Anda di halaman 1dari 118

ANALISIS PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI ANGIOTENSIN

RECEPTOR BLOCKER (ARB) PADA PASIEN HIPERTENSI RAWAT


INAP DENGAN PENYAKIT KOMPLIKASI DI RSUP DR. WAHIDIN
SUDIROHUSODO MAKASSAR

ANALYSIS OF ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERs (ARBs) USAGE


IN HYPERTENSIVE INPATIENTS WITH CONCOMITANT DISEASES AT
DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO HOSPITAL MAKASSAR

SITTI NURJAHIDAH

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
ANALISIS PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI ANGIOTENSIN
RECEPTOR BLOCKER (ARB) PADA PASIEN HIPERTENSI RAWAT
INAP DENGAN PENYAKIT KOMPLIKASI DI RSUP DR. WAHIDIN
SUDIROHUSODO MAKASSAR

Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi
Farmasi

Disusun dan diajukan oleh

SITTI NURJAHIDAH

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

i
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Sitti Nurjahidah

NIM : P2500215008

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini

benar–benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian

hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis

ini merupakan hasil karya orang lain, maka saya bersedia

mempertanggungjawabkan sekaligus bersedia menerima sanksi yang

seberat-beratnya atas perbuatan tidak terpuji tersebut.

Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tanpa

ada paksaan sama sekali.

Makassar, 28 Oktober 2017

Yang membuat pernyataan

Sitti Nurjahidah

iii
PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah swt.

atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat

menyelesaikan penelitian hingga tersusunnya tesis berjudul Analisis

Penggunaan Antihipertensi Angiotensin Receptor Blocker (ARB) pada

Pasien Hipertensi Rawat Inap dengan Penyakit Komplikasi Di RSUP Dr.

Wahidin Sudirohusodo Makassar. Shalawat dan salam penyusun haturkan

pula kepada Nabi Muhammad saw. yang telah membawa rahmat bagi

umat manusia.

Penelitian ini tidak luput dari berbagai hambatan dan keterbatasan

penyusunan. Berkat bimbingan, dukungan, kerja sama, dan doa dari

berbagai pihak, maka kendala-kendala yang penyusun hadapi selama

penelitian pada akhirnya dapat diatasi. Oleh karena itu, dengan

penghargaan yang setinggi-tingginya penyusun haturkan terima kasih

kepada:

1. Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA., Apt., selaku pembimbing pertama atas

segala keikhlasan dalam memberikan bimbingan dan motivasi kepada

penyusun sejak rencana penelitian hingga terselesaikannya tesis ini.

2. Dr. dr. Hasyim Kasim, Sp.PD, K-GH, selaku pembimbing kedua yang

telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran bagi penyusun

sejak rencana penelitian hingga terselesaikannya tesis ini.

3. Ibu Dr. Aliyah, M.S., Apt. selaku penguji I, Ibu Prof. Dr. rer nat Hj.

Marianti A. Manggau., Apt. selaku penguji II, dan Ibu Yulia Yusrini
iv
Djabir, M. Si., MBM. Sc., Ph.D., Apt. selaku penguji III, yang telah

memberikan banyak masukan dan arahan demi perbaikan

penyusunan tesis ini.

4. Bapak Prof. Dr. Gemini Alam, M.Si., Apt. sebagai Dekan Fakultas

Farmasi Universitas Hasanuddin.

5. Ibu Dr. Hj. Latifah Rahman, DESS., Apt. sebagai Ketua Program Studi

Magister Farmasi Universitas Hasanuddin.

6. Direktur RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar yang telah

memberikan izin penelitian di Rumah Sakit tersebut.

7. Dosen dan Staf Program Studi Magister Farmasi Universitas

Hasanuddin yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

pendidikan di Program Studi Magister Farmasi

8. Kedua orang tua penyusun, Ayahanda Drs. H. Marzuki M. (Alm.) dan

Ibunda Hj. Sitti Aminah, yang selalu menjadi inspirasi dan motivasi

bagi penyusun, serta atas doa yang tak ternilai harganya.

9. Kepada saudara/saudari penyusun, Sitti Aisyah, Sitti Nurpahmi, Ismail

Marzuki, Sitti Nikmah M., Muhammad Jahid, Ahmad Gasim, Muh.

Idris, Fatimah, Suhartono dan Nurfajri Ningsih, yang telah

mencurahkan perhatian, kasih dan sayang, serta dukungan materil

dan moril demi kelancaran proses belajar penyusun.

10. Seluruh rekan seperjuangan Program Studi Magister Farmasi

Universitas Hasanuddin Makassar Angkatan 2015, terkhusus kepada

v
kakanda Andi Asrianty, S.Si., M.Si. Apt. beserta rekan sesama

konsentrasi farmasi klinik.

11. Sahabat-sahabat penyusun yang telah menemani saat suka dan duka

selama proses penyelesaian studi penyusun.

Penyusun akan selalu berdoa semoga segala bantuan yang telah

diberikan mendapat balasan terbaik dari Allah swt. Penyusun menyadari

bahwa tesis ini masih memiliki kekurangan dan kelemahan, namun besar

harapan penyusun agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi

perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang farmasi.

Makassar, 99 Oktober 2017

Penyusun

vi
ABSTRAK
SITTI NURJAHIDAH. Analisis Penggunaan Antihipertensi Angiotensin
Receptor Blocker (ARB) pada Pasien Hipertensi Rawat Inap dengan
Penyakit Komplikasi Di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
(dibimbing oleh Elly Wahyudin dan Hasyim Kasim).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan
antihipertensi ARB pada pasien hipertensi dengan komplikasi diabetes
mellitus atau penyakit jantung berdasarkan outcome terhadap parameter
metabolik meliputi tekanan darah, kadar lipid, dan kadar glukosa darah
pasien selama rawat inap di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Selain itu juga diperlukan analisis kemanan penggunaan ARB ketika
digunakan bersama dengan obat lain berdasarkan efek samping dan
identifikasi interaksi obat yang potensial.
Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional
non eksperimen dengan rancangan deskriptif-analitik. Pengambilan
sampel dilakukan dengan teknik non-probability sampling dengan cara
consecutive sampling, yang mencapai jumlah 57 orang sampel. Data yang
dianalisis secara deskriptif dan statistik berupa parameter metabolik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang menggunakan
antihipertensi ARB adalah 22 orang (35,60%) menggunakan valsartan
(80 mg); sebanyak 17 orang (29,82%) menggunakan telmisartan (80 mg);
dan 18 orang (31,58%) menggunakan candesartan (8 mg). Penyakit
komplikasi yang menyertai penyakit hipertensi dari semua subjek
penelitian adalah gagal jantung kongestif (congestive heart failure/CHF)
sebanyak 23 orang (40,35%), diabetes mellitus tipe II sebanyak 18 orang
(31,58%) dan penyakit jantung koroner (coronary artery disease/CAD)
sebanyak 16 orang (28,07%). Kelompok terapi yang menggunakan ARB
umumnya memberikan perubahan yang signifikan (p<0,05) antara
sebelum dan sesudah penggunaan obat terhadap tekanan darah dan
parameter metabolik lainnya meliputi kadar kolesterol total, LDL, HDL,
trigliserida, dan glukosa darah. Perbandingan penurunan tekanan darah,
kolesterol total, LDL, trigliserida, dan glukosa darah, serta peningkatan
HDL antara kelompok valsartan, telmisartan, dan candesartan
menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan (p>0,05). Persentase total
kasus yang diduga efek samping (kategori possible) adalah 36,36% pada
kelompok valsartan; 23,53% pada kelompok telmisartan; dan 33,33%
pada kelompok candesartan. Persentase interaksi obat potensial
bermakna yang terjadi antara ARB dengan obat lain dalam jumlah kecil,
yaitu 5,26%. Penggunaan ARB sebagai bagian dari terapi pasien
hipertensi memperlihatkan outcome terhadap parameter metabolik yang
relatif baik dan aman.
Kata Kunci : Angiotensin Receptor Blocker (ARB), Hipertensi, Parameter
Metabolik.
vii
ABSTRACT
SITTI NURJAHIDAH. Analysis of Angiotensin Receptor Blockers (ARBs)
Usage in Hypertensive Inpatients with Concomitant Diseases at Dr.
Wahidin Sudirohusodo Hospital Makassar (supervised by Elly Wahyudin
and Hasyim Kasim).
This study aims to analyze the use of ARB antihypertensive drugs
in hypertensive patients with complications of diabetes mellitus or heart
disease based on outcomes of metabolic parameters including blood
pressure, lipid levels, and blood glucose levels of patients during
hospitalization at Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital Makassar. It also
required safety analysis of ARB usage when used in conjunction with other
drugs based on side effects and identification of potential drug
interactions.
The design of this research used a non-experimental observational
study with descriptive-analytic design. Sampling was done by non-
probability sampling technique using consecutive sampling, which reached
57 samples. The data were analyzed descriptively and statistically in the
form of metabolic parameters.
The results showed that patients taking ARB antihypertensive drugs
were 22 patients (35.60%) using valsartan (80 mg); 17 patients (29.82%)
using telmisartan (80 mg); and 18 patients (31.58%) using candesartan (8
mg). The complication diseases of hypertension from all subjects were
congestive heart failure (CHF) as many as 23 patients (40.35%); 18
patients (31.58%) with diabetes mellitus type II; and 16 patients (28.07%)
with coronary artery disease (CAD). Therapy groups that used ARBs
generally provide significant changes (p <0.05) between before and after
drug usage against blood pressure and other metabolic parameters
include total cholesterol, LDL, HDL, triglyceride, and blood glucose levels.
Comparison of decreased blood pressure, total cholesterol, LDL,
triglycerides, blood glucose, and increased HDL between valsartan,
telmisartan, and candesartan group showed no significant differences (p>
0.05). The percentage of total suspected cases of adverse events
(possible category) was 36.36% in the valsartan group; 23.53% in the
telmisartan group; and 33.33% in the candesartan group. The percentage
of potential drug interactions that may occurred between ARB and other
drugs in small amounts, 5.26%. ARB as part of hypertension therapy
provides relatively benefit outcomes of metabolic parameters and relatively
safe.
Keywords: Angiotensin Receptor Blocker (ARB), Hypertension, Metabolic
Parameters.

viii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

LEMBAR PENGESAHAN ii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS iii

PRAKATA iv

ABSTRAK vii

ABSTRACT viii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 6

C. Tujuan Penelitian 7

D. Manfaat Penelitian 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8

A. Hipertensi 8

B. Telmisartan 37

C. Valsartan 40

D. Candesartan 42

E. Efek Metabolik ARB 44


ix
F. Peroxisome-Proliferator-Activated Receptor 46

G. Hipotesis 50

H. Kerangka Teori 51

I. Kerangka Konsep 52

J. Definisi Operasional 53

BAB III METODE PENELITIAN 54

A. Rancangan Penelitian 54

B. Waktu dan Lokasi Penelitian 54

C. Populasi dan Sampel Penelitian 54

D. Prosedur Penelitian 55

E. Alur Penelitian 58

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 59

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 94

A. Kesimpulan 94

B. Saran 95

DAFTAR PUSTAKA 96

LAMPIRAN 104

x
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa menurut JNC


VII 8

2. Kategori pasien hipertensi menurut JNC VIII 9

3. Aktivitas PPARγ pada gen target 44

4. Data karakteristik subjek penelitian 60

5. Distribusi penggunaan obat lain pada pasien hipertensi


dengan komplikasi di rawat inap RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar periode Mei-Juli 2017 63

6. Rerata TDS, TDD, kadar GDP, kadar kolesterol total, kadar


LDL, kadar TG, dan kadar HDL sebelum dan setelah
penggunaan obat pasien hipertensi dengan DM di rawat
inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar periode
Mei-Juli 2017 68

7. Perbandingan Δ TDS, Δ TDD, Δ GDP, Δ Kolesterol total,


Δ LDL, Δ TG, dan Δ HDL pada pasien hipertensi dengan
DM di rawat inap Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
periode Mei-Juli 2017 69

8. Rerata TDS, TDD, kadar GDP, kadar kolesterol total, kadar


LDL, kadar TG, dan kadar HDL sebelum dan setelah
penggunaan obat pasien hipertensi dengan CAD di
rawat inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
periode Mei-Juli 2017 72

9. Perbandingan Δ TDS, Δ TDD, Δ GDP, Δ Kolesterol total, Δ


LDL, Δ TG, dan Δ HDL pada pasien hipertensi dengan
CAD di rawat inap Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
periode Mei-Juli 2017 74

10. Rerata TDS, TDD, dan kadar GDS sebelum dan setelah
penggunaan obat pasien hipertensi dengan CHF di rawat
inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar periode
Mei-Juli 2017 76

xi
11. Perbandingan Δ TDS, Δ TDD, dan Δ GDS pada pasien
hipertensi dengan CHF di rawat inap Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar periode Mei-Juli 2017 77

12. Jumlah kasus dan rerata peningkatan kadar kalium, ureum,


dan kreatinin pada pasien hipertensi dengan komplikasi
di rawat inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
periode Mei-Juli 2017 86

13. Interaksi obat ARB dengan obat lain yang berpotensi terjadi
pada pasien hipertensi dengan komplikasi di rawat inap
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar periode Mei-
Juli 2017 91

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Etiologi hipertensi 10

2. Diagram sistem renin-angeotensin-aldosteron 14

3. Algoritma penatalaksanaan terapi hipertensi 28

4. Rumus struktur telmisartan 37

5. Fungsi biologis telmisartan 39

6. Rumus struktur valsartan 40

7. Rumus struktur candesartan 42

8. Jalur signaling PPAR 48

9. Bagan kerangka teori 51

10. Bagan kerangka konsep 52

11. Bagan alur penelitian 58

12. Grafik jumlah penggunaan obat lain bersama dengan ARB


pada pasien hipertensi dengan komplikasi di rawat inap
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar periode Mei-
Juli 2017 66

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Lembar rekomendasi persetujuan kode etik 104

2. Lembar surat persetujuan izin penelitian 105

3. Lembar naskah penjelasan 106

4. Lembar formulir persetujuan subjek penelitian 108

5. Data tekanan darah, kadar glukosa, dan kadar lipid pasien


hipertensi dengan komplikasi 109

6. Data peresepan obat subjek penelitian 113

7. Data analisis statistik penggunaan ARB pada pasien


hipertensi dengan DM 117

8. Data analisis statistik penggunaan ARB pada pasien


hipertensi dengan CAD 122

9. Data analisis statistik penggunaan ARB pada pasien


hipertensi dengan CHF 127

10. Data statistik efek samping 131

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hipertensi adalah penyakit kardiovaskuler yang paling umum

dengan prevalensi yang meningkat di banyak negara. Meskipun

prevalensi hipertensi tetap stabil di Amerika Serikat (1999-2014) yaitu

29,0% sebagai salah satu negara dengan kontrol terbaik tehadap

hipertensi, namun di beberapa negara lain masih menunjukkan angka

yang relatif lebih tinggi. Prevalensi hipertensi di Eropa lebih tinggi daripada

Amerika Utara dengan tingkat pengendalian yang juga kurang, terlebih di

sebagian besar negara yang berpendapatan menengah dan rendah

(Cifkova, et. al., 2016). Di Indonesia, menurut sebuah studi berdasarkan

temuan dari Indonesia Family Life Survey (IFLS), prevalensi hipertensi

usia terstandar mencapai 47,8 % (Hussain, et.al., 2016). Kemudahan

akses perawatan medis dan optimalisasi farmakoterapi adalah strategi

utama yang telah terbukti berhasil mengurangi beban hipertensi pada

tingkat populasi (Cifkova, et. al., 2016).

Hipertensi dan diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2) seringkali

berdampingan dan pasien dengan kombinasi kedua penyakit ini memiliki

risiko terjadinya bahaya kardiovaskuler lebih tinggi dibandingkan dengan

pasien dengan penyakit hipertensi atau DM saja (Hao, et. al., 2014).

1
2

Hipertensi hadir di lebih dari 50% pasien DM dan berkontribusi secara

signifikan terhadap penyakit mikro dan makrovaskular pada DM. Risiko

penyakit kardiovaskular 4 kali lebih tinggi pada pasien dengan keduanya

dibandingkan dengan subjek normotensif non-diabetes (Lastra, et.al.,

2014). Penyakit jantung koroner (coronary artery disease/CAD) juga

menjadi salah satu komplikasi makrovaskular yang paling umum terkait

dengan hipertensi. Penelitian menyebutkan bahwa CAD 1,95 kali lebih

sering terjadi pada kasus dengan hipertensi dibandingkan tanpa hipertensi

(Devadason, P., et.al., 2014), dan data lain mengungkapkan bahwa

kejadian gagal jantung kongestif (congestive heart failure/CHF) dua

sampai tiga kali lipat lebih besar pada pasien hipertensi dibandingkan

normotensif (Kannan A. dan Rajesh Janardhanan, 2014). Berbagai

mekanisme patofisiologis berkontribusi terhadap peningkatan tekanan

darah dan kerusakan organ target yang terkait, termasuk CAD dan CHF,

seperti peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik dan sistem renin-

angiotensin (Devadason, P., et.al., 2014; Kannan A. dan Rajesh

Janardhanan, 2014 ).

Kebanyakan pasien dengan hipertensi memiliki faktor risiko lainnya,

antara lain gangguan metabolisme lipid, obesitas, riwayat penyakit

kardiovaskuler keluarga, dan merokok. Tujuan pengobatan utamanya

untuk mengelola hipertensi dan menangani semua faktor risiko lain yang

diidentifikasi untuk penyakit kardiovaskuler (Weber, et.al., 2014). Strategi

untuk mencegah perkembangan penyakit kardiovaskuler meliputi


3

perhitungan pengobatan yang tepat dan pencegahan sindrom metabolik,

karena morbiditas penyakit kardiovaskuler lebih tinggi pada pasien

dengan sindrom metabolik dibandingkan dengan tanpa sindrom metabolik

(Sasaki, et. al., 2008).

Antihipertensi golongan inhibitor Angiotensin-Converting Enzyme

(ACEI) dan Angiotensin Receptor Blocker (ARB) telah direkomendasikan

dalam Guidelines of 2013 European Society of Hypertension (ESH), the

European Society of Cardiology (ESC), dan the eighth report of Joint

National Committee (JNC 8) sebagai pilihan pertama terapi antihipertensi

pada pasien hipertensi dengan diabetes mellitus (Hao, et.al., 2014). ARB

seringkali dipertimbangkan sebagai terapi alternatif pada pasien dengan

penyakit kardiovaskuler (Rosendorff, C., et.al., 2015). Berbagai

mekanisme telah diusulkan dari hasil eksplorasi pengaruh sistem renin

angiotensin pada kasus CHF. Obat yang menargetkan RAAS telah

terbukti memberikan perbaikan hipertrofi ventrikuler kiri lebih efektif

daripada beta bloker dan calcium channel blocker (Kannan A. dan Rajesh

Janardhanan, 2014).

Penelitian menunjukkan bahwa ARB memiliki efek protektif

kardiorenal dan menurunkan resistensi insulin. ARB yang telah terkait

dengan perbaikan resistensi insulin adalah telmisartan, karena selain

memblokir reseptor AT1 juga mengaktifkan sistem Peroxisome Proliferator

Activated Receptor-gamma (PPAR-γ). Penelitian terakhir oleh Ushijima,

et.al. (2013) memperlihatkan efek telmisartan terhadap sensitivitas insulin


4

yang mirip dengan valsartan (Yang, et. al., 2013). Berdasarkan sebuah

metaanalisis pengujian acak terkontrol telmisartan, disimpulkan bahwa

telmisartan secara signifikan meningkatkan perbaikan resistensi insulin

pada pasien hipertensi (Tagaki dan Taguya U., 2014). Sedangkan hasil

studi metaanalisis lain menyimpulkan bahwa valsartan juga memiliki

kecenderungan lebih unggul dalam hal perbaikan resistensi insulin

dibandingkan antihipertensi lain (Tian, et.al., 2016).

Beberapa jenis ARB mempunyai aktivitas untuk menginduksi

PPARγ. Kemampuan induksi bergantung pada sifat fisikokimia terutama

sifat lipofilik obat. Telmisartan merupakan ARB dengan sifat lipofilik yang

terkuat sehingga paling poten untuk menginduksi PPAR-γ (Schupp et al.,

2004;). Penelitian oleh Benson, et.al. melaporkan bahwa konsentrasi

minimum telmisartan dalam darah dibutuhkan untuk mengaktifkan PPAR-γ

adalah 280 ng/ml dan konsentrasi ini dicapai pada dosis di atas 40 mg

(Mori, et.al., 2012). Aktivitas yang khas terhadap PPAR-γ ini memainkan

peran penting dalam pengaturan metabolisme glukosa dan lipid (Sasaki,

et. al., 2008).

Antihipertensi ARB telah digunakan pada praktek klinis selama

rawat inap di rumah sakit. Sebuah penelitian di salah satu rumah sakit

umum pusat di Manado menyebutkan persentase penggunaan ARB

sebagai antihipertensi pada pasien yang juga mengalami diabetes mellitus

adalah 22,73% monoterapi ARB dan 21,05% kombinasi terapi ARB dan

CCB (Calsium Channel Blocker) (Ansa, et.al., 2010). Golongan ARB yang
5

umum digunakan di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar adalah

telmisartan, valsartan, dan candesartan. Pasien hipertensi yang disertai

gangguan metabolik lainnya tidak hanya mendapat terapi antihipertensi

tetapi juga menggunakan obat-obat lain, seperti antidiabetes dan

antihiperlipidemia.

Penggunaan terapi beberapa obat harus mempertimbangkan dan

menyeimbangkan antara risiko polifarmasi dan terapi yang tidak tepat

dengan manfaat terapi. Risiko dari polifarmasi telah diakui, tetapi potensi

manfaat dari kombinasi yang dirancang secara rasional dari obat-obatan

juga penting. Memaksimalkan manfaat mungkin melibatkan penggunaan

kombinasi obat yang tepat, yang dapat mengurangi gejala penyakit dan

memperlambat perkembangan penyakit, dengan potensi komplikasi

berkurang dan meningkatkan kualitas hidup. Penggunaan kombinasi

berpotensi efek sinergis dapat mengurangi kemungkinan kejadian efek

samping obat disamping meningkatkan keamanan dan tolerabilitas

beberapa obat (Munger, 2010). Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis penggunaan antihipertensi ARB pada pasien hipertensi

dengan komplikasi diabetes mellitus atau penyakit jantung berdasarkan

outcome terhadap parameter metabolik meliputi tekanan darah, kadar

lipid, dan kadar glukosa darah pasien selama rawat inap di RSUP

Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Selain itu juga diperlukan analisis

kemanan penggunaan ARB ketika digunakan bersama dengan obat lain

berdasarkan efek samping dan identifikasi interaksi obat yang potensial.


6

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana analisis penggunaan ARB pada pasien hipertensi dengan

komplikasi diabetes mellitus (DM) berdasarkan outcome terhadap

parameter metabolik meliputi tekanan darah, kadar lipid, dan kadar

glukosa darah pasien selama rawat inap di RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo Makassar?

