Anda di halaman 1dari 32

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
sehingga kami dapat menyusun makalah Manajemen Pendidikan Kimia tentang Manajemen
Mutu Pendidikan ini hingga selesai. Dalam melaksanakan tugas ini tentulah tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Kasmadi Imam Supardi, M.S. selaku dosen pengampu mata kuliah
manajemen pendidikan kimia yang telah memberikan bimbingan serta arahan kepada
kami dengan sabar.
2. Seluruh pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi
maupun pikirannya.
Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu penulis sangat berterima kasih bila ada saran dan kritik yang
membangun demi sempurnanya penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Rabu, 20 April 2016

       
 Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB 1. PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 1
1.3 Tujuan dan Manfaat................................................................................. 2
BAB 2. KAJIAN PUSTAKA.............................................................................. 3
2.1 Pengertian Mutu Pendidikan.................................................................... 3
2.2 Pengertian Manajemen Mutu................................................................... 4
2.3 Peraturan Menteri mengenai Penjaminan Mutu...................................... 4
2.4 Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah.................................... 7
2.5 Perkembangan Mutu Pendidikan di Indonesia........................................ 10
2.6 Masalah dalam Manajemen Mutu............................................................ 15
2.7 Cara Memperbaiki Mutu Pendidikan....................................................... 21
2.8 Pengertian Penjaminan Mutu................................................................... 21
2.9 Tujuan Penjaminan Mutu......................................................................... 22
2.10 Akreditasi sebagai Sistem Penjaminan Mutu......................................... 23
BAB 3. PENUTUP.............................................................................................. 26
3.1 Simpulan.................................................................................................. 26
3.2 Saran........................................................................................................ 27
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 28

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang bersifat umum bagi setiap manusia
dimuka bumi ini. Pendidikan tidak terlepas dari segala kegiatan manusia. Pendidikan
diambil dari kata dasar didik, yang ditambah imbuhan menjadi mendidik. Mendidik
berarti memelihara atau memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Menurut KBBI, pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk mengubah sikap dan tata
laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan latihan.
Konsep mutu (kualitas) telah menjadi suatu kenyataan dan fenomena dalam
seluruh aspek dan dinamika masyarakat global memasuki persaingan pasar bebas dewasa
ini. Jika sebelumnya kualitas produk dan jasa hanya menjadi target dari dunia bisnis dan
industri yang bergantung pada kepuasan pelanggan atau konsumen, maka kini dunia
pendidikan mulai tertantang untuk menerapkan hal yang sama dalam menghasilkan
kualitas lulusan yang mampu menjawab kebutuhan pasar kerja. Bahwa organisasi
pendidikan formal (sekolah dasar sampai perguruan tinggi) sebagai institusi yang
bergerak di bidang pendidikan dan pengajaran kini mulai merasakan bahwa factor mutu
menjadi sangat menentukan tingkat partisipasi dan kepercayaan masyarakat terhadap
suatu lembaga pendidikan. Peserta didik, orang tua, dan masyarakat adalah pelanggan
yang bebas menentukan pilihan yang tepat terhadap institusi mana yang layak
memberikan jaminan terhadap masa depan anak-anaknya. Artinya, kualitas layanan baik
dalam bentuk sarana prasarana, birokrasi, kurikulum, kecakapan tenaga pengajar,
kompetensi pimpinan dan karyawan sekolah, budaya serta lingkungan sekolah yang
mendukung, akan memungkinkan suatu lembaga pendidikan dipercaya dan menjadi
pilihan masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan beberapa
hal yang akan dibahas pada makalah ini, yaitu:
1) Apa pengertian Mutu Pendidikan?
2) Apa pengertian Manajemen Mutu?
3) Bagaimana peraturan Menteri terkait Mutu Pendidikan?
4) Bagaimana Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah?
5) Bagaimana perkembangan mutu pendidikan di Indonesia?
6) Apa saja masalah yang muncul dalam manajemen mutu pendidikan?
7) Bagaimana cara memperbaiki mutu pendidikan?
8) Apa pengertian penjaminan mutu?
9) Apa tujuan penjaminan mutu?
10) Apa saja yang dapat digunakan untuk menjamin mutu pendidikan?

