Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN PENYAKIT KOLESTASTIS EC


ATRESIA BILIER DI RUANGAN AKUT RSUP DR. MDJAMIL PADANG

DI SUSUN OLEH
FITRIA DILA SARI
2121312035

PEMBIMBIMNG AKADEMIK PEMBIMBING KLINIK

Dr. Ns. Meri Neherta, M.Biomed Ns. Rahma Devitas, M.Kep, Sp.Kep An

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


UNIVERSITAS ANDALAS PADANG
FAKULTAS KEPERAWATAN
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT. yang telah memberikan kami begitu banyak
nikmat, baik itu nikmat iman, nikmat kesehatan, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas
laporan pendahuluan Asuhan Keperawatan anak dengan penyakit Kolestastis Ec Atresia Bilier
Di Ruangan Akut.
Sholawat beriringkan salam tidak lupa kita haturkan kepada junjungan besar kita Nabi
Muhammad SAW. Yang merupakan suritoladan bagi seluru umat yang memiliki akhlak mulia,
berilmu pengetahuan yang telah membawa kita menuju alam yang penuh pengetahuan serta
terang benderang ini. Semoga Rahmat selalu tercurah kepada beliau, keluarga dan seluruh
pengikutnya.
Terima Kasih kami ucapkan kepada ibu Dr. Ns. Meri Neherta, M.Biomed dan Ibu Ns.
Rahma Devitas, M.Kep, Sp.Kep An sebagai dosen pengajar dalam mata kuliah ini. Terima kasih
kepada semua pihak yang terlibat dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna dan masih memiliki kekurangan.
Untuk itu kami membutuhkan kritikan dan saran yang membangun demi penyempurnaan
makalah ini kedepannya. Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Atas
semua perhatian pembaca, kami ucapkan terimakasih.

Padang, Oktober 2022


Hormat kami,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii

BAB I PENDALUAN

A. Latar Belakang .....................................................................................................................1


B. Tujuan ..................................................................................................................................1
C. Manfaat ................................................................................................................................2

BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian ........................................................................................................................... 3
B. Anatomi Fisiologi ................................................................................................................6
C. Klasifikasi ........................................................................................................................... 7
D. Etiologi.................................................................................................................................7
E. Patofisiologi .........................................................................................................................8
F. Manifestasi klinik.................................................................................................................9
G. Prognosis ............................................................................................................................10
H. Pemeriksaan Diagnostik.....................................................................................................11
I. Pemeriksaan Penunjang .....................................................................................................12
J. Penatalaksanaan .................................................................................................................13
K. Komplikasi .........................................................................................................................14
L. WOC

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian ........................................................................................................................17
B. Diagnose ............................................................................................................................22
C. Intervensi ..........................................................................................................................22

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................................................36

ii
B. Saran .................................................................................................................................36

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN : WOC

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latara Belakang
Kolestasis merupakan salah satu kasus pada bayi yang sering ditemukan. Kolestasis
adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk ke dalam duodenum dalam jumlah yang
normal. Secara klinis, kolestasis dapat didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang
diekskresi ke dalam empedu seperti bilirubin, asam empedu dan kolesterol di dalam darah
dan jaringan tubuh. Tata laksana seringkali sulit karena kolestasis sulit menentukan etiologi
yang sangat beragam dan memerlukan berbagai pemeriksaan penunjang. Penyebab utama
kolestasis adalah: obstruksi, infeksi, penyakit-penyakit metabolik atau genetic seperti
atresia bilier. Penyakit yang menyebabkan perlambatan atau berhentinya aliran empedu ke
dalam duodenum cukup banyak, sehingga sering menyebabkan kesukaran dalam
menegakkan penyebab kolestasis. Jenis dan penyebab kolestasis pada pasien anak sangat
penting untuk ditegakkan secepatnya, karena sangat berpengaruh terhadap cara pengobatan
serta prognosis. Penelusuran penyebab kolestasis diperlukan beberapa pemeriksaan
penunjang yang membutuhkan biaya yang cukup besar, sehingga hal ini bisa menjadi salah
satu masalah yang sangat rumit untuk mendiagnosis jenis kolestasis. Masalah keperawatan
yang muncul yaitu risiko tinggi infeksi, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh dan kurang pengetahuan tentang penyakit, (Arief & Sjamsul 2017). Berdasarkan
masalah diatas, perawat mempunyai peranan penting dalam memberikan asuhan
keperawatan secara mandiri dan kolaborasi dalam pemberian terapi, asupan nutrisi, dan
pelaksanaan tindakan baik bedah maupun non bedah dalam menangani masalah
keperawatan yang dialami pasien. Untuk itu penulis sangat tertarik untuk melaksanakan
asuhan keperawatan dengan judul “laporan pendahuluan Asuhan Keperawatan pada anak
dengan penyakit kolestasis ec atresia bilinear di ruangan akut rsup dr. md.jamil Padang”.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk memahami konsep dasar dari penyakit Kolestasis dan Atresia Bilier dan Asuhan
Keperawatan

1
2. Tujuan Khusus
a. Agar bisa memahami anatomi fisiologi
b. Agar bisa memahami pengertian Kolestasis dan Atresia Bilier
c. Agar bisa memahami epidemologi Kolestasis dan Atresia Bilier
d. Agar bisa memahami etiologi Kolestasis dan Atresia Bilier
e. Agar bisa memahami klasifikasi Kolestasis dan Atresia Bilier
f. Agar bisa memahami manifestasi Kolestasis dan klinik Atresia Bilier
g. Agar bisa memahami patofiologi Kolestasis dan Atresia Bilier
h. Agar bisa memahami komplikasi Kolestasis dan Atresia Bilier
i. Agar bisa memahami prognosis Kolestasis dan Atresia Bilier
j. Agar bisa memahami penatalaksanaan Kolestasis dan Atresia Bilier
k. Agar bisa memahami pemeriksaan penunjang Kolestasis dan Atresia Bilier
l. Agar bisa memahami asuhan keperawatan Kolestasis dan Atresia Bilier

C. Manfaat
Penulis sangant menyadari atas kekurangan yang ada dimakalah ini, penulis berharap bisa
membantu menambah ilmu tentang konsep penyakit Atresia Bilier dan Asuhan
Keperawatannya.

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Anatomi dan Fungsi system bilier


1. Anatomi sistem bilier

Sistem biliaris disebut juga sistem empedu. Sistem biliaris dan hati tumbuh
bersama. Berasal dari divertikulum yang menonjol dari foregut, dimana tonjolan
tersebut akan menjadi hepar dan sistem biliaris. Bagian kaudal dari divertikulum akan
menjadi gaall bladder (kandung empedu), ductus cysticus, ductus biliaris communis
(ductus choledochus) dan bagian cranialnya menjadi hati dan ductus hepaticus biliaris.
System empedu terdiri dari organ-organ dan saluran yaitu saluran empedu, kantong
empedu, empedu dan struktur terkait yang terlibat dalam produksi dan transportasi
empedu (Keyle Terri, 2016).
a. Vesica Fellea (Kandung empedu) berbentuk buah pear kecil yang diliputi oleh
peritoneum dan menempel ke permukaan bawah dari lobus kanan dan lobus
quadratus hati. Kandung empedu panjangnya ± 10 cm, diameter 3-5 cm dan
menganduing 30-60 cc bile. Secara anatomis, kandung empedu terbagi menjadi :
fundus (ujung), corpus, infundibulum dan leher yang berhubungan dengan ductus
cysticus.
b. Ductus cysticus berjalan dari hati ke arah kandung empedu, panjangnya 1-2 cm,
diameter 23 cm, diliputi permukaan dalam dengan mukosa yang banyak sekali

3
membentuk duplikasi (lipatanlipatan) yang disebut “Valve Of Heister”, yang
mengatur pasase bile ke dalam kandung empedu dan menahan alirannya dari
kandung empedu.
c. Ductus Hepaticus. Ductus hepaticus berasal dari lobus dexter dan lobus sinister
bersatu membentuk ductus hepaticus communis pada porta hepatis dekat pada
processus papillaris lobus caudatus. Panjang ductus hepaticus communis kurang
lebih 3 cm. Terletak di sebelah ventral a.hepatica propria dexter dan ramus dexter
vena portaeDuctus cysticus bergabung dengan ductus hepaticus communisv
menjadi ductus biliaris communis (ductus choledochus).
d. Ductus choledochus panjangnya 10 – 15 cm dan berjalan menuju duodenum dari
sebelah belakang, akan menembus pankreas dan bermuara di sebelah medial dari
duodenum descendens. Tempat muaranya ini disebut “Papilla Vateri”. Dalam
keadaan normal, ductus choledochus akan bergabung dengan ductus pancreaticus
Wirsungi (baru mengeluarkan isinya ke duodenum) Tapi ada juga keadaan di mana
masing-masing mengeluarkan isinya, pada umumnya bergabung dulu.

Ketika sel-sel hati mengeluarkan empedu, yang dikumpulkan oleh system


saluran yang mengalir dari hati melalui ductus hepatica kanan dan kiri. Saluran ini
akhirnya mengalir ke ductus hepatic umum. Ductus hepatica kemudian bergabung
dengan ductus sistikus dari kantong empedu untuk membentuk saluran empedu umum,
yang berlangsung dari hati ke duodenum (bagian pertama dari usus kecil). Namun tidak
semua berjalan dari empedu langsung ke duodenum. Sekitar 50% dari empedu yang

4
dihasilkan hati adalah pertama disimpan di kantong empedu, kemudia Ketika makanan
dimakan, kontrak kandung empedu dan melepas empedu ke duodenum disimpan untuk
membantu memecahkan lemak.

2. Fungsi system bilier


a. Fungsi utama system bilier yang meliputi
1) Untuk mengeringkan produksi limbah dari hati ke duodenum
2) Untuk membantu dalam pencernaan dengan pelepasan terkontrol empedu
3) Storage (penyimpanan) dan pengentalan dari empedu
b. Fungsi Empedu:
1) Berperan utk penyerapan lemak yaitu dalam bentuk emulsi, juga penyerapan
mineral. Contoh : Ca, Fe, Cu
2) Merangsang sekresi enzim (Contoh: lipase pankreas)
3) Penyediaan alkalis utk menetralisir asam lambung di duodenum
4) Membantu ekskresi bahan-bahan yang telah dimetabolisme di dalam hati

Hati menghasilkan ± 600 – 1000 cc bile/ hari dengan BJ ± 1,011 yang 97%-
nya terdiri dari air - Kandung empedu akan mengentalkan empedu 5 – 10 kali
dengan cara menyerap air dan mineral, lalu mengekskresinya dengan berat jenis
1.040 - Kendati tidak terdapat makanan di dalam usus, hati tetap secara kontinu
mensekresi bila yang kemudian disimpan sementara di dalam saluran empedu oleh
karena kontraksi dari sphincter odi - Bila tekanan dalam saluran empedu
meningkatkan maka terjadi refleks dari empedu masuk ke dalam kandung empedu
di mana akan disimpan dan dikentalkan. - Begitu makanan masuk dari lambung ke
duodenum maka akan keluarhormon cholecystokinin - Pengaruh hormon disertai
dengan rangsang saraf akan menyebabkan kontraksi dinding kandung empedu dan
relaksasi sph.odi sehingga menyebabkan bile mengalir ke usus - Lemak dan protein
à merangsang kuat terhadap kontraksi dari kandung empedu sedangkan karbohidrat
sedikit pengaruhnya - Nyeri yang timbul dari kandung empedu dan ductus empedu
disebabkan karena distensi dan sering disertai dengan nausea, muntah. - Rasa nyeri
itu diakibatkan oleh serat-serat sensoris simpatis yaitu dari segment T7-10 dan rasa
nyeri dirasakan di daerah epigastrium - Nyeri yang timbul bersifat intermitten

