) seperti casing yang terbuat dari kolagen dan agar-agar, serta casing yang
tidak dapat dimakan (non edible) seperti casing yang terbuat dari plastik atau kain.
Gambar beberapa casing atau selongsong dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Pemilihan Daging
Daging yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan sosis harus dipilih daging yang baik
agar dihasilkan produk sosis yang baik juga. Daging yang dipilih adalah daging yang sehat,
bersih dari kotoran, lendir, kulit, bulu serta kotoran lainnya, daging dalam keadaan tanpa
tulang, warna dan aroma khas daging segar.
Penimbangan
Bahan dasar yang telah dipilih selanjutnya ditimbang dengan tujuan untuk mengetahui
berapa banyak bahan dasar yang digunakan dan berapa banyak bahan-bahan pendukung
yang dibutuhkan.
Pemotongan
Daging yang siap diolah dipotong-potong kecil dengan tujuan untuk mempermudah proses
penggilingan dan mempercepat penyerapan bahan curring ke dalam daging sekaligus
memisahkan tulang dari daging sehingga daging hasil penggilingan lebih halus tanpa ada
serbuk keras yang berasal dari tulang.
Curing
Curing adalah proses pengolahan daging dengan tujuan mengawetkan daging dan untuk
memperolah flavor yang diinginkan serta menimbulkan warna merah pada daging. Bahan-
bahan yang digunakan dalam proses curring adalah garam dapur, sendawa dan gula.
Daging sapi yang telah dipotong menjadi bagian-bagian kecil kemudian ditambahkan
sendawa dan garam kemudian diaduk rata untuk memperoleh warna daging merah stabil,
aroma, tekstur dan kelezatan yang baik, mengurangi pengerutan daging selama proses
pengolahan serta memperpanjang daya simpan produk daging. Daging yang mengalami
proses curring selanjutnya disimpan pada suhu 2-4C selama 24 jam.
Daging yang telah mengalami proses curring selanjutnya digiling dengan mesin penggiling
(mincer) sehingga diperoleh daging giling/cincang. Proses penggilingan bertujuan untuk
memudahkan proses pelembutan.
Daging cincang yang dihasilkan dari proses penggilingan selanjutnya dimasukkan ke dalam
alat pelembut (meat cutter/silent cutter) selama 5-10 menit pada suhu 10-20C. Pada proses
pelembutan dan pengadukan terdapat dua tahapan proses, yaitu pertama adalah proses
pelembutan daging hasil penggilingan, dan kedua adalah proses pengadukan yang bertujuan
untuk meratakan bumbu-bumbu, bahan pengisi dan bahan pengikat agar tercampur secara
homogen sehingga menghasilkan emulsi yang baik.
Adonan yang telah diaduk dan dihaluskan kemudian dimasukkan ke dalam mesin pengisi
(sausage filler/vaccuum filler). Mesin ini bekerja semi otomatis untuk mengisi adonan ke
dalam selongsong. Adapun tujuan proses ini adalah untuk mendapatkan sosis sesuai ukuran
yang dikehendaki.
Sumber : https://www.pasarwarga.com/mobile/products/ssf-sv7-mesin-pembuat-sosis-mesin-cetak-
sosis-sausage-machinesausage-fillersausage-stuffer
Pemasakan
Pemasakan sosis dilakukan dengan cara dikukus atau direbus pada suhu 85C selama 10
menit, sampai suhu di dalam sosis mencapai 78C. Tujuan dari proses pemasakan adalah
untuk membentuk tekstur dan keempukan daging, menghambat pertumbuhan mikroba,
pembentukan warna yang lebih menarik, memberi aroma khas pada produk, inaktivasi
enzim proteolitik, dan memperpanjang daya simpan.
Pendinginan
Setelah selesai proses pemasakan, sosis didinginkan, sebaiknya dengan cara digantung,
sampai benar-benar dingin. Tujuan proses pendinginan adalah untuk mencegah terjadinya
embun pada saat pengemasan dan mengawetkan selama penyimpanan.
Pengemasan
Pengemasan bertujuan melindungi sosis terhadap kerusakan yang terlalu cepat baik karena
proses kimiawi maupun kontaminasi mikrobial, serta menampilkan produk dengan cara
yang menarik.
