Anda di halaman 1dari 123

Tatalaksana nutrisi...

, Dian Permatasari, FK UI, 2016


Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016
Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016
Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016
Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016
Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016
Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016
Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016
Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016
Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016
Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016
Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016
Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016
Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016
Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi
tantangan global. Meskipun program pengendalian TB di Indonesia telah berhasil
mencapai target Millenium Development Goals (MDG), beban ganda akibat
peningkatan epidemi human immunodeficiency virus (HIV) akan memengaruhi
peningkatan kasus TB di masyarakat.1 Peringkat TB saat ini sejalan dengan HIV
sebagai penyebab kematian di dunia. Angka kematian akibat HIV pada tahun
2014 sebesar 1,2 juta orang, termasuk didalamnya 0,4 juta orang dengan
tuberkulosis. Secara umum, 12% dari 9,6 juta TB paru kasus baru pada tahun
2014 dengan HIV positif.2 Di Indonesia, diperkirakan sekitar 3% pasien TB
dengan status HIV positif dan data Kementerian Kesehatan RI hingga akhir
Desember 2010 menyebutkan secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang
dilaporkan berjumlah 24.131 kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB
yaitu sebesar 11.835 kasus (49%).1
Pada beberapa individu dengan HIV, berkembangnya TB aktif merupakan
tanda awal penyakit acquired immune deficiency syndrome (AIDS). Tuberkulosis
aktif sering terjadi pada kadar hitung limfosit CD-4 yang lebih tinggi. Kedua
penyakit ini mempercepat berkembangnya penyakit penyerta HIV lainnya.
Tuberkulosis aktif menyebabkan penurunan kadar CD-4, meningkatkan replikasi
virus HIV, dan memperpendek ketahanan hidup penderita HIV. Infeksi HIV akan
mengganggu cell-mediated immunity, meningkatkan risiko infeksi TB, dan
reaktivasi TB laten pada orang dewasa dan anak-anak.3
Hubungan antara TB dan malnutrisi telah lama diketahui.4 Secara umum
malnutrisi dapat menyebabkan gangguan signifikan beberapa mekanisme proteksi
imun termasuk cell-mediated immunity, fungsi fagosit, kadar antibodi, dan
produksi sitokin.3 Sebagian besar pasien dengan TB aktif berada pada kondisi
katabolik, mengalami penurunan berat badan (BB), dan beberapa menunjukkan
tanda-tanda defisiensi vitamin dan mineral saat diagnosis.5 Berkembangnya TB
secara progresif menyebabkan wasting dan hilangnya massa otot, serta
1 Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


2

hipoalbuminemia yang juga terlihat pada infeksi HIV. Terjadinya koinfeksi


TB/HIV akan menurunkan massa tubuh dan lemak lebih banyak dibandingkan
infeksi tunggal.4
Koinfeksi tuberkulosis dan HIV memberikan gambaran lebih kompleks
patofisiologi malnutrisi, sehingga manifestasinya lebih berat dibandingkan dengan
tuberkulosis atau HIV sendiri. Kombinasi koinfeksi TB/HIV dan malnutrisi
disebut dengan ―triple trouble‖.3,6 Koinfeksi TB/HIV menyebabkan peningkatan
3
metabolisme, gangguan fisik, dan masalah nutrisi. Selain itu, adanya penyakit
infeksi kronik seperti halnya TB paru dan HIV/AIDS disertai dengan penurunan
BB dapat menyebabkan kaheksia. Kaheksia secara langsung memengaruhi
ketahanan hidup, kualitas hidup, dan aktivitas fisik.7 Pada kaheksia terjadi
peningkatan katabolisme dengan mekanisme yang kompleks sehingga tatalaksana
kaheksia tidak hanya berupa dukungan nutrisi.8
Dukungan nutrisi perlu diberikan pada pasien koinfeksi TB/HIV dengan
malnutrisi.9 Peran dukungan nutrisi merupakan salah satu komponen penting pada
tatalaksana komprehensif pasien-pasien tersebut dalam proses rehabilitasi dan
perbaikan kualitas hidup. Pada koinfeksi TB/HIV terjadi peningkatan kebutuhan
energi.5 Tatalaksana nutrisi berupa pemberian makronutrien dan mikronutrien
untuk meningkatkan fungsi imun dapat berperan pada penyakit HIV.10 Selain itu
adanya malnutrisi juga memerlukan intervensi nutrisi dengan pemantauan ketat.
Intervensi nutrisi seperti suplementasi makronutrien dapat membantu memenuhi
kebutuhan energi dan memperbaiki status nutrisi penderita HIV/AIDS dengan
malnutrisi.11 Studi pilot randomisasi klinis yang dilakukan Sudarsanam, dkk4 di
India pada 81 pasien TB kasus baru dan 22 pasien koinfeksi TB/HIV dengan
malnutrisi ringan mendapatkan suplementasi makronutrien dan mikronutrien
selama pengobatan TB. Studi ini menilai outcome secara keseluruhan
(pemeriksaan sputum BTA, analisis asupan, pemeriksaan laboratorium, status
nutrisi) setelah terapi TB selesai, dan keadaan saat dilakukan follow-up setelah
satu tahun pengobatan dan suplementasi selesai. Hasilnya didapatkan tidak ada
perbedaan signifikan pada outcome TB, namun pada pasien dengan koinfeksi
TB/HIV memiliki outcome empat kali lebih buruk dibandingkan yang hanya TB.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


3

Berdasarkan hal-hal tersebut, makalah ini dibuat untuk membahas mengenai


tatalaksana nutrisi pada pasienTB paru dengan infeksi HIV dan kaheksia.

1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan umum
Mempelajari dan menerapkan bahwa dukungan nutrisi sebagai bagian dari
tatalaksana komprehensif TB paru dengan infeksi HIV dan kaheksia.
1.2.2. Tujuan khusus
1. Mengetahui perubahan metabolisme yang terjadi pada penderita TB paru,
infeksi HIV, dan kaheksia serta pengaruhnya terhadap nutrisi.
2. Mengetahui komplikasi yang terjadi dan kaitannya dengan nutrisi dan
tatalaksana nutrisi.
3. Mengetahui peran tatalaksana nutrisi, yang meliputi pemberian makronutrien,
mikronutrien, dan nutrien spesifik.
4. Mengetahui outcome tatalaksana nutrisi.

1.3. Manfaat
1.3.1. Manfaat untuk pasien
Dukungan nutrisi pada pasien TB paru dengan infeksi HIV dan kaheksia berperan
dalam memperbaiki outcome dan kualitas hidup pasien sehingga dapat
mempercepat penyembuhan dan mempersingkat masa rawat inap.
1.3.2. Manfaat untuk institusi
Makalah serial kasus ini dapat memberikan data dan informasi, serta menjadi
referensi tambahan untuk tatalaksana nutrisi pasien TB paru dengan infeksi HIV
dan kaheksia.
1.3.3. Manfaat untuk penulis
Serial kasus ini merupakan sarana dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh
selama masa pendidikan.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


4

1.3.4. Manfaat untuk masyarakat


Sebagai informasi untuk menambah pengetahuan masyarakat secara umum
mengenai pentingnya dukungan nutrisi sebagai bagian dari tatalaksana TB paru
dengan infeksi HIV dan kaheksia.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan

Bronkiolus
terminal Otot polos

Cabang V
Cabang A Pulmonalis
Pulmonalis
Jalur
nasal

Mulut
Faring

Laring Kapiler
Trakea paru

Cincin Lubang Kohn Kantung


kartilago alveolus
Pembesaran kantung alveolus
Bronkus kanan Bronkus
pada akhir jalan nafas
kiri
Bronkioli
Bronkiolus terminal

Kantung alveolus

Bronkiolus
terminal

Gambar 2.1 Anatomi sistem pernafasan


Sumber: modifikasi daftar referensi no 13

Secara struktural, sistem pernafasan terbagi menjadi dua yaitu saluran pernafasan
atas dan bawah. Saluran pernafasan atas meliputi hidung, rongga hidung, sinus
maksilaris dan frontalis, laring, dan trakea, sedangkan saluran pernafasan bawah
terdiri dari paru, bronkus dan alveolus. Paru merupakan alat pernapasan utama,
terletak di dalam rongga toraks di sebelah kanan dan kiri, bagian tengah
dipisahkan oleh jantung dan pembuluh darah besar, dan struktur lainnya terletak
di dalam mediastinum. Paru kanan memiliki tiga lobus dan dua lobus pada paru
kiri.12,13 Berdasarkan fungsinya, sistem pernafasan terdiri dari dua bagian, yaitu
area konduksi dan pernafasan. Area konduksi berupa saluran yang
menghubungkan dunia luar dengan bagian dalam paru, terdiri dari hidung, rongga
hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus, dan bronkiolus terminal, yang
berfungsi sebagai filter, penghangat, dan melembabkan udara, kemudian
menghantarkannya ke dalam paru. Area pernafasan terdiri atas saluran dan
5 Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


6

jaringan di dalam paru, termasuk didalamnya adalah bronkiolus, duktus alveolus,


kantung alveolus dan alveoli yang merupakan tempat pertukaran udara dan darah.
14
Gambar anatomi saluran pernafasan dapat dlihat pada gambar 2.1.
Sel tubuh secara terus-menerus menggunakan oksigen (O2) untuk reaksi
metabolisme yang menghasilkan energi dari molekul zat gizi dan memproduksi
ATP. Pada saat yang sama, reaksi-reaksi ini juga menghasilkan karbondioksida
(CO2). Oleh karena jumlah CO2 yang berlebihan menghasilkan asam yang dapat
menjadi toksik terhadap sel, CO2 yang berlebihan harus dikeluarkan dengan
cepat. Sistem kardiovaskular dan pernafasan bekerjasama untuk mensuplai O2 dan
mengeliminasi CO2. Sistem pernafasan berperan sebagai tempat pertukaran udara
dengan mengambil O2 dan mengeluarkan CO2, dan sistem kardiovaskular akan
membawa darah yang mengandung gas-gas tersebut ke dalam paru dan sel tubuh.
Kegagalan kedua sistem akan mengganggu hemostasis yang berakibat kematian
sel dengan cepat oleh karena starvasi oksigen dan menumpuknya produk-produk
hasil buangan. Fungsi paru lainnya antara lain meregulasi pH darah, reseptor
penghidu, penyaring udara, dan melindungi tubuh dari kelembaban dan panas
udara yang terhirup.14 Partikel yang terhirup seperti asap, bakteri, dan virus akan
melewati hidung dan terjebak di dalam paru. Cairan mukus yang lengket akan
menjaga agar jalan nafas tetap lembab. Sel-sel bersilia yang melapisi trakea,
bronkus dan bronkiolus akan bergerak dengan cepat mendorong mukus atau
sel/benda asing agar cepat kembali ke faring dan dikeluarkan melalui mekanisme
batuk. Selain itu pada permukaan epitel alveoli terdapat makrofag dan sel
scavenger yang dapat menghancurkan bakteri yang terhirup.12
Pertukaran udara terjadi di dalam kapiler alveoli. Paru-paru dewasa
memiliki lebih dari 100 juta kapiler. Kapiler alveoli terdiri dari endotel kapiler,
membran basal kapiler, ruang interstitial, epitel alveoli, dan membran basal epitel
alveoli. Ruang interstitial berupa lapisan jaringan diantara alveoli dan sangat
tipis,sehingga pertukaran udara adekuat. Epitel alveoli terdiri dari dua jenis sel,
yaitu sel tipe I dan II. Sel tipe I membentuk struktur dinding alveoli, sedangkan
tipe II berperan untuk memproduksi surfaktan, suatu cairan yang disekresi oleh sel
alveoli untuk menurunkan tekanan permukaan cairan paru dan menjaga elastisitas
jaringan paru.12
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


7

Secara fisiologi, respirasi memiliki dua proses yang saling berhubungan,


yaitu respirasi sel dan respirasi eksternal. Istilah respirasi sel ditujukan pada
proses metabolik intrasel yang terjadi di dalam mitokondria, menggunakan O2 dan
menghasilkan CO2 saat memperoleh energi dari molekul zat gizi. Respiratory
quotient (RQ) yang merupakan rasio antara CO2 yang dihasilkan dengan O2 yang
dikonsumsi bervariasi tergantung jenis makanan yang dikonsumsi. Saat
menggunakan karbohidrat, nilai RQ sebesar 1, yang berarti untuk setiap molekul
O2 yang digunakan, akan menghasilkan 1 molekul CO2. Nilai RQ untuk
penggunaan lemak 0,7 dan protein sebesar 0,8. Respirasi eksternal merupakan
tahap-tahap proses pertukaran gas O2 dan CO2 antara lingkungan luar dan sel
tubuh, terdiri dari empat fase yang dapat terlihat pada gambar 2.2.13

Atmosfer Respirasi eksterna

Ventilasi atau pertukaran udara


antara atmosfer dengan alveoli
dalam paru-paru

Alveoli

Pertukaran O2 dan CO2 antara udara


dalam alveoli dengan kapiler paru

Sirkulasi paru

Transpor O2 dan CO2 dalam


sirkulasi dari paru-paru ke jaringan

Sirkulasi sistemik

Pertukaran O2 dan CO2 antara


kapiler sistemik dengan sel
Respirasi seluler

Sel jaringan

Gambar 2.2 Respirasi Eksternal dan Selular


Sumber: modifikasi dari daftar referensi no 13
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


8

2.2 Tuberkulosis Paru


2.2.1 Definisi dan etiologi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang
paru tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.1,15
Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri pada famili Mycobacterium. Bakteri
ini merupakan bakteri tahan asam dan pertumbuhannya lambat. Terdapat lima
spesies mycobacterium yang dapat menyebabkan tuberkulosis pada manusia,
namun hanya tiga jenis yang bersifat patogen tinggi, yaitu Mycobacterium
tuberculosis (Mtb), M. africanum, dan M. bovis. M canettii dan M. microti juga
dapat menyebabkan tuberkulosis pada manusia, namun sangat jarang ditemukan.15
Mtb merupakan penyebab paling banyak di seluruh dunia, disebut juga
Koch’s bacillus ditemukan oleh Dr Robert Koch pada tahun 1882. Bakteri ini
berbentuk batang dan hanya dapat hidup di dalam tubuh manusia, merupakan
bakteri aerob, sehingga kompleks Mtb ditemukan di alveoli paru-paru dan
makrofag alveoli merupakan sel target dari Mtb.15,16

2.2.2 Epidemiologi
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan sebanyak 9 juta
pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia. Kira-kira
sebanyak 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia terjadi pada
negara-negara berkembang.17 World Health Organization (WHO) Global TB
Report 2015 melaporkan bahwa pada tahun 2014 sebanyak 9,6 juta orang
menderita TB; 5,4 juta laki-laki, 3,2 juta perempuan dan 1 juta anak-anak dengan
urutan kasus terbanyak berada di India (23%), Indonesia (10%), dan Cina (10%).2
Saat ini Indonesia berada pada peringkat kelima negara dengan beban TB tertinggi
di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus menurut WHO tahun 2010 adalah
sebesar 660.000 kasus, dengan perkiraan insidens 430.000 kasus baru per tahun.
Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahunnya.18

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


9

2.2.3 Faktor risiko dan penularan TB


Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB
paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar
dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya
ditunjukkan dengan annual risk of tuberculosis infection (ARTI), yaitu proporsi
penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. Misalnya ARTI sebesar
1%, berarti 10 orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. Menurut
WHO, ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.17
Faktor yang memengaruhi kemungkinan seseorang dapat terinfeksi TB
salah satunya adalah daya tahan tubuh yang rendah (infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi). Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh
seluler (cellular immunity) dan merupakan faktor risiko paling kuat bagi
seseorang yang terinfeksi TB untuk berkembang menjadi TB aktif.17 Faktor risiko
kejadian TB secara ringkas dapat terlihat pada gambar 2.3.

Gambar 2.3. Faktor Risiko Kejadian TB


Sumber: daftar referensi no 1, 17

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


10

2.2.4 Patofisiologi TB
Mycobacterium tuberculosis merupakan salah satu bakteri paling patogen yang
terdapat dimana-mana di dunia, dengan perkiraan 1/3 populasi dunia terinfeksi
oleh basilnya dan bertanggung jawab pada 8-12 juta kasus tuberkulosis aktif
setiap tahun dengan 3 juta kematian. Hal menarik dari bukti klinis bahwa selain
adanya virulensi innate basil tuberkel itu sendiri, respons pejamu terhadap Mtb
berperan besar dalam menentukan manifestasi klinis dan outcome akhir seseorang
yang terkena patogen ini. Sebagai contoh, sebagian besar orang yang terinfeksi
basil ini tidak akan menampilkan gejala klinis. Beberapa akan berkembang
menjadi aktif berupa gangguan sistem imun yang disebabkan oleh infeksi sepeti
HIV, malnutrisi, dan atau keganasan stadium lanjut. Pengalaman klinis
menunjukkan bahwa imunitas pejamu berperan penting pada interaksi pejamu
dengan patogen yang terjadi pada sesorang yang terpajan Mtb.19
Basil tuberkel akan masuk ke dalam tubuh melalui saluran nafas dengan
menghirup droplet nuclei yang berukuran sangat kecil sehingga dapat mencapai
alveolus. Droplet yang berukuran lebih besar secara langsung akan dikeluarkan
dari saluran nafas bawah oleh barrier nasofaring dan saluran nafas atas.
Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non
spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya mampu
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Pada sebagian kecil kasus, makrofag
tidak dapat menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam
makrofag. Kemampuan makrofag dalam menghancurkan bakteri Mtb tergantung
dari faktor pejamu dan patogen. Mtb yang berproliferasi di dalam makrofag akan
menginduksi produksi sitokin proinflamasi. Kondisi inflamasi akan menginduksi
pengambilan beberapa sel monosit, neutrofil dan sel dendritik ke lokasi infeksi.
Banyaknya jumlah TNF-α berperan terhadap kontrol pertumbuhan Mtb dan
pembentukan granuloma. Terdapatnya sel imun di lokasi infeksi (sel T) dapat
menghambat proliferasi Mtb dan mencegah penyebaran infeksi. Gambaran
patogenesis tuberkulosis dapat terlihat pada gambar 2.4.20

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


11

Makrofag alveolus

Sel busa

Gambar 2.4 Patogenesis Tuberkulosis


Sumber: daftar referensi no 20

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju


kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).15
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang
waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


12

mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler.15,20
Empat kemungkinan yang dapat terjadi saat basil masuk ke dalam paru,
yaitu respons pejamu dapat secara efektif membunuh seluruh basil, sehingga tidak
akan dapat berkembang menjadi tuberkulosis; basil dapat mulai berkembang biak
dan tumbuh dengan cepat setelah infeksi, menyebabkan penyakit klinis yang
disebut dengan tuberkulosis; basil dapat menjadi dormant dan tidak akan
menyebabkan penyakit sama sekali, disebut infeksi laten, dengan manifestasi tes
tuberkulin positif; atau basil laten dapat tumbuh dengan menampakkan penyakit
klinis, yang disebut dengan tuberkulosis reaktivasi.19

2.2.5 Gejala dan diagnosis TB


Gejala TB dapat terbagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul
sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas
terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosis
secara klinis. Gejala umum yang dapat ditemui antara lain batuk-batuk selama
lebih dari tiga minggu (dapat disertai dengan darah), sesak nafas, badan lemas,
demam tidak terlalu tinggi (meriang) lebih dari satu bulan, biasanya dirasakan
pada malam hari disertai keringat malam, penurunan nafsu makan dan berat
badan, dan malaise. Gejala khusus tergantung dari organ tubuh mana yang
terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-
paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan
suara ‗mengi‘, suara nafas melemah yang disertai sesak. Bila ada cairan di rongga
pleura, dapat disertai dengan keluhan nyeri dada.15,17
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain
TB seperti bronkiektasis, bronkitis kronik, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang
yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut diatas,
dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Semua suspek TB diperiksa
spesimen dahak dalam waktu dua hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


13

TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak


mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,
biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang
khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.17

2.2.6 Tatalaksana TB
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup
dan produktivitas pasien, mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis (OAT). Obat anti tuberkulosis
harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.15,17
World Health Organization merekomendasikan obat kombinasi dosis tetap
(KDT) untuk mengurangi risiko terjadinya resisten obat akibat monoterapi.
Dengan KDT pasien tidak dapat memilih obat yang diminum, jumlah butir obat
yang harus diminum lebih sedikit sehingga dapat meningkatkan ketaatan pasien
dan kesalahan resep dokter juga diperkecil karena berdasarkan berat badan. Dosis
harian KDT di Indonesia distandarisasi menjadi empat kelompok BB 30-37 kg,
38-54 kg, 55-70 kg, dan lebih dari 70 kg.17 Jenis, sifat dan dosis OAT lini pertama
untuk dewasa dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Dosis Rekomendasi OAT Lini Pertama


Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan (mg/kg BB)
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
Rifampisin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
Pirazinamid (P) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
Streptomisin (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)
Etambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)
Sumber: daftar referensi no 17

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


14

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian


Tuberkulosis di Indonesia adalah OAT kategori 1 yang terdiri dari
2(HRZE)/4(HR)3 dan kategori 2 yang terdiri dari 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE). Paduan
OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa OAT-KDT.
Tablet OAT-KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.
Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk ssatu pasien.17
Semua pasien (termasuk yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati
harus diberi paduan obat yang disepakati secara internasional menggunakan obat
yang bioavailabilitasnya telah diketahui. Fase inisial diberikan selama 2 bulan
terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Fase lanjutan terdiri
dari isoniazid dan rifampisin yang diberikan selama 4 bulan. Dosis OAT yang
digunakan harus sesuai dengan rekomendasi internasional.17

2.3 Tuberkulosis dan Nutrisi


Bukti langsung untuk dapat menunjukkan bahwa efek nutrisi terhadap
tuberkulosis sangat sulit oleh karena keterlibatan kompleks berbagai faktor.
Dengan keterbatasan tersebut, sebagian besar memperlihatkan bahwa malnutrisi
menjadi faktor penting pada tingginya morbiditas dan mortalitas penyakit TB.
Malnutrisi dan TB merupakan dua masalah kesehatan besar yang banyak
ditemukan di negara-negara berkembang. Kedua masalah ini memiliki hubungan
satu sama lain.21
Studi mengenai hubungan antara nutrisi dan insidens atau derajat
keparahan TB masih sangat sedikit. Sulit untuk menentukan status nutrisi secara
akurat pada individu dengan TB aktif, terutama sebelum terjadinya onset
penyakit, sehingga tidak dapat ditentukan apakah malnutrisi menyebabkan
berkembangnya TB atau TB aktif menyebabkan malnutrisi.3
Status nutrisi secara signifikan lebih rendah pada pasien TB aktif
dibandingkan dengan orang sehat pada beberapa studi berbeda di Indonesia,
Inggris, India, dan Jepang. Pada infeksi terjadi interaksi kompleks antara respons
pejamu dan virulensi organisme yang memodulasi respons metabolik keseluruhan.
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


15

Pada pasien TB hal ini menyebabkan penurunan nafsu makan, malabsorpsi zat
gizi, dan perubahan metabolisme berkaitan dengan inflamasi dan respon imun
sehingga terjadi wasting.21
Seperti halnya infeksi HIV, kecepatan metabolik atau resting energy
expenditure meningkat, sehingga kebutuhan energi meningkat untuk memenuhi
kebutuhan basal fungsi tubuh. Selain itu, asupan energi biasanya menurun oleh
karena anoreksia yang berhubungan dengan penyakit. Anoreksia juga berperan
pada terjadinya wasting pada TB. Studi kohort di Amerika pada pasien yang
terdiagnosis TB, sebanyak 45% mengalami penurunan BB dan 20% mengalami
anoreksia. Meningkatnya produksi sitokin disertai dengan proteolisis dan lipolisis
menyebabkan peningkatan keluaran energi pada TB.3,21
Malnutrisi energi-protein dan defisiensi mikronutrien meningkatkan risiko
terjadinya TB. Mekanisme imun protektif host terhadap infeksi Mtb tergantung
pada interaksi dan kerja sama antara monosit-makrofag, limfosit-T dan sitokin.
Studi eksperimental menunjukkan bahwa malnutrisi dapat menyebabkan
imunodefisiensi sekunder yang dapat meningkatkan kerentanan host terhadap
infeksi. Meningkatnya risiko TB disebabkan oleh perubahan fungsi protektif
individu, atau interaksi antara limfosit-T dan makrofag oleh karena malnutrisi.
Reaktivasi atau infeksi TB laten juga dapat berhubungan dengan terganggunya
status nutrisi. Malnutrisi protein telah diketahui sebagai faktor risiko penting
predisposisi infeksi intrasel yang dapat menyebabkan kematian.21
Pada TB paru aktif terjadi gangguan metabolisme protein. Studi di India
pada pasien TB paru malnutrisi dibandingkan dengan orang sehat berstatus nutrisi
normal. Sintesis dan pemecahan protein pada kondisi puasa tidak berbeda
bermakna antara dua kelompok. Pasien dengan TB paru lebih banyak
menggunakan protein dari makanan untuk oksidasi dan produksi energi
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Adanya kegagalan mengubah protein
dari makanan ke dalam sintesis protein endogen disebut dengan anabolic block.22

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


16

2.4 Tatalaksana nutrisi pada TB


World Health Organization merekomendasikan bahwa seluruh pasien TB harus
mendapatkan tatalaksana nutrisi oleh karena adanya hubungan kausal antara
malnutrisi dan TB. Selain itu pada TB sering disertai komorbid lain seperti HIV,
diabetes mellitus, kebiasaan merokok dan minum alkohol. Skrining, assessment
dan tatalaksana nutrisi menjadi bagian integral dari tatalaksana TB. Nutrisi
adekuat yang mengandung seluruh komponen makro dan mikronutrien diberikan
pada pasien TB.5

2.4.1 Energi dan makronutrien


Seperti infeksi lainnya, pada TB aktif terjadi peningkatan kebutuhan energi, dan
rekomendasi pemenuhan kebutuhan energi dapat menggunakan pedoman infeksi
HIV. Kecepatan metabolik basal meningkat hingga 20-30%. Hingga saat ini
belum ada bukti yang merekomendasikan bahwa proporsi kebutuhan energi dari
makronutrien pada TB berbeda dengan orang sehat. Diet seimbang diberikan
dengan jumlah kalori dan protein adekuat. Kebutuhan energi sebesar 35-45
kkal/kg dapat diberikan bila penurunan BB terlihat signifikan. Secara umum
rekomendasi asupan protein 15-30% total kalori, lemak 25-35% total kalori, dan
karbohidrat 45-65% total kalori.5,23 Suatu rekomendasi menyebutkan secara
umum kebutuhan energi pada pasien TB sekitar 35-40 kkal/kgBB ideal. Asupan
protein 1,2-1,5 g/kgBB/hari atau 15% dari total energi dapat memenuhi kebutuhan
per hari. Pada pasien malnutrisi, protein dapat diberikan 1,7 g/kgBB/hari dan pada
overweight sebesar 1 g/kgBB/hari.24

2.4.2 Mikronutrien
Vitamin A, C, E, B6, dan asam folat serta mineral seng, tembaga, selenium dan
besi memiliki peran dalam jalur metabolisme, fungsi selular, dan imun. Kadarnya
yang cukup atau tinggi dapat berperan pada pertahanan pejamu melawan TB.
Defisiensi dari satu atau beberapa mikronutrien dapat menurunkan resistensi
terhadap infeksi. Menurunnya asupan mikronutrien terutama vitamin A dan
vitamin/mineral antioksidan seperti provitamin A, vitamin C, E, seng dan
selenium berhubungan dengan terganggunya respons imun. Tuberkulosis dapat
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


17

menginduksi substansi oksidatif seperti reactive oxygen species (ROS) yang


dihasilkan dari radikal bebas, sehingga menyebabkan kerusakan jaringan dan
inflamasi. Reactive oxygen species sangat toksik terhadap berbagai sel, terutama
terhadap sel lemak sehingga menyebabkan peroksidasi dan terjadi kerusakan
membran, berhubungan dengan patogenesis fibrosis paru dan disfungsi pada TB
paru.3
Vitamin A berperan penting pada proliferasi limfosit, generasi respons
antibodi, dan mempertahankan permukaan mukosa dan fungsi epitel. Vitamin E
melindungi membran sel terhadap peroksidasi lipid dan stres oksidatif dengan
menjaga stabilitas membran sel. Seng penting pada sintesis DNA dan diferensiasi
sel. Defisiensi seng berhubungan dengan erjadinya infeksi berulang, menurunnya
fagositosis, menurunnya produksi limfosit B dan T, dan berkurangnya produksi
makrofag. Selenium merupakan bagian penting enzim antioksidan, seperti
glutation peroksidase, yang dapat melindungi sel dari kerusakan oksidatif.3,25
Rendahnya kadar beberapa mikronutrien seperti vitamin A, D, E, besi,
seng, dan selenium telah dilaporkan pada studi kohort pasien TB aktif di awal
terapi. Kadar mikronutrien ini biasanya kembali normal setelah 2 bulan
pengobatan TB.5 Studi kasus kontrol di Indonesia pada 41 pasien TB aktif
belum terapi usia 15-55 tahun dibandingkan dengan orang sehat, pada subyek
dengan TB paru didapatkan status nutrisi (dengan pemeriksaan antropometri),
kadar hemoglobin, retinol dan seng plasma lebih rendah dibandingkan orang
sehat.26
Karyadi dkk melakukan studi double-blind placebo controlled trial
terhadap pasien TB paru kasus baru di Indonesia. Subyek mendapatkan vitamin A
5000 IU dan seng 15 mg atau plasebo selama enam bulan. Setelah dua dan enam
bulan, pada kedua kelompok didapatkan peningkatan kadar Hb dan retinol
plasma, namun peningkatan retinol lebih tinggi pada kelompok suplementasi.
Pada kedua kelompok juga didapatkan peningkatan kadar albumin dan BB namun
tidak berbeda signifikan. Perbaikan sputum, foto toraks dan kapasitas fungsional
juga lebih baik pada kelompok suplementasi, namun hanya signifikan pada dua
bulan suplementasi.27