3
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan makalah ini, diantaranya :
1) Untuk memahami pengertian Mutu Pendidikan?
2) Untuk memahami pengertian Manajemen Mutu?
3) Untuk memahami peraturan Menteri terkait Mutu Pendidikan?
4) Untuk memahami Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah ?
5) Untuk memahami perkembangan mutu pendidikan di Indonesia?
6) Untuk memahami masalah yang muncul dalam manajemen mutu pendidikan?
7) Untuk memahami cara memperbaiki mutu pendidikan?
8) Untuk memahami pengertian penjaminan mutu?
9) Untuk memahami tujuan penjaminan mutu?
10) Memahami apa yang dapat digunakan untuk menjamin mutu pendidikan?

1.4 Manfaat Penelitian


Dapat menjadi tolak ukur agar kedepan dapat meningkatkan mutu pendidikan
sesuai dengan apa yang telah distandarkan.

4
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Mutu


Ada beberapa pendapat ahli mengenai pengertian mutu atau kualitas, diantaranya:
 Edward Sallis:
Sebuah filsosofis dan metodologis yang membantu institusi untuk merencanakan
perubahan dan mengatur agenda dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal yang
berlebihan.
 Sumayang
Tingkat dimana rancangan spesifikasi sebuah produk barang dan jasa sesuai dengan
fungsi dan penggunannya.
Arti dasar dari kata kualitas menurut Dahlan Al-Barry dalam Kamus Modern Bahasa
Indonesia adalah “kualitet”. “mutu baik buruknya barang”. Seperti halnya yang dikutip
oleh Quraish Shihab yang mengartikan kualitas sebagai tingkat baik buruk sesuatu atau
mutu sesuatu sedangkan kalau diperhatikan secara etimologi, mutu atau kualitas diartikan
dengan kenaikan tingkatan menuju suatu perbaikan atau kemapanan sebab kualitas
mengandung makna bobot atau tinggi rendahnya sesuatu jadi dalam hal ini kualitas
pendidikan adalah pelaksanaan pendidikan disuatu lembaga sampai dimana pendidikan
dilembaga tersebut telah mencapai suatu keberhasilan. Menurut Supranta kualitas adalah
sebuah kata yang bagi penyedia jasa merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan
baik sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Guets dan Davis dalam bukunya Tjiptono
menyatakan kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan
produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.
Kualitas pendidikan menurut Ace Suryadi dan H.A.R Tilaar merupakan kemampuan
lembaga pendidikan dalam mendayagunakan sumber-sumber pendidikan untuk
meningkatkan kemampuan belajar seoptimal mungkin didalam konteks pendidikan,
pengertian kualitas atau mutu dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil
pendidikan dari konteks “proses” pendidikan yang berkualitas terlibat berbagai input
(seperti bahan ajar: kognitif, afektif dan, psikomotorik), metodologi (yang bervariasi
sesuai dengan kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana
prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif dengan
adanya manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensingkronkan berbagai input
tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar,
baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas atau di luar kelas, baik dalam
konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkungan substansi yang
akademis maupun yang non akademis dalam suasana yang mendukung proses belajar
pembelajaran.
Kualitas dalam konteks “hasil” pendidikan mengacu pada hasil atau prestasi yang
dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir
tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil
pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis,
misalnya ulangan umum, EBTA atau UN. Dapat pula prestasi dibidang lain seperti di
suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu bahkan prestasi sekolah
dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin,
5
keakraban, saling menghormati, kebersihan dan sebagainya20 selain itu kualitas
pendidikan merupakan kemampuan sistem pendidikan dasar baik dari segi pengelolaan
maupun dari segi proses pendidikan yang diarahkan secara efektif untuk meningkatkan
nilai tambah dan factor-faktor input agar menghasilkan output yang setinggi-tingginya
jadi pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan
yang memiliki kemampuan dasar untuk belajar, sehingga dapat mengikuti bahkan
menjadi pelopor dalam pembaharuan dan perubahan dengan cara memberdayakan
sumber-sumber pendidikan secara optimal melalui pembelajaran yang baik dan kondusif.
Pendidikan atau sekolah yang berkualitas disebut juga sekolah yang berprestasi,
sekolah yang baik atau sekolah yang sukses, sekolah yang efektif dan sekolah yang
unggul. Sekolah yang unggul dan bermutu itu adalah sekolah yang mampu bersaing
dengan siswa di luar sekolah. Juga memiliki akar budaya serta nilai-nilai etika moral
(akhlak) yang baik dan kuat. Pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang
mampu menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang akan dihadapi sekarang
dan masa yang akan datang.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kualitas atau mutu pendidikan adalah kemampuan
lembaga dan sistem pendidikan dalam memberdayakan sumber-sumber pendidikan untuk
meningkatkan kualitas yang sesuai dengan harapan atau tujuan pendidikan melalui
prosespendidikan yang efektif. Pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang
dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas, yaitu lulusan yang memilki prestasi
akademik dan non-akademik yang mampu menjadi pelopor pembaruan dan perubahan
sehingga mampu menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang dihadapinya,
baik di masa sekarang atau di masa yang akan datang (harapan bangsa).