5
(Hilang timbul), berkaitan dengan tekanan di dalam sistem biliaris - Peradangan
kandung empedu juga akan menyebabkan nyeri di daerah hypochondrium kanan,
daerah infra scapula, daerah substernal dan kadang-kadang berhubungan dengan
rangsangan N.phrenicus sehingga menyebabkan nyeri di daerah puncak bawah
bahu kanan - Distensi kandung empedu dan salurannya secara refleks dapat
mengakibatkan penurunan aliran darah dalam A.coronaria sehingga menyebabkan
aritmia jantung.
(Dr. dr. Bagus Setyoboedi, SpA.K, 2020)
B. Konsep Kolestasis
1. Pengertian Kolestasis

Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk ke dalam duodenum


dalam jumlah yang normal. Secara klinis, kolestasis dapat didefinisikan sebagai
akumulasi zat-zat yang diekskresi ke dalam empedu seperti bilirubin, asam empedu
dan kolesterol di dalam darah dan jaringan tubuh (Arief & Sjamsul 2017). Kolestasis
neonatal merupakan istilah nonspesifik untuk kelainan hati dengan banyak etiologi
yang mungkin terdapat pada neonatus. Pada 50% kasus tidak terdapat penyebab yang
bisa diidentifikasi. Pasien penyakit ini ditemukan dengan hiperbilirubinemin
terkonjugasi yang lama (kolestasis neonatal), hepatomegali dan disfungsi hati dengan
derajat yang bervariasi (misalnya hipoprotrombinemia) (Price & Wilson, 2016).

2. Epidemiologi Kolestasis
Secara umum insidensi kolestasis kurang lebih 1:25.000 kelahiran hidup.
Penyebab paling umum kolestasis pada bulan-bulan pertama kehidupan adalah atresia
bilier dapat terjadi 1:10.000 hingga 1:15.000 bayi dan hepatitis neonatal. Angka

6
kejadian lebih sering pada bayi kurang bulan dibanding dengan bayi cukup bulan.
Salah satu faktor yang menentukan prognosis atresia bilier adalah usia saat operasi
partoenterostomi dilakukan. Bila operasi dilakukan sebelum usia 8 minggu angka
bebas icterus dapat mencapai 80%. Bila dioperasi setelah usia 12 minggu angka bebas
icterus menurun menjadi sekitar 20% karenya umumnya sudah terjadi sirosis bilier
yang irreversible (Lane, 2017)

3. Etiologi Kolestasis
a. Kolestasis Ekstrahepatik (diluar hati)
Kolestasis ekstrahepatik terdapat penyumbatan atau obstruksi saluran empedu
ekstrahepatik. Penyebab utama kolestasis tipe ini adalah proses imunologis, infeksi
virus terutama Cytomegalo virus, Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik,
iskemia dan kelainan genetik. Akibat dari penyebab tersebut maka akan terbentuk
kelainan berupa nekroinflamasi, yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan dan
pembuntuan saluran empedu ekstrahepatik seperti : Atresia bilier ekstrahepatik -
Kista duktus koledokus - Perforasi spontan duktus biliaris komunis - Inspissated
bile syndrome - Caroli syndrome (Arief, 2012; Ermaya, 2014).
b. Kolestasis intrahepatic (Didalam hati)
Kolestasis intrahepatik terjadi karena kelainan pada hepatosit atau elemen duktus
biliaris intrahepatik. Hal ini mengakibatkan terjadinya akumulasi, retensi serta
regurgitasi bahan-bahan yang merupakan komponen empedu seperti bilirubin,
asam empedu serta kolesterol ke dalam plasma, dan selanjutnya pada pemeriksaan
histopatologis akan ditemukan penumpukan empedu di dalam sel hati dan sistem
biliaris di dalam hati. Saluran Empedu digolongkan dalam 2 bentuk, yaitu: a.
Paucity (atresia) saluran empedu b. Disgenesis saluran empedu (Bisanto, 2011;
Ermaya, 2014).

4. Patofisiologi Kolestasis
Empedu merupakan cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan
merupakan kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu mengandung
asam empedu, kolesterol, phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi, elektrolit,

7
protein, dan bilirubin terkonjugasi. Kolesterol dan asam empedu merupakan bagian
terbesar dari empedu sedang bilirubin terkonjugasi merupakan bagian kecil. Bagian
utama dari aliran empedu adalah sirkulasi enterohepatik dari asam empedu. Hepatosit
adalah sel epetelial dimana permukaan basolateralnya berhubungan dengan darah
portal sedang permukaan apikal (kanalikuler) berbatasan dengan empedu. Hepatosit
adalah epitel terpolarisasi berfungsi sebagai filter dan pompa bioaktif memisahkan
racun dari darah dengan cara metabolisme dan detoksifikasi intraseluler,
mengeluarkan hasil proses tersebut kedalam empedu. Salah satu contoh adalah
penanganan dan detoksifikasi dari bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin indirek).
Bilirubin tidak terkonjugasi yang larut dalam lemak diambil dari darah oleh transporter
pada membran basolateral, dikonjugasi intraseluler oleh enzim UDPGTa yang
mengandung P450 menjadi bilirubin terkonjugasi yang larut air dan dikeluarkan
kedalam empedu oleh transporter mrp2. Mrp2 merupakan bagian yang
bertanggungjawab terhadap aliran bebas asam empedu. Walaupun asam empedu
dikeluarkan dari hepatosit kedalam empedu oleh transporter lain, yaitu pompa aktif
asam empedu. Pada keadaan dimana aliran asam empedu menurun, sekresi dari
bilirubin terkonjugasi juga terganggu menyebabkan hiperbilirubinemia terkonjugasi.
Proses yang terjadi di hati seperti inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan
iskemia menimbulkan gangguan pada transporter hepatobilier menyebabkan
penurunan aliran empedu dan hiperbilirubinemi terkonjugasi (Areif & Sjamsul, 2017).

5. Manifestasi Klinik
Secara umum, gejala kolestasis ekstrahepatik maupun intrahepatik sama, dan
melipuiti:
a. Gatal yang berlebihan
b. Kulit dan bagian putih mata yang kekuningan (jaundice)
c. Urine gelap
d. Sakit perut
e. Kelelahan
f. Mual dan muntah
g. Kehilangan selera makan

8
h. Feses berwarna putih atau seperti dempul
i. Urobilin dan sterkobilin tinja menurun
j. Urobilinogen urin menurun
k. Malabsorpsi lemak dan vitamin yang larut dalam lemak
l. Hipoprotombinemia
m. Hiperkolesterolemia
n. Kerusakan sel hepar sebagai akibat penumpukan garam empedu
o. SGOT, SGPT, Alkali fosfatase, glutamili transpeptidase meningkat
(Kemenkes, 2015)
6. Klasifikasi
a. Kolestasis ekstrahepatik
Merupakan obstruksi mekanis saluran empedu ekstrahepatik. Secara umum
kelainan ini disebabkan lesi kongenital atau didapat. Merupakan kelainan
nekroinflamatori yang menyebabkan kerusakan dan akhirnya pembuntuan saluran
empedu ekstrahepatik, diikuti kerusakan saluran empedu intrahepatic
b. Kolestasis intrahepatic
1) Saluran Empedu Digolongkan dalam 2 bentuk, yaitu: (a) Paucity saluran
empedu, dan (b) Disgenesis saluran empedu. Oleh karena secara embriologis
saluran empedu intrahepatik (hepatoblas) berbeda asalnya dari saluran empedu
ekstrahepatik (foregut) maka kelainan saluran empedu dapat mengenai hanya
saluran intrahepatik atau hanya saluran ekstrahepatik saja. Beberapa kelainan
intrahepatik seperti ekstasia bilier dan hepatik fibrosis kongenital, tidak
mengenai saluran ekstrahepatik. Kelainan yang disebabkan oleh infeksi virus
CMV, sklerosing kolangitis, Caroli’s disease mengenai kedua bagian saluran
intra dan ekstra-hepatik. Karena primer tidak menyerang sel hati maka secara
umum tidak disertai dengan gangguan fungsi hepatoseluler.

7. Komplikasi Kolestiasis
a. Pruritus. Pruritus merupakan morbiditas yang penting dan sering terjadi baik pada
kolestasis intrahepatic maupun ekstrahepatik. Daerah predileskinya meliputi
seluruh bagian tubuh dengan daerah telapak tangan dan kaki, permukaan ekstensor

9
ekstremitas, wajah, telingan, dan trunkus superior memiliki tingkat keparahan yang
tinggi. Mekanisme terjadinya pruritus masih belum diketahui pasti.
b. Hiperlidemia dan Xanthoma. Hyperlipidemia dan Xanthoma merupakan
komplikasi yang sering terjadi pada kolestasis intrahepatic. Pada kolestasis terjadi
gangguan lairan empedu yang akan menyebabkan meningkatnya kadar lipioprotein
di sirkulasi sehingga terjadi hiperkolesterolemia (kolesterol serum mencapai 1000-
2000 mg/dL). Hal ini menyebabkan terdepositnya kolesterol di kulit, membran
mukosa, dan arteri.
c. Sirosis dan gagal hati. Sirosis dan gagal hati dapat terjadi pada pasien yang
mengalami keterlambatan diagnosis sehingga fungsi hati sudah tidak dapat
dipertahankan lagi.

8. Prognosis
Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi, gambaran
histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan pengalaman ahli bedahnya
sendiri. Bila operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka keberhasilannya 71-
86%, sedangkan bila operasi dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka
keberhasilannya hanya 34-43,6%. Sedangkan bila operasi tidak dilakukan, maka angka
keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10% dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan.
Anak termuda yang mengalami operasi Kasai berusia 76 jam. Jadi faktor-faktor yang
mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan operasi > 60 hari, adanya
gambaran sirosis pada sediaan histologik had, tidak adanya duktus bilier ekstrahepatik
yang paten, dan bila terjadi penyulit hipertensi portal (Prince. 2016)

9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut (Price & Wilson, 2012):
a. Radiologis
1) Foto polos abdomen. Tujuannya: untuk dapat memperlihatkan densitas
klasifikasi pada kandung empedu, cabang saluran-saluran empedu (batu
empedu), pancreas dan hati, juga dapat memperlihatkan adanya splenomegali
atau asites nyata.