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


18

Kerentanan terhadap TB dan derajat keparahan TB aktif dapat disebabkan


oleh defisiensi vitamin D. Peran vitamin D pada TB aktif telah diketahui selama
lebih dari 100 tahun, dan vitamin D yang terdapat di dalam minyak ikan kod dan
pajanan sinar matahari telah menjadi terapi TB. Vitamin D diperlukan dalam
aktivasi makrofag, yang penting untuk menjaga infeksi TB dalam fase laten.3
Selain itu, Vit D meningkatkan respon imun host terhadap Mycobacterium
tuberculosis dengan menekan IFN-γ dan menurunkan inflamasi di dalam host.
Studi randomized controlled trial pada 259 pasien TB paru yang mendapatkan
suplementasi vitamin D 600.000 IU intramuskular dalam dua dosis, setelah 12
minggu didapatkan perbaikan pada gambaran radiologis dan peningkatan aktivitas
imun dan BB.28
Sebuah studi randomized double-blind placebo-controlled dilakukan di
Tanzania terhadap 530 pasein TB paru kasus baru yang diberikan suplementasi
seng dengan mikronutrien multipel, plasebo, suplementasi seng tunggal dan
mikronutrien tanpa seng. Kultur sputum dilakukan pada minggu ke-2, 4 dan 8,
hasilnya tidak didapatkan perbedaan bermakna pada hasil kultur di setiap waktu
pemeriksaan, meskipun didapatkan peningkatan BB dan penurunan angka
kematian pada kelompok yang mendapatkan suplementasi seng dengan
mikronutrien multipel. Pada kelompok dengan koinfeksi HIV, suplementasi seng
atau mikronutrien atau kombinasi seng-mikronutrien multipel berhubungan
dengan menurunnya risiko kematian 50-70% namun tidak berbeda bermakna.29

2.5 Sistem imun


Sistem imun terbagi menjadi dua kelompok yaitu innate imunity dan acquired
immunity. Innate atau nonspesific imunity merupakan lini pertama pertahanan
tubuh melawan agen infeksi, iritan kimia, dan kerusakan jaringan. Acquired
immunity bergantung pada respon spesifik suatu target organ melawan benda
asing tertentu yang mengenai suatu bagian tubuh. Respons tubuh terdiri atas dua
fase, yaitu sistem imun harus mengenali antigen, untuk kemudian bereaksi
terhadap antigen tersebut. Suatu antigen pada umumnya merupakan suatu protein
ukuran besar atau polisakarida yang menempel pada benda asing. Membran sel

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


19

neoplasma dapat menjadi antigen dan sel membran tubuh sendiri juga dapat
berperan sebagai self-antigen.30,31
Organ dari sistem imun diklasifikasikan menjadi organ sentral dan perifer.
Organ sentral adalah tempat sel imun diproduksi, terdiri atas sumsum tulang dan
timus. Organ perifer merupakan tempat respon imun adaptif dimulai, terdiri dari
sistem limfe, lien, mucosa associated lymphatic tissue (MALT), bronchial-
associated lymphatic tissue (BALT), dan gut-associated lymphatic tissue (GALT).
Seluruh sel sistem imun berasal dari sel stem sumsum tulang. Sel-sel imun ini,
yang sering disebut sebagai sel darah putih, terbagi menjadi tiga kelompok yaitu
makrofag/monosit, leukosit polimorfonuklear, dan limfosit. Sel stem limfoid
memproduksi sel-sel spesifik sistem imun, yaitu sel T (limfosit T) dan sel B
(limfosit B). Makrofag/monosit dan leukosit polimorfonuklear termasuk dalam
innate immune system. Natural killer cells (sel NK) dihasilkan dari sel stem
limfoid, dan bekerja sebagai komponen respon imun nonspesifik atau innate.30,31
Sel T merupakan penamaan untuk kelenjar timus, tempat sel ini matang
dan berdiferensiasi. Sebagian besar limfosit di dalam darah, nodul dan kelenjar
limfe adalah sel T. Sel T terbagi menjadi subkategori berdasarkan perannya di
dalam respon imun, termasuk diantaranya sel T-helper dan sel T sitotoksik. Sel T-
helper juga dikenal sebagai sel T4 oleh karena salah satu molekul permukaannya,
CD-4, sangat penting dalam hubungannya dengan respon imun. Molekul ini
menentukan bagaimana sistem imun akan berespon terhadap berbagai macam
antigen. Molekul CD-4 menstimulasi sel dan mengaktifkan sitokin, dan akan
berinteraksi dengan sel lainnya di dalam sistem imun, sehingga secara imunologi
aktif dan berproliferasi. Sel T-helper terbagi menjadi Th1 dan Th2. Sel Th1
mengaktivasi sistem imun selular, sedangkan sel Th2 meningkatkan produksi
antibodi. Sel T sitotoksik, yang dikenal dengan sel T8 atau CD-8 akan membunuh
target terinfeksi, tumor atau sel transplan secara langsung.30
Sel B berdiferensiasi di dalam sumsum tulang. Saat terstimulasi oleh
antigen dan sel T, sel B akan terbelah dan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan
sel B memori. Sel plasma mengandung retikulum endoplasma yang akan
memfasilitasi produksi antibodi. Sel B memori menghasilkan respons antibodi
yang cepat saat seseorang terpajan dengan antigen, dan secara normal
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


20

menghambat infeksi dan mencegah gejala. Antibodi yang dibentuk oleh protein
sebagai respons terhadap suatu antigen, terutama ditemukan di dalam gama
globulin serum, disebut juga dengan immunoglobulin. Terdapat lima macam
antibodi yang dibedakan dari strukturnya, yaitu IgG, IgA, IgM, IgD, dan IgE.30

2.6 Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome


(HIV/AIDS)
2.6.1. Definisi dan etiologi
Human immunodeficiency virus adalah virus RNA yang termasuk dalam famili
Retroviridae dan genus Lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh
host. Seperti retrovirus lainnya, untuk menginfeksi tubuh, HIV memiliki masa
inkubasi yang lama (masa laten klinis) hingga akhirnya menimbulkan tanda dan
gejala penyakit AIDS. Acquired immune deficiency syndrome adalah gejala
berkurangnya kemampuan pertahanan tubuh yang disebabkan penurunan
kekebalan tubuh karena virus HIV.1,32
Penyakit AIDS pertama kali dikemukakan oleh the Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) pada tahun 1981, setelah dilaporkan adanya
seorang lelaki muda yang mendapatkan infeksi oportunistik yang tidak biasa,
berhubungan dengan penekanan sel imun, yaitu pneumonia Pneumocystis
jirovecii, sitomegalovirus (CMV), kandidiasis atau sarkoma Kaposi. Jenis
penyakit ini tidak diketahui sebelumnya, hingga pada tahun 1983 para peneliti
mengisolasi retrovirus yang diketahui sebagai etiologi penyakit tersebut dan
menamakannya virus HIV.32

2.6.2 Epidemiologi
Pada akhir tahun 2002, diperkirakan sejumlah 42 juta orang dewasa dan anak-
anak hidup dengan HIV atau AIDS. Dari jumlah ini sekitar 28,5 juta (68%)
tinggal di daerah sub Sahara Afrika dan 6 juta (14%) hidup di Asia Selatan dan
Asia Tenggara. Data jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia meningkat dari tahun
2005 yaitu sebanyak 859 kasus HIV dan 2639 kasus AIDS menjadi 21031 kasus
HIV dan 4162 kasus AIDS pada tahun 2011. Sedangkan 3 provinsi dengan jumlah
kumulatif kasus AIDS terbanyak dari tahun 1987-2011 adalah provinsi DKI
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


21

Jakarta sebanyak 5117 kasus AIDS, Jawa Timur 4598 kasus dan Papua 4449
kasus AIDS dengan proporsi terbanyak menurut jenis kelamin yaitu pada laki-laki
sebesar 80,8%, terbanyak pada kelompok umur 20-29 tahun (46,8%) dengan
faktor risiko terbanyak pada heteroseksual (71%).1

2.6.3 Perjalanan penyakit dan manifestasi klinis


Infeksi primer HIV merupakan penyebab penyakit AIDS. Virus HIV akan
menginvasi sel CD-4, yang disebut juga dengan sel limfosit T-helper, yang
merupakan agen utama yang terlibat dalam pertahanan tubuh melawan infeksi.
Hitung sel CD-4 di dalam darah adalah pemeriksaan penunjang laboratorium yang
umumnya digunakan. Virus HIV juga dapat ditemukan di dalam cairan sperma,
cairan vagina, sistem limfe, dan sistem saraf pusat (SSP), dan dapat berkembang
bebas.33
Transmisi infeksi HIV dapat melalui darah, cairan sperma dan vagina, air
susu ibu, dan cairan tubuh lainnya yang mengandung darah. Selain itu cairan
serebrospinal, cairan sinovial, dan air ketuban juga dapat mentransmisi infeksi
HIV. Jalur transmisi yang paling banyak adalah melalui darah dan cairan sperma
saat berhubungan seksual tanpa pengaman. Individu dengan penyakit menular
seksual memiliki risiko dua hingga lima kali terinfeksi HIV. Faktor risiko lainnya
berupa menggunakan jarum suntik yang telah terkontaminasi, kebiasaan berganti
pasangan seksual, homoseksual, dan infeksi yang diturunkan dari ibu ke janin
sebelum dilahirkan.32,33
Setelah pajanan dan transmisi virus HIV ke dalam pejamu, virus HIV akan
menyebar ke seluruh tubuh dan kadar CD-4 dalam darah akan menurun secara
progresif. Bila tidak diterapi, virus HIV akan bereplikasi hingga jutaan partikel
virus dalam sehari. Pejalanan penyakit HIV memiliki empat fase, yaitu fase
(infeksi) akut, fase asimptomatik, fase simptomatik, dan fase lanjutan atau
AIDS.32,33
Fase akut terjadi dalam 2-4 minggu setelah infeksi dan merupakan periode
replikasi virus yang sangat cepat. Sebanyak 40-90% menimbulkan gejala flu-like
syndrome seperti demam, lesi kemerahan makulopapular, luka di daerah mukosa
mulut, artralgia, nafsu makan menurun dan penurunan BB, malaise,
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


22

pembengkakan kelenjar limfe, faringitis dan mialgia. Gejala ini akan menghilang
beberapa hari hingga 4 minggu, sehingga infeksi HIV biasanya tidak terdiagnosis.
Tes serologis positif biasanya terjadi setelah 4-12 minggu setelah terinfeksi pada
lebih dari 95% pasien ―serokonversi‖ dalam waktu 6 bulan. Diagnosis infeksi HIV
pada fase akut paling baik ditegakkan dengan pemeriksaan HIV RNA dalam
plasma.33
Fase asimptomatik dapat terjadi hingga 10 tahun atau lebih. Replikasi
virus terus terjadi dan progresif namun laju replikasi lebih lambat pada periode
asimptomatik. Kadar CD-4 juga terus menurun pada periode asimptomatik,
dengan penurunan rata-rata kadar CD-4 sekitar 50/μL per tahun. Kecepatan
berkembangnya berhubungan langsung dengan jumlah RNA HIV. Pasien dengan
jumlah RNA HIV yang tinggi dalam plasma, perkembangan penyakitnya akan
lebih cepat dibandingkan yang jumlahnya lebih rendah, dan pada pasien-pasien ini
biasanya memiliki kadar RNA HIV yang sangat rendah.32
Fase simptomatik dapat timbul kapan saja selama terinfeksi HIV. Secara
umum akan terjadi penurunan kadar CD-4 lebih jauh. Komplikasi lebih berat dan
dapat mengancam nyawa akan terjadi pada pasien dengan kadar CD-4 < 200/μL.32
Kecepatan perkembangan menjadi AIDS tergantung pada karakteristik virus
maupun orang yang terinfeksi. Karakteristik virus adalah tipe dan subtipe HIV-1
dan beberapa subtipe HIV-1 bisa menyebabkan progresifitas yang lebih cepat.
Karakteristik orang yang bisa mempercepat progresi ini antara lain berumur
kurang dari 5 tahun, lebih dari 40 tahun, terdapat koinfeksi dan faktor genetik.1
Diagnosis AIDS ditegakkan bila seseorang dengan infeksi HIV dan kadar CD-4 <
200/μL dan seseorang dengan infeksi HIV yang menderita salah satu penyakit
berhubungan dengan HIV. Sekitar 60% kematian pada pasien AIDS disebabkan
oleh infeksi yang menyertai HIV antara lain pneumonia carinii, hepatitis virus,
dan infeksi bakteri lainnya.32,33
WHO telah mengembangkan sistem stadium klinis berdasarkan kriteria
klinis. Stadium klinis WHO dapat membantu untuk memperkirakan tingkat
defisiensi kekebalan tubuh pasien, sedangkan CDC mengklasifikasikan
HIV/AIDS berdasarkan kriteria kadar CD-4 dan klinis seperti yang terlihat pada
tabel 2.2 dan 2.3.1,23
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


23

Tabel 2.2 Stadium Klinis HIV Dewasa (WHO)


Stadium klinis Gejala/tanda
1 (asimptomatis) - Sindrom retroviral akut
- Limfadenopati generalisata persisten
2 - Penurunan BB < 10%
- Keilitis angularis
- Dermatitis seboroik
- Prurigo
- Herpes zoster
- ISPA berulang
- Ulkus pada mulut berulang
3 - Penurunan BB > 10%
- Kandidiasis oral
- Oral hairy leukoplakia
- Diare > 1 bulan
- Demam tanpa sebab yang jelas > 1 bulan
- Infeksi bakteri yang berat: penumonia, empiema,
poimiositis, infeksi tulang/sendi, meningitis,
bakteremia
- Terdiagnosis TB paru dalam 2 tahun terakhir
- Pemeriksaan lab: anemia (Hb < 8 g/dL),
neutropenia (< 500/mm3), atau trombositopenia (<
50.000 mm3) selama > 1 bulan
4 (AIDS) - HIV wasting syndrome
- Kandidiasis esofagus
- Ulserasi herpes simpleks (> 1 bulan)
- Limfoma
- Sarkoma Kaposi
- Kanker serviks invasif
- Retinitis CMV
- Pneumonia pneumosistitis
- TB ekstra paru (meningitis, TB tulang)
- Meningitis kriptokokus
- Abses otak
- Ensefalopati HIV
Sumber: daftar referensi no 1,23

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


24

Tabel 2.3. Sistem Klasifikasi HIV/AIDS (CDC)


Kategori/klasifikasi Kriteria sampel
Kadar sel CD4+
Kategori 1 ≥ 500 sel/μL
Kategori 2 200-499 sel/μL
Kategori 3 < 200 sel/μL
Kategori klinis
Kategori A Tidak ada gejala selain limfadenopati generalisata
persisten, atau yang berhubungan dengan infeksi HIV
primer
Kategori B Infeksi simtomatik dengan gejala seperti kandidiasis
oral/vagina, oral hairy leukoplakia, trombositopenia
idiopatik, diare/demam persisten, neuropati perifer
Kategori C AIDS dan infeksi oportunistik misalnya kanker serviks
invasif, sitonegalovirus, ensefalopati HIV, sarkoma
Kaposi, limfoma, wasting syndrome, septikemia
Salmonella berulang
Sumber: modifikasi daftar referensi no 10

2.6.4 Diagnosis
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis infeksi HIV dan
AIDS. Tes skrining yang diakui oleh the Food and Drug Administration meliputi
pemeriksaan serum atau plasma dengan sensitivitas tinggi terhadap antibodi HIV.
Tes skrining ini berupa Enzyme Linked Immunoabsorbent Assay (ELISA) atau
“rapid test” yang dapat mengantisipasi kemungkinan infeksi HIV. Skrining dapat
diulang bila hasil tes menunjukkan reaktif dan dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan ELISA dan Enzyme Immunoassay (EIA) untuk menentukan kadar
antibodi. Pemeriksaan komprehensif yang direkomendasikan adalah pemeriksaan
untuk mendeteksi infeksi awal, kadar antibodi, antigen, dan virus RNA.
Kombinasi tes ELISA untuk antigen dan antibodi dapat mendiagnosis infeksi HIV
lebih cepat. Tes Western blot, modifikasi Western blot, Indirect
Immunofluorescent Antibody Assay (IFA) dan Line Immunoassay (LIA) dapat
digunakan sebagai pemeriksaan konfirmasi.10,32

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


25

2.6.5 Tatalaksana
Tatalaksana infeksi HIV meliputi pemberian antiretroviral (ARV), pencegahan
dan mengatasi infeksi oportunistik, memodulasi perubahan hormonal, dan
mempertahankan/memperbaiki status nutrisi. Tatalaksana komprehensif pada
HIV/AIDS diketahui dapat menurunkan progresivitas infeksi HIV menjadi AIDS
dan angka kematian secara signifikan. Terapi ARV bertujuan untuk mengurangi
viral load. Terdapat lima golongan ARV yaitu entry/fusion inhibitors,
nucleoside/nucleotide reverse transcriptase inhibitors dan non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitors,integrase inhibitors, dan protease inhibitors. Kombinasi
terapi ARV yang secara efektif dapat menghambat berbagai segmen siklus hidup
infeksi HIV disebut dengan “highly active antiretroviral therapy” atau HAART
terdiri dari tiga atau lebih macam obat. Rekomendasi penggunaan ARV telah
dikeluarkan oleh CDC dan diikuti oleh sebagian besar praktisi medis.10

2.7 Hubungan antara HIV/AIDS dan nutrisi


Infeksi HIV/AIDS hampir selalu disertai dengan komplikasi penurunan BB yang
tidak diinginkan, dan hilangnya BB ≥ 10% disebut dengan wasting. Wasting
terjadi pada 20-30% pasien yang terdiagnosis dengan AIDS dan sebanyak 25%
pasien AIDS mengalami wasting dalam enam bulan terakhir kehidupannya.
Penurunan BB juga berhubungan dengan meningkatnya kesakitan dan kematian.
Hilangnya massa tubuh dan adanya parameter nutrisi yang menunjukkan
malnutrisi berhubungan dengan kematian akibat AIDS.34 Terapi HAART yang
ditemukan pada tahun 1996 dapat menurunkan insidens wasting, namun saat ini
wasting ditemukan pada sebagian besar pasien yang belum pernah mendapatkan
terapi atau terjadi kegagalan terapi akibat intoleransi obat atau resisten.35
AIDS-related wasting syndrome (AWS) merupakan diagnosis yang
ditambahkan CDC dan WHO berkaitan dengan penyakit AIDS, yang memiliki
definisi penurunan BB yang tidak diinginkan sebanyak 10%, bisa disertai dengan
demam atau diare selama lebih dari satu bulan. Penurunan BB signifikan
seringnya terjadi saat infeksi oportunistik. Selain penurunan BB, hilangnya 5%
massa tubuh dalam 6 bulan dan indeks massa tubuh (IMT) < 20 kg/m2 juga
termasuk dalam kriteria AWS.10
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


26

Penurunan BB dan wasting disebabkan oleh berbagai macam faktor,


berhubungan dengan penurunan asupan, malabsorpsi, perubahan metabolisme,
infeksi oportunistik, dan kurangnya aktivitas fisik. Menurunnya asupan oral sering
terjadi dan disebabkan oleh anoreksia akibat obat-obatan, depresi, mual, muntah,
diare, sesak nafas, fatigue dan ganguan neurologis, serta kandidiasis dan herpes di
rongga mulut.33
Status nutrisi pada HIV dapat terlihat dari massa otot yang
menggambarkan cadangan protein. Infeksi HIV yang tidak diterapi ditandai
dengan hilangnya protein otot dengan cepat, hilangnya lean body mass, dan lebih
tepatnya hilangnya massa sel tubuh yang tidak dapat diukur secara langsung pada
pemeriksaan klinis rutin. Hilangnya massa otot dan viseral dapat tertutupi oleh
bertambahnya cairan ekstra sel dan atau massa lemak, sehingga penurunan BB,
IMT dan riwayat penurunan BB tidak dapat digunakan sebagai prediktor
prognosis.35
Malnutrisi dapat berperan pada frekuensi dan derajat keparahan infeksi
yang terlihat pada penyakit AIDS dengan melibatkan fungsi imun. Defisiensi
kalori, protein, tembaga, seng, selenium, besi, asam lemak esensial, vitamin B6,
asam folat, dan vitamin A, C, E, kesemuanya dapat mengganggu fungsi imun.
Penurunan BB yang berat juga dapat merusak organ tubuh yang dapat
meningkatkan risiko kematian dari infeksi. Secara langsung, faktor nutrisi
diperlukan untuk merangsang sel imun spesifik, interaksi dan ekspresi. Studi
percobaan klinis menunjukkan bahwa suplementasi nutrien spesifik diperlukan
pada pasien HIV. Secara tidak langsung, nutrisi penting untuk sintesis DNA dan
protein, menjaga integritas jaringan sel dan sistem organ, termasuk jaringan
limfoid.33
AIDS-related wasting syndrome perlu dibedakan dari lipodistrofi, yang
merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat terapi ARV, yaitu adanya
abnormalitas metabolisme lemak ditandai dengan perubahan komposisi tubuh,
yaitu hilangnya lemak subkutan dan akumulasi lemak viseral. Gangguan
metabolisme lemak yang terjadi hampir sama dengan yang ditemukan pada
sindrom metabolik seperti dislipidemia dan resistensi insulin. Hilangnya lemak
subkutan (lipoatrofi) menyebabkan daerah muka, lengan, bokong, dan tungkai
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


27

menjadi tipis. Selain akumulasi lemak viseral, hipertrofi mammae, dan jaringan
lemak sekitar aksila, lipoma dan buffalo hump. Lipodistrofi perifer dan sentral
lebih dapat terlihat pada pemeriksaan MRI.33,35
Virus HIV dapat merusak sistem imun di usus melalui gut-associated
lymphoid tissue (GALT) yang mengandung sel imunokompeten. Salah satu
fungsi sistem imun di usus adalah untuk memisahkan bagian tubuh pejamu dari
organisme dan antigen yang bermanfaat dan yang membahayakan. Sistem imun di
usus yang kuat penting untuk mencegah invasi bakteri patogen yang dapat
menyebabkan penyakit akut, kronik, inflamasi atau alergi. Terdapat dua
mekanisme pada infeksi HIV yang dapat merusak integritas usus terkait dengan
nutrisi. Pertama, infeksi HIV itu sendiri melalui efek virus secara langsung,
menyebabkan terganggunya integritas usus dan fungsi imun GALT, sehingga
menyebabkan diare, berhubungan dengan malabsorpsi dan kehilangan
mikronutrien. Kedua, faktor dari makanan dapat merusak epitel usus,
menyebabkan kerentanan terhadap infeksi HIV, terutama melalui dinding usus,
yang biasanya terjadi pada bayi.36

2.8 Tatalaksana nutrisi pada HIV/AIDS


Tujuan tatalaksana nutrisi pada HIV/AIDS adalah untuk memperbaiki status
nutrisi dan kapasitas fungsional, memperbaiki toleransi terhadap terapi ARV,
mengurangi gejala gastrointestinal dan memperbaiki kualitas hidup. Indikasi
tatalaksana nutrisi bila didapatkan penurunan BB atau massa sel tubuh signifikan
(> 5% dalam 3 bulan) dan IMT < 18,5 kg/m2.35

2.8.1 Energi dan makronutrien


Menurunnya asupan energi dan meningkatnya kebutuhan energi pada infeksi HIV
menjadi latar belakang terjadinya penurunan BB dan wasting. Belum ada bukti
yang menunjukan bahwa kebutuhan energi pada pasien HIV berbeda dengan
kelompok pasien lainnya.35,37 Kebutuhan energi dan protein bervariasi tergantung
dari status kesehatan pasien saat terinfeksi HIV, perkembangan dan komplikasi
penyakit yang dapat mengganggu asupan nutrisi.33

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


28

World Health Organization merekomendasikan kebutuhan energi


meningkat 10% pada fase asimptomatik, dengan tujuan untuk mempertahankan
BB. Pada fase simptomatik dan infeksi oportunistik, kebutuhan energi dapat
meningkat sebesar 20-30% untuk mempertahankan BB.37 Pada fase penyembuhan
setelah infeksi oportunistik, kebutuhan energi juga meningkat hingga 20-30%
untuk meningkatkan BB.35 Pada AWS dapat diberikan penambahan 500 kkal di
atas estimasi kebutuhan energi (40-50 kkal/kgBB aktual) dan protein 1,6-1,8
g/kgBB aktual).33
Asupan tinggi protein dapat diberikan untuk mencapai imbang protein
positif dan memperbaiki lean body mass.33 Studi menunjukkan imbang protein
positif pada pasien HIV simtomatik dapat dicapai dengan asupan protein antara
1,2-1,8 g/kgBB/hari.35 Rujukan lain menyebutkan protein dapat diberikan sebesar
1-1,4 g/kgBB untuk maintenance dan 1,5-2 g/kgBB untuk memenuhi kebutuhan.33
Rekomendasi pemberian lemak pada pasien HIV tidak berbeda dengan
orang sehat. Pada pasien HIV dengan malabsorpsi atau diare, pemberian lemak
MCT dapat dipertimbangkan untuk memperbaiki absorpsi lemak, pergerakan usus
dan gejala gastrointestinal. Minyak ikan (mengandung omega-3) yang diberikan
bersama dengan minyak MCT diketahui dapat memperbaiki fungsi imun oleh
karena kombinasinya dapat mengurangi inflamasi.33,35

2.8.2 Mikronutrien
Peran mikronutrien pada pencegahan dan tatalaksana infeksi HIV dan penyakit
yang berhubungan dengan HIV memerlukan perhatian lebih lanjut. Penurunan
kadar mikronutrien pada pasien HIV telah banyak diketahui diantaranya selenium,
seng, magnesium, besi, kalsium, tembaga, karoten, vitamin B6, B12, dan E.
Menurunnya kadar mikronutrien dapat memengaruhi fungsi imun, perkembangan
penyakit, kerusakan akibat stres oksidatif, dan kematian.34 Studi observasional
menunjukkan bahwa rendahnya asupan dan kadar mikronutrien di dalam darah
berhubungan dengan progresivitas penyakit HIV dan kematian lebih cepat, serta
meningkatkan risiko transmisi HIV. Pasien infeksi HIV perlu mendapatkan
asupan mikronutrien dari makanan sesuai jumlah RDA, namun jumlah ini tidak
akan mencukupi untuk memperbaiki defisiensi yang terjadi. Pasien HIV
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


29

direkomendasikan untuk mendapatkan suplementasi mikronutrien sebesar 100%


RDA.33

2.9 Kaheksia
2.9.1 Definisi
Kaheksia berasal dari kata ‗cacos‘ (buruk) dan ‗hexis‘ (kondisi) merupakan
sindrom multifaktorial yang ditandai dengan penurunan BB, hilangnya massa otot
dan lemak, dan peningkatan katabolisme protein akibat penyakit yang
mendasarinya.8,38 Sebanyak 10-40% pasien dengan penyakit kronik seperti gagal
jantung, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), kanker, HIV/AIDS, gagal hati
dan ginjal mengalami kaheksia. Jumlah ini meliputi lebih dari 5 juta orang di
Amerika Serikat atau sebesar 2% populasi. 8

2.9.2 Patofisiologi
Inflamasi merupakan faktor terpenting yang berperan pada patogenesis kaheksia.
Sitokin berperan pada imunomodulasi dan terlibat dalam etilogi anoreksia,
penurunan BB, disfungsi kognitif, anemia, dan kerentanan tubuh. Meningkatnya
produksi sitokin proinflamasi yang berlebihan seperti IL-1, IL-2, interferon-γ, dan
TNF-α merupakan penyebab terbanyak kaheksia pada pasien dengan penyakit
akut. Sitokin akan mengaktivasi transkripsi NF-κβ yang mengakibatkan
menurunnya sintesis protein otot. Sitokin juga berperan pada menurunnya protein
MyoD, faktor transkripsi yang memodulasi jalur sinyal yang terlibat pada
pembentukan otot. Selain itu, ubiquitin proteasome pathway yang terlibat dalam
hiperkatabolisme penyakit dan menginduksi pemecahan miofibrilar melalui
mekanisme NK-κβ-dependent and independent juga teraktivasi oleh pelepasan
kortisol yang distimulasi sitokin. Sitokin juga menstimulasi katekolamin dan
meningkatkan kecepatan metabolik.8,39

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


30

Penyakit kronik dan


faktor yang
berhubungan

Inflamasi

Otak Otot Hati


Lemak

Sintesis ↓,
Pemecahan ↑
Lipolisis, β- Protein fase akut
oksidasi ↑ ↑, albumin ↓

Fatigue,
Resistensi
Testosteron ↓ Anoreksia imobilisasi insulin
Anemia

KAHEKSIA

Gambar 2.5 Patofisiologi Kaheksia


Sumber: daftar referensi no 8

Menurunnya regulasi jalur anabolik yaitu IGF-1, androgen, proliferasi sel


satelit, dan meningkatnya jalur katabolik seperti apoptosis, autofagi, disfungsi
mitokondria dan jalur miostatin, semuanya dapat mengakibatkan fungsi dan massa
otot. Pelepasan hormon kortisol dan adrenal yang dimediasi oleh sitokin juga
dapat meningkatkan oksidasi lemak dan atrofi lemak, resistensi insulin,
hipermetabolisme, anemia, dan fatigue. Selain itu gejala nyeri, obstruksi saluran
cerna, mual, fatigue, dan depresi juga dapat menyebabkan penurunan nafsu makan
pada kaheksia.8 Patofisiologi kaheksia dapat dilihat pada gambar 2.5.

