Anda di halaman 1dari 34

BENCANA ALAM

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikologi Lingkungan

Dosen Pengampu :
Devi Anisa Nasrah, M.Psi., Psikolog.

Disusun Oleh :
Dwi Khozaty (180207010)
Ilham Ibrahim Abdillah (180207017)
Januar Arifin (180207018)
Panji Purnama (170207028)
Tri Dewi Tunggal Bangun (180207040)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Bencana Alam.
Dan kami juga berterima kasih kepada :

 Ibu Devi Anisa Nasrah, M.Psi., Psikolog. selaku Dosen Pengampu mata kuliah Psikologi
Lingkungan

Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Psikologi Lingkungan.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan
jauh dari apa yang kami harapkan. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata – kata yang kurang berkenan dan kami mohon kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan di masa depan.

Bandung, 12 April 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................... i


DAFTAR ISI .......................................................................................................................................... ii
BAB 1 .................................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN................................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah ............................................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................................................. 1
BAB 2 .................................................................................................................................................. 2
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 2
2.1 Definisi Bencana (Definition Of Disaster) .................................................................................. 2
2.2 Pemahaman Tentang Bencana Alam ........................................................................................ 3
1. Gempa Bumi ....................................................................................................................... 4
2. Tsunami .............................................................................................................................. 5
3. Banjir dan Longsor .............................................................................................................. 8
2.3 Persepsi Masyarakat Tentang Bencana Alam.................................................................... 11
1. Efek Krisis .......................................................................................................................... 12
2. Efek Bendungan ................................................................................................................ 12
3. Adaptasi ............................................................................................................................ 12
2.4 Dampak Bencana (Disaster Impacts) ...................................................................................... 13
1. Kematian, Cedera, Dan Kerugian Dolar (Deaths, Injuries, And Dollar Losses) ................... 13
2. Dampak Psikologis (Psychological Impacts) ...................................................................... 13
3. Dampak Ekonomi (Economic Impacts) .............................................................................. 20
2.5 Stress di Pengungsian ............................................................................................................ 20
2.6 Manajemen Penanggulangan Bencana Pada Setiap Tahap ............................................... 21
1. Perencanaan Bantuan dalam Tahap Darurat .................................................................... 21
2. Tahapan Rehabilitasi ........................................................................................................ 22
3. Tahapan Konstruksi ........................................................................................................... 23
4. Tahapan Pembangunan .................................................................................................... 24
2.7 Mengatasi Dampak Negatif Psikologis Pada Korban Bencana .......................................... 25
BAB 3 ................................................................................................................................................ 27
PENUTUPAN ..................................................................................................................................... 27
3.1 Kesimpulan ....................................................................................................................... 27

ii
3.2 Saran ................................................................................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................. 29

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bencana alam merupakan fenomena atau kejadian yang tidak dapat dihindari, dari
tahun ke tahun kejadiannya dapat meningkat dengan pesat. Bencana alam sendiri dapat
terjadi karena proses alami atau akibat adanya aktivitas manusia yang sering merusak
alam. Negara kepulauan Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap kejadian
bencana alam, salah satunya rawan terjadinya bencana alam banjir. Banjir adalah suatu
kejadian saat air menggenangi daerah yang biasanya tidak digenangi air dalam selang
waktu tertentu. Bencana banjir merupakan bencana yang paling sering terjadi di
Indonesia yang menelan korban jiwa banyak. Di Indonesia, khususnya Pulau Jawa,
sebab terjadinya banjir masih didominasi oleh adanya curah hujan yang tinggi, sehingga
berakibat air sungai meluap dan menggenangi daerah disekitarnya. Oleh karena itu perlu
dikaji lagi dan diberikan edukasi kepada masyarakat terhadap pentingnya mengenali
tentang bencana alam itu sendiri.

1.2 Rumusan masalah


Dalam rumusan masalah ini juga dapat mempermudah kinerja penulisan dalam
mencari atau menjawab permasalahan yang ada dalam makalah yang berjudul Bencana
Alam.
1. Apa pengertian dari Bencana Alam itu sendiri?
2. Seperi apa pandangan masyarakat mengenai Bencana Alam?
3. Seberapa pengaruh bencana terhadap kondisi psikologis pada korban?
4. Bagaimana dalam mengenali kondisi psikologis korban bencan alam?
5. Tekanan apa yang timbul di pengungsian?
6. Bagaiamana dalam penganggulangan bencana?
7. Seperti apa dalam mengatasi dampak negatif psikologis korban bencana?

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan makalah ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Menambah wawasan terkait bencana alam
2. Mengetahui seberapa bahayanya psikologis pada korban bencana
3. Dan sebagai salah satu referensi dan literatur terkait Psikologi Lingkungan

1
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Bencana (Definition Of Disaster)


Perubahan yang cukup besar telah terjadi dalam berteori tentang karakteristik bahaya
dan bencana selama beberapa dekade terakhir. Perubahan tersebut mempengaruhi
penelitian yang telah dilakukan dan pengetahuan yang telah terkumpul; mereka punya
keputusan kebijakan yang diarahkan ulang di semua tingkatan.
Sampai saat ini, kebanyakan orang pada umumnya setuju dengan definisi awal
tentang bencana yang dikembangkan oleh Charles Fritz (1961) lebih dari 40 tahun yang
lalu. Dengan menggunakan sudut pandang fungsionalis, dia mendefinisikan bencana
sebagai:

Suatu peristiwa, terkonsentrasi dalam ruang dan waktu, di mana masyarakat, atau bagian
yang relatif mandiri masyarakat, mengalami bahaya yang parah dan menimbulkan seperti
itu kerugian bagi anggotanya dan perlengkapan fisiknya bahwa struktur sosial terganggu
dan pemenuhan semua atau beberapa fungsi esensial dari masyarakat dicegah. (hal. 655)

Dalam iklim sosial dan politik saat ini, berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud
dengan bencana. Faktanya, seluruh buku dan masalah jurnal telah didedikasikan untuk
mengeksplorasi lebih jauh konsep bencana (lih. “Apa itu bencana?” Jurnal Internasional
Mass Darurat dan Bencana, 1995; Quarantelli, 1998). Teori saat ini didasarkan pada
orientasi yang beragam, misalnya, konstruksionisme sosial, postmodernisme, dan teori
berbasis konflik dan ekonomi politik. Kreps (1995) mengambil pendirian bahwa posisi
Fritz harus dipertahankan dengan modifikasi bahwa bencana adalah konstruksi sosial;
pada dasarnya, bencana tidak ada dalam dan dari dirinya sendiri tetapi merupakan produk
dari bagaimana orang setuju untuk mendefinisikannya. Hewitt (1995) mengkritik
pendekatan arus utama yang berfokus pada karakteristik fisik bencana karena cenderung
menempatkan sumber bencana di luar masyarakat daripada di dalamnya. Porfiriev (1995)
mendefinisikan bencana sebagai pelanggaran rutinitas kehidupan sosial sedemikian rupa
sehingga diperlukan tindakan luar biasa untuk kelangsungan hidup. Deskripsi lain
mencirikan bencana alam sebagai kejadian yang jarang terjadi, tidak terduga, dan
traumatis yang mengancam kesejahteraan masyarakat dan meluap-luap untuk mengatasi
sumber daya individu dan komuniti McCaughey, & Fullerton, 1994).

2
Meskipun ada perbedaan pendapat, elemen umum yang dapat dideteksi di hampir
semua definisi adalah bahwa bencana dan kerugian yang ditimbulkannya merupakan
konsekuensi dari interaksi antara lingkungan alam, sosial, dan binaan dan diprakarsai oleh
beberapa peristiwa ekstrim di alam. Dunia alami. Selain itu, ada satu hal yang sangat
jelas: Dunia semakin rentan terhadap bencana alam. Dengan bertambahnya populasi
manusia dan semakin banyak orang yang bermigrasi ke daerah-daerah yang rawan bahaya
seperti garis pantai, biaya manusia dan ekonomi dari bencana alam semakin mencapai
proporsi bencana. Rata-rata, bencana alam merenggut nyawa lebih dari 84.000 orang
setiap tahun dari 1973 hingga 1997, dan lebih dari 140 juta orang terkena dampak yang
signifikan (Federasi Internasional Masyarakat Palang Merah dan Bulan Sabit Merah,
1999). Ada juga peningkatan dramatis kerugian ekonomi akibat bencana alam selama 50
tahun terakhir (lihat Gambar 33.1). Di Amerika Serikat saja, diperkirakan $ 500 milyar
kerugian akibat bencana alam selama periode 1975 sampai 1994 (Mileti, 1999).

2.2 Pemahaman Tentang Bencana Alam


Indonesia yang memiliki berbagai sumber daya alam, dan pemandangan indah, tetapi
merupakan wilayah yang rawan bencana. Wilayah Indonesia kaya dengan energi panas
bumi, tetapi panas bumi ada yang terkait dengan keberadaan gunung berapi. Demikian
pula dengan lempengan-lempengan bumi yang melingkari wilayah Indonesia. Kondisi
bumi yang demikian, menyebabkan wilayah Indonesia sangat rawan terhadap bencana.
Oleh karena itu, kondisi rawan bencana harus diantisipasi oleh masyarakat Indonesia,
bagaimana seharusnya memberikan reaksi apabila terjadi bencana alam.
Bencana alam adalah bencana yang dikarenakan oleh suatu kekuatan alam dan
peristiwanya tidak dapat dikontrol oleh manusia. Bahkan manusia kadang-kadang tidak
dapat melakukan prediksi kapan bencana alam itu akan terjadi di lingkungan tempat ia
tinggal. Kedatangan bencana alam sering tiba-tiba dan manusia tidak dapat melakukan
pencegahan, serta mengelak. Walaupun ada beberapa jenis bencana alam yang dapat
diketahui melalui kemajuan teknologi, seperti misalnya satelit cuaca yang mendeteksi
akan terjadi badai, tinggi gelombang air laut, dan perkiraan ada tidaknya tsunami. Namun
demikian, walaupun ada beberapa bencana alam yang dapat dideteksi oleh kemajuan
teknologi, tetapi korban manusia tetap terjadi ketika bencana alam tersebut muncul di
daerahnya.

