Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
KRANIOFARINGIOMA
Oleh
Nazla Farah Nazhifa
NIM. 1510015060
Dosen Pembimbing
dr. Yudanti Riastiti, M.Kes, Sp.Rad
KRANIOFARINGIOMA
Oleh
Nazla Farah Nazhifa
NIM. 1510015060
Dosen Pembimbing
dr. Yudanti Riastiti, M.Kes, Sp.Rad
ii
SURAT REKOMENDASI
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan tema
“Kraniofaringioma”. Referat ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di
Laboratorium Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Yudanti
Riastiti, M.Kes, Sp.Rad selaku dosen pembimbing klinik yang telah memberikan
banyak bimbingan, perbaikan dan saran penulis sehingga referat ini dapat
diselesaikan dengan baik. Penulis menyadari masih terdapat banyak
ketidaksempurnaan dalam referat ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan
saran demi penyempurnaan referat ini. Akhir kata penulis berharap semoga referat
ini menjadi ilmu bermanfaat bagi para pembaca.
iv
DAFTAR ISI
v
DAFTAR GAMBAR
vi
BAB I
PENDAHULUAN
Kraniofaringioma adalah tumor epitel jinak non-glial yang jarang dan tumbuh lambat
yang terletak terutama di aksis infundohypophyseal axis (daerah suprasella dan sellar) yang
muncul dari sel sisa epitel dari kantong rathke yang merupakan prekursor dari kelenjar
hipofisis anterior, mukosa mulut dan gigi (Eghosa, Hakkou, & Poluyi, 2020). World Health
Organization (WHO) mengategorikan kraniofaringioma sebagai tumor dengan gambaran
histopatologi tumor jinak grade I pada klasifikasi tumor di sistem saraf pusat (Lee, et al.,
2016). Meskipun dikatakan sebagai tumor jinak, kraniofaringioma diketahui dapat bersifat
invasif dan agresif secara lokal, dengan potensi kekambuhan yang besar terutama setelah
reseksi bedah yang tidak tuntas (Eghosa, Hakkou, & Poluyi, 2020)
Insiden kraniofaringioma berkisar 1,2 – 4,6% dari seluruh tumor intrakranial, dengan
0,5 – 2,5 kasus baru per satu juta penduduk per tahun di Amerika Serikat (Silalahi &
Djakaria, 2017). Tingkat kejadian pada penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat pada
tahun 1998 melaporkan sebesar 1,3 per satu juta orang per tahun (Zacharia, et al., 2012).
Pada tahun 2012 tingkat kejadian kraniofaringioma secara keseluruhan mencapai 1,7 kasus
per satu juta orang per tahun, dengan insiden puncak pertama pada kasus anak-anak usia 0
1
– 19 tahun sebesar 1,9% pada insiden puncak kedua pada orang dewasa 40 – 79 tahun sebesar
2,1% (Zacharia, et al., 2012).
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan secara umum mengenai kraniofaringioma. Adapun tujuan secara khususnya
adalah untuk mengetahui pemeriksaan radiologi apa saja yang dapat dilakukan dan melihat
gambaran radiologi yang khas pada kraniofaringioma sehingga dapat mempermudah
menegakkan diagnosis serta membedakan gambaran radiologi kraniofaringioma dengan
diagnosis banding lainnya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kraniofaringioma pertama kali diperkenalkan oleh Cushing pada tahun 1932 untuk
menggambarkan tumor otak jinak pada regio sella yang berasal dari sisa jaringan epitelial
dari penutupan duktus kraniofaringeal yang kurang sempurna (Silalahi & Djakaria, 2017).