2. Bagaimana analisis penggunaan ARB pada pasien hipertensi dengan

komplikasi coronary artery disease (CAD) berdasarkan outcome

terhadap parameter metabolik meliputi tekanan darah, kadar lipid, dan

kadar glukosa darah pasien selama rawat inap di RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo Makassar?

3. Bagaimana analisis penggunaan ARB pada pasien hipertensi dengan

komplikasi congestive heart failure (CHF) berdasarkan outcome

terhadap parameter metabolik meliputi tekanan darah dan kadar

glukosa darah pasien selama rawat inap di RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo Makassar?

4. Bagaimana keamanan penggunaan ARB bersama dengan obat lain

pada pasien hipertensi dengan komplikasi berdasarkan efek samping

dan identifikasi interaksi obat yang potensial?


7

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis penggunaan

ARB pada pasien hipertensi dengan penyakit komplikasi.

Tujuan khusus penelitian ini, antara lain:

1. Menganalisis penggunaan ARB pada pasien hipertensi dengan

komplikasi diabetes mellitus berdasarkan outcome terhadap

parameter metabolik selama rawat inap.

2. Menganalisis penggunaan ARB pada pasien hipertensi dengan

komplikasi CAD berdasarkan outcome terhadap parameter metabolik

selama rawat inap.

3. Menganalisis penggunaan ARB pada pasien hipertensi dengan

komplikasi CHF berdasarkan outcome terhadap parameter metabolik

selama rawat inap.

4. Menganalisis keamanan penggunaan ARB bersama obat lain

berdasarkan efek samping dan identifikasi interaksi obat yang

potensial.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam

pemilihan terapi yang tepat dan aman untuk pasien hipertensi di RSUP

Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hipertensi

1. Definisi hipertensi

Hipertensi adalah penyakit umum yang didefinisikan sebagai

peningkatan tekanan darah (TD) arteri secara terus-menerus. Peningkatan

tekanan darah ini diidentifikasi sebagai salah satu faktor risiko yang paling

signifikan untuk penyakit kardiovaskuler. The Seventh Report of The Joint

National Committee (JNC VII) memberikan definisi hipertensi yaitu apabila

tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih dan/atau tekanan diastolik 90

mmHg atau lebih (Dipiro J., et. al., 2008; Chobanian, et. al., 2003).

2. Klasifikasi hipertensi

Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee (JNC

VII), klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa dengan usia lebih dari

18 tahun terbagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi

derajat 1 dan derajat 2 (Chobanian, et. al., 2003).

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa menurut JNC VII
(Chobanian, et. al., 2003)
Klasifikasi tekanan Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolik
darah (mmHg) (mmHg)
Normal < 120 dan < 80
Prehipertensi 120 – 139 atau 80 – 89
Hipertensi grade 1 140 – 159 atau 90 – 99
Hipertensi grade 2 > 160 atau > 100

8
9

Sedangkan menurut JNC VIII pasien hipertensi dikategorikan

berdasarkan usia dan ada tidaknya komplikasi penyakit (James, et.al.,

2013).

Tabel 2. Kategori pasien hipertensi menurut JNC VIII (James, et.al., 2013)

Kategori Pasien Tekanan darah sistolik Tekanan darah


Hipertensi (mmHg) diastolik (mmHg)
Usia ≥ 60 tahun ≥ 150 ≥90
Usia < 60 tahun ≥ 140 ≥90
Usia ≥ 18 tahun
≥ 140 ≥ 90
dengan diabetes
Usia ≥ 18 tahun
≥ 140 ≥ 90
dengan ginjal kronis

Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh

tekanan darah yang sangat tinggi yang kemungkinan dapat menimbulkan

atau telah terjadinya kelainan organ target. Biasanya ditandai oleh

tekanan darah >180/120 mmHg dan dikategorikan sebagai hipertensi

emergensi atau hipertensi urgensi. Tekanan darah pada hipertensi

emergensi meningkat ekstrim disertai dengan kerusakan organ target akut

yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan segera

untuk mencegah kerusakan organ target lebih lanjut. Hipertensi urgensi

adalah tingginya tekanan darah tanpa disertai kerusakan organ target

yang progresif (Depkes RI, 2006).

3. Etiologi

Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang

beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi diketahui (essensial atau

hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi


10

dapat dikontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah

mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder.

Banyak penyebab hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila

penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-

pasien ini dapat disembuhkan secara potensial (Depkes RI, 2006).

Gambar 1. Etiologi hipertensi (Oparil S, et. al., 2003)

Peningkatan tekanan darah biasanya disebabkan oleh kombinasi

beberapa kelainan (multifaktor). Bukti epidemiologis merujuk pada faktor

genetik, stres psikologis, serta faktor lingkungan dan diet (peningkatan

penggunaan garam dan berkurangnya asupan kalium atau kalsium) yang

diduga sebagai penyebab terjadinya hipertensi. Pasien yang memiliki

hipertensi tidak stabil cenderung tekanan darahnya naik setelah

mengkonsumsi makanan dengan garam yang berlebihan dibandingkan

dengan orang normal. Faktor keturunan pada hipertensi esensial


11

diperkirakan sekitar 30%. Mutasi-mutasi pada beberapa gen dikaitkan

dengan berbagai penyebab langka hipertensi. Berbagai variasi fungsional

gen angiotensinogen diduga berperan pada terjadinya beberapa

hipertensi esensial (Ganiswarna S., 2007).

4. Patofisiologi

Multifaktor yang mengontrol tekanan darah merupakan bagian

potensial yang berpengaruh dalam perkembangan hipertensi esensial,

yaitu gangguan fungsi humoral (sistem renin-angiotensin-aldosteron) atau

mekanisme vasodepressor, mekanisme neuronal yang abnormal,

gangguan autoregulasi perifer, gangguan natrium dan kalsium, serta

hormon natriuretik. Banyak dari faktor-faktor ini secara kumulatif

dipengaruhi oleh sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang akhirnya

mengatur tekanan darah arteri. Renin-Angiotensin-Aldosterone System

(RAAS) adalah sistem endogen kompleks yang terlibat dengan sebagian

komponen regulasi tekanan darah arteri. Aktivasi dan regulasi terutama

diatur oleh ginjal (gambar 2) (Dipiro J, et. al., 2008).

RAAS mengatur keseimbangan natrium, kalium, dan cairan. Sistem

ini secara signifikan mempengaruhi tonus pembuluh darah dan aktivitas

sistem saraf simpatik, sehingga paling berpengaruh terhadap pengaturan

homeostatis tekanan darah. Renin adalah enzim yang disimpan dalam sel

juxtaglomerular yang terletak di arteriol aferen ginjal. Pelepasan renin

dimodulasi oleh beberapa faktor, yaitu faktor intrarenal (misalnya tekanan

perfusi ginjal, katekolamin, angiotensin II), dan faktor ekstrarenal


12

(misalnya natrium, klorida, dan kalium). Penurunan tekanan arteri ginjal

dan aliran darah ginjal dikenali oleh sel-sel juxtaglomerular dan kemudian

merangsang sekresi renin. Penurunan jumlah natrium dan klorida ke

dalam tubulus distal merangsang pelepasan renin. Katekolamin

meningkatkan pelepasan renin melalui rangsangan langsung saraf

simpatis pada arteriol aferen yang pada selanjutnya mengaktifkan sel

juxtaglomerular. Penurunan kalium serum dan/atau intraseluler kalsium

juga terdeteksi oleh sel-sel juxtaglomerular yang menghasilkan sekresi

renin. Renin mengkatalisis konversi angiotensinogen menjadi angiotensin

I dalam darah. Angiotensin I (Ang I) kemudian dikonversi menjadi

angiotensin II (Ang II) oleh angiotensin-converting enzyme (ACE). Setelah

mengikat reseptor tertentu (diklasifikasikan sebagai subtipe AT1 atau

AT2), angiotensin II memberikan efek biologis di beberapa jaringan.

Reseptor AT1 terletak di otak, ginjal, miokardium, pembuluh darah perifer,

dan kelenjar adrenal. Reseptor ini memediasi berbagai respon penting

untuk fungsi kardiovaskuler dan ginjal. Reseptor AT2 terletak di jaringan

medula adrenal, uterus, dan otak. Stimulasi reseptor AT2 tidak

mempengaruhi regulasi tekanan darah (Dipiro J, et.al., 2008).

RAAS memainkan peran penting dalam inisiasi inflamasi vaskuler

dan remodeling vaskuler. Inflamasi vaskuler menyebabkan disfungsi

endotel dan fungsi endotel yang menurun memediasi perkembangan

penyakit kardiovaskuler. Disfungsi endotelium adalah kebocoran endotel

yang memudahkan migrasi sel inflamasi ke dalam dinding vaskuler dan


13

merangsang proliferasi sel otot polos, proses yang menurunkan fungsi

vaskuler dan memicu perkembangan penyakit kardiovaskuler. Bukti kuat

menunjukkan hubungan antara hipertensi dan aterosklerosis melalui

inflamasi yang dimediasi Ang II. Penelitian menunjukkan Ang II memiliki

respon proinflammatori di arteri, jantung, dan ginjal dengan mengatur

ekspresi sitokin dan kemokin. Ang II menginduksi kerusakan endothelial

dengan menghambat regenerasi sel endotel. Ang II memainkan peran

penting dalam inisiasi dan progresi atherogenesis. Ang II adalah

prooksidan yang poten. Ang II menginduksi produksi anion superoksida

dan mengaktifkan sinyal prooksidan NADH/NADPH. Stres oksidatif yang

dimediasi Ang II mengurangi tingkat nitrat oksida (NO). Interaksi antara

disfungsi endotel dan stres oksidatif memainkan peran penting dalam

proses aterosklerotik. Peningkatan stres oksidatif dalam dinding vaskuler

merupakan ciri khas penyakit vaskuler seperti hipertensi, aterosklerosis,

dan diabetes (Pacurari, M., et.al., 2014).

Angiotensin II dapat meningkatkan tekanan darah melalui efek

terhadap volume dan efek presor. Efek presor meliputi vasokonstriksi

langsung, stimulasi pelepasan katekolamin dari medula adrenal, dan

melalui peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik. Angiotensin II juga

merangsang sintesis aldosteron dari korteks adrenal. Hal ini menyebabkan

reabsorpsi natrium dan air yang meningkatkan volume plasma, resistensi

perifer total, dan akhirnya peningkatan tekanan darah. Aldosteron juga

memiliki peran dalam patofisiologi penyakit kardiovaskuler lainnya (gagal


14

jantung, infark miokard dan disfungsi ginjal) dengan memicu remodeling

jaringan yang mengarah ke fibrosis miokard dan disfungsi vaskuler (Dipiro

J, et.al., 2008).

Gambar 2. Diagram sistem renin-angeotensin-aldosteron (Dipiro J, et.al.,


2008)

Sistem saraf otonom dan pusat secara kompleks terlibat dalam

regulasi tekanan darah arteri. Sejumlah reseptor, baik yang meningkatkan

maupun yang menghambat pelepasan norepinefrin, terletak di permukaan

prasinaps terminal simpatik. Reseptor presinaps α dan β berperan dalam

umpan balik negatif dan positif untuk vesikel yang mengandung

norepinefrin yang terletak di dekat ujung saraf. Stimulasi neuronal dari

reseptor α prasinaps (α2) memberikan aksi inhibisi pada pelepasan

norepinefrin. Stimulasi reseptor β prasinaps memfasilitasi pelepasan


15

norepinefrin. Serabut saraf simpatik yang terletak pada permukaan sel

efektor juga mengandung reseptor α dan β. Stimulasi reseptor α1

postssinaps pada arteriol dan venula menghasilkan vasokontriksi.

Terdapat dua jenis reseptor β postsinaptik, yaitu β1 dan β2. Stimulasi

reseptor β1 di jantung memicu peningkatan denyut jantung dan

kontraktilitas, sedangkan stimulasi reseptor β2 di arteriol dan venula

menyebabkan vasodilatasi (Dipiro J, et.al., 2008).

5. Gejala hipertensi

Sebagian besar penderita hipertensi tidak memperlihatkan gejala.

Masa laten ini menyelubungi perkembangan hipertensi sampai terjadi

kerusakan organ yang spesifik. Kalaupun menunjukkan gejala, gejala

tersebut biasanya ringan dan tidak spesifik, misalnya pusing. Walaupun

demikian beberapa gejala muncul bersamaan dan diyakini berhubungan

dengan hipertensi. Jika hipertensi berat atau menahun dan tidak diobati,

dapat timbul gejala antara lain mudah marah, gelisah, sakit kepala, mual,

muntah, nyeri di dada dan bagian kepala belakang, lelah, rasa berat di

tengkuk, keringat berlebih, napas pendek, pandangan berkunang-kunang

atau kabur, dan telinga berdengung (Katzung, 2001). Gejala akibat

komplikasi hipertensi yang pernah dijumpai meliputi gangguan

penglihatan, saraf, jantung, fungsi ginjal dan gangguan serebral yang

mengakibatkan kejang dan pendarahan pembuluh darah otak yang

mengakibatkan kelumpuhan dan gangguan kesadaran hingga koma

(Cahyono, 2008).
16

6. Diagnosis hipertensi

Diagnosis hipertensi tidak boleh ditegakkan berdasarkan sekali

pengukuran, kecuali bila tekanan darah sistolik (TDS) ≥ 210 mmHg

dan/atau tekanan darah diastolik (TDD) ≥ 120 mmHg. Pengukuran

pertama harus dikonfirmasi pada sedikitnya 2 kunjungan lagi dalam waktu

1 sampai beberapa minggu (tergantung dari tingginya TD tersebut).

Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dari pengukuran berulang-ulang

tersebut diperoleh nilai rata-rata TDS ≥ 140 mmHg dan/atau TDD ≥ 90

mmHg (Depkes RI, 2006; Ganiswarna S., 2007).

7. Penatalaksanaan terapi hipertensi

a. Tujuan terapi

Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah penurunan mortalitas

dan morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi. Mortalitas dan

morbiditas ini berhubungan dengan kerusakan organ target (misal:

kejadian kardiovaskuler atau serebrovaskuler, gagal jantung, dan penyakit

ginjal). Mengurangi resiko merupakan tujuan utama terapi hipertensi, dan

pilihan terapi obat dipengaruhi secara bermakna oleh bukti yang

menunjukkan pengurangan risiko (Depkes RI, 2006).

Target nilai tekanan darah yang direkomendasikan dalam JNC VIII,

yaitu (James, et.al., 2013):

1) Pada pasien 60 tahun atau lebih yang tidak memiliki diabetes atau

penyakit ginjal kronik, maka target terapi tekanan darah adalah

<150/90 mHg.
17

2) Pada pasien 18-59 tahun tanpa kormobiditas mayor, dan pada pasien

60 tahun atau lebih yang memiliki diabetes, penyakit ginjal kronik, atau

keduanya, maka target terapi tekanan darah adalah <140/90 mmHg.

b. Terapi nonfarmakologi

Terapi nonfarmakologi merupakan komponen penting dalam

perawatan semua pasien dengan hipertensi. Pada beberapa kasus

hipertensi tahap 1, tekanan darah mungkin dapat dikendalikan dengan

kombinasi dari penurunan berat badan (individu yang kelebihan berat

badan), membatasi asupan natrium, meningkatkan latihan aerobik, dan

konsumsi moderat alkohol. Perubahan gaya hidup ini, meskipun sulit bagi

banyak orang, dapat juga memfasilitasi kontrol farmakologi tekanan darah

(Brunton, et.al., 2011).

Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting

untuk mencegah tekanan darah tinggi. Semua pasien dengan

prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup.

Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien-pasien dengan

hipertensi, modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya

tekanan darah ke hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah

prehipertensi. Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat

menurunkan tekanan darah adalah mengurangi berat badan untuk

individu yang obes atau gemuk; mengadopsi pola makan DASH (Dietary

Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium; diet

rendah natrium; dan aktifitas fisik. Program diet yang mudah diterima
18

adalah yang didesain untuk menurunkan berat badan secara perlahan-

lahan pada pasien yang obes disertai pembatasan pemasukan natrium

(Depkes RI, 2006).

c. Terapi farmakologi

Tekanan arteri merupakan hasil dari output jantung dan resistensi

pembuluh darah perifer. Obat penurun tekanan darah bekerja pada

resistensi perifer, curah jantung, atau keduanya. Obat dapat menurunkan

output jantung dengan menghambat kontraktilitas miokard atau dengan

menurunkan tekanan pengisian ventrikel. Pengurangan tekanan pengisian

ventrikel dapat dicapai melalui aksi pada tonus vena atau pada volume

darah melalui efek ginjal. Obat dapat menurunkan resistensi perifer

dengan bekerja pada otot polos untuk menyebabkan relaksasi resistensi

pembuluh darah atau dengan mempengaruhi aktivitas sistem yang

menghasilkan penyempitan pembuluh darah (misalnya, sistem saraf

simpatik atau sistem renin-angiotensin). Obat antihipertensi dapat

diklasifikasikan berdasarkan letak atau mekanisme kerja obat.

Konsekuensi hemodinamik jangka panjang pengobatan dengan obat

antihipertensi memberikan alasan rasional untuk efek komplementer

potensial dari terapi bersamaan dengan dua atau lebih obat. Penggunaan

bersama obat dari kelas yang berbeda adalah strategi untuk mencapai

kontrol tekanan darah yang efektif dan meminimalkan dampak buruk

terkait dosis (Brunton, et.al., 2011).


19

Diuretik, beta bloker, penghambat enzim konversi angiotensin

(ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan antagonis kalsium

dianggap sebagai obat antihipertensi utama. Obat-obat ini baik digunakan

tunggal atau dikombinasi, harus digunakan untuk mengobati mayoritas

pasien dengan hipertensi karena bukti menunjukkan keuntungan dengan

kelas obat ini. Beberapa dari kelas obat ini (misalnya diuretik dan

antagonis kalsium) mempunyai subkelas dimana perbedaan yang

bermakna dari studi terlihat dalam mekanisme kerja, penggunaan klinis

atau efek samping. Penghambat alfa, agonis alfa 2 sentral, penghambat

adrenergik, dan vasodilator digunakan sebagai obat alternatif pada

pasien-pasien tertentu di samping obat utama. Bukti ilmiah menunjukkan

bahwa dalam seleksi obat hipertensi tidak hanya mempertimbangkan

penurunan tekanan darah, tolerabilitas, dan biaya. Praktik evidence-based

untuk hipertensi termasuk memilih obat tertentu berdasarkan data yang

menunjukkan penurunan mortalitas dan morbiditas kardiovaskuler atau

kerusakan target organ akibat hipertensi. Berdasarkan pertimbangan

faktor-faktor ini, obat-obat yang paling berguna adalah diuretik,

penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor

angiotensin (ARB), beta bloker, dan antagonis kalsium (CCB) (Depkes RI,

2006).

1) Diuretika

Strategi awal untuk pengelolaan hipertensi adalah untuk mengubah

keseimbangan natrium (Na+) dengan pembatasan garam dalam diet.


20

Perubahan farmakologi keseimbangan Na+ menjadi mudah dengan

perkembangan diuretik tiazid aktif peroral. Agen diuretik memiliki efek

antihipertensi bila digunakan tunggal dan meningkatkan efektivitas hampir

semua obat antihipertensi lainnya. Pertimbangan ini, ditambah dengan

pengalaman menguntungkan dengan diuretik dalam percobaan acak pada

pasien dengan hipertensi, mendorong penggunaan golongan obat ini yang

dinilai masih sangat penting dalam pengobatan hipertensi (Brunton, et.al.,

2011).

Mekanisme tepat penurunan tekanan darah arteri dengan diuretik

belum pasti. Umumnya, aksi obat ini menurunkan volume ekstraseluler

melalui interaksi dengan co-transporter NaCl yang sensitif tiazid yang

terdapat dalam tubulus distal di ginjal, sehingga meningkatkan ekskresi

Na+ dalam urin dan mengarah pada penurunan curah jantung. Efek

hipotensif dipertahankan selama terapi jangka panjang karena penurunan

resistensi pembuluh darah (Brunton, et.al., 2011).

Diuretik tiazid (benzothiadiazine) banyak digunakan sebagai agen

antihipertensi di Amerika. Penemuan chlorothiazide mendorong

pengembangan sejumlah diuretik oral yang memiliki struktur dan fungsi

molekuler yang serupa dengan senyawa benzothiadiazine, sehingga

digolongkan dalam kelas diuretik. Karena efek farmakologis yang mirip,

umumnya diuretik dapat saling menggantikan dengan penyesuaian dosis

yang tepat. Meskipun demikian, farmakokinetik dan farmakodinamik obat

ini mungkin berbeda sehingga efikasi klinis tidak selalu sama dalam
21

mengobati hipertensi. Kebanyakan pasien akan memberi respon terhadap

diuretik tiazid dengan penurunan tekanan darah dalam waktu sekitar 4-6

minggu. Diuretik mungkin tidak efektif sebagai terapi tunggal pada pasien

dengan hipertensi tahap 2. Efek diuretik tiazid yang aditif dengan obat

antihipertensi lainnya menyebabkan rejimen kombinasi yang mencakup

diuretik ini menjadi umum dan rasional digunakan. Diuretik juga memiliki

keuntungan meminimalkan retensi garam dan air yang umum disebabkan

oleh vasodilator. Diuretik lain di samping diuretik tiazid adalah diuretik

loop, seperti furosemid dan bumetanid. Efek berbeda dari kedua agen ini

kemungkinan besar terkait dengan durasi pendek dari aksi diuretik loop,

sehingga dosis harian tunggal tidak menyebabkan pengeluaran Na+ yang

signifikan untuk periode 24 jam. Efek khas diuretik loop dalam

memproduksi natriuresis yang cepat dan kuat dapat merugikan untuk

pengobatan hipertensi. Sedangkan ketika diuretik loop diberikan dua kali

sehari, diuresis akut dapat berlebihan dan menyebabkan efek samping

yang lebih besar dibanding diuretik tiazid. Namun, diuretik loop mungkin

sangat berguna pada pasien dengan azotemia atau dengan edema berat.

Amilorida adalah diuretik hemat kalium (K+) yang juga memiliki efek

menurunkan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi. Diuretik

hemat kalium lain, yaitu spironolactone, juga menurunkan tekanan darah

tetapi memiliki beberapa efek samping signifikan, terutama pada pria

(misalnya, disfungsi ereksi). Kemampuan diuretik tipe ini untuk

menghambat hilangnya K+ dalam urin menjadi alasan obat ini digunakan


22

dalam pengobatan pasien dengan hiperaldosteron, yaitu sindrom yang

dapat menyebabkan hipokalemia (Brunton, et.al., 2011).

2) Antagonis reseptor β-adrenergik (β – bloker)

Antagonis reseptor β-adrenergik (β –bloker) tidak diduga memiliki

efek antihipertensi ketika pertama kali diteliti pada pasien dengan angina

sebagai indikasi utamanya. Namun, pronethalol, obat golongan ini yang

tidak pernah dipasarkan, telah ditemukan mengurangi tekanan darah

arteri pada pasien hipertensi dengan angina pectoris. Efek antihipertensi

ini kemudian ditunjukkan oleh propranolol dan semua antagonis reseptor

β-adrenergik lainnya. Antagonisme reseptor β adrenergik mempengaruhi

regulasi sirkulasi melalui sejumlah mekanisme, termasuk pengurangan

kontraktilitas miokard, denyut jantung, dan output jantung. Blokade

reseptor β pada kompleks juxtaglomerular mengurangi sekresi renin dan

dengan demikian mengurangi produksi Angiotensin II. Mekanisme ini

mungkin memberikan kontribusi aksi antihipertensi dari obat golongan ini

yang sejalan dengan efek jantung (Brunton, et.al., 2011).