10
2) Ultrasonografi (USG). Metode yang disukai untuk mendeteksi batu empedu,
dapat diandalkan untuk mendeteksi dilatasi saluran empedu dan massa padat
atau kistik didalam hati dan pancreas, non invasif dan murah
3) CT scan. Pencitraan beresolusi tinggi pada hati, kandung empedu, pankreas,
dan limpa menunjukan adanya batu, massa padat, kista, abses dan kelainan
struktur: sering dipaki dengan bahan kontras.
4) Magnetik Resonance Imaging (MRI) (Pengambilan gambar organ) Pemakaian
sama dengan CT scan tetapi memiliki kepekaan lebih tinggi, juga dapat
mendeteksi aliran darah dan sumbatan pembuluh darah; non invasive tetapi
mahal.
b. Laboratorium
1) Pemeriksaan kadar bilirubin merupakan pemeriksaan laboratorium rutin yang
dilakukan untuk pasien dengan kolestasis, dengan mengetahui hasil dari
komponen bilirubin kita dapat membedakan antara kolestasis dengan
hyperbilirubinemia fisiologis. Dikatakan kolestasis apabila didapatkan kadar
billirubin direk lebih dari 1 mg/dl bila billirubin total kurang dari 5 mg/dl atau
kadar billirubun direk lebih dari 20% apabila kadar billirubin total lebih dari 5
mg/dl.
2) Peningkatan kadar SGOT/SGPT >10 kali dengan peningkatan gamma GT 5
kali, hal ini lebih mengarah kepada kolestasis ekstrahepatik.
3) Aminotransferase serum meningkat lebih dari 2-4 kali nilai normal, maka hal
ini menunjukkan adanya proses infeksi.
4) Pemeriksaan alkali phosphatase yang biasanya meningkat pada pasien yang
mengalami kolestasis
5) Pemeriksaan TORCH untuk menelusuri terhadap kemungkinan adanya infeksi
Toksoplasma, Cytomegalo virus, Rubella, dan Herpes.
6) Pemeriksaan Tinja Khusus untuk pemeriksaan tinja biasa disebut dengan
pemeriksaan tinja 3 porsi (dilihat tinja akholik pada tiga periode dalam sehari).
Kolestasis ekstrahepatik hampir selalu menyebabkan manifestasi berupa tinja
akholik

11
7) Metabolisme Protein
a) Protein serum total: sebagian besar protein serum dan protein pembekuan
disintesis oleh hati sehingga kadarnya menurun pada berbagai gangguan
hati, (nilai normalnya 6-8 gr/dl), albumin serum (nilai normalnya :3,2-5,5
gr/dl), globulin serum (nilai normalnya: 2,03,5 gr/dl)
b) Massa protrombin (nilai normalnya : 11-15 detik) Meningkat pada
penurunan sintesis protrombin akibat kerusakan sel hati atau berkurangnya
absorpsi vitamin K pada obstruksi empedu. Vitamin K penting untuk
sintesis protrombin.

10. Penatalaksanaan
Pengobatan paling rasional untuk kolestasis adalah perbaikan aliran empedu ke dalam
usus. Pada prinsipnya ada beberapa hal pokok yang menjadi pedoman dalam
penatalaksanaannya, yaitu:
a. Sedapat mungkin mengadakan perbaikan terhadap adanya gangguan aliran
empedu
b. Mengobati komplikasi yang telah terjadi akibat adanya kolestasis
c. Memantau sedapat mungkin untuk mencegah kemungkinan terjadinya keadaan
fatal yang dapat mengganggu proses regenerasi hepar
d. Melakukan usaha-usaha yang dapat mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan
e. Sedapat mungkin menghindari segala bahan/keadaan yang dapat
mengganggu/merusak hepar.

Penatalaksanaan Dibagi Dalam 3 Golongan Besar, Yaitu:


a. Tindakan medis
1) Medikamentosa yaitu Perbaikan aliran empedu: pemberian fenobarbital dan
kolestiramin, Obat ini dapat digunakan untuk menghilangkan gatal-gatal dan
menghalangi sirkulasi enterohepatik. Dosis: 0,25-0,5 g/kgbb/hari, dan
ursodioksikolat acid (UDCA) Obat ini umumnya digunakan sebagai agen
pilihan pertama pada pruritus yang disebabkan kolestasis. Disamping itupula
obat ini berfungsi sebagai hepatoprotektor. Dosis yang diberikan adalah: 10–
20 mg/kgBB/Hari

12
2) Aspek gizi: Kekurangan energi protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat
dari kolestasis. Penurunan eksresi asam empedu menyebabkan gangguan
pada lipolisis intraluminal, solubilisasi dan absorbsi trigliserid rantai panjang.
Bayi dengan kolestasis membutuhkan asupan kalori yang lebih tinggi
dibanding bayi normal untuk mengejar pertumbuhan. Untuk menjaga tumbuh
kembang bayi seoptimal mungkin dengan terapi nutrisi, digunakan formula
khusus dengan jumlah kalori 120-150% dari kebutuhan normal serta vitamin,
mineral dan trace element. Kebutuhan kalori umumnya dapat mencapai 130-
150% kebutuhan bayi normal sesuai dengan berat badan ideal. Kebutuhan
protein 2-3 gr/kgbb/hari. Vitamin yang larut dalam lemak: vitamin A 5000-
25000 IU/hari, vitamin D Calcitriol 0,05-0,2 ug/kgbb/hari, vitamin E 25-50
IU/kgbb/hari, dan vitamin K 2-5 mg (IM) selama 3 hari berturut-turut apabila
pasien dengan pemanjangan faal hemostasis, pasien tanpa pemanjangan faal
hemostasis berikan vitamin K 2-5 mg (IM) setiap 2-3 minggu.
b. Tindakan Pembedahan
Terapi spesifik kolestasis sangat tergantung dari penyebabnya. Kolestasis
ekstrahepatik yang disebabkan oleh atresia bilier, tindakan operasi Kasai dan
transpalantasi hati merupakan cara yang efektif untuk tata laksananya. Tindakan
operasi Kasai efektif bila dikerjakan pada umur <6 minggu dengan angka
keberhasilan mencapai 80-90%, apabila dilakukan pada umur 10-12 minggu angka
keberhasilannya hanya sepertiga saja. Operasi Kasai (hepatoportoenterostomy
procedure) diperlukan untuk mengalirkan empedu keluar dari hati, dengan
menyambungkan usus halus langsung dari hati untuk menggantikan saluran
empedu. Untuk mencegah terjadinya komplikasi cirrhosis. Perlu diketahui bahwa
operasi Kasai bukanlah tatalaksana definitif dari atresia biliaris, namun setidaknya
tindakan ini dapat memperbaiki prognosis anak dan memperlambat perjalanan
menuju kerusakan hati (Lane, 2017).
c. Terapi Suportif
1) Asam ursodeoksikolat 10-20 mg/kg dalam 2-3 dosis b.

13
2) Kebutuhan kalori mencapai 130-150% kebutuhan bayi normal dan
mengandung lemak rantai sedang (Medium chain trigliseride-MCT), misalnya
panenteral, progrestimil
3) Vitamin yang larut dalam lemak : A: 5000-25.000 IU, D: calcitriol 0,05-0,2
ug/kg/hari, E: 25-200 IU/kk/hari, K1: 2,5-5 mg: 2-7 x/ minggu d.
4) Mineral dan trace element: Ca, P, Mn, Zn, Se, Fe e.
5) Terapi komplikasi lain: misalnya hiperlipidemia/xantelasma: Obat HMG-coA
reductase inhibitor contohnya kolestipol, simvastatin f.
6) Pruritus:
a) Atihistamin: difenhidramin 5-10 mg/kg/hati, hidroksisin 2-5 mg/kg/hati
Rifampisin: 10 mg/kg/hari
b) Kolestiramin: 0,25-0,5g/kg/hari

C. Konsep Atresia Bilier


1. Pengertian

Atresia Bilier berasal dari Bahasa Yunani. A artinya tidak ada dan trepis atrinya
nutrisi atau makanan. Dalam mahasa medis atresia adalah keadaan tidak adanya atau
tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital (bawaan). Atresia
Bilier merupakan proses peradangan yang progresif yang menyebabkan terbentuknya
jaringan parut pada suatu segmen atau seluruh saluran biliar di hati sehingga
mengakibatkan hilangnya patensi atau tersumbatnya saluran empedu (Soomro, GB., dkk.,
2011, dalam buku Dr. dr. Bagus Setyoboedi, SpA.K, 2020).

14
Atresia Bilier adalah kelainan yang terjadi akibat obliterasi fibrotic Sebagian atau
seluruh lumen ductus biliar yang disebabkan oleh infeksi virus pada periode paska natal.
Obliterasi saluran biliar dapat terjadi ekstrahepatik maupun intrahepatic sehingga
mengganggu dreinase cairan empedu (Difusi, 2020). Atresia Bilier adalah tidak adanya
Sebagian atau seluruh ductus biliaris sehingga menyebabkan obstruksi aliran empedu
(Keyle Terri, 2016).

2. Epidemiologi
Angka kejadian Atresia Bilier bervariasi dengan jumlah lebih banyak pada negara
Asia dari pada Eropa dan Amerika. Didunia angka kejadian Atresia Bilier baru sebanyak
5:100.000 – 32:100.000 angka kelahiran hidup dan tertinggi di Asia. Di Eropa, kejadian
Atresia Bilier bervariasi dari 1:14.000-20.000 kelahiran hidup (Wildhaber, BE., 2012).
Data di Amerika Serikat menunjukkan terdapat 1 kasus atresia bilier per 10.000 sampai
15.000 kelahiran hidup. Atresia bilier menjadi indikasi terbanyak transplantasi liver
(32,3%) pada pediatric liver transplants pada tahun 2016.
Di Indonesia, epidemiologi atresia bilier masih belum dapat diketahui dengan pasti
karena belum ada data epidemiologi yang pasti. Atresia bilier merupakan indikasi operasi
tersering pada kolestasis neonatal. Insidensi kolestasis neonatal di dunia mencapai 1 per
2.500 kelahiran hidup. Di antara kasus kolestasis neonatal, ditemukan sebanyak 34-42%
adalah kasus atresia bilier. Atresia bilier lebih sering terjadi pada wanita dibanding laki-
laki dengan rasio 1,4:1. Menurut Kementrian Kesehatan RI (2019), Atresia Bilier terjadi
pada 1 banding 10.000-15.000 bayi lahir hidup, dengan angka kelahiran hidup di Indonesia
4,5 juta per tahun, maka dapat kita prediksi bahwa bayi yang menderita Atresia Bilier
mencapai 300-450 bayi setiap tahunnya.

3. Etiologi
Secara umum penyebab terjadinya Atresia Bilier belum diketahui secara jelas.
Atresia Biliar banyak yang menyatakan disebabkan oleh inflamasi yang berkepanjangan
yang menyebabkan kerusakan progresif pada ductus bilier ekstrak hepatic sehingga
menyebabkan hambatan aliran empedu. Ada juga para ahli mengatakan disebabkan oleh
factor infeksi virus, factor genertik yang dikaitkan dengan kelainan kromosom trisomi 17,

15
18, dan 21, kelainan autoimun, defek vaskuler dan defek morfogenesis serta terdapat
anomalirogan pada 10-30% kasus Atresia Bilier (Dr. dr. Bagus Setyoboedi, SpA.K, 2020).
Ada 2 tipe Atresia Bilier yakni bentuk "janin", yang muncul segera setelah lahir
dan biasanya memiliki kongenital anomali pada organ lainnya seperti pada hati, limpa, dan
usus, dan bentuk "perinatal", terlihat ikterik beberapa minggu setelah kelahiran yang lebih
khas dan akan jelas terlihat pada minggu kedua sampai keempat pasca kelahiran. Atresia
bilier bukanlah penyakit keturunan. Hal ini dibuktikan dengan adanya kasus bayi lahir
kembar identik dengan hanya satu anak yang memiliki penyakit ini. Atresia bilier paling
mungkin disebabkan oleh suatu peristiwa yang terjadi selama hidup janin atau sekitar
waktu kelahiran. Kemungkinan untuk "memicu" hal tersebut bisa saja salah satu atau
kombinasi dari faktor-faktor berikut:
- infeksi virus atau bakteri, implikasi reovirus
- masalah dengan sistem kekebalan tubuh
- komponen abnormal empedu
- kesalahan dalam perkembangan hati dan saluran empedu.

