Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

KEPERAWATAN KLINIK
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
GANGGUAN CHOLELITIASIS

Oleh:

ANIS DWI NURSELA


EMILIA SARI
FITRIANA
RAHMI

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (PSIK)


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
TENGKU MAHARATU PEKANBARU
2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inpirasi terhadap pembaca.

Pekanbaru, Februari 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................... 2
C. Tujuan ........................................................................................ 2
D. Manfaat ...................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 3
A. Anatomi ..................................................................................... 4
B. Definisi ...................................................................................... 4
C. Etiologi ...................................................................................... 4
D. Klasifikasi .................................................................................. 6
E. Manifestasi Klinis ...................................................................... 7
F. Patofisiologi ............................................................................... 9
G. Pemeriksaan Diagnostik ............................................................ 10
H. Penatalaksanaan ......................................................................... 11
I. Komplikasi ................................................................................ 14
J. Prognosis ................................................................................... 16
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN ....................................................... 17
A. Pengkajian ................................................................................. 17
B. Analisa Data .............................................................................. 19
C. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi ...................................... 20
BAB IV PENUTUP ...................................................................................... 22
A. Kesimpulan ................................................................................ 22
B. Saran .......................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang
penting di negara barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di
klinis, sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas. Sekitar 5,5
juta penderita batu empedu ada di Inggris dan 50.000 kolesistektomi dilakukan
setiap tahunnya. Kasus batu empedu sering ditemukan di Amerika, yaitu pada
10 sampai 20% penduduk dewasa. Setiap tahun beberapa ratus ribu penderita
ini menjalani pembedahan. Dua per tiga dari batu empedu adalah
asimptomatis dimana pasien tidak mempunyai keluhan dan yang berkembang
menjadi nyeri kolik tahunan hanya 1–4%. Sementara pasien dengan gejala
simtomatik batu empedu mengalami komplikasi 12% dan 50% mengalami
nyeri kolik pada episode selanjutnya. Risiko penderita batu empedu untuk
mengalami gejala dan komplikasi relatif kecil. Walaupun demikian, sekali
batu empedu menimbulkan masalah serangan nyeri kolik yang spesifik maka
resiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus meningkat.
Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan
pasti, karena belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu
tanpa gejala dan ditemukan secara kebetulan pada waktu dilakukan foto polos
abdomen, USG, atau saat operasi untuk tujuan yang lain. Batu empedu
umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi batu tersebut dapat
bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi batu
saluran empedu dan disebut sebagai batu saluran empedu sekunder. Pada
beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di dalam
saluran empedu intra-atau ekstra-hepatik tanpa melibatkan kandung
empedu. Batu saluran empedu primer lebih banyak ditemukan pada pasien di
wilayah Asia dibandingkan dengan pasien di negara Barat.
Perjalanan batu saluran empedu sekunder belum jelas benar, tetapi
komplikasi akan lebih sering dan berat dibandingkan batu kandung empedu
asimtomatik. Pada sekitar 80% dari kasus, kolesterol merupakan komponen

1
terbesar dari batu empedu. Biasanya batu - batu ini juga mengandung kalsium
karbonat, fosfat atau bilirubinat, tetapi jarang batu- batu ini murni dari satu
komponen saja.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kelompok angkat dalam makalah ini,
antara lain:
1. Bagaimana konsep cholelitiasis?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan cholelitiasis?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
a. Menjelaskan konsep cholelitiasis.
b. Menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan cholelitiasis.
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan anatomi dan fisiologi kandung empedu.
b. Menjelaskan definisi cholelitiasis.
c. Menjelaskan klasifikasi batu empedu.
d. Menjelaskan etiologi cholelitiasis.
e. Menjelaskan manifestasi klinis cholelitiasis.
f. Menjelaskan patofisiologi cholelitiasis.
g. Menjelaskan pemeriksaan diagnostic cholelitiasis.
h. Menjelaskan penatalaksanaan cholelitiasis.
i. Menjelaskan komplikasi cholelitiasis.
j. Menjelaskan prognosis cholelitiasis.
k. Menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan cholelitiasis.