3
Bencana alam yang terjadi sudah barang tentu akan berpengaruh pada kehidupan
manusia. Berbagai jenis bencana alam yang sering melanda di Indonesia seperti gempa
bumi, gunung meletus, banjir, tanah longsor, tsunami, dan angin puting beliung.

1. Gempa Bumi
Bermacam-macam jenis bencana alam tersebut perlu dikenali oleh manusia
Indonesia yang sering mengalami bencana. Gempa bumi merupakan bencana yang unik,
karena besaran gempanya bervariasi. Gempa bumi yang merupakan suatu peristiwa
bergetarnya bumi dan adanya pergerakan lempeng-lempeng tektoknik. Energi yang
dihasilkan dari pergerakan tersebut akan dipancarkan ke segala arah lempengan tersebut
bertemu pada suatu sesar, maka dapat terjadi suatu gempa. Melihat pada gambar 3,
Indonesia dikelilingi oleh lempengan-lempengan Indo- Australia, Pasific, dan Eurasia. Di
mana lempeng Indo-Australia bergerak ke utara, dan menyusup ke lempeng Eurasia,
sedangkan lempeng Pasific ke arah barat. Dengan kondisi tersebut, maka daerah di
Indonesia adalah rawan gempa, kecuali Pulau Kalimantan. Apabila pertemuan
antarlempeng tersebut terjadi di laut yang dangkal, maka akan terjadi gempa yang disertai
dengan Tsunami. Oleh karena itu, daerah Indonesia rawan untuk terjadi Tsunami, seperti
yang terjadi di Aceh, Padang, Pangandaran, Manado, dan Papua. Di sisi lain, gempa bumi
di Indonesia hampir setiap hari terjadi, walaupun dengan kisaran 5 Skala Richter. Namun
hal ini tidak menimbulkan kerusakan yang serius. Walaupun ketika terjadi pergeseran di
sesar Lembang dengan gempa yang relatif kecil, yaitu sekitar 3 Skala Richter, terdapat
kerusakan pada rumah penduduk.
Selain lempengan-lempengan yang mengelilingi Indonesia, wilayah Indonesia pun
dikelilingi oleh gunung berapi yang aktif. Dengan banyaknya gunung berapi yang terdapat
di Indonesia, maka wilayah Indonesia rawan terjadinya gunung meletus. Gunung meletus
tersebut akan mengakibatkan getaran pada bumi. Bahaya yang disebabkan oleh adanya
gunung meletus, tidak hanya awan panas, material gunung yang terlontar keluar gunung
(seperti batu besar), abu vulkanik, juga getaran bumi. Seperti ledakan Gunung Merapi,
Gunung Krakatau pada abad 18, dan kegiatan yang meningkat pada Gunung Anak
Krakatau, Gunung Sindoro, Gunung Gamalama di Ternat, dan sebagainya. Bila dilihat,
peristiwa yang terjadi pada akhir-akhir ini cukup banyak gunung berapi yang meletus,
seperti misalnya Gunung Soputan di Sulawesi Utara, Gunung Gamalama di Ternate,
Gunung Anak Krakatau, dan Gunung Sindoro yang sedang meningkat aktivitasnya.

4
Bagaimanakah gambaran tentang bahaya gunung berapi yang melingkari Indonesia (ring
of fire).
Berdasarkan uraran di atas tampak bahwa akibat adanya gempa bumi yang hampir
setiap hari terjadi di Indonesia dapat bervariasi. Oleh karena itu perlu diketahui beberapa
hal ketika terjadi gempa bumi, seperti lokasi terjadinya gempa (episenter), kekuatan
gempa (magnitude), dan kedalaman pusat gempa bumi. Parameter tersebut dapat
digunakan untuk menganalisis gempa bumi dan akibatnya. Untuk mengurangi akibat
bencana gempa bumi, maka masyarakat harus dapat melakukan antisipasi terjadinya
gempa. Hal ini dikarenakan interaksi antara manusia dengan lingkungan alamnya yang
berpotensi menimbulkan bencana.
Gempa bumi acap kali berlangsung dalam waktu yang singkat, tetapi akibat dari
gempa bumi tersebut dapat merusak. Peristiwa yang kejadiannya tidak diduga oleh
manusia, dapat menimbulkan berbagai akibat psikologis, seperti misalnya stres,
kecemasan, perasaan sedih, dan sebagainya. Sebagaimana diketahui, bahwa terjadinya
gempa bumi masih sulit diprediksi. Kecemasan yang terjadi pada korban yang bertahan
hidup adalah adanya kekhawatiran akan terjadinya gempa susulan. Walaupun gempa
susulan tersebut pada umumnya lebih kecil kekuatannya. Tetapi hal ini akan memengaruhi
pada kondisi psikologis para korban. Akibat dari gempa ini dapat dilihat pada gambar 5
berikut ini.
Apabila dilihat akibat dari gempa bumi pada gambar 5 di atas, maka dapat diduga
bahwa gempa bumi tersebut berkekuatan besar. Di dalam hal membangun suatu bangunan,
perlu diperhatikan kondisi fisik tanah yang akan dibangun. Selain itu, perlu diperhatikan
pembuatan fondasi dan bangunan yang tahan gempa. Namun demikian, manusia perlu
dipersiapkan dalam menghadapi gempa bumi tersebut. Perlu adanya masyarakat yang
memiliki risiliensi yang baik dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Oleh karena itu,
masyarakat perlu mendapatkan suatu pelatihan dan disiapkan bagi masyarakat yang
tinggal di daerah rawan gempa bumi.

2. Tsunami
Tsunami yang terjadi di Lautan Hindia, dan melanda sebagian besar Provinsi Aceh,
merupakan peristiwa bencana alam besar. Peristiwa tanggal 26 Desember 2004 tersebut
banyak menelan korban manusia dan harta. Pada peristiwa bencana Tsunami tersebut
diawali dengan terjadinya gempa bumi dengan guncangan yang kuat sekitar 9,3 skala
Richter (Murata, dan kawan kawan dalam Tsunami, Hal. 13) dan kedalamannya 30 km di

5
Laut Hindia. Gelombang Tsunami tersebut mengenai Aceh (Pulau Sumatra, Indonesia),
Thailand, dan Sri Lanka. Di kota Banda Aceh. ketinggian gelombang Tsunami mencapai
12 meter.
Gempa bumi yang menyebabkan gelombang Tsunamı adalah dikarenakan adanya
subduksi lempeng Indo-Australia ke bawah lempeng Euroasia. Benturan yang besar
menghasilkan gempa yang besar pula, yaitu dengan besaran 9,3 skala Richter. Tsunami di
Aceh tersebut adalah nomor 4 (empat) terbesar yang pernah teriadi sejak tahun 1900.
Bencana alam Tsunami akan merambat atau menyebar luas, tergantung pada besaran
gempanya. Namun demikian, antara terjadinya gempa dengan gelombang Tsunami perlu
diperhatikan lokasi pusat gempanya. Seperti yang terjadi di Banda Aceh, maka waktu
munculnya gelombang Tsunami adalah kurang dari 20 menit. Hal ini dikarenakan pusat
gempa diperkirakan berjarak 10 km utara- timur dari Pulau Simeuleu. Gelombang air
Tsunami yang terjadi di daerah pantai barat dapat mencapai 10-20 meter, sedangkan di
bagian utara Pulau Sumatra mencapai ketinggian 4-8 meter. Jangkauan gelombang
Tsunami yang terjadi di Aceh tersebut mencapai 1.000 km, Phuket (Thailand) gelombang
Tsunami mencapai 4-6 meter, dan di Sri Lanka dapat mencapai 5-10 meter ketinggian
gelombang Tsunami. Dengan kondisi tersebut, maka bencana Tsunami di Aceh tersebut
adalah bencana yang besar.
Bagaimanakah kemungkinan terjadinya Tsunami di suatu daerah, maka perlu
diperhatikan beberapa hal, yaitu: 1) besarnya skala gempa bumi yang terjadi di laut, dan 2)
jarak dengan pusat gempa, 3) kedalaman pusat gempa di laut. Apabila gempa bumi
berkekuatan minimal sebesar 7 skala Richter, dan kedalaman pusat gempa di bawah 30
km, maka daerah yang dekat pusat gempa di tepi pantai dapat diperkirakan akan terjadi
Tsunami. Dugaan terjadinya Tsunami tersebut adalah sebagai perkiraan bagi orang-orang
yang berada di dekat pantai terjadinya gempa harus segera menyelamatkan diri. Perlu
diketahui peringatan Tsunami yang akan terjadi seperti yang diungkapkan pada Tabel 11
berikut ini.