4. Klasifikasi
Klasifikasi menurut kasai

Menurut anatomis klasifikasi atresia biliar ada tiga tipe, yaitu :


2. Tipe I atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal paten
3. Tipe IIa Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis, ductus cystikus,
dan kandung empedu semuanya normal)

16
4. Tipe IIb Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus cystikus.
Kandung empedu normal
5. Tipe III Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obliterasi, sampai ke
hilus.

Tipe I dan II merupakan jenis atresia yang dapat di operasi (correctable) sedangkan
tipe III adalah bentuk atresia yang tidak dapat di operasi (non correctable), bila telah
terjadi sirosis maka dilakukan transpalantasi hati.
(Difusi, 2020).

5. Manisfestasi Klinik
Biasanya bayi dengan atresia bilier ketika mereka lahir itu sehat. Muncul gejala
penyakit ini biasanya dalam dua minggu pertama setelah hidup. Gejala-gejala
termasuk:
a. Ikterus, kekuningan pada kulit dan mata karena tingkat bilirubin yang sangat tinggi
(pigmen empedu) dalam aliran darah.
b. Jaundice disebabkan oleh hati yang belum dewasa adalah umum pada bayi baru
lahir. Ini biasanya hilang dalam minggu pertama sampai 10 hari dari kehidupan.
Seorang bayi dengan atresia bilier biasanya tampak normal saat lahir, tapi ikterus
berkembang pada dua atau tiga minggu setelah lahir.
c. Urin gelap yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin (produk pemecahan dari
hemglobin) dalam darah. Bilirubin kemudian disaring oleh ginjal dan dibuang
dalam
urin.
d. Tinja berwarna pucat, karena tidak ada empedu atau pewarnaan bilirubin yang
masuk
ke dalam usus untuk mewarnai feses. Juga, perut dapat menjadi bengkak akibat
pembesaran hati
e. Penurunan berat badan, berkembang ketika tingkat ikterus meningkat
f. Degenerasi secara gradual pada liver menyebabkan jaundice, ikterus, dan
hepatomegali, Saluran intestine tidak bisa menyerap lemak dan lemak yang larut

17
dalam air sehingga menyebabkan kondisi malnutrisi, defisiensi lemak larut dalam
air serta gagal tumbuh.
Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
a. Gangguan pertumbuhan yang mengakibatkan gagal tumbuh dan malnutrisi
b. Gatal-gatal,
c. Rewel
d. Splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensiportal /
Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah
dari lambung, usus dan limpa ke hati)

6. Patofisiologi
Penyebab terjadinya Atresia Bilier sendiri belum diketahui secara jelas, tetapi
factor yang sering mempengaruhi adalah infeksi virus, kelainan genetic, dan anomalirogan
terjadi di 10-30% terjadi dikasus atresia bilier. Atresia bilier terjadi karena infeksi virus
yang menyebabkan terjadi proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan
progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu,
dan tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus bilier
ekstrahepatik juga menyebabkan obstruksi aliran empedu. Obstruksi saluran bilier
ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai
bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial. Obstruksi
total dapat disertai tinja yang alkoholik. Penyebab tersering obstruksi bilier ekstrahepatik
adalah : sumbatan batu empedu pada ujung bawah ductus koledokus, karsinoma kaput
pancreas, karsinoma ampula vateri, striktura pasca peradangan atau operasi.
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal
empedu dari hati ke kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan
menyebabkan cairan empedu balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema,
degenerasi hati. Dan apabila asam empedu tertumpuk dapat merusak hati. Bahkan hati
menjadi fibrosis dan cirrhosis. Kemudian terjadi pembesaran hati yang menekan vena
portal sehingga mengalami hipertensi portal yang akan mengakibatkan gagal hati.
Jika cairan empedu tersebar ke dalam darah dan kulit, akan menyebabkan rasa
gatal. Bilirubin yang tertahan dalam hati juga akan dikeluarkan ke dalam aliran darah, yang

18
dapat mewarnai kulit dan bagian putih mata sehingga berwarna kuning. Degerasi secara
gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan hepatomegaly. Karena tidak ada
aliran empedu dari hati ke dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat
diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak yaitu vitamin A, D,E,K dan gagal tumbuh
kembang pada anak.
Vitamin A, D, E, K larut dalam lemak sehingga memerlukan lemak agar dapat
diserap oleh tubuh. Kelebihan vitamin-vitamin tersebut akan disimpan dalam hati dan
lemak didalam tubuh, kemudian digunakan saat diperlukan. Tetapi mengkonsumsi
berlebihan vitamin yang larut dalam lemak dapat membuat anda keracunan sehingga
menyebabkan efek samping seperti mual, muntah, dan masalah hati dan jantung.
Pada tipe III : yang sering terjadi adalah fibrosis yang menyebabkan obliterasi yang
komplit sebagian sistim biliaris ekstra hepatal. Duktus biliaris intra hepatal yang menuju
porta hepatis biasanya pada minggu pertama kehidupan tampak paten tetapi mungkin dapat
terjadi kerusakan yang progresif. Adanya toksin didalam saluran empedu menyebabkan
kerusakan saluran empedu extrahepatis. Identifikasi dari aktivitas dari inflamasi dan
kerusakan Atresia sistim bilier ekstrahepatal tampaknya merupakan lesi yang didapat.
(Wong, 2018)

7. Komplikasi
a. Kolangitis:
komunikasi langsung dari saluran empedu intrahepatic ke usus, dengan aliran
empedu yang tidak baik, dapat menyebabkan ascending cholangitis. Hal ini terjadi
terutama dalam minggu-minggu pertama atau bulan setelah prosedur Kasai
sebanyak 30-60% kasus. Infeksi ini bisa berat dan kadang-kadang fulminan. Ada
tanda-tanda sepsis (demam, hipotermia, status hemodinamik terganggu), ikterus
yang berulang, feses acholic dan mungkin timbul sakit perut. Diagnosis dapat
dipastikan dengan kultur darah dan / atau biopsi hati.
b. Hipertensi portal
Portal hipertensi terjadi setidaknya pada dua pertiga dari anak-anak setelah
portoenterostomy. Hal paling umum yang terjadi adalah varises esofagus
c. Hepatopulmonary syndrome dan hipertensi pulmonal

19
Seperti pada pasien dengan penyebab lain secara spontan (sirosis atau prehepatic
hipertensi portal) atau diperoleh (bedah) portosystemic shunts, shunts pada
arterivenosus pulmo mungkin terjadi. Biasanya, hal ini menyebabkan
hipoksia, sianosis, dan dyspneu. Diagnosis dapat ditegakan dengan
scintigraphyparu. Selain itu, hipertensi pulmonal dapat terjadi pada anak-anak
dengan sirosis yang menjadi penyebab kelesuan dan bahkan kematian mendadak.
Diagnosis dalam kasus ini dapat ditegakan oleh echocardiography. Transplantasi
liver dapat membalikan shunts, dan dapat membalikkan hipertensi pulmonal ke
tahap semula
d. Keganasan
Hepatocarcinomas, hepatoblastomas, dan cholangiocarcinomas dapat timbul pada
pasien dengan atresia bilier yang telah mengalami sirosis. Skrining untuk
keganasan harus dilakukan secara teratur dalam tindak lanjut pasien dengan operasi
Kasai yang berhasil. Jika hasil setelah operasi gagal maka Sirosis bilier bersifat
progresif jika operasi Kasai gagal untuk memulihkan aliran empedu dan pada
keadaan ini harus dilakukan transplantasi hati. Hal ini biasanya dilakukan di tahun
kedua kehidupan, namun dapat dilakukan lebih awal (dari 6 bulan hidup) untuk
mengurangi kerusakan dari hati. Atresia bilier mewakili lebih dari setengah dari
indikasi untuk transplantasi hati di masa kanak-kanak. Hal ini juga mungkin
diperlukan dalam kasus-kasus dimana pada awalnya sukses setelah operasi Kasai
tetapi timbul ikterus yang rekuren (kegagalan sekunder operasi Kasai), atau untuk
berbagai komplikasi dari sirosis (hepatopulmonary sindrom).
(Dr. dr. Bagus Setyoboedi, SpA.K, 2020)
8. Progresis
Sebelum ditemukan transplantasi hati sebagai terapi pilihan pada anak dengan
penyakit hati stadium akhir, angka kelangsungan hidup jangka panjang pada anak penderita
Atresia Bilier yang telah mengalami portoenterostomy adalah 47-60% dalam 5 tahun dan
25-35% dalam 10 tahun. Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat
dioperasi, gambaran histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan pengalaman
ahli bedahnya sendiri. Bila operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka
keberhasilannya 71,86%, sedangkan bila operasi dilakukan pada usia > 8 minggu maka

20
angka keberhasilannya hanya 34,43%. Sedangkan bila operasi tidak dilakukan, maka
angka keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10% dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan.
Anak termuda yang mengalami operasi Kasai berusia 76 jam. Jadi, faktor-faktor
yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan operasi > 60 hari,
adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik hati, tidak adanya duktus bilier
ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi penyulit hipertensi portal. (Dewi,
Kristiana, 2010)

9. Pemeriksaan Penunjang
Secara garis besar ada 3 pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu
a. Pemeriksaan laboratorium, digunakan untuk mengetahui etiologi dan menentukan
fungsi hati seperti darah, urine dan fases atau tinja
1) Pemeriksaan urine : pemeriksaan urobilinogen ini biasanya pada pasien ikterik,
jika hasilnya negative maka terjadi adanya bendungan saluran empedu total.
2) Pemeriksaan fases : biasanya warna tinja pucat karena memberi
warna/stercobilin dalam tinja berkurang yang disebabkan karena terjadinya
sumbatan.
3) Fungsi hati : bilirubin, aminotransferase dan factor pembekuan : protombin
time, partial tromboplastin time.
b. Pencitraan
1) Pemeriksaan ultrasonografi
Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77% dan dapat
ditingkatkan bila pemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan
puasa, saat minum dam Sesudah minum. Bila pada saat atau sesudah minum
kandung empedu berkontraksi, maka atresia bilier kemungkinan (90%) dapat
disingkirkan. USG pada hati didapatkan, hati bisa membesar atau normal
dengan struktur parenhim yang inhomogen dan ekogenitas yang tinggi tertama
daerah periportal akibat fibrosis nodul-nodul cirrhosis hepatis tidak terlihat
vena porta perifer karena fibrosis tidak terlihat pelebaran duktus biliaris intra
hepatal, triangular cord didaerah porta hepatis: daerah triangular atau tubular
ekogenik lebih spesifik untuk atresia bilier extra hepatal.