Pengemasan dilakukan dengan cara memasukkan sosis yang telah dingin ke dalam kemasan
yang sesuai dan datur dalam mesin pengemas vakum sehingga dihasilkan produk sosis yang
dikemas dalam plastik hampa udara. Pengemasan dengan vakum akan mencegah timbulnya
mikroba aerobik atau mikroba patogen lainnya.
Penyimpanan
Sosis yang telah dikemas dapat disimpan dalam alat pendingin (chiller) atau pembeku
(freezer). Biasanya sosis yang disimpan pada alat pendingin mempunyai ketahanan simpan
Untuk mengetahui kualitas produk sosis yang telah rusak dapat dilihat secara fisik, yaitu:
1. sosis sapi yang berwarna merah bila telah rusak warnanya akan pudar dan berubah
menjadi putih,
B. Rangkuman
1. Proses pembuatan sosis meliputi beberapa tahapan, yaitu pemilihan daging, penimbangan,
pemotongan, curring, penggilingan, pelembutan dan pengadukan, pengisian dan pengikatan,
pemasakan, pendinginan, pengemasan, dan penyimpanan.
2. Bahan pengisi yang ditambahkan dalam pembuatan sosis, biasanya bahan sumber karbohidrat
dari berbagai jenis tepung, seperti tepung maizena, tepung tapioka, tepung sagu, tepung terigu,
dan tepung beras.
3. Fungsi bahan pengisi adalah sebagai pengisi yang dapat menarik air, memperbaiki tekstur,
menstabilkan emulsi, memperbaiki adonan, dan mengurangi biaya produksi.
4. Bahan pengikat dalam pembuatan sosis adalah bahan makanan sumber protein atau protein
dalam bentuk isolat. Sebagai bahan pengikat, bahan yang mengandung protein atau isolat
protein harus dalam kondisi proteinnya belum mengalami koagulasi.
B. Tes Formatif
D.LEMBAR KERJA
Tujuan : Setelah melakukan praktik pembuatan sosis sapi, maka hasil yang
diharapkan adalah sosis dengan kriteria: tekstur kenyal dan elastis,
kenampakan halus, rasa gurih dan aroma yang khas.
Alat : Bahan :
13. Es : 50-75
gram
LANGKAH KERJA
2. Timbang semua bahan sesuai keperluan. Potong-potong daging menjadi kecil selanjutnya
lakukan proses curing dengan mencampur bahan curing sampai rata, kemudian ditaburkan
pada daging dan diaduk rata. Simpan selama kurang lebih 24 jam.
4. Selanjutnya masukkan ke dalam silent cutter untuk dilakukan pelembutan dan pengadukan
5. Tambahkan es batu, bahan pendukung dan bumbu-bumbu yang sudah dalam keadaan halus.
6. Adonan yang telah halus/lembut dimasukkan ke dalam sausage filler yamg telah dilengkapi
selongsong sosis.
7. Isi selongsong dengan adonan sampai padat dan tidak ada gelembung/rongga udara,
kemudian diikat.
8. Masak dengan cara dikukus atau direbus pada suhu 85C sampai matang.
Kegiatan Belajar 8
Produksi Abon Sapi
A. Lembar Informasi
A1. Definisi Abon Sapi
Abon merupakan produk hasil olahan daging dalam bentuk kering. Abon dibuat dari daging
yang disuwir-suwir, kemudian ditambah bumbu-bumbu dan digoreng. Daging yang umum
digunakan untuk pembuatan abon adalah daging sapi atau kerbau. Meskipun demikian, semua jenis
daging termasuk daging ikan dapat digunakan untuk pembuatan abon.
2.Bahan pendukung
Santan Kelapa
Minyak Goreng
Air
Air adalah bahan yang terpenting dalam proses pembuatan abon, air juga merupakan
komponen penting dalam bahan makanan karena air mempengaruhi penampilan tekstur, cita rasa
makanan (Winarno, 2002). Air yang dipergunakan dalam proses pengolahan makanan, baik secara
langsung (ditambahkan dalam produk olahan) maupun tidak langsung (sebagai bahan pencuci,
perendaman, perebus), harus memenuhi syarat kualitas air minum yang antara lain meliputi sebagai
berikut :
a.Tidak berasa, tidak berwarna, dan tidak berbau.
b.Bersih dan jernih.
c.Tidak mengandung logam atau bahan kimia berbahaya.
d.Derajat kesadahan nol.
e.Tidak mengandung mikroorganisme berbahaya. (Suprapti, 2003)
Gula adalah bahan yang ditambahkan dalam pembuatan abon dengan konsentrasi tertentu.