2.9.3 Diagnosis
Suatu konsensus memberikan kriteria diagnosis untuk menegakkan diagnosis
kaheksia, dengan kriteria utama adalah kehilangan BB 5% dalam ≤ 12 bulan
terakhir. Rentang waktu penurunan BB tergantung dari penyakit yang
mendasarinya, pada kanker bisa terjadi dalam 3-6 bulan, sedangkan pada penyakit
ginjal kronik, gagal jantung atau PPOK dapat berlangsung lebih lama. Bila tidak

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


31

didapatkan riwayat penurunan BB, nilai IMT < 20 kg/m2 dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis. 7
Anoreksia menjadi salah satu hal yang dapat menyulitkan diagnosis
kaheksia. Anoreksia terjadi pada keadaan lain yang tidak berhubungan dengan
kaheksia seperti penggunaan obat-obat tertentu, depresi, penurunan nafsu makan
berkaitan dengan usia, dan gangguan gastrointestinal (konstipasi, pengosongan
lambung yang lambat). Oleh karena itu diagnosis kaheksia hanya dapat
ditegakkan bila ada penurunan BB disertai dengan tiga dari lima gejala seperti
yang terlihat pada tabel 2.4.7

Tabel 2.4 Kriteria Diagnosis Kaheksia


Penurunan BB minimal 5% dalam ≤ 12 bulan terakhir dengan penyakit yang
mendasari, ditambah tiga dari lima kriteria di bawah ini:
- Menurunnya kekuatan otot
- Fatigue
- Anoreksia
- Indeks massa bebas lemak rendah
- Pemeriksaan laboratorium abnormal: peningkatan penanda inflamasi
(CRP, IL-6), anemia (< 12 g/dL), dan hipoalbuminemia (< 3,2 g/dL)
Sumber: daftar referensi no 7

2.9.4 Tatalaksana
Tatalaksana nutrisi ditambah dengan aktivitas fisik dapat memberikan manfaat
dari segi patofisiologi dalam hal mengurangi pemecahan protein dan memperbaiki
fungsi otot. Walaupun pasien kaheksia tidak termotivasi untuk melakukan
aktivitas fisik, bukti menunjukkan bahwa latihan ketahanan dapat memperbaiki
kekuatan otot dan lean body mass, mengurangi inflamasi dan memperbaiki
fatigue. Kaheksia merupakan kondisi hiperkatabolik dan pemberian protein
sebesar 1,5g/kgBB/hari atau 15-20% total kalori direkomendasikan untuk
melawan katabolisme. Studi mengenai pemberian suplementasi kalori atau
penambahan nutrien spesifik seperti protein whey, asam amino rantai cabang
(AARC) atau kreatin belum menunjukkan hasil konsisten.8
Obat-obatan perangsang nafsu makan seperti steroid, megestrol asetat dan
kanabinoid merupakan obat-obatan yang sudah lama dan penelitiannya sudah
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


32

banyak dilakukan pada kaheksia. Kortikosteroid dapat memperbaiki nafsu makan


dan kualitas hidup, namun tidak direkomendasikan oleh karena efek sampingnya
yang banyak. Megesterol asetat dapat meningkatkan nafsu makan dan BB dengan
meningkatkan massa lemak, namun efek sampingnya dapat berupa tromboemboli,
hipogonadisme, insufisiensi adrenal dan dapat meningkatkan kematian pada orang
tua. Kanabinoid seperti dronabinol merupakan pilihan lain namun efektivitasnya
lebih rendah dibandingkan dengan steroid.8,40
Oksandrolon merupakan derivat testosteron sintetik dengan efek
androgenik minimal telah diketahui dapat digunakan pada laki-laki dan
perempuan dengan penurunan BB yang berhubungan dengan keadaan katabolik
seperti pembedahan, luka bakar, dan infeksi kronik. Oksandrolon juga telah
menunjukkan dapat meningkatkan lean body mass dan BB pada pasien HIV dan
PPOK yang mengalami penurunan BB. Secara umum dapat ditoleransi dengan
baik, namun dapat menyebabkan hipogonadisme pada laki-laki. Selective
androgen receptor modulator (SARM) merupakan tissue-spesific nonsteroidal
androgenic agents yang diharapkan memiliki efek samping androgenik minimal
dan potensi anabolik lebih besar dibandingkan dengan testosteron.8,40
Hasil yang konsisten telah ditunjukkan pada penggunaan recombinant
growth hormone (GH) pada kondisi katabolik termasuk diantaranya AIDS, gagal
jantung kongestif, PPOK dan hemodialisis seperti halnya pada pasien pasca
bedah. Recombinant GH telah diakui oleh the US Food and Drug Administration
untuk tatalaksana HIV wasting syndrome, penyakit ginjal kronik anak dan pasien
SBS yang tergantung dengan nutrisi parenteral untuk mengatasi cachexia.
Penggunaan recombinant GH sangat mahal, memerlukan injeksi subkutan setiap
hari dan efek sampingnya berupa artralgia, edema, resistensi insulin, parestesia,
dan retensi garam.8,35
Ghrelin dalam bentuk infus atau analog sintetisnya dalam bentuk oral telah
dipelajari pada penurunan BB yang ditemui pada kanker, gagal jantung kongestif,
penyakit ginjal kronik stadium akhir, PPOK, dan anoreksia nervosa. Ghrelin
dilaporkan sangat aman diberikan dalam jangka pendek tanpa efek samping.
Ghrelin mimetics (yang dikenal dengan growth hormone secretagogues/GHS)
diberikan dalam bentuk oral, memiliki waktu paruh lebih panjang sehingga lebih
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


33

mudah digunakan dalam klinis. Studi randomized, double-blind crossover pada 16


pasien kaheksia kanker mendapatkan plasebo atau GHS anamorelin selama 3 hari.
Pada kelompok perlakuan didapatkan peningkatan nafsu makan dan BB signifikan
sebesar 0,77 kg. Efek samping obat ini antara lain hiperglikemia, mual, dan
mengantuk. Ghrelin mimetics memiliki potensi sebagai terapi kaheksia di masa
yang akan datang.8,40
Inflamasi merupakan mekanisme penting pada kaheksia, sehingga obat-
obat dengan target sitokin proinflamasi menjadi sorotan namun belum
menunjukkan manfaat yang konsisten. Asam lemak omega-3, golongan anti-
tumor necrosis factor dan talidomid telah dilaporkan berbagai efek dan hasilnya
yang inkonsisten. Talidomid merupakan imunomodulator, antineoplasma dan
antiinflamasi yang diketahui dapat memperbaiki BB beberapa kanker tertentu.
Suatu studi randomisasi controlled trial mengevaluasi efek terapi multimodal
pada kaheksia yang menunjukkan manfaat penggunaan talidomid, megesterol
asetat, EPA, L-karnitin, dan dukungan nutrisi secara bersamaan, namun
didapatkan heterogenisitas antar kelompok, sehingga tidak dapat disimpulkan
secara umum. Studi ini menyatakan bahwa kaheksia disebabkan oleh berbagai
faktor, sehingga pendekatan terapi sesuai dengan mekanisme penyebab (inflamasi,
perangsang nafsu makan dan golongan anabolik otot) lebih efektif dibandingkan
mengatasi inflamasi secara tunggal.8,40
Beta bloker juga diketahui dapat memperbaiki BB dengan menghambat
cathecolamine-dependent lipolysis, menurunkan resting energy expenditure,
menginduksi vasodilatasi dan memperbaiki oksigenasi. Percobaannya pada tikus
dengan kaheksia menunjukkan dapat memperbaiki ketahanan hidup dan
mempertahankan BB. Studi lebih lanjut masih diperlukan untuk mengetahui
perannya dalam memperbaiki massa otot pada usia lanjut.8
Melanocortin receptor inhibition, myostatin inhibitors, dan anti-IL-6
antibodies terapi kaheksia lainnya yang masih dipelajari manfaatnya.8 Ringkasan
golongan obat-obatan yang dapat digunakan pada kaheksia terlihat pada tabel 2.5.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


34

Tabel 2.5 Obat-obatan yang dapat digunakan dalam Tatalaksana Kaheksia


Golongan dan contoh obat Efek klinis (RCT) Hipotesis cara kerja
Anabolic agents
Kortikosteroid Memperbaiki anoreksia dan Menghambat metabolisme
kelemahan, belum terbukti prostaglandin dan efek
pada peningkatan BB dan euforia sentral
asupan kalori
Nandrolon dekanoat Penurunan BB sedikit Menyebabkan akumulasi
nitrogen protein
Oksandrolon Publikasi RCT belum ada Tidak dijelaskan
Insulin Meningkatkan lemak tubuh Tidak dijelaskan
dan asupan KH
Adenosin trifosfat (ATP) Mempertahankan BB dan Tidak dijelaskan
meningkatkan asupan
energi
Perangsang nafsu makan
Progesteron: megestrol Memperbaiki nafsu makan, MA: meningkatkan
asetat (MA), asupan kalori dan BB neuropeptida stimulan nafsu
medroksiprogesteron (MP) makan sentral
YMP: menurunkan
serotonin dan produksi
sitokin dengan PBMCs
Kanabinoid: dronabinol Manfaat belum ada Bekerja pada reseptor
endorfin, menurunkan
sintesis prostaglandin atau
menghambat sekresi IL-1
Penghambat sitokin
Siproheptadin Peningkatan BB belum Antagonis serotonin dengan
dibuktikan sifat antihistaminnya
Talidomid Meminimalkan Imunomodulator
penurunanBB,
meningkatkan lean body
mass
Pentoksifilin Tidak ada perbaikan pada Menghambat trsnkripsi gen
nafsu makan dan BB pada TNF
pasien cachexia
Asam eikosapentaenoat Meta-analisis Cochrane: Secara in vitro menurunkan
(EPA) bukti belum cukup untuk aktivitas cAMP dan lipolisis
menunjukkan bahwa EPA
lebih baik dibanding
plasebo
Melatonin Memperbaiki kaheksia dan Imunomodulator,
ketahanan hidup pada menurunkan produksi TNF
kanker paru NCSC
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


35

Golongan dan contoh obat Efek klinis (RCT) Hipotesis cara kerja
Antiinflamasi
Antiinflamasi non-eteroid Menurunkan penanda Menurunkan respons
inflamasi, REE dan inflamasi sistemik terhadap
memperbaiki lemak tubuh tumor
cAMP = cyclic adenosinemonophosphate, NCSC = non-small cell (lung cancer), PBMC
= peripheral blood mononuclear cells, RCT = randomised controlled trial, TNF = tumor
necrosis factor
Sumber: daftar referensi no 40

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


36

BAB 3
KASUS

Serial kasus ini membahas mengenai terapi nutrisi pada empat pasien TB paru
dengan infeksi HIV dan kaheksia yang dirawat di RSU Kabupaten Tangerang.
Kriteria pemilihan pasien adalah: (1) diagnosis TB paru yang ditegakkan melalui
pemeriksaan sputum, rontgen toraks, riwayat terapi OAT, (2) dilakukan
pemeriksaan laboratorium anti HIV, (3) malnutrisi berat dan masuk dalam kriteria
diagnosis kaheksia, (4) pasien yang masuk dalam kriteria skrining dan
memerlukan tatalaksana nutrisi pada skrining gizi RSU Kab Tangerang, (5) pasien
rawat inap di ruang perawatan penyakit dalam (Cempaka atau Flamboyan) RSU
Kab Tangerang, (6) lama perawatan lebih dari lima hari.
Skrining gizi telah dilakukan sebelum dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Terapi nutrisi diberikan selama pasien menjalani rawat inap dengan pemantauan
yang dilakukan meliputi penilaian subyektif, toleransi asupan, keadaan klinis,
tanda vital, pemeriksaan fisik, kapasitas fungsional, analisis asupan, dan
pemeriksaan penunjang.

Tabel 3.1. Karakteristik Pasien


Kasus Jenis Usia IMT Diagnosis Masalah
kelamin (tahun) (kg/m2)
Pasien 1 L 32 15,4 TB paru kasus Malnutrisi, kaheksia,
baru, HIV (+) sesak nafas, anemia,
hipoalbuminemia
Pasien 2 P 23 13,8 TB paru dalam Malnutrisi, kaheksia,
OAT, susp alergi anemia, riwayat
OAT, diare kronik diare
Pasien 3 L 19 15,6 TB milier, HIV (+), Malnutrisi,kaheksia,
suspek anemia
meningoensefalitis
Pasien 4 L 24 11,7 TB paru putus Malnutrisi, kaheksia,
obat,…. anemia
Keterangan: HIV = human immunodeficiency virus, IMT = indeks massa tubuh, L = laki-laki
OAT = obat anti tuberkulosis, P = perempuan, TB = tuberkulosis

36 Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


37

3.1. Kasus pertama


Paien laki-laki 32 tahun datang ke UGD RSU Kab Tangerang (RSUT) dengan
keluhan sesak nafas sejak dua minggu sebelum masuk RS. Sesak hilang timbul,
tidak ada perubahan bila merubah posisi (duduk/tiduran), dan tidak berkurang bila
beristirahat. Kadang-kadang disertai batuk berdahak, tidak ada darah dan lendir.
Pasien tidak mengalami demam, makan hanya sedikit sejak, terkadang mual, tapi
tidak muntah, dan tidak ada diare. Keringat malam disangkal. Pasien merasa berat
badannya turun namun tidak mengetahui berapa banyak penurunannya. Sejak
empat bulan terakhir pasien sering merasa lemas dan nafsu makan menurun.
Pasien hanya minum minuman penambah energi dan sesekali membeli vitamin di
apotik. Riwayat berobat paru rutin sebelumnya disangkal oleh pasien. Pada
riwayat penyakit dahulu dan keluarga tidak didapatkan penyakit asma, DM,
jantung, dan tidak ada yang memiliki riwayat pengobatan paru rutin dalam
keluarga dan lingkungan sekitar rumah.
Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak usia ± 15 tahun, sehari merokok
sekitar satu hingga dua bungkus, namun sejak sesak pasien tidak merokok.
Riwayat menggunakan obat-obatan terlarang dengan jarum suntik, promiskuisitas,
dan riwayat transfusi darah disangkal pasien, namun pasien memiliki tato di
punggung kanan. Saat ini pasien bekerja sebagai buruh bangunan, istri pasien
seorang pembantu rumah tangga, dan pasien belum memiliki anak. Pasien tinggal
di lingkungan padat penduduk di daerah Cengkareng. Biaya pengobatan
menggunakan BPJS.
Saat sehat pasien makan dua sampai tiga kali sehari. Makan pagi biasanya
kopi hitam satu gelas dengan empat sendok teh gula dan pisang goreng dua
hingga tiga buah. Siang hari pasien makan nasi sekitar dua gelas (belimbing), lauk
ikan tongkol satu potong sedang atau balado telur satu butir, tumis sayuran kira-
kira dua sendok sayur, tahu/tempe goreng satu potong. Sore hari pasien kembali
minum kopi satu cangkir dan makan malam hampir sama dengan makan siang.
Empat bulan terakhir pasien mulai malas makan, biasanya hanya satu sampai dua
kali makan setiap harinya, dengan menu yang hampir sama saat sehat namun
jumlah porsi jauh berkurang.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


38

Selama sakit (dua minggu terakhir) asupan pasien mulai menurun, dengan
frekuensi makan besar dua kali sehari. Pagi hari pasien hanya makan roti isi
setengah potong yang dicelupkan ke dalam susu/sereal instan, dan menghabiskan
susu satu sachet. Makan siang dan sore berupa bubur nasi kira-kira setengah gelas
(belimbing), sup sayuran (wortel, kentang) dua sendok makan, kadang-kadang
dengan ayam suwir satu potong. Selama sehat dan sakit pasien jarang
mengonsumsi buah-buahan. Dalam 24 jam terakhir pasien hanya dapat
mengonsumsi setengah porsi dari makanan RS yang diberikan (bubur 1500 kkal).
Pada saat pemeriksaan pasien tampak sesak, sesekali terbatuk disertai
dengan dahak. Pasien dapat berkomunikasi dengan baik, istri pasien kadang ikut
menjawab pertanyaan yang diberikan. Nafsu makan masih menurun, ada sedikit
rasa mual. Keadaan umum tampak sakit sedang dengan kesadaran compos mentis.
Tanda vital didapatkan tekanan darah 100/70 mm Hg, nadi 90x/menit, frekuensi
pernafasan 26x/menit, dan suhu 37° C.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan rambut mudah dicabut, konjungtiva
anemis, sklera tidak ikterik, hidung terpasang nasal kanul O2 3 liter/menit. Pada
rongga mulut didapatkan kandidiasis di lidah dan oral hygiene yang buruk.
Pemeriksaan toraks terlihat iga gambang, bunyi jantung dan paru pada auskultasi
dalam batas normal. Abdomen tampak cekung, bising usus (+) normal, supel, dan
tidak ada nyeri tekan. Pada keempat ekstrimitas tidak didapatkan edema, terlihat
muscle wasting, akral hangat, dan CRT < 2 detik. Kekuatan genggaman tangan
pasien lebih lemah dari pemeriksa dengan skor indeks Barthel 9 (ketergantungan
sedang). Pemeriksaan antropometri didapatkan panjang badan 165 cm, LLA 17
cm, BB perkiraan 42 kg, dan IMT berdasarkan BB perkiraan adalah 15,4 kg/m2.
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 16 Agustus‘15 didapatkan kadar
hemoglobin (Hb) 11,6 g/dL, hematokrit 34%, leukosit 14.600/μL, trombosit
504.000/μL, natrium 132 mmol/L, kalium 3,9 mmol/L, klorida 93 mmol/L, ureum
29 mg/dL, dan kreatinin 0,6 mg/dL. Pemeriksaan albumin tanggal 19 Agustus‘15
sebesar 2,2 g/dL, SGOT 25 U/L, SGPT 18 U/L, dan anti HIV reaktif. Pemeriksaan
sputum BTA didapatkan dua kali positif. Foto toraks menunjukkan gambaran
sugestif TB paru aktif.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


39

Diagnosis dokter penanggung jawab pasien (DPJP) adalah TB paru,


kandidiasis oral, dan HIV positif. Pasien mendapatkan terapi awal dari DPJP
berupa ceftriaxone injeksi 1 x 2 g, sirup OBH 3 x sendok makan, candistin drop
3x 1 ml, kotrimoksasol tablet 2 x 480 mg. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, antropometri dan penunjang, maka diagnosis gizi medis pasien ini adalah
malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang (anemia, leukositosis,
hiponatremia, hipoalbuminemia) pada TB paru, kandidiasis oral dan HIV positif.
Tatalaksana nutrisi diberikan pada perawatan hari kedua, kebutuhan energi
dihitung menggunakan rumus Harris-Benedict, didapatkan kebutuhan energi basal
(KEB) sebesar 1252 kkal dan kebutuhan eneri total (KET) 1628 kkal (~1600 kkal)
menggunakan faktor stres 1,4. Target pemberian protein 75,6 g (1,8 g/kgBB
aktual, 18% total kalori, N : NPC 1 : 116), lemak 51 g (27% total kalori), dan
karbohidrat 235 g (55% total kalori). Saat assessment awal, nutrisi diberikan 80%
KEB yaitu sebesar 1000 kkal (24 kkal/kgBB aktual), protein 46,2 g (1,1 g/kgBB
aktual, 18% total kalori, N : NPC 1 : 116), lemak 28 g (25% total kalori) dan
karbohidrat 141,3 g (56% total kalori berupa makanan cair RS (MCRS) 4 x 150
ml dan nutren optimum 2 x 200 ml. Mikronutrien yang diberikan adalah vitamin
B kompleks 3 x 1 tab, asam folat tab 1 x 500 mcg, vitamin C tab 2 x 50 mg, zink
tab 1 x 20 mg, dan nutrien spesifik berupa omega-3 3 x 2 kaplet.
Pasien dirawat di RSUT selama 16 hari. Pemantauan dilakukan setiap 1-3
hari, tergantung dari keadaan umum dan klinis pasien. Pada pemantauan pertama
dan kedua sesak berkurang, pasien dapat menghabiskan seluruh makanan cair dari
RS. Hemodinamik stabil, frekuensi pernafasan 22x/menit (menggunakan nasal
kanul dengan O2 2 liter/menit). Toleransi asupan baik dan analisis asupan
mengalami peningkatan sehingga nutrisi dapat ditingkatkan hingga 1500 kkal (36
kkal/kgBB aktual) dan protein 1,7 g/kgBB aktual. Bentuk makanan yang
diberikan berupa kombinasi makanan lunak dan cair. Keluhan sesak kembali saat
pemantauan ketiga, dan pasien tergantung pada selang oksigen. Makanan cair
dapat dihabiskan, bubur dapat habis tiga perempat porsi. Pemberian nutrisi
kembali diturunkan sesuai KEB yaitu sebesar 1300 kkal (31 kkal/kgBB aktual),
protein 1,5 g/kgBB aktual dengan kombinasi makanan cair dan lunak. Hingga
pemantauan terakhir pasien masih sesak, namun toleransi asupan membaik. Pasien
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


40

dapat menghabiskan makanan cair dan bubur dapat habis satu porsi. Sehingga
nutrisi diberikan hingga 1675 kkal (39 kkal/kgBB aktual) dan protein 1,8 g/kgBB
aktual berupa makanan cair dan makanan lunak. Kekuatan genggaman tangan
lebih kuat dari saat assessment awal, dan skor indeks Barthel di akhir pemantauan
12. Selama pemantauan mikronutrien dan nutrien spesifik tetap diberikan dengan
dosis seperti saat assessment awal. Gambaran pemantauan tanda vital dan asupan
pasien sejak sebelum sakit, sejak sakit dan selama di RS dapat terlihat pada
gambar 3.1 dan 3.2.

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Assessmen I II III IV V
Suhu (°C) 37 36.6 36.5 37 37 36.8
Pernafasan (x/menit) 28 24 20 30 26 24
MAP (mmHg) 83 80 90 83 83 80
Nadi (x/menit) 88 84 84 92 88 88

Gambar 3.1. Pemantauan Tanda Vital Pasien Pertama

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


41

Kkal

Gram

Gambar 3.2. Pemantauan Asupan Pasien Pertama

3.2. Kasus kedua


Pasien perempuan 23 tahun masuk masuk bangsal Cempaka RSUT dari poli paru
pada dengan keluhan diare yang sudah berlangsung sejak dua minggu sebelum
masuk RS. Diare kurang lebih 3-5 kali sehari, dengan konsistensi cair disertai

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


42

sedikit ampas, tidak ada darah atau lendir, warna coklat. Pasien tidak merasa mual
atau nyeri perut, nafsu makan menurun sejak kurang lebih 1 bulan SMRS. Pasien
sedang dalam pengobatan TB paru bulan pertama. Kadang-kadang pasien merasa
sesak dan batuk berdahak. Riwayat penurunan BB dirasakan pasien sejak kurang
lebih dua bulan yang lalu, namun pasien tidak ingat berapa banyak penurunan
berat badannya, hanya merasa bajunya lebih longgar. Ibu pasien juga mengakui
bahwa anaknya terlihat lebih kurus dalam dua bulan ini. Berat badan pasien saat
ditimbang di poli paru 32 kg. Selain itu sejak dua minggu sebelum masuk RS,
timbul bercak-bercak hitam di hampir seluruh badan pasien, tidak ada rasa gatal
atau nyeri. Pasien kemudian berobat ke puskesmas di dekat rumah dan diberi
rujukan untuk ke poli paru RSUT.
Sekitar bulan Juli 2015, pasien dirawat di RSUT dengan keluhan sesak
nafas memberat sejak seminggu sebelum masuk RS dan demam naik turun selama
kurang lebih dua minggu. Pasien dirawat di bangsal Flamboyan selama dua
minggu, dan terdiagnosis TB paru, sehingga pasien diberikan OAT selama enam
bulan. Saat dipulangkan pasien sudah tidak demam, tidak sesak, dan dapat
mengonsumsi makanan RS tiga perempat porsi (bubur). Selama di rumah pasien
masih sering merasa lemas, makan bubur hanya mau sedikit karena merasa tidak
nafsu makan.
Pada saat pemeriksaan pasien tampak lemas, diare masih ada sekitar empat
kali disertai dengan ampas, mual dan nyeri perut tidak ada. Pasien tidak sesak,
batuk, dan demam. Pasien hanya dapat menghabiskan makanan dari RS (bubur
1500 kkal) 2x setengah porsi, dan 1x tiga perempat porsi.
Dari riwayat penyakit dahulu (RPD), tidak didapatkan adanya riwayat
penyakit paru dengan pengobatan rutin sebelumnya, alergi, dan penyakit jantung.
Begitu juga dengan riwayat penyakit keluarga, tidak didapatkan riwayat penyakit
paru pada keluarga dengan pengobatan rutin, penyakit jantung, alergi, dan DM.
Kedua kakak pasien meninggal saat usia kanak-kanak karena sakit (ibu pasien
hanya mengatakan karena demam).
Pada riwayat sosial, ekonomi, dan kebiasaan diketahui bahwa pasien
lulusan SMU dan tidak bekerja. Pasien sudah menikah dan memiliki seorang anak
laki-laki usia 3 tahun. Pekerjaan suami pasien tidak jelas (sering berpindah tempat
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


43

kerja), dan suami pasien sudah meninggalkan pasien dan anaknya sejak dua bulan
yang lalu. Pasien tinggal bersama kedua orang tua dan neneknya di daerah
Sepatan Tangerang. Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok, tidak memiliki
riwayat menggunakan obat-obatan terlarang, memiliki tato, promiskuisitas,dan
transfusi darah. Pembiayaan pengobatan pasien menggunakan BPJS.
Sebelum sakit, pasien makan dua hingga tiga kali per hari. Biasanya pagi
hari pasien mengonsumsi nasi uduk (nasi, bihun, orek tempe, bakwan goreng) satu
bungkus atau bubur ayam beserta isinya satu mangkok. Siang hari pasien makan
nasi putih satu centong (± setengah gelas Aqua), satu butir telur ceplok atau
balado, tiga sendok makan tumis sayuran (kangkung/tauge), tahu/tempe goreng
satu potong. Di malam hari pasien sering mengonsumsi nasi satu centong dan
pecel lele (satu ekor digoreng), lalapan dan sambal. Pasien jarang mengonsumsi
buah-buahan. Sebagai makanan selingan, pasien suka jajan gorengan (dua hingga
buah), terkadang ibu pasien membuat pisang atau kacang rebus. Kadang-kadang
pasien suka minum susu bubuk coklat satu sachet (dua hingga tiga hari sekali).
Saat mulai sakit (dua bulan sebelum masuk RS), pasien hanya makan
seringnya dua kali sehari. Pagi hari pasien hanya minum susu bubuk coklat satu
sachet, dengan roti tawar satu lembar yang dicelupkan ke dalam susu. Siang hari
pasien makan bubur tiga perempat mangkok dengan lauk ayam goreng satu
potong (yang disuwir) dengan sup sayuran berisi wortel, kentang, dan buncis kira-
kira dua sampai 3 sendok makan. Malam hari terkadang pasien makan nasi
dengan pecel lele, tapi nasi hanya habis setengah porsi dari biasanya, ikan lele
dapat dihabiskan. Sejak dua minggu sebelum masuk RS (saat pasien diare),
asupan pasien makin menurun, karena pasien takut makan. Pasien hanya minum
susu bubuk coklat satu sachet dan bubur seperti saat sakit 1x. Pada 24 jam terakhir
(saat pemeriksaan), Pasien hanya dapat menghabiskan makanan dari RS (bubur
1500 kkal) 2x setengah porsi, dan 1x tiga perempat porsi.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang dan
kesadaran compos mentis. Pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah
100/70 mm Hg, frekuensi nadi 72x/menit, frekuensi nafas 20x/menit dan suhu 37°
C. Regio generalisata terlihat adanya bercak-bercak hiperpigmentasi (warna
hitam) dengan ukuran lentikuler hingga numuler dan batas tidak tegas. Pada
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


