Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH STUDI ISLAM III

“KONSEP FIQIH”

KELOMPOK 1
WA ODE MIFTAHUL JANNAH

1300023

RIZKA PUSPANING HANAR

1300023196

MAHENDRA WIDYA N

1300023197

KUNTUM ZAHRO W

1300023200

PANGESTU ASRI

1300023201

EKA NOVIANTI

1300023203

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA

1
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
I.A. Latar
Belakang.........................................................................

I.B Rumusan
Masalah2....................................................................

I.C
Tujuan.............................................................................
............

BAB II PEMBAHASAN
II.A Pengertian
fiqih.........................................................................

II.B Sumber Hukum


Islam...............................................................

II.C Ruang Lingkup


Fiqih................................................................

II.D Pengertian Fiqih


Ibadah............................................................

16

II.E Ruang Lingkup Fiqih Ibadah....................................................

18

DAFTAR
PUSTAKA....................................................................... ....
.

29
BAB I
PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang
Mempelajari ilmu fiqih menjadi sebuah sarana manusia untuk menjalani
kehidupan di dunia, baik ibadah maupun muamalah. Fiqh dalam konteks ibadah
akan membahas hubungan manusia dengan Tuhan sedangkan fiqh dalam konteks
muamalah akan membahas hubungan manusia dengan manusia.
Hal yang pertama dipelajari adalah konsep dasar dari ilmu fiqh. Konsep
dasar tersebut meliputi pengertian, sumber hukum islam, ruang lingkup, dan
pengertian ilmu fikih.
I.B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan fiqih dan fiqih ibadah?
2. Apa sajakah sumber hukum fiqih islam dan fiqih ibadah?
3. Apa saja ruang lingkup dari fiqih dan fiqih ibadah?
I.C. Tujuan
1. Memahami dan mengetahui maksud dari fiqih dan fiqih ibadah
2. Mengetahui sumber-sumber hukum islam
3. Mengetahui ruang lingkup fiqih dan fiqih ibadah

3
BAB II
PEMBAHASAN
II.A. Pengertian Fiqh
Pengertian “fiqh” secara etimologis berati “paham yang mendalam”. Bila
“paham” dapat digunakan untuk hal hal yang bersifat lahiriah, maka fiqh berarti
paham yang menyampaikan ilmu lahir kepada ilmu batin. Karena itulah AtTirmidzi
menyebutkan, “Fiqh tentang sesuatu”, berarti mengetahui batinnya
sampai kepada kedalamannya.
Kata “faqaha” atu yang berakar kepada kata itu dalam Al-Qur’an disebut
dalam 20 ayat : 19 diantaranya berarti bentuk tertentu dalam kedalaman paham
dan kedalaman ilmu yang menyebutkan dapat diambil manfaat darinya.
Ada pendapat yang megatakan bahwa “fiqhu” atau paham tidak sama
dengan “ilmu” walaupun wazan (timbangan) lafaznya sama. meskipun belum
menajdi ilmu, paham adalah pikiran yang baik dari segi kesiapannya menangkap
apa yang dituntut. Ilmu bukanlah dalam bentuk zhanni seperti paham atau fiqh
yang merupakan ilmu tentang zheanni dalam dirinya.
Secar definitif, fiqh berarti “ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat
amaliyah yang digali dan ditemukan dan dalil-dalil yang tafsili”.
Dalam definisi ini, fiqh diibaratkan dengan ilmu karena fiqh itu semacam
ilmu pengetahuan. Memang fiqh itu tdak sama dengan ilmu seperti disebutkan
diatas, fiqh itu bersifat zhanni. Fiqh adalah apa yang dapat dicapai oleh mujtahid
dengan zhan nya, sedangkn ilmu tidak bersifat zhanni seperti fiqh. Namun, karena
zhan dalam fiqh ini kuat, maka ia mendekati kepada ilmu; karena dalam definisi
ini ilmu digunakan juga untuk fiqh. Dalam definisi diatas terdapat batasan atau
pasal yang disamping menjelaskan hakikat dari fiqh itu, sekaligus juga
memisahkan arti kata fiqh itu dari yang bukan fiqh.
Kata “hukum” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa hal-hal yang
berada diluar apa yang dimaksud dengan kata “hukum”, seperti zat, tidaklah
termasuk kedalam pengertian fiqh. Bentuk jamak dari hukum adalah “ahkam”.
Disebut dalam bentuk jamak adalah untuk menjelaskan bahwa fiqh itu ilmu
tentang seperangkat aturan yang disebut hukum.

4
Penggunaan kata “syar’iyyah” atau “syariah” dalam definisi tersebut
menjelaskan bahwa fiqh itu menyangkut ketentuan yang bersifat syar’i, yaitu
sesuatu yang berasal dari kehendak Allah. Kata ini sekaligus menjelaskan bahwa
sesuatu yang bersifat ‘Aqli’ seperti ketentuan bahwa dua kali dua adalah empat
atau bersifat hissi seperti ketentuan bahwa api itu panas bukanlah lapangan ilmu
fiqh.
Kata “amaliah” yang terdapat dalam definisi diatas menjelaskan bahwa fiqh
itu hanya menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Dengan
demikian, hal-hal yang bersifat tidak amaliah seperti masalah keimanan atau
‘akidah tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam artian ini.
Penggunaan kata “digali dan ditemuikan” mengandung arti bahwa fiqh itu
adalah hasil penggalian, penemuan, penganalisisian, dan penentuan ketetapan
tentang hukum. Karenanya bila bukan dalam bentuk hasil penggalian – seperti
mengetahui apa-apa yang secara lahir dan jelas dikatakan Allah – tidak disebut
fiqh. Fiqh itu adalah hasil penemuan mujtahid dalam hal-hal yang tidak dijelaskan
oleh nash.
Kata “tafsili” dalam definisi itu menjelaskan tentang dalil-dalil yang
digunan seorang faqih atau mujtahid dalam penggalian dan peemuannya. Karena
itu, ilmu yang diperoleh orang awam dari seorang mujtahid yang terlepas dari
dalil tidak termasuk kedalam pengertian fiqh.
Al-amidi memberikan definisi fiqh yang berbeda dengan definisi yang
berbeda dengan yang diatas, yaitu : “ilmu tentang seperangkat hukum-hukum
syara’ yang bersifat furu’iyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau
istidlal”.
Kata “furu’iyah” daam definisi Al-Amidi ini menjelaskan bahwa ilmu
tentang dalil dan macam-macamnya sebagai hujjah, bukanlah fiqh menurut artian
ahli ushul, sekalipun yang diketahui itu adalah hukujm yang bersifat mazhari.
Penggunaan kata “penaaran” dan “istidlal” (yang sama maksudnya dengan
“digali”) menurut istilah ibnu subki diatas memberikan penjelasan bahwa fiqh itu
adalah hasil penalaran dan istidlal. Ilmu yang diperoleh bukan dengan cara itu –

5
seperti ilmu nabi tentang apa yang diketahuinya dengan perantaraan wahyu –
tidak disebut fiqh.
Dengan demikian, secara ringkas dapat dikatakan, “fiqh itu adalah dugaan
kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah”.
(Syarifuddin, 2009)
III.B. Sumber Hukum Islam
lmu Ushul Fiqih memiliki dua tema kajian yang utama, yakni; (1)
menetapkan suatu hukum berdasarkan dalil; dan (2) menetapkan dalil bagi suatu
hukum. Dengan demikian, ilmu Ushul Fiqih tidak dapat lepas dari dua aspek
pembahasan, yakni dalil dan hukum. Istilah dalil menurut pengertian bahasa
mengandung beberapa makna, yakni: penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat,
daftar isi buku, bukti, dan saksi. Ringkasnya, dalil ialah penunjuk (petunjuk)
kepada sesuatu, baik yang material (hissi) maupun yang non material (ma’nawi).
Sedangkan secara istilah, para ulama ushul fiqih mengemukakan mengenai
definisi dalil yaitu : sesuatu yang dijadikan sebagai dalil terhadap hukum
syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia yang didasarkan pada
pandangan yang benar mengenainya, baik secara qathi (pasti) atau Zhanni (kuat).
Menurut Al-Amidi, para ahli Ushul Fiqih biasa memberi definisi dalil dengan
“sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan [orang] kepada pengetahuan yang
pasti menyangkut objek informatif”.
Dalam hal ini, para ulama sepakat menempatkan al-Quran dan As-Sunnah
sebagai dalil dan berbeda pendapat tentang dalil-dalil selebihnya; ada yang
menerimanya sebagai dalil dan ada yang menolaknya; atau, ada yang menerima
sebagiannya dan menolak yang selebihnya.
Dari sini dapat penulis simpulkan bahwa dalil adalah merupakan sesuatu yang
daripadanya diambil hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia

6
secara mutlak, baik dengan jalan qathi atau dengan jalanzhanni mengenai
pandangan kebenaran. (Syarifuddin, 2009)
Pertama, dalil yang sahih menurut dirinya dan wajib diamalkan, terdiri dari:
1. Dalil yang disampaikan oleh Nabi dalam bentuk yang terbaca, yaitu AlQuran;
2. Dail yang disampaikan Nabi dalam bentuk yang tak terbaca, yaitu sunah.
Al-Quran dan sunah disebut dalil nash; dan
3. Dalil yang tidak disampaikan oleh nabi atau bukan nabi atau bukan nash,
bentuknya terdiri dari:
a. Terpelihara dari kesalahan, yaitu ijma’;
b. Tidak terpelihara dari kesalahan tetapi dapat dihubungkan kepada
nash, yaitu qiyas; dan
c. Tidak terpelihara dari kesalahan dan tidak dihubungkan kepada
nash, yaitu istidlal.
Nash dan ijma’ dalil pokok sedangkan qiyas dan istidlal adalah
cabang yang mengikuti kepada nash dan ijma’.
Kedua, sesuatu yang diperkirakan dalil sahih,sebenarnya bukan dalil, yaitu:
syar’u man qablana, madzhab shahabi, istisan dan maslahah mursalahah.
Dari uraian diatas, dalil syara’ dapat dikelompokan pada dua kelompok:
1. Dalil-dalil syara’ yang disepakati, yaitu Qur’an, sunah, Ijma’, dan Qiyas.
2. Dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati, yaitu istisan, maslahah, mursalah,
istihah, ‘urf, syar’u man qablana, dan mazhab shahabi.

7
1. Dalil-dalil syara’ yang disepakati, yaitu Qur’an, sunah, Ijma’, dan Qiyas.

I.

1) Al-Qur’an
Definisi
Dari segi bahasa Lafadz Al-Quran berasal dari lafadz qira’ah, yaitu mashdar

(infinitif) dari lafadz qara’a, qira’atan, qur’anan. Dari aspek bahasa, lafadz ini
memiliki arti “mengumpulkan dan menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu
dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapih”. Sedangkan secara
istilah al-Qur’an ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang
ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang
mutawatir, tanpa ada keraguan.
Al-Qur’an ( ‫ ) الق رآن‬adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam memercayai
bahwa

Al-Qur’an

merupakan

puncak

dan

penutup

wahyu Allah yang

diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW


melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Jadi dapat disimpulkan Al-Qur’an Al-Qur’an ialah wahyu berupa kalamullah
yang diamanatkan kepada malaikat jibril, disampaikannya kepada Nabi
Muhammad Saw, isinya tak dapat ditandingi oleh siapapun dan diturunkan secara
bertahap, lalu disampaikan kepada umatnya dengan jalan mutawatir dan
dimushafkan serta membacanya dihukumkan sebagai suatu ibadah.
II.

Kedudukan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum


Al-Qur’an berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya
kehidupan manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam
berselisih dalam segala urusan hendaknya ia berhakim kepada al-Qur’an. AlQur’an
lebih lanjut memerankan fungsi sebagai pengontrol dan pengoreksi
tehadap perjalanan hidup manusia di masa lalu. Misalnya kaum Bani Israil yang
telah dikoreksi oleh Allah.
Al-Qur‘an juga mampu memecahkan problem-problem kemanusiaan
dengan berbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi, maupun

8
politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha
Bijaksana dan Maha Terpuji.
Pada setiap problem itu al-Qur’an meletakkan sentuhannya yang mujarab
dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkahlangkah
manusia dan yang sesuai pula dengan zaman. Dengan demikian, alQur’an selalu
memperoleh kelayakannya di setiap waktu dan tempat, karena Islam
adalah agama yang abadi. Alangkah menariknya apa yang dikatakan oleh seorang
juru dakwah abad ke-14 ini, “Islam adalah suatu sistem yang lengkap, ia dapat
mengatasi segala gejala kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air atau pemerintah
dan bangsa. Ia adalah moral dan potensi atau rahmat dan keadilan. Ia adalah
undang-undang atau ilmu dan keputusan. Ia adalah materi dan kekayaan atau
pendapatan dan kesejahteraan. Ia adalah jihad dan dakwah atau tentara dan ide.
Begitu pula ia adalah akidah yang benar dan ibadah yang sah”.
III.

Hukum-hukum dalam Al-Qur’an


Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu ada 3 macam,
yaitu:Pertama, hukum-hukumi’tiqadiyah. Yakni, hukum-hukum yang berkaitan
dengan kewajiban para mukallaf untuk beriman kepada Allah, Malaikat-malaikatNya,
Kitab-kitab-Nya. Rasul-rasul-Nya dan hari pembalasan.
Kedua, hukum-hukum akhlaq. Yakni, tingkah laku yang berhubungan
dengan kewajiban mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan
dan menjauhkan dirinya dan sifat-sifat yang tercela.
Ketiga, hukum-hukum amaliah. Yakni, yang berkaitan dengan perkataanperkataan,
perbuatan-perbuatan, perjanjian-perjanjian dan mu’amalah (kerja
sama) sesama manusia. Kategori yang ketiga inilah yang disebut Fiqhul Qur’an
dan itulah yang hendak dicapai oleh Ilmu Ushul Fiqih.
Hukum-hukum amaliah di dalam Al-Qur’an itu terdiri atas dua macam, yakni:
 Hukum ibadat. Misalnya, shalat, shaum, zakat, haji dan sebagainya.
Hukum-hukum ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan
hamba dengan Tuhan.

9
 Hukum-hukum mu’amalat. Misalnya, segala macam perikatan,
transaksi-transaksi kebendaan, jinayat dan ‘uqubat (hukum pidana dan
sanksi-sanksinya). Hukum-hukum mu’amalah ini diciptakan dengan
tujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik
sebagai perseorangan maupun sebagai anggota masyarakat.Hukumhukum selain ibadat
menurut syara’ disebut dengan hukum mu’amalat.
Hasil

penyelidikan

para

ulama

tentang

ayat-ayat Al-Qur’an

yang

berhubungan dengan hukum-hukum menunjukkan bahwa hukum-hukum AlQur’an yang


berkaitan dengan ibadat dan ahwalus-syakhshiyahsudah terperinci.
Kebanyakan dari hukum-hukum ini bersifat ta’abudi (ibadat) sehingga tidak
banyak memberikan kesempatan ahli pikir untuk menganalisanya dan hukum ini
bersifat permanen, tetap tidak berubah-ubah lantaran perubahan suasana dan
lingkungan.
Adapun selain hukum-hukum ibadat dan ahwal al-syakhshiyah, seperti
hukum perdata, pidana (jinayat), perundang-undangan (dusturiyah), internasional
(dauliyah) dan ekonomi dan keuangan (iqtishadiyah wa al-maliyah), maka dalildalil
hukumnya masih merupakan ketentuan yang umum atau masih merupakan
dasar-dasar yang asasi. Sedikit sekali yang sudah terperinci. Hal itu disebabkan
karena hukum-hukum tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan kemaslahatan yang sangat dihajatkan.
Dalam hal ini Al-Qur’an hanya memberi ketentuan-ketentuan umum dan
dasar-dasar yang asasi saja agar penguasa setiap saat mempunyai kebebasan
dalam menciptakan perundang-undangan dan melaksanakannya sesuai dengan
kemaslahatan yang dihajatkan pada saat itu, asal tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan (dalil-dalil) dan jiwa syari’at.
2) As-Sunnah
I.

Definisi As-Sunnah
As-Sunnah atau al-hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada

Nabi Saw, baik berupa qaul (ucapan), fi’il (perbuatan) maupun taqrir (sikap diam

10
tanda setuju) Nabi Saw. Sesuai dengan tiga hal tersebut yang disandarkan kepada
Rasulullah Saw, maka sunnah itu dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
i. Sunnah qauliyyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka
tujuan dan kejadian. Misalnya sabda beliau sebagai berikut.
“Tidak ada kemudharatan dan tidak pula memudharatkan”. (HR.
Malik).
Hadis di atas termasuk sunnah qauliyyah yang bertujuan memberikan
sugesti kepada umat Islam agar tidak membuat kemudharatan kepada
dirinya sendiri dan orang lain.
ii. Sunnah fi’liyyah ialah segala tindakan Rasulullah Saw. Misalnya
tindakan beliau melaksanakan shalat 5 waktu dengan menyempurnakan
cara-cara, syarat-syarat dan rukun-rukunnya, menjalankan ibadah haji,
iii.

dan sebagainya.
Sunnah taqririyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik
di hadapannya maupun tidak di hadapannya, yang tidak diingkari oleh
Rasulullah Saw atau bahkan disetujui melalui pujian yang baik.
Persetujuan beliau terhadap perkataan atau perbuatan yang dilakukan
oleh sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau perbuatan yang
dilakukan oleh beliau sendiri.

II.

Kehujjahan As-Sunnah
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan
pada keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, juga didasarkan kepada
kesepakatan para sahabat. Para sahabat telah bersepakat menetapkan kewajiban
mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah
dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam menentukan hukum. Namun demikian, ada
yang sifatnya mutaba’ah(diikuti) yaitu tha’ah dan qurbah (dalam taat dan taqarrub
kepada Allah) misalnya dalam urusan aqidah dan ibadah, tetapi ada juga
yang ghair mutaba’ah (tidak diikuti) yaitu jibiliyyah (budaya) dan khushushiyyah
(yang dikhususkan bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode pakaian, cara
berjalan, makanan yang disukai. Adapun contoh khushushiyyah adalah beristri
lebih dari empat, shaum wishal sampai 2 hari dan shalat 2 rakaat ba’da Ashar.

11
Hukum-hukum yang dipetik dari As-Sunnah wajib ditaati sebagaimana
hukum-hukum yang diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana diungkapkan
dalam QS Ali- Imran: 32, An- Nisa: 80, 59 dan 65, dan Al- ahzab: 36.
III.

Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an


As-Sunnah, dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari dua
aspek, yakni hubungannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang bersifat
mandiri. Dari aspek hubungannya dengan al-Quran, As-Sunnah adalah sumber
hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hubungan ini disebut hubungan struktural.
Sementara dari aspek lain, As-Sunnah sebagai penjelas bagi Al-Qur’an disebut
hubungan fungsional. Di antara dasarnya adalah firman Allah Ta’ala dalam QS.
al- Hasyr: 7, an- Nahl: 44, dan an- Nahl: 64.

IV.

Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an


Fungsi As-Sunnah terhadap al-Qur’an dari segi kandungan hukum
mempunyai 3 fungsi sebagai berikut.
i. As-Sunnah berfungsi sebagai ta’kid (penguat) hukum-hukum yang telah
ada dalam Al-Qur’an. Hukum tersebut mempunyai 2 dasar hukum,
yaitu Al-Qur’an sebagai penetap hukum dan As-Sunnah sebagai
penguat dan pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan shalat,
mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba dan sebagainya.
ii. As-Sunnah sebagai bayan (penjelas)
iii. takhshish (pengkhusus) dan taqyid (pengikat) terhadap ayat-ayat yang
masih mujmal (global), ‘am (umum) atau muthlaq (tidak terbatasi),
yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya,
kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam As-Sunnah.
Misalnya, perintah shalat yang bersifat mujmal dijabarkan dengan AsSunnah. Nabi Saw
bersabda: “Shalatlah kalian seperti kalian melihat
(mendapatkan) aku shalat.” (HR. Bukhari)

3)

Ijma’
I. Definisi

12
Menurut ulama Ushul Fiqh, ijma adalah kesepakatan para imam mujtahid
di antara umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw wafat, terhadap
hukum syara tentang suatu masalah. Karena itu, jika terdapat suatu kejadian yang
dihadapkan kepada seluruh mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu waktu,
mereka kemudian bersepakat terhadap suatu hukum mengenai kejadian tersebut.
Kesepakatan mereka itulah yang disebut ijma.

II.

Kehujjahan Ijma’
Apabila keempat rukun ijma’ terpenuhi (1. Adanya sejumlah mujtahid saat

terjadinya peristiwa, 2. Adanya kesepakatan mujtahid tentang peristiwa tanpa


memandang latar belakang, 3. Adanya pendapat dari masing-masing mujtahid, 4.
Realisasi dari kesepakatan mujtahid) dengan diadakan perhitungan pada suatu
masa diantara masa-masa sesudah Rasulullah SAW wafat terhadap semua
mujtahid Umat Islam menurut perbedaan latar belakang para mujtahid, kemudian
mereka dihadapkan kepada suatu kejadian untuk diketahui hukum syara’nya dan
masing-masing mujtahid mengemukakan pendapat , baik secara kolektif ataupun
secara individual, kemudia mereka sepakat atas suatu hukum mengenai suatu
peristiwa maka hukum yang disepakati ini adalah suatu undang-undang
syar’I yang wajib diikuti dan tidak boleh ditentang.
Jadi kehujjahan ijma’ sebagaimana dalam Qur’an Surat An-Nisa ayat 59,
Allah memerintahkan orang yang beriman untuk menaati Perintah-Nya,
Rasul, dan juga Ulil Amri. Ibnu Abbas menafsirkan Ulil Amrisebagai Ulama’, jika
ulama’ telah sepakat mengenai sesuatu hukum hendaknya hukum itu diikuti dan
ditaati.
III.

Macam-Macam Ijma’
Dilihat dari segi melakukan ijtihadnya, ijma itu ada dua bagian yaitu :
i. Ijma Sharih yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap
suatu kejadian dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas
yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan.

13
ii. Ijma Syukuty yaitu sebagian mujtahid pada satu waktu mengemukakan
pendapatnya secara jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan
dengan cara memberi fatwa dan mujtahid lainnya tidak menanggapi
pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau perbedaannya.
Sedangkan dilihat dari segi qath’i dan zhanni dalalah hukumnya, ijma ini
terbagi menjadi dua bagian juga yaitu sebagai berikut.
i.

Ijma Qoth’i. Dalalah hukumnya ijma sharih, hukumnya telah dipastikan


dan tidak ada jalan lain untuk mengeluarkan hukum yang bertentangan
serta tidak boleh mengadakan ijtihad hukum syara mengenai suatu
kejadian setelah adanya ijma sharih.
Ijma Zhanni. Dalalah hukumnya ijma syukuty, hukumnya diduga

ii.

berdasarkan dugaan kuat mengenai suatu kejadian. Oleh sebab itu


masih memungkinkan adanya ijtihad lain, sebab hasil ijtihad bukan
merupakan pendapat seluruh mujtahid.
4) Qiyas
I.

Definisi
Al-Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang
lain yang bisa menyamainya. Contohnya, mengukur pakaian dengan meteran.
Sedangkan menurut ulama Ushul Fiqh, Qiyas adalah menyamakan satu kejadian
yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya pada hukum yang
telah menetapkan lantaran adanya kesamaan di antara dua kejadian itu dalam illat
hukumnya. Misalnya, masalah meminum khamr merupakan suatu perbuatan yang
hukumnya telah ditetapkan dalam nash. Hukumnya haram berdasarkan QS AlMaidah ayat
90. Dengan illat memabukkan. Oleh karena itu setiap minuman yang
terdapat illat memabukkan hukumnya sama dengan khamr dan haram
meminumnya.

II.

Rukun-Rukun Al-Qiyas
Setiap Qiyas terdiri dari empat rukun sebagai berikut
i.

Al-Ashl ialah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash. Rukun ini
biasanya disebut Maqis ‘Alaih (yang dipakai sebagai ukuran).
14
ii.

Al-Far’u ialah sesuatu yamg hukumnya tidak terdapat di dalam nash


dan hukumnya disamakan kepada al-ashl, biasa disebut juga Al Maqis

iii.

(yang diukur)
Hukmul Ashl ialah hukum syara yang terdapat nashnya menurut al

iv.

ashl dan dipakai sebagai hukum asal bagi al-Far’u.


Al-Illat ialah keadaan tertentu yang dipakai dasar bagi hukum ashl,
kemudian al-Far’u itu disamakan kepada ashl dalam hal hukumnya.

2. Dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati, yaitu istisan, maslahah, mursalah,


istihah, ‘urf, syar’u man qablana, dan mazhab shahabi.
1. Syar’u man Qablana
Syar’u man qablana merupakan ketentuan hukum Allah swt, yang
disyariatkan kepada umat sebelum umat Nabi Muhammad saw. Bagi umat islam,
mengikuti hukum-hukum tersebut merupakan suatu kewajiban selama tidak ada
dalil-dalil yang menghapuskannya.
Secara etimologis, syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang
disyariatkan oleh Allah swt, bagi umat-umat sebelum kita.
2. Mazhab sahabi
Tidak terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama bahwa perkataan
sahabat (mazhab sahabi) yang bukan berdasarkan pikiran semata-mata adalah
menjadi hujjah bagi umat islam. Yang demikian itu, karena apa yang dikatakan
oleh para sahabat itu tentu saja berdasarkan apa yang telah didengarnya dari
Rasulullah saw.
3. ‘Uruf
‘Urf adalah apa-apa yang saling diketahui oleh manusia dan mereka
mempraktekannya, baik perkataan atau perbuatan atau meninggalkan. Dalam
pembicaraan ahli hukum tidak ada perbedaan antara ‘uruf dan adat. Macammacam ‘urf:

15
-

‘Uruf perkataan: penggunaan lafadz al-waladu kepada anak lelaki, bukan


kepada anak perempuan.

‘Uruf perbuatan: manusia sering berjual beli dengan saling memberi


barang dan harganya.

‘Uruf meninggalkan: manusia tidak menggunakan kata-kata daging untuk


ikan.

4. Maslahah Mursalah
Muslahah Mursalah adalah suatu kebaikan (maslahah) yang tidak
disinggung-singgung syara’ untuk mengerjakannya atau meninggalkannya. Jika
dikerjakan akan membawa manfa’at atau menghindari keburukan.
Dalam praktiknya, maslahah mursalah tidak banyak berbeda dengan istihsan.
Perbedaannya, istihsan adalah mengecualikan sesuatu hukum dari peraturan
umum yang ditetapkan qiyas. Sedangkan maslahah mursalah tidak ada
penyimpangan dari qiyas.
5. Istihsan
Secara bahasa Ihtisan berasal dari kata “hasan” yang berarti adalah baik
dan lawan dari “qobaha” yang berarti buruk. Kemudian di tambah tiga huruf yaitu
alif- sin dan ta’ , bewazan istif’al ,sehingga menjadi istahsana-
yastahsinuistihsaanan. Kata benda (mashdar) yang berarti menganggap dan meyakini
sesuatu
itu baik (baik secara fisik atau nilai) lawan dari Istiqbah, menganggap sesuatu itu
buruk. Sedangkan secara istilah, ulama beragam dalam mendefinisikannya
sekalipun esensinya hampir memiliki kesamaan. Berikut ini beberapa definisi
Istihsan:
a. Ungkapan tentang dalil yang dikritik oleh mujtahid itu sendiri (karena)
ketidaksanggupannya untuk memunculkannya disebabkan tidak adanya
kata/ ibarah yang dapat membantu mengungkapankannya. (Abu Zahroh)

16
b. Meninggalkan / mengalihkan hasil qiyas menuju/ mengambil qiyas yang
lebih kuat darinya. (Jasim Muhalhil)
c. Mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan dalil
yang bersifat umum/ menyeluruh. (Al Fairuz Abadi)
d. Beralihnya seseorang dari menghukumkan suatu masalah dengan yang
serupa karen adanya kesamaan-kesamaan kepada hal yang berbeda karena
pertimbangan yang lebih kuat yang mengharuskan beralih dari yang
pertama. (Al Jayzani)
e. Meninggalkan salah satu ijtihad yang tidak mencakup seluruh lafaznya
karena pertimbangan yang lebih kuat darinya. (Al Qorofi)
f. Memprioritaskan untuk meninggalkan tuntutan sebuah dalil dengan cara
pengkecualian, rukhsoh dan mu’arodloh karena sebagian tuntutannya
bertentangan. (Ibnul Arobi)
g. Pendapat yang tidak bersandarkan kepada keterangan dari salah satu
syarak, yaitu al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas. (Imam Syafii).
6. Istishab
Istishab adalah menetapkan hukum yang ada pada waktu yang lalu dan
menetapkan pula berlakunya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dengan kata
lain, istishab adalah menjadikan hukum satu peristiwa yang telah ada sejak semula
tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada sumber hukum yang
mengubah ketentuan hukum itu. Menurut istilah ahli usul fikih, istishab adalah
membiarkan berlangsungnya suatu hukum yang sudah ditetapkan pada masa
lampau dan masih diperlukan ketentuannya sampai sekarang, kecuali jika ada dalil
lain yang mengubahnya.

II.C. RUANG LINGKUP FIQIH


Ruang Lingkup fiqh islami meliputi tiga prinsip hubungan manusia yaitu
a. Hubungan manusia dengan Tuhannya;
b. Hubungannya dengan dirinya sendiri; dan
c. Hubungannya dengan mastarakatnya.

17
Ilmu fiqh Islami, bukan hanya duniawi semata, tetapi untuk dunia dan akhirat; dia
adalah agama dan kekuasaan, serta berlaku umum bagi umat manusia hingga hari
kiamat. Isi ilmu fiqh seluruhnya terjalin dengan baik antara akidah denagn ibadah,
akhlak dan muamalah, untuk menciptakan kesadaran hati nurani, dan rasa
tanggung jawab, karena selalu merasakan pengawasan Allah kepadanya, baik
dalam keadaan terang-terangan, maupun tersembunyi. Orang yang selalu
merasakan demikian, tetap tenang hatinya, tentram jiwanya dan merasa aman
dalam hidupnya.
Ruang lingkup ilmu fiqh yang berkaitan dengan segala kegiatan orang-orang
mukallaf yang meliputi: perkataannya, perbuatannya, dan seluruh daya-upayanya,
dapat di bagi atas dua bagian (kelompok) yaitu:
a. Hukum-hukum yang berkaitan dengan segala macam, ibadah yang
meliputi: taharah, shalat, puasa, zakat, haji, nazar, sumpah, dan
sebagainya, yang bertujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya.
b. Hukum-hukum selain ibadah, yang dalam istilah syar’i disebut dengan
“hukum muamallah”, yang meliputi berbagai macam transaksi, dayaupaya,

hukuman,

pelanggaran,

jaminan

dan

sebagainya

yang

dimaksudkan untuk mengatur hubungan orang-orang mukallaf dengan


sesama mereka, baik secara pribadi, maupun jama’ah (masyarakat).
Dizaman modern, hukum mu’amalah, dirinci atas beberapa macam bidang yang
sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang berkaitan dengannya, yaitu :
a. Hukum-hukum yang berhubungan dengan urusan keluarga, semenjak
terbentuknya keluarga itu, hingga berakhirnya.
b. Hukum Perdata (Hukum sipil)
c. Hukum Jinayah (Pidana) Yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan
d.

tindakan pidana (kejahatan) dari orang mukallaf dan hukumannya.


Hukum Acara Yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan: penuntutan,
pemeriksaan, saksi, sumpah, dan pemutusan perkara ini dimaksudkan
untuk mengatur cara-cara mengajukan perkara, untuk menciptakan

keadilan diantara manusia.


e. Hukum Dusturiah (perundang-undangan) Yaitu hukum-hukum yang
mengatur tentang dasar-dasar pemerintahan (Negara) dan sistemnya.
18
f. Hukum Internasional Yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan
Negara-negara Islam denagn Negara-negara lain, baik dalam keadaan
g.

perang maupun dalam keadaan damai.


Hukum Ekonomi dan Keuangan Yaitu hukum-hukum yang mengatur
sumber-sumber pemasukan keuangan Negara dan menetapkan anggaran
belanja Negara; mengatur hak dan kewajiban setiap Negara dibidang
keuangan dan mengatur hubungan social-ekonomi antara orang kaya dan
orang fakir-miskin, serta antara pemerintah denagn rakyat.

Objek ilmu Fiqh pada pokoknya, yang menjadi objek pembahasan dalam ilmu
fiqih adalah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’.
Perbuatan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar: ibadah,
mu’amalah, dan ‘uqubah.
Pada bagian ibadah tercakup segala persoalan yang pada pokoknya berkaitan
dengan urusan akhirat. Artinya, segala perbuatan yang dikerjakan dengan maksud
mendekatkan diri kepada allah, seperti sholat, puasa, haji, dan lain sebagainya.
Bagian mu’amalah mencakup hal-hal yang berhubungan dengan harta, seperti
jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, amanah, dan harta peninggalan.
Pada bagian ini juga dimasukkan persoalan munakahat dan siyasah. Bagian
‘uqubah mencakup segala persoalan yang menyangkut tindak pidana, seperti
pembunuhan, pencurian, perampokan, pemberontakan dan lain-lain. Bagian ini
juga membicarakan hukuman-hukuman, seperti qisas, had, diyat, dan ta’zir.
Sesuai dengan definisi fiqh diatas maka seluruh perbuatan dan perilaku manusia
merupakan medan bahasan ilmu fiqh.
Ruang lingkup yang demikian luas ini biasanya dibagi dalam beberapa kelompok,
yaitu:
a.

Ibadah, yang berisi tentang tata cara beribadah seperti sholat, puasa,

b.
c.

zakat dan haji.


Thaharah, yaitu hal ihwal bersuci, baik dari najis maupun dari hadats.
Muamalat, yang membahas tentang bentuk-bentuk transaksi dan

a.

kegiatan-kegiatan ekonomi
Munakahat, yaitu tenatang pernikahan, perceraian dan soal-soal hidup
berumah tangga.

19
b.

Jinayat, yang mengulas tentang perilaku-perilaku menyimpang (mencuri,

c.

merampok, zina dan lain-lain) dan sangsinya


Faraidh, yang membahas tentang harta warisan dan tata cara

d.

pembagiannya kepada yang berhak.


Siyasat, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan aktifitas politik, peradilan,
kepemimpinan

II.D. Pengertian Fiqih Ibadah


Secara bahasa kata fiqih dapat diartikan al-Ilm, artinya ilmu, dan al-fahm,
artinya pemahaman. Jadi fiqih dapat diartikan ilmu yang mendalam.
Secara istilah fiqih adalah ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum
syar’i yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan para mukalaf yang dikeluarkan
dari dalil-dalilnya yang terperinci. Mukalaf adalah orang yang layak dibebani
dengan kewajiban.
Sementara itu ibadah secara bahasa ada tiga makna; (1) ta’at (2‫)( ;)الطاعة‬
tunduk (3‫ )( ;)الخضضضوع‬hina (‫ ;)الضضذلل‬dan (‫ )التنلسضض(ك‬pengabdian. Jadi ibadah itu
merupakan bentuk ketaatan, ketundukan, dan pengabdian kepada Allah.
Adapun pendapat lain mengenai ibadah adalah:
‫التقرب ألى ال بامتثال أوامره واجتنا ب نواهيه والعمل بما أذن به الشا رع وهي عامة وخاصة‬
Ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Juga yang
dikatakan ibadah adalah beramal dengan yang diizinkan oleh Syari’ Allah
Swt.; karena itu ibadah itu mengandung arti umum dan arti khusus.
Ibadah dalam arti umum adalah segala perbuatan orang Islam yang halal yang
dilaksanakan dengan niat ibadah. Sedangkan ibadah dalam arti yang khusus
adalah perbuatan ibadah yang dilaksanakan dengan tata cara yang telah ditetapkan
oleh Rasulullah Saw. Ibadah dalam arti yang khusus ini meliputi Thaharah, Shalat,
Zakat, Shaum, Hajji, Kurban, Aqiqah Nadzar dan Kifarat.
Dari dua pengertian tersebut jika digabungkan, maka Fiqih Ibadah adalah ilmu
yang menerangkan tentang dasar-dasar hukum-hukum syar’i khususnya dalam
ibadah khas seperti meliputi thaharah, shalat, zakat, shaum, hajji, kurban, aqiqah
dan sebagainya. (Rachmawan,)
20
Fiqh Secara istilah mengandung dua arti:
 Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan
dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at
agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nashnash
al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’
dan ijtihad.
 Hukum-hukum

syari’at

itu

sendiri

Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan
untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah
suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah,
ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukumhukum
syari’at itu sendiri (Yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam
shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun –rukun,
kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).
Jadi fiqh ibadah adalah ilmu yang mencakup segala persoalan yang pada dasarnya
berkaitan dengan akhirat dan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
II.E. Ruang Lingkup Fiqh Ibadah (ashshiddiqi,1967)
1.

Thaharah, wudhu, mandi, dan tayammum.


Dasarnya, adalah :

(QS. Al Maidah : 6)(QS. Albaqoroh :222)(QS.Annisa:43)


Hadits dari abu Hurairah r.a. bahwa Nabi SAW. Bersabda :“ Alloh
tidak menerima sholat salah seprang diantaramu bila ia berhadats,

sampai ia berwudhu lebih dahulu.” (H.R. Bukhori & Muslim).


2. Shalat.
 Secara etimologi berarti doa.
 Menurut syara artinya bentuk ibadah yang terdiri atas perkataan dan
perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan
salam.Dasarnya adalah (QS.Al-Ankabut:45) (Al Baqarah: 43) (Al
Bayyinah: 5). Hadits Nabi SAW,”Salat itu tiang agama, maka barang
siapa yang mendirikan shalat berarti ia menegakkan agama. Dan

21
barang siapayang meninggalkannya, sungguh ia telah merobohkan
agama.”(HR.Albaihaqqi)
3. Puasa.
 Menurut bahasa berarti menahan atau mencegah.
 Menurut istilah adalah menahan diri dari makan,minum, hubungan
suami istri dan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit matahari
sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari. Dasar hukumnya
(QS.Albaqoroh:183) dan alhadits.
4. Zakat
Zakat dalam ajaran Islam yaitu harta tertentu yang wajib dikeluarkan
seseorang untuk fakir miskin dan sesuai dengan perintah syara. Dasar
hukumnya,(QS.Almuzammil:20)(QS.Luqman:2-4)

(QS.Attaubat:11)

(QS.Annur:56) (QS.Adzdzariyat:19). Hadits Nabi SAW.


5. Haji
a) Secara etimologis, haji berarti pergi menuju tempat yang diagungkan
atau menyengaja.
b) Secara terminologis

berarti

beribadah

kepada

Allah

dengan

melaksanakan manasik haji, yaitu perbuatan tertentu yang dilakukan


pada waktu dan tempat tertentu dengan cara yang tertentu
pula.Definisi ini disepakati oleh seluruh mazhab.Dasar Hukum :
QS.Albaqoroh:27, QS Alhaj: 26-27, Hadits “Dari Ibnu abbas, telah
bersabda Nabi SAW,”Hendaklahh kamu bersegera mengerjakan haji,
maka sesungguhnya seseorang tidak akan menyadari sesuatu halangan
yang akan merintangi.”(HR.Ahmad)
6. Pemeliharaan Jenazah
Hukum pemeliharaan jenazah adalah fardu kifayah. Kewajiban muslim
terhadap jenazah yaitu, memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan
menguburkan
II.F. Sistematika Pembahasan Fiqh Ibadah (Majelis Tarjih Muhammadyah)
Sistematika pembahasan fiqh ibadah dapat di klasifikasikan / di kelompokkan
menjadi ibadah umum dan ibadah khusus. Ibadah umum mempunyai ruang
lingkup yang sangat luas yaitu mencakup segala amal kebajikan yang dilakukan

22
dengan niat ikhlas dan sulit untuk mengemukakan sistematikanya. Tetapi ibadah
khusus di tentukan oleh syara’ (nash) bentuk dan caranya, oleh karena itu dapat di
kemukakan sistematikanya secara garis besar sebagai berikut :

1. Thaharah
a. Macam-macam thaharah :
 Thaharah batin / spiritual, yaitu dari kemusyrikan dan kemaksiatan.
Dilakukan dengan cara bertauhid dan beramal soleh.
 Thaharah fisik, yaitu bersuci dari berbagai hadast dan najis. Dan yang
merupakan bagian kedua dari iman.
b. Cara melakukan thaharah, Dapat dilakukan menjadi 2 cara, yaitu :
 Thaharah dengan menggunakan air
 Thaharah dengan menggunakan debu yang suci
2.

Shalat

Di bagi menjadi 2 yaitu :


a. Shalat fardu
(a)
Dzuhur, waktunya dari tergelincirnya matahari ke arah barat
sampai panjang bayangan dua kali lipat dari panjang benda aslinya
(b)
Ashar, dari panjang bayangan dua kali lipat dari panjang benda
aslinya sampai tenggelamnya matahri
(c)
Maghrib, waktunya dari tenggelamnya matahari sampai hilangnya
mendung merah di langit
(d)
Isya’, waktunya dari hilangya mendung merah di langit sampai
munculnya fajar shodiq sampai terbitnya matahari
b. Sholat tathowwu’
Di bagi menjadi 2 :
 Sholat tahtowwu muthlaq, solat sunah yang batas dan ketentuannya tidak
di tentukan oleh syara’.
 Sholat tathowu muqoyyad, yaitu sholat yang batas dan ketentuannya telah
di tentukanm oleh syara.
Dalam hal ini antara lain sholat-sholat sunnah rowatib, yaitu :
(a) Sholat rotibah fajar, yaitu sholat 2 rakaat sebelum sholat fajar

23
(b) Sholat rotibah dzuhur, yaitu sholat 2 atau 4 rakaat sebelum ataupun
sesudah dzuhur
(c) Sholat rotibah ashar, yaitu sholat 4 rakaat sebelum sholat ashar
(d) Shalat rotibah maghrib, yaitu shalat 2 rakaat sesudah sholat maghrib
(e) Sholat rotibah isya, yaitu sholat 2 rakaat sesudah solat isya
c. Sholat-sholat lain yang di syariatkan dalam bagian ini, antara lain :
(a) Sholat malam / tahajjud / tarawih di bulan ramadhan dan witir
(b) Shalat dhuha 2 rakaat sampai dengan 12 rakaat
(c) Shalat tahiyyatul masjid
(d) Shalat taubat
(e) Shalat tasbih 4 rakaat
(f) Shalat istihoroh
3. Puasa
a. Puasa wajib :
(a) Puasa bulan ramadhan
(b) Puasa qadha
(c) Puasa karafat
(d) Puasa seseorang yang tidak mampu membeli hewan kurban pada haji
tamat
(e) Puasa hari ketiga I’tikaf
(f) Puasa nazar
b. Puasa mustahab (sunah) :
(a)
Puasa 3 hari setiap bulan hijriyah
(b)
Puasa pada hari-hari putih (setiap tanggal 13, 14, dan 15 hijriyah)
(c)
Puasa pada hari al-ghadir (18 dzulhijjah)
(d)
Puasa pada hari lahir rasulullah saw (27 rajab)
(e)
Puasa pada hari Arafah (9 dzulhijjah)
(f)
Puasa pada hari Mubahalah (24 dzulhijjah)
(g)
Puasa pada hari kamis dan jumat
(h)
Puasa pada tanggal 1-9 dzulhijjah
(i)
Puasa pada hari pertama dan ketiga pada bulan Muharram
(j)
Puasa pada seluruh hari dalam setahun, kecuali hari-hari yang di
c.

haramkan dan di makruhkan berpuasa di dalamnya


Puasa makruh :
(a) Puasa sunah yang dilakukan seorang tamu tanpa seizin tuan rumah, atau
tuan rumah melarangnya berpuasa
(b) Puasa seorang anak (yang belum akil baligh) tanpa seizin ayahnya dan
puasa itu akan membahayakan dirinya
(c) Puasa seorang anak yang di larang ayahnya berpuasa, walaupun puasa itu
tidak akan membahayakan dirinya
(d) Puasa seorang anak yang di larang ibunya berpuasa, walaupun jika puasa
itu di lakukan, tidak akan membahayakan dirinya

24
(e) Puasa hari arafah bagi orang yang bila ia berpuasa akan menyebabkan
badannya lemah, sehingga tidak mapu membaca doa
4.

Zakat

Hukum zakat, hukum zakat adalah wajib / fardhu, macam-macam zakat :


(a) Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan orang muslim menjelang
Idul Fitri pada bulan ramadhan. Besar zakat ini setar dengan 3,5 liter (2,5
kg) makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan
(b) Zakat maal (harta) adalah zakat hasil perniagaan, pertanian, pertambangan,
hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas, dan perak.
Orang-orang yang berhak menerima zakat :
(a) Fakir, orang yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu
memenuhi kebutuhan pokok hidup
(b) Miskin, orang yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan dasar untuk hidup
(c) Amil, orang yang mengumpulkan dan membagikan zakat
(d) Mu’allaf, orang yang baru masuk islam dan membutuhkan bantuan untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan barunya
(e) Hamba sahaya, orang yang ingin memerdekakan dirinya
(f) Gharimin, orang yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak
sanggup untuk memenuhinya
(g) Fisabilillah, orang yang berjuang di jalan Allah
(h) Ibnus sabil, orang yang kehabisan biaya di perjalanan
Manfaat zakat :
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)

Bisa mempererat tali persaudaraan antara yang miskin dan yang kaya
Membuang perilaku buruk dari seseorang
Alat pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan seseorang
Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan
Untuk pengembangan potensi umat
Memberi dukungan moral kepada orang yang baru masuk Islam
Menambah pendapatan negara untuk proyek-proyek yang berguna bagi
umat

5.

Haji dan umroh

Jenis-jenis haji :
(a) Haji ifrad, artinya menyendiri
(b) Haji tamattu’, artinya bersenang-senang

25
Rukun haji :
(a) Ihram
(b)Tawaf ziyarah / tawaf ifadhah
(c) Sa’i
(d) Wukuf di Padang Arafah
Wajib haji:
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)

Ihram dimulai dari miqat yang telah di tentukan


Wukuf di Arafah sampai matahari tenggelam
Mabit di Mina
Mabit di Muzdalifah hingga lewat setengah malam
Melempar jumrah
Mencukur rambut
Tawaf wada’

Syarat-syarat wajib haji :


(a)
(b)
(c)
(d)

Islam
Berakal
Baligh
Mampu

Lokasi ibadah haji dan umroh :


(a)
(b)
(c)
(d)

Makkah Al Mukaromah
Padang Arafah
Kota Muzdalifah
Kota Mina

Hukum menjalankan ibadah umroh yaitu sunnah muakat, dilaksanakan bagi orang
yang mampu. Meliputi :
1.

Ihram
Ihram adalah niat memasuki manasik (upacara ibadah haji) haji dan umroh
atau mengerjakan keduanyadengan menggunakan pakaian ihram, serta
meninggalkan beberapa larangan yang biasanya di halalkan. Pakaian ihram :
a. Untuk pria
Bagi laki-laki terdiri atas 2 lembar kain yang tidak di jahit, yang 1 lembar
di sarungkan untuk menutupi aurat antara pusar hingga lutut. Yang 1
lembar lagi di selendangkan untuk menutupi tubuh bagian atas. Kedua

26
lembar kain di sunahkan berwarna putih dan tidak boleh berwarna merah
atau kuning.
b. Untuk wanita
Mengenakan pakaian yang biasa, yakni pakaian yang menutupi aurat.
Tempat-tempat ihram :
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)

Zul Hulaifah
Juhfah
Yalamlam
Qarnul Manjil
Zatu Irqin
Makkah
Tawaf

2. Tawaf berasal dari kata tafa, artinya mengelilingi atau mengitari.Tawaf


menurut istilah yaitu mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 keliling.Sebelum
melaksanakan tawaf, jama’ah harus mandi dan berwudhu dahulu.
Macam-macam tawaf :
(a)
(b)
(c)
(d)

Tawaf qudum, yaitu tawaf yang di lakukan ketika sampai di Makkah


Tawaf ifadah, tawaf yang di lakukan pada hari penyembelihan kurban
Tawaf wada, yaitu tawaf yang menjadi rukun haji
Tawaf sunnah, yaitu tawaf yang dilakukan setiap saat