Kraniofaringioma umumnya merupakan tumor yang tumbuh lambat dengan gejala klinis
yang berkembang secara diam-diam atau onset lambat (Garnett, Puget, Grill, & Sainterose,
2007). Kraniofaringioma biasanya berlokasi di suprasellar (90%) ; namun 18%
kraniofaringioma dapat meluas ke area sella dan 5% dari tumor ini murni intrasella. Tumor
juga dapat meluas ke fossa kranial anterior, middle, dan posterior. Tumor ini jarang muncul
pada lokasi yang tidak biasa seperti nasofaring, tulang spenoid, sudut cerebellopontine, dan
di dalam kiasme optik (Wang, Jiang, & He, 2001). Dalam Klasifikasi Internasional Penyakit
untuk Onkologi revisi ke-3 (ICD-O-3) nomor kode 9350 mengacu pada "kraniofaringioma
yang tidak ditentukan", sementara 9351 dan 9352 sesuai dengan dua subtipe histologis,
kraniofaringioma adamantinosa dan papiler (Garnett, Puget, Grill, & Sainterose, 2007)
2.2 Epidemiologi
Kraniofaringioma terdapat sekitar 1,2 – 4,6% dari seluruh tumor intrakranial, dengan
0,5 – 2,5 kasus baru per satu juta penduduk per tahun di Amerika Serikat (Silalahi &
Djakaria, 2017). Kraniofaringioma merupakan 5 – 10% dari tumor intrakranial pada anak-
anak, namun sekitar setengah dari kasus kraniofaringioma didiagnosis pada orang dewasa
(Eghosa, Hakkou, & Poluyi, 2020). Tumor ini memiliki distribusi usia bimodal klasik,
dengan tingkat kejadian yang meningkat dalam usia 5 hingga 14 tahun dan usia 50 hingga
74 tahun, namun tidak terdapat perbedaan statistik dalam kejadian berdasarkan jenis
kelamin, ras dan lokasi geografis (Torrez, Shafiq, & Mesfin, 2021).
2.3 Etiologi
Hipotesis utama yang mungkin dapat menjelaskan terjadinya kraniofaringioma yaitu
teori embriogenetik dan metaplastik. Pada teori embriogenetik, saat usia gestasi mencapai 4
3
minggu terjadi invaginasi dari stomadeum yaitu atap dari rongga mulut ke arah atas (Rathke
pouch) dan neuroepitel dari diensefalon ke arah bawah untuk membentuk hipofisis
(Infundibulum).
Gambar 2.1 Potongan sagital bagian kranial pada embrio manusia (Silalahi &
Djakaria, 2017)
4
2021). Pola pertumbuhan dan lokasi tumor bergantung pada lokasi asal tumor pada tangkai
hipofisis. Tumor yang berasal dari bagian distal tangkai hipofisis kemungkinan tumbuh
didalam sella. Tumor ini terletak di midline dan dapat berekstensi sampai suprasellar dan
ventrikel ketiga. Sedangkan tumor yang berasal dari proksimal akhir dari tangkai hipofisis
dapat tumbuh terutama di dalam ventrikel ketiga (Silalahi & Djakaria, 2017).
5
adamantinomatosa berdinding epitel skuamosa bertingkat mengandung keratin dan berisi
cairan yang kaya kolesterol, tebal kuning kecoklatan disebut sebagai crankcase oil (Silalahi
& Djakaria, 2017)
Kraniofaringioma papiler (PCP) umumnya terlihat pada orang dewasa dan dilapisi
oleh epitel skuamosa berdiferensiasi baik (Torrez, Shafiq, & Mesfin, 2021). Sel-sel
skuamosa bagian padat dari tumor biasanya tidak menghasilkan retikulum spongiosa di
lapisan dalam, jarang berkalsifikasi, kurang memberi gambaran keratin basah dan crankcase
oil seperti pada tipe adamantinomatosa (Silalahi & Djakaria, 2017). Kraniofaringioma
papiler berbatas tegas dibandingkan dengan tipe adamatinomatous, dan invasi ke jaringan
otak sekitarnya jauh lebih jarang (Torrez, Shafiq, & Mesfin, 2021).
2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis kraniofaringioma ditentukan oleh usia, lokasi, ukuran massa dan
arah pertumbuhan tumor. Sebagian besar kasus kraniofaringioma hadir dengan tiga
manifestasi klinis utama, yaitu kerusakan visual progresif dari efek kompresi langsung dari
massa atau tidak langsung dari peningkatan tekanan intrakranial / papilloedema,
keduatekanan intrakranial dari efek massa dan hidrosefalus, dan disfungsi endokrin yang
disebabkan oleh kompresi sumbu hipofisis-hipotalamus (Eghosa, Hakkou, & Poluyi, 2020).
Oleh karena predileksinya paling banyak di tangkai hipofisis, gejala klinis yang sering
muncul adalah gangguan penglihatan, hipopituitari dan diabetes insipidus (Silalahi &
Djakaria, 2017). Pada anak-anak sebagian besar ditemukan pertumbuhan di bawah normal,
obesitas dan pubertas yang terlambat (Torrez, Shafiq, & Mesfin, 2021)
6
Sakit kepala dan muntah merupakan gejala yang umum muncul karena kenaikan
tekanan intrakranial. Keluhan sakit kepala 80% terjadi pada pasien kraniofaringioma anak
dan 60% mengalami mual muntah. Sedangkan pada orang dewasa keluhan sakit kepala dan
mual muntah pada pasien lebih rendah (Silalahi & Djakaria, 2017).