Tipe Perkiraan Tipe Pengumuman Tinggi Tsunami

(Dalam Meter)

Sinyal Tsunami Tsunami diduga dengan maksimum 0,5 m


tinggi air 0,5 meter, Perlu

6
diperhatikan

Peringatan Tsunami Tsunami diduga dengan tinggi 1 atau 2 m


maksimum air 2 meter, sangat perlu
diperhatikan

Peringatan Tsunami Tsunami diduga dengan tinggi 3, 4, 6, 8, 10, atau lebih


Besar maksimum air 3 meter atau lebih, tinggi
sangat perlu diperhatikan

Peringatan akan terjadinya Tsunami besar, dengan indikator adanya gempa di atas 7
Skala Richter, dan terjadi di laut dengan kedalaman kurang dari 30 km, maka diduga akan
terjadi Tsunami. Peringatan akan terjadi Tsunami tersebut dikategorikan pada peringatan
Tsunami besar, atau minimal diberikan peringatan Tsunami. Setelah terjadi Tsunami besar
di Aceh, pemerintah Republik Indonesia akan memberikan peringatan melalui televisi,
dan sirene di lokasi bencana. Dengan demikian, masyarakat agar segera menyelamatkan
diri. Tsunami besar akan menimbulkan gelombang 3 hingga 10 meter atau bahkan lebih
seperti ketika terjadi di Aceh.
Gelombang Tsunami yang sangat besar ketika terjadi pada tanggal 26 Desember
2004, di Aceh. Sebuah kapal Pembangkit Listrik yang sedang berlabuh, terbawa oleh
ombak yang besar, hingga masuk ke dalam kota Banda Aceh sejauh kurang lebih 3 km.
Besarnya kapal tersebut yang terbawa oleh arus atau gelombang Tsunami akan merusak
berbagai bangunan yang dilewatinya, dan pada akhirnya terdampar. Hal ini dapat dilihat
pada gambar 6. Kapal yang terdampar di tengah kota Banda Aceh tersebut, saat ini
dijadikan museum Tsunami. Pengunjung museum tersebut dapat mengetahui, bahwa telah
terjadi Tsunami yang dahsyat melanda kota Banda Aceh.
Besarnya gelombang arus Tsunami, menyebabkan terjadinya berbagai kerusakan.
Terdapat berbagai bangunan yang hancur dan hanyut terbawa arus gelombang Tsunami,
Namun demikian, ada pula yang masih tegak bangunannya, walaupun ada kerusakan.
Kerusakan bangunan sudah barang tentu sangat dipengaruhi oleh konstruksi bangunan
tersebut. Hal ini dapat dilihat pula pada gambar 7, yang memperlihatkan masih tegaknya
sebuah masjid. Masjid Baiturrahim di Ulee Lheue terlihat rusak di sebagian bagian atap,
dan tembok. Tetapi bangunan utama masjid tersebut masih terlihat utuh. Masih berdirinya

7
masjid tersebut diperkirakan oleh karena di masjid pada umumnya banyak pintu besar
yang menghubungkan dengan luar masjid. Dengan demikian, arus Tsunami yang kuat
tidak tertahan oleh tembok besar, sehingga bila ada banyak pintu di masjid, maka arus
dapat lebih mudah keluar melalui pintu masjid yang banyak dan tidak terhalang.
Selain kerusakan bangunan, banyak korban jiwa saat gelombang Tsunami terjadi. Di
Aceh terdata jumlah yang hilang dan meninggal akibat Tsunami adalah sebesar 256.000
jiwa. Jumlah korban meninggal dan yang hilang di Sri Lanka berkisar 38.000 orang, di
India sebesar 10.750 orang, dan di Thailand sebanyak 5.400 orang (Sumber: Murata, dan
kawan kawan, hal. 17). Data tersebut menunjukkan bahwa betapa besarnya dampak
Tsunami terhadap manusia, sehingga bagi anggota keluarga yang masih dapat bertahan
akibat Tsunami tersebut, akan merasakan sebagai suatu kehilangan yang amat besar.
Sudah barang tentu masalah ini menjadi masalah psikoloogis bagi korban yang masih
hidup.
Hancurnya berbagai bangunan, termasuk fasilitas kerja, usaha, dan pendidikan,
merupakan masalah tersendiri bagi penduduk yang tertimpa bencana Tsunami. Setelah
terjadinya Tsunami yang bsar di Aceh, banyak kegiatan yang terhenti, karena tidak
memiliki bangunan lagi untuk tempat tinggal, kerja, usaha dan sekolah. Anggota
masyarakat banyak yang menggunakan tempat pengungsian untuk melakukan
kegiatannya. Banyak anak-anak sekolah yang melangsungkan pendidikannya di tenda-
tenda darurat. Pengajar di tenda darurat pun belum tentu gurunya sendiri, mungkin
diberikan pengajaran oleh relawan. Dengan demikian, dengan adanya bencana Tsunami
tersebut, banyak kondisi yang harus segera diatasi atau diperbaiki. Dalam peristiwa
Tsunami di bulan Desember 2004 tersebut, banyak anak-anak yang sekolah di tenda
pengungsian, seperti tampak dalam gambar 8 berikut ini.
Bercampurnya murid-murid sekolah dasar dari berbagai kelas pada satu tenda
pengungsian, maka proses belajarnya menjadi terganggu. Ketidaknyamanan anak-anak di
dalam mengikuti pendidikan akan berpengaruh pada hasil pendidikan tersebut. Selain itu,
anak-anak tersebut masih banyak yang mengalami stres akibat Tsunami. Oleh karena itu,
banyak masalah yang diakibatkan oleh adanya bencana Tsunami tersebut.

3. Banjir dan Longsor


Bencana alam lainnya yang sering melanda di wilayah Indonesia adalah banjir dan
longsor, Longsor yang terjadi lebih banyak disebabkan oleh hutan-hutan yang ditebangi
oleh manusia, sehingga tanah tidak dapat menyerap dan menahan air hujan dengan baik.

8
Musim hujan merupakan ancaman bencana alam yang akan melanda di berbagai wilayah.
Oleh karena itu, masyarakat perlu bersiap diri menghadapi bencana banjir dan longsor
tersebut.
Badai La Nina yang datang dari Samudra Pasifik, dapat menyebabkan curah hujan
meningkat tinggi. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, (BMKG), telah
memberikan peringatan mengenai puncak musim di Indonesia adalah bulan Desember
2011 dan Januari 2012 (BMKG, Media Indonesia 4 Desember 2011). Akibat potensi hujan
yang tinggi tersebut, dapat menyebabkan bencana banjir. BMKG memperingatkan bahwa
dengan curah hujan yang tinggi akan mengancam 21 wilayah di Indonesia dapat
mengalami banjir. Adapun wilayah yang terancam banjir tersebut adalah: Nangro Aceh
Darussalam, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Sumatra bagian Selatan, Bengkulu,
Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi
Selatan, Bali, NTB, NTT, Maluku, dan Papua.
Peringatan dini yang ditujukan pada daerah-daerah tersebut sebaiknya segera
mempersiapkan diri agar wilayahnya tidak mendapatkan dampak banjir yang paling besar.
Daerah-daerah tersebut di atas, terdapat daerah yang hampir setiap tahun mengalami
banjir tahunan. Namun demikian, daerah tersebut selalu kurang siap dalam menghadapi
banjir, sehingga banjir terulang setiap tahun. Mengapakah banjir selalu menjadi masalah
besar bagi daerah-daerah yang kerap tertimpa banjir?
Penyebab banjir tersebut dapat dikategorikan ke dalam 3 (tiga) faktor, yaitu faktor
alam, faktor lingkungan buatan, dan faktor tingkah laku manusia. Faktor alam yang
menyebabkan banjir adalah dikarenakan curah hujan yang tinggi di suatu daerah, atau hulu
sungai, sehingga debit air yang tinggi di sungai melimpah ke daratan. Kondisi sungai yang
ada sekarang diperparah oleh adanya pendangkalan sungai. Erosi tanah sepanjang sungai
yang tergerus menyebabkan sungai menjadi dangkal.
Faktor lingkungan buatan adalah saluran air yang kurang dalam pembuatannya, dan
kemiringan saluran yang kurang baik. Selain saluran pembuangan yang dangkal, sistem
jaringan pembuangannya kurang tertata dengan baik. Hal ini disebabkan oleh perencanaan
lingkungan yang kurang baik. Contoh yang dapat dijumpai adalah pembangunan suatu
permukiman baru, tidak pernah melihat pada saluran air buangan yang ada, sehingga
penumpukan air buangan yang terdapat di berbagai permukiman dapat terjadi. Hal ini
dimungkinkan oleh karena perencanaan cetak biru tidak dilaksanakan dengan baik.

9
Perubahan tata guna lahan dapat terjadi tanpa meninjau pada perencanaan awalnya,
sehingga buangan air limbahnya kurang diperhitungkan dengan baik.
Apabila membandingkan dengan Negara Belanda, ada beberapa daerah yang berada
di bawah permukaan laut. Namun demikian, kota Amsterdam tidak banjir. Hal ini
disebabkan adanya kanal-kanal yang dibangun di kota Amsterdam, sehingga dengan
sistem bejana berhubungan digunakan untuk mengatur permukaan air di kota tersebut.
Bahkan kanal- kanal tersebut dapat digunakan sebagai sarana wisata untuk berkeliling
kota Amsterdam. Lingkungan buatan tersebut dapat digunakan untuk mengatasi masalah
banjir.
Faktor tingkah laku manusia adalah merupakan faktor penyebab banjir yang sangat
memprihatinkan. Hal ini berarti bahwa tingkah laku manusia yang tidak peduli atau
kurang memerhatikan orang lain. Tingkah laku seenaknya dari manusia dan masyarakat
ketika membuang sampah, tidak pernah memikirkan akibatnya untuk orang lain. Mereka
hanya berpikir untuk dirinya saja, yaitu lingkungannya bersih dari sampah, dan mereka
membuang sampah tidak pada tempatnya.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu tentang tingkah laku membuang
sampah pada masyarakat yang tinggal di tepian sungai, di salah satu kota di Jawa Barat
(tahun 2011). Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa mereka tahu cara- cara
membuang sampah yang seharusnya (tahu memilah sampah organik dan sampah
anorganik) dan pada tempatnya, tetapi mereka kurang memiliki tanggung jawab personal.
Demikian pula tidak adanya kontrol sosial dari lingkungan masyarakat yang membiarkan
anggota masyarakat membuang sampah di sungai. Tidak adanya dukungan sosial dari
masyarakat untuk tidak membuang sampah di sungai lebih memperkuat anggota
masyarakat untuk tetap bertingkah laku membuang sampah seenaknya. Dengan demikian,
tingkah laku membuang sampah di sungai tetap terjadi. Sebagai akibat dari cara
membuang sampah yang keliru, yaitu membuang sampah di sungai, maka terjadi
penumpukan sampah di sungai tersebut. Sebagai akibatnya, sumbatan sampah tersebut
menimbulkan banjir di daerah hilir.
Kondisi masyarakat yang kurang peduli pada lingkungan adalah memprihatinkan.
Masyarakat yang kurang memiliki kesadaran pada ingkungan, (termasuk lingkungan
sosial), maka dinamika yang terjadi di masyarakat adalah kurang adanya keeratan
(cohessiveness) di antara anggota masyarakat. Keadaan demikian mengindikasikan bahwa
masyarakat tersebut kurang menunjukkan adanya dukungan sosial di antara masyarakat.
Sebagai akibatnya, masyarakat tersebut sangatlah rentan ketika menghadapi bencana yang