44

pemeriksaan kepala dan leher didapatkan konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik,
tidak terpasang selang O2 dan NGT, tidak didapatkan stomatitis atau kandidiasis
oral, dan pembesaran kelenjar getah bening (KGB). Pemeriksaan toraks
didapatkan jantung dan paru dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen
terlihat datar, bsiung usus positif normal, supel dan tidak ada nyeri tekan. Pada
ekstrimitas tidak terlihat edema, terlihat muscle wasting, akral hangat dengan
capillary refill time (CRT) > 2‖. Penilaian kapasitas fungsional menggunakan
indeks Barthel didapatkan skor 10 yaitu ketergantungan sedang dan kekuatan
genggaman tangan pasien lebih lemah dari pemeriksa.. Pemeriksaan antropometri
menggunakan BB timbang saat di poli paru yaitu 32 kg, tinggi badan 152 cm,
sehingga didapatkan indeks massa tubuh (IMT) 13,8 kg/m2.
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 27 Agustus 2015 didapatkan kadar
hemoglobin (Hb) 6,9 mg/dL, hematokrit (Ht) 35%, leukosit 5400/μL, trombosit
417.000/μL, limfosit 16%, LED 92 mm/jam, gula darah sewaktu (GDS) 108
mg/dL, SGOT 61 U/L, SGPT 22 U/L, ureum 28 mg/dL, kreatinin 0,8 mg/dL,
natrium 145 mEq/L, kalium 3,5 meq/L, klorida 115 mEq/L. Pemeriksaan foto
toraks didapatkan kesan TB paru aktif pada kedua lapang paru.
Diagnosis DPJP adalah diare kronik, TB paru dalam terapi dan suspek
alergi OAT. Terapi yang didapatkan dari DPJP utama berupa new diatab 3 x 2
tab, ambroxol 3 x 1 tab, paracetamol tab 3 x 500 mg, INH 1 x 300 mg, ceftriaxone
2 x 1 g IV, ranitidin 2 x 1 ampul, transfusi PRC 500 ml dengan premedikasi
deksametason 1 ampul IV, infus RL 20 tetes per menit.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan antropometri serta
pemeriksaan penunjang, maka diagnosis kerja gizi pada pasien ini adalah
malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang (anemia, peningkatan enzim
transaminase) pada diare kronik, TB paru dalam terapi, suspek alergi OAT. Tata
laksana nutrisi pasien dengan menghitung kebutuhan energi basal (KEB)
menggunakan rumus Harris-Benedict dengan BB aktual sebesar 1137 kkal, dan
kebutuhan energi total (KET) sebesar 1479 kkal (~1500 kkal) dengan faktor stres
1,3. Target kebutuhan protein sebesar 2 g/kgBB/hari yaitu 64 g (17% total kalori
dengan N:NPC 1:124). Kebutuhan lemak sebesar 27% yaitu 45 g, dan karbohidrat

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


45

diberikan sebesar 56% (210 g). Pemberian serat sebesar 14 g/1000 kkal, yaitu 21
g/hari berupa serat larut. Kebutuhan cairan pasien sekitar 1000–1300 ml/hari.
Pada assessment awal, nutrisi diberikan sesuai KEB yaitu 1100 kkal (34
kkal/kgBB), dengan protein 48 g (1,5 g/kgBB, 17% total kalori, N:NPC 1:129),
lemak 30,5 g (25% total kalori), dan karbohidrat 158,4 g (58% total kalori).
Makanan yang diberikan dalam bentuk makanan lunak dengan frekuensi 3x
makan utama dan 2x selingan berupa bubur nasi 1100 kkal dan ekstra putih telur 1
butir/hari untuk pemenuhan protein. Mikronutrien yang diberikan berupa vitamin
B kompleks 3 x 2 tablet, vitamin C tablet 2 x 50 mg, asam folat tablet 1 x 500
mcg, zink tablet 1 x 20 mg, dan omega-3 3 x 2 kapsul.
Pasien dirawat selama 11 hari, pemantauan dilakukan setiap satu hingga
dua hari melihat dari keadaan umum dan klinis pasien. Pada pemantauan pertama
dan kedua pasien dapat menghabiskan makanan yang diberikan dari RS, dan
analisis asupan sebesar 1175 kkal (36 kkal/kgBB), protein 47 g (1,46 g/kgBB,
16% total kalori, N:NPC 1:141), lemak 30 g (23% total kalori), dan karbohidrat
180 g (61% total kalori). Rencana tata laksana nutrisi pasien masih sama seperti
sebelumnya oleh karena kadar Hb masih rendah. Pada pemantauan ketiga, klinis
dan toleransi asupan baik, kadar Hb setelah transfusi 11,9 g/dL, sehingga
pemberian nutrisi ditingkatkan sesuai dengan KET yaitu sebesar 1500 kkal (47
kkal/kgBB), protein sebesar 2 g/kgBB/hari yaitu 64 g (17% total kalori dengan
N:NPC 1:124), lemak 45 g (27% total kalori, dan karbohidrat 210 g (56% total
kalori) berupa makanan lunak (bubur 1300 kkal) dan makanan cair (Peptisol 1 x
250 ml) yang diberikan pada malam hari. Hingga pemantauan kelima, klinis dan
toleransi asupan pasien semakin baik, pemberian ditingkatkan sebesar 1750 kkal
(57 kkal/kgBB), protein 72 g (2,2 g/kgBB, 16% total kalori, N:NPC 1:139), lemak
54 g (27% total kalori), dan karbohidrat 256,5 g (58% total kalori) berupa
makanan lunak (bubur 1500 kkal) dan makanan cair (Nutren Optimum 1 x 250
ml). Pada pemantauan terakhir kekuatan genggaman tangan pasien sama dengan
pemeriksa, dengan skor indeks Barthel 15 (ketergantungan ringan). Pemeriksaan
antropometri dilakukan dengan menimbang BB, didapatkan 32 kg. Pemantauan
tanda vital, dan analisis asupan pasien sebelum sakit, selama sakit dan perawatan
di RS dapat dilihat pada gambar 3.3 dan 3.4.
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


46

Gambar 3.3 Pemantauan Tanda Vital Pasien Kasus Kedua

Kkal

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


47

Gram

Gambar 3.4 Pemantauan Asupan Pasien Kedua

3.3. Kasus ketiga


Pasien laki-laki usia 19 tahun dirawat di RSUT dengan keluhan sesak nafas sejak
10 hari SMRS, disertai lemas, mual dan nafsu makan menurun. Sesak dirasakan
sama saat istirahat dan beraktivitas. Keluhan batuk berdahak, demam, muntah
dan diare tidak ada. Tiga hari SMRS sesak memberat dan pasien tidak mau
makan, kemudian pasien dibawa oleh keluarganya ke RSU Kota Tangerang dan
dirawat selama tiga hari, kemudian pasien dirujuk ke RSUT dengan alasan
fasilitas.
Sejak dua bulan yang lalu pasien terdiagnosis TB paru dan menjalankan
terapi TB di puskesmas. Penurunan BB dirasakan oleh pasien sejak ± tiga/empat
bulan yang lalu, seingat pasien BB terakhir 53 kg. Riwayat diare kronik disangkal
oleh pasien. Riwayat berobat paru rutin sebelumnya, penyakit DM, dan jantung
disangkal oleh pasien, begitu juga dengan riwayat penyakit keluarga dengan
pengobatan paru rutin, DM, dan penyakit jantung.
Saat pemeriksaan pasien masih tampak lemas, keluhan sesak masih ada
namun berkurang dibandingkan saat di rumah. Nafsu makan belum baik sehingga
belum dapat menghabiskan makanan dari RS. Pasien cukup kooperatif, dapat
berkomunikasi dengan baik dengan pemeriksa.
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


48

Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak SMP, baru berhenti kira-kira


sejak 3 bulan yang lalu. Pasien juga pernah mengonsumsi obat-obatan terlarang
dengan jarum suntik ± tiga tahun yang lalu selama dua/tiga bulan. Riwayat
membuat tato, promiskuisitas, dan transfusi darah disangkal oleh pasien.
Dari riwayat pendidikan diketahui bahwa pasien lulusan SMU tahun 2012,
dan pasien tidak melanjutkan pendidikan kuliah dengan alasan biaya. Pasien
belum bekerja, masih tinggal bersama kedua orang tuanya di lingkungan padat
penduduk di daerah Kampung Ledug Tangerang. Pasien anak ketiga dari tiga
bersaudara, kedua kakak pasien sudah menikah dan terpisah rumah. Pekerjaan
kedua orang tua pasien hanya berdagang di warung di depan rumah. Biaya
pengobatan menggunakan BPJS.
Sebelum sakit, pasien makan porsi besar dua hingga tiga kali sehari.
Makan pagi, siang, dan malam hampir sama, biasanya nasi satu hingga satu
setengah gelas air mineral, disertai lauk hewani, seringnya telur ceplok/balado
satu1 butir, terkadang ikan lele goreng satu ekor. Sayuran seringnya tumis
kangkung atau daun singkong rebus dua hingga tiga sendok makan, tempe goreng
satu sampai dua potong. Buah-buahan sesekali pepaya satu potong (beli di tukang
rujak). Pasien tidak suka makan makanan selingan.
Setelah didiagnosis TB paru (dua bulan yang lalu), pasien makan tiga kali
sehari seperti saat sehat, namun sering tidak habis. Makanan yang dikonsumsi
berupa nasi satu centong, lauk dan sayuran seperti saat sakit tapi sering tidak
habis. Sejak sepuluh hari yang lalu (saat pasien mulai sesak), asupan semakin
sedikit, pasien hanya dua kali makan berupa bubur nasi empat/lima sendok
dengan kuah sup dan susu bubuk coklat satu sachet (tdidak setiap hari). Dalam 24
jam terakhir pasien hanya dapat mengonsumsi sepertiga porsi makanan yang
diberikan RS (bubur 1300 kkal).
Dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang dan
kesadaran compos mentis. Pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah
110/70 mm Hg, frekuensi nadi 84x/menit, frekuensi nafas 28x/menit dan suhu 37°
C. Pada pemeriksaan kepala dan leher didapatkan rambut mudah dicabut,
konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, terpasang nasal kanul dengan O2 2-3
liter/menit dan tidak terpasang NGT, didapatkan bercak putih di lidah dan mukosa
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


49

mulut (kandidiasis oral), pembesaran kelenjar getah bening (KGB) tidak teraba
membesar. Pemeriksaan toraks didapatkan jantung dan paru dalam batas normal.
Pada pemeriksaan abdomen terlihat datar, bising usus positif normal, supel dan
tidak ada nyeri tekan. Pada ekstrimitas tidak terlihat edema, terlihat muscle
wasting, akral hangat dengan capillary refill time (CRT) > 2‖. Penilaian kapasitas
fungsional menggunakan indeks Barthel didapatkan skor 10 yaitu ketergantungan
sedang dan kekuatan genggaman pasien lebih lemah dari pemeriksa. Pemeriksaan
antropometri didapatkan TB 175 cm dan BB estimasi 48 kg dengan LLA 17 cm,
sehingga IMT 15,6 kg/m2.
Pada pemeriksaan laboratorium saat pasien datang ke RS, kadar Hb 10,5
mg/dL, Ht 30%, leukosit 12900/μL, trombosit 417.000/μL, limfosit 12%, LED 53
mm/jam, GDS 160 mg/dL, natrium 122 mEq/L, kalium 4,6 meq/L, klorida 115
mEq/L, dan antiHIV positif. Pemeriksaan laboratorium selanjutnya ditemukan
kadar ureum 30 mg/dL, kreatinin 0,6 mg/dL, albumin 2,0 mg/dL, dan kadar CD4
14 sel/μl. Pemeriksaan foto toraks didapatkan gambaran TB milier.
Terapi yang didapatkan dari DPJP utama berupa FDC 1 x 3 tab, Nistatin
drop 4 x 1 ml, omeprazole injeksi 1 x 40 mg, ceftriaxone injeksi 2 x 1 g, infus
NaCl 3%/24 jam dan ringer laktat 500 ml/8 jam, dengan diagnosis TB milier,
SIDA dan malnutrisi. Diagnosis kerja gizi pada pasien ini adalah malnutrisi berat,
kaheksia, hipermetabolisme sedang (anemia, leukositosis, hipoalbuminemia,
hiponatremia) pada TB milier dan SIDA.
Tata laksana nutrisi pasien dengan menghitung kebutuhan energi basal
(KEB) menggunakan rumus Harris-Benedict dengan BB aktual sebesar 1473 kkal,
dan kebutuhan energi total (KET) sebesar 2062 kkal (~2100 kkal) dengan faktor
stress 1,4. Target kebutuhan protein sebesar 1,8 g/kgBB/hari yaitu 86,4 g (17%
total kalori dengan N:NPC 1:122). Kebutuhan lemak sebesar 27% yaitu 62 g, dan
karbohidrat diberikan sebesar 56% (290 g). Kebutuhan cairan pasien sekitar
1400–1900 ml/hari.
Pada assessment awal, nutrisi diberikan sebesar 80% KEB yaitu 1200 kkal
(25 kkal/kgBB aktual), dengan protein 52,8 g (1,1 g/kgBB aktual, 17% total
kalori, N:NPC 1:123), lemak 36 g (27% total kalori), dan karbohidrat 166,2 g
(56% total kalori). Makanan yang diberikan dalam bentuk makanan cair 6x dan
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


50

ekstra makanan lunak 1x berupa nutren optimum 3 x 150 ml, MCRS 3 x 150 ml,
dan bubur nasi 300 kkal. Mikronutrien yang diberikan berupa vitamin B kompleks
3 x 1 tablet, vitamin C tablet 2 x 50 mg, asam folat tablet 1 x 1 mg, zink tablet 1 x
20 mg, dan omega-3 3 x 2 kapsul. Pemasangan NGT disarankan kepada DPJP
untuk pasien sebagai jalur pemberian nutrisi.
Pasien dirawat selama 15 hari, dan pulang ke rumah atas permintaan dari
keluarga. Pemantauan dilakukan setiap 1-3 hari melihat dari kondisi pasien. Pada
pemantauan pertama pasien belum dapat menghabiskan makanan yang diberikan
dari RS, sehingga planning masih sama dengan sebelumnya dan tetap diberikan
saran pemasangan NGT. Hingga pemantauan kedua NGT juga belum terpasang,
namun sesak mulai berkurang dan nafsu makan membaik. Pasien dapat
menghabiskan makanan cair dan bubur, sehingga pemberian nutrisi ditingkatkan
sesuai KEB yaitu 1500 kkal (31 kkal/kgBB aktual), protein 72 g (1,5 g/kgBB
aktual, 19% total kalori, N : NPC 1 : 110), lemak 45 g (27% total kalori), dan
karbohidrat 202 g (54% total kalori) berupa makanan cair dan makanan lunak.
Pada pemantauan ketiga keadaan umum pasien menurun, didapatkan
demam dan penurunan kesadaran, namun pasien tidak sesak. Keadaan umum
tampak sakit berat dengan kesadaran somnolen. Pemeriksaan tanda vital
didapatkan tekanan darah 100/70 mm Hg, nadi 92x/menit, suhu 38,7° C dan
pernafasan 22x/menit (dengan O2 3 liter/menit). Analisis asupan didapatkan
penurunan. Pemeriksaan laboratorium didapatkan natrium 122 mmol/L, kalium
2,8 mmol/L, dan klorida 82 mmol/L. Diagnosis DPJP adalah penurunan kesadaran
susp meningitis TB. Pasien direncanakan untuk dilakukan lumbal pungsi dan
pemasangan NGT. Kalori diberikan tetap sesuai dengan KEB dalam bentuk
makanan cair. Pada pemantauan keempat klinis pasien masih sama, tekanan darah
110/70 mm Hg, nadi 96x/menit, suhu 38,5° C, pernafasan 22x/menit. Analisis
asupan sedikit meningkat dibandingkan pemantauan sebelumnya, sehingga
pemberian nutrisi ditingkatkan 10% yaitu 1650 kkal (34 kkal/kgBB akutal),
protein 75 g (1,5 g/kgBB aktual, 18% total kalori, N : NPC 1 : 112), lemak 51,6 g
(28% total kalori), dan karbohidrat 246 g (54% total kalori), berupa MCRS 3 x
300 ml dan nutren optimum 3 x 250 ml. Pada pemantauan kelima belum ada
perubahan planning dari pemantauan sebelumnya. Hingga pemantauan terakhir,
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


51

terdapat penurunan kapasitas fungsional, yaitu skor indeks Barthel 6


(ketergantungan berat) dan pasien bedridden. Mikronutrien dan nutrien spesifik
tetap diberikan sesuai dosis saat assessment awal. Gambaran pemantauan tanda
vital dan analisis asupan pasien sejak sebelum sakit hingga perawatan di RS dapat
dilihat pada gambar 3.5 dan 3.6.

Pemantauan tanda vital


120
100
80
60
40
20
0
Assesment I II III IV V
Suhu (°C) 37 36.8 37 38.7 38.5 38.2
Respirasi (x/menit) 28 24 22 22 22 21
MAP (mmHg) 83 80 83 80 83 86
Nadi (x/menit) 84 80 80 92 96 92

Gambar 3.5 Pemantauan Tanda Vital Pasien Ketiga

Kkal

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


52

Gram
m

Gambar 3.6. Pemantauan Asupan Pasien Ketiga

3.4. Kasus keempat


Pasien laki-laki usia 26 tahun dirawat di RSUT dengan keluhan batuk berdahak
yang memberat sejak dua hari SMRS. Keluhan batuk berdahak dirasakan sejak
dua minggu yang SMRS, disertai dengan mual dan tidak nafsu makan. Pasien juga
merasa sesak nafas sejak tiga hari SMRS. Keluhan keringat malam, demam naik
turun, lemas dan penurunan BB juga dirasakan oleh pasien sejak sebulan terakhir.
Pasien tidak mengetahui BB saat ini dan berapa banyak penurunannya sejak sakit.
Tidak ada batuk berdarah, muntah dan diare lama. Pasien berobat ke klinik di
dekat rumah kemudian dikatakan penyakit paru, lalu pasien dianjurkan untuk ke
RSUT. Pada saat pemeriksaan, pasien masih sering terbatuk-batuk, terlihat sedikit
sesak, dan kooperatif terhadap pemeriksa.
Pasien pernah menjalani pengobatan flek paru pada bulan April 2015 di
puskesmas hanya selama satu bulan, kemudian pasien tidak minum obat lagi.
Gejala yang dirasakan pada saat terdiagnosis flek paru hampir sama dengan gejala
saat ini. Riwayat penyakit jantung, hipertensi, DM, dan asma disangkal oleh
pasien. Pasien juga mengatakan di dalam keluarganya tidak ada yang menjalani
pengobatan paru rutin, penyakit jantung, hipertensi, DM, dan asma.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


53

Dari riwayat pendidikan diketahui bahwa pasien lulusan SMU. Saat ini
pasien bekerja sebagai penjaga warung internet yang dimiliki oleh temannya.
Pasien tinggal bersama istri dan satu anak laki-laki yang masih berusia 3 tahun.
Kedua orang tua pasien masih hidup, namun sudah tidak bekerja lagi. Sejak SMP
pasien sudah mulai merokok, dan baru berhenti sekitar bulan Maret 2015 saat
mulai batuk-batuk. Dalam sehari pasien dapat menghabiskan dua bungkus rokok.
Riwayat menggunakan obat-obatan terlarang dengan jarum suntik, promiskuisitas,
membuat tato dan transfusi darah disangkal.
Pada riwayat asupan diketahui kebiasaan makan pasien saat sehat (awal
tahun) dua hingga tiga kali per hari, setiap makan berupa nasi satu sampai dua
gelas air mineral, lauk hewani seringnya telur balado atau ikan mas/lele goreng
satu potong, tempe/tahu goreng satu sampai potong, dan tumis sayuran dua
hingga tiga sendok makan. Pasien jarang mengonsumsi buah-buahan. Pasien
menyukai makanan kudapan seperti gorangan (dua sampai tiga buah), dan minum
kopi satu sampai dua gelas sehari. Sesekali pasien minum susu bubuk satu sachet.
Sejak terdiagnosis flek paru (April‘15) pola makan pasien hampir sama dengan
saat sehat, namun jumlah porsi sedikit berkurang. Sejak dua minggu yang lalu
pasien hanya makan bubur dua kali sehari ± setengah mangkok (kira-kira satu
centong), telur rebus satu butir atau ayam suwir satu potong, dan sayur sop dua
hingga tiga sendok makan. Kadang-kadang pasien minum susu bubuk satu
sachet/hari. Dalam 24 jam terakhir pasien hanya dapat menghabiskan bubur dari
RS 2x setengah porsi.
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien tampak sakit sedang dengan
kesadaran compos mentis. Pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah
100/70 mm Hg, frekuensi nadi 80x/menit, frekuensi nafas 24x/menit dan suhu 37°
C. Pemeriksaan kepala dan leher didapatkan rambut mudah dicabut, konjungtiva
anemis, sklera tidak ikterik, terpasang selang O2 dan tidak terpasang NGT, tidak
didapatkan stomatitis atau kandidiasis oral, dan pembesaran kelenjar getah bening
(KGB). Pemeriksaan toraks didapatkan jantung dan paru dalam batas normal.
Pada pemeriksaan abdomen terlihat datar, bising usus positif normal, supel dan
tidak ada nyeri tekan. Pada ekstrimitas tidak terlihat edema, terlihat muscle
wasting, akral hangat dengan capillary refill time (CRT) > 2‖. Penilaian kapasitas
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


54

fungsional menggunakan indeks Barthel didapatkan skor 10 yaitu ketergantungan


sedang, dan kekuatan genggaman tangan pasien lebih lemah dari pemeriksa.
Pemeriksaan antropometri didapatkan LLA 13 cm, TB 165 cm sehingga BB
estimasi 32 kg, sehingga didapatkan indeks massa tubuh (IMT) 11,7 kg/m2.
Dari data laboratorium saat pasien masuk RS didapatkan kadar Hb 8,7
g/dL, Ht 27%, leukosit 7500/μL, trombosit 357.000/μL, limfosit 9%, LED 43
mm/jam, GDS 103 mg/dL, SGOT 47 U/L, SGPT 14 U/L, natrium 124 mEq/L,
kalium 3,5 meq/L, klorida 83 mEq/L. Pemeriksaan foto toraks gambaran TB paru
pada kedua lapang paru. Diagnosis dari DPJP adalah TB paru putus obat,
malnutrisi, susp SIDA dan terapi yang diberikan berupa sirup OBH 3 x 1 sendok
makan, FDC 2 x 1 tablet, Vitamin B6 2 x 1 tablet, ceftriaxone injeksi 2 x 1 g,
omeprazole injeksi 1 x 40 mg, dan infus NaCl 0,9%/12 jam.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan antropometri serta
pemeriksaan penunjang, maka diagnosis kerja gizi pada pasien ini adalah
malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang (anemia, peningkatan enzim
transaminase, hiponatremia) pada TB paru putus obat dan suspek SIDA.
Tatalaksana nutrisi pasien dengan menghitung kebutuhan energi basal (KEB)
menggunakan rumus Harris-Benedict dengan BB aktual sebesar 1155 kkal, dan
kebutuhan energi total (KET) sebesar 1617 kkal (~1600 kkal) dengan faktor stres
1,4. Target kebutuhan protein sebesar 2 g/kgBB/hari yaitu 64 g (16% total kalori,
N:NPC 1:134). Kebutuhan lemak sebesar 27% yaitu 48 g, dan karbohidrat
diberikan sebesar 57% (228 g). Kebutuhan cairan pasien sekitar 1000–1300
ml/hari.
Pada assessment awal, nutrisi diberikan 80% KEB yaitu 900 kkal (28
kkal/kgBB aktual), dengan protein 38,4 g (1,2 g/kgBB, 17% total kalori, N:NPC
1:124), lemak 27 g (27% total kalori), dan karbohidrat 126 g (56% total kalori).
Makanan yang diberikan dalam bentuk makanan cair dengan frekuensi 6x
pemberian berupa nutren optimum 3 x 150 ml dan MCRS 3 x 150 ml.
Mikronutrien yang diberikan berupa vitamin B kompleks 3 x 1 tablet, vitamin C
tablet 2 x 50 mg, asam folat tablet 1 x 500 mcg, zink tablet 1 x 20 mg, dan omega-
3 3 x 2 kapsul.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


55

Pasien dirawat selama 12 hari dan pulang dalam keadaan membaik.


Pemantauan dilakukan setiap 1-3 hari sesuai keadaan umum dan klinis pasien.
Selama perawatan dilakukan pemeriksaan laboratorium lanjutan, didapatkan kadar
albumin 2,0 g/dL, kemudian diberikan transfusi albumin 20% 100 ml tiga hari
berturut-turut. Kadar albumin setelah transfusi 2,6 g/dL Pada pemantauan pertama
sesak berkurang, pasien dapat menghabiskan makanan cair. Bubur masih
dikeluarkan dapur satu kali dan pasien dapat menghabiskan setengah porsi.
Analisis asupan meningkat sehingga pemberian nutrisi ditingkatkan sesuai KEB
dengan protein 1,7 g/kgBB aktual berupa makanan cair dan ekstra makanan lunak
satu kali. Hingga pemantauan kelima, klinis dan analisis asupan pasien semakin
membaik sehingga pemberian nutrisi diberikan hampir mendekati KET yaitu 1575
kkal (49 kkal/kgBB aktual), protein 2,2 g/kgBB aktual berupa kombinasi makanan
lunak dan cair. Kapasitas fungsional pasien membaik, skor indeks Barthel 16 dan
kekuatan genggaman tangan pasien sama dengan pemeriksa. Pemeriksaan
antropometri dengan meninmbang BB didapatkan 33 kg. Mikronutrien dan
nutrien spesifik tetap diberikan sesuai dosis awal. Gambaran pemantauan tanda
vital dan analisis asupan saat sehat, sejak sakit dan selama perawatan di RS dapat
terlihat pada gambar 3.7 dan 3.8.

Gambar 3.7. Pemantauan Tanda Vital Pasien Keempat


Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


56

Kkal

Gram

Gambar 3.8. Pemantauan Asupan Pasien Keempat

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


57

Tabel 3.2. Ringkasan Data Klinis Pasien

Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4

Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki


Usia 32 tahun 23 tahun 19 tahun 26 tahun

Keluhan MRS Sesak nafas Diare Sesak nafas Batuk berdahak


Riwayat pengobatan Tidak ada Sedang dalam terapi TB Sedang dalam terapi TB Terapi TB paru hanya 1
paru rutin bulan ke-1 bulan ke-3 bulan (April‘15)

Riwayat penurunan 3-6 bulan terakhir (tidak 3-6 bulan terakhir (tidak 3-6 bulan terakhir (turun 3-6 bulan terakhir (tidak
BB ingat jumlah penurunan BB) ingat jumlah penurunan 9% dari BB sebelumnya) ingat jumlah penurunan
BB) BB)
Antropometri LLA 17 cm, TB 165 cm, BB BB 32 kg, TB 152 cm, IMT LLA 17 cm, TB 175 cm, LLA 13 cm, TB 165 cm,
estimasi 42 kg, IMT 15,4 13,8 kg/m2 BB estimasi 48 kg, IMT BB estimasi 32 kg, IMT
kg/m2 15,6 kg/m2 11,7 kg/m2
Kapasitas fungsional Indeks Barthel Indeks Barthel Indeks Barthel Indeks Barthel
ketergantungan sedang, ketergantungan sedang, ketergantungan sedang, ketergantungan sedang,
kekuatan genggaman tangan kekuatan genggaman kekuatan genggaman kekuatan genggaman
lebih lemah dari pemeriksa tangan lebih lemah dari tangan lebih lemah dari tangan lebih lemah dari
pemeriksa pemeriksa pemeriksa
Hasil laboratorium Hb 11,6 g/dL, Lek 14600/μL Hb 6,9 g/dL SGOT 60 U/L, Hb 10,5 g/dL, Lek Hb 8,7 g/dL, SGOT 47 U/L,
Na 132 meq/L, Alb 2,2 g/dL, anti HIV (-) 12900/μL, Na 122 meq/L, Na 124 meq/L, Alb 2,6
anti HIV (+) Alb 2,0 g/dL, anti HIV g/dL, anti HIV (-)
(+)

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


58

Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4


Assessment gizi Malnutrisi berat, kaheksia, Malnutrisi berat, kaheksia, Malnutrisi berat, kaheksia, Malnutrisi berat, kaheksia,
hipermetabolisme sedang hipermetabolisme sedang hipermetabolisme sedang hipermetabolisme sedang
(anemia, lekositosis, (anemia, peningkatan enzim (anemia, lekositosis, (anemia, peningkatan enzim
hiponatremia,hipoalbumine- transaminase) pd TB diare hipoalbuminemia, transaminase,
mia) pd TB paru, kandidiasis kronik, TB paru, susp alergi hiponatremia) pd TB milier hipoalbuminemia,
oral, HIV + OAT dan SIDA hiponatremia) pada TB paru
putus obat, susp SIDA
Lama perawatan 16 hari 11 hari 15 hari 12 hari
Planning nutrisi (target) 1600 kkal (50 kkal), protein 1500 kkal (46 kkal), protein 2100 kkal (43 kkal) protein 1600 kkal (50 kkal), protein
1,8 g/kgBB (18%) 2 g/kgBB (17%) 1,8 g/kgBB (17%) 2 g/kgBB (16%)
Mikronutrien & nutrien Vit B komp 3x1 tab, as folat Vit B komp 3x1 tab, as folat Vit B komp 3x1 tab, as folat Vit B komp 3x1 tab, as folat
spesifik 1x1 mg, vit C 2x50 mg, zink 1x1 mg, vit C 2x50 mg, zink 1x1 mg, vit C 2x50 mg, zink 1x1 mg, vit C 2x50 mg,
1x20 mg, omega-3 3x2 tab 1x20 mg, omega-3 3x2 tab 1x20 mg, omega-3 3x2 tab zink 1x20 mg, omega-3 3x2
tab
Analisis asupan rata- 31-39 kkal/kgBB 36-47 kkal/kgBB 25-34 kkal/kgBB 28-49 kkal/kgBB
rata Protein 1,5-1,8 g/kgBB Protein 1,4-2 g/kgBB Protein 1,1-1,5 g/kgBB Protein 1,2-2 g/kgBB
Outcome Toleransi asupan membaik, Klinis dan toleransi asupan KU dan klinis perburukan, Klinis dan toleransi asupan
sesak hilang timbul, membaik, kapasitas toleransi asupan baik, membaik, kapasitas
kapasitas fungsional fungsional membaik kapasitas fungsional fungsional membaik
membaik tidak signifikan signifikan (ketergantungan menurun (ketergantungan signifikan (ketergantungan
(ketergantungan sedang), ringan), kekuatan genggaman berat), kekuatan genggaman ringan), kekuatan
kekuatan genggaman tangan tangan sama dengan tangan lebih lemah dari genggaman tangan sama
lebih kuat dari assessment pemeriksa, BB timbang 32 pemeriksa, bedridden denga pemeriksa,
awal namun lebih lemah dari kg ~ BB estimasi saat peningkatan BB tidak
pemeriksa assessment awal signifikan