β–bloker bervariasi dalam hal selektivitas terhadap subtipe reseptor

β1, adanya agonis parsial atau aktivitas simpatomimetik intrinsik, dan

kapasitas vasodilatasi. Perbedaan ini dapat berpengaruh pada

farmakokinetik klinis dan efek samping dari berbagai obat. Obat tanpa

aktivitas simpatomimetik intrinsik menghasilkan pengurangan awal curah

jantung. Pada pasien yang merespon dengan penurunan tekanan darah,

resistensi perifer secara bertahap berkurang. Umumnya, pengurangan


23

curah jantung secara terus-menerus dan kemungkinan penurunan

resistensi perifer menghasilkan penurunan tekanan arteri. Obat dengan

aktivitas simpatomimetik intrinsik menghasilkan penurunan denyut jantung

dan curah jantung yang lebih rendah. Penurunan tekanan arteri

berkorelasi dengan penurunan resistensi vaskuler karena stimulasi

reseptor β2 vaskuler yang memediasi vasodilatasi. β–bloker memberikan

terapi yang efektif untuk semua tahap hipertensi. Meskipun perbedaan

yang ditandai dalam sifat farmakokinetik, efek antihipertensi dari semua β

-bloker memberikan durasi yang cukup untuk pemberian sekali atau dua

kali sehari. Populasi yang cenderung memiliki respon antihipertensi yang

lebih rendah terhadap β-bloker adalah lansia dan ras Afrika-Amerika.

β-bloker tidak menyebabkan retensi garam dan air, serta pemberian

diuretik tidak diperlukan untuk menghindari edema. Namun, diuretik

memiliki efek antihipertensi aditif bila dikombinasikan dengan β-bloker.

Obat β -bloker sesuai untuk pasien hipertensi dengan kondisi seperti

infark miokard, penyakit jantung iskemik, atau gagal jantung kongestif

(Brunton, et.al., 2011).

3) Antagonis reseptor α1-adrenergik

Ketersediaan obat yang selektif menghambat reseptor α1-

adrenergik tanpa mempengaruhi reseptor α2-adrenergik menambahkan

kelompok lain obat antihipertensi. Prazosin, terazosin, dan doxazosin

adalah agen yang tersedia untuk pengobatan hipertensi. Awalnya,

antagonis reseptor α1-adrenergik mengurangi resistensi arteriol dan


24

peningkatan kapasitas vena sehingga menyebabkan peningkatan refleks

pada denyut jantung dan aktivitas renin plasma. Selama terapi jangka

panjang, vasodilatasi berlanjut tetapi curah jantung, denyut jantung, dan

aktivitas renin plasma kembali normal. Aliran darah ginjal tidak berubah

selama terapi dengan antagonis reseptor α1. Retensi garam dan air terjadi

pada banyak pasien selama pemberian berlanjut. Antagonis reseptor α1

tidak dianjurkan sebagai monoterapi untuk penderita hipertensi. Obat

golongan ini digunakan terutama dengan diuretik, β bloker, dan

antihipertensi lainnya. β –bloker meningkatkan efek dari antagonis

reseptor α1. antagonis reseptor α1 adalah obat yang sesuai bagi pasien

hipertensi dengan benign prostatic hyperplasia, karena dapat juga

memperbaiki gejala urinaria (Brunton, et.al., 2011).

4) Antagonis kanal kalsium (Ca2+ channel blocker/CCB)

Agen penghambat kanal kalsium (Ca2+) merupakan golongan obat

yang penting pada pengobatan hipertensi. Penggunaan obat golongan ini

dalam hipertensi berdasarkan pemahaman bahwa hipertensi umumnya

adalah hasil dari peningkatan resistensi pembuluh darah perifer. Kontraksi

otot polos pembuluh darah tergantung pada konsentrasi intraseluler Ca2+

bebas sehingga penghambatan perpindahan transmembran Ca2+ melalui

kanal Ca2+ bergantung voltase dapat menurunkan jumlah total Ca2+ yang

mencapai daerah intraseluler. Semua agen antagonis kanal Ca2+

menurunkan tekanan darah melalui relaksasi otot polos arteriol dan

penurunan resistensi pembuluh darah perifer. Pada kasus penggunaan


25

dihidropiridin, takikardia dapat terjadi akibat stimulasi adrenergik dari SA

node, namun respon ini cukup ringan kecuali jika obat diberikan dengan

cepat. Takikardia minimal terjadi pada penggunaan verapamil dan

diltiazem. Penggunaan bersama dengan β – bloker dapat memperbesar

efek kronotropik negatif obat ini atau menyebabkan blok jantung pada

pasien yang rentan. Antagonis kanal Ca2+ efektif baik digunakan sendiri

atau kombinasi dengan obat lain untuk pengobatan hipertensi. Hal ini

telah diperkuat oleh sejumlah besar uji klinis (Brunton, et.al., 2011).

5) Angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACE-I)

Angiotensin II merupakan regulator penting dari fungsi

kardiovaskuler. Kemampuan untuk mengurangi tingkat AngII (Angiotensin

II) dengan inhibisi efektif ACE merupakan kemajuan penting dalam

pengobatan hipertensi. Kaptopril adalah agen yang pertama

dikembangkan untuk pengobatan hipertensi. Enalapril, lisinopril, quinapril,

ramipril, benazepril, dan perindopril juga telah tersedia. ACE-I juga hadir

memberikan keuntungan dalam pengobatan pasien dengan diabetes,

karena dapat memperlambat pengembangan dan perkembangan diabetes

glomerulopati. ACE-I efektif dalam memperlambat perkembangan dari

penyakit ginjal kronis, seperti glomerulosklerosis, dan banyak dari pasien

ini juga memiliki hipertensi. Pasien dengan hipertensi dan penyakit jantung

iskemik sesuai untuk pengobatan dengan inhibitor ACE (Brunton, et.al.,

2011).
26

Dampak endokrin dari penghambatan biosintesis AngII berperan

penting dalam pengobatan hipertensi. Inhibitor ACE mencegah kenaikan

konsentrasi aldosteron sebagai respon kehilangan Na+ yang

menyebabkan peran normal aldosteron untuk menghambat natriuresis

yang diinduksi diuretik berkurang. Oleh karena itu, ACE-I cenderung

meningkatkan efek obat diuretik (Brunton, et.al., 2011).

Penurunan produksi aldosteron oleh ACE–I juga mempengaruhi

homeostasis kalium (K+). Kenaikan kalium serum dalam jumlah sangat

kecil dan secara klinis tidak berpengaruh terjadi ketika agen ini digunakan

pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Namun, retensi besar K+ dapat

terjadi pada beberapa pasien dengan insufisiensi ginjal. Selanjutnya,

potensi untuk menyebabkan hiperkalemia harus dipertimbangkan ketika

ACE –I digunakan dengan obat lain yang dapat menyebabkan retensi,

diuretik hemat kalium, NSAID, suplemen K+, dan β –bloker (Brunton, et.al.,

2011).

6) Antagonis reseptor AT1 (Angiotensin receptor blocker/ARB)

Pengembangan agen antagonis nonpeptida terhadap reseptor AT1

AngII untuk penggunaan klinis dilakukan mengingat pentingnya peran

AngII dalam pengaturan fungsi kardiovaskuler. Losartan, candesartan,

irbesartan, valsartan, telmisartan, olmesartan, dan eprosartan telah

disetujui untuk pengobatan hipertensi. Melalui efek antagonis terhadap

AngII, obat ini merelaksasi otot polos dan menyebabkan vasodilatasi,

meningkatkan ekskresi garam dan air, mengurangi volume plasma, dan


27

menurunkan hipertrofi seluler. Ada dua subtipe yang berbeda dari reseptor

AngII, yaitu AT1 dan AT2. Reseptor subtipe AT1 terletak dominan di

pembuluh darah dan jaringan miokard dan juga di otak, ginjal, dan sel

glomerulosa adrenal yang mensekresi aldosteron. Subtipe AT2 ditemukan

di medula adrenal, ginjal, dan SSP, yang mungkin memainkan peran

dalam perkembangan vaskuler (Brunton, et.al., 2011).

Penghambatan RAAS dengan ARB telah terbukti mengurangi

inflamasi vaskuler dan memperbaiki fungsi endotel. Telah diketahui bahwa

stres oksidatif memainkan peran penting dalam memediasi disfungsi

endotelium. Penggunaan valsartan telah terbukti mencegah terbentuknya

reactive oxygen species (ROS) dan untuk menekan aktivitas NF-κB, yaitu

faktor transkripsi yang mengatur ekspresi sitokin inflamasi dan molekul

adhesi sel, yang berkontribusi terhadap pengembangan inflamasi

vaskuler. Secara in vitro dan in vivo, penelitian menunjukkan bahwa efek

antiinflamasi ARB candesartan adalah melalui supresi reseptor inflamasi

toll-like 2 dan 4 (TLR2 dan TLR4) (Pacurari, M., et.al., 2014).

Berbeda dengan ACE-I, ARB tidak menghambat degradasi

bradikinin. Oleh karena itu, ARB tidak berpotensi menyebabkan efek

samping berupa batuk seperti ACE-I (Dipiro, et.al., 2008). Pemberian obat

ini pada dosis yang cukup, sama efektifnya dengan ACE-I dalam

pengobatan hipertensi. Jika tekanan darah tidak terkontrol oleh antagonis

reseptor AT1 saja, obat kedua dengan mekanisme yang berbeda

(misalnya, diuretik atau CCB) dapat ditambahkan (Brunton, et.al., 2011).


28

7) Vasodilator

Vasodilator adalah obat dengan kemampuan melebarkan pembuluh

darah. Obat ini bekerja langsung pada otot-otot di dinding arteri,

menyebabkan relaksasi otot, dan mencegah penyempitan dinding

pembuluh darah. Akibatnya, aliran darah mengalir lebih mudah melalui

arteri, sehingga jantung tidak bekerja keras memompa darah dan tekanan

darah pun menurun. Contoh vasodilator adalah hydralazine dan minoxidil.

Obat ini digunakan untuk mengatasi hipertensi, preeklampsia atau

eklampsia, gagal jantung, dan pulmonary hypertension. Vasodilator

mempunyai efek samping yang cukup berat sehingga biasanya hanya

digunakan sebagai usaha terakhir jika obat lain tidak mampu mengontrol

tekanan darah pasien (Ganiswarna S., 2007; Tjay H.T., 2002).

Gambar 3. Algoritma penatalaksanaan terapi hipertensi (James, et.al.,


2013)
29

Menurut JNC VIII, terapi lini pertama dibatasi menjadi pilihan empat

golongan, yaitu obat diuretik-tipe tiazid, calcium channel blocker (CCB),

ACEI, atau ARB. Alternatif lini kedua dan ketiga termasuk dosis yang lebih

tinggi atau kombinasi dari diuretik-tipe tiazid, calcium channel blocker,

ACEI, dan ARB (James, et.al., 2013).

Penggunaan ACEI dan ARB direkomendasikan pada seluruh

pasien dengan penyakit ginjal kronik tanpa melihat latar belakang etnis,

baik sebagai terapi tunggal lini pertama atau kombinasi dengan golongan

obat lain. ACEI dan ARB tidak boleh digunakan pada pasien yang sama

secara bersamaan. CCB dan diuretik tipe tiazid harus digunakan daripada

ACEI dan ARB pada pasien lebih dari 75 tahun dengan penurunan fungsi

ginjal karena adanya risiko hiperkalemia, peningkatan kreatinin, dan

penurunan fungsi ginjal yang lebih parah (James, et.al., 2013).

8. Penyakit komplikasi

Kebanyakan pasien dengan hipertensi memiliki beberapa kondisi

lain atau penyakit penyerta yang dapat mempengaruhi pemilihan atau

penggunaan terapi obat. Pengaruh penyakit penyerta tersebut adalah

melengkapi pilihan terapi obat, terutama yang menunjukkan indikasi

tambahan. Dalam beberapa kasus, obat tertentu harus dihindari karena

dapat memperburuk gangguan yang menyertai hipertensi.

Dalam kasus lain, antihipertensi tertentu dapat digunakan untuk

mengobati hipertensi dan penyakit lain yang menyertainya (Dipiro, et.al.,

2008).
30

a. Diabetes mellitus

Hipertensi dan diabetes mellitus (DM) seringkali berdampingan dan

pasien dengan kombinasi kedua penyakit ini memiliki risiko terjadinya

bahaya kardiovaskuler lebih tinggi dibandingkan dengan pasien dengan

penyakit hipertensi atau DM saja (Hao, et. al., 2014). Diabetes mellitus

adalah penyakit gangguan metabolik umum yang timbul dari berbagai

mekanisme patogen yang pada akhirnya mengakibatkan hiperglikemia.

Faktor genetik dan lingkungan berperan dalam patogenesis, yaitu

melibatkan insufisiensi sekresi insulin, penurunan respon terhadap insulin

endogen maupun eksogen, peningkatan produksi glukosa, dan/atau

kelainan dalam metabolisme lemak dan protein. Hiperglikemia yang

dihasilkan dapat menyebabkan baik gejala akut maupun kelainan

metabolik (Brunton, et.al., 2011).

Berdasarkan patologinya, DM dibedakan atas empat golongan,

yaitu; DM tipe 1 disebabkan oleh kerusakan sel β pankreas, DM tipe 2

disebabkan oleh gangguan pada reseptor sel β pankreas sehingga sel

tidak mampu memproduksi insulin dalam jumlah dan kualitas yang cukup,

DM tipe 3 disebabkan oleh intoleransi glukosa yang timbul selama masa

kehamilan (diabetes gestasional), dan DM tipe lain disebabkan oleh

berbagai faktor yang menyebabkan jumlah atau kualitas insulin tidak

mencukupi, antara lain disebabkan oleh perubahan genetik fungsi sel

beta, perubahan genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas,


31

endokrinopati, akibat kerja obat atau zat kimia, infeksi, imunologi dan

sindrom genetik lainnya (Almasdy D., et.al., 2015).

Diagnosis klinis DM ditegakkan jika ada gejala khas DM berupa

polidipsia, poliuria, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat

dijelaskan penyebabnya. Jika ada gejala khas dan pemeriksaan glukosa

darah sewaktu (GDS) ≥ 200 mg/dl, diagnosis DM sudah dapat ditegakkan.

Hasil pemeriksaan glukosa darah puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl juga dapat

digunakan untuk pedoman diagnosis DM. Sedangkan untuk pasien tanpa

gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja

belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Pemeriksaan lebih

lanjut diperlukan yaitu GDP ≥ 126 mg/d dan GDS ≥ 200 mg/dl pada hari

yang lain atau hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥ 200 mg/dl.

Penatalaksanaan dan pengelolaan DM didasarkan pada 4 pilar, yaitu:

edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis.

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan edukasi

pasien, pengaturan pola makan dan latihan jasmani. Pengobatan DM tipe

2 selalu diawali dengan gaya hidup sehat. Sebagian penderita DM tipe 2

dapat terkendali dengan menjalankan terapi nonfarmakologis ini, namun

jika belum terkendali maka diberikan monoterapi antidiabetik oral, seperti

golongan sulfonilurea, golongan biguanid, acarbose, tiazolidindion, dan

DPP-4 inhibitor. Pemberian antidiabetik oral dimulai dengan dosis kecil

dan ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa

darah. Jika glukosa darah belum terkendali juga, maka diberikan


32

kombinasi 2 antidiabetik oral yang memiliki cara kerja berbeda. Jika

dengan gaya hidup sehat dan kombinasi terapi 2 antidiabetik belum

optimal maka ada 2 pilihan yaitu gaya hidup sehat disertai kombinasi 3

antidiabetik oral atau kombinasi terapi 2 antidiabetik oral bersama insulin

basal. Terapi dengan insulin intensif dipilih ketika glukosa darah tetap

tidak terkendali dengan penatalaksanaan tersebut. Terapi insulin ini

diberikan kombinasi insulin basal untuk mengendalikan glukosa darah

puasa, dan insulin kerja cepat atau kerja pendek untuk mengendalikan

glukosa darah prandial. Kombinasi insulin basal dan prandial ini berbentuk

basal bolus yang terdiri dari 1 kali basal dan 3 kali prandial (Ndraha S.,

2014).

Pasien dengan hipertensi dan diabetes dapat ditangani dengan baik

menggunakan inhibitor ACE atau ARB. Bukti dari hasil penelitian telah

menunjukkan manfaat kedua obat ini terhadap penurunan risiko

kardiovaskuler dan pengurangan risiko progresif disfungsi ginjal pada

pasien dengan diabetes. Diuretik tipe tiazid direkomendasikan sebagai

obat kedua untuk menurunkan tekanan darah dan memberikan tambahan

pengurangan risiko kardiovaskuler (Dipiro, et.al., 2008).

b. Coronary artery disease (penyakit jantung koroner)

Hipertensi diketahui sebagai faktor risiko utama untuk CAD, seperti

halnya untuk stroke dan gagal ginjal. Hipertensi dan CAD umum terjadi,

dan keduanya seringkali berdampingan dalam sejumlah besar individu di

masyarakat. Insiden hipertensi dan CAD meningkat seiring bertambahnya


33

usia. Pengobatan hipertensi mengurangi risiko kardiovaskuler, tetapi

diperlukan identifikasi interaksi faktor risiko dengan massa tubuh,

dislipidemia, intoleransi glukosa, merokok, hipertrofi ventrikel kiri, dan

penyakit ginjal. Mekanisme patofisiologis hipertensi dan CAD memiliki

kaitan yang sama terutama dengan biologi vaskuler penyakit

arteriosklerosis, yang melibatkan faktor-faktor seperti stres oksidatif;

sitokin; agen humoral dan metabolik seperti angiotensin; endothelin;

kekurangan atau inaktivasi vasodilator seperti oksida nitrat; prostasiklin

dan peptida natriuretik; dan penanganan seluler elektrolit yang tidak

normal, terutama natrium dan kalsium (Rosendorff, C., 2007).

Coronary artery disease adalah suatu kondisi dimana suplai darah

dan oksigen yang tidak adekuat ke sebagian miokardium. Biasanya terjadi

bila ada ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan oksigen

miokard. Penyebab paling umum iskemia miokard adalah penyakit

aterosklerosis dari koroner epikardial arteri atau arteri cukup untuk

menyebabkan penurunan regional aliran darah miokard dan perfusi

miokard yang tidak adekuat yang disuplai oleh arteri koroner yang terlibat

(Talwar, K.K., et.al., 2009).

Target tekanan darah sebaiknya <130/90 mmHg pada pasien

coronary artery disease (CAD), atau yang serupa CAD (penyakit arteri

karotid, aneurisme aorta perut, dan penyakit pembuluh darah perifer), bagi

kebanyakan orang dewasa. Bagi pasien dengan disfungsi ventrikel kiri,

target tekanan darah yang direkomendasikan adalah <120/80 mmHg.


34

Obat antihipertensi atau kombinasi yang efektif diindikasikan untuk

pencegahan CAD primer, dan diutamakan penggunaan inhibitor

angiotensin converting enzyme (ACE), angiotensin receptor blocker

(ARB), calcium channel blocker (CCBs), dan diuretik thiazid. Untuk

pengelolaan hipertensi pada pasien dengan CAD tetap (angina stabil atau

tidak stabil, non–ST-segment elevation myocardial infarction, ST-segment

elevation myocardial infarction), pemberian β bloker dan inhibitor ACE

(atau ARB) merupakan dasar pengobatan yang tepat. Jika diperlukan

penurunan tekanan darah lebih lanjut, diuretik tiazid dan/atau CCB

dihidropiridin (bukan verapamil atau diltiazem) dapat ditambahkan, namun

sedikit bukti yang menunjukkan bahwa agen ini memberikan hasil terapi

yang lebih baik dibandingkan agen lain pada hipertensi dengan CAD. Jika

disfungsi ventrikel kiri, terapi yang direkomendasikan terdiri dari inhibitor

ACE atau ARB, β bloker, dan diuretik thiazid atau diuretik kuat

(Rosendorff, C., 2007; Rosendorff, C., et.al., 2007).

c. Gagal jantung

Gagal jantung merupakan kumpulan gejala yang kompleks dengan

tampilan berupa gejala nafas pendek yang tipikal saat istirahat atau saat

melakukan aktifitas disertai/ tidak dengan kelelahan; tanda retensi cairan

(kongesti paru atau edema pergelangan kaki); dan adanya bukti objektif

dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat (Siswanto, B.,

2015). Gagal jantung kongestif (congestive heart failure) atau sekarang

lebih dikenal dengan gagal gantung adalah sindrom klinis progresif yang
35

bisa terjadi akibat gangguan kemampuan ventrikel untuk mengisi

atau mengeluarkan darah, sehingga membuat jantung tidak mampu

memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh

(Dipiro et al., 2008). Hipertensi tetap merupakan faktor risiko yang

signifikan untuk pengembangan gagal jantung kongestif (congestive heart

failure/CHF), dengan berbagai mekanisme yang berkontribusi terhadap

disfungsi sistolik dan diastolik. Patogenesis dari perubahan miokardium

meliputi hipertrofi ventrikel kiri, remodeling struktural, dan fibrosis.

Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural jantung

atau berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional

NYHA, terdiri dari 4 stadium atau 4 kelas. Uji diagnostik biasanya paling

sensitif pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi rendah. Uji

diagnostik sering kurang sensitif pada pasien gagal jantung dengan fraksi

ejeksi normal. Ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna

dalam melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik. Abnormalitas

EKG sering dijumpai pada gagal jantung. Abnormalitas EKG memiliki nilai

prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal,

diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil

(< 10%). Foto toraks merupakan komponen penting dalam diagnosis

gagal jantung. Foto toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru,

efusi pleura dan penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau

memperberat sesak nafas. Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien

diduga gagal jantung adalah darah perifer lengkap (hemoglobin, leukosit,


36

trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes

fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan lain dipertimbangkan

sesuai tampilan klinis (Siswanto, B., 2015).

Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam

keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak

bermakna perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas

hidup, morbiditas dan prognosis. Manajemen perawatan mandiri

didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga

stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan

mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung, antara lain kepatuhan

pasien berobat, pemantauan berat badan mandiri, asupan cairan, dan

latihan fisik. Tujuan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi

morbiditas dan mortalitas. Tindakan preventif perburukan penyakit jantung

tetap menjadi bagian penting dalam tata laksana penyakit jantung.

Sangat penting untuk mendeteksi dan mempertimbangkan pengobatan

terhadap kormorbid kardiovaskuler dan non kardiovaskuler yang sering

dijumpai (Siswanto, B., 2015).