10
menimpa dirinya. Atau dengan perkataan lain, pada masyarakat tersebut tidak memiliki
kelenturan (resilience) dalam menghadapi bencana.
Longsor merupakan salah satu bencana yang kerap melanda di Indonesia. Faktor
penyebab terjadinya longsor lebih banyak disebabkan oleh tingkah laku manusia. Manusia
melakukan penebangan pohon- pohon kayu, baik di hutan maupun di kebun milik
masyarakat. Sebagai akibat penebangan pohon kayu tersebut, maka tanah kehilangan
penahan ketika hujan lebat besar datang. Permukaan tanah terbawa oleh arus air hujan.
Sedikit demi sedikit tanah akan terbawa oleh hujan, dan pada tanah yang berbukit, maka
peristiwa longsor pun dapat terjadi.
Penambangan pasir, ataupun batu kapur dan sebagainya menyebabkan tanah-tanah di
daerah penambangan menjadi berlubang dan rusak. Penduduk hidup dan galian tambang
tersebut tidak memikirkan keselamatan diri dan lingkungannya. Bahkan ada pula usaha
penambangan ini yang menggunakan pihak penanam modal. Dengan demikian, gunung
yang semula tinggi, dengan adanya usaha penambangan tersebut menjadi rendah. Kondisi
penambangan yang tidak dilakukan dengan baik, akan memunculkan potensi longsor.
Selain kondisi di atas, penyebab longsor lainnya adalah adanya pengambilan air
tanah secara besar-besaran. Air tanah ini disedot ke atas bumi untuk keperluan industri
dan perumahan. Sebagai akibat penyedotan air tanah yang berlebihan tersebut
menyebabkan adanya rongga rongga di bawah tanah. Di beberapa daerah yang mengalami
penyedotan air tanah secara berlebihan menyebabkan penurunan permukaan tanah.
Kondisi ini dirasakan oleh masyarakat di Jakarta, Cimahi, dan sebagainya. Dengan adanya
penurunan permukaan tanah tersebut banyak rumah yang mengalami retak-retak
dindingnya, bahkan ada bangunan yang hancur. Apakah daerah yang telah mengalami
penurunan permukaan tanah setiap tahunnya dapat menjadi daerah permukiman yang
layak huni? Bahkan di Jakarta terjadi penurunan permukaan tanah yang akhirnya
permukaan tanah berada di bawah permukaan laut. Degan demikian, masuknya rob
ataupun batu kapur, dan sebagainya (masuknya air laut) ke daratan kota Jakarta, sehingga
banjir terjadi di daerah tepi laut Jakarta.

2.3 Persepsi Masyarakat Tentang Bencana Alam


Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa di Indonesia merupakan daerah
yang rawan bencana. Bahkan gempa bumi dengan besaran sekitar 5 skala Richter atau
kurang hampir setiap hari terjadi di bumi Indonesia. Masyarakat yang sudah sering
mengalami gempa ringan tersebut, sudah terbiasa dan reaksinya pun tidak lagi mengalami

11
kepanikan. Namun demikian, ketika terjadi bencana alam yang cukup besar, maka
berbagai persepsi muncul. Persepsi tersebut dapat dilakukan oleh korban bencana alam,
dan dari pihak lain yang tidak mengalaminya. Persepsi masyarakat tentang bencana alam
dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) kategori, yaitu:

1. Efek Krisis
Ketika suatu daerah mengalami bencana alam yang besar atau cukup desar, maka
perhatian semua pihak tertuju pada daerah bencana tersebut. Selama bencana alam
tersebut berlangsung perhatian berbagai pihak adalah besar. Adanya bencana besar yang
menimpa suatu daerah, maka persepsi dan reaksi yang terjadi adalah menolong membantu,
dan melihat. Berbagai pihak memberikan bantuan terhadap korban bencana, mulai
bantuan untuk pangan, minum, air bersih, tenda pengungsi, kesehatan, dan sebagainya.
Namun demikian, perhatian dan bantuan yang diberikan tersebut hanya berlangsung sesaat
saja, yaitu ketika daerah tersebut mengalami krisis. Tetapi setelah krisis dianggap telah
selesai, maka perhatian dan segala bantuan pun berlalu. Oleh karena itu, pemaknaan
tentang bencana terjadi ketika krisis terjadi.

2. Efek Bendungan
Masyarakat sering kali mempersepsi suatu lingkungan buatan yang tampak kokoh
adalah aman. Hal ini terjadi pula pada masyarakat yang tinggal di sekitar bendungan.
Masyarakat merasa senang tinggal di tepi bendungan karena ada pemandangan yang
berbeda dengan permukiman lain. Namun demikian, persepsi demikian tidak selamanya
benar, karena dam atau bendungan yang merupakan lingkungan buatan tidak dapat
diandalkan. Bencana dapat terjadi, yaitu ketika bendungan tersebut hancur, seperti yang
terjadi di Situ Gintung, dekat Jakarta. Lingkungan yang dipersepsi indah dan aman,
ternyata dapat membawa bencana penghuni di sekitar dam atau bendungan tersebut.

3. Adaptasi
Masyarakat yang sering mengalami gempa-gempa yang tidak terlampau besar,
mereka dapat melakukan adaptasi terhadap situasi tersebut. Demikian pula dengan nelayan
yang sudah terbiasa berlayar dengan kapalnya di laut. Nelayan beradaptasi dengan
gelombang sekitar 1 meter. Tetapi gelombang laut tersebut bagi orang yang tidak terbiasa,
akan dirasakan mengancam jiwanya dan mengalami ketakutan. Oleh karena itu, proses
adaptasi telah terjadi pada nelayan.

12
2.4 Dampak Bencana (Disaster Impacts)
Beberapa dampak bencana dapat segera dihitung, seperti kerugian dolar atau jumlah
kematian dan cedera. Dampak bencana lain yang lebih tidak langsung dan tidak mudah
dikuantifikasi lebih sulit diukur, seperti peningkatan tingkat stres atau hilangnya
kekompakan komunitas. Bagian berikut menjelaskan dampak bencana dalam hal
kematian, cedera, dan kerugian dolar; dampak psikologis; dan dampak ekonomi.

1. Kematian, Cedera, Dan Kerugian Dolar (Deaths, Injuries, And Dollar Losses)
Diperkirakan bahwa bencana alam menewaskan lebih dari 24.000 orang (sekitar 24
orang per minggu) dan melukai sedikitnya empat kali lebih banyak di Amerika Serikat dan
teritori antara 1 Januari 1975 dan 31 Desember 1994 (Mileti, 1999). Hampir 2 juta rumah
tangga per tahun (24,5 per 1.000) mengalami cedera atau kerusakan akibat bencana alam
termasuk banjir, badai, tornado, angin topan, gempa bumi, dan kebakaran (Rossi, Wright,
Weber-Burdin, & Pereira, 1983). Lebih lanjut, sekitar sepertujuh dari populasi
melaporkan merasa terancam oleh bahaya alam (Norris,1992). Dalam periode 1975
hingga 1994, kerugian dolar atas properti dan tanaman akibat bencana alam dan bencana
berkisar antara $ 230 miliar dan $ 1 triliun (Mileti, 1999). Perkiraan konservatif dari
kerugian dolar rata-rata aktual dari bencana alam dan bencana di negara dari tahun 1974
sampai 1994 adalah $ 500 milyar (Mileti, 1999).

2. Dampak Psikologis (Psychological Impacts)


Sekarang secara luas diakui bahwa bencana dapat menyebabkan tekanan emosional
dan trauma. Kesulitan ini sering terjadi menghasilkan efek jangka pendek dan jangka
panjang. Kebanyakan penelitian psikologis setelah bencana telah memiliki dampak
jangka pendek. Misalnya, Bland, O'Leary, Farinaro, Jossa, dan Trevisan (1996, hlm. 18)
menemukan bahwa dalam jangka pendek, bencana terkait dengan peningkatan prevalensi
psikiatri parah simtomatologi, PTSD, ansietas, depresi, somatik keluhan, dan mimpi
buruk. Sementara efek jangka panjang telah dipelajari kurang ekstensif, laporan
melakukannya menyarankan bahwa mungkin ada periode latensi, atau penurunan jika
timbul beberapa gejala, gejala bisa datang dan pergi, dan gejala psikiatri yang signifikan
dapat bertahan selama 14 tahun (Bland et al., 1996, p. 18). Meskipun ada sedikit
penelitian psikologis pendukung, sebagian besar program intervensi bencana telah
mengidentifikasi subkelompok populasi tertentu risiko tekanan emosional yang lebih besar
daripada yang lain. Paling yang sering diidentifikasi sebagai kelompok risiko khusus
adalah anak-anak, orang tua, orang miskin, mereka yang memiliki riwayat penyakit