Gula ditambahkan pada kisaran 50 - 60 g tiap 1 kg daging (Astawan dan Astawan, 1988). Gula
yang ditambahkan pada bahan pangan olahan berperan sebagai humektan, yang dapat menurunkan
Ariani Kusumaningrum, STP, MM
kadar air dan memberi rasa produk olahan. Humektan adalah bahan yang mengontrol perubahan
kelembaban antara produk dengan udara baik dalam wadah ataupun pada kulit (Winarno dan
Rahayu, 1994). Gula mempunyai kandungan sukrosa yang tinggi yaitu 79,97% (Nursamsi, 1981).
Peningkatan suhu dalam pembuatan abon akan menyebabkan sukrosa pecah menjadi fruktosa dan
glukosa yang akan bereaksi dengan asam amino (protein) daging membentuk warna coklat abon.
Kandungan gula yang tinggi akan meningkatkan kandungan glukosa sehingga laju reaksi akan
meningkat. Pengendalian dan pembatasan konsentrasi gula diharapkan dapat dibatasi dan
penurunan mutu produk akibat reaksi dapat ditekan (Winarno, 2002).
B. Rangkuman
1. Menurut Peraturan Kepala Badan POM Nomor 21 tahun 2016 tentang Kategori Pangan, abon
daging adalah makanan kering berbentuk khas dibuat dari daging, direbus, disayat-sayat,
dibumbui, digoreng dan dapat juga dipres. Abon terbuat dari daging berbagai jenis hewan
seperti sapi, ayam, babi, dan lain-lain. Karakteristik dasar dari abon daging adalah Bau, rasa
dan warna normal dan kadar air tidak lebih dari 7%
2. Bahan pembuatan abon terdiri atas bahan baku dan bahan tambahan. Bahan baku merupakan
bahan pokok untuk abon. Bahan tambahan atau bahan penolong berfungsi menambah cita rasa
produk, mengawetkan, dan memperbaiki penampakan produk
3. Prinsipnya cara membuat berbagai jenis abon sama. Prosedur umum yang dilakukan dimulai
dari penyiangan dan pencucian bahan, pengukusan atau perebusan, pencabikan atau
penghancuran, penggorengan, penirisan minyak atau pres, dan pengemasan
4. Gula adalah bahan yang ditambahkan dalam pembuatan abon dengan konsentrasi tertentu. Gula
ditambahkan pada kisaran 50 - 60 g tiap 1 kg daging. Gula yang ditambahkan pada bahan
pangan olahan berperan sebagai humektan, yang dapat menurunkan kadar air dan memberi rasa
produk olahan.
5. Peningkatan suhu dalam pembuatan abon akan menyebabkan sukrosa pecah menjadi fruktosa
dan glukosa yang akan bereaksi dengan asam amino (protein) daging membentuk warna coklat
abon
C. Tes Formatif
1. Sebutkan tahapan pembuatan abon sapi
2. Jelaskan apa fungsi perebusan daging sapi pada proses produksi abon
3. Jelaskan apa fungsi penambahan santan pada proses produksi abon
4. Jelaskan apa yang mempengaruhi warna coklat pada produk abon sapi
5. Jelaskan cara memilih daging sapi yang tepat sebagai bahan baku abon sapi
6. Bagian-bagian sapi mana saja yang sesuai sebagai bahan baku abon sapi?
7. Selain sebagai citarasa apa fungsi penambahan NaCl pada proses produksi abon sapi
8. Sebutkan syarat-syarat air yang dapat digunakan pada proses produksi sapi
D. Lembar Kerja
Judul Praktikum : Pembuatan abon sapi
Tempat dan Tanggal : ………………………
Tujuan Praktikum : Siswa melakukan praktik pembuatan abon sapi yang sesuai standar
industri pangan