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


59

BAB 4
PEMBAHASAN

Terapi nutrisi telah diberikan pada empat pasien serial kasus yang dirawat di
bangsal Cempaka RSU Kab Tangerang dengan diagnosis gizi medik malnutrisi
berat, kaheksia, pada TB paru, dua dari empat pasien disertai dengan infeksi
HIV/AIDS. Malnutrisi sering ditemui pada pasien TB paru. Skrining gizi
dilakukan menggunakan format skrining gizi RSU Kab Tangerang, dengan
metode modifikasi Malnutrition Universal Screening Tool (MUST). Malnutrition
Universal Screening Tool merupakan metode skrining yang praktis, cepat, mudah
digunakan dan valid untuk mengidentifikasi pasien yang memiliki risiko
malnutrisi. Miyata dkk9 melalui studinya menyatakan bahwa MUST merupakan
metode skrining yang valid dan dapat dipercaya untuk digunakan pada pasien TB
paru, selain itu MUST dapat digunakan sebagai indikator prognosis ketahanan
hidup pada pasien TB paru.
Pada keempat pasien didapatkan gejala sesak nafas, batuk berdahak,
lemas, penurunan nafsu makan dan riwayat penurunan BB. Sebagian mengalami
keringat malam, meriang/demam hilang timbul, dan pada pasien kedua didapatkan
riwayat diare. Gejala-gejala yang terdapat pada pasien sesuai dengan gejala umum
TB. Semua pasien dilakukan pemeriksaan sputum BTA, namun hanya pada kasus
pertama yang menunjukkan hasil BTA positif. Pada kasus.lainnya diagnosis TB
paru ditegakkan berdasarkan anamnesis, riwayat terapi TB paru sebelumnya,
gejala dan pemeriksaan klinis, pemeriksaan penunjang foto toraks yang semuanya
memberikan gambaran TB paru.
Seluruh pasien dalam kasus ini memiliki status nutrisi malnutrisi berat.
Diagnosis malnutrisi ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya riwayat
penurunan BB dan penurunan nafsu makan dalam empat bulan terakhir. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan rambut mudah dicabut, konjungtiva anemis, iga
gambang pada toraks, muscle wasting, dan penurunan kekuatan otot yang dilihat
dari kekuatan genggaman tangan pasien, serta interpretasi skor indeks Barthel

59 Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


60

ketergantungan sedang. Pada pemeriksaan laboratorium keempat pasien


didapatkan anemia dan hipoalbuminemia pada sebagian besar pasien.
Faktor risiko terjadinya TB paru yang didapatkan pada keempat pasien ini
adalah malnutrisi dan faktor lingkungan (tiga pasien tinggal di lingkungan padat
penduduk). Riwayat keluarga dan orang yang tinggal di lingkungan sekitar rumah
pasien dengan pengobatan TB paru disangkal. Pada pasien keempat, didapatkan
riwayat TB paru putus obat sebelumnya. Infeksi HIV juga menjadi faktor risiko
pada pasien kasus pertama dan ketiga, dan dicurigai pula pada pasien kedua dan
keempat namun pemeriksaan anti HIV memberikan hasil negatif.1,17
Hubungan antara malnutrisi dan TB paru sudah lama diketahui. Malnutrisi
meningkatkan risiko TB dan sebaliknya TB dapat mengakibatkan malnutrisi,
sehingga prevalensi malnutrisi tinggi pada penderita TB. Telah banyak
ditunjukkan bahwa malnutrisi merupakan faktor risiko berkembangnya infeksi TB
menjadi TB aktif, dan adanya malnutrisi pada saat TB aktif terdiagnosis menjadi
prediktor meningkatnya risiko kematian dan relaps TB.5
Status nutrisi merupakan salah satu penentu penting pada ketahanan
terhadap infeksi. Telah diketahui bahwa defisiensi zat gizi berhubungan dengan
gangguan fungsi imun. Malnutrisi memengaruhi imunitas sel dan meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi. Infeksi dapat menyebabkan stres dan penurunan BB
sehingga menurunkan fungsi imun dan status nutrisi.3 Pada semua infeksi
didapatkan interaksi kompleks antara respons pejamu dan virulensi organisme,
yang memodulasi respons metabolik keseluruhan dan berat ringannya kehilangan
jaringan. Pada pasien TB, penurunan nafsu makan, malabsorpsi zat gizi, dan
perubahan metabolisme berhubungan dengan respons imun dan inflamasi
sehingga menyebabkan wasting.3,21
Hasil pemeriksaan laboratorium anti HIV memberikan hasil positif pada
pasien kasus pertama dan ketiga. Faktor risiko terjadinya infeksi HIV pada pasien
pertama kemungkinan dari jarum yang digunakan saat membuat tato, walaupun
faktor risiko lain belum dapat disingkirkan. Pada pasien kasus ketiga faktor risiko
tidak jelas oleh karena pasien cenderung menyangkal saat menjawab pertanyaan
dari pemeriksa dan ibu pasien tidak mengetahui riwayat faktor-faktor risiko yang
mungkin terjadi pada pasien. Dari gejala klinis adanya kandidiasis oral, infeksi

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


61

yang berat dengan kemungkinan pneumonia pada pasien pertama dan meningitis
pada pasien ketiga, tampaknya kedua pasien ini sudah dalam fase simptomatik,
mengarah ke fase lanjutan/AIDS. Selain itu pemeriksaan kadar CD-4 pada pasien
ketiga < 200/ μL, sehingga dapat didiagnosis sebagai AIDS.1,32,23
Pada pasien kedua dan keempat juga dilakukan pemeriksaan anti HIV,
namun hasilnya negatif. Faktor risiko infeksi HIV pada pasien kedua belum dapat
disingkirkan oleh karena pasien memiliki riwayat ditinggal oleh suaminya, dengan
pekerjaan suami tidak jelas. Pasien keempat juga menyangkal adanya faktor risiko
terkait infeksi HIV. Pada kedua pasien ini perlu dilakukan pemeriksaan serologis
ulang atau tes konfirmasi. Laboratorium RSUT menggunakan metode ELISA
untuk pemeriksaan anti HIV, sehingga perlu dilakukan tes ulang atau dilakukan
tes konfirmasi menggunakan metode Western blot.10,32
Koinfeksi tuberkulosis dan HIV memberikan gambaran lebih kompleks
patofisiologi malnutrisi, sehingga manifestasinya lebih berat dibandingkan dengan
tuberkulosis atau HIV sendiri. Kombinasi koinfeksi TB/HIV dan malnutrisi
disebut dengan ―triple trouble‖.3,6 Perubahan terkait nutrisi pada TB, infeksi HIV
atau kombinasi TB dan HIV meliputi peningkatan keluaran energi, malabsorpsi
zat gizi, defisiensi mikronutrien, dan meningkatnya produksi sitokin proinflamasi
disertai dengan aktivitas lipolisis dan proteolisis. Walaupun hubungan antara
malnutrisi dan koinfeksi TB dan HIV telah diketahui, perbaikan status nutrisi
masih belum jelas dapat menurunkan risiko berkembangnya penyakit aktif atau
membaiknya outcome klinis selama pengobatan. Meskipun telah diberikan
pengobatan adekuat, morbiditas dan mortalitas pada pasien TB tetap tinggi,
terutama dengan koinfeksi HIV.6
Adanya penyakit infeksi kronik seperti halnya TB paru dan HIV/AIDS
disertai dengan penurunan BB dapat menyebabkan kaheksia. Kaheksia secara
langsung memengaruhi ketahanan hidup, kualitas hidup, dan aktivitas fisik.
Diagnosis kaheksia pada keempat pasien ini ditegakkan berdasarkan riwayat
penurunan BB dalam ≤ 12 bulan terakhir disertai penyakit yang mendasari,
ditambah dengan tiga gejala yaitu menurunnya kekuatan otot, anoreksia, dan pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia dan hipoalbuminemia (pada tiga
pasien).7

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


62

Hingga saat ini berbagai jalur yang terlibat dalam perkembangan kaheksia
telah banyak dipelajari dan masih banyak mekanisme yang belum diketahui.
Inflamasi sistemik dan meningkatnya kadar TNF-α di dalam darah berperan pada
berbagai penyakit disertai dengan atrofi otot. Sitokin proinflamasi dapat
menginduksi katabolisme otot dan proteolisis otot rangka. Konferensi kaheksia
ke-7 di Jepang tahun 2013 menyebutkan bahwa GDF-15, miostatin, jalur ubiquitin
proteasome-dependent, valosin terlibat dalam proses wasting. Berbagai macam
golongan obat juga diketahui dapat mengatasi kaheksia, namun masih diperlukan
studi lebih lanjut untuk mengevaluasi mekanisme dan efek jangka panjang.41
Pada keempat pasien ini, terapi yang diberikan untuk tatalaksana kaheksia
adalah EPA dan AARC. Alasan pemberian golongan terapi ini adalah
ketersediaannya pada RS setempat. Sumber EPA didapatkan dari suplementasi
kapsul omega-3 dan AARC dari bahan makanan sumber. Bahan makanan sumber
AARC pada pasien didapatkan dari susu nutren optimum yang setiap sajiannya
mengandung 2,1 g, sehingga rata-rata pasien mendapatkan sekitar 5-6 g AARC
per hari dari makanan cair dan bahan makanan sumber lainnya (telur, ayam).
Berbagai studi percobaan klinis memberikan AARC dengan dosis 5-11 g/hari
pada pasien kanker dan pembedahan.42 Asam amino rantai cabang, terutama
leusin, telah diketahui bermanfaat dalam sintesis protein otot.8 Peran AARC
sebagai agen oreksigenik untuk menurunkan masuknya triptofan otak melalui
sawar darah otak, sehingga menurunkan sintesis serotonin hipotalamus. Asam
amino rantai cabang juga memiliki efek antikatabolik dengan meningkatkan
sintesis protein dan menghambat jalur proteolitik intrasel. β-hidroksi-β-
metilbutirat (HMB) yang merupakan metabolit leusin, diketahui memiliki
efektifitas tinggi dalam menghambat degradasi protein otot.43
Sumber EPA pada pasien hanya didapatkan dari suplementasi kapsul
omega-3. Inflamasi merupakan mekanisme yang mendasari terjadinya kaheksia,
obat-obatan antiinflamasi untuk menekan produksi sitokin inflamasi menjadi
pilihan utama, namun belum ada yang menunjukkan manfaatnya dengan
konsisten. Didapatkan beberapa bukti bahwa asupan tinggi asam lemak omega-3
dapat memperbaiki fungsi otot rangka pada penyakit paru obstruktif kronik
44
(PPOK), namun studi ini tidak menggunakan subyek dengan kaheksia saja.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


63

Pemberian EPA telah banyak diteliti perannya pada pasien kanker dan kaheksia
kanker, diketahui dapat meningkatkan dan mempertahankan BB, menurunkan
inflamasi, mencegah kaheksia serta memperbaiki status fungsional dan
meningkatkan kualitas hidup. Secara khusus EPA telah menunjukkan dapat
menghambat aktivitas proteolisis melalui jalur ubiquitin-proteasome-dependent,
sehingga mengurangi wasting. Studi percobaan klinis terhadap pasien malnutrisi
EPA menurunkan kadar proteolysis inducing factor (PIF) dalam urin dan
meningkatkan BB. Antiinflamasi di dalam omega-3 diketahui dapat meningkatkan
BB dan lean body mass yang terlihat pada pasien kanker setelah diberikan
suplementasi EPA.43
Peran terapi anabolic agent pada pasien HIV dengan malnutrisi telah
banyak dipelajari. ESPEN menyebutkan bahwa pada pasien dengan HIV positif
dengan defisiensi testosteron direkomendasikan mendapatkan substitusi
testosteron untuk memperbaiki massa otot. Kenaikan BB dan massa bebas lemak
dapat dicapai dengan pemberian recombinant GH, namun harganya mahal. Selain
itu pada pasien HIV dengan malnutrisi, steroid anabolik (oksimetolon 100
mg/hari) diketahui dapat meningkatkan BB, massa otot dan parameter fungsional.
Megestrol asetat dosis tinggi dapat meningkatkan nafsu makan dan BB, serta
talidomid dapat menurunkan proinflamasi dan berhubungan dengan peningkatan
BB.35
Anemia didapatkan pada keempat pasien dalam kasus ini. Pada pasien TB,
sebanyak 32-94% disertai dengan anemia. Anemia defisiensi besi dan anemia
penyakit kronik merupakan yang paling banyak ditemukan.45 Anemia defisiensi
besi dapat disebabkan oleh perdarahan kronik, kehilangan melalui urin, serta
asupan dan absorpsi yang kurang. Menurunnya kadar besi di dalam darah pada
anemia defisiensi besi dapat menghambat eritropoiesis. Anemia penyakit kronik
merupakan sindrom klinis yang ditemukan pada pasien infeksi seperti TB,
penyakit inflamasi, autoimun, dan keganasan, ditandai dengan anemia normositik
hipokrom dan mikrositik hipokrom. Pada penyakit kronik, adanya inflamasi
menyebabkan makrofag melepaskan IL-6, yang akan menginduksi hepatosit
memproduksi hepsidin. Hepsidin akan menghambat pelapasan besi di makrofag
dan menghambat absorpsi besi di usus sehingga mengakibatkan defisiensi besi.46

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


64

Mekanisme lain yang dapat menyebabkan anemia pada penyakit kronis adalah
sitokin dan sel di dalam sistem retikuloendotelial mengubah hemostasis besi,
proliferasi sel pendahulu eritroid, produksi eritropoietin dan masa hidup
eritrosit.47 Belum banyak studi yang dapat menyatakan jenis anemia pada TB
paru. Studi Oliveira dkk45 menyimpulkan bahwa pada prevalensi anemia lebih
tinggi pada pasien TB paru dengan malnutrisi.
Sebagian besar pasien memiliki kadar limfosit yang rendah (dibawah
20%) dan nilai total lymphocyte count (TLC) dibawah 1200 sel/mm3. Kadar TLC
diketahui memiliki hubungan kuat dengan CD-4, sehingga nilai TLC dapat
digunakan untuk memperkirakan kadar CD-4 bila pemeriksaan CD-4 tidak dapat
dilakukan/tidak tersedia. Studi observasional di India menyebutkan bahwa
sensitivitas dan spesifisitas nilai TLC 1200 sel/mm3 sebesar 72% dan 100% untuk
memprediksi kadar CD-4 < 200 sel/mm, nilai TLC 1500 sel/mm3 memiliki
sensitivitas dan spesifisitas 97% dan 100% untuk memprediksi kadar CD-4 200-
499 sel/mm3, dan kadar TLC 1900 sel/mm3 diketahui memiliki sensitivitas dan
spesifisitas 98% dan 100% untuk memprediksi kadar CD-4 ≥ 500 sel/mm3.48
Studi observasional di Bali menyimpulkan bahwa kombinasi nilai TLC dan kadar
Hb dapat meningkatkan akurasi diagnosis TLC sebesar 11,9% dalam memprediksi
imunodefisiensi berat pada penderita HIV sehingga dapat digunakan sebagai
penanda pengganti jumlah limfosit CD-4 dalam memulai terapi ARV pada daerah
yang tidak memiliki fasilitas untuk pemeriksaan kadar CD-4 dan viral load.49
Pada keempat pasien dalam kasus ini didapatkan hipoalbuminemia.
Albumin merupakan protein plasma yang diproduksi oleh hati yang berperan
dalam berbagai proses fisiologis, antara lain vasodilatasi, apoptosis sel endotel,
dan reaksi antioksidan. Seseorang dengan kondisi malnutrisi, inflamasi kronik,
enteropati dan penyakit hati memiliki kadar albumin yang rendah. Kadar albumin
dalam darah dapat menjadi indikator status kesehatan, dan studi menunjukkan
bahwa kadar albumin yang rendah merupakan prediktor kuat pada kematian
penyakit akut dan kronik. Pasien yang terinfeksi Mtb secara imunologi ditandai
dengan respons fase akut dan reaksi inflamasi sistemik dapat menurunkan kadar
albumin dalam darah.51 Studi Alvares-Uria dkk52 menyatakan bahwa pemeriksaan
albumin dalam darah dapat digunakan sebagai penanda diagnosis pasien TB

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


65

dengan infeksi HIV yang memiliki indikasi terapi ARV. Kadar albumin < 3,2
g/dL berhubungan dengan 85% spesifisitas dan meningkatnya risiko kematian
pada pasien TB.
Hiponatremia didapatkan pada sebagian besar pasien-pasien ini.
Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit paru yang dapat menginduksi
hiponatremia melalui beberapa mekanisme, antara lain invasi lokal pada kelenjar
adrenal, hipotalamus atau kelenjar pituitari, meningitis TB, dan gangguan sekresi
hormon antidiuretik (ADH). Insidens hiponatremia berat diperkirakan sebesar
1,1% pasien rawat inap dan TB paru merupakan penyebab terbanyak. Beberapa
studi menyatakan bahwa syndrome of inappropriate antidiuretic hormone
secretion (SIADH). Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion
merupakan salah satu komplikasi dari infeksi paru, penyakit inflamasi dan
keganasan, meskipun prevalensi dan mekanismenya belum jelas. Suatu studi
melaporkan bahwa hiponatremia sebagai akibat dari SIADH pada pasien TB paru,
adanya peningkatan kadar hormon antidiuretik dan hiponatremia pada TB paru
merupakan indikator produksi ADH ektopik.53 Pasien dengan hiponatremia
memiliki risiko kematian lebih tinggi. Sharma dkk54 menyatakan hiponatremia
sebagai prediktor perkembangan dan outcome pada pasien ARDS yang
disebabkan oleh TB paru. Angka kejadian hiponatremia pada pasien AIDS dengan
TB paru lebih tinggi, yaitu sebesar 60%.53
Dukungan nutrisi perlu diberikan pada pasien koinfeksi TB/HIV dengan
malnutrisi.7 World Health Organization merekomendasikan bahwa seluruh pasien
TB harus mendapatkan tatalaksana nutrisi oleh karena adanya hubungan kausal
antara malnutrisi dan TB. Skrining, assessment dan tatalaksana nutrisi menjadi
bagian integral dari tatalaksana TB.5 Tatalaksana komprehensif termasuk
dukungan nutrisi pada HIV/AIDS diketahui dapat menurunkan progresivitas
infeksi HIV menjadi AIDS dan angka kematian secara signifikan.10 Beberapa
rekomendasi tatalaksana nutrisi pada TB paru dan TB/HIV dapat terlihat pada
tabel 4.1.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


66

Tabel 4.1 Beberapa Rekomendasi Tatalaksana Nutrisi TB Paru dan HIV/AIDS

Komposisi TB paru HIV/AIDS


nutrisi
WHO Sri Kenya WHO/WFP/ Afrika
(2013) Lanka/UNI (2010) UNAIDS Selatan
CEF (2014) (2005, 2014) (2013)

Energi 35-45 35-40 - Asimptomatik ↑20-30%


kkal/kg kkal/kg ↑ 10%
Simptomatik ↑
20-30%

Protein 15-30% 15% (1,2- 1,2-1,5 g/kg 10-15% -


1,5 g/kg BB meningkat ~
BB) energi

Lemak 25-35% - 25-30% 15-30% -

Karbohidrat 45-65% - 36-40 g/kg 45-60% -

Mikronutrien 1xRDA 1x RDA 1-1,5x RDA 1-2xRDA 1-1,5x RDA

Sumber: modifikasi dari daftar referensi no 5,24, 37, 55-57

Kebutuhan energi pada keempat pasien dihitung menggunakan formula


Harris-Benedict dengan faktor stres 1,4. Hal ini sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa kebutuhan energi yang dibutuhkan pada TB aktif dan
HIV/AIDS cenderung meningkat. Belum ada bukti yang menunjukkan bahwa
komposisi makronutrien pada TB aktif berbeda dengan bukan TB. Secara umum
rekomendasi komposisi makronutrien adalah 15-30% protein, 25-35% lemak, dan
45-65% karbohidrat.5 Suatu rekomendasi menyebutkan kebutuhan energi pasien
TB paru sekitar 35-40 kkal/kgBB ideal, dan pasien dengan malnutrisi dapat
diberikan protein sebesar 1,7 g/kgBB/hari.23
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa malnutrisi menyebabkan
kehilangan massa otot diafragma, disertai dengan penurunan fungsi paru. Pada
tahap lanjut, TB paru dapat memberikan manifestasi berupa dispnea dan acute
respiratory distress syndrome (ARDS) ditandai dengan hipoksemia (gagal nafas),
yang biasanya memerlukan perawatan intensif.15,58 Studi lain menunjukkan pasien
dengan status gizi baik yang memerlukan ventilator mekanik memiliki mortalitas
lebih rendah dibandingkan pasien malnutrisi yang membutuhkan ventilator.59
Perhitungan komposisi karbohidrat, lemak, dan protein sebaiknya berdasarkan

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


67

individual. Karbohidrat menghasilkan CO2 lebih banyak dari lemak atau protein
saat oksidasi, yaitu sebanyak enam molekul, sehingga memiliki respiratory
quotient (RQ) 1, lemak 0,7 dan protein 0,8.58 Pembagian komposisi makronutrien
terhadap efek fungsi pernafasan masih kontroversial. Berbagai penelitian di
pertengahan tahun 1980-1990 banyak dilakukan untuk membandingkan efek
metabolisme makronutrien pada fungsi pernafasan, seperti yang terlihat pada
tabel 4.2. Studi pada pasien dengan ventilator-dependent telah menunjukkan
bahwa asupan kalori yang berlebihan, dibandingkan dengan diet tinggi
karbohidrat, berperan pada meningkatnya produksi CO2. Selain itu, karbohidrat
merupakan sumber energi utama untuk memperkuat otot pernafasan yang
dibutuhkan saat weaning. Oleh karena itu, asupan karbohidrat adekuat diperlukan
untuk menambah glikogen otot pernafasan. Untuk alasan ini, maka saat ini
beberapa ahli merekomendasikan pemberian protein sebesar 15-20% total kalori
(1-2 g/kg BB), lemak 20-40% total kalori, dan karbohidrat 40-60% total kalori,
serta menghindari overfeeding pada pasien dengan penyakit paru.59 Suatu studi
menyimpulkan bahwa jumlah total kalori untuk mencegah overfeeding dan
hiperkapnia lebih penting diperhatikan dibandingkan asupan karbohidrat.60
Rendahnya kadar beberapa mikronutrien seperti vitamin A, D, E, besi,
zink, dan selenium telah dilaporkan pada studi kohort pasien TB aktif awal terapi.
Kadar mikronutrien ini biasanya kembali normal setelah 2 bulan pengobatan TB.5
Studi kasus kontrol di Indonesia pada 41 pasien TB aktif belum terapi usia 15-55
tahun dibandingkan dengan orang sehat, pada subyek dengan TB paru didapatkan
status nutrisi (dengan pemeriksaan antropometri), kadar hemoglobin, retinol dan
zink plasma lebih rendah dibandingkan orang sehat.25 Beberapa defisiensi
mikronutrien telah banyak dilaporkan pada pasien dengan TB paru dan infeksi
HIV. Suatu rekomendasi menyebutkan kebutuhan vitamin A, C, E, B kompleks,
selenium, seng, kalsium, tembaga, dan mangan pada TB lebih tinggi dibandingkan
orang sehat.23 Pada pasien-pasien ini, suplementasi mikronutrien yang diberikan
berupa vitamin B kompleks 3 x 1 tab, vitamin C 2 x 50 mg, asam folat 1 x 1 mg,
dan zink 1 x 20 mg. Suplementasi mikronutrien yang diberikan sesuai dengan
dosis 1-2x AKG. Pertimbangan memberikan suplementasi satuan oleh karena
ketersediannya di farmasi RSUT.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


68

Tabel 4.2 Beberapa Studi mengenai Komposisi Lemak dan Karbohidrat pada Fungsi Pernafasan

Peneliti, tahun Design penelitian Tujuan Metode dan hasil

Talpers, dkk, 199260 Randomized Membandingkan produksi CO2 dari 20 pasien dengan ventilator mekanik mendapatkan jumlah karbohidrat yang
controlled trial regimen nutrisi isokalori dengan bervariasi (40,60, dan 75%) dan total kalori (1x, 1,5x, dan 2x KEB) dengan
komposisi KH bervariasi dari komposisi KH 60%
rendah kalori dan tinggi kalori  Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada produksi CO 2 pada
dengan komposisi KH tetap pada pemberian jumlah karbohidrat yang bervariasi
pasien dengan ventilator  Produksi CO2 meningkat sejalan dengan peningkatan pemberian kalori
Van den Berg, dkk, 199461 prospective, Peran formula tinggi lemak 32 pasien di ICU dengan ventilator diberikan formula tinggi lemak (55,2%)
randomized terhadap weaning pada pasien rendah KH (28,1%) dan standar, dengan kalori 1,5x KEB
controlled dengan ventilator mekanik  RQ saat weaning leih rendah signifikanpada kelompok yang diberikan
formula tinggi lemak
 Tidak ada perbedaan signifikan pada PaCO2 saat weaning dan kedua
kelompok mengalami weaning dengan baik
Akrabawi, dkk, 199662 double-blind Menilai efek pemberian formula 36 pasien PPOK rawat jalan diberikan formula tinggi lemak (55%) dan lemak
crossover tinngi lemak dan lemak sedang sedang (40%) dalam 2 hari yang berbeda.
pada pengosongan lambung,  Pengosongan lambung pada pemberian formula tinggi lemak lebih
konsumsi O2, produksi CO2, RQ lama dibandingkan lemak sedang
dan fungsi paru pada pasien PPOK  konsumsi O2 dan produksi CO2 lebih tinggi signifikan pada
rawat jalan pemberian formula lemak sedang di menit ke-30 dan 90
 Tidak ada perbedaan signifikan terhadap RQ antara tinggi lemak dan
lemak sedang
Vermeeren, dkk, 200163 randomized, Mengetahui efek suplementasi 14 pasien PPOK mendapatkan nutrisi dengan jumlah kalori berbeda (plasebo,
double-blind, nutrisi pada metabolisme dan 1046 kkal, 2092 kkal) komposisi seimbang, kemudian 11 pasien mendapatkan
crossover kapasitas aktivitas fisik pasien suplementasi kalori 1046 kkal dengan tinggi lemak (60%) rendah KH (20%)
PPOK stabil dan kalori 1046 kkal rendah lemak (20%) tinggi KH (60%)
 Sedikit peningkatan RQ signifikan pada pemberian 1046 kkal dan
2092 kkal dibandingkan plasebo
 Tidak ada perbedaan signifikan pada metabolisme atau kapasitas
aktivitas fisik setelah pemberian suplementasi tinggi lemak maupun
tinggi KH

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


69

Peneliti, tahun Design penelitian Tujuan penelitian Metode dan hasil penelitian
64
Faramawy, dkk, 2014 Randomized Membandingkan efek formula 100 pasien gagal nafas tipe II di ICU
controlled trial tinggi lemak (55%), rendah  Pasien dengan formula tinggi lemak rendah karbohidrat mengalami
karbohidrat (28,1%) dengan penurunan PaCO2 16%, waktu ventilasi lebih cepat 8%, dan
isokalori komposisi seimbang pemakaian ventilator 62 jam lebih pendek dibandingkan formula
(lemak 30%, KH 53,3%) pada komposisi seimbang
PaCO2, waktu ventilasi dan
lamanya pemakaian ventilator

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


70

Vitamin A berperan pada sistem imun dan telah menunjukkan dapat


meningkatkan proliferasi limfosit sebagai respons terhadap antigen dan respons
antibodi terhadap antigen sel-T dependent, serta menghambat apoptosis. Vitamin
A juga berfungsi menjaga integritas permukaan epitel. Defisiensi vitamin A dapat
menurunkan sekresi kadar imunoglobulin A sehingga meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi. Di Ethiopia, defisiensi vitamin A pada pasien TB sekitar 60%.65.
Studi kasus kontrol di Indonesia pada 41 pasien TB aktif belum terapi usia 15-55
tahun dibandingkan dengan orang sehat, pada subyek dengan TB paru didapatkan
status nutrisi (dengan pemeriksaan antropometri), kadar hemoglobin, retinol dan
seng plasma lebih rendah dibandingkan orang sehat.25 Status vitamin A
merupakan kofaktor penting pada perkembangan HIV. Kadar vitamin A yang
rendah berhubungan signifikan dengan kadar CD-4 dan mempercepat
perkembangan penyakit AIDS, serta meningkatkan risiko kematian infeksi HIV.
Di Ethiopia, defisiensi vitamin A merupakan masalah kesehatan yang sangat besar
pada pasien terinfeksi HIV, dan berhubungan dengan meningkatnya transmisi
vertikal ibu-janin.65 Pada pasien-pasien ini suplementasi vitamin A tidak diberikan
oleh karena ketersediaannya di RSUT. Bahan makanan sumber vitamin A terdapat
pada hati sapi, produk susu, wortel, kentang, dan bayam.24
Beberapa vitamin B seperti halnya vitamin C dan E diketahui berhubungan
dengan menurunnya perkembangan penyakit HIV pada studi-studi observasional.
Adanya hubungan kausal disebabkan oleh antioksidan, walaupun peran vitamin E
terhadap sistem imun juga memiliki efek. Suatu studi randomisasi klinis
menunjukkan penurunan viral load setelah pemberian vitamin C dan E dosis
tinggi. Studi lainnya di Tanzania menunjukkan bahwa pemberian suplementasi
multivitamin mengandung 3-10 kali RDA enam vitamin B, C, dan E setiap hari
saat kehamilan dapat menurunkan risiko transmisi ibu-anak setelah melahirkan
dan kematian bayi, kesakitan bayi, dan perkembangan menjadi AIDS dan
kematian pada dewasa.66
Di Ethiopia telah dilaporkan bahwa kadar antioksidan vitamin C, E, dan A
pada pasien TB lebih rendah dari kontrol orang sehat. Hasil produk peroksidasi
lipid ditemukan sangat tinggi pada pasien koinfeksi dengan HIV. Studi lain
melaporkan rendahnya kadar seng, besi dan selenium. Studi prospektif masih