Penggolongan obat sangat erat kaitannya dengan algoritma pada

terapi gagal jantung kongestif. Penggolongan obat pada terapi gagal

jantung kongestif (CHF) adalah angiotensin converting enzyme Inhibitor

(ACE I), beta bloker, angiotensin receptor blocker (ARB), diuretik,

antagonis aldosteron, digoksin, nitrat dan hidralazin. ACEI dan beta bloker

diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi
37

ventrikel kiri ≤ 40 %, kecuali kontraindikasi. ARB direkomendasikan pada

pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap

simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan β-bloker dosis optimal

(intoleran terhadap keduanya), kecuali kontraindikasi. Diuretik

direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau

gejala kongesti. Penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil

dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan

gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa

hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Pada pasien gagal jantung

dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk memperlambat laju

ventrikel yang cepat. Kombinasi hidralazin dan nitrat (ISDN) digunakan

sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap ACEI dan ARB (Dipiro, J.,

e.al., 2008; Siswanto, B., 2015).

B. Telmisartan

Telmisartan berbentuk serbuk kristal, berwarna putih atau sedikit

kekuningan. Telmisartan memiliki sifat polimorfisme, praktis tidak larut

dalam air dan larut di dalam Natrium Hidroksida 1 M (Sweetman, 2009).

Gambar 4. Rumus struktur telmisartan (Sweetman, 2009)


38

Telmisartan (Micardis®) cepat diabsorbsi dari saluran

gastrointestinal. Bioavailabilitas oral bergantung pada dosis yaitu sekitar

42% setelah dosis 40 mg dan 58% setelah dosis 160 mg. Konsentrasi

plasma puncak telmisartan dicapai sekitar 0,5 sampai 1 jam setelah dosis

oral. Telmisartan terikat dengan plasma protein lebih dari 99%. Obat ini

diekskresikan hampir seluruhnya dalam feses, terutama dalam bentuk

obat tak berubah. Waktu paruh eliminasi telmisartan panjang yaitu sekitar

24 jam (Sweetman, 2009; Brunton, et.al., 2011).

Telmisartan (Micardis®) adalah antagonis reseptor angiotensin II

(angiotensin receptor blocker/ARB) yang digunakan dalam pengelolaan

hipertensi. Telmisartan diberikan secara oral. Setelah pemberian suatu

dosis, efek puncak penurunan tekanan darah dicapai dalam waktu 3 jam

dan berlangsung selama 24 jam. Efek penurunan tekanan darah

maksimum terjadi dalam waktu sekitar 4 sampai 8 minggu setelah

memulai terapi. Pada hipertensi, telmisartan diberikan dalam dosis awal

dari 40 mg sekali sehari. Dosis dapat ditingkatkan, jika perlu hingga dosis

maksimal 80 mg sekali sehari (Sweetman, 2009). Telmisartan dikeluarkan

dari sirkulasi darah utamanya melalui sekresi empedu. Klirens telmisartan

dari plasma dipengaruhi oleh gangguan hati dan tidak dipengaruhi oleh

gangguan ginjal (Brunton, et.al., 2011). Meskipun telmisartan nampaknya

diterima baik pada pasien dengan gangguan ginjal, namun pengurangan

dosis tetap perlu dipertimbangkan baik pada pasien gangguan hati

maupun gangguan ginjal (Sweetman, 2009).


39

Telmisartan tidak menghambat angiotensin converting enzyme

maupun kanal ion. Angiotensin II merupakan suatu vasokonstriktor yang

merangsang sintesis dan pelepasan aldosteron. Penghambatan

telmisartan terhadap efek tersebut mengakibatkan penurunan resistensi

vaskuler sistemik. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa

telmisartan merupakan agonis parsial PPAR-γ, yang dikenal sebagai

target pada obat anti diabetes. Hal ini menunjukkan bahwa telmisartan

dapat meningkatkan metabolisme karbohidrat dan lipid (Cowan, et. al.,

2009). Fungsi biologis telmisartan dapat digambarkan pada bagan berikut

(gambar 5).

Reseptor AT-1 Telmisartan PPAR- γ

↓ Tekanan darah ↓ Dislipidemia


↓Proliferasi sel ↓ Resistensi insulin
↓ Stres oksidatif ↓ Proliferasi sel
↓ Inflamasi sel ↓ Inflamasi sel
↑ Regenerasi sel ↓ Stres oksidatif
endotel ↑ Regenerasi sel
endotel
↓ Tekanan darah

Gambar 5. Fungsi biologis telmisartan (Vito, et.al., 2011)

Efek samping yang biasa terjadi adalah pusing, sakit kepala, dan

hipotensi ortostatik terkait dosis, namun efek samping ini umumnya ringan

dan berlangsung sementara. Hipotensi bisa terjadi terutama pada pasien

dengan penurunan volume, misalnya akibat dosis tinggi diuretik.

Gangguan fungsi ginjal dan hiperkalemia juga bisa terjadi (Sweetman,

2009).
40

C. Valsartan

Valsartan memiliki kelarutan yang rendah dengan sifat

permeabilitas tinggi. Valsartan praktis tidak larut dalam air. Obat dengan

karakteristik ini memiliki biovailabilitas yang rendah (US National Library of

Medicine, 2016; Sweetman, 2009).

Gambar 6. Rumus struktur valsartan (Sweetman, 2009)

Valsartan (Diovan®) diserap cepat setelah pemberian dosis oral

dengan bioavailabilitas sekitar 23%. Konsentrasi plasma puncak valsartan

terjadi 2 sampai 4 jam setelah dosis oral. Valsartan terikat pada protein

plasma antara 94 - 97%. Valsartan tidak signifikan dimetabolisme dan

diekskresikan terutama melalui empedu dalam bentuk obat tidak berubah.

Setelah pemberian dosis oral sekitar 83% diekskresikan dalam feses dan

hanya 13% dalam urin. Waktu paruh eliminasi sekitar 5-9 jam (Sweetman,

2009). Valsartan dikeluarkan dari sirkulasi darah oleh hati sekitar 70% dari

total klirens. Klirens valsartan dari plasma dipengaruhi oleh gangguan hati

dan tidak dipengaruhi oleh gangguan ginjal (Brunton, et.al., 2011).

Valsartan adalah antagonis reseptor angiotensin II yang digunakan

dalam penanganan hipertensi, untuk mengurangi mortalitas


41

kardiovaskuler pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri setelah infark

miokard, dan dalam pengelolaan gagal jantung. Valsartan diberikan

secara oral. Efek penurunan tekanan darah terjadi dalam waktu 2 jam,

mencapai puncak dalam waktu 4 sampai 6 jam, dan tetap ada selama

lebih dari 24 jam. Efek maksimum dicapai dalam waktu 2 sampai 4

minggu. Valsartan diberikan dalam dosis awal 80 mg sekali sehari pada

hipertensi. Jika perlu dosis ini dapat ditingkatkan hingga 160 mg sekali

sehari. Dosis maksimum adalah 320 mg sekali sehari. Dosis awal yang

lebih rendah, 40 mg sekali sehari dapat digunakan pada pasien usia lanjut

lebih dari 75 tahun dan pada pasien dengan penurunan volume

intravaskuler. Pada gagal jantung, valsartan diberikan dalam dosis awal

40 mg dua kali sehari. Dosis perlu ditingkatkan setelah dosis ditoleransi

menjadi 160 mg dua kali sehari (Sweetman, 2009).

Efek samping yang terjadi biasanya ringan dan sementara, antara

lain pusing, sakit kepala, dan hipotensi ortostatik terkait dosis. Hipotensi

bisa terjadi terutama pada pasien dengan penurunan volume, misalnya

akibat dosis tinggi diuretik. Gangguan fungsi ginjal juga bisa terjadi. Gejala

yang jarang terjadi seperti ruam, urtikaria, pruritus, angioedema, dan

peningkatan nilai enzim hati. Hiperkalemia dan mialgia juga telah

dilaporkan. Efek samping lain yang telah dilaporkan adalah gangguan

saluran pernafasan, sakit punggung, gangguan saluran cerna, kelelahan,

dan neutropenia. Valsartan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien


42

dengan gangguan hati atau ginjal dan pengurangan dosis mungkin

diperlukan (Sweetman, S.C. 2009).

D. Candesartan

Candesartan (candesartan cilexetil) adalah senyawa ester prodrug

inaktif yang dihidrolisis sempurna menjadi bentuk aktif (candesartan)

selama absorbsi di saluran cerna (Brunton, L., et.al., 2011).

Gambar 7. Rumus struktur candesartan (Sweetman, 2009)

Bioavailabilitas absolut candesartan adalah sekitar 40% saat

diberikan dalam bentuk larutan dan sekitar 14% ketika diberikan dalam

bentuk tablet. Lebih dari 99% candesartan terikat pada plasma protein.

Konsentrasi plasma puncak diperoleh 3-4 jam setelah pemberian tablet

oral, dan waktu paruh plasma adalah sekitar 9 jam. Klirens candesartan

melalui eliminasi ginjal sebanyak 33% dan ekskresi empedu sebanyak

67%, terutama sebagai obat yang tidak berubah dan sejumlah kecil

metabolit tidak aktif. Klirens plasma dipengaruhi oleh insufisiensi ginjal dan

tidak dipengaruhi oleh insufisiensi hati ringan sampai sedang.

Candesartan diberikan secara peroral satu atau dua kali sehari dengan

dosis harian 4-32 mg (Brunton, L., et.al., 2011; Sweetman, S.C. 2009).
43

Candesartan adalah antagonis reseptor angiotensin II yang

digunakan untuk pengelolaan hipertensi dan bisa juga digunakan pada

pasien gagal jantung dengan gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri, baik

saat inhibitor ACE tidak ditolerir maupun sebagai pilihan selain inhibitor

ACE. Efek antihipertensi muncul sekitar 2 jam setelah dosis dan efek

maksimal dicapai dalam waktu sekitar 4 minggu setelah memulai terapi.

Dalam pengelolaan hipertensi dosis awal yang biasa digunakan adalah 8

mg sekali sehari atau 16 mg sekali sehari. Dosis seharusnya disesuaikan

dengan respon. Dosis pemeliharaan biasanya 8 mg sekali sehari, tetapi

dosis sampai 32 mg setiap hari sebagai dosis tunggal atau dalam 2 dosis

terbagi, juga bisa digunakan. Dosis awal yang lebih rendah harus

dipertimbangkan pada pasien dengan deplesi volume intravaskuler, dan

dosis awal 4 mg sekali sehari disarankan. Pasien dengan gangguan ginjal

atau hati mungkin juga memerlukan dosis awal yang lebih. Pada gagal

jantung, candesartan diberikan pada dosis awal 4 mg sekali sehari. Efek

samping yang telah dilaporkan terjadi biasanya ringan dan sementara,

antara lain pusing, sakit kepala, dan hipotensi ortostatik terkait dosis.

Hipotensi bisa terjadi terutama pada pasien dengan penurunan volume,

misalnya akibat dosis tinggi diuretik. Gangguan fungsi ginjal dan gejala

yang jarang terjadi seperti ruam, urtikaria, pruritus, angioedema, dan

peningkatan nilai enzim hati bisa terjadi. Hiperkalemia dan mialgia juga

telah dilaporkan. Efek samping lain yang telah dilaporkan adalah


44

gangguan saluran pernafasan, sakit punggung, gangguan saluran cerna,

kelelahan, dan neutropenia (Sweetman, S.C., 2009).

E. Efek Metabolik ARB

Angiotensin receptor blocker telah digunakan secara luas dalam

terapi hipertensi dan penyakit kardiovaskuler yang berhubungan dengan

hipertensi. Peran penting ARB selain sebagai antihipertensi adalah

mempunyai aktivitas metabolik. Penelitian terakhir menyatakan bahwa

ARB dapat meningkatkan sensitivitas insulin pada model hewan coba.

Angiostensin II menghambat sinyal insulin intraseluler dan ARB

memperbaiki resistensi di tingkat molekuler. Berdasarkan percobaan pada

hewan, mekanisme ARB memperbaiki resistensi insulin diketahui dengan

memperbaiki regulasi Peroxisome Proliferator-Activated Receptor gamma

(PPAR-γ) pada gen target GLUT-4 (Schupp et al., 2004). Target aktivitas

PPARγ dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Aktivitas PPARγ pada gen target (Savage, 2005)

Fungsi Target
Triglyseride hydrolysis Lipoprotein lipase
Fatty acid uptake/esterification CD36, fatty-acid- transport protein 1
Fatty-acid-binding protein 4 (aP2)
AcylCoA synthase
Lipogenesis and triglyceride Phosphoenolpyruvate carboxykinase
synthesis Glycerol kinase
Lipolysis regulation Perilipin
Adipokines Adiponectin
Resistin
Insulin signalling and glucose Cbl-associated protein
uptake Insulin receptor subtrate 2
Glucose transporter 4
45

PPAR merupakan faktor transkripsi yang diaktivasi melalui stimulasi

hormon. PPAR mempunyai 3 bentuk yaitu PPARα, PPARβ/δ dan PPARγ.

PPARα mengatur oksidasi asam lemak, transpor dan pembentukan

lipoprotein. Percobaan pada hewan coba menunjukkan pengaruh PPAR

dalam menghambat sindrom metabolik dan penurunan glukosa darah.

Pada penelitian in vivo didapatkan pemberian PPARβ/δ akan memperbaiki

obesitas, dislipidemia dan menurunkan resistensi insulin. PPARγ juga

merupakan regulator adipogensis. Mutasi PPARγ dapat menurunkan HDL

dan meningkatkan trigliserida (Fei, J., 2012).

PPARγ meningkatkan hidrolisis trigliserida melalui lipoprotein lipase

di endotel dan ambilan asam lemak bebas ke dalam adiposit melalui fatty

acid transport protein (FATP) dan CD36. PPARγ menurunkan asam lemak

bebas di vena yang mengalir dari jaringan adipose sehingga menurunkan

lipotoksisitas di jaringan yang sensitif terhadap insulin (Semple, et al.,

2006).

Beberapa jenis ARB mempunyai aktivitas untuk menginduksi

PPARγ. Kemampuan induksi bergantung pada sifat fisikokimia terutama

sifat lipofilik obat. Telmisartan merupakan ARB dengan sifat lipofilik yang

terkuat sehingga paling poten untuk menginduksi PPAR-γ. Pada

konsentrasi tertentu telmisartan akan berefek antihipertensi sekaligus

memperbaiki sensistivitas insulin dan menurunkan glukosa plasma

(Schupp, et al., 2004). Konsentrasi minimum telmisartan yang dibutuhkan

untuk mengaktivasi PPAR-γ harus mencapai 280 ng/mL. Penelitian


46

menunjukkan bahwa aktivasi PPAR-γ telmisartan lebih baik pada dosis di

atas 40 mg (Mori, et.al., 2012).

F. Peroxisome-Proliferator-Activated Receptor

PPAR adalah anggota superfamili reseptor nuclear dari faktor

transkripsi yang diinduksi ligan. Pada mamalia, ada tiga PPAR, yaitu

PPARα (juga disebut NR1C1), PPARβ / δ (juga disebut NR1C2) dan

PPARγ (juga disebut NR1C3). Melalui pengikatan pada elemen regulator

yang responsif PPAR sebagai heterodimer obligat dengan receptor

retinoid X (RXR), PPAR mengendalikan ekspresi jaringan gen yang

terlibat dalam adipogenesis, metabolisme lipid, inflamasi dan

pemeliharaan homeostasis metabolik. Sebagaimana reseptor nuclear

pada umumnya, PPAR terdiri dari domain fungsional yang berbeda,

termasuk domain transaktivasi N-terminal (AF1), domain pengikatan DNA

(DBD), dan domain pengikatan ligan C-terminal (LBD) yang mengandung

fungsi transaksional bergantung ligan (AF2). Domain ini adalah target

potensial untuk modulasi kaskade sinyal PPAR. Pengikatan ligan

menginduksi perubahan konformasi pada reseptor yang memungkinkan

dilakukannya rekrutmen diferensial kofaktor dan modulasi aktivitas PPAR

berikutnya (Ahmadian, M., et.al., 2013)

Meskipun banyak kemiripan, masing-masing isoform PPAR

memiliki fungsi unik secara in vivo, mungkin karena distorsi jaringan yang

berbeda, respon diferensial terhadap ligan berbeda, dan perbedaan yang


47

melekat pada sifat biokimia. PPARα, PPAR pertama yang diidentifikasi,

diekspresikan secara dominan di hati, jantung dan jaringan adiposa brown

(BAT), yang merupakan penggerak utama jalur oksidasi asam lemak dan

merupakan sasaran obat-obatan fibrat hipolipidemik. PPARδ (juga disebut

PPARβ) memiliki fungsi yang sama dengan PPARα, yang diekspresikan

diberbagai tempat dan memiliki peran penting dalam oksidasi asam lemak

pada jaringan metabolik utama seperti otot rangka, hati dan jantung.

PPARγ paling tinggi diekspresikan dalam jaringan adiposa putih (WAT)

dan BAT, yang merupakan regulator utama adipogenesis dan juga

modulator kuat metabolisme lipid seluruh tubuh dan sensitivitas insulin.

PPARγ terdapat sebagai dua isoform, PPARγ1 dan PPARγ2. PPARγ1

diekspresikan di banyak jaringan, sedangkan ekspresi PPARγ2 dibatasi

pada jaringan adiposa pada kondisi fisiologis namun dapat diinduksi pada

jaringan lain dengan diet tinggi lemak (HFD) (Ahmadian, M., et.al., 2013).

PPAR memainkan peran sebagai kunci dalam koordinasi

penyerapan lipid postprandial ke adiposit dan pelepasan asam lemak

bebas pada saat puasa untuk pemanfaatan oleh jaringan oksidatif lainnya

seperti hati dan otot rangka. Kegagalan menyimpan kelebihan energi

dalam jaringan adiposa dan/atau kegagalan untuk menyesuaikan

perjalanan lipid dalam jaringan adiposa menghasilkan akumulasi lipid di

hati dan otot rangka, serta resistensi insulin. Kini diketahui bahwa

kemampuan adiposit memberi sinyal penyimpanan energi untuk jaringan

lainnya seperti otak, hati dan otot rangka (mungkin melalui adiponektin)
48

adalah juga melalui regulasi oleh PPAR. Bukti kuat menyebutkan peran

metabolik utama PPAR dalam jaringan adiposa (Savage, 2005).

Gambar 8. Jalur signaling PPAR (Ahmadian, M., et,al., 2013)

PPARγ pada awalnya digambarkan sebagai faktor yang diinduksi

selama diferensiasi adiposit dan paling dikenal karena perannya dalam

mengatur jalur adipogenik dan lipogenik. Perkembangan penelitian

selanjutnya menegaskan PPARγ sebagai pengatur utama diferensiasi

adiposit. Selain perannya dalam diferensiasi adiposit dan metabolisme

lipid, PPARγ juga penting untuk mengendalikan jaringan gen yang terlibat

dalam homeostasis glukosa, termasuk meningkatkan ekspresi protein


49

transporter tipe 4 (Glut4) dan protein c-Cbl-associated (CAP). PPARγ

mengendalikan ekspresi berbagai faktor yang dikeluarkan dari jaringan

adiposa, seperti adiponektin, resistin, leptin dan tumor necrosis factor-α

(TNF-α), yang juga mempengaruhi sensitivitas insulin. Faktor-faktor ini

mungkin bertindak melalui jalur sinyal yang berbeda, dan walaupun

tumpang tindih, target jaringan dan beberapa mekanisme yang berbeda

mungkin terlibat dalam mencapai efek sensitisasi insulin (Ahmadian, M.,

et.al., 2013).

Kemampuan PPARγ untuk mengendalikan ekspresi faktor yang

disekresikan adiposa, seperti adiponektin, menyebabkan pencarian faktor

regulator tambahan (gambar 8). Hal ini mengakibatkan identifikasi dua

anggota responsif PPAR dari famili faktor pertumbuhan fibroblas (FGF1

dan FGF21), yang bertindak secara lokal di jaringan adiposa untuk

meningkatkan sensitisasi insulin sebagai respons terhadap ligan. FGF21

diinduksi di WAT oleh PPARγ. PPARγ menginduksi FGF21, yang bekerja

secara lokal di jaringan adiposa untuk memperkuat aktivitas PPARγ dan

meningkatkan sensitisasi insulin. FGF1 juga diregulasi oleh PPARγ dan

diinduksi kuat pada jaringan adiposa viseral sebagai respon terhadap

ligan. Jalur sinyal PPARγ-FGF1 berperan dalam remodeling adiposa

adaptif untuk mempertahankan homeostasis metabolik. Melalui

mekanisme autokrin, parakrin atau keduanya, FGF21 dan FGF1 bekerja

secara lokal di jaringan adiposa untuk memediasi tindakan fisiologis dan

farmakologis PPARγ. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menjelaskan


50

peran relatif kedua FGF dan regulasinya oleh PPARγ. Namun demikian,

penelitian identifikasi jalur signaling PPAR telah menunjukkan FGF

sebagai mediator yang penting (Ahmadian, M., et.al., 2013).

G. Hipotesis

Berdasarkan kajian teori dirumuskan hipotesis bahwa telmisartan,

valsartan, dan candesartan mempengaruhi parameter metabolik meliputi

penurunan tekanan darah, penurunan kadar glukosa, dan penurunan

kadar lipid pasien hipertensi dengan penyakit komplikasi. Telmisartan

memberikan pengaruh perbaikan parameter metabolik yang paling baik.


51

H. Kerangka Teori

Angiotensinogen

Renin
Angiotensin I
Analisis
Farmakoterapi keamanan
terapi
Angiotensin II
Insulin signalling/
Reseptor AT1 ARB PPAR-ɤ glucose uptake
Regulasi
metabolisme

↓ Glukosa
dan lipid
↑ Output
Jantung ↑Kontraktilitas
jantung

Otot polos ↑ Tekanan


pembuluh Vasokontriksi darah Evaluasi
darah

Sistem Saraf ↑ Resistensi


Simpatik perifer
Hipertensi Komplikasi

SSP Vasopressin
↑ Volume
Plasma Diabetes Penyakit
Reabsorbsi Mellitus Jantung
Ginjal +
Na dan air

Korteks
↑ Aldosteron
adrenal

Gambar 9. Bagan kerangka teori (Dipiro J., et.al., 2008; Schupp, et.al., 2004)
52

I. Kerangka Konsep

Variabel Variabel Dependen


Independen - Tekanan darah
- Kelompok - Kadar kolesterol total
Valsartan - Kadar LDL, HDL,
Pasien trigliserida
- Kelompok
Hipertensi - Kadar glukosa darah
Telmisartan
- Kelompok (puasa/sewaktu)
Candesartan - Efek samping obat
- Interaksi obat

Faktor-faktor lain yang


mempengaruhi:
- Umur
- Penyakit
penyerta/komplikasi
- Penggunaan obat lainnya
- Merokok
- Diet garam
- Konsumsi herbal/suplemen

Gambar 10. Bagan kerangka konsep


53

J. Definisi Operasional

1. Hipertensi dalam penelitian ini adalah tekanan darah sistolik 140

mmHg atau lebih dan/atau tekanan darah diastolik 90 mmHg atau

lebih. Tekanan darah yang digunakan adalah rerata tekanan darah

sistolik dan diastolik dari beberapa pengukuran.

2. Antihipertensi ARB dalam penelitian ini adalah valsartan, telmisartan,

dan candesartan yang diberikan secara oral.