D. Manfaat
Menambah pengetahuan mahasiswa tentang konsep teori dan asuhan
keperawatan pada klien dengan cholelitiasis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah alpukat
yang terletak tepat di bawah lobus kanan hati. Empedu yang disekresi secara
terus menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang kecil di dalam
hati. Saluran empedu yang kecil-kecil tersebut bersatu membentuk dua
saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai
duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bersatu membentuk duktus
hepatikus komunis. Duktus hepatikus komunis bergabung dengan duktus
sistikus membentuk duktus koledokus. Pada banyak orang, duktus koledokus
bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk ampula Vateri sebelum
bermuara ke usus halus. Bagian terminal dari kedua saluran dan ampla
dikelilingi oleh serabut otot sirkular, dikenal sebagai sfingter Oddi.
Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan
empedu. Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu yang
dihasilkan hati. Empedu yang dihasilkan hati tidak langsung masuk ke
duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke
duktus sistikus dan disimpan di kandung empedu. Pembuluh limfe dan
pembuluh darah mengabsorbsi air dan garam-garam anorganik dalam
kandung empedu sehingga cairan empedu dalam kandung empedu akan lebih
pekat 10 kali lipat daripada cairan empedu hati. Secara berkala kandung
empedu akan mengosongkan isinya ke dalam duodenum melalui kontraksi
simultan lapisan ototnya dan relaksasi sfingter Oddi. Rangsang normal
kontraksi dan pengosongan kandung empedu adalah masuknya kimus asam
dalam duodenum. Adanya lemak dalam makanan merupakan rangsangan
terkuat untuk menimbulkan kontraksi. Hormone CCK juga memperantarai
kontraksi.
Dua penyakit saluran empedu yang paling sering frekuensinya adalah
pembentukan batu (cholelitiasis) dan radang kronik penyertanya (kolesistitis).

3
Dua keadaan ini biasa timbul sendiri-sendiri, atau timbul bersamaan.
(Sjamsuhidajat, 2005)

B. Definisi
Cholelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary
calculus. Istilah cholelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam
kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa
unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam
kandung empedu. Batu Empedu adalah timbunan kristal di dalam kandung
empedu atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam
kandung empedu disebut cholelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran
empedu disebut koledokolitiasis (Nucleus Precise Newsletter, 2011).
Cholelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk
dalam kandung empedu. Komposisi dari cholelitiasis adalah campuran dari
kolesterol, pigmen empedu, kalsium dan matriks inorganik. Lebih dari 70%
batu saluran empedu adalah tipe batu pigmen, 15–20% tipe batu kolesterol dan
sisanya dengan komposisi yang tidak diketahui. Di negara-negara Barat,
komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol, sehingga sebagian batu
empedu mengandung kolesterol lebih dari 80% (Majalah Kedokteran
Indonesia, 2007).
Cholelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia di atas 40 tahun
terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor resiko, yaitu: obesitas, usia
lanjut, diet tinggi lemak, dan genetik. Istilah cholelitiasis dimaksudkan untuk
pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu
merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip
batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.

C. Etiologi
Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan
asam chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein
dan 0,3% bilirubin. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan
sempurna namun yang paling penting adalah gangguan metabolisme yang
disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi

4
kandung empedu. Sementara itu, komponen utama dari batu empedu adalah
kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi
jenuh karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan
membentuk endapan di luar empedu.
Faktor predisposisi terpenting yaitu gangguan metabolisme yang
menyebabkan terjadinya perubahan komposisi batu empedu, statis empedu,
dan infeksi kandung empedu. Selain itu, ada beberapa faktor resiko antara
lain:
1. Genetik
Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Di negara Barat
penyakit ini sering dijumpai, di USA 10–20% laki-laki dewasa menderita
batu kandung empedu. Batu empedu lebih sering ditemukaan pada orang
kulit putih dibandingkan kulit hitam. Batu empedu juga sering ditemukan
di negara lain selain USA, Chili, dan Swedia.
2. Umur
Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40–50 tahun.
Sangat sedikit penderita batu empedu yang dijumpai pada usia remaja,
setelah itu dengan semakin bertambahnya usia semakin besar
kemungkinan untuk mendapatkan batu empedu, sehingga pada usia 90
tahun kemungkinannya adalah satu dari tiga orang.
3. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung
empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan
terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung
empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
4. Berat Badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko
lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI
maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga

5
mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/pengosongan
kandung empedu.
5. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti
setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur
kimia empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung
empedu.
6. Aktifitas Fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko
terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih
sedikit berkontraksi.
7. Riwayat Keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih
besar dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga.
8. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi IV dalam janggka lama mengakibatkan kandung empedu
tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi
yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu
menjadi meningkat dalam kandung empedu.

