Anselmus H G Putra, Review Article Peace Studies As A Transdisciplinary
Anselmus H G Putra, Review Article Peace Studies As A Transdisciplinary
Gafita Putra
Npm : 172030139
Review
Review ini akan membahas mengenai tulisan Chadwick F. Alger yang membahas mengenai
“peace study as a transdisciplinary project”. Tulisan tersebut mengenai bagaimana studi
perdamaian terdapat dalam banyak disiplin ilmu atau transdisipliner. Hal ini juga mencakup
berbagai dimensi pembentukan dan transformasi konflik, hak-hak asasi manusia, gender,
jurnalisme, psikologi, Pendidikan, bisnis, dan gerakan perdamaian. Terfokuskan juga pada ilmu
politik, hukum internasional, kesehatan, agama dan Bahasa. Dalam pembahasan lebih lanjut,
terdapat beberapa sub bahasan yang menjadi inti pembahasan dari bab ini, diantaranya sebagai
berikut:
Dalam literatur ini, awalnya menjelaskan mengenai bagaimana awal mula studi
perdamaian berkembang dan mengalami kemajuan besar yang mana Pada tahun 2006, Asosiasi
Studi Perdamaian dan Keadilan (PJSA) dan Yayasan Asosiasi Penelitian Perdamaian Internasional
(IPRA) menyusun Direktori Global Studi Perdamaian dan Program Resolusi Konflik (Edisi
Ketujuh). Mengenai apakah studi perdamaian dianggap sebagai disiplin ilmu telah dipastikan
dengan adanya penelitian dalam beberapa decade terakhir yang telah menghasilkan kemajuan
besar dalam memahami penyebab perang dan bentuk-bentuk dari konflik. Pada saat yang sama
pula, berkembang pengetahuan tentang langkah-langkah pencegahan konflik, terutama yang
berkaitan dengan strategi pembangunan perdamaian jangka Panjang. Agenda dari banyak peneliti
perdamaian adalah untuk memperoleh pengetahuan yang dapat diterapkan dalam mengembangkan
strategi untuk mencapai visi dunia yang lebih damai di masa depan. Selanjutnya, penulis buku ini
melakukan pendekatan dengan memberikan informasi tentang kontribusi untuk penelitian
perdamaian di setiap disiplin ilmu yang relevan, walaupun dalam implimentasinya memang cukup
sulit memberikan identitas disiplin ilmu karena sifat dari disiplin ilmu ini yang transdisipliner.
Lebih lanjut, penulis memberikan contoh konkret dari berbagai keterlibatan manusia dalam
kegiatan yang berdampak pada perdamaian dan kondisi konflik. Dengan begitu, sejatinya studi
perdamaian dan konflik memang layak dikatakan sebagai suatu ilmu, yang mengandung aspek
ontology, epistemology, dan aksiologi di dalamnya, dan dapat disebut sebagai suatu ilmu yang
transdisipliner.
Dalam sub bahasan berikutnya, penulis menaruh perhatian pada system UN, yang mana
pemahamannya tentang praktik pembangunan perdamaian secara signifikan terdapat pada
organisasi ini. UN menjadi alat yang tepat karena terdapat banyak negara, termasuk negara bagian
sehingga tentu melibatkan debat dan dialog terbuka untuk kontribusi dari negara dan masyarakat
sipil di seluruh dunia untuk meningkatkan relevansi global. Sebelum adanya LBB, alat perdamaian
yang tersedia adalah diplomasi dan keseimbangan kekuasaan. Namun, hal ini memiliki
kecenderungan untuk perlombaan senjata yang berakhir pada peperangan. Perjanjian Liga
menggantinya dengan yang Namanya keamanan kolektif, yang melaluinya agresi militer akan
dicegah oleh ancaman kekuatan militer anggotanya sebagai reaksi. Selain itu, LBB juga
menerapkan praktik pencegahan dengan pendekatan yang cenderung menekan dan control, serta
adanya kekerasan dalam mencapai perdamaian, sehingga disebut juga sebagai perdamaian
negative. Pembelajaran dari LBB dan perang dunia pertama menjadi dasar dari piagam PBB pada
tahun 1945. Hal yang menjadi tambahan dan sekaligus menjadi pembeda dari sebelumnya dalam
piagam ini adalah adanya kerjasama “fungsional”, dengan isu-isu yang juga tidak lagi militeristik,
dan menekankan pada pembangunan hubungan ekonomi, social, dan politik yang damai, dan
disebut juga sebagai perdamaian positif. Sebagai 'laboratorium' perdamaian kami yang paling
signifikan, Sistem organisasi PBB saat ini mencerminkan pembelajaran yang sangat signifikan
sejak didirikan. Kolaborasi fungsional telah berkembang karena Sistem PBB telah
mengembangkan lembaga-lembaga yang mengatasi berbagai masalah global, seperti kesehatan,
pengungsi, tenaga kerja, pendidikan, air bersih, komunikasi, neraca pembayaran dan perumahan.