2.2. Pengertian Manajemen Mutu Pendidikan


Manajemen mutu pendidikan dapat diartikan sebagai seni dan ilmu dalam mengelola
jasa untuk memberikan kepuasan melalui jaminan mutu supaya tidak terjadi keluhan.
Bagi peserta didik, sekolah adalah sarana untuk balajar dan di dalamnya terdapat sistem
yang terdiri dari input  proses  output. Oleh sebab itu, sekolah memiliki peran yang
penting untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang baik supaya
siswa dapat dengan aktif mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya.

2.3. Peraturan terkait Mutu Pendidikan


Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2015 Tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan.
Upaya peningkatan mutu pendidikan dan daya saing sumber daya manusia Indonesia
perlu senantiasa memperhatikan perubahan masyarakat dan dinamika global. Untuk itu,
pemantapan Standar Nasional Pendidikan dan upaya pemenuhannya merupakan hal
penting dan mendesak untuk dilakukan. Ketentuan Standar Nasional Pendidikan yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, telah diubah pertama kali
terkait penyempurnaan kurikulum, yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor
32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan. Perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005 perlu dilakukan karena ketentuan yang terkait dengan Ujian

6
nasional, kurikulum pendidikan anak usia dini, dan akreditasi memerlukan penyesuaian
atas berbagai tantangan baru.
Pemerintah memandang perlu untuk melakukan evaluasi berskala nasional yang dapat
memantau dan memetakan tingkat pencapaian kompetensi peserta didik sebagaimana
ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan yang berfungsi sebagai salah satu sarana
penjaminan dan peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan. Dalam upaya
menyempurnakan kualitas pelaksanaannya, perlu memperhatikan data hasil belajar siswa
yang dihimpun yang mencerminkan kondisi pendidikan dari waktu ke waktu sehingga
lebih membantu menentukan langkah-langkah perbaikan mutu sebagaimana mestinya.
Perubahan mengenai kurikulum pendidikan anak usia dini dilakukan melalui
penyelenggaraan pendidikan anak usia dini yang dibangun melalui kesatuan substansi
kurikulum antara pendidikan anak usia dini di jalur formal, nonformal, dan informal
karena memiliki tujuan yang sama. Perubahan terkait dengan akreditasi yang
dilaksanakan oleh BAN PAUD dan PNF perlu memperhatikan penyelenggaraan
pendidikan anak usia dini. Badan Akreditasi Nasional perlu melibatkan peran pemerintah
daerah dalam pelaksanaan akreditasi untuk pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
dan pendidikan menengah. Berikut Peraturan Pemerintah sebagai dasar manajemen mutu
pendidikan.
PP no. 19/2005 tentang standar nasional pendidikan