13
sebelumnya cacat emosional, dan mereka yang terpinggirkan keberadaan sebelum
bencana.
Penelitian tentang gender menunjukkan hasil yang beragam. Beberapa peneliti telah
menemukan bahwa perempuan menunjukkan lebih banyak masalah kesehatan mental
jangka pendek setelah bencana, termasuk stres, depresi, gejala PTSD, dan kecemasan
(Fothergill, 1996). Studi lain menyatakan bahwa pria mengalami penurunan mental yang
lebih besar dan kesejahteraan fisik dan tingkatnya telah meningkat depresi dan
penyalahgunaan alkohol setelah bencana (Fothergill, 1996). Beberapa penelitian
menyimpulkan hal itu wanita mungkin bisa mengatasi bencana karena keterampilan
"fleksibilitas" dan "kemampuan beradaptasi" mereka dan karena pembagian peran
tradisional dalam keluarga inti lebih mempersiapkan perempuan untuk bencana (Clason,
1983). Klaim awal tapi masih umum adalah bahwa keduanya laki-laki dan wanita
menderita tekanan emosional, tetapi wanita melaporkan dan mengekspresikan jenis
psikologis lebih kesal daripada laki-laki (Moore & Friedsam, 1959).
Penelitian tentang ras dan etnis serta dampak psikologis bencana masih terbatas.
Pekerjaan yang telah dilakukan menemukan asosiasi penting. Aptekar (1990) melaporkan
bahwa kelas sosial dan ras berkontribusi pada reaksi psikologis yang berbeda terhadap
bencana. Dalam sebuah studi tentang stres dan relokasi bencana, J. L. Garrison (1985)
melaporkan korelasi antara status minoritas dan peningkatan tingkat stres. Dalam studi
lain tentang ketakutan yang terkait dengan gempa bumi, ditemukan bahwa Hispanik,
wanita, dan orang miskin melaporkan tingkat ketakutan tertinggi dari risiko bencana.
Shoaf (1998) melaporkan bahwa orang kulit hitam dan Latin menderita luka paling
emosional dalam survei yang dilakukan setelah gempa bumi Northridge. Dalam studi
lanjutan tentang bencana runtuhnya bendungan Buffalo Creek, 14 tahun setelah kejadian,
Green et al. (1990) menemukan bahwa lebih banyak orang kulit hitam yang menunda
gejala PTSD daripada orang kulit putih.
Status sosial ekonomi dapat mempengaruhi kerentanan emosional, namun sangat
sedikit penelitian yang dilakukan mengenai topik ini. Studi yang telah dilakukan secara
berlebihan menunjukkan bahwa korban yang berpenghasilan tinggi lebih sedikit
mengalami kerusakan psikologis daripada korban yang berpenghasilan rendah. Yang
penting, dampak psikologis bisa disebabkan oleh kemiskinan, bencana, atau kombinasi
keduanya. Namun, bagaimanapun kemiskinan menyebabkan kondisi psikologis, bencana
memperburuk keadaan. Kerusakan finansial dari bencana menciptakan tekanan mental (J.
L. Garrison, 1985). Setelah bencana, orang pada umumnya memiliki "beban hutang yang

14
meningkat," dan orang miskin lebih mungkin hancur secara finansial oleh bencana dan
relokasi berikutnya daripada orang kaya atau kelas menengah, sehingga meningkatkan
kemungkinan stres mental. Bolin (1993) menemukan bahwa korban berpenghasilan tinggi
melaporkan gejala stres yang lebih sedikit daripada korban berpenghasilan rendah.
Aptekar (1990) menyatakan bahwa kelas pekerja dirugikan oleh kerugian yang mereka
alami. Lebih jauh lagi, jika penduduk ini tahu bahwa mereka tidak akan mendapatkan
kompensasi atas kerugian mereka, mereka dikatakan cenderung tidak menyelesaikan
masalah psikologis. Studi lain menemukan bahwa orang yang lebih miskin dan mereka
yang memiliki keluarga besar lebih mungkin melaporkan masalah emosional setelah
bencana (Bolin & Bolton, 1986). Rossi dkk. (1983) setuju, menemukan bahwa responden
dengan pendapatan lebih tinggi melaporkan lebih sedikit perasaan depresi setelah bencana.
Usia juga mempengaruhi dampak, dengan kaum muda dan lansia menjadi yang
paling rentan (Bolin & Klenow, 1988). Misalnya, setelah Badai Hugo, anak-anak lebih
terpengaruh daripada orang dewasa, dengan anak perempuan lebih banyak terpengaruh
secara emosional, sementara anak laki-laki mengalami beberapa kesulitan perilaku, seperti
masalah perhatian (Shannon, Lonigan, Finch, & Taylor, 1994). Pada dasarnya, anak
perempuan tampaknya lebih menderita PTSD anak laki-laki bertindak lebih banyak dan
mengalami gangguan tidur yang meningkat. Penelitian lain dari Hugo menunjukkan
bahwa remaja perempuan mengomunikasikan PTSD yang lebih tinggi gejala
dibandingkan remaja laki-laki (C. Z. Garrison, Weinrich, Hardin, Weinrich, & Wang,
1993).
a. Pengaruh Bencana Terhadap Kondisi Psikologis Korban
Kondisi psikologis korban bencana alam yang selamat, pada umumnya akan
mengalami stres. Rasa takut yang amat sangat dialami oleh korban, karena mereka
merasa terancam jiwanya dari bencana. Mereka mengalami perasaan yang tidak
menentu, ketakutan, cemas, dan emosi yang tinggi, sehingga perasaan stres muncul.
Namun demikian, mereka jarang mengalami gangguan stres yang kronis. Tetapi
kondisi demikian, harus diatasi dengan segera. Apabila kondisi psikologis yang stres
tidak segera diatasi, maka lama kelamaan akan menimbulkan depresi, dan akan
mengarah pada gangguan psikiatris.
Beban psikologis akan semakin bertambah bagi korban bencana, apabila ia
mengalami kehilangan orang yang dicintai ketika bencana terjadi. Kondisi stres dapat
muncul pada korban bencana. Demikian pula dengan kehilangan rumahnya akan
menambah beban psikologisnya. Korban tersebut akan merasa kehilangan segalanya,

15
sehingga di dalam dirinya muncul suatu kehilangan harapan. Kondisi demikian perlu
segera ditangani agar korban dapat bangkit dari rasa keterpurukannya.
Pada korban yang dapat bertahan dari bencana besar, dia melihat bahwa banyak
orang yang dikenalnya menjadi korban, maka ia merasa kehilangan komunitasnya. Hal
ini dikarenakan komunitas di permukimannya sudah tidak utuh lagi. Bahkan ketika ia
diselamatkan oleh tim penyelamat, ia dapat mengalami disorientasi. Korban yang
selamat, ketika terselamatkan dia tidak tahu berada di mana, dan mengapa hingga
berada di tempat tersebut. Korban tidak mengenal lagi dengan lingkungannya. Dengan
berada di tempat pengungsian yang baru, ia mengalami kurang kontak sosial dengan
korban lainnya di tempat pengungsian. Di tempat pengungsian tersebut, dapat saja dia
tidak mengenal penghuni tenda tersebut karena berasal dari komunitas lain, sehingga
ia merasa sendiri. Kondisi demikian dapat terjadi, karena setelah terjadinya bencana,
masing-masing individu menyelamatkan diri sendiri, sehingga terpencar dari
komunitasnya.
b. Identifikasi Kondisi Psikologis Pada Korban Bencana
Korban bencana pada dasarnya tidak mengenal usia, sehingga semua usia
dimungkinkan menjadi korban bencana. Namun demikian, kita perlu mengenali
bagaimana kondisi-kondisi psikologis yang dialami oleh seseorang pada tahap
perkembangannya. Dengan demikian, bantuan psikologis yang diperlukan menjadi
jelas. Bantuan psikologis yang kurang tepat akan menambah parah kondisi psikologis
korban. Dengan gambaran identifikasi tersebut, akan diketahui kebutuhan korban.
1. Anak Usia Bawah Lima Tahun (Pra Sekolah)
Korban pada usia di bawah lima tahun (Balita), tentu belum memaham apa yang
telah terjadi dan menimpa dirinya. Namun demikian, ia dan merasakan ada sesuatu
yang terjadi di lingkungannya, dan mungkin dapat dirasakan menyakitkan atau sebagai
sesuatu yang menakutkan mengagetkan, dan sebagainya. Reaksi yang akan dilakukan
balita tersebut adalah menangis. Apabila balita dan orang tuanya selamat, maka ia
akan selalu menggenggam erat tangan orang tuanya. Tetapi apabila orang tuanya tidak
ada, atau termasuk korban yang meninggal maka ia akan berpegangan kepada orang
tua yang dikenalnya atau yang dapat memberikan rasa aman. Anak korban bencana ini
tidak mau ditinggal sendiri, dan akan sering menangis. Anak balita korban bencana
tersebut akan merasa takut di tempat gelap.
Ciri-ciri fisik pada anak balita korban bencana adalah akan mengalami sulit
makan, selera makannya seolah-olah hilang. Anak- anak balita korban bencana akan

16
mengalami sakit perut, gangguan pencernaannya. Bahkan anak-anak tersebut sering
mengalami mual dan muntah-muntah. Anak-anak yang mengalami masalah psikologis
yang relatif berat tersebut, dapat terganggu dalam berbicara. Anak- anak korban
bencana tersebut sering gagap dalam berbicara, atau tidak mau berbicara. Bahkan ciri-
ciri lain pada anak-anak korban bencana mengalami sulit tidur, dan ada yang
mengalami "tics". Tanda - tanda fisik tersebut merupakan indikasi bahwa anak - anak
korban bencana tersebut sedang mengalami masalah psikologis yang perlu
diperhatikan dengan serius.
Pada anak-anak yang menjadi korban bencana alam, secara emosi dapat
mengalami kecemasan dalam menialani kehidupannya. Bencana alam yang dialaminya
mempunyai kesan mendalam bagi anak, sehingga ia sering merasa takut dengan
lingkungan yang dirasakan kurang menyenangkan dirinya. Oleh karena itu, bagi anak-
anak tersebut perlu merasakan adanya perlindungan dari orang tua atau orang dewasa.
Dalam kondisi demikian, perasaan anak sangat peka, dia merasa mudah "tersinggung",
dan bahkan marah-marah. Dikarenakan sering merasa takut, peka, dan sedih, maka ia
sering menghindar dari lingkungan yang belum dikenalnya.
2. Anak Usia Sekolah (6-12 tahun)
Anak usia sekolah yang menjadi korban bencana dan mengalami masalah
psikologis, akan mengindikasikan di sekolahnya dengan penurunan prestasi
sekolahnya. Masalah psikologis yang dirasakan berat, seperti misalnya stres, anak
tersebut akan mengalami gangguan konsentrasi. Hal ini dikarenakan secara emosi, ia
belum dapat mengendalikan dengan baik, sehingga ia akan mudah marah. Bahkan
pada kondisi tertentu ia dapat bertingkah laku agresif terhadap teman- temannya.
Dengan kondisi emosi yang labil tersebut dapat berakibat pada penurunan prestasi
sekolahnya.
Kondisi psikologis yang menekan, dan emosi yang labil, akan menimbulkan pula
pada tingkah laku mu. Perkembangan "self esteem" pada anak-anak korban bencana
tersebut akan terganggu. Anak-anak tersebut akan merasa sebagai anak yang kurang
beruntung. Kondisi demikian sudah barang tentu kurang menguntungkan bagi
perkembangan anak di kemudian hari. Oleh karena itu, pada anak-anak korban
bencana perlu ditangani secara psikologis oleh psikolog. Hal ini dimaksudkan agar
anak dapat segera bangkit dari perasaan terpuruknya setelah ia selamat dari bencana
yang menimpa dirinya.