21
2) Sintigrafi hati
Pemeriksaan sinigrafi system hepatobilier dengan isotop technetium 99m
mempunyai akurasi diagnostic sebesar 98,4%. Sebelum pemeriksaan dilakukan
kepada pasien diberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2
dosis selama 5 hari. Pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal tetapi
ekskresinya keusus lambat atau tidak terjadi sama sekali.
3) Liver scan (Scan Hati)
Hati scan adalah jenis khusus dari sinar x yang menggunakan zat-zat yang dapat
dideteksi oleh kamera untuk membuat gambar hati dan saluran empedu. Scan
pada liver dengan menggunakan metode HIDA (Hepatobiliary, Iminodeacetis
Acid). Hida melakukan pemotretan pada jalur empedu, menelusuri jalan
empedu dalam tubuh dan dapat menunjukkan apakah aliran empedu tersumbat.
4) Pemeriksaan kolangiografi
Pemeriksaan Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP)
merupakan prosedur pencitraan diagnostic yang lainnya. Meskipun ini Teknik
invasive jarang digunakan, hasil studi oleh Petersen et al merekomendasikan
ERCP dilakukan sebelum laparotomi pada semua pasien yang diduga memiliki
atresia biliaris. Dalam studi ini, ERCP dilakukan pada pasien kolestatis kurang
dari 6 bulan, yangdiduga memilliki penyebab kolestasis ekstrahepatik, yakni
atresia biliaris. Dalam hal ini, sensitivitas ERCP untuk mendiagnosis atresia
bilier adalah 92% dan spesifisitas adalah 73%. Pada analisis retrospektif oleh
Shanmugam dkk, ERCP memiliki nilai prediksi yang tinggi untuk atresia
biliaris pada bayi kolestasis kurang dari 100 hari.
c. Biopsi Hati
Gambaran histopatologi hati adalah alat diagnostic yang paling dapat diandalkan.
Akuratnya diagnostic ini mencapai 95%, sehingga dapat membantu mengambil
keputusan untuk melakukan laparatomi eksplorasi, dan operasi kasai.
(Difusi, 2020)

22
10. Penatalaksanaan
a. Terapi medikamentosa
1) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam
empedu (asam itokolat), dengan memberikan :
a) Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis per oral. Fenobarbital akan
merangsang enzim glukoronil transferase ( untuk mengubah bilirubin
indirek menjadi bilirubin direk ); enzim sitokrom P-450 ( untuk oksigenasi
toksin), enzim na+ K+ ATPase ( menginduksi aliran empedu).
b) Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuei jadwal
pemberian susu. Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam
empedu sekunder.
2) Melindungi hati dari zat toksik dengan memberikan
Asam ursodeoksikolat 8-12mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis peroral. Asam
ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang
hepatotoksik. Terapi Nutrisi, yang bertujuan untuk memungkinkan anak
tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin, yaitu :
a) Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT)
untuk mengatasi malabsorbsi lemak
b) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak
b. Non medikamentosa
Melakukan konsultasi. Evaluasi kolestasis neonatal dapat dilakukan di pelayanan
kesehatan primer dengan bergantung pada rehabilitasi temuan laborat orium. Tes
non-bedah dan eksplorasi bedah lainnya hanya dapat dilakukan di pusat pelayanan
Kesehatan yang berpengalaman menangani kelainan seperti ini. Dokter umum tidak
boleh menunda diagnosis atresia bilier. Bila ditemukan bayi yang dicurigai
menderita icterus obstrukti, maka harus segera di rujuk ke dokter subspesialis.
c. Terapi Bedah
Bila semua pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis atresia
bilier hasilnya meragukan, maka Fitzgerald menganjurkan laparatomi eksplorasi
pada keadaan sebagai berikut:

23
1) Bila feses tetap akolik dengan bilirubin direk> 4 mg/dl atau terus meningkat,
meskipun telah diberikan fenobarbital atau telah dilakukan uji prednison
selama 5 hari.
2) Gamma-GT meningkat > 5 kali (normal )
3) Tidak ada defisiensi alfa-1 antitripsin
4) Pada sintigrafi hepatobilier tidak ditemukan ekskresi ke usus.
d. Operasi :
1) Kasai prosedur : tujuannya untuk mengangkat daerah yang mengalami atresia
dan menyambung hepar langsung ke usus halus sehingga cairan empedu dapat
lansung keluar ke usus halus disebut juga Roux-en-Y hepatoportojejunostomy
2) Transplantasi hati : Dilakukan pada keadaan Kasai prosedur tidak berhasil ,
atresia total atau dengan komplikasi cirhosis hepatis
(Lestari, 2016)

24
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

a. Pengkajian
1. Identitas
Biasanya usia anak itu tahunya setelah 14 hari setelah berkepanjangan mengalami
icterus, lahir prematur atau berat lahir rendah
2. Keluhan utama
Biasanya pasien masuk rumah dengan keluhan ada jaundice dalam 2 minggu sampai 2
bulan pada anaknya, demam,
3. Riwayat kesehatan sekarang
Pada pasien biasanya terdapat jaundice, tinja warna pucat atau dempul, distensi
abdomen, hepatomegali, lemah, pruritus, mual muntah, bayi tidak mau minum, letargi,
urine gelap, BB bayi menurun, dan tumbuh kembang terhambat
4. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya adanya suatu infeksi yang terjadi pada anak, dimana infeksi virus atau bakteri
bermasalah dengan kekebalan tubuh si bayi
5. Riwayat Perinatal
a. Antenatal
Biasanya ibu pernah mengalami infeksi semasa hamil seperti infeksi virus rubella
b. Intranatal
Biasanya diduga saat proses kelahiran bayi terinfeksi virus atau bakteri selama
proses persalinan
c. Post natal
Biasanya anak lahir dengan berat badan rendah, selain itu diduga orang tua kurang
memperhatikan personal hygiene saat merawat atau bayinya. Selain itu kebersihan
peralatan makan dan peralatan bayi lainnya juga kurang diperhatikan oleh orang
tua ibu

25
6. Riwayat Kesehatan keluarga
Penyakit ini biasanya bukan penyakit keturunan, sehingga tidak ada hubungannya.
7. Riwayat kesehatan lingkungan
Biasanya lingkungan tempat tinggalnya berada di lingkungan perindustrian kimia
8. Riwayat tumbuh kembang anak
Biasanya anak mengalami keterlambatan dalam tumbuh kembang.
a. Tahap tumbuh
Biasanya bayi lahir dnegan berat badan yang rendah dengan panjang yang normal,
selain itu kita dapat mengukul lingkar Kepala dan lingkar perutnya, untuk anak
atresia biller biasanya normal tetapi untuk anak dengan kolestasis itu ada kelainan.
b. Tahap perkembangan
1) Perkembangan psikososial (Eric Ercson) : Trust vs. Mistrust (kepercayaan VS
ketidakpercayaan). Biasanya pada tahap ini individu benar-benar bergantung
dan mengembangkan kepercayaan berdasarkan ketergantungannya pada dan
kualitas pengasuhan orang dewasa. Apapun yang diperlukan untuk bertahan
hidup termasuk makanan, cinta, kehangatan, keamanan dan pemeliharaan. Jika
pengasuh gagal untuk memberikan perawatan dan cinta, bayi tersebut akan
merasa bahwa ia tidak dapat memercayai atau bergantung pada orang dewasa
sepanjang hidupnya
2) Perkembangan psikosexsual ( Sigmund Freud ) : Tahap Oral (0-1 Tahun)
biasanya pada tahap ini, bayi mendapatkan kesenangan dari mulutnya. Selain
menyusui, bayi akan memainkan mulutnya dengan jari misalnya, dan terus
mengeksplor bagian tersebut dengan memasukkan segala jenis benda ke
mulutnya. Menurut Freud, selama tahap pertama perkembangan ini, libido
manusia terletak di mulutnya. Artinya mulut adalah sumber utama kesenangan.
“Tahap ini terkait dengan menyusui, menggigit, mengisap, dan menjelajahi
dunia dengan memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya”.
3) Perkembangan kognitif ( Piaget ) : Tahap sensorimotor (umur 0 - 2 tahun) :
biasanya selama periode ini, bayi mengembangkan pemahaman tentang dunia
melalui koordinasi pengalaman sensorik (melihat, mendengar) dengan tindakan
motorik (menggapai, menyentuh).

26
4) Perkembangan social : biasanya bayi pada bulan pertama, perkembangan sosial
maupun emosi bayi memang masih belum terlalu nampak atau sangat terbatas.
Namun perlu diketahui bahwa si kecil sudah bisa bersosialisasi dengan sekitar
meski hanya dengan kontak mata, tangisan, maupun gerakan tubuh ketika dia
mendengar suara yang sangat tidak asing untuknya seperti suara ibu dan
ayahnya.

9. Riwayat imunisasi
Biasanya anak sudah mendapatkan imunisasi, seperti HB1, VitK, BCG, Polio dan
DPT1 atau lengkap

10. Riwayat nutrisi


Biasanya anak susah untuk minum susu, anak mengalami gangguan kenaikan BB,
karena penyerapan makanan yang tidak baik terutama vitamin larut lemak (A,D,E,K).
Kebutuhan kalori untuk usia 0-6 bulan: 550 Kkal per hari. Untuk pertambahan berat
badan ideal menggunakan rumus 8 + 2n.
BBSekarang
=  100%
Status Gizi BBideal
Klasifikasinya sebagai berikut :
➢ Gizi buruk kurang dari 60%
➢ Gizi kurang 60 % - <80 %
➢ Gizi baik 80 % - 110 %
➢ Obesitas lebih dari 120 %

11. Pemeriksaan Fisik / pengkajian persistem


a. Status kesehatan secara umum
1) Keadaan umum
Biasanya anak tampak gelisa, rewel, bb tidak naik, lemah
2) Periksa tanda-tanda vital
Biasanya RR meningkat, Nadi : takikardi, TD meningkat dan suhu meningkat

27
b. Kepala dan leher
Inspeksi : biasanya tidak ada terjadi kelainan pada bentuk kepala, rambut
tidak ada rontok, ataupun ketombe dan biasanya kulit kepala
Wajah : biasanya simetris
Mata : biasanya skelar ikterik, konjungtiva anemis, pupil miosis
Telinga : biasanya tidak ada bentuk kelainan pada telinga, pendengaran
Baik, besih
Hidung : biasanya terdapat cuping hidung,
Mulut : biasanya mukosa bibir kering, terdapat ikterik
Lidah : biasanya normal
Palpas leher : biasanya tidak terdapat pembesaran kelenjer tiroid dan limfe
c. Dada
Inspeksi : biasanya asimetris, terdapat tarikan otot bantu pernafasan dan
tekanan pada otot diafragma akibat pembesaran hati
(hepatomegali).
Palpasi : biasanya denyutan jantung teraba cepat, nyeri tekan (-)
Perkusi : jantung : biasanya terdengar dullnes
Paru : biasanya sonor
Aukultasi : biasanya terdengar suara wheezing
d. Abdomen
Inspeksi : biasanya terdapat distensi abdomen, warna ikterik, asites
Palpasi : biasanya terdapat nyeri tekan, konsistensi padat, hepatomegali (+)
Perkusi : biasanya timpani
Auskultasi : biasanya bising usus meningkat

e. Kulit : biasanya turgor kulit jelek, kulit berwarna kuning (jaundice), kulit
teraba hangat, berkeringat
f. Pola nutrisi : biasanya anoreksia, tidak toleran terhadap lemak dan makanan
pembentuk gas, dehidrasi. Mual muntah, penurunan bb
g. Pola eliminasi :
1) Urine : biasanya warna gelap seperti teh, pekat

28
2) Fases : biasanya warna pucat, diare
h. Ekstremitas : biasanya otot lemah, latergi atau kelemahanm ikterik, dan tidak
suka bergerak