Penentuan nasib sendiri telah menjadi salah satu kisah sukses terbesar PBB, karena telah
membantu banyak negara di Afrika, Asia dan Karibia untuk merdeka dan menjadi anggota
langsung PBB. Sehubungan dengan hak asasi manusia, di bawah naungan PBB negara-negara
yang berkumpul telah menyusun standar untuk kehidupan manusia di planet ini melalui Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, dan perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik dan hak ekonomi,
sosial dan budaya, dan berbagai perjanjian lain tentang genosida, hak-hak perempuan,
penghapusan diskriminasi rasial, hak-hak anak, hak-hak buruh, lingkungan, kelaparan dan
kekurangan gizi, diskriminasi agama, dan banyak lainnya. Dalam perkembangan lebih lanjut juga
PBB menangani masalah kemiskinan, walau kemudian, kesenjangan antara si kaya dan si miskin
semakin melebar. Dalam perkembangan lebih lanjut juga terdapat banyak fenomena yang
kontroversial. Komisi PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan (CSD) baru memimpin pencarian
di awal abad kedua puluh untuk makna pembangunan yang dapat mencakup keseimbangan
ekologis. Pada saat yang sama, kemelaratan, penyakit dan kematian yang disebabkan oleh
perusakan habitat manusia semakin dinilai memiliki kesetaraan moral dari kedamaian yang sama
yang dihasilkan oleh senjata perang. Karena teknologi baru telah memungkinkan manusia untuk
mengeksploitasi kedalaman dan luasnya milik bersama secara lebih luas (atmosfer, ruang, lautan,
dan dua wilayah kutub), kegiatan ini menjadi ancaman yang semakin besar terhadap perang yang
mengancam perdamaian, bencana lingkungan, pembagian yang tidak merata dari sumber daya
milik bersama dan akses yang tidak merata ke potensi transportasi dan komunikasi milik bersama.
Ruang lingkup studi perdamaian telah diperluas dengan meningkatnya keterlibatan dalam Sistem
PBB dari LSM / masyarakat sipil, otoritas lokal dan bisnis. Sejumlah organisasi PBB memiliki
sejarah sukses bekerja sama dengan bisnis. Perubahan politik dan ekonomi baru-baru ini telah
mendorong dan mengintensifkan pencarian pengaturan kolaboratif.
Seiring dengan berkembangnya study perdamaian, terdapat juga perkembangan pada jalur
pencapaian perdamaian, termasuk pada pendekatan multi-track. Contoh yang sangat baik dari
pendekatan multi-track adalah Louise Diamond dan Diplomasi Multi-Track John McDonald: A
Systems Approach to Peace (1996). Pendekatan multi-jalur mereka dibangun di atas 'diplomasi
jalur kedua' yang kadang-kadang disebut sebagai 'diplomasi warga negara' karena jalur kedua
sering melibatkan orang-orang yang bukan pejabat pemerintah. Di dalamnya dijabarkan lebih
lanjut lewat Sembilan jalur, diantaranya adalah Pemerintah (penciptaan perdamaian melalui
Diplomasi), Non-pemerintah / Profesional (penciptaan perdamaian melalui Resolusi Konflik
Profesional), Bisnis (penciptaan perdamaian) melalui Perdagangan), Warga Negara Swasta
(penciptaan perdamaian melalui Keterlibatan Pribadi), Penelitian, pelatihan, dan Pendidikan
(penciptaan perdamaian melalui Pembelajaran), Aktivisme (penciptaan perdamaian melalui
Advokasi), Agama (penciptaan perdamaian melalui Faith in Action), Pendanaan (penciptaan
perdamaian melalui Pemberian Sumber Daya), Komunikasi dan media (penciptaan perdamaian
melalui Informasi). Karya William Zartman yang diedit tentang Peacemaking dalam Konflik
Internasional: Metode dan Teknik (2006) adalah contoh lain yang mencerminkan pendekatan
multi-track untuk menciptakan perdamaian. Hal ini menggambarkan berbagai alat dan
keterampilan untuk menciptakan perdamaian.
