BAB I Lapsus Isip An - MZ
BAB I Lapsus Isip An - MZ
LAPORAN KASUS
A. Identitas pasien
Nama : An. MZ
Umur : 13 tahun
Pendidikan : SMP
Suku/Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
B. Anamnesis
a) Keluhan Utama
Demam
Pasien datang ke IGD rujukan dari RSIA dengan keluhan demam. Demam sudah
dirasakan sejak 1 minggu yang lalu, demam naik turun. Hari ini demam sempat turun, nyeri
ulu hati+, muntah -, Demam disertai dengan batuk tidak berdahak dan pilek. Sesak sejak 3
hari yang lalu. Nafsu makan pasien menurun. Orang tua pasien menyangkal keluhan kejang,
maupun diare. Sesak (+) BAK (+) dan BAB (+) normal seperti biasanya, pusing +.
1
Riwayat Kelahiran tidak normal : Disangkal
Riwayat TB : Disangkal
Riwayat TB : Disangkal
e) Riwayat Sosial
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Tanda Vital
Pernafasan : 30 kali/menit
Sp Oksigen : 98%
2. Nyeri
2
Lama :-
Skala nyeri :6
Tonus, turgor, kulit, bulu rambut, kuku dalam dalam batas normal.
4. Kepala Leher
Umum
Anemia (-),icterus (-), sianosis (-), dyspnea(+)
Mata
Alis : Normal
Konjungtiva : Normal
Sklera : Normal
Pupil : bulat, isokor 3/3 mm, reflex cahaya (+)
Pemeriksaan OD OS
Palpebra DBN DBN
Gerak Bola mata Baik ke segala arah Baik ke segala arah
Oftalmoplegia - -
Proptosis - -
Telinga
Auricula Edema (-), Hiperemi (-), darah (-), Edema (-), Hiperemi (-),
massa(-) massa(-)
Rhinoskopi Anterior
Tenggorokan
Leher
Umum : Normal
Kel. Limfe : tidak didapatkan pembesaran
4
Trakea : Ditengah
Tiroid : tidak didapatkan pembesaran kelenjar
Vena jugularis :tidak dievaluasi
5. Thorax
Leher
Umum
Bentuk : normal
Kulit : normal
Axilla : tidak ditemukan kelainan
Paru
Pemeriksaan Depan
Kanan kiri
Inspeksi
Bentuk Simetris
Pergerakan Simetris
Jarak Sela Iga Simetris
Otot bantu nafas Negatif
Palpasi
Pergerakan Simetris
Fremitus Raba + +
+ +
+ +
Nyeri - -
- -
- -
Perkusi
Suara ketok Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Nyeri Ketok - -
- -
- -
5
Batas paru hepar ICS VI mid clavicular line dextra
Auskultasi
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler
Rhonki - -
- -
- -
Wheezing - -
Jantung
6. Abdomen
Inspeksi
Bentuk : Datar/flat
Konsistensi : Soepel
Auskultasi
Bising usus : (+), Normal
Perkusi
Suara ketok : Timpanik
Palpasi
Palpasi organ : Hepar/Lien tidak teraba
6
Nyeri tekan : + (epigastic, Hipochondriac Sinistra)
7. Inguinal-Genitalia-Anus
Tidak dievaluasi
8. Extremitas
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
(4 Januari 2021) RS Fathma Medika Gresik
WBC : 9.600
RBC : 4.21
HGB : 11.8
7
HCT : 35.3
MCV : 84
MCH : 28
PLT : 192.000
Segmen : 91%
Lymp % : 6%
Mono % : 3%
IgG Antibody SARS-COV-2 : Reaktif (05-02-2021)
IgM Antibody SARS-COV-2 : Reaktif (05-02-2021)
RAPID SARS COV-2 ANTIGEN : Negatif (05-02-2021)
SARS CoV-2 Nucleic Acid Testing : Negatif (08-02-2021)
SARS CoV-2 Nucleic Acid Testing : Negatif (06-02-2021)
8
Sinus costae phrenicus bilateral tajam
Diafragma normal
Tulang-tulang dan soft tissue normal
Kesan: Suspect Pneumonia
E. Diagnosa Kerja
F. Planning Terapi
- Inj.Gentamisin 2*80mg
- PO paracetamol 3* 500 mg
- PO Acetin 3*1
- PO probiokid 2*1
9
G. Follow up pasien
Tho: Simetris
(-)/(-), wh (-)/(-)
(-)/(-), wh (-)/(-)
Assesment:
10
Selasa,
9 Februari Subjektif: Diagnostik:
2021
Batuk berkurang menurut orang tua pasien, demam (-) -
Objektif: Terapi:
(+)/(+), wh (-)/(-)
Assesment:
11
Kamis, Subjektif: Diagnostik:
11 Februari
2021 Batuk sudah jauh berkurang, demam (-), sesak (-) -
Objektif: Terapi:
HR: 90 kali/menit
T: 36 celcius Monitor:
Tho: Simetris
(-)/(-), wh (-)/(-)
(-)/(-), wh (-)/(-)
Assesment:
BAB II
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Bronkopeumonia
1. Definisi
2. Ethiologi
13
atipikal: Chlamidia trachomatis, Pneumocytis. Pada anak-anak yaitu virus: Parainfluensa,
Influensa Virus, Adenovirus, RSV.
Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia. Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium
tuberculosi. Pada anak besar – dewasa muda, Organisme atipikal: Mycoplasma
pneumonia, C. trachomatis. Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis.
3. Patofisiologi
Saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru. Paru-paru
dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis dan mekanis, dan
faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung,
refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A
lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin,
makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel (Bradley et.al., 2011): Infeksi paru
terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila virulensi organisme
bertambah.
Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora
komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat
meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan
mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun
14
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme penyebab terhisap ke paru perifer
melalui saluran napas menyebabkan reaksi jaringan berupa edema yang mempermudah
proliferasi dan penyebaran kuman. Bronkhopneumonia dalam perjalanan penyakitnya akan
menjalani beberapa stadium, yaitu:
1. Stadium kongesti (4-12 jam pertama). Mengacu pada peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran
darah dan permeabilitas kapiler. Ini terjadi akibat pelepasan mediator peradangan dari sel
mast. Mediator tersebut mencakup histamin dan prostagladin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen bekerjasama dengan histamin dan prostagladin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini
menyebabkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitial sehingga terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus, yang meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium hepatisasi merah (48 jam berikutnya). Lobus dan lobulus yang terkena
menjadi padat tidak mengandung udara, warna menjadi merah dan pada perabaan seperti
hepar. Dalam alveolus didapatkan fibrin, leukosit netrofil, eksudat, dan banyak sekali
eritrosit dan kuman. Stadium ini berlangsung sangat pendek.
3. Stadium hepatisasi kelabu (3-8 hari). Lobus masih tetap padat dan warna merah
berubah menjadi pucat kelabu terjadi karena sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru
yang terinfeksi. Permukaan pleura suram karena diliputi oleh fibrin. Alveolus terisi fibrin
dan leukosit, tempat terjadi fagositosis pneumococcus, kapiler tidak lagi kongestif.
4. Stadium resolusi (7-11 hari). Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu
respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan dan eksudasi lisis. Eksudat
berkurang. Dalam alveolus makrofag bertambah dan leukosit mengalami nekrosis dan
degenerasi lemak. Fibrin diresorbsi dan menghilang. Proses kerusakan yang terjadi dapat di
batasi dengan pemberian antibiotik sedini mungkin agar sistem bronkopulmonal yang tidak
terkena dapat diselamatkan.
15
4. Diagnosis
WHO mengajukan pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana.
Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumonia dibedakan berdasarkan:
1. Bronkopneumonia sangat berat: bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup
minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik.
2. Bronkopneumonia berat: bila dijumpai retraksi tanpa sianosis dan masih sanggup minum,
maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik.
3. Bronkopneumonia: bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat yakni
>60 x/menit pada anak usia kurang dari dua bulan; >50 x/menit pada anak usia 2 bulan-1
tahun; >40 x/menit pada anak usia 1-5 tahun.
4. Bukan bronkopneumonia: hanya batuk tanpa adanya gejala dan tanda seperti di atas, tidak
perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotik.
5. Diagnosis Banding
Pasien didiagnosa banding dengan bronkiolitis karena bronkiolitis sering menyerang anak
usia 2-24 bulan dengan puncak insidensi pada bayi laki-laki usia 2-8 bulan yang tidak
mendapatkan air susu ibu (ASI) dan hidup di lingkungan padat penduduk. Gejala pada
bronkiolitis yang mirip dengan pneumonia adalah didahului dengan ISPA, seperti pilek
ringan, batuk, dan demam, disusul dengan batuk disertai sesak nafas, merintih, nafas
berbunyi, rewel, dan penurunan nafsu makan. Pada pasien ini terdapat semua gejala
tersebut, kecuali pilek dan nafas berbunyi. Hanya saja, pada bronkiolitis ditemukan
wheezing dimana pada pneumonia tidak terdapat wheezing (Rahajoe dkk., 2010).
Selain bronkiolitis, pasien didiagnosa banding dengan bronkitis akut karena pada
gejalanya terdapat batuk yang pada mulanya kering dan keras yang kemudian berkembang
16
menjadi batuk produktif, serta dapat pula ditemukan ronkhi pada auskultasi paru. Diagnosa
banding bronkitis akut ini disingkirkan karena pada bronkitis akut umumnya tidak
didapatkan demam dan jarang yang sesak nafas sampai mengakibatkan retraksi dan nafas
cuping hidung, serta dapat ditemukan wheezing pada auskultasi paru (Rahajoe dkk., 2010).
6. Klasifikasi
Klasifikasi Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan
pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah
membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan
memberikan terapi yang lebih relevan (Bradley et.al., 2011).
a. Berdasarkan lokasi lesi di paru yaitu Pneumonia lobaris, Pneumonia interstitiali,
Bronkopneumonia
b. Berdasarkan asal infeksi yaitu Pneumonia yang didapat dari masyarakat (community
acquired pneumonia = CAP). Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based
pneumonia)
c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab Pneumonia bakteri Pneumonia virus Pneumonia
mikoplasma Pneumonia jamur
d. Berdasarkan karakteristik penyakit yaitu Pneumonia tipikal Pneumonia atipikal
e. Berdasarkan lama penyakit yaitu Pneumonia akut dan Pneumonia persisten.
7. Penatalaksanaan
Kriteria Rawat Inap
Bayi:
17
Anak:
-Distres pernapasan
-Grunting
-Pasien dengan saturasi oksigen<92% pada saat bernapas dengan udara kamar harus
diberikan terapi oksigen dengan nasal kanul, head bar, atau ungkup untuk mempertahankan
saturasi oksigen >92%
-Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan intravena dan
dilakukan balans cairan ketat.
-Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan untuk anak dengan
pneumonia
-Antipiretik dan analgesic dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan pasien dan
mengontrol batuk
-Nebulisasi dengan Beta 2 agonis dan atau NaCL dapat diberikan untuk memperbaiki
mucocilliary clearance
-Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap 4 jam sekali,
termasuk pemeriksaan saturasi oksigen.
Pemberian Antibiotik
-Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotic oral pada anak <5 tahun karena
efektif melawan sebagian besar pathogen yang menyebabkan pneumonia pada anak,
18
ditolerasi dengan baik dan murah. Alternatifnya adalah co-amoxiclav, ceflacor, eritromisin,
claritromisin, dan azithromicin.
-M. Pneumoniae lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua maka antibiotic golongan
makrolide diberikan sebagai pilihan pertama secara empiris pada anak >5 tahun
-Amoksisilin diberikan sebagai pilihan pertama jika S. pneumonia sangat mungkin sebagai
penyebab
-Jika S. aureus dicurigai sebagai penyebab, diberikan makrolid atau kombinasi flucloxacillin
dengan amoksisilin.
-Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat menerima obat
oral(missal karena muntah) atau termasuk dalam derajat pneumonia berat
-Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat menerima obat per
oral (missal karena muntah) atau termasuk dalam derajat pneumonia berat
-Pemberian antibiotic oral harus dipertimbangkan jika terdapat perbaikan setelah mendapat
antibiotic intravena.
->2 bulan:
-Lini pertama ampicillin bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan dapat ditambahkan
kloramfenikol
19
Bila klinis perbaikan antibiotic intravena dapat diganti preparat oral dengan antibiotic
golongan yang sama dengan antibiotic intravena sebelumnya.
Nutrisi
-Pada anak dengan distress penapasan berat, pemberian makanan per oral harus dihindari.
Makanan dpat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau intravena. Tetapi harus diingat
bahwa pemasangan NGT dapat menekan pernapasan, khususnya pada bayi/anak dengan
ukuran lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan, sebaiknya menggunakan ukuran yang
terkecil.
-Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak mengalami overhidrasi
karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormone diuretic.
Kriteria pulang
-Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol
8. Komplikasi
Komplikasi bronkopneumonia umumnya lebih sering terjadi pada anak-anak yang terlambat
mendapatkan penanganan atau anak-anak yang memiliki penyakit penyerta, seperti diabetes
dan malnutrisi.
Ada beberapa komplikasi bronkopneumonia pada anak yang mungkin terjadi, di antaranya:
20
1. Infeksi darah
Kondisi ini terjadi akibat adanya bakteri yang masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan
infeksi ke organ-organ lain. Infeksi darah atau sepsis berpotensi memicu terjadinya gagal
fungsi organ.
2. Abses paru-paru
Abses paru-paru dapat terjadi ketika nanah terbentuk di dalam rongga paru-paru. Kondisi ini
biasanya dapat ditangani dengan antibiotik. Namun, prosedur pembedahan terkadang juga
dilakukan untuk membuangnya.
3. Efusi pleura
Efusi pleura adalah kondisi ketika cairan memenuhi ruang di sekitar paru-paru dan rongga
dada. Cairan tersebut dapat dikeluarkan dengan menggunakan jarum (thoracentesis) atau
kateter (chest tube).
Untuk beberapa kasus, efusi pleura yang serius memerlukan prosedur operasi guna
mengeluarkan cairan tersebut.
4. Gagal napas
Bronkopneumonia parah bisa menyebabkan anak sulit bernapas. Hal ini kemudian bisa
mengakibatkan kebutuhan oksigen anak tidak tercukupi dan memicu anak mengalami gagal
napas.
Jika tidak segera diobati, gagal napas dapat membuat organ tubuh anak tidak dapat berfungsi
dan pernapasan terhenti sama sekali. Jika hal ini terjadi, anak yang mengalami gagal napas
perlu mendapatkan napas bantuan melalui mesin ventilator.
21
DAFTAR PUSTAKA
1) Bradley JS, Byington CL, Shah SS, Alverson B, Carter ER, Harrison C. 2011. Executive
summary: The management of community-acquired pneumonia in infants and children older
than 3 months of age: Clinical practice guidelines by the Pediatric Infectious Diseases
Society and the Infectious Diseases Society of America. Clin Inf Dis. 53(7):617-630.
2) Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2007. Simposium penatalaksanaan penyakit paru pada
anak terkini. Jember.
3) Rahajoe, Nastini N. 2010. Buku ajar respirologi anak. Edisi ke1. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI;
4) Bennet NJ, Steele RW. 2014. Pediatric pneumonia [internet]. USA: Medscape LLC.;
[Disitasi 2014 Sep 17]. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/article/967822-
medication
6) UNICEF. 2014. The challenge: pneumonia is the leading killer of children [internet].
New York: UNICEF; Tersedia dari: http://www.childinfo.org/pneumonia.html
7) Mason RJ, Broaddus VC, Martin T, King TE, Schraugnagel D, Murray JF, et al. 2005.
Murray and Nadel’s text book of respiratology medicine volume 1. Edisi ke-1. Netherland:
Elseiver Saunders.
8) Baughman, Diane C, dkk. 2000. Keperawatan Medikal Bedah : Buku Saku Dari Brunner
& Suddarth. Alih Bahasa. Jakarta : EGC.
22
9) Bentz, Cecily Lynn, dkk. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 5. Jakarta : EGC.
Carpenito, Lynda juall. 2009.Diagnosis Keperawatan. Edisi 9. Jakarta : EGC.
10) Dahlan, Zul. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Edisi 3. Jakarta : FKUI.
11) DAS. 2006. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press.
Davey, Patrick. 2005. At a Glance medicine. Alih bahasa. Jakarta : Erlangga.
12) DEPKES RI. 2006. Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut,
Untuk Penganggulangan Pneumonia Pada Balita.
14) Doenges, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Alih Bahasa : Yasmin Asih. Edisi
3. Jakarta : EGC
15) Hidayat, Aziz Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan anak 1. Jakarta : Salemba
medika.
16) IDAI. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi 1. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI.
17) Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3. Jakarta : Media
Aesculapius FKUI.
18) Murwani, Anita. 2010. Perawatan Pasien Penyakit Dalam. Yogyakarta : Muha Medika.
19) NANDA. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan. Alih Bahasa. Prima Medika. Nelson,
MD. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15 vol.2. Jakarta : EGC.
23
20) Potter, P.A, Perry, A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses,
Dan Praktik. Edisi 4.Volume 1.Alih Bahasa : Yasmin Asih, dkk. Jakarta : EGC.
21) Rahajoe, Nastiti N, dkk. 2009. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi 1. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI.
22) Riyadi, Sujono, dkk. 2011. Asuhan Keperawatan Pada Anak Sakit. Yogyakarta :
Penerbit Gosyen Publishing.
23) Santrok, John W. 2002. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Edisi 5
Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
24) Ward, Jeremy P.T. 2007. At a Glance Sistem Respirasi. Edisi 2. Jakarta : Erlangga.
WHO, Unicef. 2006. Data Ispa Dunia. Diakses dari http://www.ispa dunia.co.id. diakses
tanggal 22 Mei 2011.
25) Wong, Donna L. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi 4. Jakarta : EGC.
24