3. Kadar lipid dalam penelitian ini meliputi kadar kolesterol total, kadar

LDL (low density lipoprotein), kadar HDL (high density lipoprotein),

dan kadar trigliserida.

4. Kadar glukosa darah dalam penelitian ini meliputi kadar glukosa darah

puasa atau kadar glukosa sewaktu.

5. Hiperkalemia ringan dalam penelitian ini adalah kadar kalium serum

5,5 sampai 6 mmol/l dan hiperkalemia moderat adalah kadar kalium

serum > 6 sampai 6,9 mmol/l.

6. Hipotensi dalam penelitian ini adalah tekanan darah sistolik < 90

mmHg dan tekanan darah diastolik < 60 mmHg.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional non eksperimen

dengan rancangan deskriptif-analitik.

Variabel independen adalah obat antihipertensi telmisartan,

valsartan, dan candesartan. Variabel dependen adalah tekanan darah,

kadar lipid, kadar glukosa darah, efek samping obat, dan interaksi obat.

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada periode bulan Mei – Juli tahun

2017 dan lokasi penelitian di ruang rawat inap RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo Makassar.

C. Populasi dan Sampel

Populasi adalah semua pasien hipertensi di RSUP. Dr. Wahidin

Sudirohusodo Makassar. Sampel adalah pasien rawat inap yang diterapi

dengan antihipertensi angiotensin receptor blocker (ARB) di RSUP. Dr.

Wahidin Sudirohusodo periode Mei–Juli tahun 2017. Pengambilan sampel

dilakukan dengan teknik non-probability sampling dengan cara

consecutive sampling, yaitu dengan memasukkan semua subjek yang

54
55

memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian sampai jumlah sampel yang

dibutuhkan terpenuhi.

Besar sampel minimal adalah 56 subjek penelitian berdasarkan

rumus Slovin berikut ini:

= 55,91 ≈ 56 sampel

Keterangan:

N : Besar populasi

n : Besar sampel

d : Tingkat toleransi kesalahan sebesar 5 %

D. Prosedur Penelitian

1. Kriteria penelitian

a. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah semua pasien laki-laki dan perempuan usia

antara 20-70 tahun, yang memenuhi diagnosis utama hipertensi dan

diagnosis sekunder diabetes mellitus yang menggunakan antihipertensi

angiotensin receptor blocker (ARB) dan insulin dengan rentang dosis yang

sama; atau pasien hipertensi dengan komplikasi coronary artery disease

yang menggunakan ARB dan atorvastatin dengan dosis seragam; atau


56

pasien hipertensi dengan komplikasi congestive heart failure yang

menggunakan ARB dan furosemid dengan dosis seragam.

b. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi, antara lain:

1) Pasien hipertensi dengan lama penggunaan obat ARB kurang dari 7

hari.

2) Pasien hipertensi dengan riwayat penyakit gangguan hati dan/atau

gagal ginjal.

3) Pasien hipertensi yang menggunakan ARB selain valsartan 80 mg,

telmisartan 80 mg, atau candesartan 8 mg.

2. Pengambilan data

Data karakteristik pasien dicatat meliputi umur, jenis kelamin, bobot

badan, tinggi badan, penyakit komplikasi, riwayat merokok, riwayat

pengobatan, lama pengobatan, dan penggunaan obat lain. Data hasil

pengukuran tekanan darah pasien dan parameter metabolik lainnya

meliputi kadar kolesterol total, LDL, HDL, trigliserida, dan glukosa darah,

dikumpulkan untuk masing-masing kelompok terapi telmisartan, valsartan,

dan candesartan sebelum dan setelah penggunaan obat selama 7 hari.

Data profil pengobatan dan data klinis pasien dikumpulkan untuk

keperluan analisis efek samping dan identifikasi interaksi obat. Semua

data diperoleh dari data rekam medik, observasi, dan wawancara

langsung. Penelitian ini telah memperoleh persetujuan etik dari komite

etik.
57

3. Pengolahan data

Data karakteristik subjek penelitian disajikan dalam proporsi dan

rerata. Analisis penggunaan ketiga kelompok terapi yang diteliti

berdasarkan data parameter metabolik yang diperoleh. Analisis pengaruh

faktor-faktor lain yang mempengaruhi juga dilakukan. Data profil

pengobatan dan data klinis pasien digunakan untuk analisis efek samping

dan identifikasi interaksi obat potensial. Identifikasi interaksi obat

menggunakan studi literatur Stockley’s Drug Interaction 2008 dan aplikasi

berlisensi bebas seperti Medscape® (www.medscape.com) dan

drugs.com. Analisis statistik dilakukan untuk data semua kelompok terapi

yang diteliti.
58

E. Alur Penelitian

Memperoleh izin penelitian

Penentuan sampel sesuai kriteria inklusi

Pengambilan data

Kelompok Kelompok Kelompok


valsartan (80 mg) telmisartan (80 mg) candesartan (8 mg)

HT HT HT HT HT HT HT HT HT
+ + + + + + + + +
DM CAD CHF DM CAD CHF DM CAD CHF

Deskripsi dan analisis

Parameter Efek samping dan


metabolik interaksi obat

Gambar 11. Bagan alur penelitian


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Subjek Penelitian

Pengumpulan sampel dilakukan selama periode bulan Mei – Juli

2017 di ruang perawatan inap RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo

Makassar. Subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

berjumlah 57 orang pasien. Penelitian dilakukan sesuai prosedur

penelitian. Jenis data penelitian yang dikumpulkan meliputi karakteristik

pasien, kondisi klinis pasien (hasil laboratorium dan tanda-tanda vital),

serta data profil pengobatan. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan

disajikan dalam bentuk tabel yang disertai dengan penjelasan.

1. Data demografi pasien

Subjek penelitian terdiri atas subjek laki-laki sebanyak 42 orang

(73,68%) dan perempuan sebanyak 15 orang (26,32%). Distribusi

penggunaan antihipertensi ARB adalah 22 orang (35,60%) menggunakan

valsartan (80 mg); sebanyak 17 orang (29,82%) menggunakan telmisartan

(80 mg); serta 18 orang (31,58%) menggunakan candesartan (8 mg). Data

karakteristik subjek penelitian disajikan lebih rinci pada tabel 4.

59
60

Tabel 4. Data karakteristik subjek penelitian


Variabel Kelompok Kelompok Kelompok Total N=57
Valsartan Telmisartan Candesartan (%)
n = 22 (%) n = 17 (%) n = 18 (%)
Jenis kelamin
Laki-laki 16 (72,73) 11 (64,71) 15 (83,33) 42 (73,68)
Perempuan 6 (27,27) 6 (35,29) 3 (16,67) 15 (26,32)
Umur
20-40 tahun 2 (9,09) 1 (5,88) - 3 (5,26)
41-60 tahun 9 (40,91) 9 (52,94) 10 (55,56) 28 (49,12)
61-70 tahun 11 (50,00) 7 (41,18) 8 (44,44) 26 (45,61)
Indeks massa tubuh
Bobot badan kurang - - 1 (5,56) 1 (1,75)
Normal 21 (95,45) 16 (94,12) 15 (83,33) 52 (91,23)
Kelebihan bobot badan 1 (4,54) 1 (5,88) 2 (11,11) 4 (7,02)
Penyakit komplikasi
Diabetes mellitus tipe 2 6 (27,27) 6 (35,29) 6 (33,33) 18 (31,58)
Laki-laki 3 (13,64) 5 (29,41) 5 (27,78) 13 (22,81)
Perempuan 3 (13,64) 1 (5,88) 1 (5,56) 5 (8,77)
Congestive heart failure 10 (45,45) 6 (35,29) 7 (38,89) 23 (40,35)
Laki-laki 7 (31,82) 3 (17,65) 5 (27,78) 15 (26,32)
Perempuan 3 (13,64) 3 (17,65) 2 (11,11) 8 (14,04)
Coronary artery disease 6 (27,27) 5 (29,41) 5 (27,78) 16 (28,07)
Laki-laki 6 (27,27) 2 (11,76) 5 (27,78) 13 (22,81)
Perempuan - 3 (17,65) - 3 (5,26)
Riwayat merokok
Ya 6 (27,27) 2 (11,76) 6 (33,33) 14 (24,56)
Tidak 16 (72,73) 15 (88,24) 12 (66,67) 43 (75,44)
Riwayat pengobatan
Aspirin 12 (54,55) - 7 (38,89) 19 (33,33)
Clopidogrel 8 (36,36) 6 (35,29) 3 (16,67) 17 (29,82)
Furosemid 7 (31,82) 6 (35,29) 6 (33,33) 19 (33,33)
Amlodipin 11 (50,00) 3 (17,65) 1 (5,56) 15 (26,32)
Captopril 3 (13,64) 1 (5,88) 2 (11,11) 6 (10,53)
ISDN 5 (22,73) 1 (5,88) 4 (22,22) 10 (17,54)
Nitrogliserin 3 (13,64) 4 (23,53) 4 (22,22) 11 (19,30)
Atorvastatin 1 (4,54) 3 (17,65) 2 (11,11) 6 (10,53)
Novorapid 2 (9,09) 1 (5,88) 1 (5,56) 4 (7,02)
Levemir 3 (13,64) - 1 (5,56) 4 (7,02)
61

Jumlah sampel berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan

dengan perempuan. Jenis kelamin berpengaruh dalam regulasi tekanan

darah. Sejumlah fakta menyatakan hormon seksual mempengaruhi sistem

renin angiotensin. Secara umum tekanan darah pada laki – laki lebih tinggi

daripada perempuan. Namun, pada perempuan risiko hipertensi akan

meningkat setelah masa menopause yang mununjukkan adanya

pengaruh hormon. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormon

estrogen setelah menopause (Marliani, 2007). Distribusi subjek penelitian

berdasarkan jenis kelamin ini berbeda dengan sejumlah penelitian yang

menyebutkan bahwa prevalensi hipertensi lebih tinggi pada perempuan

dibandingkan laki-laki (Hussain, et.al., 2016).

Kelompok usia responden yang paling dominan yaitu usia 41–60

tahun sebanyak 28 orang (49,12%), disusul kelompok usia 61-70 tahun

sebanyak 26 orang (45,61%). Menurut penelitian oleh Hussain, et.al.

(2016), prevalensi hipertensi usia ≥ 40 tahun di Indonesia sebanyak 47,8%

yang meningkat secara signifikan seiring dengan bertambahnya usia.

Peningkatan tekanan darah ini disebabkan oleh perubahan struktur pada

pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi lebih sempit dan dinding

pembuluh darah menjadi lebih kaku oleh karena itu darah pada setiap

denyut jantung dipaksa melalui pembuluh yang sempit daripada biasanya

dan menyebabkan naiknya tekanan darah (Sumawa, et.al., 2015). Usia

rerata responden yang menggunakan valsartan adalah 61,38 tahun, untuk


62

yang menggunakan telmisartan adalah 58,40 tahun, dan yang

menggunakan candesartan adalah 61,12 tahun.

Berdasarkan perhitungan indeks massa tubuh (IMT) sebanyak 4

orang pasien memiliki kelebihan bobot badan dan 1 orang memiliki bobot

badan kurang, selebihnya 52 orang responden berbobot badan normal.

Penelitian menyebutkan bahwa terdapat hubungan erat antara indeks

massa tubuh dengan tekanan darah sistolik dan diastolik baik pada

populasi laki-laki maupun perempuan. Pada laki-laki, IMT dihubungkan

dengan peningkatan 4,0 mmHg tekanan darah sistolik dan 2,4 mmHg

pada perempuan (Hussain, et.al., 2016). Hasil penelitian ini

memperlihatkan sebagian besar pasien hipertensi memiliki bobot badan

normal.

Penyakit komplikasi yang menyertai penyakit hipertensi dari semua

subjek penelitian ini adalah gagal jantung kongestif (congestive heart

failure/CHF) sebanyak 23 orang (40,35%), diabetes mellitus tipe II

sebanyak 18 orang (31,58%) dan penyakit jantung koroner (coronary

artery disease/CAD) sebanyak 16 orang (28,07%). Menurut Kimble, et.al.

(2009), target pengobatan hipertensi adalah menurunkan morbiditas dan

mortalitas, terutama komplikasi yang berhubungan dengan hipertensi yaitu

penyakit aterosklerosis pembuluh darah (seperti CAD) dan penyakit

kardiovaskuler lainnya, termasuk gagal jantung. Komplikasi terkait

hipertensi merupakan penyebab utama kematian pada pasien hipertensi.

Sejumlah faktor risiko telah diidentifikasi. Usia, merokok, diabetes mellitus,


63

dislipidemia, gangguan ginjal, dan obesitas merupakan faktor risiko utama

yang dapat mengembangkan terjadinya komplikasi terkait hipertensi.

2. Data penggunaan obat lain

Subjek penelitian tidak hanya menggunakan antihipertensi ARB

dalam rejimen terapi. Keberadaan penyakit lain yang menyertai penyakit

hipertensi pada pasien membutuhkan peresepan beberapa obat lain,

seperti yang disajikan dalam tabel 5.

Tabel 5. Distribusi penggunaan obat lain pada pasien hipertensi dengan


komplikasi di rawat inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar periode Mei-Juli 2017
Kelompok Kelompok Kelompok
Valsartan Telmisartan Candesartan
Golongan Obat Jenis Obat Total
N=57 (%)
n = 22 (%) n = 17 (%) n = 18 (%)
Antihipertensi Amlodipin 6 (27,27) 6 (35,30) 6 (33,33) 18 (31,58)
Furosemid 10 (45,45) 6 (35,29) 7 (38,89) 23 (40,35)
Levemir® 6 (27,27) 6 (35,29) 6 (33,33) 18 (31,57)
Preparat insulin
Novorapid® 6 (27,27) 6 (35,29) 6 (33,33) 18 (31,57)
Aspirin 9 (45,91) 7 (41,18) 10 (55,56) 26 (45,61)
Antiplatelet
Clopidogrel 7 (31,82) 6 (35,29) 4 (22,22) 17 (29,82)
Antihiperlipidemia Atorvastatin 14 (63,64) 10 (58,82) 11 (61,11) 35 (61,40)
Antiangina Nitrogliserin 8 (36,36) 6 (35,29) 8 (44,44) 22 (38,60)
Antiaritmia Digoxin 6 (27,27) 1 (5,88) 3 (16,67) 10 (17,54)
Antikoagulan Warfarin 4 (18,18) - 3 (16,67) 7 (12,28)
Mukolitik N-Ace 3 (13,64) 3 (17,65) 3 (16,67) 9 (15,79)
Antibakteri Ceftriaxone 6 (27,27) 7 (41,18) 2 (11,11) 15 (26,32)
Antipiretik Paracetamol 4 (18,18) 4 (23,53) 3 (16,67) 11 (19,30)
Antitukak Lansoprazole 6 (27,27) 8 (47,06) 8 (44,44) 22 (38,60)
Pencahar Laxadyn® 6 (27,27) 4 (23,53) 3 (16,67) 13 (22,81)
Antitusif (Narkotik) Codein 3 (13,64) 1 (5,88) 1 (5,56) 5 (8,77)
Betahistine
Anti vertigo - 1 (5,88) 1 (5,56) 2 (3,51)
mesylate
Curcuma - 1 (5,88) 2 (11,11) 3 (5,26)
Suplemen
Vip albumin 2 (9,09) - 2 (11,11) 4 (7,02)
64

Obat lain yang paling banyak digunakan adalah obat golongan

antihiperlipidemia, yaitu atorvastatin (61,40%) dengan dosis 20 mg.

Hipertensi sering dikaitkan dengan faktor risiko kardiovaskuler lainnya,

termasuk hiperkolesterolemia yang terjadi lebih dari 40% pada pasien

hipertensi. Kehadiran hipertensi maupun hiperkolesterolemia pada pasien

yang sama dikaitkan dengan tingkat bahaya kardiovaskuler yang lebih

tinggi. Peresepan obat antihipertensi bersama dengan agen penurun

kolesterol umumnya dibutuhkan pada pasien dengan kondisi tersebut.

Statin yang merupakan inhibitor 3-hidroksi-3-methylglutaryl-coenzyme A

reduktase adalah yang paling efektif dan banyak digunakan sebagai agen

penurun kolesterol. Obat golongan ini secara signifikan mengurangi risiko

kejadian kardiovaskuler, terutama pada pasien dengan kondisi tekanan

darah tinggi disertai hiperkolesterolemia (Morgado, M., et. al., 2011).

Obat antihipertensi lain yang dikombinasikan dengan ARB adalah

furosemid 40 mg (40,35%) dan amlodipin dosis 10 mg (31,58%). Pada

penelitian ini ditemukan bahwa penggunaan furosemid lebih banyak

dibandingkan dengan amlodipin. Kebutuhan mendasar dari kombinasi

antihipertensi adalah bukti bahwa penurunan tekanan darah yang lebih

tinggi dibandingkan dengan monoterapi masing-masing komponen obat.

Hal ini tercapai dengan menggabungkan agen yang bekerja dengan

mekanisme pressor yang berbeda atau secara efektif menghalangi respon

kontraregulasi. Penggabungan dua obat dapat menyebabkan efek aditif

terhadap penurunan tekanan darah. Kombinasi agen inhibitor RAAS


65

dengan diuretik atau dengan CCB merupakan dua di antara beberapa

kombinasi spesifik yang dapat menjadi pilihan sesuai pertimbangan yang

diuraikan sebelumnya. Penelitian menunjukkan keunggulan CCB melebihi

diuretik saat digunakan bersamaan dengan penghambat RAAS pada

populasi yang berisiko tinggi (Gradman, A.H., et.al., 2010). CCB dan

diuretik tipe tiazid digunakan sebagai terapi tambahan (second drug)

terhadap ARB/ACEI (first drug) ketika hipertensi disertai dengan kondisi

lain, seperti diabetes, CAD, dan gagal jantung. Amlodipin merupakan

golongan CCB tipe dihidropiridin yang menunjukkan efek menguntungkan

terhadap outcome kardiovaskuler dan stroke pada kasus hipertensi

(Weber, M.A., et.al., 2014). Furosemid merupakan diuretik kuat digunakan

pada kasus gagal jantung yang lebih berat, untuk menangani kelebihan

cairan karena furosemid menghasilkan diuresis yang lebih besar dengan

tingkat natriuresis yang sama (Rosendorff, C., et.al., 2015).

Obat antiplatelet yang juga banyak digunakan adalah aspirin dosis

80 mg (45,61%). Terapi antiplatelet dengan aspirin untuk pencegahan

primer pada pasien dengan tekanan darah tinggi memberikan manfaat,

termasuk pengurangan risiko infark miokard, tetapi dikaitkan pula dengan

bahaya yang serupa besarnya, seperti peningkatan perdarahan. Manfaat

terapi antiplatelet untuk pencegahan sekunder pada pasien dengan

hipertensi jauh lebih besar daripada bahaya yang mungkin ditimbulkan

(Lip GY., et.al., 2011).


66

18
16
14
Jumlah Kasus

12 Kelompok
Valsartan
10
8 Kelompok
6 Telmisartan
4
Kelompok
2 Candesartan
0

Gambar 12. Grafik jumlah penggunaan obat lain bersama dengan ARB
pada pasien hipertensi dengan komplikasi di rawat inap
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar periode Mei-Juli
2017

B. Analisis Penggunaan Angiotensin Receptor Blocker (ARB)

1. Penggunaan ARB pada pasien hipertensi dengan diabetes mellitus

Hipertensi dan diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2) seringkali

berdampingan dan pasien dengan kombinasi kedua penyakit ini memiliki

risiko komplikasi kardiovaskuler lebih tinggi dibandingkan dengan pasien

dengan penyakit hipertensi atau DM saja (Hao, et. al., 2014). Guideline

terbaru seperti Joint National Committee (JNC) 8, American Diabetes

Association (ADA) 2013, merekomendasikan target tekanan darah pada

populasi DM yaitu < 140/90 mmHg dan optimalisasi kontrol status glikemik

penting untuk menurunkan risiko kardiovaskuler dan mencegah


67

progresifitas nefropati. Pilihan lini pertama adalah penghambat renin

angiotensin system (RAS) dalam hal ini ACEI atau ARB (James, et.al.,

2014). Pemilihan obat didasarkan pada efikasi menurunkan tekanan

darah. Data menunjukkan bahwa setidaknya 75% pasien memerlukan

terapi kombinasi untuk mencapai target tekanan darah kontemporer, dan

meningkatkan pencapaian dan mempertahankan target tekanan darah

secara konsisten dalam praktik klinis. American Society of Hypertension

menyajikan pembahasan dasar ilmiah terapi kombinasi dan alasan

farmakologis untuk memilih kombinasi obat. Kombinasi golongan obat

yang bekerja pada sistem RAAS dengan antihipertensi CCB memberikan

efek aditif pengurangan tekanan darah yang diterima dengan baik

(Gradman, et.al., 2010). CCB umumnya diyakini memiliki efek netral

terhadap keseluruhan profil metabolik. Penelitian menunjukkan tidak ada

pengaruh signifikan amlodipin terhadap insiden diabetes (Rizos C.V. dan

Moses E.F., 2014). Penelitian lain memperlihatkan tidak ada perubahan

signifikan pada parameter metabolik dengan penggunaan amlodipin

(Tripathi, N, 2016).

Berdasarkan hasil penelitian, jumlah sampel yang didiagnosis

hipertensi dengan diabetes mellitus tipe 2 adalah sebanyak 18 orang

(31,58%) dari total sampel 57 orang, yang terdiri atas 13 orang laki-laki

(22,81% dari total sampel atau 30,95% dari kelompok sampel laki-laki)

dan 5 orang perempuan (8,77% dari total sampel atau 33,33% dari

kelompok sampel perempuan). Distribusi penggunaan ARB pada pasien


68

hipertensi yang disertai DM adalah sebanyak 6 orang (27,27%) yang

menggunakan valsartan 80 mg, 6 orang (35,29%) yang menggunakan

telmisartan 80 mg, dan 6 orang (33,33%) yang menggunakan candesartan

8 mg. Total 18 orang subjek penelitian juga menggunakan amlodipin 10

mg sebagai terapi kombinasi antihipertensi dan insulin Levemir® (dosis:

10 - 14 U per hari) dan Novorapid® (dosis: 6-12 U, tiga kali dalam sehari)

untuk penanganan DM.

Rerata tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, kadar

glukosa darah puasa, dan kadar lipid pada kelompok terapi valsartan,

telmisartan, dan candesartan sebelum dan setelah penggunaan obat

disajikan dalam tabel 6.