Perspektif lain tentang berbagai studi perdamaian multidisiplin yang tumbuh dapat
diperoleh dengan melihat semakin beragamnya kegiatan yang terlibat dalam dua jenis kegiatan
perdamaian: operasi pemeliharaan perdamaian dan kegiatan organisasi non-pemerintah (LSM) /
masyarakat sipil. Relevansi LSM / masyarakat sipil dengan studi perdamaian sekarang berkisar
dari kegiatan lokal hingga global. Jackie Smith (1997: 47) telah memilih 631 LSM yang dia
klasifikasikan sebagai Gerakan Sosial Transnasional (TSMO), dan menunjukkan isu-isu yang
menjadi fokus mereka: hak asasi manusia (27 persen), lingkungan (14 persen), hak-hak perempuan
( 10 persen), perdamaian (9 persen), tatanan dunia/multi-isu (8 persen), pembangunan (5 persen)
dan penentuan nasib sendiri-etnis (5 persen). 31 jenis kegiatan TSMO ini dapat dikelompokkan
menjadi enam jenis: (1) mereka menciptakan dan memobilisasi jaringan global; (2) mereka
berpartisipasi dalam konferensi organisasi antar pemerintah (IGO); (3) mereka terlibat dalam
pertemuan Dewan Keamanan PBB, Dewan Ekonomi dan Sosial dan Dewan Keamanan; (4)
mereka memfasilitasi kerja sama antarnegara di luar pertemuan-pertemuan ini dan di tempat-
tempat lain di seluruh dunia; (5) mereka terlibat dalam kegiatan di dalam negara; dan (6) mereka
meningkatkan partisipasi publik dalam berbagai cara.
Post-conflict peace-building
Long-term peace-building
Hal ini berfokus pada pencegahan terhadap konflik melalui pembangunan perdamaian
jangka Panjang sebagai langkah preventif. Dalam sub bahasan ini, banyak pen-study perdamaian
yang mengkajinya. Kontribusi yang signifikan adalah tulisan Davies dan Gurr tentang Preventive
Measures: Building Risk Assessment and Crisis Early Warning (1998). Mereka berusaha
mengembangkan kapasitas untuk mendiagnosis 'kegagalan' untuk memfasilitasi upaya yang efektif
dalam pencegahan konflik atau transformasi perdadamaian. tulisan ini memeriksa indikator
peringatan dini yang potensial dalam situasi yang berbeda dan berupaya menilai keefektifannya
berdasarkan berbagai model. Selain itu, terdapat banyak pakar lainnya dengan basic ilmu dan sudut
pandang mereka sendiri yang juga turut menganalisa dan memberikan nasari tentang bagaimana
membangun suatu langkah pencegahan konflik dan upaya pembangunan perdamaian jangka
Panjang.
Bidang penelitian perdamaian telah dikaitkan dengan bidang yang lebih besar yang
berfokus pada arena konflik lokal di negara bagian, termasuk sekolah, komunitas lokal, bisnis, dan
pengadilan. Salah satu contoh adalah Komisi Ohio. Komisi bekerja untuk secara positif
memengaruhi kehidupan semua warga negara Ohio dengan memberikan penyelesaian sengketa
dan pelatihan manajemen konflik, konsultasi dan bantuan teknis dalam merancang program
penyelesaian perselisihan, dan layanan fasilitasi dan mediasi. Bersama dengan Departemen
Pendidikan Ohio, dan organisasi pendidikan lainnya, ia bekerja untuk memberi sekolah Ohio
metode konstruktif dan tanpa kekerasan untuk menyelesaikan perselisihan. Melalui upaya ini,
Komisi membantu membangun kemitraan di antara masyarakat, pengadilan, dan sekolah di
seluruh Ohio. Saat ini, ada lebih dari 75 program komunitas dan pengadilan yang melayani lebih
dari setengah dari 88 negara bagian Ohio. Jenis penyelesaian sengketa dan kegiatan manajemen
konflik ini sekarang ada di negara bagian lain di Amerika Serikat dan di negara lain. Meskipun
banyak yang terlibat melihat mereka hanya sebagai sarana untuk mengatasi konflik lokal, namun
mereka melihat keuntungan dalam berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan mereka yang
terlibat di negara lain.
Kesimpulan
Adanya perluasan fungsi UN dan beragam actor menunjukan bahwa siapaun kini terlibat
dalam hal-hal yang berkaitan dengan perdamaian. Pembahasan dalam tulisan ini juga menunjukan
bahwa hampir semua organisasi memiliki potensi perdamaian dan pembangunan perdamaian:
pemerintah, LSM / masyarakat sipil dan bisnis. Dalam Cultures of Peace (1999), Elise Boulding
telah memberikan deskripsi yang menerangi budaya damai yang tersebar luas yang sekarang ada
di seluruh dunia, dalam keluarga, komunitas, wilayah, negara bagian dan organisasi yang berkisar
dari lokal hingga global.
Tulisan ini juga menjabarkan mengenai bagaimana studi perdamaian kemudian dapat dikatakan
sebagai suatu disiplin ilmu dengan menggambarkan aspek-aspek di dalamnya untuk memenuhi
syarat dikatakannya suatu ilmu, baik secara ontology, epistemology, dan aksiologinya.