D. Klasifikasi
Menurut Lesmana (2000), gambaran makroskopis dan komposisi
kimianya, batu empedu digolongkan atas 3 (tiga) golongan:
1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih
dari 70% kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu
yang mengandung > 50% kolesterol). Untuk terbentuknya batu kolesterol
diperlukan 3 faktor utama :
a. Supersaturasi kolesterol
b. Hipomotilitas kandung empedu
c. Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.
d. Batu pigmen

6
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang
mengandung < 20% kolesterol. Jenisnya antara lain:
a. Batu pigmen kalsium bilirubinat (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan
mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu
pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi
saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter
Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi
saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-glukoronidase
yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan
asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium
bilirubinat yang tidak larut. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan
adanya hubungan erat antara infeksi bakteri dan terbentuknya batu
pigmen cokelat. Umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di
saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi.
b. Batu pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti
bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi. Batu pigmen
hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada pasien dengan
hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama
terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya
batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam
kandung empedu dengan empedu yang steril.
c. Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana
mengandung 20–50% kolesterol.

E. Manifestasi Klinis
Gejala klinik cholelitiasis bervariasi dari tanpa gejala hingga munculnya
gejala. Lebih dari 80% batu kandung empedu memperlihatkan gejala
asimptomatik. Gejala klinik yang timbul pada orang dewasa biasanya
dijumpai gejala dispepsia non spesifik, intoleransi makanan yang mengandung
lemak, nyeri epigastrium yang tidak jelas, tidak nyaman pada perut kanan atas.

7
Gejala ini tidak spesifik karena bisa terjadi pada orang dewasa dengan atau
tanpa cholelitiasis.
Pada anak-anak, gejala klinis yang sering ditemui adalah adanya nyeri
bilier dan obstructive jaundice. Nyeri bilier yang khas pada penderita ini
adalah kolik bilier yang ditandai oleh gejala nyeri yang berat dalam waktu
lebih dari 15 menit sampai 5 jam. Lokasi nyeri di epigastrium, perut kanan
atas menyebar sampai ke punggung. Nyeri sering terjadi pada malam hari,
kekambuhannya dalam waktu yang tidak beraturan. Nyeri perut kanan atas
yang berulang merupakan gambaran penting adanya cholelitiasis. Umumnya
nyeri terlokalisir di perut kanan atas, namun nyeri mungkin juga terlokalisir di
epigastrium. Nyeri pada cholelitiasis ini biasanya menyebar ke bahu atas.
Mekanisme nyeri diduga berhubungan dengan adanya obstruksi dari duktus.
Tekanan pada kandung empedu bertambah sebagai usaha untuk melawan
obstruksi, sehingga pada saat serangan, perut kanan atas atau epigastrium
biasanya dalam keadaan tegang.
Studi yang dilakukan oleh Kumar et al didapatkan gejala nyeri perut
kanan atas yang berulang dengan atau tanpa mual dan muntah mencapai 75%
dari gejala klinik yang timbul, sisanya meliputi nyeri perut kanan atas yang
akut, jaundice, failure to thrive, keluhan perut yang tidak nyaman. Hanya 10%
dijumpai dengan gejala asimptomatik. Mual dan muntah juga umum terjadi.
Demam umum terjadi pada anak dengan umur kurang dari 15 tahun. Nyeri
episodik terjadi secara tidak teratur dan beratnya serangan sangat bervariasi.
Pada pemeriksaan fisik mungkin tidak dijumpai kelainan. Pada sepertiga
pasien terjadi inflamasi mendahului nekrosis, kemudian diikuti perforasi atau
empiema pada kandung empedu.
Lewatnya batu pada kandung empedu menyebabkan obstruksi kandung
empedu, kolangitis duktus dan pankreatitis. Manifestasi pertama gejala
cholelitiasis sering berupa kolesistitis akut dengan gejala demam, nyeri perut
kanan atas yang dapat menyebar sampai ke skapula dan sering disertai teraba
masa pada lokasi nyeri tersebut. Pada pemeriksaan fisik dijumpai nyeri tekan
pada perut kanan atas yang dapat menyebar sampai daerah epigastrium. Tanda

8
khas (murphy’s sign) berupa napas yang terhenti sejenak akibat rasa nyeri
yang timbul ketika dilakukan palpasi dalam di daerah subkosta kanan.