17
Gejala-gejala fisik yang ditunjukkan pada anak-anak korban bencana adalah
hilangnya nafsu makan. Anak-anak usia sekolah korban bencana tersebut sering
mengeluh pusing, dan sakit perut. Kondisi demikian, sudah barang tentu akan
menurunkan daya tahan tubuh anak-anak usia sekolah korban bencana, sehingga ia
rentan terkena penyakit. Rentannya kondisi kesehatan anak-anak korban bencana
tersebut akan lebih diperburuk dengan kondisi lingkungan pengungsian yang buruk
seperti misalnya sanitasi lingkungan. Kondisi fisik yang menurun, maka akan
mengganggu kehidupan sehari-hari. Bahkan apabila bencana tersebut sangat berarti
bagi dirinya, ia akan mengalami sulit tidur, dan sering mengalami mimpi buruk.
Berdasarkan uraian di atas, dan kondisi emosi yang tidak stabil, ia akan
mengalami perasaan malu dan kemudian menarik diri dari pergaulan dengan teman-
temannya. Bahkan pada kondisi psikologis yang kurang baik, ia akan menunjukkan
tingkah laku tidak mau sekolah. Hal ini sudah barang tentu akan merugikan
perkembangan anak dalam menghadapi masa depannya. Dengan kondisi psikologis
yang demikian, la membutuhkan bantuan psikolog anak agar ia dapat memperoleh
konsultasi psikologi. Dalam kondisi tertentu ia akan melakukan suatu tingkah laku
ingin membantu tim penyelamat para korban bencana. Tingkah laku demikian sudah
barang tentu akan dilakukan pada anak- anak korban bencana yang tidak menarik diri
dari lingkungannya.
3. Remaja Korban Bencana (12-21 tahun)
Pada remaja korban bencana yang mengalami masalah psikologis, di dalam bidang
pendidikan menunjukkan adanya penurunan prestasi di sekolah. Hal ini dimungkinkan
oleh karena permasalahan yang terkait dengan bencana yang dirasakan sebagai
permasalahan yang berat, krisis, ningga menjadikan ia mengalami stres. Bahkan
reaksi yang emosional oleh remaja korban bencana. Selain itu pula, fase remaja yang
ditandai dengan emosi yang bergejolak, maka dengan adanya bencana yang menimpa
dirinya, stabilitas emosinya semakin kurang baik. Ketika malam hari remaja korban
bencana dengan masalah psikologis yang akan merasakan sulit tidur, dan sering
melamun. Dengar demikian, dapat dipahami apabila prestasi sekolahnya menurun.
Kondisi demikian, sangatlah dibutuhkan penanganan psikologis dari psikolog.
Permasalahan psikologis berat yang dialami oleh remaja korban bencana, akan
berakibat pula pada menurunnya selera makan. Dengan menurunnya selera makan,
sebagai konsekuensinya akan berakibat pada daya tahan tubuh yang menurun pula.
Menurunnya daya tahan tubuh, maka ia akan menjadi rentan terhadap penyakit.

18
Indikasi lainnya yang terkait dengan selera makan, adalah ia merasa sakit perut.
Bahkan indikasi lain, ia menunjukkan gejala penyakit "nausea". Remaja tersebut
merasakan gejala sakit yang kompleks, seperti misalnya sakit perut, mual, pusing dan
muntah. Masalah psikologis ini dirasakan cukup berat bagi remaja tersebut, sehingga
ia merasa sulit tidur. Akibat bencana yang dialaminya akan terasa berat, apabila ada
orang yang dicintainya meninggal menjadi korban bencana tersebut, maka ia akan
semakin merasa sedih. Perasaan cemas akan terjadi bencana lagi (susulan) masih
menyertainya dalam kehidupan psikologisnya tersebut. Walaupun, mereka telah
mendapatkan tempat pengungsian, perasaan cemas tersebut tidak hilang begitu saja.
Hal ini dikarenakan situasi di pengungsian adalah baru bagi dirinya. Dengan demikian,
ia sangat peka secara emosi, sehingga mudah tersinggung. Oleh karena itu, perlu
adanya identifikasi permasalahan psikologis pada remaja.
4. Orang Dewasa Korban Bencana
Orang dewasa yang menjadı korban bencana, dapat mengalami masalah psikologis
yang cukup berat. Berat atau ringannya masalah psikologis yang dialaminya sangat
bergantung pada pengalaman yang dialami ketika bencana terjadi menimpa dirinya.
Apabila peristiwa bencana yang menimpa dirinya dan keluarga sangatlah berat, seperti
meninggalnya anggota keluarga atau kehilangan rumahnya, maka pengalaman ini
dirasakan berat oleh orang dewasa tersebut. Peristiwa ini dapat menyebabkan ia sulit
untuk konsentrasi dalam upaya menyelesaikan masalahnya. Dengan demikian, pada
orang dewasa yang mengalami masalah psikologis yang cukup berat tersebut perlu
mendapatkan bantuan dari tenaga profesi psikolog.
Orang dewasa korban bencana, seperti kasus yang selamat dari Tsunami, ia merasa
takut apabila mendengar suara air, sehingga apabila mau mandi ia minta ditemani.
Suara air dipersepsi oleh korban bencana tersebut sebagai hal yang menakutkan
dirinya. Bahkan pada kasus lain, seorang korban ketika sedang tidur terbawa arus
Tsunami, maka ia sulit untuk tidur telentang. la sering mengalami mimpi buruk ketika
tidur. Dengan permasalahan psikologis tersebut, para korban bencana pun mengalami
penurunan selera makan. bencana tersebut sering mengeluhkan pusing, dan sakit perut.
Oleh karena itu, pada orang dewasa korban bencana akan sangat rentan daya tahan
tubuhnya.

19
3. Dampak Ekonomi (Economic Impacts)
Secara umum, sebagian besar bencana mempengaruhi sebagian kecil komunitas, dan
akibatnya, komunitas tersebut secara keseluruhan cenderung bangkit kembali dengan
cepat dengan bentuk bantuan yang tersedia (Friesema, Capo-raso, Goldstein, Lineberry, &
McCleary, 1979). Ada bukti tambahan yang menunjukkan bahwa, meskipun bencana
dapat dikelola di sebagian besar peristiwa, sekitar 1 dari 10 peristiwa mengakibatkan
kerugian yang benar-benar bersifat katastropik (Burby et al., 1991, hal. 46). Namun,
masalah dampak ekonomi lebih rumit. Misalnya, pertanyaan kunci mengenai dampak
ekonomi tampaknya jika jenis dan besaran bencana tertentu diantisipasi dan direncanakan
dalam masyarakat: Jika demikian, bencana, ketika terjadi, tidak akan memiliki dampak
ekonomi jangka panjang, tetapi jika tidak, dampak ekonomi lokal yang lebih besar dapat
diharapkan (Yezer & Rubin, 1987). Selain itu, dampak ekonomi dapat sangat bervariasi
di berbagai subpopulasi dalam komunitas lokal, dan beberapa terpengaruh secara
proporsional lebih dari yang lain; bisnis kecil, misalnya, sangat rentan.

2.5 Stress di Pengungsian


Korban bencana alam pada umumnya segera mendapatkan bantuan berupa tempat
pengungsian. Namun demikian, para korban bencana telah mendapat tempat di
pengungsian, bukan berarti bahwa permasalahannya selesai. Permasalahan psikologis
yang baru di pengungsian akan muncul. Masalah psikologis yang muncul di tempat
pengungsian adalah stres akulturasi. Sebagaimana diketahui, di tempat pengungsian
terdiri dari banyak orang yang mungkin tidak dikenalnya. Korban bencana yang tidak
terbiasa bergaul dengan orang lain selain orang yang dikenalnya, maka kehidupan
berinteraksi di tenda pengungsian ataupun tempat pengungsian dapat menjadi stres
tersendiri.

Pengalaman STRESSOR STRESS


Akulturasi AKULTURASI
Banyak
Banyak Tinggi

Sedikit
Sedikit Rendah

Faktor Antara Yang Menghubungkan Akulturasi – Stress

20
 Bentuk Interaksi : Integrasi, Asimilasi, Separasi, Marjinalisasi
 Tahapan Akulturasi : Kontak, Konflik, Adaptasi
 Karakteristik Pengelompokan Akulturasi : Usia, Status, Dukungan Sosial
 Karakteristik Akulturasi Individual : Penilaian, Coping, Sikap, Kontak

Pada bagan ini semakin jelas bahwa orang-orang yang tidak terbiasa berinteraksi
dengan orang lain, maka mereka akan mengalami kesulitan sehingga terjadi stres
akultuasi. Sebagai contoh, orang-orang yang sudah lanjut usia, mereka tidak terbiasa
berinteraksi dengan orang-orang yang lebih muda. Demikian pula pada orang yang
merasa memiliki status sosial tinggi, akan sulit menerima kenyataan bahwa ia harus
berada di tempat pengungsian dan berinteraksi dengan orang dari status sosial yang lebih
rendah. Sebagai akibat dari berbagai kondisi yang tidak terbiasa, maka dapat
menimbulkan stres bagi dirinya. Oleh karena itu, penanganan bencana tidak sederhana.
Acap kali pihak-pihak yang menolong para korban bencana tidak memerhatikan
permasalahan psikologis, sehingga para penolong beranggapan apabila korban telah
mendapatkan tempat pengungsian, bantuan kesehatan, pakaian, sanitasi, makanan dan
minuman sudah dianggap selesai. Padahal kehidupan para korban belum normal dan
baik. Penanganan masalah bencana pada dasarnya memerlukan manajemen bencana
yang yang baik.