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


71

diperlukan untuk melihat perbaikan outcome terapi TB pada pemberian


suplementasi antioksidan tunggal dan multipel.65
Vitamin B6 diberikan oleh DPJP sehubungan pemberian INH sebagai
OAT. Peran vitamin B6 sebagai koenzim (piridoksal fosfat) yang terlibat dalam
berbagai proses metabolisme. Isoniazid secara kompetitif mengganggu
metabolisme piridoksin dengan menghambat pembentukan bentuk aktif vitamin
B6, dan menyebabkan neuropati perifer.67
Asam folat dan vitamin B12 berperan pada replikasi sel. Studi
eksperimental menunjukkan defisiensi kedua vitamin ini menunjukkan gangguan
replikasi sel leukosit dan pembentukan antibodi. Pada anemia defisiensi asam
folat terjadi penekanan imunitas sel. Studi potong silang di Spanyol pada 126
pasien HIV positif dengan HAART dibandingkan dengan 109 pasien HIV positif
denga riwayat konsumsi HAART, didapatkan bahwa defisiensi folat dan vitamin
B12 secara siginifikan lebih tinggi pada pasien HIV positif dengan riwayat
HAART dibandingkan dengan yang mendapatkan HAART. Studi mengenai
suplementasi asam folat pada infeksi HIV sangat sedikit, sebagian besar
menunjukkan perannya pada pasien HIV dengan kehamilan.68
Suplementasi vitamin D tidak diberikan pada keempat pasien karena
sediaannya tidak didapatkan di RSUT. Sinar matahari juga tidak bisa didapatkan
karena pasien selalu berada di dalam kamar rawat inap dan sebagian besar dalam
kondisi nonambulatory. Edukasi diberikan pada pasien dan keluarga bila pasien
pulang ke rumah dianjurkan untuk berjemur di bawah sinar matahari antara jam
10 pagi hingga 3 sore selama 5-15 menit dan mengonsumsi bahan makanan
sumber vitamin D seperti hati sapi, telur, ikan tuna, dan sardin.24
Pada pasien-pasien ini tidak diberikan suplementasi besi. Bukti
eksperimental dan epidemiologi menunjukkan bahwa besi yang berlebihan dapat
berbahaya pada pasien TB. Isolasi dan muatan besi di dalam makrofag, tempat
dimana Mtb tinggal dan bereplikasi dapat memfasilitasi meningkatnya kebutuhan
besi untuk pertumbuhan kuman dan menghambat sistem pertahanan sel. Bukti in
vitro dan percobaan hewan menunjukkan bahwa muatan besi dapat meningkatkan
replikasi bakteri, menyebabkan shift respon sitokin dari Th1 ke Th2, mencegah
mekanisme pertahanan yang dimediasi oleh IFN-γ dan menghambat aktivitas

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


72

bakterisidal NO-dependent.51 Seperti pada infeksi lainnya, peran besi pada infeksi
HIV kompleks. Besi penting untuk mengoptimalkan fungsi imun, namun
perannya sebagai pro-oksidan dan menyebabkan replikasi virus telah ditunjukkan
pada suatu studi laboratorium.69 Cadangan besi menurun pada fase awal infeksi
HIV asimptomatik, yang mungkin disebabkan oleh gangguan absorpsi dan akan
meningkat pada fase HIV lanjut oleh karena akumulasi di dalam makrofag dan sel
lainnya. Studi observasional menunjukkan suplementasi besi dua kali seminggu
tidak meningkatkan viral load. Masih banyak studi diperlukan untuk menilai efek
status dan asupan besi, termasuk suplementasi pada transmisi dan perkembangan
HIV, serta risiko TB dan infeksi sekunder lainnya.66 Suplementasi besi oral
tersedia dalam bentuk kompleks dengan sulfat, suksinat, sitrat, laktat, tartrat,
fumarat, dan glukonat, yang biasanya digunakan untuk tatalaksana anemia
defisiensi besi.24
Defisiensi mikronutrien pada HIV/AIDS dapat berefek pada replikasi virus
dan memiliki efek yang baik terhadap pejamu. Suplementasi juga dapat
memberikan efek yang baik terhadap virus. Misalnya replikasi virus HIV dapat
meningkat pada biakan monosit dengan retinoid. Penambahan retinoid pada
monosit yang terinfeksi dapat menghambat ekspresi HIV.69
Defisiensi seng telah banyak diketahui pada berbagai fase infeksi HIV,
sehingga defisiensi dapat menjadi kofaktor perkembangan penyakit. Beberapa
faktor lain juga dapat berperan pda defisiensi seng. Infeksi HIV berhubungan
dengan infeksi akut dan kronik (virus, bakteri, jamur, atau parasit). Penyakit-
penyakit infeksi ini dapat menyebabkan defisiensi seng, dan dapat terjadi dalam
waktu yang lama tergantung dari penyebabnya. Peran seng sangat penting pada
pertumbuhan dan fungsi sel CD-4, sehingga adanya penurunan sel CD-4 yang
dapat menyebabkan infeksi oportunistik akibat dari rendahnya ketersediaan seng.
Hal ini mendukung temuan yang menyatakan bahwa seng dibutuhkan untuk
aktivitas biologis hormon timus ZnFTS (timulin) yang mutlak diperlukan untuk
diferensiasi dan pematangan sel CD-4.70 Suplementasi seng diketahui dapat
memperlambat perkembangan penyakit HIV dan menurunkan kejadian infeksi
oportunistik pada pasien dengan atau tanpa ARV. Suplementasi seng bersama
dengan multivitamin dan suplementasi selenium secara signfikan dapat

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


73

menurunkan kematian berkaitan dengan HIV.71 Studi randomized-controlled


clinical trial pemberian suplementasi seng suplemental pada 231 pasien infeksi
HIV selama 18 bulan memberikan hasil perbaikan fungsi imun dan menurunkan
kejadian diare, namun tidak berhubungan dengan viral load, penyakit gangguan
pernafasan, dan kematian.72
Berbagai macam suplementasi seng yang dapat ditemukan antara lain seng
oxide, seng sulfat, seng asetat, seng klorida, dan seng glukonat. Perbedaannya
terletak dari kadar seng yang terdapat pada jenis suplementasi, misalnya seng
glukonat mengandung 14,3% seng, seng sulfat mengandung 23% seng, dan seng
klorida mengandung 48% seng. Suplementasi seng oral sebaiknya dikonsumsi
saat perut kosong dan tidak bersamaan dengan suplementasi mineral lainnya
seperti besi dan kalsium. Beberapa efek samping yang dapat ditimbulkan antara
lain nyeri perut (iritasi lambung), dispepsia, mual, muntah, dan diare.24 Keempat
pasien mendapatkan suplementasi zink 1 x 20 mg yang mengandung seng sulfat
54,9 mg setara dengan seng 20 mg. Bahan makanan sumber seng didaptakan dari
kerang, kepiting, udang, hati sapi, dan daging merah.24
Hingga saat ini belum ada konsensus mengenai dosis suplementasi seng
pada infeksi HIV dengan berbagai alasan. Pertama, asupan seng yang tinggi dapat
menginduksi perkembangan infeksi HIV yang cepat oleh karena efek kompetisi
dengan tembaga menginduksi hipokupremia, anemia, leukopenia, dan neutropenia
yang tentunya mengakibatkan gangguan imun lebih jauh. Kedua, saat respons fase
akut, seng akan diredistribusi dari dalam darah ke hati dan limfosit, untuk
mencegah invasi patogen yang disebabkan oleh seng. Alasan utama suplementasi
seng tidak dianjurkan berhubungan dengan temuan bahwa HIV-Tat protein dan
HIV-nucleocapsid protein NCp7 merupakan zinc dependent dengan afinitas ikatan
yang kuat, dan kedua protein tersebut berhubungan dengan replikasi HIV.70
Status selenium pejamu diketahui terlibat dalam regulasi replikasi virus.
Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan terbalik antara kadar selenium
dengan perkembangan penyakit HIV termasuk diantaranya kadar CD-4, infeksi
oportunistik, dan viral load. Kadar selenium yang rendah dilaporkan pada pasien
HIV asimptomatik dengan kadar CD-4 < 400 sel/mmᶟ. Studi lain melaporkan
kejadian infeksi oportunistik lebih banyak pada pasien dengan kadar selenium

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


74

yang rendah didalam darah.66 Keempat pasien tidak mendapakan suplementasi


selenium. Sediaan suplementasi selenium didapatkan pada suplementasi
multivitamin mineral multipel yang tidak tersedia di RSUT. Bahan makanan
sumber selenium bisa diperoleh dari sereal, grains, gandum, roti, daging merah,
produk susu, dan seafood.24
Belum ada studi yang menilai efek pemberian mikronutrien multipel
terhadap terapi dan penyembuhan TB. Suplementasi mikronutrien multipel
mungkin tidak memiliki efek atau efeknya kecil pada pasien TB BTA positif
dalam 8 minggu pertama, dan mungkin tidak memiliki efek terhadap peningkatan
BB selama terapi. Walaupun kadar beberapa vitamin rendah dalam darah pada
pasien TB aktif, namun belum didapatkan bukti nyata bahwa suplementasi rutin
pada dosis rekomendasi harian atau diatasnya memiliki manfaat klinis.5
Pemberian omega-3 pada penderita TB masih belum konsisten. Salah
satu literatur menyatakan pemberian omega-3 dapat meningkatkan asupan,
mempertahankan pola makan yang adekuat sehingga dapat mencegah penurunan
berat badan, namun terdapat beberapa penelitian yang menyatakan hasil
berbeda.22 Menurut McMurray dkk73, omega-3 memiliki efek positif terhadap
beberapa penyakit inflamasi (reumatoid artritis, inflammatory bowel disease,
penyakit kardiovaskuler, kanker), namun fungsi anti inflamasi omega 3
menunjukkan efek negatif terhadap aktivitas anti mikrobial pada TB.
Suplementasi imunonutrisi tidak diberikan pada keempat pasien. Formula
imunonutrisi mengandung arginin, glutamin, omega-3 dan vitamin antioksidan.
ESPEN menyatakan berbagai hasil mengenai efek imunonutrisi pada pasien HIV
belum konsisten, sehingga belum dapat direkomendasikan. Suatu studi
menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pada parameter nutrisi dan
imunologi kelompok pasien yang hanya mendapatkan konseling nutrisi
dibandingkan kelompok yang mendapatkan suplementasi nutrisi oral dan
kelompok yang mendapatkan formula imunonutrisi terhadap pasien HIV
asimptomatik. Studi randomisasi klinis lainnya melihat efek suplementasi nutrisi
oral (660 kkal/hari), dengan atau tanpa penambahan arginin (7,4 g/hari) dan
omega-3 (1,7 g/hari), namun hasilnya tidak ditemukan manfaat suplementasi
arginin dan omega-3. Formula imunonutrisi juga telah diteliti pada pasien HIV

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


75

dengan terapi HAART, hasilnya tidak didapatkan efek bermakna pada efek terapi
antara suplementasi nutrisi oral standar dan formula imunonutrisi. Suplementasi
nutrisi oral mengandung arginin (14 g/hari), glutamin (14 g/hari dan β-hidroksi-β-
metilbutirat (3 g/hari) diketahui dapat meningkatkan massa otot, BB dan
berhubungan dengan menurunnya viral load HIV pada sebuah studi placebo-
controlled randomized trial.35
Pada sebagian besar pasien, pemberian nutrisi dimulai dari 80% KEB
dengan alasan klinis pasien yang sebagian besar memperlihatkan sesak nafas dan
analisis asupan 24 jam terakhir di bawah 1000 kkal. Saat pemantauan, terjadi
perbaikan klinis dan toleransi asupan, sehingga nutrisi dapat ditingkatkan
bertahap. Pada pasien kedua dan keempat, nutrisi yang diberikan dapat mencapai
kebutuhan energi total dengan jenis makanan berupa kombinasi makanan lunak
dan cair. Pada pasien pertama dan ketiga sempat terjadi perbaikan klinis dan
toleransi asupan, kemudian pasien mengalami penurunan kondisi (sesak dan
penurunan kesadaran), hingga kebutuhan kalori total tidak tercapai. Keempat
pasien toleransinya lebih baik terhadap makanan cair dibandingkan makanan
lunak.
Makanan cair yang diberikan berupa kombinasi makanan cair RS dan
formula komersil (nutren optimum), dengan alasan komposisi makanan cair RS
dapat memenuhi kebutuhan pasien, dan formula komersil mengandung zat-zat gizi
yang diperlukan pada keempat pasien. Pertimbangan lain memberikan kombinasi
dua makanan cair tersebut adalah dari segi biaya, oleh karena seluruh biaya
pengobatan pasien menggunakan BPJS. ESPEN menyebutkan secara umum
penggunaan formula spesifik belum ada manfaatnya pada pasien HIV/AIDS,
sehingga formula nutrisi standar dapat digunakan, meskipun pasien dengan diare
dan malnutrisi berat. Formula mengandung MCT dapat memberikan manfaat
lebih baik pada pasien AWS dan diare kronik.35
Dukungan dari keluarga pasien dan kerjasama yang baik dengan DPJP,
dietisien, pramusaji, perawat, dan petugas farmasi di RSUT berperan dalam
tatalaksana nutrisi keempat pasien. Seluruh planning nutrisi dapat dikeluarkan
dari dapur sesuai preskripsi, dan sebagian besar pasien mengikuti anjuran yang
diberikan.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


76

Outcome pada pasien kedua dan keempat lebih baik dibandingkan pasien
pertama dan ketiga. Hal ini dapat dilihat dari penilaian kapasitas fungsional. Pada
pemantauan terakhir, kekuatan genggaman tangan pasien kedua dan keempat
sama dengan pemeriksa, dan skor indeks Barthel mengalami peningkatan menjadi
ketergantungan ringan. Pemeriksaan antropometri dilakukan saat sebelum pasien
pulang, namun tidak didapatkan peningkatan BB pada kedua pasien. Saat pasien
pulang, pasien diberikan edukasi mengenai nutrisi yang baik, yang dapat
dikonsumsi di rumah. Contoh menu sehari dan daftar bahan makanan penukar
diberikan kepada pasien dan keluarga (dapat dilihat pada lampiran).
Pada pasien pertama dan ketiga terjadi perburukan klinis sehingga
penilaian kapasitas fungsional masih sama seperti saat assessment awal, bahkan
pada pasien ketiga mengalami penurunan kapasitas fungsional menjad bedridden
dan ketergantungan berat. Hal ini mungkin disebabkan pada pasien pertama dan
ketiga gejala klinis lebih berat dengan infeksi HIV sudah dalam fase lanjutan atau
AIDS. Outcome keempat pasien ini tidak dapat dibandingkan dengan penelitian
yang dilakukan Sudarsanam dkk yang melakukan studi pilot randomisasi klinis di
India pada 81 pasien TB kasus baru dan 22 pasien koinfeksi TB/HIV dengan
malnutrisi ringan mendapatkan suplementasi makronutrien dan mikronutrien
selama pengobatan TB. Studi ini dilakukan pada pasien rawat jalan, meskipun
tidak didapatkan hasil signifikan pada outcome TB. Studi mengenai efek
intervensi nutrisi terhadap koinfeksi TB/HIV dan malnutrisi masih sangat
terbatas.4
Penilaian kapasitas fungsional menggunakan indeks Barthel. Indeks
Barthel merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk menilai kualitas
hidup dengan skor tertinggi 20. Terdapat banyak instrumen yang dapat digunakan
pada pasien TB untuk menilai kualitas hidup. Studi Maguire, dkk74 pada penderita
TB paru di Papua, Indonesia menggunakan instrument St George‘s Respiratory
Questionnare (SGRQ) yang dimodifikasi untuk menilai kualitas hidup.
Keempat pasien mendapatkan OAT dari DPJP. Jenis obat OAT yang
diberikan adalah obat kombinasi dosis tetap (fixed dosed combination/FDC) yang
direkomendasikan oleh WHO. Kombinasi dosis tetap dapat mengurangi risiko
terjadinya resisten obat monoterapi, selain itu jenis obat ini dapat meningkatkan

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


77

kepatuhan pasien. Interaksi obat dan efek samping dapat berpengaruh pada
tatalaksana nutrisi seperti yang terlihat dalam tabel 4.3.

Tabel 4.3 Efek Samping dan Interaksi OAT Terkait Nutrisi

Obat-obatan Efek samping/interaksi terkait nutrisi


Asam aminosalisilat Mengganggu absorpsi vitamin B12 dan asam folat, mual, muntah
Etionamid Memerlukan suplementasi vitamin B6, dpat menyebabkan
anoreksia, metallic taste, mual, muntah, diare, penurunan BB
dan hipoglikemia
Etambutol Dapat menyebabkan gangguan gastrointestinal, mual, anoreksia.
Tidak dianjurkan untuk dikonsumsi lebih dari 2 bulan karena
dapat membahayakan mata
Isoniazid (INH) Dapat menyebabkan defisiensi vitamin B6 dengan menimbulkan
neuritis, defisiensi niasin, kalsium, vitamin B12, sering
ditemukan mual, jaundice, muntah, kram perut, dan mulut
kering.
Pirazinamid Dapat menyebabkan anoreksia, mual, muntah dan hepatotoksik
Rifampisin Dapat menyebabkan anoreksia dan gangguan gastrointestinal
Streptomisin Pemakaian lebih dari 3 bulan dapat menyebabkan gangguan
keseimbangan dan pendengaran
Sumber: daftar referensi no 22

Pasien pertama mendapatkan terapi ARV berupa tenofovir (TDF),


lamivudin (3TC) dan efavirenz. Tenofovir dan lamivudin termasuk dalam
golongan nucleoside reverse trancriptase inhibitors (NRTIs) yang bekerja
menghentikan replikasi virus HIV. Efek samping yang dapat ditimbulkan antara
lain gangguan gastrointestinal (mual, muntah, diare dan nyeri perut), pankreatitis,
depresi, hipofosfatemia, dan gagal ginjal akut. Efavirenz merupakan golongan
nonnucleoside reverse trancriptase inhibitors (NNRTIs) yang bekerja mengikat
protein yang diperlukan virus HIV untuk bereplikasi. Efavirenz dapat
menyebabkan lipodistrofi, diare, dan nyeri perut.10,34
Oleh karena efek samping OAT dan ARV sebagian besar
menimbulkan gejala pada saluran gastrointestinal, edukasi mengenai cara
mengonsumsi obat-obat tersebut harus diberikan pada pasien. Kedua jenis obat
tersebut sebaiknya dikonsumsi saat perut dalam keadaan kosong untuk
mengurangi efek samping yang dapat ditimbulkan. Selain itu, beberapa OAT
bersifat hepatotoksik, sehingga perlu dilakukan monitor kadar fungsi hati.
Pemantauan kadar fungsi hati juga penting dilakukan pada pasien koinfeksi
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


78

HIV/TB. Beberapa ahli merekomendasikan pemantauan biokimiawi pada pasien-


pasien berusia > 35 tahun. Terapi sebaiknya dihentikan, dan biasanya
menggunakan regimen yang dimodifikasi untuk peningkatan kadar fungsi hati tiga
kali di atas batas normal dengan gejala hepatitis dan/atau jaundice, atau lima kali
di atas batas normal tanpa gejala. Biasanya onset terjadinya gangguan hati akut
dalam beberapa bulan setelah terapi dimulai. Rechallenge test dapat dilakukan
yaitu dengan menghentikan obat-obatan yang diduga menyebabkan kenaikan
kadar fungsi hati (SGPT) sebanyak dua kali normal. Bila setelah obat dihentikan
kadar fungsi hati membaik, maka cara ini dapat digunakan untuk mendiagnosis
pasti drug-induced liver injury (DILI). Rekomendasi pemantauan kadar fungsi
hati dilakukan setiap bulan, atau pada bulan ke-1, ke-3 dan, ke-6 pada regimen
pengobatan 9 bulan.75
Pada keempat pasien saran untuk konsul fisioterapi diberikan pada
DPJP agar pasien mendapatkan terapi latihan fisik. Tata laksana nutrisi ditambah
dengan aktivitas fisik dapat memberikan manfaat dari segi patofisiologi dalam hal
mengurangi pemecahan protein dan memperbaiki fungsi otot. Walaupun pasien
kaheksia tidak termotivasi untuk melakukan aktivitas fisik, bukti menunjukkan
bahwa latihan ketahanan dapat memperbaiki kekuatan otot dan lean body mass,
mengurangi inflamasi dan memperbaiki fatigue.8

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


79

BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi
tantangan global. Beban ganda akibat peningkatan epidemi human
immunodeficiency virus (HIV) akan memengaruhi peningkatan kasus TB di
masyarakat. Peringkat TB saat ini sejalan dengan HIV sebagai penyebab kematian
di dunia. Hubungan antara TB dan malnutrisi telah lama diketahui, TB dapat
menyebabkan malnutrisi dan malnutrisi meningkatkan risiko terjadinya TB.
Terjadinya koinfeksi TB/HIV akan menurunkan massa tubuh dan lemak lebih
banyak. Penurunan BB disertai dengan adanya penyakit kronis termasuk dalam
kondisi kaheksia. Dukungan nutrisi sebagai bagian dari tatalaksana komprehensif
diperlukan pada TB paru, infeksi HIV, malnutrisi dan kaheksia.
Seluruh pasien dalam serial kasus ini adalah pasien TB paru dengan
malnutrisi berat dan kaheksia. Dua dari empat pasien disertai infeksi HIV.
Tatalaksana nutrisi pasien meliputi perhitungan kebutuhan energi menggunakan
persamaan Harris-Benedict. Komposisi makronutrien diberikan seimbang dengan
kebutuhan protein sebesar 1,5-2 g/kgBB. Suplementasi mikronutrien diberikan
sesuai dengan kebutuhan harian, dan nutrien omega-3 diberikan bertujuan untuk
memperbaiki kaheksia. Semua pasien mendapatkan makanan cair berupa formula
komersil yang mengandung AARC yang diketahui dapat memperbaiki anoreksia
dan sintesis protein. Formula imunonutrisi tidak diberikan oleh karena belum ada
rekomendasi yang jelas.
Dua dari empat pasien memberikan outcome lebih baik dari segi klinis,
namun tidak didapatkan peningkatan BB bermakna. Tatalaksana nutrisi yang
dilakukan di RSUT berjalan dengan baik dengan kerjasama antar berbagai disiplin
ilmu.

79 Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


80

5.2 Saran
1) Diperlukan suatu tim khusus untuk menangani pasien dengan TB paru dengan
malnutrisi, kaheksia, dan infeksi HIV sehingga tatalaksana komprehensif
dapat berjalan dengan baik
2) Perlu dilakukan pemeriksaan komposisi tubuh untuk mengetahui status nutrisi
dan evaluasi tatalaksana nutrisi
3) Pasien serial kasus sebaiknya memiliki diagnosis dan derajat keparahan
penyakit yang sama sehingga perbedaan respon tatalaksana nutrisi dapat
terlihat

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


81

DAFTAR REFERENSI

1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.


Petunjuk teknis tata laksana klinis ko-infeksi TB-HIV. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia 2012.

2. Global Tuberculosis Report 20th edition 2015. World Health


Organization.

3. Nutrition and tuberculosis: a review of the literature and consideration for


TB control programs. The United states Agency for International
Development (USAID) 2008.

4. Sudarsanam TD, Kang JJG, Mahendri V, Gerrior J, Franciosa M, Gopal S,


et al. Pilot randomized trial of nutritional supplementation in patients with
tuberculosis and HIV–tuberculosis coinfection receiving directly observed
short-course chemotherapy for tuberculosis. Tropical Medicine and
International Health 2011;16(6):699-706.

5. Guideline: Nutritional care and support for patients with tuberculosis.


World Health Organization 2013.

6. Van Lettow MHE. Triple Trouble; Tuberculosis, HIV infection and


malnutrition, thesis. Rotterdam: the Wageningen University 2005

7. Evans WJ, Morley JE, Argiles J, Bales C, Baracos V, Guttridge D.


Cachexia: a new definition. Clinical Nutrition 2008;27:793-9

8. Ali S, Garcia JM. Sarcopenia, cachexia and aging: diagnosis, mechanisms


and therapeutic options – a mini-review. Gerontology 2014;60:294–305.

9. Miyata S, Tanaka M, Ihaku D. The prognostic significance of nutritional


status using malnutrition universal screening tool in patients with
pulmonary tuberculosis. Nutrition Journal 2013;12:42.

10. Gardner CF, Sucher K. HIV and AIDS. Dalam : Nelms M, Sucher KP,
Lacey K, Roth SL. Nutrition Therapy and Pathophysiology edisi 2.
California: Wadsworth Cengage Learning 2011. Hal.735-65

11. NUSTART (Nutritional Support for Africans Starting Antiretroviral


Therapy) Study Team, Filteau S, Praygod G, Kasonka L, Woodd S,
Rehman AM, et al. Effects on mortality of a nutritional intervention for
malnourished HIV-infected adults referred for antiretroviral therapy: a
randomised controlled trial. BMC Medicine 2015;13:17.

81 Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


82

12. Bergman EA, Hawk SN. Diseases of the respiratory system. Dalam :
Nutrition Therapy and Pathophysiology. 2nd edition. Wadsworth Cengage
Learning 2011. Hal.650-2.

13. Sherwood L. Human Physiology from Cells to Systems. Belmont:


Brooks/Cole, 2010. hal. 461–510.

14. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology edisi 13.
New Jersey: John Wiley and Sons Inc 2012. Hal 919

15. O'Brien RJ. Tuberculosis. Dalam: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL,
Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editor. Harrison's Principles of Internal
Medicine. Edisi ke-18. New York: McGraw-Hill, 2012. hal. 2252–80.

16. Walsh M. Tuberculosis. Infection Landscapes 2013.


http://www.infectionlandscapes.org/2013/04/tuberculosis.html. Diakses
tanggal 15 Desember 2014.

17. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional


Penanggulangan Tuberkulosis, 2011.

18. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Strategi Nasional


Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011.

19. Schluger NW, Rom WN. The host immune response to tuberculosis. Am J
Respir Crit Care Med 1998; 157: 679–91.

20. Zuniga J, Torres-Garcia D, Santos-Mendoza T, Rodriguez-Reyna TS,


Granados J, Yunis EJ. Cellular and humoral mechanisms involved in the
control of tuberculosis. Clinical and Developental Immunology
2012;doi:10.1155/2012/193923.

21. Gupta KB, Gupta R, Atreja A, Verma M, Vishvkarma. Tuberculosis and


nutrition. Lung India 2009;26(1):9-16.

22. Schwenk A, Hodgson L, Wright A, Ward LC, Rayner CFJ, Grubnic S, et


al. Nutrition partitioning during treatment of tuberculosis: gain in body fat
mass but not in protein mass. Am J Clin Nutr 2004; 79:1006 –12.

23. Escott-Stump S. Nutrition and Diagnosis-Related Care edisi 7.


Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins 2012. Hal 330-3.

24. Nutrition Division-Ministry of Health. Dietary Guidelies and Nutrition


Therapy for Spesific Diseases. Government of Sri Lanka-UNICEF 2014.

25. Grooper SS, Smith JL. Advanced Nutrition and Human Metabolism edisi
6. Wadsworth: Cengage Learning 2013. Hal: 398.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


83

26. Karyadi E, Schultink W, Nelwan RHH, Gross R, AminZ, Dolmans WMV,


et al. Poor micronutrient status of active pulmonary tuberculosis in
Indonesia. J Nutr 2000;130:2953-8

27. Karyadi E, West CE, Schultink W, Nelwan RHH, Gross R, Amin Z, et al.
A double-blind, placebo-controlled study of vitamin A and zinc
supplementation in persons with tuberculosis in Indonesia: effects on
clinical response and nutritional status. Am J Clin Nutr 2002;75:720-7.

28. Salahudin N, Ali F, Hasan Z, Rao N, Aqeel M, Mahmoud F. Vitamin D


accelerates clinical recovery from tuberculosis: results of the SUCCINCT
Study [Supplementary Cholecalciferol in recovery from tuberculosis]. A
randomized, placebo-controlled, clinical trial of vitamin D
supplementation in patients with pulmonary tuberculosis. BMC Infectious
Diseases 2013, 13:22.