F. Patofisiologi
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan
empedu yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3)
berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol
merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu, kecuali
batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila
perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol
turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam
media yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh
pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh
mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol
yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin,
merupakan keadaan yang litogenik.
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti
pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal
kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu
pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri,
fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan
untuk dipakai sebagai benih pengkristalan (Schwartz, 2000).
Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat
anion ini: bilirubinat, karbonat, fosfat dan asam lemak. Pigmen (bilirubin)
pada kondisi normal akan terkonjugasi dalam empedu. Bilirubin terkonjugasi
karena adanya enzim glokuronil tranferase bila bilirubin tak terkonjugasi
diakibatkan karena kurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase
tersebut yang akan mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari bilirubin
tersebut. Ini disebabkan karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air
tapi larut dalam lemak.sehingga lama kelamaan terjadi pengendapan bilirubin
tak terkonjugasi yang bisa menyebabkan batu empedu tapi ini jarang terjadi.

9
Pigmen (bilirubin) tak terkonjugasi dalam empedu

Akibat berkurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase

Presipitasi/pengendapan

Berbentuk batu empedu

Batu tersebut tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan
operasi

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Radiologi
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai
prosedur diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan
dengan cepat dan akurat, dan dapat digunakan pada penderita disfungsi
hati dan ikterus. Di samping itu, pemeriksaan USG tidak membuat pasien
terpajan radiasi inisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil yang paling
akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung
empedunya berada dalam keadan distensi. Penggunaan ultra sound
berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali. Pemeriksan
USG dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus
koleduktus yang mengalami dilatasi.
2. Radiografi: Kolesistografi
Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil
USG meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi
batu empedu dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk
melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta
mengosongkan isinya. Oral kolesistografi tidak digunakan bila pasien
jaundice karena liver tidak dapat menghantarkan media kontras ke
kandung empedu yang mengalami obstruksi (Smeltzer dan Bare, 2002).

10
3. Sonogram
Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding
kandung empedu telah menebal (Williams, 2003)
4. ERCP (Endoscopic Retrograde Colangiopancreatografi)
Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung
yang hanya dapat dilihat pada saat laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi
insersi endoskop serat optik yang fleksibel ke dalam esofagus hingga
mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanula dimasukan ke dalam
duktus koleduktus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras
disuntikan ke dalam duktus tersebut untuk menentukan keberadaan batu di
duktus dan memungkinkan visualisassi serta evaluasi percabangan bilier
(Smeltzer dan Bare, 2002).
5. Pemeriksaan Laboratorium
a. Kenaikan serum kolesterol
b. Kenaikan fosfolipid
c. Penurunan ester kolesterol
d. Kenaikan protrombin serum time
e. Kenaikan bilirubin total, transaminase (Normal < 0,4 mg/dL)
f. Penurunan urobilirubin
g. Peningkatan sel darah putih: 12.000–15.000/iu (Normal: 5000–
10.000/iu)
h. Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau bila ada batu di
duktus utama (Normal: 17–115 unit/100 mL)

H. Penatalaksanaan
Penanganan cholelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan
non bedah dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya
gejala yang menyertai cholelitiasis, yaitu penatalaksanaan pada cholelitiasis
simptomatik dan cholelitiasis yang asimptomatik.

11
1. Penatalaksanaan Nonbedah
a. Penatalaksanaan pendukung dan diet
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung
empedu sembuh dengan istirahat, cairan infus, penghisapan
nasogastrik, analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda
sampai gejala akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat
dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien memburuk (Smeltzer dan
Bare, 2002).
Manajemen terapi :
1) Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein
2) Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.
3) Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
4) Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk
mengatasi syok.
5) Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)
b. Disolusi medis
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan
pemberian obat-obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam
pengobatan daripada chenodeoxycholic karena efek samping yang
lebih banyak pada penggunaan chenodeoxycholic seperti terjadinya
diare, peningkatan aminotransfrase dan hiperkolesterolemia sedang
Pemberian obat-obatan ini dapat menghancurkan batu pada 60%
pasien dengan cholelitiasis, terutama batu yang kecil. Angka
kekambuhan mencapai lebih kurang 10%, terjadi dalam 3-5 tahun
setelah terapi. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria
terapi nonoperatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm,
batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik
paten. Pada anak-anak terapi ini tidak dianjurkan, kecuali pada anak-
anak dengan risiko tinggi untuk menjalani operasi.
c. Disolusi kontak
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk
menghancurkan batu kolesterol dengan memasukan suatu cairan