2.6 Manajemen Penanggulangan Bencana Pada Setiap Tahap


Setiap kali terjadi bencana, maka muncul berbagai masalah yang dihadapi, baik oleh
para korban bencana yang selamat, korban bencana yang meninggal, maupun para korban
kehilangan tempat tinggal, dan sebagainya. Peristiwa bencana yang baru terjadi akan
menyebabkan kekacauan di lingkungannya, sehingga untuk mengatasi berbagai masalah
pada tahapan darurat ini banyak hal yang harus dilakukan. Adapun yang perlu dilakukan
pada tahapan darurat ini adalah :
1. Perencanaan Bantuan dalam Tahap Darurat
a. Pada tahapan darurat ini perlu dilakukan berbagai perencanaan, yaitu perlu adanya
pemetaan mengenai lokasi bencana, tempat- tempat yang aman untuk evakuasi,
sumber air bersih, cara-cara mengevakuasi korban meninggal dan luka-luka.
Persiapan kantung jenazah, ambulans untuk yang luka, pos-pos tempat pengungsian
dan sanitasi di tempat pengungsian, dan sebagainya.

21
b. Pengorganisasian personel yang seharusnya terlibat. Pada tahap darurat ini, tenaga-
tenaga profesional yang diperlukan adalah: Tenaga kesehatan (antara lain
menangani korban luka-luka, identifikasi dan forensik jenazah); Tenaga konstruksi
sipil (antara lain untuk penyiapan tempat penampungan atau pengungsian,
pembuatan sanitasi air bersih, pembuangan air kotor, dan sebagainya); Militer
(antara lain untuk evakuasi jenazah, dapur umum, peralatan berat, transportasi
untuk mobilisasi tenaga atau personel, dan sebagainya); Psikolog pada tahap darurat
diperlukan sebagai pendengar yang baik bagi korban bencana; Tenaga
nonprofesional (antara lain untuk melakukan distribusi makanan, minuman, dan
pakaian, pencarian jenazah, dan sebagainya,).
c. Tindakan dilakukan oleh berbagai tim tersebut seharusnya sudah jelas tugas-
tugasnya. Dengan kejelasan tugas dan lokasi yang seharusnya dapat dilakukan,
maka para petugas tersebut dapat segera melakukan fungsinya untuk membantu
para korban. Dengan demikian, adanya Badan Nasional Penanggulangan Bencana
sudah terlatih untuk melakukan kegiatan pada tahap yang darurat tersebut.
d. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tingkat nasional dan daerah
merupakan badan yang dapat melakukan koordinasi dan pengawasan pelaksanaan
pada berbagai tahapan penanggulangan bencana.

2. Tahapan Rehabilitasi
Tahapan rehabilitasi tahap awal untuk memperbaiki keadaan lingkungan akibat
bencana. Korban-korban bencana yang mengalami luka, pada tahapan ini akan
menerima pengobatan dan perawatan yang mengarah pada penyembuhan. Pada tahap
rehabilitasiini, setiap tenaga profesional telah memiliki Standar Prosedur Operasional.
Pekerjaan psikologi pada tahap rehabilitasi semakin meningkat, bila dibandingkan
pada tahap darurat. Pada tahap darurat belum banyak yang bisa dilakukan oleh
psikolog, karena korban masih berorientasi pada diri sendiri, sehingga pada tahap
darurat hanya mendengarkan masalah-masalah psikologis yang dialaminya untuk
meredakan gangguan dalam diri.
Pada tahap rehabilitasi, psikolog perlu melakukan pendataan terlebih dahulu,
yaitu untuk menentukan kuat atau lemahnya masalah psikologis yang dilakukan oleh
korban bencana. Asesmen psikologi ini sangat penting, karena akan menentukan
bentuk intervensi psikologis yang akan dilakukan. Permainan yang sering dilakukan

22
oleh nonpsikolog, bukanlah intervensi psikologi. Tetapi dengan permainan tersebut
dapat meredahkan ketegangan dalam diri korban bencana.
Salah satu bentuk intervensi psikologis untuk korban hidup yang terkena bencana
dan mengalami masalah psikologis yang mendalam adalah dengan melakukan
"Cognitive Behavior Therapy" (CBT). Dengan menggunakan dasar-dasar teori
kognitif, maka dikembangkan upaya menangani korban pascabencana yaitu dengan
"Post Traumatic Stress Disorder" (PTSD). Inti dasar pengembangan CBT untuk
PTSD adalah bahwa pemikiran, perasaan dan perilaku adalah berhubungan. Dengan
dilakukan perubahan pada pemikiran, maka hal ini akan berpengaruh pada perasaan
dan perilakunya. Namun demikian, untuk dapat melakukan CBT perlu mendapatkan
pelatihan khusus mengenai CBT untuk PTSD.

3. Tahapan Konstruksi
Tahapan konstruksi pada aspek fisik, merupakan kegiatan pembangunan
permukiman rumah-rumah korban bencana yang mengalami kerusakan, atau hancur.
Pada fase ini tenaga profesional yang berkecimpung dalam perencanaan lingkungan
dan konstruksi bangunan sangat dibutuhkan. Daerah bencana yang mengalami
kerusakan berat, sudah barang tentu amat membutuhkan bantuan dari berbagai pihak.
Kerusakan lingkungan yang berat akan sulit apabila harus dibebankan kepada para
korban bencana. Para korban bencana belum dapat hidup dengan baik pada fase
konstruksi. Oleh karena itu, pihak Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat sudah
selayaknya membantu para korban bencana pada tahap konstruksi tersebut. Pada
tahap konstruksi ini dapat pula dilakukan perencanaan ulang tentang lingkungan yang
terkena bencana.
Pada tahap konstruksi ini, tidak hanya konstruksi fisik bangunan yang harus
dilakukan. Namun demikian, konstruksi sosial harus dilakukan pada tahapan ini.
Mengapakah pada tahapan ini perlu dilakukan konstruksi sosial? Pada tahap
sebelumnya, yaitu tahap rehabilitasi, para korban masih mengalami beban psikologis
yang berat. Sedangkan pada tahap konstruksi ini dapat diharapkan bahwa para korban
sudah mulai berkurangnya beban psikologis yang dialaminya. Dengan demikian,
Partisipasi korban dapat lebih diharapkan lebih besar untuk melakukan konstruksi
sosial.
Apakah yang dimaksud dengan konstruks sosial? Dalam peristiwa bencana
besar, kemungkinan ada anggota masyarakat yang meninggal. Dengan kondisi

23
tersebut, konstelasi masyarakat menjadi terganggu dalam kehidupan sehari-hari. Oleh
karena itu, konstruksi sosial merupakan mengonstruksikan kembali kehidupan
masyarakat sehingga para korban bencana tersebut dapat melakukan aktivitas sehari-
hari dengan baik. Setelah terjadi bencana yang menimpa daerah tersebut, jaringan
sosial para korban mengalami gangguan, kehidupan bertetangga mungkin berbeda,
lahan atau area mata pencaharian mengalami perubahan, konstelasi kemasyarakatan
yang mungkin berubah, dan sebagainya. Dengan demikian, pemikiran dan Partisipasi
masyarakat sangat dibutuhkan. Apabila masalah konstruksi sosial dilakukan pada
waktu yang kurang tepat, maka Partisipasi masyarakat akan menjadi tidak optimal.
Kurang optimalnya partisipasi masyarakat dalam interaksinya di konstruksi sosial
tersebut, maka memungkinkan akan mengalami masalah di kemudian hari.
Permasalahah konstruksi sosial masalah sederhana. Apabila bencana yang
menimpa sangat besar, sehingga menghancurkan lingkungan, seperti yang terjadi di
Aceh. Banyak rumah yang hancur dan korban manusia terjadi, sehingga perlu
dilakukan suatu proses perencanaan konstruksi sosial dengan baik. Setiap elemen
anggota masyarakat perlu ditanyai mengenai lokası perumahan, dan apabila
kondisinya berubah maka harus disepakati perubahannya. Demikian pula dengan
komunitasnya, yang mungkin baru, dengan siapakah mereka mau bertetangga, dan
apakah ada komunitas yang dia akan pilih, seperti suku bangsa, pekerjaan, atau usia,
dan sebagainya.

4. Tahapan Pembangunan
Tahapan pembangunan fisik adalah tahapan membangun kembali seluruh
lingkungan yang hancur. Pembangunan permukiman, infrastruktur, saluran air, listrik,
telepon, dan sebagainya. Pembangunan tersebut sangat dibutuhkan oleh korban
bencana. Namun demikian, bukan berarti selesainya pembangunan fisik, maka
permasalahan yang selesai, Pembangunan lain yang penting, adalah pembangunan
yang terkait dengan manusianya. Pembangunan dalam hal ini adalah mempersiapkan
manusia atau korban bencana untuk menghadapi masa depannya. Setelah mereka
beradaptasi dengan lingkungan dan komunitasnya yang baru, maka mereka perlu
memikirkan kehidupan di masa mendatang. Apakah mereka akan kembali pada
pekerjaannya yang lama, atau akan alih profesi, misalnya dari nelayan ke petani, dan
sebagainya. Perubahan profesi mungkin terjadi, karena korban bencana tersebut masih
merasa takut harus melaut lagi sebagai nelayan.

24
2.7 Mengatasi Dampak Negatif Psikologis Pada Korban Bencana
Bencana alam yang merupakan peristiwa yang tidak terduga kejadiannya, dan
Indonesia merupakan area yang rawan bencana alam. Peristiwa yang mendadak sudah
barang tentu tidak ada manusia yang siap menghadapinya. Atau bahkan dapat
mengendalikannya agar tidak terjadı bencana alam yang besar, seperti gempa bumi,
Tsunami, gunung meletus, angin topan, dan banjir yang mendadak. Selama ini setiap
peristiwa bencana di Indonesia selalu korban korban menunggal yang cukup banyak,
korban luka-luka, dan trauma yang mendalam. Mengapa harus terjadi demikian? Apakah
tidak mungkin dapat menekan jumlah korban?
Kemajuan teknologi dalam beberapa hal dapat memprediksi akan terjadinya
bencana, seperti angin topan, dan tinggi gelombang laut. Terjadinya gempa bumi dan
lokasinya, serta besarannya telah dapat dideteksi. Apabila sumber gempa terjadi di laut,
maka sudah dapat diprediksi akan terjadi gelombang Tsunami atau tidak. Demikian pula
dengan aktivitas gunung berapi, dapat dideteksi, dan dibuat prediksinya. BMKG sebagai
badan resmi yang dimiliki pemerintah, mengolah semua data yang terkait dengan bencana
dan memberikan peringatan. Tetapi korban manusia yang meninggal masih tetap terjadi.
Seperti misalnya peristiwa Gunung Merapi yang meletus.
Apabila melihat tingkah laku masyarakat, tampak bahwa adanya interaksi yang khas
antara manusia dengan lingkungannya. Pada kasus Gunung Merapi di Yogyakarta,
tampak ada suatu keyakinan yang sulit diubah, seperti Mbah Marijan dan ada pula
pengikutnya. Walaupun sudah diberitahu akan bahaya letusan Gunung Merapi, tetapi
mereka tetap tidak mau mengungsi atau menghindar dari bencana. Ada pula masyarakat
yang merasa tetap harus mengolah lahan pertaniannya dan ternak yang ditinggalkan,
sehingga mereka menjadi korban pula. Namun demikian, ada pula masyarakat yang tidak
mengetahuinya akan terjadi bencana, dan tidak memiliki pengetahuan yang memadai
mengenai bencana alam. Mereka pun menjadi korban, seperti yang terjadi ketika Tsunami
di Aceh pada 26 Desember 2004.
Korban-korban yang terjadi akibat tidak memiliki pengetahuan tentang bencana
alam, dan masih tetap bertahan hidup, banyak yang mengalami masalah psikologis. Para
korban bencana yang demikian, masih memiliki peluang untuk diberikan bantuan. Hal ini
berarti bahwa dengan memberikan bantuan mengenai pengetahuan, dan dilatıh secara
psikologis, maka dapat mengurangi kejadian korban. Apabila masyarakat memiliki
kelenturan psikologis dalam bencana, maka mereka akan dapat mengatasi masalah
psikologis. Oleh karena itu, pelatihan-pelatihan yang komprehensif perlu dilakukan.

25
Adapun materi-materi yang antara lain perlu diketahui oleh masyarakat, agar mereka
lebih dapat mengatasi masalah psikologisnya.
1) Aspek kognitif: termasuk pengetahuan tentang bencana yang sering menimpa daerah
mereka, akibat-akibat secara fisik apabila terkena bencana tersebut, teknologi yang
dapat dikembangkan dan yang telah ada saat pengungsi ini, lokasi-lokasi pengungsian
yang aman dan jaraknya dari rumah atau tempat keramaian masyarakat, pertolongan
pertama pada kecelakaan, cara membantu korban, dan lain sebagainya.
2) Aspek afektif, termasuk cara-cara saling berbagi perasaan akibat bencana,
kemampuan untuk mengendalikan diri, sabar, mengembangkan perasaan positif,
kemauan untuk bangkit dari masalah bencana agar dapat hidup lebih baik, merasa diri
berharga dan bermanfaat untuk diri dan lingkungan, dan sebagainya
3) Aspek konatif atau tingkah laku, antara lain termasuk, keterampilan berinteraksi,
kerja sama, saling membantu, membangun kekompakan dan dapat saling memberikan
dukungan di antara korban bencana, membuat perencanaan masa depan yang harus
dicapai bersama anggota masyarakat, keluarga dan dirinya sendiri setelah bencana
menimpa mereka, dan sebagainya.
Penyampaian materi tersebut dapat dalam bentuk pelatihan yang terstruktur,
sehingga masyarakat dapat lebih memahaminya dengan baik. Namun demikian,
pelatihan tersebut tidak dapat hanya dilakukan oleh psikolog saja, tetapi perlu melibatkan
disiplin ilmu lainnya. Dengan demikian, bahasan mengenai persiapan dan antisipasi
bencana alam akan lebih baik. Selain pelatihan yang diberikan, perlu pula adanya buku-
buku mengenai bencana yang mudah dipelajari oleh masyarakat. Buku-buku dan
"brosur-brosur" tentang bencana bencana dapat memudahkan masyarakat untuk
mengingat kembali tentang materi yang pernah dilatihkan kepada mereka.

26
BAB 3
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Peristiwa yang terjadi pada akhir-akhir ini cukup banyak gunung berapi yang
meletus, seperti misalnya Gunung Soputan di Sulawesi Utara, Gunung Gamalama di
Ternate, Gunung Anak Krakatau, dan Gunung Sindoro yang sedang meningkat
aktivitasnya. Banjir dan Longsor Bencana alam lainnya yang sering melanda di wilayah
Indonesia adalah banjir dan longsor, Longsor yang terjadi lebih banyak disebabkan oleh
hutan-hutan yang ditebangi oleh manusia, sehingga tanah tidak dapat menyerap dan
menahan air hujan dengan baik. Contoh yang dapat dijumpai adalah pembangunan suatu
permukiman baru, tidak pernah melihat pada saluran air buangan yang ada, sehingga
penumpukan air buangan yang terdapat di berbagai permukiman dapat terjadi.
Namun demikian, hal ini merasakan ada sesuatu yang terjadi di lingkungannya, dan
mungkin dapat dirasakan menyakitkan atau sebagai sesuatu yang menakutkan
mengagetkan, dan sebagainya. Tetapi apabila orang tuanya tidak ada, atau termasuk
korban yang meninggal maka ia akan berpegangan kepada orang tua yang dikenalnya
atau yang dapat memberikan rasa aman. Hal ini dimungkinkan oleh karena permasalahan
yang terkait dengan bencana yang dirasakan sebagai permasalahan yang berat, krisis,
ningga menjadikan ia mengalami stres.
Selain itu pula, fase remaja yang ditandai dengan emosi yang bergejolak, maka
dengan adanya bencana yang menimpa dirinya, stabilitas emosinya semakin kurang baik.
Akibat bencana yang dialaminya akan terasa berat, apabila ada orang yang dicintainya
meninggal menjadi korban bencana tersebut, maka ia akan semakin merasa sedih. Orang
Dewasa Korban Bencana Orang dewasa yang menjadı korban bencana, dapat mengalami
masalah psikologis yang cukup berat. Setiap kali terjadi bencana, maka muncul berbagai
masalah yang dihadapi, baik oleh para korban bencana yang selamat, korban bencana
yang meninggal, maupun para korban kehilangan tempat tinggal, dan sebagainya.
Pada tahap darurat ini, tenaga-tenaga profesional yang diperlukan adalah: Tenaga
kesehatan (antara lain menangani korban luka-luka, identifikasi dan forensik jenazah);
Tenaga konstruksi sipil (antara lain untuk penyiapan tempat penampungan atau
pengungsian, pembuatan sanitasi air bersih, pembuangan air kotor, dan sebagainya);
Militer (antara lain untuk evakuasi jenazah, dapur umum, peralatan berat, transportasi
untuk mobilisasi tenaga atau personel, dan sebagainya); Psikolog pada tahap darurat
diperlukan sebagai pendengar yang baik bagi korban bencana; Tenaga nonprofesional

27
(antara lain untuk melakukan distribusi makanan, minuman, dan pakaian, pencarian
jenazah, dan sebagainya,).
Bencana alam yang merupakan peristiwa yang tidak terduga kejadiannya, dan
Indonesia merupakan area yang rawan bencana alam. Selama ini setiap peristiwa bencana
di Indonesia selalu korban korban menunggal yang cukup banyak, korban luka-luka, dan
trauma yang mendalam. Namun demikian, ada pula masyarakat yang tidak
mengetahuinya akan terjadi bencana, dan tidak memiliki pengetahuan yang memadai
mengenai bencana alam.
Aspek kognitif: termasuk pengetahuan tentang bencana yang sering menimpa daerah
mereka, akibat-akibat secara fisik apabila terkena bencana tersebut, teknologi yang dapat
dikembangkan dan yang telah ada saat pengungsi ini, lokasi-lokasi pengungsian yang
aman dan jaraknya dari rumah atau tempat keramaian masyarakat, pertolongan pertama
pada kecelakaan, cara membantu korban, dan lain sebagainya.
Aspek afektif, termasuk cara-cara saling berbagi perasaan akibat bencana,
kemampuan untuk mengendalikan diri, sabar, mengembangkan perasaan positif,
kemauan untuk bangkit dari masalah bencana agar dapat hidup lebih baik, merasa diri
berharga dan bermanfaat untuk diri dan lingkungan, dan sebagainya 3) Aspek konatif
atau tingkah laku, antara lain termasuk, keterampilan berinteraksi, kerja sama, saling
membantu, membangun kekompakan dan dapat saling memberikan dukungan di antara
korban bencana, membuat perencanaan masa depan yang harus dicapai bersama anggota
masyarakat, keluarga dan dirinya sendiri setelah bencana menimpa mereka, dan
sebagainya.

3.2 Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan
lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-
sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.

28
DAFTAR PUSTAKA

CHURCHMAN, R. B. (2002). HANDBOOK OF ENVIRONMENTAL PSYCHOLOGY. New


York: John Wiley & Sons, Inc.

Prof.Dr.Tb. Zulrizka Iskandar, S. (2013). PSIKOLOGI LINGKUNGAN: Metode dan


Aplikasi (1 ed.). (N. F. Atif, Ed.) Bandung: PT Refika Aditama.

29
30

Anda mungkin juga menyukai