29. Range N, Changalucha J, Krarup H, Magnussen P, Andersen AB, Friis H.


The effect of multi-vitamin/ mineral supplementation on mortality during
treatment of pulmonary tuberculosis: a randomised two by-two factorial
trial in Mwanza, Tanzania. Br J Nutr. 2006;95(4):762-770.

30. Nelms MN, Frazier C. Cellular and physiological response to injury: the
role of the immune system. Dalam: Dalam : Nelms M, Sucher KP, Lacey
K, Roth SL. Nutrition Therapy and Pathophysiology edisi 2. California:
Wadsworth Cengage Learning 2011. hal 158-62.

31. Haynes BF, Fauci AS. Introduction to the immune system. Dalam: Fauci
AS, Kasper DL, Braunwald E, Hauser SR, Longo DL, Jameson JL, editor.
Harrison‘s Principles of Internal Medicine. Edisi ke 17. New York:
McGraw-Hill Companies, Inc, 2008.Hal: 1906-15

32. Faucy AS, Lane HC. Human immnunodeficiency virus disease: AIDS and
related disorders. Dalam: Fauci AS, Kasper DL, Braunwald E, Hauser SR,
Longo DL, Jameson JL, editor. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. Edisi ke 17. New York: McGraw-Hill Companies, Inc, 2008.
Hal. 1076-139

33. Fenton M, Silverman EC. Medical nutrition therapy for human


immunodeficiency virus (HIV) disease. Dalam: Mahan LK, Escott-Stump
S. Krause’s Food & Nutrition Therapy. Edisi 12. Missouri: Saunder
Elsevier 2008. Hal: 991-1016

34. Cone LA. Wasting and AIDS in the era of highly active antiretroviral
therapy. Dalam: Watson RR, editor. Nutrition and AIDS, edisi 2. Florida:
CRC Press, 2001. Hal: 1-6.

35. Ockenga J, Grimble R, Jonkers-Schuitema C, Macallan D, Melchior JC,


Sauerwein HP, et al. ESPEN guidelines on enteral nutrition: wasting in

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


84

HIV and other chronic infectious diseases. Clinical Nutrition 2006;25:319-


29.

36. The Academy of Science of South Africa. HIV/AIDS, TB and Nutrition.


2007.hal 107-9

37. World Health Organization. Nutrient requirement for people living with
HIV/AIDS. 2003.

38. Santarpia L, Contaldo F, Pasanisi F. Nutritional screening and early


treatment of malnutrition in cancer patients. J Cachexia Sarcopenia
Muscle 2011;2:27-35.

39. Morley JE, Thomas DR, Wilson MMG. Cachexia: pathophysiology and
clinical relevance. Am J Clin Nutr 206;83:735-43.

40. Donohoe CL, Ryan AM, Reynolds JV. Cancer cachexia: mechanisms and
clinical implications. Gastroenterology Research and Practice 2011. Doi:
10.1155/2011/601434

41. Ebner N, Steinbeck L, DOehner W, Anker SD, von Haehling S. Highlights


from the 7th Cachexia Conference: muscle wasting pathophysiological
detection and novel treatment strategies. J Cachexia Sarcopenia Muscle
2014 5:27–34

42. Choudry HA, Pan M, KArinch AM, Souba WW. Branched-chain amino
acid-enriched nutritional support in surgical and cancer patients. J Nutr
2006;136:314-8S.

43. Muscaritoli M, Costelli P, Aversa Z, Bonetto A, Baccino FM, Fanelli FR.


New strategies to overcome cancer cachexia: from molecular mechanisms
to the ‗Parallel Pathway‘. Asia Pac J Clin Nutr 2008;17(S1):387-90.

44. Wagner PD. Possible mechanism underlying the development of cachexia


in COPD. Eur Respir J 2008; 31: 492–50.

45. Oliveira MG, Delogo KN, de Oliveira HMMG, Ruffino-Netto A, Kritski


AL, Oliveira MM. Anemia in hospitalized patients with pulmonary
tuberculosis. J Bras Pneumol. 2014;40(4):403-410.

46. Andrews NC. Anemia of inflammation: the cytokine-hepcidin link. The


Journal of Clinical Investigation 2004;113(9):1251-2.

47. Weiss G, Goodnough LT. Anemia of chronic disease. N Engl J Med


2005;352:1011-23.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


85

48. Obirikorang C, Quaye L, Acheampong I. Total lymphocyte count as a


surrogate marjker for CD4 count in resource-limited settings. BMC
Infectious Diseases 2012, 12:128.

49. Suastika NKW. Akurasi diagnostik kombinasi total lymphocyte count


(TLC) dan kadar hemoglobin untuk memprediksi imunodefisiensi berat
pada penderita terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV) pra terapi
antiretroviral, tesis. Universitas Udayana 2013

50. Isanaka S, Mugusi F, Urassa W, Millett WC, Bosch RJ, Villamor E, et al.
Iron defisciency and anemia predict mortality in patients with tuberculosis.
J. Nutr 2012;142: 350–357.

51. Sudfeld CR, Isanaka S, Aboud S, Mugusu FM, Wang M, Chalamilla GE,
et al. Association of serum albumin concentration with mortality,
morbidity, CD4 T-cell reconstitution among tanzanians initiating
antiretroviral therapy. The Journal of Infectious Diseases 2013;207:1370–
8

52. Alvarez-Uria G, Mide M, Pakam R, Naik PK. Diagnostic and prognostic


value of serum albumin for tuberculosis in HIV infected patients eligible
for antiretroviral therapy: datafrom an HIV cohort study in India.
BioImpacts 2013, 3(3), 123-128.

53. Jafari NJ, Izadi M, Sarrafzadeh F, Heidari A, Ranjbar R, Saburi A.


Hyponatremia Due to Pulmonary Tuberculosis: Review of 200 Cases.
Nephro-Urol Mon.2013;5(1): 687-691.

54. Sharma SK, Mohan A, Banga A, Saha PK, Guntupalli KK. Predictors of
development and outcome in patients with acute respiratory distress
syndrome due to tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis 2006;10(4):429-35.

55. Ministry of Public Health and Sanitation, Republic of Kenya. Guidelines


For The Management Of Drug Resistant Tuberculosis In Kenya 2010.

56. Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). Nutrition


assessment, counselling and support for adolescents and adults living with
HIV: a programming guide 2014.

57. Department of Health, Republic of South Africa. Guidelines for the


management of Tuberculosis, Human Immunodeficiency Virus and
Sexually-Transmitted Infections in Correctional Facilities 2013.

58. Patel NM, Johnson MM. Nutrition in respiratory diseases. Dalam: Ross
AC, Caballero B, Cousins RJ, Tucjer KL, Ziegler TR, editor. Modern
Nutrition in Health and Disease, edisi 11. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins 2014.hal: 1387-90.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


86

59. Sindhwani G, Rawat J. Ventilator dependence: role of nutrition and airway


clearance therapy. Lung India 2006;23:39-41.

60. Talpers SS, ROmberger DJ, Bunce SB, Pingleton KK. Nutritionally
associated increased carbondioxide production.: excess total calories vs
high proportion of carbohydrate calories. Chest 1992;102:551-5

61. Van den Berg B, Bogaard JM, Hop WC. High fat, low carbohydrate,
enteral feeding in patients weaning from the ventilator. Intensive Care
Med 1994;20:470-5.

62. Akrabawi SS, Mobarhan S, Stoltz R, Ferguson PW. Gastric emptying,


pulmonary function, gas exchange and respiratory quotient after feeding a
moderate versus high fat enteral formula meal in chronic obstructive
pulmonary disease patients. Nutrition 1996;12:260-5.

63. Vermeeren MA, Wouters EF, Nelissen LH, van Lier A,Hofman Z, Schols
AM. Acute effects of different nutritional supplements on symptoms and
functional capacity in patients with chronic obstructive pulmonary disease.
Am J Clin Nutr 2001;73:295–301.

64. Faramawy MAE, Allah AA, Batrawy SE, Amer H. Impact of high fat low
carbohydrate enteral feeding on weaning from mechanical ventilation.
Egyptian Journal of Chest and Tuberculosis 2014;63:931-8.

65. Amare B, Moges B, Mulu A, Yifru A, KAssu A. Quadruple Burden of


HIV/AIDS, Tuberculosis, Chronic Intestinal Parasitoses, and Multiple
Micronutrient Deficiency in Ethiopia: A Summary of Available Findings.
BioMed Research International 2015. Article ID 598605

66. Friis H. Micronutriens and HIV infection: a review of current evidence.


Consultation on Nutrition and HIV/AIDS in Africa: Evidence, lessons and
recommendations for action. Departement of Nutrition for Health and
Development, World Health Organization 2005.

67. WHO Model Prescribing Information: Drugs Used in Mycobacterial


Diseases. Geneva 1991.

68. Drain PK, Kupka R, Mugusi F, Fawzi WW. Micronutrients in HIV-


positive persons receiving highly active antiretroviral therapy. Am J Clin
Nutr 2007;85:333– 45.

69. Friis H, Michaelsen KF. Micronutrients and HIV infection: a review.


European Journal of Clinical Nutrition 1998;52:157-63.

70. Mocchegiani E, Muzzioli M. Therapeutic application of zinc in human


immunodeficiency virus against opportunistic infections. J. Nutr.
2000;130: 1424S—1431S

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


87

71. Range N, Changalucha J, Krarup H, Magnussen P, Andersen AB, Friis H.


The effect of multi-vitamin/mineral supplementation on mortality during
treatment of pulmonary tuberculosis: a randomised two-bytwo factorial
trial in Mwanza, Tanzania. Br J Nutr 2006; 95:762–70.

72. Baum MK, Lai S, Sales S, Page JB, Campa A. Randomized, Controlled
Clinical Trial of Zinc Supplementation to Prevent Immunological Failure
in HIV-Infected Adults. Clinical Infectious Diseases 2010; 50(12):1653–
60

73. McMurray DN, Bonilla DL, Chapkin RS. n-3 Fatty acids uniquely affect
anti-microbial resistance and immune cell plasma membrane organization.
Chem Phys Lipids 2011; 164: 626–35.

74. Brown J, CApocci S, Smith C, Morris S, Abubakar A, Lipman M. Health


status and quality of life in tuberculosis. International Journal of
Infectious Diseases 2015;32:68-75

75. Saukkonen JJ, Cohn DL, Jasmer RM, Schenker S, Jereb JA, Nolan CM, et
al. An Official ATS Statement: Hepatotoxicity of Antituberculosis
Therapy. Am J Respir Crit Care Med 2006;174:935-52.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


88

LAMPIRAN 1

PEMANTAUAN PASIEN PERTAMA

Pemantauan I Pemantauan II Pemantauan III


S Sesak berkurang, makanan cair dapat dihabiskan Sesak makin berkurang, mual tidak ada, makanan cair Sejak sehari sebelumnya sesak, harus menggunakan
dan bubur dapat dihabiskan O2, makan bubur hanya habis ¾ p, susu dapat habis
O Tampak sakit sedang, compos mentis Tampak sakit sedang, compos mentis Tampak sakit sedang, compos mentis
Tanda vital: Tanda vital: Tanda vital:
- TD = 100/70 mmHg - TD = 110/80 mmHg - TD = 110/70 mmHg
- HR = 84 x/menit - HR = 84 x/menit - HR =92 x/menit
- RR = 24 x/menit - RR = 20 x/menit - RR = 30 x/menit
- S = 36,6°C - S = 36,5°C - S = 37°C
Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik:
Mata: konjungtiva anemis+/+ Mata: konjungtiva anemis+/+ Mata: konjungtiva anemis+/+
Hidung terpasang nasal kanul O2 3liter/menit Hidung terpasang nasal kanul O2 2 liter/menit Hidung terpasang nasal kanul O2 4 liter/menit
Toraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-) Toraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-) Toraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-) Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-) Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-)
Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat, Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat, Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral
CRT > 2‖ CRT > 2‖ hangat, CRT > 2‖
Lab: Alb 2,2 g/dL, SGOT 25 SGPT 18, anti HIV (+) Lab: Alb 3,0 g/dL (post transfusi) Lab: pH 7,454 pCO2 31,3 pO2 33,5 HCO3 21,5 BE -1,7
Sat O2 68,5% Na 142 K 4,0 Cl 102
Analisis Asupan: Analisis Asupan:
Vol E P L KH Vol E P L KH Analisis Asupan:
(ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g) Vol E P L KH
MCRS 600 600 30 14,4 89,6 Nutr opt 300 300 12 12 40,8 (ml) (kkal) (g) (g) (g)
4x150 2x150 Bubur 1100 - 825 30 18,7 135
Nutr opt 400 400 16 16 51,2 Peptisol 300 300 16,8 3,6 50,4 (3/4 p)
2x200 2x150 Nutr opt 400 400 16 16 51,2
Infus NaCl 1000 bubur 700 kal - 700 28 23 104 2x200
Air putih 500 Infus NaCl 1000 Infus NaCl 1000
Total 2500 1000 46 30,4 140,8 Air putih 300 Air putih 500
Total 1900 1300 56,8 38,6 195,2 Total 1900 1225 46 34,7 186,2
Analisis cairan:
Input: 2500 mL Analisis cairan: Analisis cairan:
Output: 1500 mL(urin), 630 ml (IWL) Input: 1900 mL Input: 1900 mL
Balans: +370 mL/24 jam Output: 1200 mL (urin), 630 ml (IWL) Output: 1200 mL(urin), 630 ml (IWL)
Diuresis: 1,5 ml/kg/jam Balans: +70 mL/24 jam Balans: +70 mL/24 jam
Diuresis: 1,2 ml/kg/jam Diuresis: 1,2 ml/kg/jam

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


89

Th/DPJP: Th/DPJP: Th/DPJP:


Terapi lanjut + Terapi lanjut + Terapi lanjut
Transfusi albumin 20% 100 ml (3 hari) R/H/Z/E 300/300/500/500 O2 NRM 10 liter/menit
Periksa CD4 Vit B6 2 x 1 tab Konsul IPD untuk ARV

A Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang
(anemia, leukositosis, hiponatremia, hipoalbuminemia) (anemia, leukositosis, hiponatremia, hipoalbuminemia) (anemia, leukositosis, hiponatremia, hipoalbuminemia)
pada TB paru, HIV (+) pada TB paru, HIV (+) pada TB paru, HIV (+)
P Nutrisi diberikan sebesar 1300 kkal (31 kkal/kgBB), Nutrisi diberikan sebesar 1500 kkal (35 kkal/kgBB), Nutrisi diberikan sebesar 1300 kkal (31 kkal/kgBB),
protein 58,8 g (1,4 g/kgBB, 18%, N:NPC 1:118), lemak protein 63 g (1,5 g/kgBB, 16%, N:NPC 1:125), lemak 45 protein 63 g (1,5 g/kgBB, 19%, N:NPC 1:105), lemak
36,1 g (25%), KH 185 g (57%) g (27%), KH 229,5 g (57%) 39 g (27%), KH 174,2 g (54%)
 Bentuk : makanan cair dan lunak  Bentuk : makanan lunak dan cair  Bentuk : makanan cair dan lunak
 Rute : oral  Rute : oral  Rute : oral

Preskripsi diet: Preskripsi diet: Preskripsi diet:


Vol E P L KH Vol E P L KH Vol E P L KH
(ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g)
Nutr opti 2x150 300 300 12 12 40,8 Bubur 1100 kal - 1100 40 25 180 Peptisol 2x150 300 300 16,8 3,6 50,4
Peptisol 2x150 300 300 16,8 3,6 50,4 Nutr opt 2x200 400 400 16 16 51,2 Nutr opt 2x150 300 300 12 12 40,8
Bubur 700 kkal - 700 28 23 104 Ekstra telur (1) - 75 7 5 - Bubur 700 kkal - 700 28 23 104
Total 600 1300 56,8 38,6 195 Ekstra telur (1) - 75 7 5 -
Total 400 1575 63 46 231
Mikronutrien: Total 600 1375 63,8 43,6 195,2
Vit B komp 3x1 tab, vit C 2x50 mg, as folat 1x1 mg, zink Mikronutrien:
1x20 mg, omega-3 3x2 tab, vipalbumin 3x2 tab Vit B komp 3x1 tab, vit C 2x50 mg, as folat 1x1 mg, zink Mikronutrien:
1x20 mg, omega-3 3x2 tab, vipalbumin 3x2 tab Vit B komp 3x1 tab, vit C 2x50 mg, as folat 1x1 mg,
zink 1x20 mg, omega-3 3x2 tab, vipalbumin 3x2 tab
M - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis
(setiap hari) (setiap hari) (setiap hari)
- Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap - Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap - Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap
hari) hari) hari)
E Bila asupan, toleransi asupan, dan klinis baik, asupan akan Bila asupan, toleransi asupan, dan klinis baik, asupan Bila asupan, toleransi asupan, dan klinis baik, asupan
ditingkatkan bertahap dalam 1-2 hari sebanyak 10-20%. akan ditingkatkan bertahap dalam 1-2 hari sebanyak 10- akan ditingkatkan bertahap dalam 1-2 hari sebanyak
20%. 10-20%.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


90

PEMANTAUAN PASIEN PERTAMA

Pemantauan IV Pemantauan V
S Masih sesak, terutama bila selang oksigen dilepas, susu Sesak masih ada, makanan dari RS dapat dihabiskan
dapat habis, bubur ½ p
O Tampak sakit sedang, compos mentis Tampak sakit sedang, compos mentis
Tanda vital: Tanda vital:
- TD = 110/70 mmHg - TD = 100/70 mmHg
- HR = 88 x/menit - HR = 88 x/menit
- RR = 26 x/menit - RR = 24 x/menit
- S = 37°C - S = 36,8°C
Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik:
Mata: konjungtiva anemis+/+ Mata: konjungtiva anemis+/+
Hidung terpasang NRM O2 6 liter/menit Hidung terpasang masal kanul O2 4 liter/menit
Toraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-) Toraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-) Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-)
Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat, Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat,
CRT > 2‖ CRT > 2‖
Lab: pH 7,432 pCO2 38,13 pO2 83,4 HCO3 27,9 BE 4,2 Lab: Hb 9,6 Ht 29 Lek 5700 Tr 379.000
Sat O2 96,9%

Analisis Asupan: Analisis Asupan:


Vol E P L KH Vol E P L KH
(ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g)
Nutr opt 300 300 12 12 40,8 Nutr opt 3x200 600 600 24 24 81,6
2x150 MCRS 3x200 600 600 30 14,4 96
Peptisol 300 300 16,8 3,6 50,4 Bubur ekstra 1x - 300 11,2 8,3 45
2x150 (300 kkal)
Bubur ¾ p - 525 21 17,2 78 Infus NaCl 500
Telur - 75 7 5 - Air putih 600
Infus NaCl 1000
Air putih 300 Total 2300 1500 65,2 46,7 222,6
Total 1900 1200 56,8 37,8 169,2
Analisis cairan:
Analisis cairan: Input: 2100 mL
Input: 1900 mL Output: 1500 mL(urin), 630 ml (IWL)
Output: 1500 mL(urin), 630 ml (IWL) Balans: -30 mL/24 jam
Balans: -230 mL/24 jam Diuresis: 1,5 ml/kg/jam
Diuresis: 1,5 ml/kg/jam

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


91

Th/DPJP: Th/DPJP:
Terapi lanjut Terapi lanjut
Dari IPD: TDF/3TC 1x1, Efavirenz 1x1 tab

A Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang
(anemia, leukositosis, hiponatremia, hipoalbuminemia) (anemia, leukositosis, hiponatremia, hipoalbuminemia)
pada TB paru, HIV (+) pada TB paru, HIV (+)

P Nutrisi diberikan sebesar 1500 kkal (35 kkal/kgBB), Nutrisi diberikan sebesar 1500 kkal (35 kkal/kgBB),
protein 67,2 g (1,5 g/kgBB, 18%, N:NPC 1:123), lemak protein 67,2 g (1,5 g/kgBB, 18%, N:NPC 1:123), lemak
45 g (27%), KH 206,5 g (55%) 45 g (27%), KH 206,5 g (55%)
 Bentuk : makanan cair dan lunak  Bentuk : makanan cair dan lunak
 Rute : oral  Rute : oral

Preskripsi diet: Preskripsi diet:


Vol E P L KH Vol E P L KH
(ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g)
Nutr opt 3x200 600 600 24 24 81,6 Nutr opt 3x200 600 600 24 24 81,6
MCRS 3x200 600 600 30 14,4 96 MCRS 3x200 600 600 30 14,4 96
Bubur ekstra 1x - 300 11,2 8,3 45 Bubur ekstra 1x - 300 11,2 8,3 45
(300 kkal) (300 kkal)

Total 1200 1500 65,2 46,7 222,6 Total 1200 1500 65,2 46,7 222,6

Mikronutrien: Mikronutrien:
Vit B komp 3x1 tab, vit C 2x50 mg, as folat 1x1 mg, zink Vit B komp 3x1 tab, vit C 2x50 mg, as folat 1x1 mg, zink
1x20 mg, omega-3 3x2 tab, vipalbumin 3x2 tab 1x20 mg, omega-3 3x2 tab, vipalbumin 3x2 tab

M - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis
(setiap hari) (setiap hari)
- Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap - Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap
hari) hari)
- Saran: konsul fisioterapi
E Bila asupan, toleransi asupan, dan klinis baik, asupan Bila asupan, toleransi asupan, dan klinis baik, asupan
akan ditingkatkan bertahap dalam 1-2 hari sebanyak 10- akan ditingkatkan bertahap dalam 1-2 hari sebanyak 10-
20%. 20%.dan bentuk makanan dapat diubah menjadi makanan
padat

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


92

LAMPIRAN 2

PEMANTAUAN PASIEN KEDUA

Pemantauan I Pemantauan II Pemantauan III


S Sesak berkurang, makanan dr RS dapat habis, diare Sesak berkurang, diare makin berkurang, makanan RS Sesak dan diare tidak ada, makan baik
berkurang dapat dihabiskan
O Tampak sakit sedang, compos mentis Tampak sakit sedang, compos mentis Tampak sakit sedang, compos mentis
Tanda vital: Tanda vital: Tanda vital:
- TD = 100/70 mmHg - TD = 110/70 mmHg - TD = 110/80 mmHg
- HR = 80 x/menit - HR = 84 x/menit - HR = 84 x/menit
- RR = 22 x/menit - RR = 20 x/menit - RR = 18 x/menit
- S = 36,6°C - S = 36,5°C - S = 36,5°C
Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik:
Regio generalisata: bercak hiperpigmentasi ukuran Regio generalisata: bercak hiperpigmentasi ukuran Regio generalisata: bercak hiperpigmentasi ukuran
lentiuler-numuler, batas tidak tegas lentiuler-numuler, batas tidak tegas lentiuler-numuler, batas tidak tegas
Mata: konjungtiva anemis+/+ Mata: konjungtiva anemis+/+ Mata: konjungtiva anemis+/+
Hidung terpasang nasal kanul O2 2 liter/menit Hidung terpasang nasal kanul O2 2 liter/menit Hidung terpasang nasal kanul O2 2 liter/menit
Toraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-) Toraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-) Toraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-) Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-) Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-)
Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat, Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat, Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral
CRT > 2‖ CRT > 2 hangat, CRT > 2
Lab: Hb post transfusi 11,9 g/dL
Analisis Asupan: Analisis Asupan:
Vol E P L KH Analisis Asupan: Vol E P L KH
(ml) (kkal) (g) (g) (g) Vol E P L KH (ml) (kkal) (g) (g) (g)
Bubur 1100 kal - 1100 40 25 180 (ml) (kkal) (g) (g) (g) Bubur 1300 kal - 1300 50 30 180
Infus RL 1000 Bubur 1100 kal - 1100 40 25 180 Peptisol 1x250 250 250 14 3 42
Air putih 600 Ekstra telur (1) - 75 7 5 - Infus RL 500
Transfusi PRC 500 Infus RL 1000 Air putih 500
Air putih 600
Total 2100 1100 40 25 180 Total 1250 1550 64 33 222
Total 1600 1175 47 30 180
Analisis cairan: Analisis cairan:
Input: 2100 ml Analisis cairan: Input: 1250 ml
Output: 1500 ml (urin), 480 ml (IWL) Input: 1600 ml Output: 1000 ml (urin), 480 ml (IWL)
Balans: +120 ml Output: 1000 ml (urin), 480 ml (IWL) Balans: -230 ml
Diuresis: 1,9 ml/kg/jam Balans: +120 ml, diuresis: 1,3 ml/kg/jam Diuresis: 1,3 ml/kg/jam

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


93

Th/DPJP: Th/DPJP: Th/DPJP:


Terapi lanjut Terapi lanjut Terapi lanjut

A Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme
(anemia, peningkatan enzim transaminase) pada (anemia, peningkatan enzim transaminase) pada sedang (anemia, peningkatan enzim transaminase)
diare kronik, TB paru dalam terapi, suspek alergi diare kronik, TB paru dalam terapi, suspek alergi pada diare kronik, TB paru dalam terapi, suspek
OAT OAT alergi OAT
P Nutrisi diberikan sebesar 1100 kkal (34 kkal/kgBB), Nutrisi diberikan sebesar 1500 kkal (47 kkal/kgBB), Nutrisi diberikan sebesar 1500 kkal (47 kkal/kgBB),
protein 48 g (1,5 g/kgBB, 17%, N:NPC 1:129), lemak protein 64 g (2 g/kgBB, 17%, N:NPC 1:124), lemak 45 g protein 64 g (2 g/kgBB, 17%, N:NPC 1:124), lemak
30,5 g (25%), KH 158 g (58%) (27%), KH 256,5 g (58%) 45 g (27%), KH 256,5 g (58%)
 Bentuk : makanan lunak  Bentuk : makanan lunak dan cair  Bentuk : makanan lunak dan cair
 Rute : oral  Rute : oral  Rute : oral

Preskripsi diet: Preskripsi diet: Preskripsi diet:


Vol E P L KH Vol E P L KH Vol E P L KH
(ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g)
Bubur 1100 kal - 1100 40 25 180 Bubur 1300 kal - 1300 50 30 180 Bubur 1300 kal - 1300 50 30 180
Ekstra telur (1) - 75 7 5 - Peptisol 1x250 250 250 14 3 42 Peptisol 1x250 250 250 14 3 42

Total - 1175 47 30 180 Total 250 1550 64 33 222 Total 250 1550 64 33 222

Mikronutrien: Mikronutrien: Mikronutrien:


vitamin B kompleks 3 x 2 tablet, vitamin C tablet 2 x 50 vitamin B kompleks 3 x 2 tablet, vitamin C tablet 2 x 50 vitamin B kompleks 3 x 2 tablet, vitamin C tablet 2 x
mg, asam folat tablet 1 x 1 mg, zink tablet 1 x 20 mg, dan mg, asam folat tablet 1 x 1 mg, zink tablet 1 x 20 mg, dan 50 mg, asam folat tablet 1 x 1 mg, zink tablet 1 x 20
omega-3 3 x 2 kapsul omega-3 3 x 2 kapsul mg, dan omega-3 3 x 2 kapsul

M - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis
(setiap hari) (setiap hari) (setiap hari)
- Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap - Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap - Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap
hari) hari) hari)
- Saran: periksa albumin - Saran: periksa albumin - Saran: periksa albumin, Mg, P, OT/PT
E Bila asupan, toleransi asupan, dan klinis baik, asupan akan Mempertahankan asupan sesuai KET Mempertahankan asupan sesuai KET, bila asupan baik,
ditingkatkan bertahap dalam 1-2 hari sebanyak 10-20%. pemberian nutrisi dapat ditingkatkan untuk mencapai
target BB yang diinginkan/ideal

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


94

PEMANTAUAN PASIEN KEDUA

Pemantauan IV H+5
S Tidak ada keluhan, makan baik Tidak ada keluhan, makan baik
O Tampak sakit sedang, compos mentis Tampak sakit sedang, compos mentis
Tanda vital: Tanda vital:
- TD = 110/70 mmHg - TD = 110/70 mmHg
- HR = 88 x/menit - HR = 80 x/menit
- RR = 18 x/menit - RR = 19 x/menit
- S = 36,7°C - S = 36,5°C
Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik:
Regio generalisata: bercak hiperpigmentasi ukuran Regio generalisata: bercak hiperpigmentasi ukuran
lentiuler-numuler, batas tidak tegas lentiuler-numuler, batas tidak tegas
Mata: konjungtiva anemis+/+ Mata: konjungtiva anemis+/+
Hidung terpasang nasal kanul O2 2 liter/menit Hidung terpasang nasal kanul O2 2 liter/menit
Toraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-) Toraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-) Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-)
Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat, Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat,
CRT > 2 CRT > 2

Analisis Asupan: Analisis Asupan:


Vol E P L KH Vol E P L KH
(ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g)
Bubur 1300 kal - 1300 50 30 180 Bubur 1500 kal - 1500 55 35 240
Peptisol 1x250 250 250 14 3 42 Nutr opt 1x250 250 250 10 10 34
Infus RL 500 Air putih 750
Air putih 500
Total 1000 1750 65 45 274
Total 1250 1550 64 33 222
Analisis cairan:
Analisis cairan: Input: 1000 ml
Input: 1250 ml Output: 1000 ml (urin), 480 ml (IWL)
Output: 1200 ml (urin), 480 ml (IWL) Balans: -480 ml
Balans: -420 ml Diuresis: 1,3 ml/kg/jam
Diuresis: 1,5 ml/kg/jam
Th/DPJP:
Th/DPJP: Terapi lanjut
Terapi lanjut

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


95

A malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang
(anemia, peningkatan enzim transaminase) pada (anemia, peningkatan enzim transaminase) pada
diare kronik, TB paru dalam terapi, suspek alergi diare kronik, TB paru dalam terapi, suspek alergi
OAT OAT
P Nutrisi ditingkatkan sebesar 1750 kkal (54 kkal/kgBB), Nutrisi ditingkatkan sebesar 1750 kkal (54 kkal/kgBB),
protein 64 g (2 g/kgBB, 15%, N:NPC 1:149), lemak 54 g protein 64 g (2 g/kgBB, 15%, N:NPC 1:149), lemak 54 g
(27%), KH 252 g (58%) (27%), KH 252 g (58%)
 Bentuk :makanan lunak dan cair  Bentuk :makanan lunak dan cair
 Rute : oral  Rute : oral

Preskripsi diet: Preskripsi diet:


Vol E P L KH Vol E P L KH
(ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g)
Bubur 1500 kal - 1500 55 35 240 Bubur 1500 kal - 1500 55 35 240
Nutr opt 1x250 250 250 10 10 34 Nutr opt 1x250 250 250 10 10 34

Total 250 1750 65 45 274 Total 250 1750 65 45 274

MIkronutrien: MIkronutrien:
vitamin B kompleks 3 x 2 tablet, vitamin C tablet 2 x 50 vitamin B kompleks 3 x 2 tablet, vitamin C tablet 2 x 50
mg, asam folat tablet 1 x 1 mg, zink tablet 1 x 20 mg, dan mg, asam folat tablet 1 x 1 mg, zink tablet 1 x 20 mg, dan
omega-3 3 x 2 kapsul omega-3 3 x 2 kapsul

M - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis
(setiap hari) (setiap hari)
- Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap - Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap
hari) hari)
- Saran: periksa albumin, Mg, P, OT/PT - Saran: periksa albumin, Mg, P, OT/PT

E Mempertahankan asupan, bila asupan baik, pemberian Mempertahankan asupan, bila asupan baik, pemberian
nutrisi dapat ditingkatkan bertahap untuk mencapai target nutrisi dapat ditingkatkan bertahap untuk mencapai target
BB yang diinginkan/ideal BB yang diinginkan/ideal

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


96

LAMPIRAN 3

PEMANTAUAN PASIEN KETIGA

Pemantauan I Pemantauan II Pemantauan III


S Sesak berkurang, mual masih ada, lemas, susu hanya habis Sesak makin berkurang, lemas membaik, makanan cair Demam sejak 2 hari lalu, lemas, sesak berkurang,
¾ p, bubur habis ½ p dan bubur dapat dihabiskan, diare (-) cenderung tidur, bubur tidak habis, susu habis
O Tampak sakit sedang, compos mentis Tampak sakit sedang, compos mentis Tampak sakit sedang, compos mentis
Tanda vital: Tanda vital: Tanda vital:
- TD = 100/70 mmHg - TD = 110/70 mmHg - TD = 100/70 mmHg
- HR = 80 x/menit - HR = 80 x/menit - HR = 92 x/menit
- RR = 24 x/menit - RR = 22 x/menit - RR =22 x/menit
- S = 36,8°C - S = 37°C - S = 38,7°C
Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik:
Mata: konjungtiva anemis+/+ Mata: konjungtiva anemis+/+ Mata: konjungtiva anemis+/+
Hidung terpasang nasal kanul O2 2 liter/menit Hidung terpasang nasal kanul O2 2 liter/menit Hidung terpasang nasal kanul O2 2 liter/menit
Toraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-) Toraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-) Leher: kaku kuduk ?
Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-) Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-) Toraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-)
Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat, Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat, Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-)
CRT > 2‖ CRT > 2‖ Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral
Lab: Ur 30 Cr 0,6 Lab: Alb 2,0, CD-4 14 hangat, CRT > 2‖
Lab: Na 122, K 2,8 Cl 82
Analisis Asupan: Analisis Asupan:
Vol E P L KH Vol E P L KH Analisis Asupan:
(ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g) Vol E P L KH
Nutr opt 300 300 12 12 40,8 Nutr opt 3x150 450 450 18 18 61,2 (ml) (kkal) (g) (g) (g)
3x100 MCRS 3x150 450 450 22,5 10,8 72 Nutr opt 2x200 400 400 16 16 51,2
MCRS 300 300 15 7,2 48 Bubur ekstra 1x - 300 11,2 8,3 45 MCRS 2x200 400 400 20 9,6 64
3x100 (300 kkal) Bubur ½ p - 350 14 11,5 52
Bubur ¾ p - 200 7,5 5,5 30 Infus NaCl 500 Infus NaCl 500
Infus NaCl 500 Infus RL 1000 Infus RL 1000
Infus RL 1000 Air putih 600 Air putih 300
Air putih 300
Total 2400 800 34,5 24,7 118,8 Total 3000 1200 51,7 37,1 178,2 Total 2600 1150 50 37,1 167,2

Analisis cairan: Analisis cairan: Analisis cairan:


Input: 2400 mL Input: 3000 mL Input: 2600 mL
Output: 1200 mL(urin), 720 ml (IWL) Output: 1500 mL(urin), 720 ml (IWL) Output: 1200 mL(urin), 720 ml (IWL)
Balans: +480 mL/24 jam, diuresis: 1 ml/kg/jam Balans: +780 mL/24 jam, diuresis: 1,3 ml/kg/jam Balans: +680 mL/24 jam, diuresis: 1 ml/kg/jam

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


97

Th/DPJP: Th/DPJP: Th/DPJP:


Terapi lanjut Terapi lanjut + Terapi lanjut
Transfusi albumin 20% 100 ml (3 hari) Koreksi NaCL 3% 500 ml/24 jam
. KSR 3x1 tab
A Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang
(anemia, leukositosis, hiponatremia) pada TB milier dan (anemia, leukositosis, hiponatremia, hipoalbuminemia) (anemia, leukositosis, hiponatremia, hypokalemia,
SIDA pada TB milier dan SIDA hipokloremia, hipoalbuminemia) pada TB milier dan
SIDA
P Nutrisi diberikan sebesar 1200 kkal (25 kkal/kgBB), Nutrisi diberikan sesuai KEB 1500 kkal (31 kkal/kgBB), Nutrisi diberikan sesuai KEB 1500 kkal (31
protein 52,8 g (17%, 1,1 g/kgBB, N:NPc 1:123), lemak 36 protein 72 g (19%, 1,5 g/kgBB, N:NPC 1:110), lemak 45 kkal/kgBB), protein 72 g (19%, 1,5 g/kgBB, N:NPC
g (27%), KH 166,2 g (56%) g (27%), KH 202 g (54%) 1:110), lemak 45 g (27%), KH 202 g (54%)
 Bentuk : makanan cair dan ekstra lunak  Bentuk : makanan lunak dan cair  Bentuk : makanan cair
 Rute : oral  Rute : oral  Rute : enteral

Preskripsi diet: Preskripsi diet: Preskripsi diet:


Vol E P L KH Vol E P L KH Vol E P L KH
(ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g)
Nutr opt 3x150 450 450 18 18 61,2 Nutr opt 2x200 400 400 16 16 51,2 Nutr opt 3x250 750 750 30 30 102
MCRS 3x150 450 450 22,5 10,8 72 MCRS 2x200 400 400 20 9,6 64 MCRS 3x250 750 750 37,5 18 120
Bubur ekstra 1x - 300 11,2 8,3 45 Bubur 700 kkal - 700 28 23 104 Ekstra putel (1) - 20 5 - -
(300 kkal) EKstra telur (1) 75 7 5 -
Total 1500 1520 72,5 48 222
Total 900 1200 51,7 37,1 178,2 Total 900 1575 71 53,6 219,2
Mikronutrien:
Mikronutrien: Mikronutrien: vitamin B kompleks 3 x 1 tablet, vitamin C tablet 2 x
vitamin B kompleks 3 x 1 tablet, vitamin C tablet 2 x 50 vitamin B kompleks 3 x 1 tablet, vitamin C tablet 2 x 50 50 mg, asam folat tablet 1 x 1 mg, zink tablet 1 x 20
mg, asam folat tablet 1 x 1 mg, zink tablet 1 x 20 mg, dan mg, asam folat tablet 1 x 1 mg, zink tablet 1 x 20 mg, dan mg, dan omega-3 3 x 2 kapsul, vipalbumin 3x2 tab
omega-3 3 x 2 kapsul omega-3 3 x 2 kapsul, vipalbumin 3x2 tab

M - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis
(setiap hari) (setiap hari) (setiap hari)
- Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap - Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap - Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap
hari) hari) hari)
- Saran: pasang NGT, pemeriksaan albumin, CD4 - Saran: pasang NGT, koreksi kalium

E Bila toleransi asupan dan klinis baik, pemberian nutrisi Bila toleransi asupan dan klinis baik, pemberian nutrisi Bila toleransi asupan dan klinis baik, pemberian nutrisi
akan ditingkatkan bertahap 10-20% hingga mencapai KET akan ditingkatkan bertahap 10-20% hingga mencapai akan ditingkatkan bertahap 10-20% hingga mencapai
KET KET

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


98

PEMANTAUAN PASIEN KETIGA

Pemantauan IV Pemantauan V
S Kesadaran menurun, demam (+), mual dan diare tidak Kesadaran menurun, demam (+), mual dan diare tidak ada,
ada, NGT terpasang kemarin makanan cair bisa masuk semua lewat NGT
O TAmpak sakit sedang, somnolen, GCS E3M5V2 Tanda vital:
Tanda vital: - TD = 120/70 mmHg
- TD = 110/70 mmHg - HR = 92 x/menit
- HR = 96 x/menit - RR = 21 x/menit
- RR = 22 x/menit - S = 38,2°C
- S = 38,5°C Pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan fisik: Mata: konjungtiva anemis+/+
Mata: konjungtiva anemis+/+ Hidung terpasang nasal kanul O2 2 liter/menit, terpasang
Hidung terpasang nasal kanul O2 2 liter/menit, terpasang NGT, residu (-)
NGT, residu (-) Toraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-)
Toraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-) Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-)
Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-) Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat,
Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat, CRT > 2‖
CRT > 2‖
Lab: albumin 2,3 (post transfusi) Analisis Asupan:
Vol E P L KH
Analisis Asupan: (ml) (kkal) (g) (g) (g)
Vol E P L KH Nutr opt 3x250 750 750 30 30 102
(ml) (kkal) (g) (g) (g) MCRS 3x300 900 900 45 21,6 144
Nutr opt 2x250 500 500 20 20 68 Infus NaCl 500 -
MCRS 2x200 900 900 45 21,6 144 Infus RL 500
MCRS 2x250
Infus NaCl 500 Total 2650 1650 75 51,6 246
Infus RL 1000
Analisis cairan:
Total 2900 1400 65 41,6 212 Input: 2650 mL
Output: 1500 mL(urin), 720 ml (IWL)
Analisis cairan: Balans: +430 mL/24 jam,
Input: 2900 mL Diuresis: 1,3 ml/kg/jam
Output: 1600 mL(urin), 720 ml (IWL)
Balans: +580 mL/24 jam, Th/DPJP:
Diuresis: 1,3 ml/kg/jam Terapi lanjut

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


99

Diagnosis DPJP: ssp meningoensefalitis TB, rencana


lumbal pungsi
Th/DPJP: +
Citicolin 2x500 mg iv
Dexamethasone 2x1 ampul

A Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang
(anemia, leukositosis, hiponatremia, hypokalemia, (anemia, leukositosis, hiponatremia, hypokalemia,
hipokloremia, hipoalbuminemia) pada TB milier, SIDA, hipokloremia, hipoalbuminemia) pada TB milier, SIDA,
susp meningoensefalitis TB susp meningoensefalitis TB
P Nutrisi diberikan sebesar 1650 kkal (34 kkal/kgBB), Nutrisi diberikan sebesar 1650 kkal (34 kkal/kgBB),
protein 76,80 g (18%, 1,6 g/kgBB, N:NPC 1:112), lemak protein 76,80 g (18%, 1,6 g/kgBB, N:NPC 1:112), lemak
49,5 g (27%), KH 224,3 g (55%) 49,5 g (27%), KH 224,3 g (55%)
 Bentuk : makanan cair  Bentuk : makanan cair
 Rute : enteral  Rute : enteral

Preskripsi diet: Preskripsi diet:


Vol E P L KH Vol E P L KH
(ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g)
Nutr opt 3x250 750 750 30 30 102 Nutr opt 3x250 750 750 30 30 102
MCRS 3x300 900 900 45 21,6 144 MCRS 3x300 900 900 45 21,6 144
- -
Total 1650 1650 75 51,6 246 Total 1650 1650 75 51,6 246

Mikronutrien: Mikronutrien:
vitamin B kompleks 3 x 1 tablet, vitamin C tablet 2 x 50 vitamin B kompleks 3 x 1 tablet, vitamin C tablet 2 x
mg, asam folat tablet 1 x 1 mg, zink tablet 1 x 20 mg, dan 50mg, asam folat tablet 1 x 1 mg, zink tablet 1 x 20 mg,
omega-3 3 x 2 kapsul, vipalbumin 3x2 tab dan omega-3 3 x 2 kapsul, vipalbumin 3x2 tab

M - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis
(setiap hari) (setiap hari)
- Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap - Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap
hari) hari)

E Bila toleransi asupan dan klinis baik, pemberian nutrisi Bila toleransi asupan dan klinis baik, pemberian nutrisi
akan ditingkatkan bertahap 10-20% hingga mencapai akan ditingkatkan bertahap 10-20% hingga mencapai KET
KET

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


100

LAMPIRAN 4

PEMANTAUAN PASIEN KEEMPAT

Pemantauan I Pemantauan II Pemantauan III


S Sesak berkurang, susu sebagian besar dapat dihabiskan, Sesak seperti sebelumnya, batuh berdahak hilang timbul, Sesak bila tidak menggunakan oksigen, diare (-),
diare tidak ada susu dapat habis (pasien minta makanan cair saja) makanan cair dapat habis
O Tampak sakit sedang, compos mentis Tampak sakit sedang, compos mentis Tampak sakit sedang, compos mentis
Tanda vital: Tanda vital: Tanda vital:
- TD = 100/70 mmHg - TD = 110/70 mmHg - TD = 120/80 mmHg
- HR = 84 x/menit - HR = 84 x/menit - HR = 84 x/menit
- RR = 20 x/menit - RR = 22 x/menit - RR = 22 x/menit
- S = 36,5°C - S = 36,5°C - S = 36,8°C
Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik:
Mata: konjungtiva anemis+/+ Mata: konjungtiva anemis+/+ Mata: konjungtiva anemis+/+
Hidung terpasang nasal kanul O2 2 liter/menit, Hidung terpasang nasal kanul O2 2 liter/menit, Hidung terpasang nasal kanul O2 2 liter/menit,
Thoraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-) Thoraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-) Thoraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-) Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-) Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-)
Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat, Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat, Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral
CRT > 2‖ CRT > 2‖ hangat, CRT > 2
Lab: LED 43, limfosit 9%, Ur 16 Cr 0,5, SGOT/PT 47/14,
anti HIV (-), albumin 2,0 Analisis Asupan: Analisis Asupan:
Vol E P L KH Vol E P L KH
Analisis Asupan: (ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g)
Vol E P L KH Nutr opt 1x150 150 650 26 26 88,4 Nutr opt 3x250 750 750 30 30 102
(ml) (kkal) (g) (g) (g) Nutr opt 2x250 500 MCRS 3x250 750 750 37,5 18 120
Nutr opt 2x150 300 300 12 12 40,8 MCRS 2x200 400 400 20 9,6 64 Infus NaCl 1000
MCRS 3x150 450 450 22,5 10,8 72 Bubur ½ p (1x) - 150 5,6 4,1 22,5
Bubur ½ p (1x) - 200 7,5 5,5 30 Infus NaCl 1000 Total 2500 1500 67,5 48 222
Infus NaCl 1000
Total 2050 1200 51,6 39,7 174,9 Analisis cairan:
Total 1750 950 42 28,3 142,8 Input: 2500 mL
Analisis cairan: Output: 1500 mL(urin), 480 ml (IWL)
Analisis cairan: Input: 2050 mL Balans: +520 mL/24 jam,
Input: 1750 mL Output: 1500 mL(urin), 480 ml (IWL) Diuresis: 1,9 ml/kg/jam
Output: 1200 mL(urin), 480 ml (IWL) Balans: +70 mL/24 jam,
Balans: +70 mL/24 jam, Diuresis: 1,9 ml/kg/jam Th /DPJP:
Diuresis: 1,5 ml/kg/jam Terapi lanjut

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


101

Th/DPJP: Th/DPJP:
Terapi lanjut Terapi lanjut +
Transfusi albumin 20% 100 ml (3 hari)

A Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang
(anemia, peningkatan enzim transaminase, hiponatremia) (anemia, peningkatan enzim transaminase, hiponatremia) (anemia, peningkatan enzim transaminase,
pada TB paru putus obat dan susp SIDA pada TB paru putus obat dan susp SIDA hiponatremia) pada TB paru putus obat dan susp SIDA
P Nutrisi diberikan sebesar 1200 kkal (37 kkal/kgBB), Nutrisi diberikan sebesar 1500 kkal (46 kkal/kgBB), Nutrisi diberikan sebesar 1500 kkal (46 kkal/kgBB),
protein 54,4 g (1,7 g/kgBB, 18%, N:NPC 1:122), lemak protein 64 g (2 g/kgBB, 17%, N:NPC 1:124), lemak 45 g protein 64 g (2 g/kgBB, 17%, N:NPC 1:124), lemak 45
36 g (27%), KH 165 g (55%) (27%), KH 210 g (56%) g (27%), KH 210 g (56%)
 Bentuk : makanan cair dan lunak (ekstra)  Bentuk : makanan cair  Bentuk : makanan cair
 Rute : oral  Rute : oral  Rute : oral

Preskripsi diet: Preskripsi diet: Preskripsi diet:


Vol E P L KH Vol E P L KH Vol E P L KH
(ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g)
Nutr opt 2x250 500 500 20 20 68 Nutr opt 3x250 750 750 30 30 102 Nutr opt 3x250 750 750 30 30 102
MCRS 2x200 400 400 20 9,6 64 MCRS 3x250 750 750 37,5 18 120 MCRS 3x250 750 750 37,5 18 120
Bubur 300 kkal 300 11,2 8,3 45
Total 1500 1500 67,5 48 222 Total 1500 1500 67,5 48 222
Total 900 1200 51,2 37,9 177
Mikronutrien: Mikronutrien:
Mikronutrien: vitamin B kompleks 3 x 1 tablet, vitamin C tablet 2 x 50 vitamin B kompleks 3 x 1 tablet, vitamin C tablet 2 x
vitamin B kompleks 3 x 1 tablet, vitamin C tablet 2 x 50 mg, asam folat tablet 1 x 1 mg, zink tablet 1 x 20 mg, dan 50 mg, asam folat tablet 1 x 1 mg, zink tablet 1 x 20
mg, asam folat tablet 1 x 1 mg, zink tablet 1 x 20 mg, dan omega-3 3 x 2 kapsul, vipalbumin 3x2 tab mg, dan omega-3 3 x 2 kapsul, vipalbumin 3x2 tab
omega-3 3 x 2 kapsul, vipalbumin 3x2 tab

M - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis
(setiap hari) (setiap hari) (setiap hari)
- Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap - Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap - Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap
hari) hari) hari)
- Saran: transfusi albumin - Saran: periksa OT/PT, Mg, P
E Bila asupan, toleransi asupan, dan klinis baik, asupan akan Bila asupan, toleransi asupan, dan klinis baik, asupan Bila asupan, toleransi asupan, dan klinis baik, asupan
ditingkatkan bertahap dalam 1-2 hari sebanyak 10-20%. akan ditingkatkan bertahap dalam 1-2 hari sebanyak 10- akan ditingkatkan bertahap dalam 1-2 hari sebanyak
20%. 10-20%.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


102

PEMANTAUAN PASIEN KEEMPAT

Pemantauan IV H+5
S Sesak membaik, batuk masih ada, makanan cair dapat Batuk berdahak berkurang, sesak membaik, makanan
habis, mulai ingin coba makan bubur dapat habis
O Tampak sakit sedang, compos mentis Tampak sakit sedang, compos mentis
Tanda vital: Tanda vital:
- TD = 110/70 mmHg - TD = 100/70 mmHg
- HR = 88 x/menit - HR = 84 x/menit
- RR = 20 x/menit - RR = 20 x/menit
- S = 36,5°C - S = 36,5°C
Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik:
Mata: konjungtiva anemis+/+ Mata: konjungtiva anemis+/+
Hidung terpasang nasal kanul O2 2 liter/menit, Hidung terpasang nasal kanul O2 2 liter/menit,
Thoraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-) Thoraks: iga gambang (+), ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-) Abdomen: datar, BU (+) N, NT (-)
Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat, Ekstremitas: edema -/-, muscle wasting +/+, akral hangat,
CRT > 2‖ CRT > 2‖
Lab: albumin 2,6 (post transfusi)
Analisis Asupan:
Analisis Asupan: Vol E P L KH
Vol E P L KH (ml) (kkal) (g) (g) (g)
(ml) (kkal) (g) (g) (g) Bubur 1100 - 900 32 20 144
Nutr opt 3x250 750 750 30 30 102 (80%)
MCRS 3x250 750 750 37,5 18 120 Nutr opt 3x200 600 600 24 24 81,6
Infus NaCl 1000 Ekstra telur (1) - 75 7 5 -

Total 2500 1500 67,5 48 222 Total 600 1575 63 49 225,6

Analisis cairan: Analisis cairan:


Input: 2500 mL Input: 2500 mL
Output: 1200 mL(urin), 480 ml (IWL) Output: 1200 mL(urin), 480 ml (IWL)
Balans: +820 mL/24 jam, Balans: +820 mL/24 jam,
Diuresis: 1,5 ml/kg/jam Diuresis: 1,5 ml/kg/jam

Th/DPJP: Th/DPJP: terapi lanjut


Terapi lanjut

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


103

A Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang Malnutrisi berat, kaheksia, hipermetabolisme sedang
(anemia, peningkatan enzim transaminase, hiponatremia) (anemia, peningkatan enzim transaminase, hiponatremia)
pada TB paru putus obat dan susp SIDA pada TB paru putus obat dan susp SIDA
P Nutrisi diberikan sebesar 1500 kkal (46 kkal/kgBB), Nutrisi diberikan sebesar 1500 kkal (46 kkal/kgBB),
protein 64 g (2 g/kgBB, 17%, N:NPC 1:124), lemak 45 g protein 64 g (2 g/kgBB, 17%, N:NPC 1:124), lemak 45 g
(27%), KH 210 g (56%) (27%), KH 210 g (56%)
 Bentuk : makanan lunak dan cair  Bentuk : makanan lunak dan cair
 Rute : oral  Rute : oral

Preskripsi diet: Preskripsi diet:


Vol E P L KH Vol E P L KH
(ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g)
Bubur 1100 - 900 32 20 144 BB 1100 kkal - 900 32 20 144
kkal (80%) (80%)
Nutr opt 3x200 600 600 24 24 81,6 Nutr opt 3x200 600 600 24 24 81,6
Ekstra telur (1) - 75 7 5 - Ekstra telur (1) - 75 7 5 -

Total 600 1575 63 49 225,6 Total 600 1575 63 49 225,6

Mikronutrien: Mikronutrien:
vitamin B kompleks 3 x 1 tablet, vitamin C tablet 2 x 50 vitamin B kompleks 3 x 1 tablet, vitamin C tablet 2 x 50
mg, asam folat tablet 1 x 1 mg, zink tablet 1 x 20 mg, dan mg, asam folat tablet 1 x 1 mg, zink tablet 1 x 20 mg, dan
omega-3 3 x 2 kapsul, vipalbumin 3x2 tab omega-3 3 x 2 kapsul, vipalbumin 3x2 tab

M - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis - Keadaan umum, tanda vital, keadaan klinis
(setiap hari) (setiap hari)
- Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap - Asupan dan toleransi asupan makanan (setiap
hari) hari)
- Saran: konsul fisioterapi
E Bila asupan, toleransi asupan, dan klinis baik, asupan Bila asupan, toleransi asupan, dan klinis baik, asupan
akan ditingkatkan bertahap dalam 1-2 hari sebanyak 10- akan ditingkatkan bertahap dalam 1-2 hari sebanyak 10-
20%. 20%.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


104

LAMPIRAN 5

Indeks Barthel

No Fungsi Skor Uraian


1. Mengendalikan rangsang 0 Tak terkendali/tak teratur
defekasi (BAB) 1 Kadang-kadang terkendali
2 Mandiri
2. Mengendalikan rangsang 0 Tak terkendali/pakai kateter
berkemih (BAK) 1 Kadang-kadang tak terkendali
2 Mandiri
3. Membersihkan diri (cuci 0 Butuh pertolongan orang lain
muka, sisir rambut, sikat gigi) 1 Mandiri
4. Penggunaan jamban, masuk, 0 Tergantung pertolongan orang lain
dan keluar (melepaskan dan 1 Perlu pertolongan pada beberapa
memakai celana, kegiatan tapi dapat mengerjakan sendiri
membersihkan, menyiram) kegiatan lain
2 Mandiri
5. Makan 0 Tidak mampu
1 Perlu ditolong memotong makanan
2 Mandiri
6. Berubah sikap dari berbaring 0 Tidak mampu
ke duduk 1 Perlu banyak bantuan untuk bisa duduk
2 Bantuan
3 Mandiri
7. Berpindah/berjalan 0 Tidak mampu
1 Bisa dengan kursi roda
2 Berjalan dengan bantuan 1 orang
3 Mandiri
8. Memakai baju 0 Tergantung orang lain
1 Sebagian dibantu
2 Mandiri
9. Naik turun tangga 0 Tidak mampu
1 Butuh pertolongan
2 Mandiri
10. Mandi 0 Tergantung orang lain
1 Mandiri
Interpretasi skor: 20 mandiri, 12-19 ketergantungan ringan, 9-11 ketergantungan sedang, 5-8
ketergantungan berat, 0-4 ketergantungan total

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


105

LAMPIRAN 6

Komposisi Makanan Cair Standar RSUT

250 kkal (1 ml = 1 kkal), protein 12,5 g, lemak 6 g, KH 40 g

Bahan makanan Ukuran tumah tangga (URT) Berat (g)

Full cream ½p 13

Skim 1¼p 22

Tepung maizena - 1,5

Telur ½p 27,5

Gula 1½p 15

Minyak jagung 1/18 0,25

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


106

LAMPIRAN 7

Komposisi Nutrisi Nutren Optimum

Informasi nilai gizi Unit Per saji (55 g)

Energi Kkal 240

Lemak total g 10

SAFA 1

MUFA g 6

PUFA 1,5

Kolesterol mg 13

Omega 6 g 1,5

Omega 3 mg 264

Protein g 10

Karbohidrat total g 28

Serat pangan g 3

FOS g 2

Inulin g 1

Gula g 8

Laktosa g 0,11

Natrium mg 125

Kalium mg 245

Vitamin A mcg RE 171,6

Vitamin D mcg 1,4

Vitamin E mg 33

Vitamin K mcg 11,6

Vitamin B1 mg 0,18

Vitamin B2 mg 0,24

Vitamin B3 mg 2,42

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


107

Vitamin B5 mg 1,1

Vitamin B6 mg 0,814

Vitamin B9 mcg 88

Vitamin B12 mcg 0,85

Vitamin C mg 24,2

Kalsium mg 119,9

Fosfor mg 91,85

Magnesium mg 18,7

Besi mg 1,65

Yodium mcg 16,5

Zink mg 2,14

Selenium mcg 6,6

Mangan mcg 132

Biotin mcg 6,16

Klorida mg 145,2

Tembaga mg 0,4

Kromium mcg 3,9

Molibdenum mcg 9,24

Kalsium/Fosfor 1,3

Lactobacillus paracasei 5,5 x 108

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016


108

LAMPIRAN 8

Contoh Menu 1500 kkal

Bahan Berat URT Energi Protein Lemak KH Menu


(g) (kkal) (g) (g) (g)
Pagi
- bubur nasi 200 1 gelas 87,5 2 - 20 Bubur
- ayam 40 1 ptg sdg 50 7 2 - ayam+cakwe
- tepung terigu 20 2 sdm 70 1,6 - 16
- kacang 10 1 sdm 30 2 1,2 2,8
kedelai
- minyak 5 1 sdt 45 - - 5

Selingan
- susu UHT 250 1 gelas 190 8 5 28
ml
Siang
- nasi putih 66 ½ gelas 115,5 2,6 - 26
- teri kering 30 2 sdm 50 7 2 - Teri balado
- tahu 100 1 bh bsr 75 5 3 7 Pepes tahu
- bayam 1 mangkok 25 1 - 5 Sayur bening
- oyong 50 bayam
- cabe merah 10 12,5 0,5 - 2,5
- minyak 2 sdt 90 - 10 -
Selingan
- pepaya/ 110/ 50 - - 12 Dimakan
- jeruk/ 110/ langsung atau
- pisang 50 jus
Malam
- kentang 105 1 bh sdg 87,5 2 - 20 Kentang grg
- ayam 40 1 ptg sdg 50 7 2 - Ayam grg
- tepung 20 2 sdm 70 1,6 - 16 tepung
terigu Sup jagung
- jagung 70 1 bj sdg 58,3 1,3 - 13
- wortel 50 12,5 0,5 - 2,5
- telur 55 1 butir 75 7 5 -
- minyak 10 2 sdt 90 - 10 -
- susu UHT 250 1 gelas 190 8 5 28
ml

Total 1523,8 64,1 45,2 203,8


17% 26% 57%

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi..., Dian Permatasari, FK UI, 2016

Anda mungkin juga menyukai