12
pelarut ke dalam kandung empedu melalui kateter perkutaneus melalui
hepar atau alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan yang
dipakai adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan
suatu alat khusus ke dalam kandung empedu dan biasanya mampu
menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam.
Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus
dengan batu yang kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan
dapat menyebabkan iritasi mukosa, sedasi ringan dan adanya
kekambuhan terbentuknya kembali batu kandung empedu
d. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut
berulang (Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu
didalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud
memecah batu tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen. (Smeltzer
dan Bare, 2002).
ESWL sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu.
Analisis biaya-manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur
ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan
untuk menjalani terapi ini.
e. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut,
kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras
radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di
dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar
sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah ke
usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90%
kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan
3–7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman
dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif
dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang
kandung empedunya telah diangkat

13
2. Penatalaksanaan Bedah
a. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien
denga cholelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna
yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2%
pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang
dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah
kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
b. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun
1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara
laparoskopi. 80–90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini
karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1–
0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada
jantung dan paru. Kandung empedu diangkat melalui selang yang
dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.
Indikasi awal hanya pasien dengan cholelitiasis simtomatik tanpa
adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman,
banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan
kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara
teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional
adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang
dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan
perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah
keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi
seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering
selama kolesistektomi laparoskopi.

I. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita cholelitiasis :
1. Asimtomatik
2. Obstruksi duktus sistikus
3. Kolik bilier

14
4. Kolesistitis akut
5. Perikolesistitis
6. Peradangan pankreas (pankreatitis)
7. Perforasi
8. Kolesistitis kronis
9. Hidrop kandung empedu
10. Empiema kandung empedu
11. Fistel kolesistoenterik
12. Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali
dan batu empedu muncul lagi)
13. Ileus batu empedu (gallstone ileus)
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam
kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat
menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus
secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi
maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu
dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga
membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat
juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat
mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan
dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi
perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada
saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus
koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan
kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya
ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis. Batu kandung
empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada
bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus
obstruksi

15
J. Prognosis
Untuk penderita dengan ukuran batu yang kecil, pemeriksaan serial USG
diperlukan untuk mengetahui perkembangan dari batu tersebut. Batu bisa
menghilang secara spontan. Untuk batu besar masih merupakan masalah,
karena merupakan risiko terbentuknya karsinoma kandung empedu (ukuran
lebih dari 2 cm). Karena risiko tersebut, dianjurkan untuk mengambil batu
tersebut. Pada anak yang menderita penyakit hemolitik, pembentukan batu
pigmen akan semakin memburuk dengan bertambahnya umur penderita,
dianjurkan untuk melakukan kolesistektomi.

16
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian adalah fase pertama proses keperawatan. Data yang
dikumpulkan meliputi :
1. Identitas
Cholelitiasis merupakan batu pada kandung empedu yang banyak
terjadi pada individu yang berusia di atas 40 tahun dan semakin meningkat
pada usia 75 tahun. Dan wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk
terkena cholelitiasis dibandingkan dengan pria.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien
saat pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah
nyeri abdomen pada kuadran kanan atas, dan mual muntah.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui
metode PQRST, paliatif atau provokatif (P) yaitu focus utama keluhan
klien, quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan
oleh klien, regional (R) yaitu nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S)
yaitu posisi yang bagaimana yang dapat mengurangi nyeri/gatal atau
klien merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan klien merasakan
nyeri/gatal tersebut. Klien sering mengalami nyeri di ulu hati yang
menjalar ke punggung , dan bertambah berat setelah makan disertai
dengan mual dan muntah.
c. Riwayat penyakit dahulu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau
pernah di riwayat sebelumnya. Klien memiliki Body Mass Index
(BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi cholelitiasis.
Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam
kandung empedu pun tinggi.