Gangguan penglihatan merupakan gejala klinis yang sering terjadi pada pasien
kraniofaringioma dewasa, pada anak-anak jarang menyadari adanya perubahan penglihatan
dan akibatnya mereka dapat mengalami kebutaan total (Torrez, Shafiq, & Mesfin, 2021).
Gangguan penglihatan yang terjadi meliputi ketajaman penglihatan, kebutaan unilateral
ataupun bilateral, gangguan lapangan pandang, dipoplia, padangan kabur ataupun nistagmus
(Silalahi & Djakaria, 2017). Gejala ini dapat terjadi akibat penekanan dari aparatus optik
oleh tumor ataupun terjadinya atrofi optik sekunder akibat hidrosefalus obstruktif,
peningkatan tekanan intrakranial kronis dan papil edema (Silalahi & Djakaria, 2017).
7
meliputi penambahan berat badan, kelelahan, kulit kering, intoleransi dingin,
sembelit, dan kegagalan untuk berkembang.
4. Defisiensi hormon adrenokortikal (ACTH): terjadi pada 25-70% pasien pada
presentasi awal. Gejala-gejalanya mungkin halus, tetapi penurunan berat
badan, kelelahan, pusing, anoreksia, dan hipoglikemia dapat hadir.
5. Kekurangan vasopresin, juga dikenal sebagai diabetes insipidus (DI),
dilaporkan dalam sekitar 9-38% pasien yang menunjukkan gejala haus dan
buang air kecil yang meningkat
2.6 Diagnosis
Diagnosis kraniofaringioma didasarkan pada temuan klinis dan radiologis yang
kemudian dikonfirmasi oleh temuan histologi yang khas. Ciri khas kraniofaringioma pada
CT Scan yaitu terdapat gambaran klasifikasi, pembentukan kista dan peningkatan media
kontras intravena dalam massa suprasellar dan atau intrasellar (Wang, Jiang, & He, 2001).
Pemeriksaan CT Scan lebih unggul dalam mendeteksi kalsifikasi dibandingkan dengan MRI,
namun pada MRI lebih jelas dalam evaluasi perluasan tumor (Wang, Jiang, & He, 2001).
A. Pemeriksaan Neurologis
Dapat ditemukan adanya tanda-tanda peningkatan intrakranial, penglihatan ganda
horizontal dapat unilateral atau bilateral, dan papiledema (unilateral / bilateral).
Pemeriksaan lapangan pandang bisa didapatkan berbagai pola kehilangan
penglihatan yang paling sering adalah hemianopsia bitomperal akibat kompresi ke
bagian kiasma atau saluran optik (Jallo, 2017).
B. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk mengetahui fungsi kelenjar hipofisis dan hipotalamus dapat dilakukan
pemeriksaan endokrin. Adanya hipoadrenalin dan diabetes insipidus dapat
meningkatkan morbiditas karena operasi dan harus dilakukan koreksi sebelum
memulai operasi (Garnett, Puget, Grill, & Sainterose, 2007).
8
C. Pemeriksaan X-Ray Kepala
Pada pemeriksaan sinar X-Ray kepala dapat ditemukan adanya gambaran kalsifikasi
di regio uprasella. Namun hal ini tidak spesifik karena kalsifikasi yang kecil dapat
tidak terlihat.
Gambar 2.5 X-Ray Kepala memberi gambaran kalsifikasi suprasella (tanda panah)
pada pasien kraniofaringioma (Garnett, Puget, Grill, & Sainterose, 2007).
9
dinding tumor kistik kadang terlihat pada keseluruhan lesI (Silalahi & Djakaria,
2017).
10
Gambar 2.8 CT Scan coronal kepala terlihat gambaran eggshell-like
calcification (Silalahi & Djakaria, 2017)
11
rendah dan tetap hipointens pada T1 dan hiperintens pada T2 (Friedman & Gandhe,
2015).