12. Pemeriksaan penunjang


a. Laboratorium biasanya :
1) Bilirubindirek dalam serum meninggi
2) Nilai normal bilirubin total < 12 mg/dl
3) Bilirubin indirek serum meninggi karena kerusakan parenkim hati akibat
bendungan empedu yang luas
4) Tidak ada urobilinogen dalam urine
5) Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase alkali fosfatase
(5-20 kali lipat nilai normal) serta traksi-traksi lipid (kolesterol fosfo lipid
trigiliserol)
6) Peningkatan kadar SGOT/SGPT >10 kali dengan peningkatan gamma GT 5
kali, hal ini lebih mengarah kepada kolestasis ekstrahepatik.
7) Aminotransferase serum meningkat lebih dari 2-4 kali nilai normal, maka hal
ini menunjukkan adanya proses infeksi.
8) Pemeriksaan alkali phosphatase yang biasanya meningkat pada pasien yang
mengalami kolestasis
b. Pemeriksaan diagnostic
1) USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab kolestasis
ekstra hepatic (dapat berupa dilatasi kristik saluran empedu)
2) Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu cairan duodenum
di aspirasi. Jika tidak ditemukan cairan empedu dapat berarti atresia
empedu terjadi
3) Sintigrafi radio kolophepatobilier untuk mengetahui kemampuan hati
memproduksi empedu dan mengekskresikan ke saluran empedu sampai
tercurahke duodenum. Jika tidak ditemukan empedu diduodenum, maka
dapat berarti terjadi katresiaintrahepatik

29
4) Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklatkehijauan dan
noduler. Kandung empedu mengecilkarena kolaps. 75% penderita tidak
ditemukan lumenyang jelas

b. Diagnosa Keparawatan Teoritis


1. Hipovolemia berhubungan dengan anoreksia, mual muntah
2. Deficit nutrisi berhubungan dengan absorbsi nutrient yang buruk, mual muntah
3. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu dalam
jaringan ditandai dengan adanya pruritus, ikterik, jaundise
4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan distensi abdomen
5. Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada
duktusbilier ekstrahepatik (proses penyakit)
6. Diare berhubungan dengan malabsorbsi
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
8. Gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan malnutris

c. Rencana Tindakan Keperawatan

No Diagnosa Luaran Keperawatan Intervensi


keperawatan (SLKI) (SIKI)
1. Hipovolemia Status Cairan Manajemen Hipovelemia
Penyebab : Tujuan : Observasi :
1. Kehilangan Setelah dilakukan tindakan 1. Periksa tanda gejala
cairan aktif Kep. 3 x 24 jam diharapkan hipovelemia (mis:
2. Kekurangan keseimbangan cairain frekuensi nadi meningkat,
intake cairan membaik dengan kriteria nadi teraba lemah, tekanan
hasil : darah menurun, tekanan
1. Frekuensi nadi membaik nadi menyempit, turgor
2. TD menurun kulit menurun, membran
3. Turgor kulit membaik mukosa kering, volume
4. Membarn mukosa bibir urin menurun, hematokrit
tidak kering meningkat, haus lemah
2. Monitor intake dan ouput
cairan

Edukasi
1. Anjurkan memperbanyak
asupan cairan oral

30
2. Anjurkan menghindari
perubahan posisi mendadak

Terapeutik
1. Hitung kebutuhan cairan
2. Berikan posisi modified
trandelenburg
3. Beikan asupan cairan oral

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian cairan
IV isotons (mis. Nacl, RL)
2. Kolaborasi pemberian cairan
IV hipotonis (mis. Glukosa
2,5%, Nacl 0,4%)
3. Kolaborasi pemberian cairan
koloid (mis. Albumin,
plasmanate)
4. Kolaborasi dalam pemberian
produk darah
2. Defisit Nutrisi Status nutrisi Manajemen nutrisi
Defenisi : Setelah dilakukan tindakan Observasi :
asupan nutrisi Kep. 3 x 24 jam diharapkan 1. Identifikasi status nutrisi
tidak cukup status nutrisi meningkat 2. Identifikasi alergi dan
untuk memenuhi dengan kriteria hasil : intoleransi makanan
kebutuhan 1. Porsi makanan yang 3. Identifikasi makanan yang
metabolism dihabiskan meningkat disukai
2. BB IMT membaik 4. Identifikasi kebutuhan
Penyebab : 3. Nafsu makan membaik kalori dan jenis nutrient
1. Ketidak 4. Bising usus membaik 5. Identifikasi perlunya
mampuan penggunaan selang
mengabsorsi nasogatrik
makanan 6. Monitor asupan makan
7. Monitor BB
8. Monitor hasil pemeriksaan
lab.

Teraupetik
1. Lakukan oral hygiene
sebelum makan, jika perlu
2. Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang
sesuai
3. Berikan makanan tinggi
serat

31
4. Berikan makanan tinggi
protein dan kalori
5. Hentikan pemberian
makan melalui nasofaring

Edukasi :
1. Anjurkan posisi duduk,
jika mampu
2. Ajarkan diet yang
diprogramkan

Kolaborasi :
Kolaborasi: pemberian medikasi
sebelum makan (misalnya Pereda
nyeri, antiemetic) jika perlu
3. Gangguan Integritas kulit dan Perawatan integritas kulit
integritas kulit jaringan Observasi :
Defenisi : Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi penyebab
Kerusakan kulit Kep. 3 x 24 jam diharapkan gangguan integritas kulit
(dermis dan/atau integritas kulit dan jaringan
epidermis) atau meningkat dengan kriteria
jaringan hasil :
(membrane 1. Elastisitas meningkat Teraupetik
mukosa, kornea, 2. Kerusakan jaringan 1. Ubah posisi tiap 2 jam jika
fasia, otot, menurun tirah baring
tendon 3. Kerusakan lapisan kulit 2. Bersihkan peneal dengan
menurun air hangat, terutama
Penyebab : selama periode diare
1. Perubahan 3. Gunakan produk berbahan
status nutrisi petroleum atau minyak
2. Kekurangan pada kulit kering
atau 4. Hindari produk berbahan
kelebihan dasar alcohol pada kulit
cairan kering
3. Perubahan
sirkulasi Edukasi :
1. Anjurkan menggunakan
pelembab
2. Anjurkan minum air yang
cukup
3. Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
4. Anjurkan menghindari
terpapar suhu ekstrim

32
5. Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
secukupnya.
4. Pola nafas Pola nafas tidak efektif Pemantauan Respirasi
tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Observasi :
Defenisi : Kep. 3 x 24 jam inspirasi dan 1. Monitor pola nafas, monitor
Inspirasi atau ekspirasi yang tidak saturasi oksigen
dan/atau memberikan ventilasi adekuat 2. Monitor frekuensi, irama,
ekspirasi yang membaik dengan kriteria kedalaman dan upaya napas
tidak hasil : 3. Monitor adanya sumbatan
memberikan 1. Ventilasi semenit jalan nafas
ventilasi yang meningkat
adekuat 2. Kapasitas vital meningkat Edukasi
3. Penggunaan otot bantu 1. Jelaskan tujuan dan prosedur
Penyebab : nafas menurun pemantauan
1. Hambatan 4. Pernafasan cuping hidung 2. Informasikan hasil
upaya nafas menurun pemantauan, jika perlu
2. Deformitas 5. Tekanan ekspirasi dan
dinding dada inspirasi meningkat Terapeutik
3. Posisi tubuh 1. Atur Interval pemantauan
yang respirasi sesuai kondisi
menghambat pasien
ekspansi paru
Terapi Oksigen
Observasi
1. Monitor kecepatan aliran
oksigen
2. Monitor posisi alat terapi
oksigen
3. Monitor tanda-tanda
hipoventilasi
4. Monitor integritas mukosa
hidung akibat pemasangan
oksigen
Edukasi
1. Ajarkan keluarga cara
menggunakan O2 dirumah
Terapeutik
1. Bersihkan sekret pada mulut,
hidung dan trakea, jika perlu
2. Pertahankan kepatenan jalan
napas
3. Berikan oksigen jika perlu

Kolaborasi
1. Kolaborasi penentuan dosis

33
oksigen
5. Hipertermia Termoregulasi Managemen hipertermia
Defenisi : Setelah dilakukan tindakan Observasi :
Suhu tubuh Kep. 1 x 8 jam diharapkan 1. Identifikasi penyenan
meningkat di suhu tubuh tetap berada pada hipertemia (mis.
atas rentang rentang normal dengan Dehidrasi, terpapar
normal tubuh kriteria hasil : lingkungan panas,
1. Suhu tubuh membaik penggunaan incubator)
Penyebab : 2. Suhu kulit membaik 2. Monitor suhu tubuh
1. Proses 3. Takikardi menurun 3. Monitor kadar elektrolit
penyakit 4. Frekuensi nadi membaik 4. Monitor Haluan urine
(mis. Infeksi, 5. Monitor komplikasi akibat
kanker) hipertermia

Teraupetik :
1. Sediakan lingkungan yang
dingin
2. Longgarkan atau lepaskan
pakaian
3. Berikan cairan oral
4. Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi :
Anjurkan tirah baring

Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit melalui intravena
6. Diare Eliminasi Fekal Managemen diare
Defenisi : Setelah dilakukan tindakan Observasi :
Pengeluaran kep. 3 x 24 jam diharapakan 1. Identifakasi penyebab
fases yang eliminasi fekal membaik diare (mis: inflamasi
sering, lunak dengan kriteria hasil : gastrointestinal,
dan tidak 1. Pengeluaran fases iritasipatrointestinal,
berbentuk terkontrol membaik proses infeksi, malabsorsi,
2. Konsistensi fases ansietas, stress, efek obat-
Penyebab : membaik obatan, pemberian botol
Mal absorsi 3. Frekuensi defekasi susu)
menurun 2. Identifikasi Riwayat
4. Peristaltic usus membaik pemberian makan
3. Identifikasi gejala
invaginasi (mis. Tangisan
keras, kepucatan pada
bayi)

34
4. Monitor warna, volume,
frekuensi dan konsistensi
tinja
5. Monitor tanda gejala
hypovolemia (mis.
Takikardi, nadi teraba
lemah, tekanan darah
menurun, turgor kulit
menurun, mukosa mulut
kering, CRT, BB menurun
6. Monitor iritasi dan ulserasi
kulit didaerah perineal
7. Monitor jumlah
pengeluaran diare

Teraupetik
1. Berikan asupan cairan oral
(mis, larutan garam gila,
oralit, pedialyte, renalyte)
2. Anjurkan jalan intravena
3. Berikan cairan intravena
(mis ringer laktat, ringer
asetat) jika perlu
4. Ampil sampel darah
untuk pemeriksaan darah
lengkap dan elektrolit
5. Ambil sampel fases untuk
kultur, jika diperlukan

Edukasi
Anjurkan makan porsi kecil tapi
sering
7. Intoleransi Toleransi aktivitas Manajemen Energi
Aktivitas Setelah dilakukan tindakan Observasi :
Defenis : Kep. 3 x 24 jam diharapkan 1. Identifikasi gangguan fungsi
Ketidakcukupan toleransi aktivitas meningkat tubuh yang mengakibatkan
energi untuk dengan kriteria hasil : kelelahan
melakukan 1. Kemudahan dalam 2. Monitor pola dan jam tidur
aktivtas sehari- melakukan aktivitas 3. Monitor kelelahan fisik dan
hari sehari-hari meningkat emosional
2. Kekuatan tubuh bagian
Penyebab : atas dan bawah membaik Edukasi
kelemahan 3. Keluhan Lelah menurun 1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap

35
Terapeutik
1. Sediakan lingkungan
nyaman dan rendah stimulus
2. Lakukan latihan rentang
gerak pasif dan/atau aktif
3. Berikan aktivitas distraksi
yang menyenangkan
4. Fasilitasi duduk di sisi
tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau
berjalan

Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan
asupan makanan
8. Gangguan Status perkembangan Perawatan Perkembangan
tumbuh Setelah dilakukan tindakapn Observasi :
kembang kep. 3 x 24 status 1. Identifikasi pencapaian tugas
Defenisi : perkembangan baik dengan perkembangan anak
Kondisi individu kriteria hasil : 2. Identifikasi isyarat prilaku
mengalami 1. Keterampilan/prilaku dan fisiologis yang
gangguan sesuai usia meningkat ditunjukkan bayi
kemampuan 2. Kemampuan melakukan
bertumbuh dan perawatan diri meningkat Edukasi
berkembang 1. Jelaskan ke orang tua atau
sesuai dengan pengasuh tentang milestone
kelompok usia perkembangan dan prilaku
anak
Penyebab : 2. Anjurkan orang tua
Mal nutrisi berinteraksi dengan anaknya
3. Anjarkan anak keterampilan
berinteraksi

Terapeutik
1. Pertahankan lingkungan
yang mendukung
perkembangan optimal
2. Motivasi anak berinteraksi
dengan anak lain
3. Dukung anak
mengekpresikan diri melalui
penghargaan positif atau
umpan balik atas usahanya.
4. Bacakan cerita atau dongeng
5. Bernyanyi bersama anak

36
lagu-lagi disukai
6. Fasilitasi anak melatih
keterampilan pemenuhan
kebutuhan secara mandiri
misal : makan, sikat gigi,
cuci tangan, memakai baju
dll

Kolaborasi
1. Rujuk untuk konseling, jika
perlu

Promosi Perkembangan Anak


Observasi
1. Identifikasi kebuthan khusus
anak dan kemampuan
adaptif anak

Teraupetik
1. Dukung anak
mengekpresikan
perasaannya secara positif
2. Dukung anak dalam
bermimpi atau berfantasi
sewajarnya
3. Dukung partisipasi anak
sekolah, ekstrakulikuler dan
aktivitas komunitas
4. Berikan mainan sesuai
dengan usia anak
5. Diskusikan pada remaja dan
harapannya

Edukasi
1. Jelaskan nama-nama benda
objek yang ada
dilingkungan sekitar
2. Ajarkan sikap koperatif pada
anak bukan kompetitif
3. Ajarkan anak cara memintak
bantuan pada anak lain
4. Demonstrasikan kegiatan
yang meningkatkan
perkembangan anak pd
pengasuh

37
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Atresia Bilier adalah tidak adanya Sebagian atau seluruh ductus biliaris
sehingga menyebabkan obstruksi aliran empedu atau Kolestiasis (Keyle Terri,
2016), Atresia Biliar merupakan penyakit kongenital yang biasanya juga membawa
kongenital lainnya, seperti pada hati, limfa dan usus. Penanganan yang paling
sering diberikan adalah operasi dan transplantasi hati. Penyakit atresia bilier adalah
penyakit yang Langkah terjadi, sejak terjadi pada bilqis sejak itu semua orang
Kembali peduli atas penyakit kelainan kongenital ini.

B. Saran
Diharapkan isi dari makalah ini dapat membantu dalam memahami konsep dasar
Kolestiasis dan Atresia Bilier dan Asuhan Keperawatannya untuk membatu
menyelesaikan tugas

38
DAFTAR PUSTAKA

Theresa Kyle, Susan Carman. 2016. Essentials of Pediatric Nursing Access Code

Difusi, 2020. DIKTAT GASTROENTEROHEPATOLOGI. DIFUSI

Dr. dr. Bagus Setyoboedi, SpA.K, dr Khadijah Rizky Sumitro, M.Ked.Klin, SpA., dr. Rendi Aji
Prihaningtyas, M.Ked.Klin, SpA., dr Rayi Kurnia Perwitasari., dr Rika Hapsari,
M.Ked.Klin, SpA. 2020. Atresia Bilier. Jogjakarta : Penerbit Andi

Kementrian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun (2018). Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI; 2019.

lestari, T.2016. Asuhan keperawatan anak . Yogyakarta: Nuha medika.

PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisdan Tindakan


Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.

PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan Kreteria Hasil
Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.

Prasetyo D, Ermaya Y. (2016). Perbedaan Manifestasi Klinis dan Laboratorium Kolestasis


Intrahepatal dengan Ekstrahepatal pada Bayi. Bandung. Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Volume 48. No. 1. Pp: 45-49

Lane E, Murray KF, (2017). Neonatal Cholestasis. Seattle. Division of Gastroenterology. Seattle
Children’s Hospital. Pp: 621-635

Arief, Sjamsul. (2017). Deteksi dini kolestasis neonatal. Divisi Hepatologi Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK UNAIR. Surabaya

Prince S. A dan Wilson, Lorraine M. C. (2016). Patologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit.
Edisi 6. Vol 2. Alih Bahasa Brahm U. EGC: Jakarta

Ndraha S. (2013). Kolestasis Intrahepatik. Jakarta. CDK-2017. Volume: 40 no. 8 tahun 2013. Pp:
567-570

39
Atresia Biliar banyak yang menyatakan disebabkan oleh in- WEB OF CAUSATION KOLESTASIS EC atresia bilier
flamasi yang berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan
progresif pada ductus bilier ekstrak hepatic sehingga me-
nyebabkan hambatan aliran empedu. Ada juga para ahli Genetik : Kelainan Komponen empedu Kesalahan dalam perkembangan - infeksi virus atau bakteri
mengatakan disebabkan oleh factor infeksi virus, factor gen- kromosom abnormal hati dan empedu -Kelainan autoimun

ertik yang dikaitkan dengan kelainan kromosom trisomi 17,


18, dan 21, kelainan autoimun, komponen empedu abnormal Struktur organ empedu tidak Tidak adanya atau kecilnya
Inflamasi berkepanjangan
Merangsang kerja monosit,
dan kesalahan dalam pembentukkan hati dan empedu (Dr. dr. normal lumen pada traktus bilier
ekstrahepatik
makrofag dan sel kupffer ANGKA KEJADIAN

Bagus Setyoboedi, SpA.K, 2020). Secara umum insidensi kolestasis kurang lebih 1:25.000 ke-
Saluran empedu tidak Kerusakan progresif pada
terbentuk duktus bilier ekstrahepatik
Menghasilkan sitokimia lahiran hidup. Penyebab paling umum kolestasis pada bulan
-bulan pertama kehidupan adalah atresia bilier dapat terjadi
1:10.000 hingga 1:15.000 bayi dan hepatitis neonatal. Angka
Obstruksi aliran normal Sitokia mengaktifkan praoptik kejadian lebih sering pada bayi kurang bulan dibanding
Makanan tidak dapat terabsorsi hipotalamus
PEMERIKSAAN DIAGNOSIS Pemenuhan nutrisi yang tidak empedu dari hati ke kantong dengan bayi cukup bulan. Salah satu faktor yang menen-
Mal absorsi usus dengan baik terutama Lemak empedu dan usus
adekuat
dan vitamin larut lemak tukan prognosis atresia bilier adalah usia saat operasi
1. Pemeriksaan laboratorium partoenterostomi dilakukan (Lane, 2017)
Prostaglandin dan interleukin
2. Pemeriksaan ultrasonografi menyebabkan peningkatan
3. Sintigrafi hati Sel darah merah tidak BAB berlebihan Kekurangan vitamin larut lemak setpoin suhu
4. Liver scan (Scan Hati terbentuk (A.D.E.K)
5. Pemeriksaan kolangiografi
Atresia Bilier adalah tidak adanya Sebagian atau seluruh KOMPLIKASI
6. Biopsi Hati ductus biliaris sehingga menyebabkan obstruksi aliran ATRESIA BILIER Suhu tubuh meningkat, gelisa, 1. Pruritus
Penurunan BB, lila kurang, empedu (Keyle Terri, 2016).
Malnutris MK : DIARE
nafsu makan menurun
kulit teraba hangat 2. Hiperlidemia dan Xanthoma
TERAPI MEDIS 3. Sirosis dan gagal hati
1. Terapi medikamentosa dan non Cadangan empedu yang sedikit 4. Kolestasis Kronik
medikamentosa Anemia, kelemahan, tidak mau
MK : DEFISIT NUTRISI MK : HIPERTERMIA (Dr. dr. Bagus Setyoboedi, SpA.K, 2020 )
2. Terapi Bedah bergerak, bedrest
a. Kasai prosedur Kemampuan sintesa asam
b. Transplantasi hati empedu yang rendah
MK : GANGGUAN TUMBUH
KEMBANG
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk ke dalam
MK : GANGGUAN TUMBUH KEMBANG
Hospitalisasi
( Karena terjadi pembedahan)
KOLESTASIS duodenum dalam jumlah yang normal (Keyle Terri, 2016).
(Status Perkembangan ) PRONOSIS
TUJUAN : Setelah dilakukan tindakan Kep. 3 x 24 jam diharapkan Sebelum ditemukan transplantasi hati sebagai terapi
perkembangan membaik
Luka insisi pilihan pada anak dengan penyakit hati stadium akhir,
Perubahan Peran anak
INTERVENSI Cairan asam empedu angka kelangsungan hidup jangka panjang pada anak
Perawatan Perkembangan menumpuk di liver penderita yang telah mengalami portoenterostomy
Observasi :
1. Identifikasi pencapaian tugas perkembangan anak Nyeri di bagian operais adalah 47-60% dalam 5 tahun dan 25-35% dalam 10
kecemasan Akumulasi dari toksik
2. Identifikasi isyarat prilaku dan fisiologis yang ditunjukkan bayi
tahun , Sedangkan bila operasi tidak dilakukan, maka
Edukasi MK : NYERI AKUT Pembesaran hepar angka keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10% dan
1. Jelaskan ke orang tua atau pengasuh tentang milestone MK : ANSIETAS Pross peradangan sel hati
perkembangan dan prilaku anak (Hepatomegali dan Distensi abdomen meninggal rata-rata pada usia 12 bulan.
2. Anjurkan orang tua berinteraksi dengan anaknya Tersebar dalam darah dan kulit splenomegali)
3. Anjarkan anak keterampilan berinteraksi

Terapeutik MK : NYERI AKUT


1. Pertahankan lingkungan yang mendukung perkembangan optimal MK : ANSIETAS Gangguan suplai darah pada sel
(Tingkat Ansietas)
(Tingkat Nyeri) Perut terasa penuh Menekan diagfragma
2. Motivasi anak berinteraksi dengan anak lain hepar Kerusakan sel ekresi MK : HIPERTERMI
3. Dukung anak mengekpresikan diri melalui penghargaan positif
atau umpan balik atas usahanya. TUJUAN : Setelah dilakukan tindakan Kep. 3 x
TUJUAN : Setelah dilakukan tindakan Kep. 3 x Itching, pruritus pada kulit
24 jam tingkat nyeri menurun TUJUAN : Setelah dilakukan tindakan Kep. 1 x 8
4. Bacakan cerita atau dongeng 24 jam tingkat ansietas menurun
jam diharapkan suhu tubuh tetap berada pada
5. Bernyanyi bersama anak lagu-lagi disukai
6. Fasilitasi anak melatih keterampilan pemenuhan kebutuhan secara INTERVENSI
INTERVENSI Nafas sesak, RR , otot bantu rentang normal
Managemen Nyeri Kerusakan sel parenkim, sel Anoreksia, mual muntah
mandiri misal : makan, sikat gigi, cuci tangan, memakai baju dll Reduksi Ansietas Observasi : Retensi bilirubin tertekan nasaf INTERVENSI
Observasi : MK : GANGGUAN NTEGRITAS hati dan duktus empedu
1. Identifikasi saat lokasi, kharakteristik, Managemen hipertermia
Kolaborasi 1. Identifikasi saat tingkat ansietas berubah durasi, frekuensi, kualitas dan intensitas KULIT ekstrahepatik Observasi :
1. Rujuk untuk konseling, jika perlu 2. Identifikasi kemampuan mengambil nyeri 1. Identifikasi penyenan hipertemia (mis.
keputusan 2. Identifikasi skala nyeri Dehidrasi, terpapar lingkungan panas,
Promosi Perkembangan Anak 3. Monitor tanda-tanda ansietas 3. Identifikasi respon nyeri non-verbal Regurgitasi pada duktuli MK : POLA NAFAS TIDAK EFEKTIF
Observasi MK : HIPOVELEMIA penggunaan incubator)
4. Identifikasi faktor yang mempemberat 2. Monitor suhu tubuh
1. Identifikasi kebuthan khusus anak dan kemampuan adaptif anak Terapeutik dan meringankan nyeri Gg. Metabolisme karbohidrat, empedu intrahepatik 3. Monitor kadar elektrolit
1. Ciptakan suasana teraupetik untuk
Teraupetik menumbuhkan kepercayaan
5. Monitor efek samping penggunaan lemak, protein (A.D.E.K) 4. Monitor Haluan urine
analgetik 5. Monitor komplikasi akibat hipertermia
1. Dukung anak mengekpresikan perasaannya secara positif 2. Temanin pasien untuk mengurangi
2. Dukung anak dalam bermimpi atau berfantasi sewajarnya kecemasan, jika bisa dilakukan
3. Dukung partisipasi anak sekolah, ekstrakulikuler dan aktivitas 3. Pahami situasi yang membuat pasien
Terapeutik Bilirubin direk meningkat keluar MK : POLA NAFAS TIDAK EFEKTIF
Teraupetik :
1. Berikan teknik non-farmakologi untuk MK : HIPOVELEMIA 1. Sediakan lingkungan yang dingin
komunitas ansietas menurangi rasa nyeri di pembulu darah 2. Longgarkan atau lepaskan pakaian
4. Berikan mainan sesuai dengan usia anak 4. Dengarkan dengan penuh perhatian 2. Kontrol linkungan yang memperberat Glikogenesis Glukoneogenesi TUJUAN : Setelah dilakukan tindakan Kep. 3 x 24
TUJUAN : Setelah dilakukan tindakan Kep. 3 3. Berikan cairan oral
5. Diskusikan pada remaja dan harapannya 5. Gunakan pendekatan yang tenang dan rasa nyeri jam inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak
x 24 jam diharapkan status cairan membaik 4. Berikan oksigen, jika perlu
meyakinkan 3. Fasilitasi istirahat dan tidur memberikan ventilasi adekuat membaik
Edukasi 6. Motivasi mengidentifikasi situasi yang 4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri Sehingga kulit dan bagian putih INTERVENSI Edukasi :
1. Jelaskan nama-nama benda objek yang ada dilingkungan sekitar memicu kecemasan dalam pemilihan strategimeredakan nyeri INTERVENSI
Manajemen Hipovelemia 1. Anjurkan tirah baring
2. Ajarkan sikap koperatif pada anak bukan kompetitif mata berwarna kuning Pemantauan Respirasi
3. Ajarkan anak cara memintak bantuan pada anak lain Edukasi Observasi : Observasi :
Edukasi Glikogen dalam hepar 1. Periksa tanda gejala hipovelemia (mis: Kolaborasi :
4. Demonstrasikan kegiatan yang meningkatkan perkembangan anak 1. Jelaskan prosedur tindakan dan rasa yang 1. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu 1. Monitor pola nafas, monitor saturasi oksigen
frekuensi nadi meningkat, nadi teraba 1. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit
pd pengasuh mungkin akan dialami nyeri 2. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan
lemah, tekanan darah menurun, tekanan melalui intravena
2. Informasikan secara faktual mengenai 2. Jelaskan strategi pereda nyeri upaya napas
nadi menyempit, turgor kulit menurun, 2.
diagnosa, pengobatan, dan pronosis 3. Anjarkan teknik non-farmakologi untuk Ikterik, jaundise 3. Monitor adanya sumbatan jalan nafas
MK : DIARE 3. Anjurkan keluarga untuk tetap bersama membran mukosa kering, volume urin
meredakan rasa nyeri menurun, hematokrit meningkat, haus
pasien/orang tua Kolaborasi Edukasi
TUJUAN : Setelah dilakukan tindakan kep. 3 x 24 jam diharapakan elimi- 4. Latih kegiatan mengalihkan untuk lemah 1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
menguranggi rasa cemas
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika Glukosa dalam darah 2. Monitor intake dan ouput cairan 2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
nasi fekal membaik perlu
5. Latih teknik relaksasi MK : GANGGUAN NTEGRITAS
INTERVENSI Edukasi Terapeutik
Managemen diare
KULIT 1. Anjurkan memperbanyak asupan cairan 1. Atur Interval pemantauan respirasi sesuai
oral kondisi pasien
Observasi : Aktivitas otot dan fungsi tubuh 2. Anjurkan menghindari perubahan posisi
mendadak Terapi Oksigen
1. Identifakasi penyebab diare (mis: inflamasi gastrointestinal, terganggu
Observasi
iritasipatrointestinal, proses infeksi, malabsorsi, ansietas, stress, Terapeutik 1. Monitor kecepatan aliran oksigen
MK : GANGGUAN INTEGRITAS KULIT/JARINGAN 1. Hitung kebutuhan cairan
efek obat-obatan, pemberian botol susu) 2. Monitor posisi alat terapi oksigen
2. Berikan posisi modified trandelenburg 3. Monitor tanda-tanda hipoventilasi
2. Identifikasi Riwayat pemberian makan TUJUAN : Setelah dilakukan tindakan Kep. 3 x 24 jam 3. Beikan asupan cairan oral 4. Monitor integritas mukosa hidung akibat
diharapkan integritas kulit dan jaringan meningkat Cepat lelah, kelemahan
3. Identifikasi gejala invaginasi (mis. Tangisan keras, kepucatan pada pemasangan oksigen
Kolaborasi Edukasi
bayi) INTERVENSI 1. Kolaborasi pemberian cairan IV isotons 1. Ajarkan keluarga cara menggunakan O2
Perawatan integritas kulit (mis. Nacl, RL)
4. Monitor warna, volume, frekuensi dan konsistensi tinja dirumah
Observasi : 2. Kolaborasi pemberian cairan IV Terapeutik
5. Monitor tanda gejala hypovolemia (mis. Takikardi, nadi teraba 1. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit hipotonis (mis. Glukosa 2,5%, Nacl 1. Bersihkan sekret pada mulut, hidung dan
lemah, tekanan darah menurun, turgor kulit menurun, mukosa MK : INTOLERANSI AKTIVITAS 0,4%) trakea, jika perlu
Teraupetik 3. Kolaborasi pemberian cairan koloid 2. Pertahankan kepatenan jalan napas
mulut kering, CRT, BB menurun 1. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring (mis. Albumin, plasmanate) 3. Berikan oksigen jika perlu
2. Bersihkan peneal dengan air hangat, terutama selama 4. Kolaborasi dalam pemberian produk
6. Monitor iritasi dan ulserasi kulit didaerah perineal Kolaborasi
periode diare darah 1. Kolaborasi penentuan dosis oksigen
7. Monitor jumlah pengeluaran diare 3. Gunakan produk berbahan petroleum atau minyak pada
kulit kering
4. Hindari produk berbahan dasar alcohol pada kulit kering MK : INTOLERANSI AKTIVITAS
Teraupetik
Edukasi : TUJUAN : Setelah dilakukan tindakan Kep. 3 x 24 jam
1. Berikan asupan cairan oral (mis, larutan garam gila, oralit, pedia- 1. Anjurkan menggunakan pelembab diharapkan toleransi aktivitas meningkat
lyte, renalyte)Anjurkan jalan intravena 2. Anjurkan minum air yang cukup
3. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi INTERVENSI
2. Berikan cairan intravena (mis ringer laktat, ringer asetat) jika perlu 4. Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrim Manajemen Energi
5. Anjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya. Observasi :
3. Ampil sampel darah untuk pemeriksaan darah lengkap dan el-
1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan
ektrolit kelelahan
2. Monitor pola dan jam tidur
4. Ambil sampel fases untuk kultur, jika diperlukan
3. Monitor kelelahan fisik dan emosional

Edukasi
Edukasi
1. Anjurkan tirah baring
Anjurkan makan porsi kecil tapi sering 2. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap

Terapeutik
1. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
2. Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif
MK : DEFISIT NUTRISI 3. Berikan aktivitas distraksi yang menyenangkan
4. Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat
TUJUAN : Setelah dilakukan tindakan Kep. 3 x 24 jam diharapkan status berpindah atau berjalan
nutrisi meningkat
Kolaborasi
INTERVENSI 1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan
Manajemen nutrisi asupan makanan
Observasi :
1. Identifikasi status nutrisi
2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
3. Identifikasi makanan yang disukai
4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
5. Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogatrik
6. Monitor asupan makan
7. Monitor BB
8. Monitor hasil pemeriksaan lab.

Teraupetik
1. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
2. Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
3. Berikan makanan tinggi serat
4. Berikan makanan tinggi protein dan kalori
5. Hentikan pemberian makan melalui nasofaring

Edukasi :
1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
2. Ajarkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi :
1. Kolaborasi: pemberian medikasi sebelum makan (misalnya Pereda
nyeri, antiemetic) jika perlu DAFTAR PUSTAKA

Theresa Kyle, Susan Carman. 2016. Essentials of Pediatric Nursing Access Code
Difusi, 2020. DIKTAT GASTROENTEROHEPATOLOGI. DIFUSI
Dr. dr. Bagus Setyoboedi, SpA.K, dr Khadijah Rizky Sumitro, M.Ked.Klin, SpA., dr. Rendi Aji Prihaningtyas, M.Ked.Klin, SpA., dr
Rayi Kurnia Perwitasari., dr Rika Hapsari, M.Ked.Klin, SpA. 2020. Atresia Bilier. Jogjakarta : Penerbit Andi
Kementrian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2019.
lestari, T.2016. Asuhan keperawatan anak . Yogyakarta: Nuha medika.
PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisidan Indikator Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta:
DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisdan Tindakan Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta:
DPP PPNI.
Konsep dasar: PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan Kreteria Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Ja-
Penyebab karta: DPP PPNI.
Patofisiologi

Tanda gejala
Intervensi kep

Daftar pustaka

Diagnosa keprawatan

FITRIA DILA SARI

Anda mungkin juga menyukai