3. Sa’i artinya berlari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwah di dekat kota
Makkah.
Cara melalukan sa’i :
(a) Dilakukan sesudah tawaf
(b) Berlari-lari kecil atau berjalan cepat dari bukit Safa menuju bukit
Marwah
(c) Di kerjakan sebanyak 7 kali putaran, dari Safa ke Marwah satu
putaran,dan dari Marwah ke Safa satu putaran, lalu berakhir di puncak
bukti Marwah
(d) Sa’i hanya boleh di lakukan oleh orang-orang yang mengerjakan haji
atau umroh saja.
4. Tahallul
Setelah melontar Jumrah ‘Aqabah, jamaah kemudian bertahallul (keluar dari
keadaan ihram), yakni dengan cara mencukur atau memotong rambut kepala
paling sedikit tiga helai rambut. Laki-laki di sunahkan mencukur habis

27
rambutnya, dan wanita mencukur rambut sepanjang jari, dan untuk orangorang yang
berkepala botak dapat bertahallul secara simbolis saja.
Setelah melaksanakan tahallul, perkara yang sebelumnya di larang sekarang di
halalkan kembali, kecuali menggauli istri sebelum melakukan tawaf ifadah.
5.

Pemeliharaan jenazah
(a) Sikap Rasul bila ada orang yang meninggal :
 Berlaku ihsan
 Berdoa untuk jenazah, di rumah maupun di makam (termasuk
berdoa meminta izin dengan para ahli kubur)
 Menentukan kuburan
 Membayar hutang orang tersebut
(b) Hukum shalat jenazah :
 Para fuqaha menyatakan bahwa shalat jenazah itu hukumnya fardhu
kifayah
 Menurut para ulama hukumnya hanajiyah dan as’syafi’iyah
(c) Syarat memandikan jenazah :
 Orang islam
 Tubuhnya masih ada walaupun hanya sebagian yang di temukan,
misalnya karena peristiwa kecelakaan
 Tidak mati syahid (mati dalam peperangan membela agama Allah
(d) Tahap-tahap memandikan jenazah :
 Letakkan mayat di tempat yang tinggi seperti bangku panjang
 Gunakan tabir untuk melindungi tempat memandikan dari

pandangan umum
Ganti pakaian jenazah dengan pakaian basahan, seperti sarung agar

lebih mudah memandikannya, tetapi auratnya tetap tertutup


Sandarkan punggung jenazah dan urutlah perutnya agar kotoran di





dalamnya keluar
Basuhlah mulut, gigi, jari, kepala, dan janggutnya
Sisirlah rambutnya agar rapi
Siramlah seluruh badah lalu bilas dengan sabun
Wudhukanlah jenazah
Siram dengan air yang di campurkan kapur barus, daun bidara, atau
daun lain yang berbau harum

(e) Yang berhak memandikan jenazah


a) Apabila jenazahnya laki-laki :
 Kaum laki-laki

28
 Boleh wanita asalkan istri atau mahramnya
 Jika sama-sama ada istri, mahram, dan orang lain yang sejenis,
yang lebih berhak memandikannya adalah istri
 Jika tidak ada kaum laki-laki dan mahramnya juga tidak ada,
b)

jenazah cukup di tayamumkan saja


Apabila jenazahnya perempuan :
 Kaum perempuan
 Boleh laki-laki asalkan suami atau mahramnya
 Jika sama-sama ada suami, mahram, dan orang lain yang
sejenis, yang lebih berhak memandikannya adalah suami
 Jika tidak ada kaum perempuan dan mahramnya juga tidak ada,

jenazah cukup di tayamumkan saja


Apabila jenazahnya anak-anak :
 Kaum laki-laki
 Kaum perempuan
(f) Cara menyolatkan jenazah
c)

Apabila jenazah sudah di mandikan dan dikafani, hendaknya segera di


shalatkan. Hal-hal yang harus di perhatikan dalam pelaksanaan shalat
jenazah adalah syarat, rukun dan cara shalat jenazah.
a)

Syarat shalat jenazah :


 Semua yang menjadi syarat shalat fardu, menjadi syarat
shalat jenazah, misalnya menutup aurat, suci badan dan
pakaian, serta menghadap kiblat
 Mayat harus sudah di mandikan dan di kafani
 Letakkan jenazah di sebelah kiblat orang-orang yang
menyalatkan, kecuali jika shalat di atas kubur atau shalat
gaib

b)

c)

Rukun shalat jenazah :


 Niat shalat jenazah
 Takbir empat kali
 Membaca surat Al-Fatihah setelah takbirotulihram
 Membaca salawat nabi sesudah takbir kedua
 Mendoakan jenazah, sesudah takbir ketiga dan keempat
 Mengucapkan salam
Cara mengerjakan shalat jenazah :

29
 Sebelum mengerjakan shalat jenazah, kita hendaklah
mengambil air wudhu, sebagaimana mengerjakan shalat
fardu
 Setelah berdiri tegak, kita mengucapkan takbir yang
pertama sambil mengangkat tangan diiringi niat shalat



jenazah
Setelah membaca takbir, kita membaca surah Al-Fatihah
Setelah itu takbir yang kedua (allahu akbar)
Lalu membaca salawat nabi
Setelah membaca salawat nabi, lalu dilanjutkan takbir

ketiga (allahu akbar)


 Lalu membaca doa
d) Cara menguburkan jenazah
Hal-hal yang perlu di perhatikan dalam penguburan jenazah :
 Jenazah segera di kuburkan
 Liang lahat di buat seukuran jenazah dengan kedalaman kira-kira setinggi
orang di tambah setengah lengan dengan lebar kira-kira 1 meter
 Liang lahat tidak bisa di bongkar leh binatang buas. Maksud
menguburkan jenazah suntuk menjaga kehormatan mayat
dan menjaga kesehatan ornag-orang di sekitar makan dari
bau busuk
 Mayat dipikul dari keempat penjuru
 Setelah sampai di tempat pemakaman, jemazah di
masukkan ke liang lahat dengan posisi miring ke kanan dan
di hadapkan ke kiblat. Ketika meletakkan jenazah di dalm
kubur, kita membaca doa.
 Lepaskan tali-tali pengikat, lalu tutup dengan papan, kayu,
atau bambu, dan di timbun sampai galian liang kubur
menjadi rata
Mendoakan jenazah dan memohon ampun untuk jenazah.

30
DAFTAR PUSTAKA
1. Syarifuddin, amir. 2009. Ushul Fiqh jilid 1. Kencana Prenada Media Group.
Jakarta
2. Ashshiddiqi, habsi. 1967. Pengantar Ilmu Fiqih. Mulya. Jakarta
3. Rachmawan, Hatib. Fiqih Ibadah Dan Prinsip Ibadah Dalam Islam.UAD.
Yogyakarta
tarjih

4. Majelis

Muhammadyah.

Himpunan

Putusan

Majelis

Tarjih

Muhammadiyah. Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Yogyakarta

31

Anda mungkin juga menyukai