17
d. Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita
penyakit cholelitiasis. Penyakit cholelitiasis tidak menurun, karena
penyakit ini menyerang sekelompok manusia yang memiliki pola
makan dan gaya hidup yang tidak sehat. Tapi orang dengan riwayat
keluarga cholelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibanding dengan
tanpa riwayat keluarga.
e. Riwayat psikososial
Pola pikir sangat sederhana karena ketidaktahuan informasi dan
mempercayakan sepenuhnya dengan rumah sakit. Klien pasrah
terhadap tindakan yang dilakukan oleh rumah sakit asal cepat sembuh.
Persepsi diri baik, klien merasa nyaman, nyeri tidak timbul
sehubungan telah dilakukan tindakan cholesistektomi.
f. Riwayat lingkungan
Lingkungan tidak berpengaruh terhadap penyakit cholelitiasis. Karena
cholelitiasis dipengaruhi oleh pola makan dan gaya hidup yang tidak
baik.
3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan Umum
Pada hasil pemeriksaan fisik abdomen didapatkan :
1) Inspeksi : datar, eritem (-), sikatrik (-)
2) Auskultasi : peristaltik (+)
3) Perkusi : timpani
4) Palpasi : supel, nyeri tekan (+) regio kuadran kanan atas, hepar-lien
tidak teraba, massa (-)
b. Sistem endokrin
Mengkaji tentang keadaan abdomen dan kantung empedu.
Biasanya pada penyakit ini kantung empedu dapat terlihat dan teraba
oleh tangan karena terjadi pembengkakan pada kandung empedu.
4. Pola aktivitas
a. Nutrisi
Dikaji tentang porsi makan, nafsu makan

18
b. Aktivitas
Dikaji tentang aktivitas sehari-hari, kesulitan melakukan aktivitas dan
anjuran bedrest
c. Aspek Psikologis
Kaji tentang emosi, Pengetahuan terhadap penyakit, dan suasana hati.
d. Aspek penunjang
1) Hasil pemeriksaan Laboratorium (bilirubin, amylase serum
meningkat).
2) Obat-obatan satu terapi sesuai dengan anjuran dokter

B. Analisa Data
MASALAH
DATA ETIOLOGI
KEPERAWATAN
DS: Pasien - Sumbatan empedu / koleltiasis Nyeri
mengeluh - Aliran balik cairan empedu ke hepar
nyeri di - Proses radang di sekitar hepatobilier
daerah ulu - Infeksi
hati - Nyeri
DO: Nyeri tekan di
epigastrium
DS : - - Penurunan peristaltik karena efek Penurunan volume
DO : Pasien lemah, cholelitiasis cairan
mata cowong, - Makanan tertahan di dalam lambung
turgor kulit - Peningkatan rasa mual
buruk - Mual/muntah
- Penurunan volume cairan
DS: Pasien - Penurunan peristaltik karena efek Nutrisi kurang dari
mengatakan cholelitiasis kebutuhan tubuh
perutnya tidak - Makanan tertahan di dalam lambung
enak karena - Peningkatan rasa mual
mual muntah - Mual/muntah
DO: Distensi - Peubahan nutrisi kurang dari
abdomen kebutuhan tubuh

19
C. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan agen cedera biologis: obstruksi/spasme duktus,
proses inflamasi, iskemia jaringan/nekrosis.
INTERVENSI RASIONAL
- Observasi dan catat lokasi, beratnya - Membantu membedakan penyebab
(skala 0–10) dan karakter nyeri nyeri dan memberikan informasi
(menetap, hilang timbul, kolik). tentang kemajuan/perbaikan
- Tingkatkan tirah baring, biarkan penyakit, terjadinya komplikasi,
pasien melakukan posisi yang dan keefektifan intervensi.
nyaman. - Meningkatkan istirahat,
- Kolaborasi: Pertahankan status memusatkan kembali perhatian,
puasa, masukan/pertahankan dapat meningkatkan koping.
penghisapan NG sesuai indikasi. - Tirah baring pada posisi fowler
- Kolaborasi: Berikan obat sesuai rendah menurunkan tekanan
indikasi; antikolinergik. intraabdomen.
- Membuang secret gaster yang
merangsang pengeluaran
kolesistokinin dan kontraksi
kandung empedu.
- Menghilangkan reflex spasme/
kontraksi otot halus dan membantu
dalam manajemen nyeri.

2. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah,


distensi, dan hipermotilitas gaster.
INTERVENSI RASIONAL
- Pertahankan masukan dan haluaran - Memberikan informasi tentang
akurat, perhatikan haluaran kurang status cairan/volume sirkulasi dan
dari masukan, peningkatan berat kebutuhan penggantian.
jenis urine. Kaji membrane - Muntah berkepanjangn, aspirasi
mukosa/kulit, nadi perifer, dan gaster, dan pembatasan pemasukan
pengisian kapiler. oral dapat menimbulkan deficit
- Awasi tanda/gejala peningkatan/ natrium, kalium dan klorida.
berlanjutnya mual/muntah, kram - Menurunkan sekresi dan motilitas
abdomen, kelemahan, kejang, gaster.
kejang ringan, kecepatan jantung tak - Menurunkan mual dan mencegah
teratur, parestesia, hipoaktif atau tak muntah.
adanya bising usus, depresi - Mempertahankan volume sirkulasi
pernapasan. dan memperbaiki ketidak-
- Kolaborasi: pertahankan pasien seimbangan.
puasa sesuai keperluan.
- Kolaborasi: berikan antimetik.
Kolaborasi: berikan cairan IV,
elektrolit, dan vitamin K.

20
3. Risiko tinggi perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh,
berhubungan dengan memaksa diri atau pembatasan berat badan sesuai
aturan; mual/muntah.
INTERVENSI RASIONAL
- Kaji distensi abdomen, sering - Tanda non-verbal ketidaknyamanan
bertahak, berhati-hati, menolak berhubungan dengan gangguan
bergerak. pencernaan, nyeri gas.
- Perkirakan/hitung pemasukan kalori - Mengidentifikasi kekurangan/
juga komentar tentang napsu makan kebutuhan nutrisi. Berfokus pada
sampai minimal masalah membuat suasana negative
- Berikan suasana menyenangkan dan mempengaruhi masukan.
pada saat makan, hilangkan - Untuk meningkatkan napsu
rangsangan berbau. makan/menurunkan mual.
- Kolaborasi: Konsul dengan ahli - Berguna dalam membuat
diet/tim pendukung nutrisi sesuai kebutuhan nutrisi individual
indikasi. melalui rute yang paling tepat.
- Tambahkan diet sesuai toleransi, - Memenuhi kebutuhan nutrisi dan
biasanya rendah lemak, tinggi serat, meminimalkan rangsangan pada
batasi makanan penghasil gas dan kandungan empedu.
makanan/makanan tinggi lemak.

21
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Cholelitiasis merupakan adanya batu di kandung empedu, atau pada
saluran kandung empedu yang pada umumnya komposisi utamanya adalah
kolesterol. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsure yang
membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung
empedu. Penyebab terjadinya cholelitiasis belum diketahui secara pasti.
Penatalaksanaan dari cholelitiasis ini dapat dilakukan dengan pembedahan
maupun non pembedahan serta menjalani diet rendah lemak, tinggi protein,
dan tinggi kalori agar tidak terbentuk batu empedu di dalam kandung empedu.
Oleh karena itu, asuhan keperawatan yang baik diperlukan dalam
penatalaksanaan cholelitiasis ini sehingga dapat membantu klien untuk dapat
memaksimalkan fungsi hidupnya kembali serta dapat memandirikan klien
untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.

B. Saran
Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada
umumnya dan mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui lebih
dalam tentang penyakit cholelitiasis. Kepada para perawat, kami sarankan
untuk lebih aktif dalam memberikan penyuluhan untuk mengurangi angka
kesakitan penyakit cholelitiasis. Dengan tindakan preventif yang dapat
dilakukan bersama oleh semua pihak, maka komplikasi dari cholelitiasis akan
berkurang.

22
DAFTAR PUSTAKA

Kumar, R. S dan Robbins, S. L. 2007. Buku Ajar Atologi. Jakarta: EGC

Kuncara, H. Y. 2009. Aplikasi Klinis Patofisiologi: Pemeriksaan dan Manajemen.


Jakarta: EGC

Nucleus Precise Newsletter. 2011. Batu Empedu. Jakarta: PT. Nucleus Precise

Sjamsuhidajat R, de Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Sudoyo, A. W., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Internal
Publishing

Wilkinson, Judith M., & Nancy r R. Ahern. 2013. Buku Saku Diagnosa
Keperawatan Diagnosa Nanda, Intervensi Nic, Kriteria Hasil Noc.
Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai