BAB 1
PENDAHULUAN
Universitas Indonesia
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan umum
Mempelajari dan menerapkan bahwa dukungan nutrisi sebagai bagian dari
tatalaksana komprehensif TB paru dengan infeksi HIV dan kaheksia.
1.2.2. Tujuan khusus
1. Mengetahui perubahan metabolisme yang terjadi pada penderita TB paru,
infeksi HIV, dan kaheksia serta pengaruhnya terhadap nutrisi.
2. Mengetahui komplikasi yang terjadi dan kaitannya dengan nutrisi dan
tatalaksana nutrisi.
3. Mengetahui peran tatalaksana nutrisi, yang meliputi pemberian makronutrien,
mikronutrien, dan nutrien spesifik.
4. Mengetahui outcome tatalaksana nutrisi.
1.3. Manfaat
1.3.1. Manfaat untuk pasien
Dukungan nutrisi pada pasien TB paru dengan infeksi HIV dan kaheksia berperan
dalam memperbaiki outcome dan kualitas hidup pasien sehingga dapat
mempercepat penyembuhan dan mempersingkat masa rawat inap.
1.3.2. Manfaat untuk institusi
Makalah serial kasus ini dapat memberikan data dan informasi, serta menjadi
referensi tambahan untuk tatalaksana nutrisi pasien TB paru dengan infeksi HIV
dan kaheksia.
1.3.3. Manfaat untuk penulis
Serial kasus ini merupakan sarana dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh
selama masa pendidikan.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Bronkiolus
terminal Otot polos
Cabang V
Cabang A Pulmonalis
Pulmonalis
Jalur
nasal
Mulut
Faring
Laring Kapiler
Trakea paru
Kantung alveolus
Bronkiolus
terminal
Secara struktural, sistem pernafasan terbagi menjadi dua yaitu saluran pernafasan
atas dan bawah. Saluran pernafasan atas meliputi hidung, rongga hidung, sinus
maksilaris dan frontalis, laring, dan trakea, sedangkan saluran pernafasan bawah
terdiri dari paru, bronkus dan alveolus. Paru merupakan alat pernapasan utama,
terletak di dalam rongga toraks di sebelah kanan dan kiri, bagian tengah
dipisahkan oleh jantung dan pembuluh darah besar, dan struktur lainnya terletak
di dalam mediastinum. Paru kanan memiliki tiga lobus dan dua lobus pada paru
kiri.12,13 Berdasarkan fungsinya, sistem pernafasan terdiri dari dua bagian, yaitu
area konduksi dan pernafasan. Area konduksi berupa saluran yang
menghubungkan dunia luar dengan bagian dalam paru, terdiri dari hidung, rongga
hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus, dan bronkiolus terminal, yang
berfungsi sebagai filter, penghangat, dan melembabkan udara, kemudian
menghantarkannya ke dalam paru. Area pernafasan terdiri atas saluran dan
5 Universitas Indonesia
Alveoli
Sirkulasi paru
Sirkulasi sistemik
Sel jaringan
2.2.2 Epidemiologi
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan sebanyak 9 juta
pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia. Kira-kira
sebanyak 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia terjadi pada
negara-negara berkembang.17 World Health Organization (WHO) Global TB
Report 2015 melaporkan bahwa pada tahun 2014 sebanyak 9,6 juta orang
menderita TB; 5,4 juta laki-laki, 3,2 juta perempuan dan 1 juta anak-anak dengan
urutan kasus terbanyak berada di India (23%), Indonesia (10%), dan Cina (10%).2
Saat ini Indonesia berada pada peringkat kelima negara dengan beban TB tertinggi
di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus menurut WHO tahun 2010 adalah
sebesar 660.000 kasus, dengan perkiraan insidens 430.000 kasus baru per tahun.
Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahunnya.18
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2.2.4 Patofisiologi TB
Mycobacterium tuberculosis merupakan salah satu bakteri paling patogen yang
terdapat dimana-mana di dunia, dengan perkiraan 1/3 populasi dunia terinfeksi
oleh basilnya dan bertanggung jawab pada 8-12 juta kasus tuberkulosis aktif
setiap tahun dengan 3 juta kematian. Hal menarik dari bukti klinis bahwa selain
adanya virulensi innate basil tuberkel itu sendiri, respons pejamu terhadap Mtb
berperan besar dalam menentukan manifestasi klinis dan outcome akhir seseorang
yang terkena patogen ini. Sebagai contoh, sebagian besar orang yang terinfeksi
basil ini tidak akan menampilkan gejala klinis. Beberapa akan berkembang
menjadi aktif berupa gangguan sistem imun yang disebabkan oleh infeksi sepeti
HIV, malnutrisi, dan atau keganasan stadium lanjut. Pengalaman klinis
menunjukkan bahwa imunitas pejamu berperan penting pada interaksi pejamu
dengan patogen yang terjadi pada sesorang yang terpajan Mtb.19
Basil tuberkel akan masuk ke dalam tubuh melalui saluran nafas dengan
menghirup droplet nuclei yang berukuran sangat kecil sehingga dapat mencapai
alveolus. Droplet yang berukuran lebih besar secara langsung akan dikeluarkan
dari saluran nafas bawah oleh barrier nasofaring dan saluran nafas atas.
Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non
spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya mampu
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Pada sebagian kecil kasus, makrofag
tidak dapat menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam
makrofag. Kemampuan makrofag dalam menghancurkan bakteri Mtb tergantung
dari faktor pejamu dan patogen. Mtb yang berproliferasi di dalam makrofag akan
menginduksi produksi sitokin proinflamasi. Kondisi inflamasi akan menginduksi
pengambilan beberapa sel monosit, neutrofil dan sel dendritik ke lokasi infeksi.
Banyaknya jumlah TNF-α berperan terhadap kontrol pertumbuhan Mtb dan
pembentukan granuloma. Terdapatnya sel imun di lokasi infeksi (sel T) dapat
menghambat proliferasi Mtb dan mencegah penyebaran infeksi. Gambaran
patogenesis tuberkulosis dapat terlihat pada gambar 2.4.20
Universitas Indonesia
Makrofag alveolus
Sel busa
Universitas Indonesia
mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler.15,20
Empat kemungkinan yang dapat terjadi saat basil masuk ke dalam paru,
yaitu respons pejamu dapat secara efektif membunuh seluruh basil, sehingga tidak
akan dapat berkembang menjadi tuberkulosis; basil dapat mulai berkembang biak
dan tumbuh dengan cepat setelah infeksi, menyebabkan penyakit klinis yang
disebut dengan tuberkulosis; basil dapat menjadi dormant dan tidak akan
menyebabkan penyakit sama sekali, disebut infeksi laten, dengan manifestasi tes
tuberkulin positif; atau basil laten dapat tumbuh dengan menampakkan penyakit
klinis, yang disebut dengan tuberkulosis reaktivasi.19
2.2.6 Tatalaksana TB
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup
dan produktivitas pasien, mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis (OAT). Obat anti tuberkulosis
harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.15,17
World Health Organization merekomendasikan obat kombinasi dosis tetap
(KDT) untuk mengurangi risiko terjadinya resisten obat akibat monoterapi.
Dengan KDT pasien tidak dapat memilih obat yang diminum, jumlah butir obat
yang harus diminum lebih sedikit sehingga dapat meningkatkan ketaatan pasien
dan kesalahan resep dokter juga diperkecil karena berdasarkan berat badan. Dosis
harian KDT di Indonesia distandarisasi menjadi empat kelompok BB 30-37 kg,
38-54 kg, 55-70 kg, dan lebih dari 70 kg.17 Jenis, sifat dan dosis OAT lini pertama
untuk dewasa dapat dilihat pada tabel 2.1.
Universitas Indonesia
Pada pasien TB hal ini menyebabkan penurunan nafsu makan, malabsorpsi zat
gizi, dan perubahan metabolisme berkaitan dengan inflamasi dan respon imun
sehingga terjadi wasting.21
Seperti halnya infeksi HIV, kecepatan metabolik atau resting energy
expenditure meningkat, sehingga kebutuhan energi meningkat untuk memenuhi
kebutuhan basal fungsi tubuh. Selain itu, asupan energi biasanya menurun oleh
karena anoreksia yang berhubungan dengan penyakit. Anoreksia juga berperan
pada terjadinya wasting pada TB. Studi kohort di Amerika pada pasien yang
terdiagnosis TB, sebanyak 45% mengalami penurunan BB dan 20% mengalami
anoreksia. Meningkatnya produksi sitokin disertai dengan proteolisis dan lipolisis
menyebabkan peningkatan keluaran energi pada TB.3,21
Malnutrisi energi-protein dan defisiensi mikronutrien meningkatkan risiko
terjadinya TB. Mekanisme imun protektif host terhadap infeksi Mtb tergantung
pada interaksi dan kerja sama antara monosit-makrofag, limfosit-T dan sitokin.
Studi eksperimental menunjukkan bahwa malnutrisi dapat menyebabkan
imunodefisiensi sekunder yang dapat meningkatkan kerentanan host terhadap
infeksi. Meningkatnya risiko TB disebabkan oleh perubahan fungsi protektif
individu, atau interaksi antara limfosit-T dan makrofag oleh karena malnutrisi.
Reaktivasi atau infeksi TB laten juga dapat berhubungan dengan terganggunya
status nutrisi. Malnutrisi protein telah diketahui sebagai faktor risiko penting
predisposisi infeksi intrasel yang dapat menyebabkan kematian.21
Pada TB paru aktif terjadi gangguan metabolisme protein. Studi di India
pada pasien TB paru malnutrisi dibandingkan dengan orang sehat berstatus nutrisi
normal. Sintesis dan pemecahan protein pada kondisi puasa tidak berbeda
bermakna antara dua kelompok. Pasien dengan TB paru lebih banyak
menggunakan protein dari makanan untuk oksidasi dan produksi energi
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Adanya kegagalan mengubah protein
dari makanan ke dalam sintesis protein endogen disebut dengan anabolic block.22
Universitas Indonesia
2.4.2 Mikronutrien
Vitamin A, C, E, B6, dan asam folat serta mineral seng, tembaga, selenium dan
besi memiliki peran dalam jalur metabolisme, fungsi selular, dan imun. Kadarnya
yang cukup atau tinggi dapat berperan pada pertahanan pejamu melawan TB.
Defisiensi dari satu atau beberapa mikronutrien dapat menurunkan resistensi
terhadap infeksi. Menurunnya asupan mikronutrien terutama vitamin A dan
vitamin/mineral antioksidan seperti provitamin A, vitamin C, E, seng dan
selenium berhubungan dengan terganggunya respons imun. Tuberkulosis dapat
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
neoplasma dapat menjadi antigen dan sel membran tubuh sendiri juga dapat
berperan sebagai self-antigen.30,31
Organ dari sistem imun diklasifikasikan menjadi organ sentral dan perifer.
Organ sentral adalah tempat sel imun diproduksi, terdiri atas sumsum tulang dan
timus. Organ perifer merupakan tempat respon imun adaptif dimulai, terdiri dari
sistem limfe, lien, mucosa associated lymphatic tissue (MALT), bronchial-
associated lymphatic tissue (BALT), dan gut-associated lymphatic tissue (GALT).
Seluruh sel sistem imun berasal dari sel stem sumsum tulang. Sel-sel imun ini,
yang sering disebut sebagai sel darah putih, terbagi menjadi tiga kelompok yaitu
makrofag/monosit, leukosit polimorfonuklear, dan limfosit. Sel stem limfoid
memproduksi sel-sel spesifik sistem imun, yaitu sel T (limfosit T) dan sel B
(limfosit B). Makrofag/monosit dan leukosit polimorfonuklear termasuk dalam
innate immune system. Natural killer cells (sel NK) dihasilkan dari sel stem
limfoid, dan bekerja sebagai komponen respon imun nonspesifik atau innate.30,31
Sel T merupakan penamaan untuk kelenjar timus, tempat sel ini matang
dan berdiferensiasi. Sebagian besar limfosit di dalam darah, nodul dan kelenjar
limfe adalah sel T. Sel T terbagi menjadi subkategori berdasarkan perannya di
dalam respon imun, termasuk diantaranya sel T-helper dan sel T sitotoksik. Sel T-
helper juga dikenal sebagai sel T4 oleh karena salah satu molekul permukaannya,
CD-4, sangat penting dalam hubungannya dengan respon imun. Molekul ini
menentukan bagaimana sistem imun akan berespon terhadap berbagai macam
antigen. Molekul CD-4 menstimulasi sel dan mengaktifkan sitokin, dan akan
berinteraksi dengan sel lainnya di dalam sistem imun, sehingga secara imunologi
aktif dan berproliferasi. Sel T-helper terbagi menjadi Th1 dan Th2. Sel Th1
mengaktivasi sistem imun selular, sedangkan sel Th2 meningkatkan produksi
antibodi. Sel T sitotoksik, yang dikenal dengan sel T8 atau CD-8 akan membunuh
target terinfeksi, tumor atau sel transplan secara langsung.30
Sel B berdiferensiasi di dalam sumsum tulang. Saat terstimulasi oleh
antigen dan sel T, sel B akan terbelah dan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan
sel B memori. Sel plasma mengandung retikulum endoplasma yang akan
memfasilitasi produksi antibodi. Sel B memori menghasilkan respons antibodi
yang cepat saat seseorang terpajan dengan antigen, dan secara normal
Universitas Indonesia
menghambat infeksi dan mencegah gejala. Antibodi yang dibentuk oleh protein
sebagai respons terhadap suatu antigen, terutama ditemukan di dalam gama
globulin serum, disebut juga dengan immunoglobulin. Terdapat lima macam
antibodi yang dibedakan dari strukturnya, yaitu IgG, IgA, IgM, IgD, dan IgE.30
2.6.2 Epidemiologi
Pada akhir tahun 2002, diperkirakan sejumlah 42 juta orang dewasa dan anak-
anak hidup dengan HIV atau AIDS. Dari jumlah ini sekitar 28,5 juta (68%)
tinggal di daerah sub Sahara Afrika dan 6 juta (14%) hidup di Asia Selatan dan
Asia Tenggara. Data jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia meningkat dari tahun
2005 yaitu sebanyak 859 kasus HIV dan 2639 kasus AIDS menjadi 21031 kasus
HIV dan 4162 kasus AIDS pada tahun 2011. Sedangkan 3 provinsi dengan jumlah
kumulatif kasus AIDS terbanyak dari tahun 1987-2011 adalah provinsi DKI
Universitas Indonesia
Jakarta sebanyak 5117 kasus AIDS, Jawa Timur 4598 kasus dan Papua 4449
kasus AIDS dengan proporsi terbanyak menurut jenis kelamin yaitu pada laki-laki
sebesar 80,8%, terbanyak pada kelompok umur 20-29 tahun (46,8%) dengan
faktor risiko terbanyak pada heteroseksual (71%).1
pembengkakan kelenjar limfe, faringitis dan mialgia. Gejala ini akan menghilang
beberapa hari hingga 4 minggu, sehingga infeksi HIV biasanya tidak terdiagnosis.
Tes serologis positif biasanya terjadi setelah 4-12 minggu setelah terinfeksi pada
lebih dari 95% pasien ―serokonversi‖ dalam waktu 6 bulan. Diagnosis infeksi HIV
pada fase akut paling baik ditegakkan dengan pemeriksaan HIV RNA dalam
plasma.33
Fase asimptomatik dapat terjadi hingga 10 tahun atau lebih. Replikasi
virus terus terjadi dan progresif namun laju replikasi lebih lambat pada periode
asimptomatik. Kadar CD-4 juga terus menurun pada periode asimptomatik,
dengan penurunan rata-rata kadar CD-4 sekitar 50/μL per tahun. Kecepatan
berkembangnya berhubungan langsung dengan jumlah RNA HIV. Pasien dengan
jumlah RNA HIV yang tinggi dalam plasma, perkembangan penyakitnya akan
lebih cepat dibandingkan yang jumlahnya lebih rendah, dan pada pasien-pasien ini
biasanya memiliki kadar RNA HIV yang sangat rendah.32
Fase simptomatik dapat timbul kapan saja selama terinfeksi HIV. Secara
umum akan terjadi penurunan kadar CD-4 lebih jauh. Komplikasi lebih berat dan
dapat mengancam nyawa akan terjadi pada pasien dengan kadar CD-4 < 200/μL.32
Kecepatan perkembangan menjadi AIDS tergantung pada karakteristik virus
maupun orang yang terinfeksi. Karakteristik virus adalah tipe dan subtipe HIV-1
dan beberapa subtipe HIV-1 bisa menyebabkan progresifitas yang lebih cepat.
Karakteristik orang yang bisa mempercepat progresi ini antara lain berumur
kurang dari 5 tahun, lebih dari 40 tahun, terdapat koinfeksi dan faktor genetik.1
Diagnosis AIDS ditegakkan bila seseorang dengan infeksi HIV dan kadar CD-4 <
200/μL dan seseorang dengan infeksi HIV yang menderita salah satu penyakit
berhubungan dengan HIV. Sekitar 60% kematian pada pasien AIDS disebabkan
oleh infeksi yang menyertai HIV antara lain pneumonia carinii, hepatitis virus,
dan infeksi bakteri lainnya.32,33
WHO telah mengembangkan sistem stadium klinis berdasarkan kriteria
klinis. Stadium klinis WHO dapat membantu untuk memperkirakan tingkat
defisiensi kekebalan tubuh pasien, sedangkan CDC mengklasifikasikan
HIV/AIDS berdasarkan kriteria kadar CD-4 dan klinis seperti yang terlihat pada
tabel 2.2 dan 2.3.1,23
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2.6.4 Diagnosis
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis infeksi HIV dan
AIDS. Tes skrining yang diakui oleh the Food and Drug Administration meliputi
pemeriksaan serum atau plasma dengan sensitivitas tinggi terhadap antibodi HIV.
Tes skrining ini berupa Enzyme Linked Immunoabsorbent Assay (ELISA) atau
“rapid test” yang dapat mengantisipasi kemungkinan infeksi HIV. Skrining dapat
diulang bila hasil tes menunjukkan reaktif dan dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan ELISA dan Enzyme Immunoassay (EIA) untuk menentukan kadar
antibodi. Pemeriksaan komprehensif yang direkomendasikan adalah pemeriksaan
untuk mendeteksi infeksi awal, kadar antibodi, antigen, dan virus RNA.
Kombinasi tes ELISA untuk antigen dan antibodi dapat mendiagnosis infeksi HIV
lebih cepat. Tes Western blot, modifikasi Western blot, Indirect
Immunofluorescent Antibody Assay (IFA) dan Line Immunoassay (LIA) dapat
digunakan sebagai pemeriksaan konfirmasi.10,32
Universitas Indonesia
2.6.5 Tatalaksana
Tatalaksana infeksi HIV meliputi pemberian antiretroviral (ARV), pencegahan
dan mengatasi infeksi oportunistik, memodulasi perubahan hormonal, dan
mempertahankan/memperbaiki status nutrisi. Tatalaksana komprehensif pada
HIV/AIDS diketahui dapat menurunkan progresivitas infeksi HIV menjadi AIDS
dan angka kematian secara signifikan. Terapi ARV bertujuan untuk mengurangi
viral load. Terdapat lima golongan ARV yaitu entry/fusion inhibitors,
nucleoside/nucleotide reverse transcriptase inhibitors dan non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitors,integrase inhibitors, dan protease inhibitors. Kombinasi
terapi ARV yang secara efektif dapat menghambat berbagai segmen siklus hidup
infeksi HIV disebut dengan “highly active antiretroviral therapy” atau HAART
terdiri dari tiga atau lebih macam obat. Rekomendasi penggunaan ARV telah
dikeluarkan oleh CDC dan diikuti oleh sebagian besar praktisi medis.10
menjadi tipis. Selain akumulasi lemak viseral, hipertrofi mammae, dan jaringan
lemak sekitar aksila, lipoma dan buffalo hump. Lipodistrofi perifer dan sentral
lebih dapat terlihat pada pemeriksaan MRI.33,35
Virus HIV dapat merusak sistem imun di usus melalui gut-associated
lymphoid tissue (GALT) yang mengandung sel imunokompeten. Salah satu
fungsi sistem imun di usus adalah untuk memisahkan bagian tubuh pejamu dari
organisme dan antigen yang bermanfaat dan yang membahayakan. Sistem imun di
usus yang kuat penting untuk mencegah invasi bakteri patogen yang dapat
menyebabkan penyakit akut, kronik, inflamasi atau alergi. Terdapat dua
mekanisme pada infeksi HIV yang dapat merusak integritas usus terkait dengan
nutrisi. Pertama, infeksi HIV itu sendiri melalui efek virus secara langsung,
menyebabkan terganggunya integritas usus dan fungsi imun GALT, sehingga
menyebabkan diare, berhubungan dengan malabsorpsi dan kehilangan
mikronutrien. Kedua, faktor dari makanan dapat merusak epitel usus,
menyebabkan kerentanan terhadap infeksi HIV, terutama melalui dinding usus,
yang biasanya terjadi pada bayi.36
Universitas Indonesia
2.8.2 Mikronutrien
Peran mikronutrien pada pencegahan dan tatalaksana infeksi HIV dan penyakit
yang berhubungan dengan HIV memerlukan perhatian lebih lanjut. Penurunan
kadar mikronutrien pada pasien HIV telah banyak diketahui diantaranya selenium,
seng, magnesium, besi, kalsium, tembaga, karoten, vitamin B6, B12, dan E.
Menurunnya kadar mikronutrien dapat memengaruhi fungsi imun, perkembangan
penyakit, kerusakan akibat stres oksidatif, dan kematian.34 Studi observasional
menunjukkan bahwa rendahnya asupan dan kadar mikronutrien di dalam darah
berhubungan dengan progresivitas penyakit HIV dan kematian lebih cepat, serta
meningkatkan risiko transmisi HIV. Pasien infeksi HIV perlu mendapatkan
asupan mikronutrien dari makanan sesuai jumlah RDA, namun jumlah ini tidak
akan mencukupi untuk memperbaiki defisiensi yang terjadi. Pasien HIV
Universitas Indonesia
2.9 Kaheksia
2.9.1 Definisi
Kaheksia berasal dari kata ‗cacos‘ (buruk) dan ‗hexis‘ (kondisi) merupakan
sindrom multifaktorial yang ditandai dengan penurunan BB, hilangnya massa otot
dan lemak, dan peningkatan katabolisme protein akibat penyakit yang
mendasarinya.8,38 Sebanyak 10-40% pasien dengan penyakit kronik seperti gagal
jantung, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), kanker, HIV/AIDS, gagal hati
dan ginjal mengalami kaheksia. Jumlah ini meliputi lebih dari 5 juta orang di
Amerika Serikat atau sebesar 2% populasi. 8
2.9.2 Patofisiologi
Inflamasi merupakan faktor terpenting yang berperan pada patogenesis kaheksia.
Sitokin berperan pada imunomodulasi dan terlibat dalam etilogi anoreksia,
penurunan BB, disfungsi kognitif, anemia, dan kerentanan tubuh. Meningkatnya
produksi sitokin proinflamasi yang berlebihan seperti IL-1, IL-2, interferon-γ, dan
TNF-α merupakan penyebab terbanyak kaheksia pada pasien dengan penyakit
akut. Sitokin akan mengaktivasi transkripsi NF-κβ yang mengakibatkan
menurunnya sintesis protein otot. Sitokin juga berperan pada menurunnya protein
MyoD, faktor transkripsi yang memodulasi jalur sinyal yang terlibat pada
pembentukan otot. Selain itu, ubiquitin proteasome pathway yang terlibat dalam
hiperkatabolisme penyakit dan menginduksi pemecahan miofibrilar melalui
mekanisme NK-κβ-dependent and independent juga teraktivasi oleh pelepasan
kortisol yang distimulasi sitokin. Sitokin juga menstimulasi katekolamin dan
meningkatkan kecepatan metabolik.8,39
Universitas Indonesia
Inflamasi
Sintesis ↓,
Pemecahan ↑
Lipolisis, β- Protein fase akut
oksidasi ↑ ↑, albumin ↓
Fatigue,
Resistensi
Testosteron ↓ Anoreksia imobilisasi insulin
Anemia
KAHEKSIA
2.9.3 Diagnosis
Suatu konsensus memberikan kriteria diagnosis untuk menegakkan diagnosis
kaheksia, dengan kriteria utama adalah kehilangan BB 5% dalam ≤ 12 bulan
terakhir. Rentang waktu penurunan BB tergantung dari penyakit yang
mendasarinya, pada kanker bisa terjadi dalam 3-6 bulan, sedangkan pada penyakit
ginjal kronik, gagal jantung atau PPOK dapat berlangsung lebih lama. Bila tidak
Universitas Indonesia
didapatkan riwayat penurunan BB, nilai IMT < 20 kg/m2 dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis. 7
Anoreksia menjadi salah satu hal yang dapat menyulitkan diagnosis
kaheksia. Anoreksia terjadi pada keadaan lain yang tidak berhubungan dengan
kaheksia seperti penggunaan obat-obat tertentu, depresi, penurunan nafsu makan
berkaitan dengan usia, dan gangguan gastrointestinal (konstipasi, pengosongan
lambung yang lambat). Oleh karena itu diagnosis kaheksia hanya dapat
ditegakkan bila ada penurunan BB disertai dengan tiga dari lima gejala seperti
yang terlihat pada tabel 2.4.7
2.9.4 Tatalaksana
Tatalaksana nutrisi ditambah dengan aktivitas fisik dapat memberikan manfaat
dari segi patofisiologi dalam hal mengurangi pemecahan protein dan memperbaiki
fungsi otot. Walaupun pasien kaheksia tidak termotivasi untuk melakukan
aktivitas fisik, bukti menunjukkan bahwa latihan ketahanan dapat memperbaiki
kekuatan otot dan lean body mass, mengurangi inflamasi dan memperbaiki
fatigue. Kaheksia merupakan kondisi hiperkatabolik dan pemberian protein
sebesar 1,5g/kgBB/hari atau 15-20% total kalori direkomendasikan untuk
melawan katabolisme. Studi mengenai pemberian suplementasi kalori atau
penambahan nutrien spesifik seperti protein whey, asam amino rantai cabang
(AARC) atau kreatin belum menunjukkan hasil konsisten.8
Obat-obatan perangsang nafsu makan seperti steroid, megestrol asetat dan
kanabinoid merupakan obat-obatan yang sudah lama dan penelitiannya sudah
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Golongan dan contoh obat Efek klinis (RCT) Hipotesis cara kerja
Antiinflamasi
Antiinflamasi non-eteroid Menurunkan penanda Menurunkan respons
inflamasi, REE dan inflamasi sistemik terhadap
memperbaiki lemak tubuh tumor
cAMP = cyclic adenosinemonophosphate, NCSC = non-small cell (lung cancer), PBMC
= peripheral blood mononuclear cells, RCT = randomised controlled trial, TNF = tumor
necrosis factor
Sumber: daftar referensi no 40
Universitas Indonesia
BAB 3
KASUS
Serial kasus ini membahas mengenai terapi nutrisi pada empat pasien TB paru
dengan infeksi HIV dan kaheksia yang dirawat di RSU Kabupaten Tangerang.
Kriteria pemilihan pasien adalah: (1) diagnosis TB paru yang ditegakkan melalui
pemeriksaan sputum, rontgen toraks, riwayat terapi OAT, (2) dilakukan
pemeriksaan laboratorium anti HIV, (3) malnutrisi berat dan masuk dalam kriteria
diagnosis kaheksia, (4) pasien yang masuk dalam kriteria skrining dan
memerlukan tatalaksana nutrisi pada skrining gizi RSU Kab Tangerang, (5) pasien
rawat inap di ruang perawatan penyakit dalam (Cempaka atau Flamboyan) RSU
Kab Tangerang, (6) lama perawatan lebih dari lima hari.
Skrining gizi telah dilakukan sebelum dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Terapi nutrisi diberikan selama pasien menjalani rawat inap dengan pemantauan
yang dilakukan meliputi penilaian subyektif, toleransi asupan, keadaan klinis,
tanda vital, pemeriksaan fisik, kapasitas fungsional, analisis asupan, dan
pemeriksaan penunjang.
36 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Selama sakit (dua minggu terakhir) asupan pasien mulai menurun, dengan
frekuensi makan besar dua kali sehari. Pagi hari pasien hanya makan roti isi
setengah potong yang dicelupkan ke dalam susu/sereal instan, dan menghabiskan
susu satu sachet. Makan siang dan sore berupa bubur nasi kira-kira setengah gelas
(belimbing), sup sayuran (wortel, kentang) dua sendok makan, kadang-kadang
dengan ayam suwir satu potong. Selama sehat dan sakit pasien jarang
mengonsumsi buah-buahan. Dalam 24 jam terakhir pasien hanya dapat
mengonsumsi setengah porsi dari makanan RS yang diberikan (bubur 1500 kkal).
Pada saat pemeriksaan pasien tampak sesak, sesekali terbatuk disertai
dengan dahak. Pasien dapat berkomunikasi dengan baik, istri pasien kadang ikut
menjawab pertanyaan yang diberikan. Nafsu makan masih menurun, ada sedikit
rasa mual. Keadaan umum tampak sakit sedang dengan kesadaran compos mentis.
Tanda vital didapatkan tekanan darah 100/70 mm Hg, nadi 90x/menit, frekuensi
pernafasan 26x/menit, dan suhu 37° C.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan rambut mudah dicabut, konjungtiva
anemis, sklera tidak ikterik, hidung terpasang nasal kanul O2 3 liter/menit. Pada
rongga mulut didapatkan kandidiasis di lidah dan oral hygiene yang buruk.
Pemeriksaan toraks terlihat iga gambang, bunyi jantung dan paru pada auskultasi
dalam batas normal. Abdomen tampak cekung, bising usus (+) normal, supel, dan
tidak ada nyeri tekan. Pada keempat ekstrimitas tidak didapatkan edema, terlihat
muscle wasting, akral hangat, dan CRT < 2 detik. Kekuatan genggaman tangan
pasien lebih lemah dari pemeriksa dengan skor indeks Barthel 9 (ketergantungan
sedang). Pemeriksaan antropometri didapatkan panjang badan 165 cm, LLA 17
cm, BB perkiraan 42 kg, dan IMT berdasarkan BB perkiraan adalah 15,4 kg/m2.
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 16 Agustus‘15 didapatkan kadar
hemoglobin (Hb) 11,6 g/dL, hematokrit 34%, leukosit 14.600/μL, trombosit
504.000/μL, natrium 132 mmol/L, kalium 3,9 mmol/L, klorida 93 mmol/L, ureum
29 mg/dL, dan kreatinin 0,6 mg/dL. Pemeriksaan albumin tanggal 19 Agustus‘15
sebesar 2,2 g/dL, SGOT 25 U/L, SGPT 18 U/L, dan anti HIV reaktif. Pemeriksaan
sputum BTA didapatkan dua kali positif. Foto toraks menunjukkan gambaran
sugestif TB paru aktif.
Universitas Indonesia
dapat menghabiskan makanan cair dan bubur dapat habis satu porsi. Sehingga
nutrisi diberikan hingga 1675 kkal (39 kkal/kgBB aktual) dan protein 1,8 g/kgBB
aktual berupa makanan cair dan makanan lunak. Kekuatan genggaman tangan
lebih kuat dari saat assessment awal, dan skor indeks Barthel di akhir pemantauan
12. Selama pemantauan mikronutrien dan nutrien spesifik tetap diberikan dengan
dosis seperti saat assessment awal. Gambaran pemantauan tanda vital dan asupan
pasien sejak sebelum sakit, sejak sakit dan selama di RS dapat terlihat pada
gambar 3.1 dan 3.2.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Assessmen I II III IV V
Suhu (°C) 37 36.6 36.5 37 37 36.8
Pernafasan (x/menit) 28 24 20 30 26 24
MAP (mmHg) 83 80 90 83 83 80
Nadi (x/menit) 88 84 84 92 88 88
Universitas Indonesia
Kkal
Gram
Universitas Indonesia
sedikit ampas, tidak ada darah atau lendir, warna coklat. Pasien tidak merasa mual
atau nyeri perut, nafsu makan menurun sejak kurang lebih 1 bulan SMRS. Pasien
sedang dalam pengobatan TB paru bulan pertama. Kadang-kadang pasien merasa
sesak dan batuk berdahak. Riwayat penurunan BB dirasakan pasien sejak kurang
lebih dua bulan yang lalu, namun pasien tidak ingat berapa banyak penurunan
berat badannya, hanya merasa bajunya lebih longgar. Ibu pasien juga mengakui
bahwa anaknya terlihat lebih kurus dalam dua bulan ini. Berat badan pasien saat
ditimbang di poli paru 32 kg. Selain itu sejak dua minggu sebelum masuk RS,
timbul bercak-bercak hitam di hampir seluruh badan pasien, tidak ada rasa gatal
atau nyeri. Pasien kemudian berobat ke puskesmas di dekat rumah dan diberi
rujukan untuk ke poli paru RSUT.
Sekitar bulan Juli 2015, pasien dirawat di RSUT dengan keluhan sesak
nafas memberat sejak seminggu sebelum masuk RS dan demam naik turun selama
kurang lebih dua minggu. Pasien dirawat di bangsal Flamboyan selama dua
minggu, dan terdiagnosis TB paru, sehingga pasien diberikan OAT selama enam
bulan. Saat dipulangkan pasien sudah tidak demam, tidak sesak, dan dapat
mengonsumsi makanan RS tiga perempat porsi (bubur). Selama di rumah pasien
masih sering merasa lemas, makan bubur hanya mau sedikit karena merasa tidak
nafsu makan.
Pada saat pemeriksaan pasien tampak lemas, diare masih ada sekitar empat
kali disertai dengan ampas, mual dan nyeri perut tidak ada. Pasien tidak sesak,
batuk, dan demam. Pasien hanya dapat menghabiskan makanan dari RS (bubur
1500 kkal) 2x setengah porsi, dan 1x tiga perempat porsi.
Dari riwayat penyakit dahulu (RPD), tidak didapatkan adanya riwayat
penyakit paru dengan pengobatan rutin sebelumnya, alergi, dan penyakit jantung.
Begitu juga dengan riwayat penyakit keluarga, tidak didapatkan riwayat penyakit
paru pada keluarga dengan pengobatan rutin, penyakit jantung, alergi, dan DM.
Kedua kakak pasien meninggal saat usia kanak-kanak karena sakit (ibu pasien
hanya mengatakan karena demam).
Pada riwayat sosial, ekonomi, dan kebiasaan diketahui bahwa pasien
lulusan SMU dan tidak bekerja. Pasien sudah menikah dan memiliki seorang anak
laki-laki usia 3 tahun. Pekerjaan suami pasien tidak jelas (sering berpindah tempat
Universitas Indonesia
kerja), dan suami pasien sudah meninggalkan pasien dan anaknya sejak dua bulan
yang lalu. Pasien tinggal bersama kedua orang tua dan neneknya di daerah
Sepatan Tangerang. Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok, tidak memiliki
riwayat menggunakan obat-obatan terlarang, memiliki tato, promiskuisitas,dan
transfusi darah. Pembiayaan pengobatan pasien menggunakan BPJS.
Sebelum sakit, pasien makan dua hingga tiga kali per hari. Biasanya pagi
hari pasien mengonsumsi nasi uduk (nasi, bihun, orek tempe, bakwan goreng) satu
bungkus atau bubur ayam beserta isinya satu mangkok. Siang hari pasien makan
nasi putih satu centong (± setengah gelas Aqua), satu butir telur ceplok atau
balado, tiga sendok makan tumis sayuran (kangkung/tauge), tahu/tempe goreng
satu potong. Di malam hari pasien sering mengonsumsi nasi satu centong dan
pecel lele (satu ekor digoreng), lalapan dan sambal. Pasien jarang mengonsumsi
buah-buahan. Sebagai makanan selingan, pasien suka jajan gorengan (dua hingga
buah), terkadang ibu pasien membuat pisang atau kacang rebus. Kadang-kadang
pasien suka minum susu bubuk coklat satu sachet (dua hingga tiga hari sekali).
Saat mulai sakit (dua bulan sebelum masuk RS), pasien hanya makan
seringnya dua kali sehari. Pagi hari pasien hanya minum susu bubuk coklat satu
sachet, dengan roti tawar satu lembar yang dicelupkan ke dalam susu. Siang hari
pasien makan bubur tiga perempat mangkok dengan lauk ayam goreng satu
potong (yang disuwir) dengan sup sayuran berisi wortel, kentang, dan buncis kira-
kira dua sampai 3 sendok makan. Malam hari terkadang pasien makan nasi
dengan pecel lele, tapi nasi hanya habis setengah porsi dari biasanya, ikan lele
dapat dihabiskan. Sejak dua minggu sebelum masuk RS (saat pasien diare),
asupan pasien makin menurun, karena pasien takut makan. Pasien hanya minum
susu bubuk coklat satu sachet dan bubur seperti saat sakit 1x. Pada 24 jam terakhir
(saat pemeriksaan), Pasien hanya dapat menghabiskan makanan dari RS (bubur
1500 kkal) 2x setengah porsi, dan 1x tiga perempat porsi.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang dan
kesadaran compos mentis. Pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah
100/70 mm Hg, frekuensi nadi 72x/menit, frekuensi nafas 20x/menit dan suhu 37°
C. Regio generalisata terlihat adanya bercak-bercak hiperpigmentasi (warna
hitam) dengan ukuran lentikuler hingga numuler dan batas tidak tegas. Pada
Universitas Indonesia
pemeriksaan kepala dan leher didapatkan konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik,
tidak terpasang selang O2 dan NGT, tidak didapatkan stomatitis atau kandidiasis
oral, dan pembesaran kelenjar getah bening (KGB). Pemeriksaan toraks
didapatkan jantung dan paru dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen
terlihat datar, bsiung usus positif normal, supel dan tidak ada nyeri tekan. Pada
ekstrimitas tidak terlihat edema, terlihat muscle wasting, akral hangat dengan
capillary refill time (CRT) > 2‖. Penilaian kapasitas fungsional menggunakan
indeks Barthel didapatkan skor 10 yaitu ketergantungan sedang dan kekuatan
genggaman tangan pasien lebih lemah dari pemeriksa.. Pemeriksaan antropometri
menggunakan BB timbang saat di poli paru yaitu 32 kg, tinggi badan 152 cm,
sehingga didapatkan indeks massa tubuh (IMT) 13,8 kg/m2.
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 27 Agustus 2015 didapatkan kadar
hemoglobin (Hb) 6,9 mg/dL, hematokrit (Ht) 35%, leukosit 5400/μL, trombosit
417.000/μL, limfosit 16%, LED 92 mm/jam, gula darah sewaktu (GDS) 108
mg/dL, SGOT 61 U/L, SGPT 22 U/L, ureum 28 mg/dL, kreatinin 0,8 mg/dL,
natrium 145 mEq/L, kalium 3,5 meq/L, klorida 115 mEq/L. Pemeriksaan foto
toraks didapatkan kesan TB paru aktif pada kedua lapang paru.
Diagnosis DPJP adalah diare kronik, TB paru dalam terapi dan suspek
alergi OAT. Terapi yang didapatkan dari DPJP utama berupa new diatab 3 x 2
tab, ambroxol 3 x 1 tab, paracetamol tab 3 x 500 mg, INH 1 x 300 mg, ceftriaxone
2 x 1 g IV, ranitidin 2 x 1 ampul, transfusi PRC 500 ml dengan premedikasi
deksametason 1 ampul IV, infus RL 20 tetes per menit.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan antropometri serta
pemeriksaan penunjang, maka diagnosis kerja gizi pada pasien ini adalah
malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang (anemia, peningkatan enzim
transaminase) pada diare kronik, TB paru dalam terapi, suspek alergi OAT. Tata
laksana nutrisi pasien dengan menghitung kebutuhan energi basal (KEB)
menggunakan rumus Harris-Benedict dengan BB aktual sebesar 1137 kkal, dan
kebutuhan energi total (KET) sebesar 1479 kkal (~1500 kkal) dengan faktor stres
1,3. Target kebutuhan protein sebesar 2 g/kgBB/hari yaitu 64 g (17% total kalori
dengan N:NPC 1:124). Kebutuhan lemak sebesar 27% yaitu 45 g, dan karbohidrat
Universitas Indonesia
diberikan sebesar 56% (210 g). Pemberian serat sebesar 14 g/1000 kkal, yaitu 21
g/hari berupa serat larut. Kebutuhan cairan pasien sekitar 1000–1300 ml/hari.
Pada assessment awal, nutrisi diberikan sesuai KEB yaitu 1100 kkal (34
kkal/kgBB), dengan protein 48 g (1,5 g/kgBB, 17% total kalori, N:NPC 1:129),
lemak 30,5 g (25% total kalori), dan karbohidrat 158,4 g (58% total kalori).
Makanan yang diberikan dalam bentuk makanan lunak dengan frekuensi 3x
makan utama dan 2x selingan berupa bubur nasi 1100 kkal dan ekstra putih telur 1
butir/hari untuk pemenuhan protein. Mikronutrien yang diberikan berupa vitamin
B kompleks 3 x 2 tablet, vitamin C tablet 2 x 50 mg, asam folat tablet 1 x 500
mcg, zink tablet 1 x 20 mg, dan omega-3 3 x 2 kapsul.
Pasien dirawat selama 11 hari, pemantauan dilakukan setiap satu hingga
dua hari melihat dari keadaan umum dan klinis pasien. Pada pemantauan pertama
dan kedua pasien dapat menghabiskan makanan yang diberikan dari RS, dan
analisis asupan sebesar 1175 kkal (36 kkal/kgBB), protein 47 g (1,46 g/kgBB,
16% total kalori, N:NPC 1:141), lemak 30 g (23% total kalori), dan karbohidrat
180 g (61% total kalori). Rencana tata laksana nutrisi pasien masih sama seperti
sebelumnya oleh karena kadar Hb masih rendah. Pada pemantauan ketiga, klinis
dan toleransi asupan baik, kadar Hb setelah transfusi 11,9 g/dL, sehingga
pemberian nutrisi ditingkatkan sesuai dengan KET yaitu sebesar 1500 kkal (47
kkal/kgBB), protein sebesar 2 g/kgBB/hari yaitu 64 g (17% total kalori dengan
N:NPC 1:124), lemak 45 g (27% total kalori, dan karbohidrat 210 g (56% total
kalori) berupa makanan lunak (bubur 1300 kkal) dan makanan cair (Peptisol 1 x
250 ml) yang diberikan pada malam hari. Hingga pemantauan kelima, klinis dan
toleransi asupan pasien semakin baik, pemberian ditingkatkan sebesar 1750 kkal
(57 kkal/kgBB), protein 72 g (2,2 g/kgBB, 16% total kalori, N:NPC 1:139), lemak
54 g (27% total kalori), dan karbohidrat 256,5 g (58% total kalori) berupa
makanan lunak (bubur 1500 kkal) dan makanan cair (Nutren Optimum 1 x 250
ml). Pada pemantauan terakhir kekuatan genggaman tangan pasien sama dengan
pemeriksa, dengan skor indeks Barthel 15 (ketergantungan ringan). Pemeriksaan
antropometri dilakukan dengan menimbang BB, didapatkan 32 kg. Pemantauan
tanda vital, dan analisis asupan pasien sebelum sakit, selama sakit dan perawatan
di RS dapat dilihat pada gambar 3.3 dan 3.4.
Universitas Indonesia
Kkal
Universitas Indonesia
Gram
mulut (kandidiasis oral), pembesaran kelenjar getah bening (KGB) tidak teraba
membesar. Pemeriksaan toraks didapatkan jantung dan paru dalam batas normal.
Pada pemeriksaan abdomen terlihat datar, bising usus positif normal, supel dan
tidak ada nyeri tekan. Pada ekstrimitas tidak terlihat edema, terlihat muscle
wasting, akral hangat dengan capillary refill time (CRT) > 2‖. Penilaian kapasitas
fungsional menggunakan indeks Barthel didapatkan skor 10 yaitu ketergantungan
sedang dan kekuatan genggaman pasien lebih lemah dari pemeriksa. Pemeriksaan
antropometri didapatkan TB 175 cm dan BB estimasi 48 kg dengan LLA 17 cm,
sehingga IMT 15,6 kg/m2.
Pada pemeriksaan laboratorium saat pasien datang ke RS, kadar Hb 10,5
mg/dL, Ht 30%, leukosit 12900/μL, trombosit 417.000/μL, limfosit 12%, LED 53
mm/jam, GDS 160 mg/dL, natrium 122 mEq/L, kalium 4,6 meq/L, klorida 115
mEq/L, dan antiHIV positif. Pemeriksaan laboratorium selanjutnya ditemukan
kadar ureum 30 mg/dL, kreatinin 0,6 mg/dL, albumin 2,0 mg/dL, dan kadar CD4
14 sel/μl. Pemeriksaan foto toraks didapatkan gambaran TB milier.
Terapi yang didapatkan dari DPJP utama berupa FDC 1 x 3 tab, Nistatin
drop 4 x 1 ml, omeprazole injeksi 1 x 40 mg, ceftriaxone injeksi 2 x 1 g, infus
NaCl 3%/24 jam dan ringer laktat 500 ml/8 jam, dengan diagnosis TB milier,
SIDA dan malnutrisi. Diagnosis kerja gizi pada pasien ini adalah malnutrisi berat,
kaheksia, hipermetabolisme sedang (anemia, leukositosis, hipoalbuminemia,
hiponatremia) pada TB milier dan SIDA.
Tata laksana nutrisi pasien dengan menghitung kebutuhan energi basal
(KEB) menggunakan rumus Harris-Benedict dengan BB aktual sebesar 1473 kkal,
dan kebutuhan energi total (KET) sebesar 2062 kkal (~2100 kkal) dengan faktor
stress 1,4. Target kebutuhan protein sebesar 1,8 g/kgBB/hari yaitu 86,4 g (17%
total kalori dengan N:NPC 1:122). Kebutuhan lemak sebesar 27% yaitu 62 g, dan
karbohidrat diberikan sebesar 56% (290 g). Kebutuhan cairan pasien sekitar
1400–1900 ml/hari.
Pada assessment awal, nutrisi diberikan sebesar 80% KEB yaitu 1200 kkal
(25 kkal/kgBB aktual), dengan protein 52,8 g (1,1 g/kgBB aktual, 17% total
kalori, N:NPC 1:123), lemak 36 g (27% total kalori), dan karbohidrat 166,2 g
(56% total kalori). Makanan yang diberikan dalam bentuk makanan cair 6x dan
Universitas Indonesia
ekstra makanan lunak 1x berupa nutren optimum 3 x 150 ml, MCRS 3 x 150 ml,
dan bubur nasi 300 kkal. Mikronutrien yang diberikan berupa vitamin B kompleks
3 x 1 tablet, vitamin C tablet 2 x 50 mg, asam folat tablet 1 x 1 mg, zink tablet 1 x
20 mg, dan omega-3 3 x 2 kapsul. Pemasangan NGT disarankan kepada DPJP
untuk pasien sebagai jalur pemberian nutrisi.
Pasien dirawat selama 15 hari, dan pulang ke rumah atas permintaan dari
keluarga. Pemantauan dilakukan setiap 1-3 hari melihat dari kondisi pasien. Pada
pemantauan pertama pasien belum dapat menghabiskan makanan yang diberikan
dari RS, sehingga planning masih sama dengan sebelumnya dan tetap diberikan
saran pemasangan NGT. Hingga pemantauan kedua NGT juga belum terpasang,
namun sesak mulai berkurang dan nafsu makan membaik. Pasien dapat
menghabiskan makanan cair dan bubur, sehingga pemberian nutrisi ditingkatkan
sesuai KEB yaitu 1500 kkal (31 kkal/kgBB aktual), protein 72 g (1,5 g/kgBB
aktual, 19% total kalori, N : NPC 1 : 110), lemak 45 g (27% total kalori), dan
karbohidrat 202 g (54% total kalori) berupa makanan cair dan makanan lunak.
Pada pemantauan ketiga keadaan umum pasien menurun, didapatkan
demam dan penurunan kesadaran, namun pasien tidak sesak. Keadaan umum
tampak sakit berat dengan kesadaran somnolen. Pemeriksaan tanda vital
didapatkan tekanan darah 100/70 mm Hg, nadi 92x/menit, suhu 38,7° C dan
pernafasan 22x/menit (dengan O2 3 liter/menit). Analisis asupan didapatkan
penurunan. Pemeriksaan laboratorium didapatkan natrium 122 mmol/L, kalium
2,8 mmol/L, dan klorida 82 mmol/L. Diagnosis DPJP adalah penurunan kesadaran
susp meningitis TB. Pasien direncanakan untuk dilakukan lumbal pungsi dan
pemasangan NGT. Kalori diberikan tetap sesuai dengan KEB dalam bentuk
makanan cair. Pada pemantauan keempat klinis pasien masih sama, tekanan darah
110/70 mm Hg, nadi 96x/menit, suhu 38,5° C, pernafasan 22x/menit. Analisis
asupan sedikit meningkat dibandingkan pemantauan sebelumnya, sehingga
pemberian nutrisi ditingkatkan 10% yaitu 1650 kkal (34 kkal/kgBB akutal),
protein 75 g (1,5 g/kgBB aktual, 18% total kalori, N : NPC 1 : 112), lemak 51,6 g
(28% total kalori), dan karbohidrat 246 g (54% total kalori), berupa MCRS 3 x
300 ml dan nutren optimum 3 x 250 ml. Pada pemantauan kelima belum ada
perubahan planning dari pemantauan sebelumnya. Hingga pemantauan terakhir,
Universitas Indonesia
Kkal
Universitas Indonesia
Gram
m
Universitas Indonesia
Dari riwayat pendidikan diketahui bahwa pasien lulusan SMU. Saat ini
pasien bekerja sebagai penjaga warung internet yang dimiliki oleh temannya.
Pasien tinggal bersama istri dan satu anak laki-laki yang masih berusia 3 tahun.
Kedua orang tua pasien masih hidup, namun sudah tidak bekerja lagi. Sejak SMP
pasien sudah mulai merokok, dan baru berhenti sekitar bulan Maret 2015 saat
mulai batuk-batuk. Dalam sehari pasien dapat menghabiskan dua bungkus rokok.
Riwayat menggunakan obat-obatan terlarang dengan jarum suntik, promiskuisitas,
membuat tato dan transfusi darah disangkal.
Pada riwayat asupan diketahui kebiasaan makan pasien saat sehat (awal
tahun) dua hingga tiga kali per hari, setiap makan berupa nasi satu sampai dua
gelas air mineral, lauk hewani seringnya telur balado atau ikan mas/lele goreng
satu potong, tempe/tahu goreng satu sampai potong, dan tumis sayuran dua
hingga tiga sendok makan. Pasien jarang mengonsumsi buah-buahan. Pasien
menyukai makanan kudapan seperti gorangan (dua sampai tiga buah), dan minum
kopi satu sampai dua gelas sehari. Sesekali pasien minum susu bubuk satu sachet.
Sejak terdiagnosis flek paru (April‘15) pola makan pasien hampir sama dengan
saat sehat, namun jumlah porsi sedikit berkurang. Sejak dua minggu yang lalu
pasien hanya makan bubur dua kali sehari ± setengah mangkok (kira-kira satu
centong), telur rebus satu butir atau ayam suwir satu potong, dan sayur sop dua
hingga tiga sendok makan. Kadang-kadang pasien minum susu bubuk satu
sachet/hari. Dalam 24 jam terakhir pasien hanya dapat menghabiskan bubur dari
RS 2x setengah porsi.
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien tampak sakit sedang dengan
kesadaran compos mentis. Pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah
100/70 mm Hg, frekuensi nadi 80x/menit, frekuensi nafas 24x/menit dan suhu 37°
C. Pemeriksaan kepala dan leher didapatkan rambut mudah dicabut, konjungtiva
anemis, sklera tidak ikterik, terpasang selang O2 dan tidak terpasang NGT, tidak
didapatkan stomatitis atau kandidiasis oral, dan pembesaran kelenjar getah bening
(KGB). Pemeriksaan toraks didapatkan jantung dan paru dalam batas normal.
Pada pemeriksaan abdomen terlihat datar, bising usus positif normal, supel dan
tidak ada nyeri tekan. Pada ekstrimitas tidak terlihat edema, terlihat muscle
wasting, akral hangat dengan capillary refill time (CRT) > 2‖. Penilaian kapasitas
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kkal
Gram
Universitas Indonesia
Riwayat penurunan 3-6 bulan terakhir (tidak 3-6 bulan terakhir (tidak 3-6 bulan terakhir (turun 3-6 bulan terakhir (tidak
BB ingat jumlah penurunan BB) ingat jumlah penurunan 9% dari BB sebelumnya) ingat jumlah penurunan
BB) BB)
Antropometri LLA 17 cm, TB 165 cm, BB BB 32 kg, TB 152 cm, IMT LLA 17 cm, TB 175 cm, LLA 13 cm, TB 165 cm,
estimasi 42 kg, IMT 15,4 13,8 kg/m2 BB estimasi 48 kg, IMT BB estimasi 32 kg, IMT
kg/m2 15,6 kg/m2 11,7 kg/m2
Kapasitas fungsional Indeks Barthel Indeks Barthel Indeks Barthel Indeks Barthel
ketergantungan sedang, ketergantungan sedang, ketergantungan sedang, ketergantungan sedang,
kekuatan genggaman tangan kekuatan genggaman kekuatan genggaman kekuatan genggaman
lebih lemah dari pemeriksa tangan lebih lemah dari tangan lebih lemah dari tangan lebih lemah dari
pemeriksa pemeriksa pemeriksa
Hasil laboratorium Hb 11,6 g/dL, Lek 14600/μL Hb 6,9 g/dL SGOT 60 U/L, Hb 10,5 g/dL, Lek Hb 8,7 g/dL, SGOT 47 U/L,
Na 132 meq/L, Alb 2,2 g/dL, anti HIV (-) 12900/μL, Na 122 meq/L, Na 124 meq/L, Alb 2,6
anti HIV (+) Alb 2,0 g/dL, anti HIV g/dL, anti HIV (-)
(+)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 4
PEMBAHASAN
Terapi nutrisi telah diberikan pada empat pasien serial kasus yang dirawat di
bangsal Cempaka RSU Kab Tangerang dengan diagnosis gizi medik malnutrisi
berat, kaheksia, pada TB paru, dua dari empat pasien disertai dengan infeksi
HIV/AIDS. Malnutrisi sering ditemui pada pasien TB paru. Skrining gizi
dilakukan menggunakan format skrining gizi RSU Kab Tangerang, dengan
metode modifikasi Malnutrition Universal Screening Tool (MUST). Malnutrition
Universal Screening Tool merupakan metode skrining yang praktis, cepat, mudah
digunakan dan valid untuk mengidentifikasi pasien yang memiliki risiko
malnutrisi. Miyata dkk9 melalui studinya menyatakan bahwa MUST merupakan
metode skrining yang valid dan dapat dipercaya untuk digunakan pada pasien TB
paru, selain itu MUST dapat digunakan sebagai indikator prognosis ketahanan
hidup pada pasien TB paru.
Pada keempat pasien didapatkan gejala sesak nafas, batuk berdahak,
lemas, penurunan nafsu makan dan riwayat penurunan BB. Sebagian mengalami
keringat malam, meriang/demam hilang timbul, dan pada pasien kedua didapatkan
riwayat diare. Gejala-gejala yang terdapat pada pasien sesuai dengan gejala umum
TB. Semua pasien dilakukan pemeriksaan sputum BTA, namun hanya pada kasus
pertama yang menunjukkan hasil BTA positif. Pada kasus.lainnya diagnosis TB
paru ditegakkan berdasarkan anamnesis, riwayat terapi TB paru sebelumnya,
gejala dan pemeriksaan klinis, pemeriksaan penunjang foto toraks yang semuanya
memberikan gambaran TB paru.
Seluruh pasien dalam kasus ini memiliki status nutrisi malnutrisi berat.
Diagnosis malnutrisi ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya riwayat
penurunan BB dan penurunan nafsu makan dalam empat bulan terakhir. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan rambut mudah dicabut, konjungtiva anemis, iga
gambang pada toraks, muscle wasting, dan penurunan kekuatan otot yang dilihat
dari kekuatan genggaman tangan pasien, serta interpretasi skor indeks Barthel
59 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
yang berat dengan kemungkinan pneumonia pada pasien pertama dan meningitis
pada pasien ketiga, tampaknya kedua pasien ini sudah dalam fase simptomatik,
mengarah ke fase lanjutan/AIDS. Selain itu pemeriksaan kadar CD-4 pada pasien
ketiga < 200/ μL, sehingga dapat didiagnosis sebagai AIDS.1,32,23
Pada pasien kedua dan keempat juga dilakukan pemeriksaan anti HIV,
namun hasilnya negatif. Faktor risiko infeksi HIV pada pasien kedua belum dapat
disingkirkan oleh karena pasien memiliki riwayat ditinggal oleh suaminya, dengan
pekerjaan suami tidak jelas. Pasien keempat juga menyangkal adanya faktor risiko
terkait infeksi HIV. Pada kedua pasien ini perlu dilakukan pemeriksaan serologis
ulang atau tes konfirmasi. Laboratorium RSUT menggunakan metode ELISA
untuk pemeriksaan anti HIV, sehingga perlu dilakukan tes ulang atau dilakukan
tes konfirmasi menggunakan metode Western blot.10,32
Koinfeksi tuberkulosis dan HIV memberikan gambaran lebih kompleks
patofisiologi malnutrisi, sehingga manifestasinya lebih berat dibandingkan dengan
tuberkulosis atau HIV sendiri. Kombinasi koinfeksi TB/HIV dan malnutrisi
disebut dengan ―triple trouble‖.3,6 Perubahan terkait nutrisi pada TB, infeksi HIV
atau kombinasi TB dan HIV meliputi peningkatan keluaran energi, malabsorpsi
zat gizi, defisiensi mikronutrien, dan meningkatnya produksi sitokin proinflamasi
disertai dengan aktivitas lipolisis dan proteolisis. Walaupun hubungan antara
malnutrisi dan koinfeksi TB dan HIV telah diketahui, perbaikan status nutrisi
masih belum jelas dapat menurunkan risiko berkembangnya penyakit aktif atau
membaiknya outcome klinis selama pengobatan. Meskipun telah diberikan
pengobatan adekuat, morbiditas dan mortalitas pada pasien TB tetap tinggi,
terutama dengan koinfeksi HIV.6
Adanya penyakit infeksi kronik seperti halnya TB paru dan HIV/AIDS
disertai dengan penurunan BB dapat menyebabkan kaheksia. Kaheksia secara
langsung memengaruhi ketahanan hidup, kualitas hidup, dan aktivitas fisik.
Diagnosis kaheksia pada keempat pasien ini ditegakkan berdasarkan riwayat
penurunan BB dalam ≤ 12 bulan terakhir disertai penyakit yang mendasari,
ditambah dengan tiga gejala yaitu menurunnya kekuatan otot, anoreksia, dan pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia dan hipoalbuminemia (pada tiga
pasien).7
Universitas Indonesia
Hingga saat ini berbagai jalur yang terlibat dalam perkembangan kaheksia
telah banyak dipelajari dan masih banyak mekanisme yang belum diketahui.
Inflamasi sistemik dan meningkatnya kadar TNF-α di dalam darah berperan pada
berbagai penyakit disertai dengan atrofi otot. Sitokin proinflamasi dapat
menginduksi katabolisme otot dan proteolisis otot rangka. Konferensi kaheksia
ke-7 di Jepang tahun 2013 menyebutkan bahwa GDF-15, miostatin, jalur ubiquitin
proteasome-dependent, valosin terlibat dalam proses wasting. Berbagai macam
golongan obat juga diketahui dapat mengatasi kaheksia, namun masih diperlukan
studi lebih lanjut untuk mengevaluasi mekanisme dan efek jangka panjang.41
Pada keempat pasien ini, terapi yang diberikan untuk tatalaksana kaheksia
adalah EPA dan AARC. Alasan pemberian golongan terapi ini adalah
ketersediaannya pada RS setempat. Sumber EPA didapatkan dari suplementasi
kapsul omega-3 dan AARC dari bahan makanan sumber. Bahan makanan sumber
AARC pada pasien didapatkan dari susu nutren optimum yang setiap sajiannya
mengandung 2,1 g, sehingga rata-rata pasien mendapatkan sekitar 5-6 g AARC
per hari dari makanan cair dan bahan makanan sumber lainnya (telur, ayam).
Berbagai studi percobaan klinis memberikan AARC dengan dosis 5-11 g/hari
pada pasien kanker dan pembedahan.42 Asam amino rantai cabang, terutama
leusin, telah diketahui bermanfaat dalam sintesis protein otot.8 Peran AARC
sebagai agen oreksigenik untuk menurunkan masuknya triptofan otak melalui
sawar darah otak, sehingga menurunkan sintesis serotonin hipotalamus. Asam
amino rantai cabang juga memiliki efek antikatabolik dengan meningkatkan
sintesis protein dan menghambat jalur proteolitik intrasel. β-hidroksi-β-
metilbutirat (HMB) yang merupakan metabolit leusin, diketahui memiliki
efektifitas tinggi dalam menghambat degradasi protein otot.43
Sumber EPA pada pasien hanya didapatkan dari suplementasi kapsul
omega-3. Inflamasi merupakan mekanisme yang mendasari terjadinya kaheksia,
obat-obatan antiinflamasi untuk menekan produksi sitokin inflamasi menjadi
pilihan utama, namun belum ada yang menunjukkan manfaatnya dengan
konsisten. Didapatkan beberapa bukti bahwa asupan tinggi asam lemak omega-3
dapat memperbaiki fungsi otot rangka pada penyakit paru obstruktif kronik
44
(PPOK), namun studi ini tidak menggunakan subyek dengan kaheksia saja.
Universitas Indonesia
Pemberian EPA telah banyak diteliti perannya pada pasien kanker dan kaheksia
kanker, diketahui dapat meningkatkan dan mempertahankan BB, menurunkan
inflamasi, mencegah kaheksia serta memperbaiki status fungsional dan
meningkatkan kualitas hidup. Secara khusus EPA telah menunjukkan dapat
menghambat aktivitas proteolisis melalui jalur ubiquitin-proteasome-dependent,
sehingga mengurangi wasting. Studi percobaan klinis terhadap pasien malnutrisi
EPA menurunkan kadar proteolysis inducing factor (PIF) dalam urin dan
meningkatkan BB. Antiinflamasi di dalam omega-3 diketahui dapat meningkatkan
BB dan lean body mass yang terlihat pada pasien kanker setelah diberikan
suplementasi EPA.43
Peran terapi anabolic agent pada pasien HIV dengan malnutrisi telah
banyak dipelajari. ESPEN menyebutkan bahwa pada pasien dengan HIV positif
dengan defisiensi testosteron direkomendasikan mendapatkan substitusi
testosteron untuk memperbaiki massa otot. Kenaikan BB dan massa bebas lemak
dapat dicapai dengan pemberian recombinant GH, namun harganya mahal. Selain
itu pada pasien HIV dengan malnutrisi, steroid anabolik (oksimetolon 100
mg/hari) diketahui dapat meningkatkan BB, massa otot dan parameter fungsional.
Megestrol asetat dosis tinggi dapat meningkatkan nafsu makan dan BB, serta
talidomid dapat menurunkan proinflamasi dan berhubungan dengan peningkatan
BB.35
Anemia didapatkan pada keempat pasien dalam kasus ini. Pada pasien TB,
sebanyak 32-94% disertai dengan anemia. Anemia defisiensi besi dan anemia
penyakit kronik merupakan yang paling banyak ditemukan.45 Anemia defisiensi
besi dapat disebabkan oleh perdarahan kronik, kehilangan melalui urin, serta
asupan dan absorpsi yang kurang. Menurunnya kadar besi di dalam darah pada
anemia defisiensi besi dapat menghambat eritropoiesis. Anemia penyakit kronik
merupakan sindrom klinis yang ditemukan pada pasien infeksi seperti TB,
penyakit inflamasi, autoimun, dan keganasan, ditandai dengan anemia normositik
hipokrom dan mikrositik hipokrom. Pada penyakit kronik, adanya inflamasi
menyebabkan makrofag melepaskan IL-6, yang akan menginduksi hepatosit
memproduksi hepsidin. Hepsidin akan menghambat pelapasan besi di makrofag
dan menghambat absorpsi besi di usus sehingga mengakibatkan defisiensi besi.46
Universitas Indonesia
Mekanisme lain yang dapat menyebabkan anemia pada penyakit kronis adalah
sitokin dan sel di dalam sistem retikuloendotelial mengubah hemostasis besi,
proliferasi sel pendahulu eritroid, produksi eritropoietin dan masa hidup
eritrosit.47 Belum banyak studi yang dapat menyatakan jenis anemia pada TB
paru. Studi Oliveira dkk45 menyimpulkan bahwa pada prevalensi anemia lebih
tinggi pada pasien TB paru dengan malnutrisi.
Sebagian besar pasien memiliki kadar limfosit yang rendah (dibawah
20%) dan nilai total lymphocyte count (TLC) dibawah 1200 sel/mm3. Kadar TLC
diketahui memiliki hubungan kuat dengan CD-4, sehingga nilai TLC dapat
digunakan untuk memperkirakan kadar CD-4 bila pemeriksaan CD-4 tidak dapat
dilakukan/tidak tersedia. Studi observasional di India menyebutkan bahwa
sensitivitas dan spesifisitas nilai TLC 1200 sel/mm3 sebesar 72% dan 100% untuk
memprediksi kadar CD-4 < 200 sel/mm, nilai TLC 1500 sel/mm3 memiliki
sensitivitas dan spesifisitas 97% dan 100% untuk memprediksi kadar CD-4 200-
499 sel/mm3, dan kadar TLC 1900 sel/mm3 diketahui memiliki sensitivitas dan
spesifisitas 98% dan 100% untuk memprediksi kadar CD-4 ≥ 500 sel/mm3.48
Studi observasional di Bali menyimpulkan bahwa kombinasi nilai TLC dan kadar
Hb dapat meningkatkan akurasi diagnosis TLC sebesar 11,9% dalam memprediksi
imunodefisiensi berat pada penderita HIV sehingga dapat digunakan sebagai
penanda pengganti jumlah limfosit CD-4 dalam memulai terapi ARV pada daerah
yang tidak memiliki fasilitas untuk pemeriksaan kadar CD-4 dan viral load.49
Pada keempat pasien dalam kasus ini didapatkan hipoalbuminemia.
Albumin merupakan protein plasma yang diproduksi oleh hati yang berperan
dalam berbagai proses fisiologis, antara lain vasodilatasi, apoptosis sel endotel,
dan reaksi antioksidan. Seseorang dengan kondisi malnutrisi, inflamasi kronik,
enteropati dan penyakit hati memiliki kadar albumin yang rendah. Kadar albumin
dalam darah dapat menjadi indikator status kesehatan, dan studi menunjukkan
bahwa kadar albumin yang rendah merupakan prediktor kuat pada kematian
penyakit akut dan kronik. Pasien yang terinfeksi Mtb secara imunologi ditandai
dengan respons fase akut dan reaksi inflamasi sistemik dapat menurunkan kadar
albumin dalam darah.51 Studi Alvares-Uria dkk52 menyatakan bahwa pemeriksaan
albumin dalam darah dapat digunakan sebagai penanda diagnosis pasien TB
Universitas Indonesia
dengan infeksi HIV yang memiliki indikasi terapi ARV. Kadar albumin < 3,2
g/dL berhubungan dengan 85% spesifisitas dan meningkatnya risiko kematian
pada pasien TB.
Hiponatremia didapatkan pada sebagian besar pasien-pasien ini.
Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit paru yang dapat menginduksi
hiponatremia melalui beberapa mekanisme, antara lain invasi lokal pada kelenjar
adrenal, hipotalamus atau kelenjar pituitari, meningitis TB, dan gangguan sekresi
hormon antidiuretik (ADH). Insidens hiponatremia berat diperkirakan sebesar
1,1% pasien rawat inap dan TB paru merupakan penyebab terbanyak. Beberapa
studi menyatakan bahwa syndrome of inappropriate antidiuretic hormone
secretion (SIADH). Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion
merupakan salah satu komplikasi dari infeksi paru, penyakit inflamasi dan
keganasan, meskipun prevalensi dan mekanismenya belum jelas. Suatu studi
melaporkan bahwa hiponatremia sebagai akibat dari SIADH pada pasien TB paru,
adanya peningkatan kadar hormon antidiuretik dan hiponatremia pada TB paru
merupakan indikator produksi ADH ektopik.53 Pasien dengan hiponatremia
memiliki risiko kematian lebih tinggi. Sharma dkk54 menyatakan hiponatremia
sebagai prediktor perkembangan dan outcome pada pasien ARDS yang
disebabkan oleh TB paru. Angka kejadian hiponatremia pada pasien AIDS dengan
TB paru lebih tinggi, yaitu sebesar 60%.53
Dukungan nutrisi perlu diberikan pada pasien koinfeksi TB/HIV dengan
malnutrisi.7 World Health Organization merekomendasikan bahwa seluruh pasien
TB harus mendapatkan tatalaksana nutrisi oleh karena adanya hubungan kausal
antara malnutrisi dan TB. Skrining, assessment dan tatalaksana nutrisi menjadi
bagian integral dari tatalaksana TB.5 Tatalaksana komprehensif termasuk
dukungan nutrisi pada HIV/AIDS diketahui dapat menurunkan progresivitas
infeksi HIV menjadi AIDS dan angka kematian secara signifikan.10 Beberapa
rekomendasi tatalaksana nutrisi pada TB paru dan TB/HIV dapat terlihat pada
tabel 4.1.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
individual. Karbohidrat menghasilkan CO2 lebih banyak dari lemak atau protein
saat oksidasi, yaitu sebanyak enam molekul, sehingga memiliki respiratory
quotient (RQ) 1, lemak 0,7 dan protein 0,8.58 Pembagian komposisi makronutrien
terhadap efek fungsi pernafasan masih kontroversial. Berbagai penelitian di
pertengahan tahun 1980-1990 banyak dilakukan untuk membandingkan efek
metabolisme makronutrien pada fungsi pernafasan, seperti yang terlihat pada
tabel 4.2. Studi pada pasien dengan ventilator-dependent telah menunjukkan
bahwa asupan kalori yang berlebihan, dibandingkan dengan diet tinggi
karbohidrat, berperan pada meningkatnya produksi CO2. Selain itu, karbohidrat
merupakan sumber energi utama untuk memperkuat otot pernafasan yang
dibutuhkan saat weaning. Oleh karena itu, asupan karbohidrat adekuat diperlukan
untuk menambah glikogen otot pernafasan. Untuk alasan ini, maka saat ini
beberapa ahli merekomendasikan pemberian protein sebesar 15-20% total kalori
(1-2 g/kg BB), lemak 20-40% total kalori, dan karbohidrat 40-60% total kalori,
serta menghindari overfeeding pada pasien dengan penyakit paru.59 Suatu studi
menyimpulkan bahwa jumlah total kalori untuk mencegah overfeeding dan
hiperkapnia lebih penting diperhatikan dibandingkan asupan karbohidrat.60
Rendahnya kadar beberapa mikronutrien seperti vitamin A, D, E, besi,
zink, dan selenium telah dilaporkan pada studi kohort pasien TB aktif awal terapi.
Kadar mikronutrien ini biasanya kembali normal setelah 2 bulan pengobatan TB.5
Studi kasus kontrol di Indonesia pada 41 pasien TB aktif belum terapi usia 15-55
tahun dibandingkan dengan orang sehat, pada subyek dengan TB paru didapatkan
status nutrisi (dengan pemeriksaan antropometri), kadar hemoglobin, retinol dan
zink plasma lebih rendah dibandingkan orang sehat.25 Beberapa defisiensi
mikronutrien telah banyak dilaporkan pada pasien dengan TB paru dan infeksi
HIV. Suatu rekomendasi menyebutkan kebutuhan vitamin A, C, E, B kompleks,
selenium, seng, kalsium, tembaga, dan mangan pada TB lebih tinggi dibandingkan
orang sehat.23 Pada pasien-pasien ini, suplementasi mikronutrien yang diberikan
berupa vitamin B kompleks 3 x 1 tab, vitamin C 2 x 50 mg, asam folat 1 x 1 mg,
dan zink 1 x 20 mg. Suplementasi mikronutrien yang diberikan sesuai dengan
dosis 1-2x AKG. Pertimbangan memberikan suplementasi satuan oleh karena
ketersediannya di farmasi RSUT.
Universitas Indonesia
Tabel 4.2 Beberapa Studi mengenai Komposisi Lemak dan Karbohidrat pada Fungsi Pernafasan
Talpers, dkk, 199260 Randomized Membandingkan produksi CO2 dari 20 pasien dengan ventilator mekanik mendapatkan jumlah karbohidrat yang
controlled trial regimen nutrisi isokalori dengan bervariasi (40,60, dan 75%) dan total kalori (1x, 1,5x, dan 2x KEB) dengan
komposisi KH bervariasi dari komposisi KH 60%
rendah kalori dan tinggi kalori Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada produksi CO 2 pada
dengan komposisi KH tetap pada pemberian jumlah karbohidrat yang bervariasi
pasien dengan ventilator Produksi CO2 meningkat sejalan dengan peningkatan pemberian kalori
Van den Berg, dkk, 199461 prospective, Peran formula tinggi lemak 32 pasien di ICU dengan ventilator diberikan formula tinggi lemak (55,2%)
randomized terhadap weaning pada pasien rendah KH (28,1%) dan standar, dengan kalori 1,5x KEB
controlled dengan ventilator mekanik RQ saat weaning leih rendah signifikanpada kelompok yang diberikan
formula tinggi lemak
Tidak ada perbedaan signifikan pada PaCO2 saat weaning dan kedua
kelompok mengalami weaning dengan baik
Akrabawi, dkk, 199662 double-blind Menilai efek pemberian formula 36 pasien PPOK rawat jalan diberikan formula tinggi lemak (55%) dan lemak
crossover tinngi lemak dan lemak sedang sedang (40%) dalam 2 hari yang berbeda.
pada pengosongan lambung, Pengosongan lambung pada pemberian formula tinggi lemak lebih
konsumsi O2, produksi CO2, RQ lama dibandingkan lemak sedang
dan fungsi paru pada pasien PPOK konsumsi O2 dan produksi CO2 lebih tinggi signifikan pada
rawat jalan pemberian formula lemak sedang di menit ke-30 dan 90
Tidak ada perbedaan signifikan terhadap RQ antara tinggi lemak dan
lemak sedang
Vermeeren, dkk, 200163 randomized, Mengetahui efek suplementasi 14 pasien PPOK mendapatkan nutrisi dengan jumlah kalori berbeda (plasebo,
double-blind, nutrisi pada metabolisme dan 1046 kkal, 2092 kkal) komposisi seimbang, kemudian 11 pasien mendapatkan
crossover kapasitas aktivitas fisik pasien suplementasi kalori 1046 kkal dengan tinggi lemak (60%) rendah KH (20%)
PPOK stabil dan kalori 1046 kkal rendah lemak (20%) tinggi KH (60%)
Sedikit peningkatan RQ signifikan pada pemberian 1046 kkal dan
2092 kkal dibandingkan plasebo
Tidak ada perbedaan signifikan pada metabolisme atau kapasitas
aktivitas fisik setelah pemberian suplementasi tinggi lemak maupun
tinggi KH
Universitas Indonesia
Peneliti, tahun Design penelitian Tujuan penelitian Metode dan hasil penelitian
64
Faramawy, dkk, 2014 Randomized Membandingkan efek formula 100 pasien gagal nafas tipe II di ICU
controlled trial tinggi lemak (55%), rendah Pasien dengan formula tinggi lemak rendah karbohidrat mengalami
karbohidrat (28,1%) dengan penurunan PaCO2 16%, waktu ventilasi lebih cepat 8%, dan
isokalori komposisi seimbang pemakaian ventilator 62 jam lebih pendek dibandingkan formula
(lemak 30%, KH 53,3%) pada komposisi seimbang
PaCO2, waktu ventilasi dan
lamanya pemakaian ventilator
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
bakterisidal NO-dependent.51 Seperti pada infeksi lainnya, peran besi pada infeksi
HIV kompleks. Besi penting untuk mengoptimalkan fungsi imun, namun
perannya sebagai pro-oksidan dan menyebabkan replikasi virus telah ditunjukkan
pada suatu studi laboratorium.69 Cadangan besi menurun pada fase awal infeksi
HIV asimptomatik, yang mungkin disebabkan oleh gangguan absorpsi dan akan
meningkat pada fase HIV lanjut oleh karena akumulasi di dalam makrofag dan sel
lainnya. Studi observasional menunjukkan suplementasi besi dua kali seminggu
tidak meningkatkan viral load. Masih banyak studi diperlukan untuk menilai efek
status dan asupan besi, termasuk suplementasi pada transmisi dan perkembangan
HIV, serta risiko TB dan infeksi sekunder lainnya.66 Suplementasi besi oral
tersedia dalam bentuk kompleks dengan sulfat, suksinat, sitrat, laktat, tartrat,
fumarat, dan glukonat, yang biasanya digunakan untuk tatalaksana anemia
defisiensi besi.24
Defisiensi mikronutrien pada HIV/AIDS dapat berefek pada replikasi virus
dan memiliki efek yang baik terhadap pejamu. Suplementasi juga dapat
memberikan efek yang baik terhadap virus. Misalnya replikasi virus HIV dapat
meningkat pada biakan monosit dengan retinoid. Penambahan retinoid pada
monosit yang terinfeksi dapat menghambat ekspresi HIV.69
Defisiensi seng telah banyak diketahui pada berbagai fase infeksi HIV,
sehingga defisiensi dapat menjadi kofaktor perkembangan penyakit. Beberapa
faktor lain juga dapat berperan pda defisiensi seng. Infeksi HIV berhubungan
dengan infeksi akut dan kronik (virus, bakteri, jamur, atau parasit). Penyakit-
penyakit infeksi ini dapat menyebabkan defisiensi seng, dan dapat terjadi dalam
waktu yang lama tergantung dari penyebabnya. Peran seng sangat penting pada
pertumbuhan dan fungsi sel CD-4, sehingga adanya penurunan sel CD-4 yang
dapat menyebabkan infeksi oportunistik akibat dari rendahnya ketersediaan seng.
Hal ini mendukung temuan yang menyatakan bahwa seng dibutuhkan untuk
aktivitas biologis hormon timus ZnFTS (timulin) yang mutlak diperlukan untuk
diferensiasi dan pematangan sel CD-4.70 Suplementasi seng diketahui dapat
memperlambat perkembangan penyakit HIV dan menurunkan kejadian infeksi
oportunistik pada pasien dengan atau tanpa ARV. Suplementasi seng bersama
dengan multivitamin dan suplementasi selenium secara signfikan dapat
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
dengan terapi HAART, hasilnya tidak didapatkan efek bermakna pada efek terapi
antara suplementasi nutrisi oral standar dan formula imunonutrisi. Suplementasi
nutrisi oral mengandung arginin (14 g/hari), glutamin (14 g/hari dan β-hidroksi-β-
metilbutirat (3 g/hari) diketahui dapat meningkatkan massa otot, BB dan
berhubungan dengan menurunnya viral load HIV pada sebuah studi placebo-
controlled randomized trial.35
Pada sebagian besar pasien, pemberian nutrisi dimulai dari 80% KEB
dengan alasan klinis pasien yang sebagian besar memperlihatkan sesak nafas dan
analisis asupan 24 jam terakhir di bawah 1000 kkal. Saat pemantauan, terjadi
perbaikan klinis dan toleransi asupan, sehingga nutrisi dapat ditingkatkan
bertahap. Pada pasien kedua dan keempat, nutrisi yang diberikan dapat mencapai
kebutuhan energi total dengan jenis makanan berupa kombinasi makanan lunak
dan cair. Pada pasien pertama dan ketiga sempat terjadi perbaikan klinis dan
toleransi asupan, kemudian pasien mengalami penurunan kondisi (sesak dan
penurunan kesadaran), hingga kebutuhan kalori total tidak tercapai. Keempat
pasien toleransinya lebih baik terhadap makanan cair dibandingkan makanan
lunak.
Makanan cair yang diberikan berupa kombinasi makanan cair RS dan
formula komersil (nutren optimum), dengan alasan komposisi makanan cair RS
dapat memenuhi kebutuhan pasien, dan formula komersil mengandung zat-zat gizi
yang diperlukan pada keempat pasien. Pertimbangan lain memberikan kombinasi
dua makanan cair tersebut adalah dari segi biaya, oleh karena seluruh biaya
pengobatan pasien menggunakan BPJS. ESPEN menyebutkan secara umum
penggunaan formula spesifik belum ada manfaatnya pada pasien HIV/AIDS,
sehingga formula nutrisi standar dapat digunakan, meskipun pasien dengan diare
dan malnutrisi berat. Formula mengandung MCT dapat memberikan manfaat
lebih baik pada pasien AWS dan diare kronik.35
Dukungan dari keluarga pasien dan kerjasama yang baik dengan DPJP,
dietisien, pramusaji, perawat, dan petugas farmasi di RSUT berperan dalam
tatalaksana nutrisi keempat pasien. Seluruh planning nutrisi dapat dikeluarkan
dari dapur sesuai preskripsi, dan sebagian besar pasien mengikuti anjuran yang
diberikan.
Universitas Indonesia
Outcome pada pasien kedua dan keempat lebih baik dibandingkan pasien
pertama dan ketiga. Hal ini dapat dilihat dari penilaian kapasitas fungsional. Pada
pemantauan terakhir, kekuatan genggaman tangan pasien kedua dan keempat
sama dengan pemeriksa, dan skor indeks Barthel mengalami peningkatan menjadi
ketergantungan ringan. Pemeriksaan antropometri dilakukan saat sebelum pasien
pulang, namun tidak didapatkan peningkatan BB pada kedua pasien. Saat pasien
pulang, pasien diberikan edukasi mengenai nutrisi yang baik, yang dapat
dikonsumsi di rumah. Contoh menu sehari dan daftar bahan makanan penukar
diberikan kepada pasien dan keluarga (dapat dilihat pada lampiran).
Pada pasien pertama dan ketiga terjadi perburukan klinis sehingga
penilaian kapasitas fungsional masih sama seperti saat assessment awal, bahkan
pada pasien ketiga mengalami penurunan kapasitas fungsional menjad bedridden
dan ketergantungan berat. Hal ini mungkin disebabkan pada pasien pertama dan
ketiga gejala klinis lebih berat dengan infeksi HIV sudah dalam fase lanjutan atau
AIDS. Outcome keempat pasien ini tidak dapat dibandingkan dengan penelitian
yang dilakukan Sudarsanam dkk yang melakukan studi pilot randomisasi klinis di
India pada 81 pasien TB kasus baru dan 22 pasien koinfeksi TB/HIV dengan
malnutrisi ringan mendapatkan suplementasi makronutrien dan mikronutrien
selama pengobatan TB. Studi ini dilakukan pada pasien rawat jalan, meskipun
tidak didapatkan hasil signifikan pada outcome TB. Studi mengenai efek
intervensi nutrisi terhadap koinfeksi TB/HIV dan malnutrisi masih sangat
terbatas.4
Penilaian kapasitas fungsional menggunakan indeks Barthel. Indeks
Barthel merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk menilai kualitas
hidup dengan skor tertinggi 20. Terdapat banyak instrumen yang dapat digunakan
pada pasien TB untuk menilai kualitas hidup. Studi Maguire, dkk74 pada penderita
TB paru di Papua, Indonesia menggunakan instrument St George‘s Respiratory
Questionnare (SGRQ) yang dimodifikasi untuk menilai kualitas hidup.
Keempat pasien mendapatkan OAT dari DPJP. Jenis obat OAT yang
diberikan adalah obat kombinasi dosis tetap (fixed dosed combination/FDC) yang
direkomendasikan oleh WHO. Kombinasi dosis tetap dapat mengurangi risiko
terjadinya resisten obat monoterapi, selain itu jenis obat ini dapat meningkatkan
Universitas Indonesia
kepatuhan pasien. Interaksi obat dan efek samping dapat berpengaruh pada
tatalaksana nutrisi seperti yang terlihat dalam tabel 4.3.
Universitas Indonesia
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi
tantangan global. Beban ganda akibat peningkatan epidemi human
immunodeficiency virus (HIV) akan memengaruhi peningkatan kasus TB di
masyarakat. Peringkat TB saat ini sejalan dengan HIV sebagai penyebab kematian
di dunia. Hubungan antara TB dan malnutrisi telah lama diketahui, TB dapat
menyebabkan malnutrisi dan malnutrisi meningkatkan risiko terjadinya TB.
Terjadinya koinfeksi TB/HIV akan menurunkan massa tubuh dan lemak lebih
banyak. Penurunan BB disertai dengan adanya penyakit kronis termasuk dalam
kondisi kaheksia. Dukungan nutrisi sebagai bagian dari tatalaksana komprehensif
diperlukan pada TB paru, infeksi HIV, malnutrisi dan kaheksia.
Seluruh pasien dalam serial kasus ini adalah pasien TB paru dengan
malnutrisi berat dan kaheksia. Dua dari empat pasien disertai infeksi HIV.
Tatalaksana nutrisi pasien meliputi perhitungan kebutuhan energi menggunakan
persamaan Harris-Benedict. Komposisi makronutrien diberikan seimbang dengan
kebutuhan protein sebesar 1,5-2 g/kgBB. Suplementasi mikronutrien diberikan
sesuai dengan kebutuhan harian, dan nutrien omega-3 diberikan bertujuan untuk
memperbaiki kaheksia. Semua pasien mendapatkan makanan cair berupa formula
komersil yang mengandung AARC yang diketahui dapat memperbaiki anoreksia
dan sintesis protein. Formula imunonutrisi tidak diberikan oleh karena belum ada
rekomendasi yang jelas.
Dua dari empat pasien memberikan outcome lebih baik dari segi klinis,
namun tidak didapatkan peningkatan BB bermakna. Tatalaksana nutrisi yang
dilakukan di RSUT berjalan dengan baik dengan kerjasama antar berbagai disiplin
ilmu.
79 Universitas Indonesia
5.2 Saran
1) Diperlukan suatu tim khusus untuk menangani pasien dengan TB paru dengan
malnutrisi, kaheksia, dan infeksi HIV sehingga tatalaksana komprehensif
dapat berjalan dengan baik
2) Perlu dilakukan pemeriksaan komposisi tubuh untuk mengetahui status nutrisi
dan evaluasi tatalaksana nutrisi
3) Pasien serial kasus sebaiknya memiliki diagnosis dan derajat keparahan
penyakit yang sama sehingga perbedaan respon tatalaksana nutrisi dapat
terlihat
Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
10. Gardner CF, Sucher K. HIV and AIDS. Dalam : Nelms M, Sucher KP,
Lacey K, Roth SL. Nutrition Therapy and Pathophysiology edisi 2.
California: Wadsworth Cengage Learning 2011. Hal.735-65
81 Universitas Indonesia
12. Bergman EA, Hawk SN. Diseases of the respiratory system. Dalam :
Nutrition Therapy and Pathophysiology. 2nd edition. Wadsworth Cengage
Learning 2011. Hal.650-2.
14. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology edisi 13.
New Jersey: John Wiley and Sons Inc 2012. Hal 919
15. O'Brien RJ. Tuberculosis. Dalam: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL,
Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editor. Harrison's Principles of Internal
Medicine. Edisi ke-18. New York: McGraw-Hill, 2012. hal. 2252–80.
19. Schluger NW, Rom WN. The host immune response to tuberculosis. Am J
Respir Crit Care Med 1998; 157: 679–91.
25. Grooper SS, Smith JL. Advanced Nutrition and Human Metabolism edisi
6. Wadsworth: Cengage Learning 2013. Hal: 398.
Universitas Indonesia
27. Karyadi E, West CE, Schultink W, Nelwan RHH, Gross R, Amin Z, et al.
A double-blind, placebo-controlled study of vitamin A and zinc
supplementation in persons with tuberculosis in Indonesia: effects on
clinical response and nutritional status. Am J Clin Nutr 2002;75:720-7.
30. Nelms MN, Frazier C. Cellular and physiological response to injury: the
role of the immune system. Dalam: Dalam : Nelms M, Sucher KP, Lacey
K, Roth SL. Nutrition Therapy and Pathophysiology edisi 2. California:
Wadsworth Cengage Learning 2011. hal 158-62.
31. Haynes BF, Fauci AS. Introduction to the immune system. Dalam: Fauci
AS, Kasper DL, Braunwald E, Hauser SR, Longo DL, Jameson JL, editor.
Harrison‘s Principles of Internal Medicine. Edisi ke 17. New York:
McGraw-Hill Companies, Inc, 2008.Hal: 1906-15
32. Faucy AS, Lane HC. Human immnunodeficiency virus disease: AIDS and
related disorders. Dalam: Fauci AS, Kasper DL, Braunwald E, Hauser SR,
Longo DL, Jameson JL, editor. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. Edisi ke 17. New York: McGraw-Hill Companies, Inc, 2008.
Hal. 1076-139
34. Cone LA. Wasting and AIDS in the era of highly active antiretroviral
therapy. Dalam: Watson RR, editor. Nutrition and AIDS, edisi 2. Florida:
CRC Press, 2001. Hal: 1-6.
Universitas Indonesia
37. World Health Organization. Nutrient requirement for people living with
HIV/AIDS. 2003.
39. Morley JE, Thomas DR, Wilson MMG. Cachexia: pathophysiology and
clinical relevance. Am J Clin Nutr 206;83:735-43.
40. Donohoe CL, Ryan AM, Reynolds JV. Cancer cachexia: mechanisms and
clinical implications. Gastroenterology Research and Practice 2011. Doi:
10.1155/2011/601434
42. Choudry HA, Pan M, KArinch AM, Souba WW. Branched-chain amino
acid-enriched nutritional support in surgical and cancer patients. J Nutr
2006;136:314-8S.
Universitas Indonesia
50. Isanaka S, Mugusi F, Urassa W, Millett WC, Bosch RJ, Villamor E, et al.
Iron defisciency and anemia predict mortality in patients with tuberculosis.
J. Nutr 2012;142: 350–357.
51. Sudfeld CR, Isanaka S, Aboud S, Mugusu FM, Wang M, Chalamilla GE,
et al. Association of serum albumin concentration with mortality,
morbidity, CD4 T-cell reconstitution among tanzanians initiating
antiretroviral therapy. The Journal of Infectious Diseases 2013;207:1370–
8
54. Sharma SK, Mohan A, Banga A, Saha PK, Guntupalli KK. Predictors of
development and outcome in patients with acute respiratory distress
syndrome due to tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis 2006;10(4):429-35.
58. Patel NM, Johnson MM. Nutrition in respiratory diseases. Dalam: Ross
AC, Caballero B, Cousins RJ, Tucjer KL, Ziegler TR, editor. Modern
Nutrition in Health and Disease, edisi 11. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins 2014.hal: 1387-90.
Universitas Indonesia
60. Talpers SS, ROmberger DJ, Bunce SB, Pingleton KK. Nutritionally
associated increased carbondioxide production.: excess total calories vs
high proportion of carbohydrate calories. Chest 1992;102:551-5
61. Van den Berg B, Bogaard JM, Hop WC. High fat, low carbohydrate,
enteral feeding in patients weaning from the ventilator. Intensive Care
Med 1994;20:470-5.
63. Vermeeren MA, Wouters EF, Nelissen LH, van Lier A,Hofman Z, Schols
AM. Acute effects of different nutritional supplements on symptoms and
functional capacity in patients with chronic obstructive pulmonary disease.
Am J Clin Nutr 2001;73:295–301.
64. Faramawy MAE, Allah AA, Batrawy SE, Amer H. Impact of high fat low
carbohydrate enteral feeding on weaning from mechanical ventilation.
Egyptian Journal of Chest and Tuberculosis 2014;63:931-8.
Universitas Indonesia
72. Baum MK, Lai S, Sales S, Page JB, Campa A. Randomized, Controlled
Clinical Trial of Zinc Supplementation to Prevent Immunological Failure
in HIV-Infected Adults. Clinical Infectious Diseases 2010; 50(12):1653–
60
73. McMurray DN, Bonilla DL, Chapkin RS. n-3 Fatty acids uniquely affect
anti-microbial resistance and immune cell plasma membrane organization.
Chem Phys Lipids 2011; 164: 626–35.
75. Saukkonen JJ, Cohn DL, Jasmer RM, Schenker S, Jereb JA, Nolan CM, et
al. An Official ATS Statement: Hepatotoxicity of Antituberculosis
Therapy. Am J Respir Crit Care Med 2006;174:935-52.
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 1
Universitas Indonesia
A Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang
(anemia, leukositosis, hiponatremia, hipoalbuminemia) (anemia, leukositosis, hiponatremia, hipoalbuminemia) (anemia, leukositosis, hiponatremia, hipoalbuminemia)
pada TB paru, HIV (+) pada TB paru, HIV (+) pada TB paru, HIV (+)
P Nutrisi diberikan sebesar 1300 kkal (31 kkal/kgBB), Nutrisi diberikan sebesar 1500 kkal (35 kkal/kgBB), Nutrisi diberikan sebesar 1300 kkal (31 kkal/kgBB),
protein 58,8 g (1,4 g/kgBB, 18%, N:NPC 1:118), lemak protein 63 g (1,5 g/kgBB, 16%, N:NPC 1:125), lemak 45 protein 63 g (1,5 g/kgBB, 19%, N:NPC 1:105), lemak
36,1 g (25%), KH 185 g (57%) g (27%), KH 229,5 g (57%) 39 g (27%), KH 174,2 g (54%)
Bentuk : makanan cair dan lunak Bentuk : makanan lunak dan cair Bentuk : makanan cair dan lunak
Rute : oral Rute : oral Rute : oral
Universitas Indonesia
Pemantauan IV Pemantauan V
S Masih sesak, terutama bila selang oksigen dilepas, susu Sesak masih ada, makanan dari RS dapat dihabiskan
dapat habis, bubur ½ p
O Tampak sakit sedang, compos mentis Tampak sakit sedang, compos mentis
Tanda vital: Tanda vital:
- TD = 110/70 mmHg - TD = 100/70 mmHg
- HR = 88 x/menit - HR = 88 x/menit
- RR = 26 x/menit - RR = 24 x/menit
- S = 37°C - S = 36,8°C
Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik:
Mata: konjungtiva anemis+/+ Mata: konjungtiva anemis+/+
Hidung terpasang NRM O2 6 liter/menit Hidung terpasang masal kanul O2 4 liter/menit
Toraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-) Toraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-) Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-)
Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat, Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat,
CRT > 2‖ CRT > 2‖
Lab: pH 7,432 pCO2 38,13 pO2 83,4 HCO3 27,9 BE 4,2 Lab: Hb 9,6 Ht 29 Lek 5700 Tr 379.000
Sat O2 96,9%
Universitas Indonesia
Th/DPJP: Th/DPJP:
Terapi lanjut Terapi lanjut
Dari IPD: TDF/3TC 1x1, Efavirenz 1x1 tab
A Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang
(anemia, leukositosis, hiponatremia, hipoalbuminemia) (anemia, leukositosis, hiponatremia, hipoalbuminemia)
pada TB paru, HIV (+) pada TB paru, HIV (+)
P Nutrisi diberikan sebesar 1500 kkal (35 kkal/kgBB), Nutrisi diberikan sebesar 1500 kkal (35 kkal/kgBB),
protein 67,2 g (1,5 g/kgBB, 18%, N:NPC 1:123), lemak protein 67,2 g (1,5 g/kgBB, 18%, N:NPC 1:123), lemak
45 g (27%), KH 206,5 g (55%) 45 g (27%), KH 206,5 g (55%)
Bentuk : makanan cair dan lunak Bentuk : makanan cair dan lunak
Rute : oral Rute : oral
Total 1200 1500 65,2 46,7 222,6 Total 1200 1500 65,2 46,7 222,6
Mikronutrien: Mikronutrien:
Vit B komp 3x1 tab, vit C 2x50 mg, as folat 1x1 mg, zink Vit B komp 3x1 tab, vit C 2x50 mg, as folat 1x1 mg, zink
1x20 mg, omega-3 3x2 tab, vipalbumin 3x2 tab 1x20 mg, omega-3 3x2 tab, vipalbumin 3x2 tab
M - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis
(setiap hari) (setiap hari)
- Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap - Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap
hari) hari)
- Saran: konsul fisioterapi
E Bila asupan, toleransi asupan, dan klinis baik, asupan Bila asupan, toleransi asupan, dan klinis baik, asupan
akan ditingkatkan bertahap dalam 1-2 hari sebanyak 10- akan ditingkatkan bertahap dalam 1-2 hari sebanyak 10-
20%. 20%.dan bentuk makanan dapat diubah menjadi makanan
padat
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 2
Universitas Indonesia
A Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme
(anemia, peningkatan enzim transaminase) pada (anemia, peningkatan enzim transaminase) pada sedang (anemia, peningkatan enzim transaminase)
diare kronik, TB paru dalam terapi, suspek alergi diare kronik, TB paru dalam terapi, suspek alergi pada diare kronik, TB paru dalam terapi, suspek
OAT OAT alergi OAT
P Nutrisi diberikan sebesar 1100 kkal (34 kkal/kgBB), Nutrisi diberikan sebesar 1500 kkal (47 kkal/kgBB), Nutrisi diberikan sebesar 1500 kkal (47 kkal/kgBB),
protein 48 g (1,5 g/kgBB, 17%, N:NPC 1:129), lemak protein 64 g (2 g/kgBB, 17%, N:NPC 1:124), lemak 45 g protein 64 g (2 g/kgBB, 17%, N:NPC 1:124), lemak
30,5 g (25%), KH 158 g (58%) (27%), KH 256,5 g (58%) 45 g (27%), KH 256,5 g (58%)
Bentuk : makanan lunak Bentuk : makanan lunak dan cair Bentuk : makanan lunak dan cair
Rute : oral Rute : oral Rute : oral
Total - 1175 47 30 180 Total 250 1550 64 33 222 Total 250 1550 64 33 222
M - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis
(setiap hari) (setiap hari) (setiap hari)
- Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap - Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap - Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap
hari) hari) hari)
- Saran: periksa albumin - Saran: periksa albumin - Saran: periksa albumin, Mg, P, OT/PT
E Bila asupan, toleransi asupan, dan klinis baik, asupan akan Mempertahankan asupan sesuai KET Mempertahankan asupan sesuai KET, bila asupan baik,
ditingkatkan bertahap dalam 1-2 hari sebanyak 10-20%. pemberian nutrisi dapat ditingkatkan untuk mencapai
target BB yang diinginkan/ideal
Universitas Indonesia
Pemantauan IV H+5
S Tidak ada keluhan, makan baik Tidak ada keluhan, makan baik
O Tampak sakit sedang, compos mentis Tampak sakit sedang, compos mentis
Tanda vital: Tanda vital:
- TD = 110/70 mmHg - TD = 110/70 mmHg
- HR = 88 x/menit - HR = 80 x/menit
- RR = 18 x/menit - RR = 19 x/menit
- S = 36,7°C - S = 36,5°C
Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik:
Regio generalisata: bercak hiperpigmentasi ukuran Regio generalisata: bercak hiperpigmentasi ukuran
lentiuler-numuler, batas tidak tegas lentiuler-numuler, batas tidak tegas
Mata: konjungtiva anemis+/+ Mata: konjungtiva anemis+/+
Hidung terpasang nasal kanul O2 2 liter/menit Hidung terpasang nasal kanul O2 2 liter/menit
Toraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-) Toraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-) Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-)
Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat, Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat,
CRT > 2 CRT > 2
Universitas Indonesia
A malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang
(anemia, peningkatan enzim transaminase) pada (anemia, peningkatan enzim transaminase) pada
diare kronik, TB paru dalam terapi, suspek alergi diare kronik, TB paru dalam terapi, suspek alergi
OAT OAT
P Nutrisi ditingkatkan sebesar 1750 kkal (54 kkal/kgBB), Nutrisi ditingkatkan sebesar 1750 kkal (54 kkal/kgBB),
protein 64 g (2 g/kgBB, 15%, N:NPC 1:149), lemak 54 g protein 64 g (2 g/kgBB, 15%, N:NPC 1:149), lemak 54 g
(27%), KH 252 g (58%) (27%), KH 252 g (58%)
Bentuk :makanan lunak dan cair Bentuk :makanan lunak dan cair
Rute : oral Rute : oral
MIkronutrien: MIkronutrien:
vitamin B kompleks 3 x 2 tablet, vitamin C tablet 2 x 50 vitamin B kompleks 3 x 2 tablet, vitamin C tablet 2 x 50
mg, asam folat tablet 1 x 1 mg, zink tablet 1 x 20 mg, dan mg, asam folat tablet 1 x 1 mg, zink tablet 1 x 20 mg, dan
omega-3 3 x 2 kapsul omega-3 3 x 2 kapsul
M - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis
(setiap hari) (setiap hari)
- Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap - Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap
hari) hari)
- Saran: periksa albumin, Mg, P, OT/PT - Saran: periksa albumin, Mg, P, OT/PT
E Mempertahankan asupan, bila asupan baik, pemberian Mempertahankan asupan, bila asupan baik, pemberian
nutrisi dapat ditingkatkan bertahap untuk mencapai target nutrisi dapat ditingkatkan bertahap untuk mencapai target
BB yang diinginkan/ideal BB yang diinginkan/ideal
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
M - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis
(setiap hari) (setiap hari) (setiap hari)
- Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap - Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap - Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap
hari) hari) hari)
- Saran: pasang NGT, pemeriksaan albumin, CD4 - Saran: pasang NGT, koreksi kalium
E Bila toleransi asupan dan klinis baik, pemberian nutrisi Bila toleransi asupan dan klinis baik, pemberian nutrisi Bila toleransi asupan dan klinis baik, pemberian nutrisi
akan ditingkatkan bertahap 10-20% hingga mencapai KET akan ditingkatkan bertahap 10-20% hingga mencapai akan ditingkatkan bertahap 10-20% hingga mencapai
KET KET
Universitas Indonesia
Pemantauan IV Pemantauan V
S Kesadaran menurun, demam (+), mual dan diare tidak Kesadaran menurun, demam (+), mual dan diare tidak ada,
ada, NGT terpasang kemarin makanan cair bisa masuk semua lewat NGT
O TAmpak sakit sedang, somnolen, GCS E3M5V2 Tanda vital:
Tanda vital: - TD = 120/70 mmHg
- TD = 110/70 mmHg - HR = 92 x/menit
- HR = 96 x/menit - RR = 21 x/menit
- RR = 22 x/menit - S = 38,2°C
- S = 38,5°C Pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan fisik: Mata: konjungtiva anemis+/+
Mata: konjungtiva anemis+/+ Hidung terpasang nasal kanul O2 2 liter/menit, terpasang
Hidung terpasang nasal kanul O2 2 liter/menit, terpasang NGT, residu (-)
NGT, residu (-) Toraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-)
Toraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-) Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-)
Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-) Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat,
Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat, CRT > 2‖
CRT > 2‖
Lab: albumin 2,3 (post transfusi) Analisis Asupan:
Vol E P L KH
Analisis Asupan: (ml) (kkal) (g) (g) (g)
Vol E P L KH Nutr opt 3x250 750 750 30 30 102
(ml) (kkal) (g) (g) (g) MCRS 3x300 900 900 45 21,6 144
Nutr opt 2x250 500 500 20 20 68 Infus NaCl 500 -
MCRS 2x200 900 900 45 21,6 144 Infus RL 500
MCRS 2x250
Infus NaCl 500 Total 2650 1650 75 51,6 246
Infus RL 1000
Analisis cairan:
Total 2900 1400 65 41,6 212 Input: 2650 mL
Output: 1500 mL(urin), 720 ml (IWL)
Analisis cairan: Balans: +430 mL/24 jam,
Input: 2900 mL Diuresis: 1,3 ml/kg/jam
Output: 1600 mL(urin), 720 ml (IWL)
Balans: +580 mL/24 jam, Th/DPJP:
Diuresis: 1,3 ml/kg/jam Terapi lanjut
Universitas Indonesia
A Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang
(anemia, leukositosis, hiponatremia, hypokalemia, (anemia, leukositosis, hiponatremia, hypokalemia,
hipokloremia, hipoalbuminemia) pada TB milier, SIDA, hipokloremia, hipoalbuminemia) pada TB milier, SIDA,
susp meningoensefalitis TB susp meningoensefalitis TB
P Nutrisi diberikan sebesar 1650 kkal (34 kkal/kgBB), Nutrisi diberikan sebesar 1650 kkal (34 kkal/kgBB),
protein 76,80 g (18%, 1,6 g/kgBB, N:NPC 1:112), lemak protein 76,80 g (18%, 1,6 g/kgBB, N:NPC 1:112), lemak
49,5 g (27%), KH 224,3 g (55%) 49,5 g (27%), KH 224,3 g (55%)
Bentuk : makanan cair Bentuk : makanan cair
Rute : enteral Rute : enteral
Mikronutrien: Mikronutrien:
vitamin B kompleks 3 x 1 tablet, vitamin C tablet 2 x 50 vitamin B kompleks 3 x 1 tablet, vitamin C tablet 2 x
mg, asam folat tablet 1 x 1 mg, zink tablet 1 x 20 mg, dan 50mg, asam folat tablet 1 x 1 mg, zink tablet 1 x 20 mg,
omega-3 3 x 2 kapsul, vipalbumin 3x2 tab dan omega-3 3 x 2 kapsul, vipalbumin 3x2 tab
M - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis
(setiap hari) (setiap hari)
- Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap - Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap
hari) hari)
E Bila toleransi asupan dan klinis baik, pemberian nutrisi Bila toleransi asupan dan klinis baik, pemberian nutrisi
akan ditingkatkan bertahap 10-20% hingga mencapai akan ditingkatkan bertahap 10-20% hingga mencapai KET
KET
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 4
Universitas Indonesia
Th/DPJP: Th/DPJP:
Terapi lanjut Terapi lanjut +
Transfusi albumin 20% 100 ml (3 hari)
A Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang
(anemia, peningkatan enzim transaminase, hiponatremia) (anemia, peningkatan enzim transaminase, hiponatremia) (anemia, peningkatan enzim transaminase,
pada TB paru putus obat dan susp SIDA pada TB paru putus obat dan susp SIDA hiponatremia) pada TB paru putus obat dan susp SIDA
P Nutrisi diberikan sebesar 1200 kkal (37 kkal/kgBB), Nutrisi diberikan sebesar 1500 kkal (46 kkal/kgBB), Nutrisi diberikan sebesar 1500 kkal (46 kkal/kgBB),
protein 54,4 g (1,7 g/kgBB, 18%, N:NPC 1:122), lemak protein 64 g (2 g/kgBB, 17%, N:NPC 1:124), lemak 45 g protein 64 g (2 g/kgBB, 17%, N:NPC 1:124), lemak 45
36 g (27%), KH 165 g (55%) (27%), KH 210 g (56%) g (27%), KH 210 g (56%)
Bentuk : makanan cair dan lunak (ekstra) Bentuk : makanan cair Bentuk : makanan cair
Rute : oral Rute : oral Rute : oral
M - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis
(setiap hari) (setiap hari) (setiap hari)
- Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap - Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap - Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap
hari) hari) hari)
- Saran: transfusi albumin - Saran: periksa OT/PT, Mg, P
E Bila asupan, toleransi asupan, dan klinis baik, asupan akan Bila asupan, toleransi asupan, dan klinis baik, asupan Bila asupan, toleransi asupan, dan klinis baik, asupan
ditingkatkan bertahap dalam 1-2 hari sebanyak 10-20%. akan ditingkatkan bertahap dalam 1-2 hari sebanyak 10- akan ditingkatkan bertahap dalam 1-2 hari sebanyak
20%. 10-20%.
Universitas Indonesia
Pemantauan IV H+5
S Sesak membaik, batuk masih ada, makanan cair dapat Batuk berdahak berkurang, sesak membaik, makanan
habis, mulai ingin coba makan bubur dapat habis
O Tampak sakit sedang, compos mentis Tampak sakit sedang, compos mentis
Tanda vital: Tanda vital:
- TD = 110/70 mmHg - TD = 100/70 mmHg
- HR = 88 x/menit - HR = 84 x/menit
- RR = 20 x/menit - RR = 20 x/menit
- S = 36,5°C - S = 36,5°C
Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik:
Mata: konjungtiva anemis+/+ Mata: konjungtiva anemis+/+
Hidung terpasang nasal kanul O2 2 liter/menit, Hidung terpasang nasal kanul O2 2 liter/menit,
Thoraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-) Thoraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-) Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-)
Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat, Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat,
CRT > 2‖ CRT > 2‖
Lab: albumin 2,6 (post transfusi)
Analisis Asupan:
Analisis Asupan: Vol E P L KH
Vol E P L KH (ml) (kkal) (g) (g) (g)
(ml) (kkal) (g) (g) (g) Bubur 1100 - 900 32 20 144
Nutr opt 3x250 750 750 30 30 102 (80%)
MCRS 3x250 750 750 37,5 18 120 Nutr opt 3x200 600 600 24 24 81,6
Infus NaCl 1000 Ekstra telur (1) - 75 7 5 -
Universitas Indonesia
A Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang
(anemia, peningkatan enzim transaminase, hiponatremia) (anemia, peningkatan enzim transaminase, hiponatremia)
pada TB paru putus obat dan susp SIDA pada TB paru putus obat dan susp SIDA
P Nutrisi diberikan sebesar 1500 kkal (46 kkal/kgBB), Nutrisi diberikan sebesar 1500 kkal (46 kkal/kgBB),
protein 64 g (2 g/kgBB, 17%, N:NPC 1:124), lemak 45 g protein 64 g (2 g/kgBB, 17%, N:NPC 1:124), lemak 45 g
(27%), KH 210 g (56%) (27%), KH 210 g (56%)
Bentuk : makanan lunak dan cair Bentuk : makanan lunak dan cair
Rute : oral Rute : oral
Mikronutrien: Mikronutrien:
vitamin B kompleks 3 x 1 tablet, vitamin C tablet 2 x 50 vitamin B kompleks 3 x 1 tablet, vitamin C tablet 2 x 50
mg, asam folat tablet 1 x 1 mg, zink tablet 1 x 20 mg, dan mg, asam folat tablet 1 x 1 mg, zink tablet 1 x 20 mg, dan
omega-3 3 x 2 kapsul, vipalbumin 3x2 tab omega-3 3 x 2 kapsul, vipalbumin 3x2 tab
M - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis
(setiap hari) (setiap hari)
- Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap - Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap
hari) hari)
- Saran: konsul fisioterapi
E Bila asupan, toleransi asupan, dan klinis baik, asupan Bila asupan, toleransi asupan, dan klinis baik, asupan
akan ditingkatkan bertahap dalam 1-2 hari sebanyak 10- akan ditingkatkan bertahap dalam 1-2 hari sebanyak 10-
20%. 20%.
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 5
Indeks Barthel
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 6
Full cream ½p 13
Skim 1¼p 22
Telur ½p 27,5
Gula 1½p 15
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 7
Lemak total g 10
SAFA 1
MUFA g 6
PUFA 1,5
Kolesterol mg 13
Omega 6 g 1,5
Omega 3 mg 264
Protein g 10
Karbohidrat total g 28
Serat pangan g 3
FOS g 2
Inulin g 1
Gula g 8
Laktosa g 0,11
Natrium mg 125
Kalium mg 245
Vitamin E mg 33
Vitamin B1 mg 0,18
Vitamin B2 mg 0,24
Vitamin B3 mg 2,42
Universitas Indonesia
Vitamin B5 mg 1,1
Vitamin B6 mg 0,814
Vitamin B9 mcg 88
Vitamin C mg 24,2
Kalsium mg 119,9
Fosfor mg 91,85
Magnesium mg 18,7
Besi mg 1,65
Zink mg 2,14
Klorida mg 145,2
Tembaga mg 0,4
Kalsium/Fosfor 1,3
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 8
Selingan
- susu UHT 250 1 gelas 190 8 5 28
ml
Siang
- nasi putih 66 ½ gelas 115,5 2,6 - 26
- teri kering 30 2 sdm 50 7 2 - Teri balado
- tahu 100 1 bh bsr 75 5 3 7 Pepes tahu
- bayam 1 mangkok 25 1 - 5 Sayur bening
- oyong 50 bayam
- cabe merah 10 12,5 0,5 - 2,5
- minyak 2 sdt 90 - 10 -
Selingan
- pepaya/ 110/ 50 - - 12 Dimakan
- jeruk/ 110/ langsung atau
- pisang 50 jus
Malam
- kentang 105 1 bh sdg 87,5 2 - 20 Kentang grg
- ayam 40 1 ptg sdg 50 7 2 - Ayam grg
- tepung 20 2 sdm 70 1,6 - 16 tepung
terigu Sup jagung
- jagung 70 1 bj sdg 58,3 1,3 - 13
- wortel 50 12,5 0,5 - 2,5
- telur 55 1 butir 75 7 5 -
- minyak 10 2 sdt 90 - 10 -
- susu UHT 250 1 gelas 190 8 5 28
ml
Universitas Indonesia