Gambar 2.9 Gambaran CT Scan dan MRI pada pasien anak dengan
Kraniofaringioma adamantinamosa (Friedman & Gandhe, 2015)
12
Gambar 2.11 Gambaran CT Scan dan MRI pada pasien kraniofaringioma
adantinamosa usia 33 tahun (Friedman & Gandhe, 2015)
13
Gambar 2.12 Gambaran CT Scan dan MRI pada pasien
kraniofaringioma papiler usia 23 tahun (Friedman & Gandhe, 2015)
14
Gambar 2.13 Gambaran CT Scan dan MRI pada pasien kraniofaringioma
papiler usia 55 tahun (Friedman & Gandhe, 2015)
15
Gambar 2.14 Gambaran MRI Adenoma Hipofisis (Friedman & Gandhe, 2015)
16
3. Suprasellar Meningioma
Meningioma suprasellar merupakan 1% dari massa sellar, dengan massa sellar atau
suprasellar yang paling umum adalah adenoma hipofisis. Keluhan yang paling sering
muncul adalah gangguan penglihatan dan sakit kepala. Meningioma sering
menunjukkan peningkatan linier sepanjang dura, memberikan "dural tail" klasik
(Chaudhry, Raza, Naveed, & Rehman, 2021)
2.8 Penatalaksanaan
17
Ada dua manajemen penatalaksanaan utama untuk pengobatan tumor, pertama
dengan tindakan reseksi total tumor dan kedua dengan tindakan reseksi parsial yang terbatas
untuk menghilangkan tumor yang menekan jalur optik, dan dilanjutkan dengan radioterapi
(Garnett, Puget, Grill, & Sainterose, 2007). Tindakan reseksi total harus mempertimbangkan
keamanan jaringan dari sekitar tumor, sehingga tindakan ini sering sulit untuk dilakukan.
Tindakan reseksi total memiliki 10-year recurrence rate dari 0-62% dibandingkan 25-100%
pada reseksi parsial (Silalahi & Djakaria, 2017). Tantangan utama dari penatalaksaan tumor
adalah kekambuhan, dimana setelah reseksi total tingkat kekambuhan sekitar 20% dan 60%
pada reseksi parsial (Eghosa, Hakkou, & Poluyi, 2020).
Radiasi ekterna dapat dilakukan sebagai terapi adjuvan pada pasien kraniofaringioma
setelah reseksi parsial dan diharapkan dapat mengurangi komplikasi dari pembedahan serta
sebagai terapi utama pada kasus kraniofaringioma yang mengalami rekuren (Silalahi &
Djakaria, 2017). Radiasi eksterna memiliki potensi toksisitas yang dapat menyebabkan
gangguan hormonal, kognitif dan juga penurunan IQ (intelligence quotient). Teknik
konformal radioterapi seperti perencanaan tiga dimensi, intensity modulated radiotherapy,
ataupun teknik stereotaktik kemungkinan meningkatkan rasio terapeutik dengan lebih tepat
memberikan radiasi kepada tumor dan mengurangi dosis radiasi terhadap jaringan normal
sekitar. Pada komponen kraniofaringioma dengan kistik yang sulit dilakukan operasi
ataupun dilakukan radiasi eksterna dapat diberikan radiasi intrakistik untuk mengurangi atau
menghilangkan komponen kistik (Silalahi & Djakaria, 2017).
18
dipilih dikarenakan lebih fisiologis sebagai pengganti glukokortikoid seta efek sampingnya
yang minimal dan dosis yang direkomendasikan yaitu dosis awal 10 mg, lalu saat makan
siang 5 mg, dan saat pagi hari 5 mg (Nugraha, Winarka, & Budhiarta, 2017).
19
BAB III
KESIMPULAN
Kraniofaringioma adalah tumor epitel jinak non-glial yang jarang dan tumbuh lambat
yang terletak terutama di aksis infundohypophyseal axis (daerah suprasella dan sellar) yang
muncul dari sel sisa epitel dari kantong rathke (Eghosa, Hakkou, & Poluyi, 2020). Terdapat
dua jenis kraniofaringioma, yaitu kraniofaringoma adamantinomatosa dan krani-
ofaringioma papiler (Silalahi & Djakaria, 2017). Kraniofaringioma adamantinomatosa
paling sering terdapat pada anak-anak sedangkan jenis papiler paling sering terdapat pada
orang dewasa (Silalahi & Djakaria, 2017).
Manifestasi klinis kraniofaringioma ditentukan oleh usia, lokasi, ukuran massa dan
arah pertumbuhan tumor. Sebagian besar kasus kraniofaringioma hadir dengan tiga
manifestasi klinis utama, yaitu kerusakan visual progresif dari efek kompresi langsung dari
massa atau tidak langsung dari peningkatan tekanan intrakranial / papilloedema, kedua
kenaikan tekanan intrakranial dari efek massa dan hidrosefalus, dan disfungsi endokrin yang
disebabkan oleh kompresi sumbu hipofisis-hipotalamus (Eghosa, Hakkou, & Poluyi, 2020).
20
mengurangi komplikasi dari pembedahan serta sebagai terapi utama pada kasus
kraniofaringioma yang mengalami rekuren (Silalahi & Djakaria, 2017).
21
DAFTAR PUSTAKA
22