Tabel 6. Rerata TDS, TDD, kadar GDP, kadar kolesterol total, kadar LDL,
kadar TG, dan kadar HDL sebelum dan setelah penggunaan
obat pasien hipertensi dengan DM di rawat inap RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar periode Mei-Juli 2017
Kelompok Kelompok Kelompok
Valsartan Telmisartan Candesartan
Variabel Before After Before After Before After
Treatment Treatment Treatment Treatment Treatment Treatment
TDS 149,68± 119,25± 157,1± 122,79± 147,46± 119,96±
(mmHg) 12,05 14,92 17,27 21,20 4,10 3,47
TDD 90,08± 72,97± 89,50± 70,50± 93,30± 79,58±
(mmHg) 10,42 11,69 5,05 9,92 9,72 9,00
GDP 145,1± 114,83± 150,67± 117,50± 157,67± 129, 83±
(mg/dl) 40,79 38,58 28,00 30,91 26,97 30,56
Kolesterol 167,8± 165,50± 191,17± 188,33± 209,33± 207,17±
total (mg/dl) 38,65 37,99 40,72 39,77 58,29 57,56
92,83± 91,00± 107,00± 105,33± 131,50± 130,17±
LDL (mg/dl)
25,36 24,66 26,65 25,99 43,66 43,20
91,50± 87,83± 64,17± 60,33± 107,33± 103,83±
TG (mg/dl)
14,46 13,96 21,50 20,56 32,54 31,31
HDL 34,50± 35,83± 47,83± 49,33± 27,00± 27,67±
(mg/dl) 6,66 7,11 6,88 7,34 18,77 19,80
Ket. TDS : tekanan darah sistolik
TDD : tekanan darah diastolik
69

GDP : glukosa darah puasa


LDL : low-density lipoprotein
TG : trigliserida
HDL : high-density lipoprotein

Hasil uji parametrik t-paired sample (lihat lampiran 7) menunjukkan

perubahan yang signifikan (nilai p < 0,05) antara sebelum dan setelah

penggunaan obat, baik pada kelompok valsartan maupun telmisartan,

untuk semua variabel yang diuji, meliputi TDS, TDD, GDP, kolesterol total,

LDL, HDL, dan trigliserida. Sedangkan pada kelompok candesartan,

hanya kadar HDL yang menunjukkan perubahan yang tidak signifikan

(nilai p > 0,05) antara sebelum dan setelah penggunaan obat.

Tabel 7. Perbandingan Δ TDS, Δ TDD, Δ GDP, Δ Kolesterol total, Δ LDL,


Δ TG, dan Δ HDL pada pasien hipertensi dengan DM di rawat
inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar periode Mei-Juli
2017
Variabel Kelompok Kelompok Kelompok Nilai p
Valsartan Telmisartan Candesartan
n=6 n=6 n=6
Δ TDS (mmHg) 30,43 ± 8,72 34,32 ± 12,95 27,50 ± 2,26 0,449
Δ TDD (mmHg) 17,12 ± 3,40 19,00 ± 7,38 13,72 ± 2,15 0,196
Δ GDP (mg/dl) 30,33 ± 10,71 33,17 ± 15,32 27,83 ± 4,07 0,710
Δ Kolesterol 2,33 ± 0,82 2,83 ± 0,98 2,17 ± 0,75 0,396
total (mg/dl)
Δ LDL (mg/dl) 1,83 ± 0,75 1,67 ± 0,82 1,33 ± 0,52 0,477
Δ TG (mg/dl) 3,67 ± 0,51 3,83 ± 0,98 3,17 ± 0,98 0,396
Δ HDL (mg/dl) -1,33 ± 0,51 -1,50 ± 0,55 -0,67 ± 1,37 0,268
Ket. TDS : tekanan darah sistolik
TDD : tekanan darah diastolik
GDP : glukosa darah puasa
LDL : low-density lipoprotein
TG : trigliserida
HDL : high-density lipoprotein
70

Perbandingan rerata penurunan TDS, TDD, GDP, kolesterol total,

LDL, trigliserida, dan peningkatan HDL disajikan dalam tabel 7 di atas.

Hasil uji parametrik ANOVA yang membandingkan penurunan TDS, TDD,

GDP, kolesterol total, LDL, trigliserida, dan peningkatan HDL antara

kelompok valsartan, telmisartan, dan candesartan menunjukkan

perbedaan yang tidak signifikan (p > 0,05) untuk semua variabel yang

diuji. Namun kelompok telmisartan cenderung memberikan penurunan

tekanan darah, kadar glukosa, dan profil lipid yang relatif lebih dominan

dibandingkan kelompok valsartan dan candesartan (lihat lampiran 7).

2. Penggunaan ARB pada pasien hipertensi dengan CAD

Hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya coronary artery

disease (CAD), sehingga CAD menjadi salah satu komplikasi

makrovaskular yang paling umum terkait dengan hipertensi. Penelitian

menyebutkan bahwa CAD 1,95 kali lebih sering terjadi pada kasus dengan

hipertensi dibandingkan tanpa hipertensi (Devadason P., et.al., 2014).

Berbagai mekanisme patofisiologis berkontribusi terhadap

peningkatan tekanan darah dan kerusakan organ target yang terkait,

termasuk CAD. Mekanisme tersebut meliputi peningkatan sistem saraf

simpatik dan aktivitas RAAS; kekurangan pelepasan atau aktivitas

vasodilator, seperti nitrat oksida dan prostasiklin; perubahan konsentrasi

natriuretik; peningkatan sitokin inflamasi; efek hemodinamik; kelainan

struktural dan fungsional dan resistensi arteri, serta disfungsi endotel.

Jalur neurohumoral ini berhubungan dengan faktor genetik, demografis,


71

dan lingkungan untuk menentukan kemungkinan terjadinya hipertensi dan

CAD (Rosendorff, C., et.al., 2015). Hipertensi dihubungkan juga dengan

perkembangan aterosclerosis, hipertrofi ventrikuler kiri, mikrosirkulasi

koroner, dan resistensi insulin (Baguet, JP. dan JM. Mallion, 2005).

ARB seringkali dipertimbangkan sebagai terapi alternatif pada

pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Penelitian menunjukkan bahwa

ARB valsartan memiliki efektifitas yang serupa dengan ACEI kaptopril

dalam mengurangi terjadinya bahaya kardiovaskuler. Para peneliti

menyimpulkan bahwa telmisartan diterima dengan baik dan memiliki

manfaat sedang terhadap outcome akhir dari risiko kematian

kardiovaskuler dan infark miokard (Rosendorff, C., et.al., 2015).

Berdasarkan hasil penelitian, jumlah sampel yang didiagnosa

hipertensi dengan komplikasi CAD adalah sebanyak 16 orang (19,61%)

dari total 57 orang sampel. Distribusi penggunaan ARB pada pasien

hipertensi dengan komplikasi CAD adalah sebanyak 6 orang (27,27%)

yang menggunakan valsartan 80 mg, 5 orang (29,41%) yang

menggunakan telmisartan 80 mg, dan 5 orang (27,78%) yang

menggunakan candesartan 8 mg. Total 16 orang subjek penelitian juga

menggunakan atorvastatin 20 mg sebagai terapi antihiperlipidemia.

Meskipun ada penelitian menghubungkan pengobatan statin dengan efek

memburuk pada metabolisme glukosa, namun penelitian lain telah

menunjukkan bahwa telmisartan tidak hanya mempertahankan efek

menguntungkannya pada homeostasis glukosa bila diberikan bersama


72

dengan statin, tapi juga meniadakan efek buruk dari terapi statin pada

indeks glikemik (Rizos C.V. dan Moses E.F., 2014).

Rerata tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, kadar

glukosa darah puasa, dan kadar lipid pada kelompok terapi valsartan,

telmisartan, dan candesartan sebelum dan setelah penggunaan obat

disajikan dalam tabel 8.

Tabel 8. Rerata TDS, TDD, kadar GDP, kadar kolesterol total, kadar LDL,
kadar TG, dan kadar HDL sebelum dan setelah penggunaan
obat pasien hipertensi dengan CAD di rawat inap RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar periode Mei-Juli 2017
Variabel Kelompok Kelompok Kelompok
Valsartan telmisartan Candesartan
Before After Before After Before After
Treament Treament Treament Treament Treament Treament
TDS 155,25± 126,69± 156,60± 127,36± 146,60± 119,20±
(mmHg) 6,98 6,76 6,23 8,59 8,53 7,56
TDD 89,46± 71,94± 93,20± 75,67± 78,30± 63,10±
(mmHg) 9,53 9,23 12,13 12,09 3,63 4,39
GDP 109,50± 110,00± 96,20± 95,80± 103,60± 104,20±
(mg/dl) 7,18 3,63 9,28 5,26 8,05 8,53
Kolesterol 173,00± 170,00± 179,20± 174,60± 188,00± 184,80 ±
total (mg/dl) 22,10 21,29 48,33 47,45 45,39 44,72
LDL (mg/dl) 121,17± 118,83± 111,60± 108,60± 113,40± 112,60±
26,00 25,65 32,24 31,27 26,84 25,35
TG (mg/dl) 96,50± 92,83± 88,20± 83,80± 91,60± 89,00±
20,71 20,00 30,79 30,95 10,11 9,46
HDL 32,00± 32,33± 37,00± 38,20± 51,20± 51,60 ±
(mg/dl) 5,10 4,08 15,23 16,13 10,33 8,63
Ket. TDS : tekanan darah sistolik
TDD : tekanan darah diastolik
GDP : glukosa darah puasa
LDL : low-density lipoprotein
TG : trigliserida
HDL : high-density lipoprotein

Hasil uji parametrik t-paired sample (lihat lampiran 8) pada

kelompok valsartan menunjukkan bahwa hanya kadar GDP dan HDL yang

menunjukkan perubahan tidak signifikan (nilai p > 0,05) antara sebelum


73

dan setelah penggunaan obat. Perubahan yang signifikan pada kelompok

telmisartan antara sebelum dan setelah penggunaan obat terlihat pada

parameter tekanan darah dan profil lipid (nilai p < 0,05), namun tidak pada

kadar GDP. Sedangkan perbandingan antara sebelum dan setelah

penggunaan obat pada kelompok candesartan, hanya parameter tekanan

darah dan kadar trigliserida yang menunjukkan perubahan yang signifikan

(nilai p < 0,05). Peningkatan kadar GDP pada kelompok valsartan dan

candesartan mungkin dipengaruhi oleh penggunaan statin, sebagaimana

temuan dari suatu penelitian yang menghubungkan pengobatan statin

dengan efek buruk pada metabolisme glukosa (Rizos C.V. dan Moses

E.F., 2014). Penggunaan statin mungkin juga mempengaruhi kadar GDP

kelompok telmisartan, sehingga meskipun terjadi penurunan GDP akan

tetapi perubahannya tidak signifikan. Efek menguntungkan telmisartan

pada homeostasis glukosa dan kemampuan meniadakan efek buruk dari

terapi statin pada indeks glikemik yang terlihat dalam penelitian lain (Rizos

C.V. dan Moses E.F., 2014), nampaknya tidak begitu maksimal dalam

penelitian ini. Peneliti menduga hal ini disebabkan karena telmisartan

yang belum mencapai efek maksimum dengan lama pengobatan yang

singkat.
74

Tabel 9. Perbandingan Δ TDS, Δ TDD, Δ GDP, Δ Kolesterol total, Δ LDL,


Δ TG, dan Δ HDL pada pasien hipertensi dengan CAD di rawat
inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar periode Mei-Juli
2017
Variabel Kelompok Kelompok Kelompok Nilai p
Valsartan Telmisartan Candesartan
n=6 n=5 n=5
Δ TDS (mmHg) 28,56 ± 3,76 29,23 ± 2,42 27,40 ± 2,41 0,630
Δ TDD (mmHg) 17,52 ± 2,34 17,53 ± 0,36 15,20 ± 4,15 0,320
Δ GDP (mg/dl) -0,50 ± 5,68 0,40 ± 4,23 -0,60 ± 3,36 0,931
Δ Kolesterol 3,00 ± 0,89 4,60 ± 0,89 3,20 ± 1,30 0,054
total (mg/dl)
Δ LDL (mg/dl) 2,50 ± 0,55 3,00 ± 1,00 2,40 ± 1,14 0,544
Δ TG (mg/dl) 3,67 ± 0,82 4,40 ± 1,34 2,60 ± 1,14 0,065
Δ HDL (mg/dl) -0,33 ± 1,97 -1,20 ± 1,48 -0,40 ± 2,88 0,778
Ket. TDS : tekanan darah sistolik
TDD : tekanan darah diastolik
GDP : glukosa darah puasa
LDL :low-density lipoprotein
TG : trigliserida
HDL :high-density lipoprotein

Perbandingan rerata penurunan TDS, TDD, GDP, kolesterol total,

LDL, trigliserida, dan peningkatan HDL antara kelompok ARB disajikan

dalam tabel 9. Hasil uji parametrik ANOVA yang membandingkan

penurunan TDS, TDD, GDP, kolesterol total, LDL, trigliserida, dan

peningkatan HDL antara kelompok valsartan, telmisartan, dan

candesartan menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan untuk semua

variabel yang diuji. Namun hasil Post Hoc Test (lihat lampiran 6)

menunjukkan perbedaan yang signifikan (p=0,024) antara penurunan

kolesterol kelompok telmisartan dengan kelompok valsartan, sedangkan

penurunan trigliserida kelompok telmisartan berbeda signifikan (p=0,023)

dibandingkan kelompok candesartan. Telmisartan cenderung memberikan

efek yang lebih dominan terhadap penurunan profil lipid dan kadar
75

glukosa puasa dibandingkan valsartan dan candesartan, terutama karena

kadar glukosa puasa yang mengalami peningkatan pada kelompok

valsartan dan candesartan.

3. Penggunaan ARB pada pasien hipertensi dengan CHF

Hipertensi tetap merupakan faktor risiko yang signifikan untuk

pengembangan gagal jantung kongestif (congestive heart failure/CHF),

dengan berbagai mekanisme yang berkontribusi terhadap disfungsi

sistolik dan diastolik. Data mengungkapkan bahwa, kejadian CHF dua

sampai tiga kali lipat lebih besar pada pasien hipertensi dibandingkan

normotensif. Patogenesis dari perubahan miokardium meliputi hipertrofi

ventrikel kiri, remodeling struktural, dan fibrosis. Aktivasi sistem renin-

angiotensin dan sistem saraf simpatik merupakan faktor utama penyebab

hipertensi, dan dengan demikian intervensi yang berlawanan dengan

sistem ini dapat mendorong perbaikan hipertrofi dan gagal jantung. Obat

yang menargetkan RAAS telah terbukti memberikan perbaikan hipertrofi

ventrikuler kiri lebih efektif daripada beta bloker dan calcium channel

blocker. Berbagai mekanisme yang telah diusulkan dari literatur yang

mengeksplorasi efek RAAS pada CHF meliputi pengurangan afterload,

peningkatan fungsi endotel, pengurangan aktivitas simpatetik,

pengurangan substrat inflamasi, dan peningkatan fungsi diastolik.

Pengendalian tekanan darah sangat penting dalam memperbaiki

prognosis pasien dengan gagal jantung (Kannan A. dan Rajesh

Janardhanan, 2014).
76

Berdasarkan hasil penelitian, jumlah sampel yang didiagnosa

hipertensi dengan komplikasi CHF adalah sebanyak 23 orang (40,35%)

dari total 57 orang sampel. Distribusi penggunaan ARB pada pasien

hipertensi dengan komplikasi CHF adalah sebanyak 10 orang yang

menggunakan valsartan 80 mg, 6 orang yang menggunakan telmisartan

80 mg, dan 7 orang yang menggunakan candesartan 8 mg. Total 23 orang

sampel juga menggunakan furosemid 40 mg sebagai terapi kombinasi.

Tabel 10. Rerata TDS, TDD, kadar GDP, kadar kolesterol total, kadar
LDL, kadar TG, dan kadar HDL sebelum dan setelah
penggunaan obat pasien hipertensi dengan CAD di rawat inap
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar periode Mei-Juli
2017
Kelompok Kelompok Kelompok
Valsartan Telmisartan Candesartan
Variabel Before After Before After Before After
Treatment Treatment Treatment Treatment Treatment Treatment
TDS 144,87 ± 116,52 ± 147,25 ± 115,06 ± 144,14 ± 116,75 ±
(mmHg) 9,88 13,54 11,24 14,80 8,80 4,47
TDD 90,87 ± 73,96 ± 84,67 ± 63,50 ± 92,90 ± 74,28 ±
(mmHg) 9,34 10,14 7,79 9,03 10,01 9,91
GDS 129,60 ± 103,50 ± 137,67 ± 112,33 ± 115,57 ± 89,86 ±
(mg/dl) 23,30 19,40 34,86 35,48 35,26 31,07
Ket. TDS : tekanan darah sistolik
TDD : tekanan darah diastolik
GDS : glukosa darah sewaktu

Hasil uji parametrik t-paired sample atau uji nonparametrik

Wilcoxon (lihat lampiran 9) menunjukkan perubahan yang signifikan (nilai

p < 0,05) untuk semua variabel yang diuji meliputi TDS, TDD, dan GDS

antara sebelum dan setelah penggunaan obat pada kelompok valsartan,

telmisartan, dan candesartan. Meskipun diketahui bahwa diuretik memiliki

efek buruk terhadap metabolisme glukosa (Rizos C.V dan Moses S.


77

Elisaf., 2014), namun penelitian ini memperlihatkan penurunan kadar

glukosa pada semua kelompok yang menggunakan ARB bersama dengan

furosemid.

Adapun perbandingan rerata penurunan TDS, TDD, dan GDS

antara ketiga kelompok tersebut disajikan dalam tabel 11. Hasil uji

parametrik ANOVA atau uji nonparametrik Kruskal Wallis yang

membandingkan penurunan TDS, TDD, dan GDS antara kelompok

valsartan, telmisartan, dan candesartan menunjukkan perbedaan yang

tidak signifikan (p > 0,05) untuk semua variabel yang diuji. Namun

kelompok telmisartan cenderung memperlihatkan penurunan tekanan

darah dan glukosa darah yang relatif lebih dominan dibandingkan

kelompok valsartan dan candesartan.

Tabel 11. Perbandingan Δ TDS, Δ TDD, dan Δ GDS pada pasien hipertensi
dengan CHF di rawat inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar periode Mei-Juli 2017
Variabel Kelompok Kelompok Kelompok Nilai p
Valsartan Telmisartan Candesartan
n=10 n=6 n=7
Δ TDS (mmHg) 28,35 ± 7,36 32,20 ± 6,34 27,39 ± 8,24 0,511
Δ TDD (mmHg) 16,91 ± 6,65 21,17 ± 5,73 18,62 ± 3,11 0,283
Δ GDS (mg/dl) 25,33 ± 5,64 26,10 ± 8,74 25,71 ± 7,85 0,982
Ket. TDS : tekanan darah sistolik
TDD : tekanan darah diastolik
GDS : glukosa darah sewaktu

Temuan dari penelitian ini sejalan dengan penelitian serupa oleh

Lim, S.Y., et.al. (2011) yang menyebutkan tidak ada perbedaan signifikan

antara penggunaan telmisartan dan valsartan terhadap parameter

kardiovaskuler dan metabolik, tetapi subjek penelitian tersebut adalah


78

pasien hipertensi tanpa komplikasi. Penelitian tersebut tidak melibatkan

candesartan, sedangkan penelitian lain oleh Yamada, et.al. (2008) yang

menggunakan telmisartan dan candesartan menemukan tidak ada

perubahan signifikan profil lipid dari kedua obat tersebut dan hanya

perubahan kadar glukosa plasma dan adiponektin yang lebih baik pada

kelompok telmisartan dibandingkan candesartan. Menurut Cernes R.,

et.al. (2011) bukti klinis menegaskan bahwa candesartan memberikan

efikasi antihipertensi yang lebih baik daripada losartan dan relatif seefektif

telmisartan dan valsartan.

Penelitian berbeda menunjukkan efek penurunan tekanan darah

sistolik dan diastolik dari telmisartan lebih besar dibandingkan valsartan

(White, W.B. et.al., 2004). Begitu pula penelitian oleh Sharma, A.M., et.al.

(2007) yang membandingkan telmisartan dengan valsartan yang masing-

masing dikombinasi dengan hidroklortiazid menemukan bahwa penurunan

tekanan darah dengan telmisartan secara signifikan lebih baik daripada

valsartan. Beberapa penelitian sebelumnya juga memperlihatkan efek

telmisartan yang lebih baik terhadap tekanan darah dan parameter

metabolik dibandingkan dengan ARB lainnya, seperti penelitian oleh

Sasaki, T., et.al. (2008) yang membandingkan telmisartan dengan

olmesartan dan penelitian oleh Dakhale, G., et.al. (2015) yang

membandingkan telmisartan dengan losartan.

Pemilihan terapi ARB tidak lepas dari berbagai pertimbangan

farmakologi, antara lain profil farmasetik, farmakokinetik, dan


79

farmakodinamik. Sifat fisikokimia ARB menjadi dasar perbedaan dalam

bioavailabilitas oral, afinitas, tingkat disosiasi, dan bahkan efek lain yang

tidak dimediasi pengikatan reseptor AT1. Candesartan digunakan dalam

bentuk prodrug, candesartan cilexetil, yang secara kimiawi adalah 2-

ethoxy-3-[21-(1 H-tetrazol-5-yl) biphenyl-4ylmethyil]-3H-benzoimidazole-4-

carboxylic acid 1-cyclo-hexyloxycarbonyloxy ethyl ester dengan rumus

empirik C33H34N6O6. Sedangkan valsartan adalah 3-methyl-2-

[pentanoyl-[[4-[2-(2H-tetrazoyl-5-yl)phenyl]phenyl]methyl]amino]-butanoic

acid dengan rumus empirik C24H29N5O3. Candesartan dan valsartan

mengandung bagian bifenil yang terikat dengan gugus tetrazol. ARB

lainnya memiliki substitusi pada gugus tetrazol yang dapat menjaga sifat

asam. Gugus tetrazol pada telmisartan digantikan dengan kelompok

karboksil, yang dapat meningkatkan lipofilisitas dan bioavailabilitas

dibandingkan dengan candesartan. Telmisartan adalah 4′-{[4-Methyl-

6-(1-methyl- 2-benzimidazolyl)- 2-propyl- 1-benzimidazolyl] methyl}-

2-biphenylcarboxylic acid dengan rumus empirik C33H30N4O2. Pada ujung

lain dari molekul, valsartan berbeda dengan ARB lain karena tidak

mengandung nitrogen yang mengandung gugus heterosiklik. Sementara

dalam hal ini candesartan mengandung gugus benzimidazol dan

telmisartan yang bahkan mengandung dua gugus benzimidazol yang

saling terikat. Ketiga ARB ini memiliki interaksi hidrofobik antara cincin

fenil dengan reseptor, bersamaan dengan interaksi ionik dari bagian asam

dengan residu dasar. Semua ARB mengikat pada area yang sama atau
80

sangat mirip pada reseptor AT1. Gugus asam pada kedua ujung molekul

senyawa diperlukan untuk ikatan dengan afinitas tinggi terhadap reseptor

(Michel, et.al., 2013; Sweetman, S.C. 2009).

Sifat fisik yang terkait dengan struktur kimia berbagai ARB adalah

lipofilisitas, biasanya dinyatakan sebagai koefisien logP (koefisien partisi)

atau logD (koefisien distribusi). Lipofilisitas adalah faktor penting dalam

kemampuan obat untuk menyeberangi selaput sel dan penyerapan pada

pemberian oral atau penetrasi jaringan. Meskipun semua ARB bersifat

lipofilik sampai batas tertentu, lipofilisitasnya sangat bervariasi.

Telmisartan menjadi yang paling lipofilik dengan nilai logP (koefisien

partisi) sebesar 6,66; disusul candesartan dengan koefisien partisi (logP)

sebesar 4,02 dan valsartan dengan koefisien partisi sebesar 3,68. Hanya

lipofilisitas obat aktif yang bersirkulasi yang relevan untuk penetrasi

jaringan setelah obat tersebut diserap. Lipofilisitas molekul aktif penting

untuk distribusi di dalam tubuh. Berdasarkan data lipofilisitas diperkirakan

bahwa semua ARB menembus ke dalam jaringan dengan tingkat yang

bervariasi. Salah satu ukuran yang mungkin mencerminkan penetrasi

jaringan adalah volume distribusi (Vd). Hal ini dapat dihitung setelah

pemberian oral sebagai nilai nyata setelah mengoreksi bioavailabilitas. Vd

bervariasi dari sekitar 10 liter (0,13 l/kg) untuk candesartan sampai 500

liter untuk telmisartan, dengan kebanyakan ARB berada pada kisaran

10-93 liter. Nilai Vd valsartan tidak lebih dari 17 liter (0,2 l/kg). Nilai Vd

rendah menunjukkan bahwa obat dibatasi oleh albumin (0,1 l/kg) atau total
81

ruang air tubuh (0,6 l/kg) dan mungkin tidak mudah didistribusikan ke

dalam kompartemen jaringan. Nilai Vd tinggi menunjukkan bahwa obat

tersebut secara efisien memasuki kompartemen jaringan (Michel, et.al.,

2013).

Profil farmakokinetik beberapa ARB juga bervariasi. Valsartan

memiliki bioavailabilitas oral sekitar 23-25% setelah pemberian dosis oral.

Konsentrasi plasma puncak valsartan dicapai setelah 2 sampai 4 jam

setelah dosis oral. Valsartan terikat pada protein plasma antara 94 - 97%.

Waktu paruh eliminasi sekitar 6 jam. Setelah pemberian dosis oral sekitar

83% diekskresikan dalam feses dan hanya 13% dalam urin. Klirens total

valsartan adalah 33,3 ml/menit dan klirens ginjal 10,3 ml/menit. Valsartan

diberikan dalam dosis awal 80 mg sekali sehari pada hipertensi. Jika perlu

dosis ini dapat ditingkatkan hingga 160-320 mg sekali sehari (Michel,

et.al., 2013; Sweetman, S.C. 2009). Konsetrasi plasma puncak (Cmax)

setelah pemberian dosis 80 mg adalah 2000 ng/ml dan nilai AUC0-∞ 6480

ng.jam/ml (Israili, ZH., 2000). Adapun bioavailabilitas absolut candesartan

adalah sekitar 14% ketika diberikan dalam bentuk tablet. Lebih dari 99%

candesartan terikat pada plasma protein. Konsentrasi plasma puncak

diperoleh 3-4 jam setelah pemberian tablet oral. Waktu paruh candesartan

adalah sekitar 9 jam. Klirens candesartan melalui eliminasi ginjal

sebanyak 33% dan ekskresi empedu sebanyak 67%. Klirens total

candesartan adalah 0,37 ml/menit/kg dan klirens ginjal 0,19 ml/menit/kg.

Candesartan diberikan secara peroral satu atau dua kali sehari dengan
82

dosis harian 4-32 mg. Dalam pengelolaan hipertensi dosis awal yang

biasa digunakan adalah 8 mg sekali sehari dan dosis pemeliharaan

biasanya juga 8 mg sekali sehari (Michel, et.al., 2013; Sweetman, S.C.

2009). Konsetrasi plasma puncak (Cmax) adalah 100 ng/ml dan nilai

AUC0-∞1000 ng.jam/ml (Israili, ZH., 2000).

Telmisartan cepat diabsorbsi dari saluran gastrointestinal.

Bioavailabilitas oral bergantung pada dosis yaitu sekitar 42% setelah dosis

40 mg dan 58% setelah dosis 160 mg. Konsentrasi plasma puncak

telmisartan dicapai sekitar 0,5 sampai 1 jam setelah dosis oral.

Telmisartan terikat dengan plasma protein lebih dari 99,5%. Waktu paruh

eliminasi telmisartan panjang yaitu 24 jam dan klirens total lebih dari 800

ml/menit. Pada hipertensi, telmisartan diberikan dalam dosis 40 – 80 mg

sekali sehari (Michel, et.al., 2013; Sweetman, 2009). Konsetrasi plasma

puncak (Cmax) setelah pemberian dosis 80 mg adalah 280 ng/ml dan nilai

AUC0-∞ 1970 ng.jam/ml (Israili, ZH., 2000).

Telmisartan adalah senyawa yang dapat menghambat

RAS dan sekaligus mengaktifkan PPARγ, sehingga berpotensi untuk

memperbaiki gangguan hemodinamik dan sindrom metabolik seperti

hipertensi, resistensi insulin, dan dislipidemia. Benson, et.al. melaporkan

bahwa telmisartan dapat berperan sebagai agonis PPARγ parsial, yang

bisa mempengaruhi ekspresi gen target PPAR yang terlibat dalam

metabolisme karbohidrat dan lipid. Telmisartan dilaporkan dapat

mengurangi glukosa dan trigliserida pada hewan coba yang diberi diet
83

tinggi karbohidrat. Penelitian tersebut juga melaporkan bahwa tidak ada

ARB lainnya yang meperlihatkan kemampuan mengaktifkan PPARγ saat

diuji pada konsentrasi yang dicapai dengan dosis oral konvensional (Lim,

S.Y., et.al., 2011). Hal ini dipengaruhi oleh sifat lipofilitas telmisartan yang

lebih tinggi, sehingga memiliki afinitas terhadap reseptor PPARγ.

Kemampuan mengaktifkan PPARγ inilah yang membawa peneliti

berharap bahwa efek menguntungkan yang lebih baik pada profil

metabolik akan ditemukan pada kelompok telmisartan. Kelompok

telmisartan menunjukkan perbaikan dalam indeks ini. Penggunaan insulin

tentu memberi pengaruh terhadap perubahan parameter metabolik

sebelum dan setelah pengobatan pada kelompok pasien hipertensi

komplikasi DM atau penggunaan atorvastatin pada kelompok pasien

hipertensi komplikasi CAD. Namun sampel yang dilibatkan dalam

penelitian adalah pasien yang menggunakan insulin pada rentang dosis

yang sama atau atorvastatin dengan dosis seragam untuk semua

kelompok terapi ARB. Hal ini dimaksudkan sebagai kontrol agar

perbandingan pengaruh penggunaan valsartan, telmisartan, dan

cendesartan dapat terukur. Akan tetapi, dalam penelitian ini umumnya

ditemukan perbedaan yang tidak signifikan antara kelompok telmisartan

dibandingkan kelompok ARB lainnya, kecuali pada variabel kolesterol total

dan trigliserida pada kelompok pasien dengan komplikasi CAD. Meskipun

demikian, hasil penelitian menunjukkan kelompok telmisartan cenderung

memberikan efek yang lebih dominan.


84

Penelitian ini dihadapkan dengan berbagai keterbatasan yang

dapat mempengaruhi hasil penelitian. Lama pengobatan yang tergolong

singkat karena merujuk pada rata-rata lama perawatan inap, sehingga

efek maksimum ARB (minimal 2 minggu pengobatan) belum tercapai.

Penggunaan monoterapi ARB yang terbatas dan lebih sering dalam

kombinasi dengan antihipertensi lain, sehingga hasil penelitian kurang

menggambarkan efek ARB secara spesifik, meskipun kerancuan tersebut

telah diminimalisir. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan

mengontrol penuh penggunaan obat lain yang dapat mempengaruhi hasil

penelitian, dan hanya dapat diminimalisir dengan mengontrol kriteria

inklusi sampel yang dilibatkan dalam penelitian.

C. Analisis Efek Samping dan Interaksi Obat

Penggunaan terapi beberapa obat harus mempertimbangkan dan

menyeimbangkan antara risiko polifarmasi dengan manfaat terapi. Risiko

dari polifarmasi telah diakui, tetapi potensi manfaat dari kombinasi yang

dirancang secara rasional dari obat-obatan juga penting. Memaksimalkan

manfaat mungkin melibatkan penggunaan kombinasi obat yang tepat,

yang dapat mengurangi gejala penyakit dan memperlambat

perkembangan penyakit, dengan potensi komplikasi berkurang dan

meningkatkan kualitas hidup. Penggunaan kombinasi berpotensi efek

sinergis dapat mengurangi kemungkinan kejadian efek samping obat

disamping meningkatkan keamanan dan tolerabilitas beberapa obat


85

(Munger, 2010). Efek samping obat ARB sebagai akibat penghambatan

fungsi yang terkait dengan AngII meliputi hipotensi, hiperkalemia, dan

penurunan fungsi ginjal. Hipotensi banyak terjadi pada pasien yang

memiliki tekanan darah yang sangat bergantung pada fungsi AngII,

termasuk pula hipertensi renovaskular, gagal jantung, sirosis, atau adanya

penurunan volume darah seperti pada penggunaan diuretik. Hiperkalemia

mungkin terjadi karena beberapa faktor yang saling berhubungan

sehingga mempengaruhi homeostasis kalium, seperti insufisiensi ginjal,

konsumsi kalium tinggi, dan penggunaan obat lain yang menyebabkan

retensi kalium. Selain itu hiponatremia juga telah dilaporkan sebagai efek

samping ARB walaupun jarang terjadi (Brunton, 2011).

Berdasarkan penelitian ditemukan beberapa kondisi klinis yang

diduga sebagai efek samping obat, yaitu peningkatan kadar kalium,

hiperkalemia, hiponatremia, peningkatan kadar ureum, peningkatan kadar

kreatinin, dan hipotensi. Jumlah kasus peningkatan kadar kalium dari

seluruh subjek penelitian adalah 7 kasus (31,82%) untuk kelompok

valsartan, 5 kasus (29,41%) untuk kelompok telmisartan, dan 4 kasus

(22,22%) untuk kelompok candesartan. Namun, hiperkalemia hanya

terjadi 1 kasus (4,54%) pada kelompok valsartan yang berupa

hiperkalemia ringan (kadar K+: 5,6 mmol/l); dan 1 kasus (5,56%) pada

kelompok candesartan yang berupa hiperkalemia moderat (kadar K +: 6,5

mmol/l). Sedangkan hiponatremia nampak pada 3 kasus (13,64%) pada

kelompok valsartan, 2 kasus pada kelompok telmisartan (11,76%) dan 2


86

kasus (11,11%) pada kelompok candesartan. Menurut Kimble, et.al.

(2009) kadar natrium normal adalah 135-145 mmol/l.

Jumlah kasus peningkatan kadar ureum dan kreatinin dari seluruh

subjek penelitian adalah 5 kasus (22,73%) untuk kelompok valsartan, 3

kasus (17,65%) untuk kelompok telmisartan, dan 5 kasus (27,78%) untuk

kelompok candesartan. Hipotensi terjadi pada kelompok valsartan

sebanyak 2 kasus (9,09%) dan 1 kasus (5,88%) pada kelompok

telmisartan. Hipotensi didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah di

bawah 90/60 mmHg (Thompson, A., 2011).

Tabel 12. Jumlah kasus dan rerata peningkatan kadar kalium, ureum, dan
kreatinin pada pasien hipertensi dengan komplikasi di rawat
inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar periode Mei-
Juli 2017
Variabel Kelompok Valsartan Kelompok Kelompok
(n=22) Telmisartan (n=17) Candesartan (n=18)
Jumlah Rerata Jumlah Rerata Jumlah Rerata
kasus kasus kasus
Peningkatan 7 0,53±0,33 5 0,30±0,10 4 1,02±0,80
Kadar Kalium (31,82%) (29,41%) (22,22%)
(mmol/l)
Peningkatan 5 11,60±6,54 3 14,00±10,54 5 18,40±7,50
Kadar Ureum (22,73%) (17,65%) (27,78%)
(mg/dl)
Peningkatan 5 0,34±0,15 3 0,52±0,22 5 0,09±0,04
Kadar Kreatinin (22,73%) (17,65%) (27,78%)
(mg/dl)
Keterangan: Kasus peningkatan kadar ureum dan kreatinin terjadi pada
pasien yang sama.

Berdasarkan analisis kausalitas menurut WHO efek samping obat

dalam penelitian ini dikategorikan possible, antara lain hiperkalemia,

hipotensi, serta peningkatan kadar ureum dan kreatinin. Persentase total

kasus yang diduga efek samping untuk masing-masing kelompok ARB


87

adalah 36,36% (8 kasus) pada kelompok valsartan; 23,53% (4 kasus)

pada kelompok telmisartan; dan 33,33% (6 kasus) pada kelompok

candesartan. Efek samping obat dikategorikan possible jika memenuhi

tiga syarat, yaitu manifestasi efek samping atau hasil uji lab yang

abnormal, dilihat dari waktu kejadian masih dapat diterima yaitu bahwa

terjadi setelah penggunaan obat (event or laboratory test abnormality with

reasonable time relationship to drug intake); dapat dijelaskan oleh

kemungkinan perkembangan penyakit atau disebabkan oleh obat lain

(could also be explained by disease or other drugs); dan informasi terkait

penghentian obat tidak lengkap atau tidak jelas (information on drug

withdrawal lacking or unclear) (Direktorat Pengawasan Distribusi Produk

Terapetik dan PKRT, 2012). Persentase kejadian hiperkalemia paling

tinggi pada kelompok candesartan. Persentase kejadian kadar ureum dan

kreatinin yang meningkat paling tinggi pada kelompok candesartan, tetapi

kelompok telmisartan memperlihatkan peningkatan kadar kreatinin yang

lebih signifikan dibandingkan kelompok valsartan dan candesartan (lihat

lampiran 10), sedangkan kelompok candesartan memperlihatkan

peningkatan kadar kreatinin paling kecil. Persentase kejadian hipotensi

paling tinggi pada kelompok valsartan.

Penghambatan angiotensin II yang terikat pada reseptor adrenal

mengganggu efek stimulasi angiotensin II pada sekresi aldosteron di

kelenjar adrenal dan sebagai konsekuensinya mengganggu ekskresi

kalium ginjal. Mekanisme utama yang berperan terhadap hiperkalemia dari


88

penggunaan ARB, antara lain penurunan konsentrasi aldosteron,

penurunan penghantaran natrium ke nefron distal, fungsi tubulus

pengumpul yang tidak normal, dan adanya asupan kalium berlebihan.

Hiperkalemia ringan (kalium serum 5,5 sampai 6 mmol/L), hiperkalemia

moderat (kalium > 6 sampai 6,9 mmol/L), dan hiperkalemia berat (kalium >

7 mmol/L) dapat muncul bersama komplikasi berbahaya, tetapi gejala

dapat juga tidak terdeteksi sebelumnya (Raebel M.A., 2011). Kadar kalium

normal adalah 3,5 sampai 5 mmol/l (Kimble, et.al., 2009). Faktor–faktor

yang dapat meningkatkan risiko efek samping hiperkalemia pada

penggunaan ARB adalah pasien berusia lanjut, penggunaan obat lain,

kondisi pasien terutama penurunan fungsi ginjal, dan diet kalium. Efek

samping sangat bergantung pada dosis obat. Pemberian ARB harus

dimulai dengan dosis rendah karena risiko efek samping bertambah

seiring peningkatan dosis, sehingga pemeriksaan kadar kalium diperlukan

minimal 3 hari sampai 2 minggu setelah pemberian dosis awal atau

setelah dosis dinaikkan (Raebel M.A., 2011).

Rekomendasi dalam berbagai panduan internasional untuk

menghentikan pengobatan ARB hanya jika kreatinin meningkat 30% atau

lebih setelah inisiasi berdasarkan suatu review terhadap 12 uji klinis

pengobatan ACEI/ARB untuk diabetes dan gagal jantung. Menurut

Schmidt M., et.al. (2017), pada perawatan primer rutin, kebanyakan

pasien yang memulai pengobatan dengan ARB hanya memiliki sedikit

perubahan fungsi ginjal. Namun, peningkatan konsentrasi kreatinin lebih


89

dari 10% setelah memulai pengobatan ARB mempengaruhi lebih dari 15%

pasien dan memiliki implikasi penting. Peningkatan kreatinin yang

ditunjukkan setelah dimulainya pengobatan ARB, dikaitkan dengan risiko

kardiorenal yang berhubungan dengan respon dosis (Schimidt M., et.al.,

2017). Peningkatan kadar kreatinin pada penelitian ini hampir mencapai

30% pada kelompok valsartan dan telmisartan, tetapi tidak pada kelompok

candesartan. Persentase peningkatan kadar kreatinin terhadap rerata

kadar kreatinin awal kelompok valsartan (1,14±0,26 mg/dl) adalah

29,82%; persentase peningkatan kadar kreatinin terhadap rerata kadar

kreatinin awal kelompok telmisartan (1,75±0,25 mg/dl) adalah 29,71%,

sedangkan persentase peningkatan kadar kreatinin terhadap rerata kadar

kreatinin awal kelompok candesartan (1,42±0,28 mg/dl) adalah 6,34%.

Peningkatan kadar kreatinin dan ureum serum dalam penelitian ini

mungkin juga dipengaruhi penggunaan AINS (aspirin). Studi case-control

dalam skala besar memperlihatkan risiko terjadinya penyakit ginjal akut

pada pasien yang menerima kombinasi AINS dengan ARB (Horn J.R., dan

Philip D. H., 2013).

Temuan hiponatremia pada penggunaan ARB masih berupa case

report dan selalu dengan kombinasi diuretik. Hiponatremia pada kasus-

kasus tersebut diidentifikasi sebagai efek samping yang diinduksi oleh

diuretik. Bagaimanapun ARB dan diuretik memperlihatkan mekanisme

komplementer (Kim, DR., et.al., 2013; Cakir, M., 2010). Begitu pula dalam
90

penelitian ini, pada beberapa sampel, ARB dikombinasikan dengan

diuretik kuat (furosemid).

Obat-obatan utamanya bekerja melalui jalur seluler dan selalu ada

kemungkinan saling berinteraksi, khususnya jika kedua obat tersebut

memiliki jalur aksi atau metabolisme yang sama. Kedua kasus akan

mengganggu bioavailabilitas dan aksi dari salah satu atau kedua obat

tersebut. Sangat penting untuk menentukan farmakokinetik dan

farmakodinamik berbagai obat untuk meminimalkan interaksi obat yang

diresepkan (Banerjee S., 2012). Hasil identifikasi interaksi obat ARB

dengan obat lain yang berpotensi terjadi pada penelitian ini disajikan

dalam tabel 13.

Persentase kasus interaksi obat yang berpotensi terjadi paling

banyak pada penggunaan ARB bersama dengan aspirin, yaitu 45,61%

dengan kategori moderat (menurut drugs.com). Kemudian disusul

interaksi potensial antara valsartan atau telmisartan dengan atorvastatin

sebesar 42,10% dan interaksi antara ARB dengan furosemid sebesar

40,35%. Namun persentase interaksi obat potensial yang bermakna,

terjadi antara ARB dengan obat lain adalah 5,26% (3 kasus).

Efek interaksi obat bermakna yang paling berpotensi terjadi adalah

hiperkalemia dan hipotensi. Namun pada penelitian ini hanya ditemukan 2

kasus kejadian hiperkalemia, yaitu 1 kasus (1,75%) hiperkalemia moderat

pada pasien hipertensi dengan diabetes mellitus yang diduga interaksi

akibat penggunaan candesartan bersama dengan aspirin, dan kasus


91

lainnya terjadi pada pasien hipertensi dengan diabetes mellitus yang

menggunakan valsartan, tetapi tanpa penggunaan obat lain yang dapat

berinteraksi dengan valsartan.

Tabel 13. Interaksi obat ARB dengan obat lain yang berpotensi terjadi
pada pasien hipertensi dengan komplikasi di rawat inap RSUP
Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar periode Mei-Juli 2017
Interaksi Obat Jumlah Efek Interaksi Kategori Literatur
Kasus
N = 57
(%)
Valsartan/telmisartan/ 26 ARB dapat meningkatkan Moderat; Drugs.com
candesartan + aspirin (45,61) toksisitas NSAID, sehingga Monitor Medscape.com
meningkatkan risiko gangguan Closely Stockley’s 2008
ginjal. Valsartan dan aspirin
meningkatkan kadar kalium,
sehingga berpotensi
hiperkalemia.
Sedangkan aspirin dapat
mempengaruhi efek
farmakodinamik antihipertensi
dari ARB
Valsartan/telmisartan/ 23 Hipotensi simtomatik dapat Monitor Medscape.com
candesartan + (40,35) terjadi karena penggunaan Closely Stockley’s 2008
furosemid bersama ARB dan diuretik.
ARB juga dapat meningkatkan
kadar kalium, sedangkan
furosemid menurunkan kadar
kalium. Pemberian ARB
bersama diuretik dapat
meningkatkan/ menurunkan
kadar kalium
Valsartan/telmisartan + 24 Valsartan/telmisartan dapat Monitor Medscape.com
atorvastatin (42,10) meningkatkan risiko toksisitas Closely
atorvastatin
Valsartan/telmisartan/ 18 Efek hipoglikemik insulin dapat Moderat Drugs.com
candesartan + insulin (31,58) ditingkatkan oleh ARB, risiko
hipoglikemia
Codeine + valsartan/ 5 Codein dapat meningkatkan Moderat Drugs.com
telmisartan/candesartan (8,77) efek hipotensif ARB.
Telmisartan + digoksin 1 Telmisartan dapat Moderat; Drugs.com
(1,75) meningkatkan toksisitas Monitor Medscape.com
digoksin, karena dapat Closely Stockley’s 2008
meningkatkan kadar digoksin
92

Kombinasi antara AINS dengan ARB dapat meningkatkan risiko

gangguan ginjal dan hiperkalemia. Baik ARB maupun AINS memiliki efek

farmakodinamik yang masing-masing dapat mempengaruhi fungsi ginjal.

Jika digunakan bersama potensi gangguan ginjal yang akan

meningkatkan risiko hiperkalemia (Baxter K, 2008). ARB menurunkan

perfusi darah ginjal dengan menghambat vasokonstriksi yang dimediasi

angiotensin II pada arteriol eferen dan menurunkan laju filtrasi glomerulus.

Obat AINS menghambat dilatasi arteri aferen yang dimediasi

prostaglandin. Vasodilatasi arteri aferen yang dimediasi prostaglandin dan

vasokontriksi arteriol eferen yang dimediasi angiotensin II berperan dalam

mempertahankan tekanan intraglomerular yang memadai. Penghambatan

sistem ini menyebabkan aliran darah ginjal terganggu, sehingga

memunculkan gejala penurunan jumlah urin, ekskresi natrium rendah, dan

rasio urea:kreatinin biasanya lebih dari 20 karena reabsorbsi urea yang

tidak proporsional terhadap kreatinin (Decloedt E., dan Gary Maartens,

2011). Beberapa bukti juga menunjukkan bahwa prostaglandin terlibat

dalam efek hipotensif ARB, dan AINS yang menghambat sintesis

prostaglandin dapat memberikan efek antagonis terhadap kerja ARB

(Baxter K, 2008). Namun dalam penelitian ini, efek interaksi tersebut tidak

ditemukan. Hal ini sejalan dengan bukti klinis yang menyebutkan bahwa

aspirin dosis rendah tidak mempengaruhi efek antihipertensi ARB

(losartan) (Baxter K, 2008).


93

Hipotensi ditemukan pada 3 kasus, yaitu 1 kasus (1,75%) pada

pasien hipertensi dengan CHF yang diduga akibat interaksi antara

valsartan dengan furosemid; 1 kasus (1,75%) pada pasien hipertensi

dengan CHF yang diduga akibat interaksi antara telmisartan dengan

furosemid; dan 1 kasus pada pasien hipertensi dengan DM yang

menggunakan valsartan dan amlodipin sebagai kombinasi antihipertensi.

Hipotensi simtomatik terjadi ketika ARB diberikan pada pasien hipertensi

dan gagal jantung yang juga mengalami penurunan volume/natrium,

terutama penggunaan diuretik dosis tinggi. Interaksi farmakodinamik

valsartan dengan furosemid bergantung pada dosis kedua obat,

sedangkan interaksi farmakokinetik valsartan terhadap furosemid tidak

mempengaruhi efek diuretik (Baxter K., 2008). Menurut beberapa literatur

tidak ada interaksi signifikan antara ARB dengan amlodipin, sehingga

diduga kejadian hipotensi merupakan efek samping dari penggunaan

valsartan yang didukung adanya penyakit DM yang menyertai kondisi

pasien.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Terapi yang menggunakan ARB umumnya memberikan perubahan

yang signifikan antara sebelum dan setelah penggunaan obat

terhadap parameter metabolik pasien hipertensi dengan komplikasi

diabetes mellitus. Terapi yang menggunakan ARB umumnya

menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan antara kelompok

valsartan, telmisartan, dan candesartan terhadap parameter

metabolik. Namun kelompok telmisartan menunjukkan kecenderungan

perubahan parameter metabolik yang lebih dominan.

2. Penggunaan ARB pada pasien hipertensi dengan komplikasi CAD

memperlihatkan perubahan yang signifikan antara sebelum dan

setelah penggunaan obat terhadap sebagian parameter metabolik.

Umumnya ditemukan perbedaan yang tidak signifikan antara

kelompok valsartan, telmisartan, dan candesartan terhadap parameter

metabolik. Namun kelompok telmisartan cenderung memperlihatkan

perubahan yang lebih dominan.

3. Perubahan yang signifikan antara sebelum dan setelah penggunaan

obat terhadap parameter metabolik pasien hipertensi dengan

94
95

komplikasi CHF ditunjukkan pada semua kelompok terapi ARB.

Namun ditemukan perbedaan yang tidak signifikan antara kelompok

valsartan, telmisartan, dan candesartan. Meskipun demikian,

kelompok telmisartan memperlihatkan kecenderungan perubahan

parameter metabolik yang lebih dominan.

4. Efek samping kategori possible yang terjadi dari terapi yang

menggunakan ARB adalah hiperkalemia, hipotensi, serta peningkatan

ureum dan kreatinin. Persentase total kasus efek samping paling

tinggi pada kelompok valsartan. Sedangkan interaksi obat potensial

yang bermakna terjadi antara ARB dengan obat lain dalam jumlah

kecil, yaitu 5,26% dengan efek berupa hiperkalemia dan hipotensi.

Penggunaan ARB sebagai bagian dari terapi pasien hipertensi

memperlihatkan outcome parameter metabolik yang relatif baik dan

aman.

B. Saran

Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk analisis efektivitas dan efek

samping obat golongan ARB pada pasien hipertensi dalam jangka waktu

yang lebih lama dan evaluasi parameter outcome lainnya terkait penyakit

hipertensi dengan komplikasi penyakit jantung, seperti tes fungsi jantung.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmadian, M., Jae Myoung Suh, Nasun Hah, Christopher Liddle, Annette
R Atkins, Michael Downes, dan Ronald M Evans. 2013. PPARγ
Signaling and Metabolism: The Good, The Bad and The Future.
Nature Medicine. Vol 19 (5), hal. 557-566.
Almasdy, D., Dita Permata Sari, Suharti, Deswinar Darwin, dan Nina
Kurniasih. 2015. Evaluasi Penggunaan Obat Antidiabetik pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe-2 di Suatu Rumah Sakit Pemerintah
Kota Padang - Sumatera Barat. Jurnal Sains Farmasi dan Klinis.
Vol. 2 (1), hal. 104.
Ansa, D.A., Lily Ranti Goenawi, dan Heedy M. Tjitrosantoso. 2010. Kajian
Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado Periode Januari-Desember 2010. Farmasi FMIPA
UNSRAT Manado.
Baguet, Jean-Philippe dan Jean-Michel Mallion. 2005. Hypertension and
Coronary Heart Disease. European society of hypertension
Scientific Newsletter. Vol. 6 (14), hal. 1-2. Grenoble Cedex 09,
France.
Banerjee, Sunip. 2012. Common Drug Interactions in Cardiology
Prescription. Medicine Update. Vol. 22, hal. 223-228. Kolkata.
Baxter, Karen. 2008. Stockley’s Drug Interactions. Eighth Edition.
Pharmaceutical Press, UK.
Brunton, L.L., Bruce A. Chabner, dan Björn C. Knollmann. 2011.
Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics.
Twelfth edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.
Cahyono, S. 2008. Gaya Hidup dan Penyakit Modren. Kanisius. Jakarta.
Cakir, M. 2010. Significant Hyperkalemia and Hyponatremia Secondary to
Telmisartan/hydrochlorothiazide Treatment. Blood Pressure. Vol. 19
(6), hal. 380.
Cernes, Relu, Margarita Mashavi, dan Reuven Zimlichman. 2011.
Differential Clinical Profile of Candesartan Compared to Other
Angiotensin Receptor Blockers. Vascular Health and Risk
Management. Vol. 7, hal. 749–759. Dovepress.
Chobanian, Aram V., George L. Bakris, Henry R. Black, William C.
Cushman, Lee A. Green, Joseph L. Izzo, Jr, Daniel W. Jones, Barry

96
97

J. Materson, Suzanne Oparil, Jackson T. Wright, Jr, dan Edward J.


Roccella. 2003. The Seventh Report of the Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of
High Blood Pressure The JNC 7 Report. Journal of the American
Medical Association. Vol. 289 (19), hal. 2560-2572. American
Medical Association.

Cifkova, R., George Fodor, dan Peter Wohlfahrt. 2016. Changes in


Hypertension Prevalence, Awareness, Treatment, and Control in
High-, Middle-, and Low-Income Countries: An Update. Current
Hypertension Reports. Vol. 18 (62): 1-6. Springer Science.

Cowan, B.R., Alistair A. Young, Craig Anderson, Robert N. Doughty,


Rungroj Krittayaphong, Eva Lonn, Thomas H. Marwick, Chris M.
Reid, John E. Sanderson, Roland E. Schmieder, Koon Teo, Angela
K. Wadham, Stephen G. Worthley, Cheuk-Man Yu, Salim Yusuf,
dan Garry L. Jennings. 2009. Left Ventricular Mass and Volume
with Telmisartan, Ramipril, or Combination in Patients with Previous
Atherosclerotic Events or with Diabetes Mellitus (from the ONgoing
Telmisartan Alone and in Combination With Ramipril Global
Endpoint Trial [ONTARGET]). American Journal of Cardiology. Vol.
104 (11), hal. 1484–1489.

Dakhale, G., Anoop Salve, Mrunalini Hardas, Mohini Mahatme, Sachin


Hiware dan Abhijit Shinde. 2015. Clinical Efficacy and Safety of
Telmisartan versus Losartan and Their Effect on Lipid Profile in
Stage 1 Hypertension: A Randomized, Double Blind, 12 Week Trial.
International Journal of Pharmacological Research. Vol. 5 (4), hal.
80-85.

Decloedt, E., dan Gary Maartens. 2011. Drug-induced Renal Injury.


Continuing Medical Education. Vol. 29 (6), hal. 252-255.
Depkes RI, 2006. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Dirjen
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Jakarta.
Devadason, Pethuru, Sabarinath, M., Reshma Dass, R., Sameena, A.,
Sanjeetha Fathima, S., dan Alber M. Mathiarasu. 2014. Risk
Factors for Hypertension and its Complications – A Hospital Based
Case Control Study. International Journal of Interdisciplinary and
Multidisciplinary Studies (IJIMS). Vol. 1 (4), hal. 160-163.

Dipiro, J., Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzke, Barbara G.


Wells, dan L. Michael Posey. 2008. Pharmacotherapy a
98

Pathophysiologic Approach. Seventh Edition. The McGraw-Hill


Companies, USA.
Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT Badan
POM RI. 2012. Pedoman Monitoring Efek Samping Obat (Meso)
Bagi Tenaga Kesehatan. Badan POM RI. Jakarta.

Fei, Jei. 2012. PPAR: A Pivotal Regulator in Metabolic Syndromes.


Journal of Endocrinology and Metabolic Syndrome. Vol. 1 (4), hal
1-2.
Ganiswarna, S. G., Setiabudy, R., Suyatna, F. D., Ascobat, P., Nafrialdi.
2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Bagian Farmakologi FKUI,
Jakarta.

Gradman, Alan H., Jan N. Basile, Barry L. Carter, dan George L. Bakris.
2010. Combination Therapy In Hypertension. Journal of The
American Society of Hypertension. Vol. 4 (2), hal 90–98.
Gray, H.H., Dawkins, K.D., Morgan, J.M., dan Simpson, I. A. 2005.
Kardiologi: Lecture Notes. Edisi IV. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Hao, G., Zengwu Wang, Rui Guo, Zuo Chen, Xin Wang, Linfeng Zhang
dan Wei Li. 2014. Effects of ACEI/ARB in Hypertensive Patients
with Type 2 Diabetes Mellitus: A Meta-Analysis of Randomized
Controlled Studies. BMC Cardiovascular Disorders. Vol. 14 (148),
hal 1-7. BioMed Central.
Horn, J.R., dan Philip D. Hansten, 2013. Diuretics, ACEIs, ARBs, and
NSAIDs: A Nephrotoxic Combination. Pharmacy Times. Hal. 40.

Hussain, M.A., Abdullah Al Mamun, Christopher Reid, dan Rachel R.


Huxley. 2016. Prevalence, Awareness, Treatment and Control of
Hypertension in Indonesian Adults Aged 40 Years: Findings from
the Indonesia Family Life Survey (IFLS). Plos One. Vol. 11(8), hal.
1-16.
Israili, ZH. 2000. Clinical pharmacokinetics of angiotensin II (AT1) receptor
blockers in hypertension. Journal of Human Hypertension. Vol.14
(1), hal 73–86. Macmillan Publishers Ltd.

James, P.A., Oparil S, Carter BL, Cushman WC, Dennison-Himmelfarb C,


Handler J, Lackland DT, LeFevre ML, MacKenzie TD, Ogedegbe O,
Smith SC Jr, Svetkey LP, Taler SJ, Townsend RR, Wright JT Jr,
Narva AS, dan Ortiz E. 2014. 2014 Evidence-Based Guideline for
The Management of High Blood Presure in Adults Report from The
Panel Members Appointed to the Eight Joint National Committee
99

(JNC 8). Journal of the American Medical Association. Vol. 311 (5),
hal. 507-520. American Medical Association.
Kannan, Arun dan Rajesh Janardhanan. 2014. Hypertension as a Risk
Factor for Heart Failure. Current Hypertension Report. Vol. 16 (7),
hal. 447. Springer Science, New York.
Kim, DR., Cho JH., Jang WS., Kim JS., Jeong KH., Lee TW., dan Ihm
CG. 2013. Severe Hyponatremia Associated with the Use of
Angiotensin II Receptor Blocker/thiazide Combinations. Case
Report. Electrolyte Blood Pressure. Vol. 1, hal. 56-59. The Korean
Society of Electrolyte Metabolism.
Lastra, G., Sofia Syed, L. Romayne Kurukulasuriya, Camila Manrique, dan
James R. Sowers. 2014. Type 2 Diabetes Mellitus and
Hypertension: An Update. Endocrinol Metab Clin North Am. Vol.
43(1), hal. 103–122.
Lim, S.Y., Sun Won Kim, Eung Ju Kim, Jun Hyuk Kang, Su A Kim, Yun
Kyung Kim, Jin Oh Na, Cheol Ung Choi, Hong Euy Lim, Seong
Woo Han, Seung-Woon Rha, Chang Gyu Park, Hong Seog Seo,
dan Dong Joo Oh. 2011. Telmisartan Versus Valsartan in Patients
With Hypertension: Effects on Cardiovascular, Metabolic, and
Inflammatory Parameters. Korean Circulation Journal. Vol. 41 (10),
hal. 583–589. The Korean Society of Cardiology.
Lip, GY., Felmeden DC, dan Dwivedi G. 2011. Antiplatelet Agents and
Anticoagulants for Hypertension. Cochrane Database System
Review. Issue 12, hal. 1-9.
Marliani, L, dan Tantan S. 2007. 100 Question & Answers Hipertensi. PT
Elex Media Komputindo, Gramedia. Jakarta.
Michel, Martin C., Carolyn Foster, Hans R. Brunner, dan Lisheng Liu.
2013. A Systematic Comparison of the Properties of Clinically Used
Angiotensin II Type 1 Receptor Antagonists. Pharmacological
Reviews. Vol 65, hal. 809–848. The American Society for
Pharmacology and Experimental Therapeutics.
Morgado, Manuel, Sandra Rolo, Ana Filipa Macedo, dan Miguel Castelo-
Branco. 2011. Association of Statin Therapy with Blood Pressure
Control In Hypertensive Hypercholesterolemic Outpatients In
Clinical Practice. Journal of Cardiovascular Disease Research. Vol.
2 (1), hal. 44-49.

Mori, H., Yosuke Okada, Tadashi Arao, Keiko Nishida, dan Yoshiya
Tanaka. 2012. Telmisartan at 80 mg/Day Increases High-Molecular-
Weight Adiponectin Levels and Improves Insulin Resistance in
100

Diabetic Patients. Advances in Therapy. Vol. 29 (7), hal. 635–644.


Springer Healthcare.
Munger, Mark A. 2010. Polypharmacy and Combination Therapy in the
Management of Hypertension in Elderly Patients with Co-Morbid
Diabetes Mellitus. Drugs Aging. Vol. 27 (11), hal. 871-83.
Ndraha, Suzanna. 2014. Diabetes Melitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini.
Medicinus. Vol. 27 (2), hal. 9-16.

Oparil, S., Zaman MA, dan Calhoun DA. 2003. Pathogenesis of


Hypertension. Annals of Internal Medicine. Vol. 139 (9), hal. 761-
776.
Pacurari, M., Ramzi Kafoury, Paul B. Tchounwou, dan Kenneth Ndebele.
2014. The Renin-Angiotensin-Aldosterone System in Vascular
Inflammation and Remodeling. International Journal of
Inflammation. Vol. 2014, hal. 1-13. Hindawi Publishing Corporation.
Raebel, Marsha A. 2011. Hyperkalemia Associated with Use of
Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors and Angiotensin
Receptor Blockers. Cardiovascular Therapeutics. Vol. 30 (3), hal.
156-166. Blackwell Publishing Ltd.
Rizos, Christos V., dan Moses S Elisaf. 2014. Antihypertensive drugs and
glucose metabolism. World Journal of Cardiology. Vol. 6(7), hal.
517-530. Baishideng Publishing Group Inc.
Rosendorff, Clive. 2007. Hypertension and Coronary Artery Disease: A
Summary of the American Heart Association Scientific Statement.
The Journal of Clinical Hypertension. Vol. 9 (10), hal 790-795.
Rosendorff, Clive, Daniel T. Lackland, Matthew Allison, Wilbert S. Aronow,
Henry R. Black, Roger S. Blumenthal, Christopher P. Cannon,
James A. de Lemos, William J. Elliott, Laura Findeiss, Bernard J.
Gersh, Joel M. Gore, Daniel Levy, Janet B. Long, Christopher M.
O’Connor, Patrick T. O’Gara, Olugbenga Ogedegbe, Suzanne
Oparil, dan William B. White. 2015. Treatment of Hypertension in
Patients With Coronary Artery Disease. Journal of the American
College Of Cardiology. Vol. 65 (18), hal. 1998–2038.
Sasaki, T., Yoshiki Noda, Yoshinori Yasuoka, Hiroaki Irino, Haruhiko Abe,
Hidenori Adachi, Susumu Hattori, Hirokazu Kitada, Daisuke
Morisawa, dan Kunio Miyatake. 2008. Comparison of the Effects of
Telmisartan and Olmesartan on Home Blood Pressure, Glucose,
and Lipid Profiles in Patients with Hypertension, Chronic Heart
Failure, and Metabolic Syndrome. Hypertension Research. Vol. 31
(5), hal. 921-929.
101

Savage, D.B., 2005. PPAR gamma as A Metabolic Regulator: Insights


from Genomics and Pharmacology. Expert Reviews in Molecular
Medicine. Vol. 7 (1), hal. 1-16.

Schmidt, M., Kathryn E Mansfield, Krishnan Bhaskaran, Dorothea Nitsch,


Henrik Toft Sørensen, Liam Smeeth, dan Laurie A Tomlinson.
2017. Serum Creatinine Elevation After Renin-Angiotensin System
Blockade and Long Term Cardiorenal Risks: Cohort Study. British
Medical Journal. Vol 356, hal. 761.

Schupp, M., Janke J, Clasen R, Unger T, dan Kintscher U. 2004.


Angiotensin Type 1 Receptor Blockers Induce Peroxisome
Proliferator–Activated Receptor-γ Activity. Circulation. Vol. 109 (17),
hal. 2054-2057.

Semple, R.K., Chatterjee VK, dan O'Rahilly S. 2006. PPARγ and Human
Metabolic Disease. Journal of Clinical Investigation, 116 (3), hal.
581-589.
Sharma, Arya M., Jaime Davidson, Stephen Koval, dan Yves Lacourcière.
2007. Telmisartan/hydrochlorothiazide Versus Valsartan/
hydrochlorothiazide in Obese Hypertensive Patients With Type 2
Diabetes: The SMOOTH Study. Cardiovascular Diabetology. Vol. 6
(28), hal. 1-8.
Siswanto, BB., Nani Hersunarti, Erwinanto, Rossana Barack, Rarsari
Soerarso Pratikto, Siti Elkana Nauli, dan Anggia C Lubis. 2015.
Buku Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Edisi Pertama.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.
Sumawa, P. M. R., Adeanne C. Wullur, dan Paulina V. Y. Yamlean. 2014.
Evaluasi Kerasionalan Penggunaan Obat Antihipertensi pada
Pasien Hipertensi Rawat Inap di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado Periode Januari-Juni 2014. Jurnal Ilmiah Farmasi. Vol. 4
(3), hal 128.

Sweetman, S.C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference. Thirty-


sixth edition. Pharmaceutical Press, USA.
Tagaki, H., Masao Niwa, Yusuke Mizuno, Shin-nosuke Goto dan Takuya
Umemoto. 2013. A Meta-analysis of Randomized Trials of
Telmisartan vs. Valsartan Therapy for Blood Pressure Reduction.
Hypertension Research. Vol. 36, hal. 627-633. The Japanese
Society of Hypertension. Nature.
Tagaki, H. dan Taguya Umemoto. 2014. A Meta-analysis of Randomized
Trials of Telmisartan versus Active Controls for Insulin Resistance
102

in Hypertensive Patients. Journal of the American Society of


Hypertension. Vol. 8 (8), hal. 578-592.
Talwar, K. K., Yash Paul Sharma, J. S. Thakur, Rajiv Mahajan, Shiv
Bagga, Roshan Kurmi, dan Kuldeep Singh. 2009. Clinical
Management Guidelines for Coronary Artery Disease for National
Programme for Prevention and Control of Diabetes, Cardiovascular
Disease and Stroke. Department of Cardiology and Community
Medicine, Post ‐ Graduate Institute of Medical Education and
Research, Chandigarh, India.

Thompson, Angus. 2011. Hypotension: Issues and Management. Learning


and Development. Hal. 1-4.

Tian, Z., Yuling Yan, Songbai Deng, dan Qiang She. 2016. Effect of
Valsartan on Insulin Resistance in Patients with Hypertension: A
Systematic Review and Meta-analysis. International Journal of
Clinical and Experimental Medicine. Vol. 9 (7), hal. 14047-14056.
Tjay, H. T. dan Rahardja, K. 2007. Obat-obat Penting: Khasiat,
Penggunaan, dan Efek Sampingnya. Edisi VI, Cetakan Pertama.
Elex Media Komputindo, Jakarta.

Tripathi, Bohara S., Singh R.R., Kumar A., Uraiya D., dan Dhoan P. 2016.
Comparative Study of Telmisartan and Amlodipine to Assess The
Effect on Blood Pressure, Lipid Profile and Blood Glucose Level in
Indian Hypertensive Patients. International Journal of Medical
Research and Review. Vol 4 (9), hal. 1693-1701.

Vito, LD, Giorgio Cautilli, Rocco Vergallo, dan Italo Porto. 2011.
Telmisartan for the Prevention of Acute Coronary Syndrome in
ACE-Inhibitor Intolerant Patients. International Journal of Clinical
Reviews.
Weber, M.A., Ernesto L. Schiffrin, William B. White, Samuel Mann, Lars
H. Lindholm, John G. Kenerson, John M. Flack, Barry L. Carter,
Barry J. Materson, C. Venkata S. Ram, Debbie L. Cohen, Jean-
Claude Cadet, Roger R. Jean-Charles, Sandra Taler, David Kountz,
Raymond R. Townsend, John Chalmers, Agustin J. Ramirez,
George L. Bakris, Jiguang Wang, Aletta E. Schutte, John D.
Bisognano, Rhian M. Touyz, Dominic Sica, dan Stephen B. Harrap.
2014. Clinical Practice Guidelines for the Management of
Hypertension in the Community: A Statement by the American
Society of Hypertension and The International Society of
Hypertension. The Journal of Clinical Hypertension. Vol 16 (1), hal.
14-26.
103

White, William B., Yves Lacourciere, dan Giora Davidai. 2004. Effects of
the Angiotensin II Receptor Blockers Telmisartan Versus Valsartan
on the Circadian Variation of Blood Pressure. The American Journal
of Hypertension. Vol. 17 (4), hal. 347-353. Elsevier.
Yamada, S., Ano N., Toda K., Kitaoka A., Shiono K., Inoue G., Atsuda K.,
dan Irie J. 2008. Telmisartan But Not Candesartan Affects
Adiponectin Expression In Vivo and In Vitro. Hypertension
Research. Vol. 31 (4), hal. 601-631.

Yang, Y., Ri-bao Wei, Yue Xing, Lu Tang, Xiao-yong Zheng, Zi-cheng
Wang, Yu-wei Gao, Min-xia Li, dan Xiang-mei Chen. 2013. A Meta-
analysis of the Effect of Angiotensin Receptor Blockers and
Calcium Channel Blockers on Blood Pressure, Glycemia and the
HOMA-IR Index in Non-Diabetic Patients. Metabolism Clinical and
Experimental. Vol. 62 (12), hal. 1858-1866. Elsevier Inc.

Anda mungkin juga menyukai