Pasal 68
 Hasil Ujian nasional digunakan sebagai dasar untuk: pemetaan mutu program
dan/atau satuan pendidikan; (a)
 Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk
meningkatkan mutu pendidikan. (d)
Pasal 71
(1) Kriteria pencapaian Kompetensi lulusan dalam Ujian nasional dikembangkan oleh
BSNP.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria pencapaian kompetensi lulusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 72
1. Peserta Didik dinyatakan lulus dari satuan/program pendidikan pada pendidikan dasar
dan menengah setelah: a. menyelesaikan seluruh program Pembelajaran; b.
memperoleh nilai sikap/perilaku minimal baik; dan c. lulus Ujian satuan/program
pendidikan;
2. Kelulusan Peserta Didik dari satuan/program pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh satuan/program pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 86
1. Pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan
untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan.
2. Kewenangan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) dapat pula
dilakukan oleh lembaga mandiri yang diberi kewenangan oleh Pemerintah untuk
melakukan akreditasi.
3. Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai bentuk
akuntabilitas publik dilakukan secara obyektif, adil, transparan, dan komprehensif
7
dengan menggunakan instrumen dan kriteria yang mengacu kepada Standar Nasional
Pendidikan.
Pasal 87
(1) Akreditasi oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1)
dilaksanakan oleh: a. BAN-S/M terhadap program dan/atau satuan pendidikan jalur
formal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah; b. BAN-PT terhadap program
dan/atau satuan pendidikan jenjang pendidikan tinggi; dan c. BAN PAUD dan PNF
terhadap program dan/atau satuan PAUD dan pendidikan jalur nonformal.
(2) Dalam melaksanakan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BAN-S/M dan
BAN PAUD dan PNF dibantu oleh badan akreditasi provinsi yang dibentuk oleh
gubernur.
(2a) Pemerintah provinsi mengalokasikan dana untuk pelaksanaan akreditasi oleh
badan akreditasi provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(3) BAN-S/M dan BAN PAUD dan PNF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dan huruf c berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.
Pasal 91
1. Setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan nonformal wajib
melakukan penjamin mutu pendidikan.
2. Penjamin mutu pendidikan sebagiamana dimaksud pada ayat (1)
bertujuan untuk memenuhi atau melampaui standar nasional pendidikan.
3. Penjamin mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara bertahap, sistematis, dan terencana dalam suatu program penjamin
mutu yang memiliki target dan kerangka waktu yang jelas.
Pasal 92
1. Menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama melakukan supervisi
dan membantu madrasah dan satuan pendidikan keagamaan dalam melakukan
penjaminan mutu
2. Pemerintah provinsi melakukan supervisi dan membantu satuan pendidikan yang
berada di bawah kewenangannya untuk meyelenggarakan atau mengatur
penyelenggaraannya dalam rangka penjaminan mutu.
3. Pemerintah kabupaten/kota melakukan supervisi dan membantu satuan pendidikan
yang berada di bawah kewenangannya untuk menyelenggarakan atau mengatur
penyelenggaraannya dalam rangka penjaminan mutu.
4. LPMP melakukan supervisi dan membantu satuan pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah dalam rangka penjaminan mutu pendidikan.
5. Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (6), LPMP bekerja
sama dengan pemerintah daerah dan perguruan tinggi.
6. Menteri menerbitkan pedoman program penjaminan mutu untuk satuan pendidikan di
semua jenis dan jalur pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah.

8
2.4. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Model MBS di Indonesia disebut Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS). MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan
otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong
partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu
sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan
yang berlaku (Nurkolis, 2003:107, lih. juga Depdiknas, 2002:3). MPMBS merupakan
bagian dari manajemen berbasis sekolah (MBS). Jika MBS bertujuan untuk
meningkatkan semua kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu, efisiensi, inovasi,
relevansi dan pemerataan serta akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan pada
peningkatan mutu (Depdiknas, 2002:3-4).
Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus
kepentingan warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan
nasional yang berlaku. Sedangkan pengambilan keputusan partisipatif adalah cara untuk
mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik di
mana warga sekolah didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan
keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Sehingga
diharapkan sekolah akan menjadi mandiri dengan ciri-ciri sebagai berikut : tingkat
kemandirian tinggi, adaptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki jiwa kewirausahawan yang
tinggi, bertanggung-jawab terhadap kinerja sekolah, memiliki kontrol yang kuat terhadap
input manajemen dan sumber dayanya, memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi
kerja, komitmen yang tinggi pada dirinya dan prestasi merupakan acuan bagi
penilaiannya.
Tujuan MPMBS adalah memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui
pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih
besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi
warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan
(Depdiknas,2002:4).

PERAN MASING-MASING PIHAK DALAM MBS

Pihak-pihak yang dimaksud dalam manajemen berbasis sekolah adalah kantor


pendidikan pusat, kantor pendidikan daerah kabupaten atau kota, dewan sekolah,
pengawas sekolah, kepala sekolah, orang tua siswa dan masyarakat luas (lih. uraian
selengkapnya dalam Nurkolis, 2003: 115-128).

Peran Kantor Pendidikan Pusat dan Daerah


Peran dan fungsi Departemen Pendidikan di Indoensia di era otonomi daerah
sesuai dengan PP No.25 thn 2000 menyebutkan bahwa tugas pemerintah pusat antara lain
menetapkan standar kompetensi siswa dan warga, peraturan kurikulum nasional dan
sistem penilaian hasil belajar, penetapan pedoman pelaksanaan pendidikan, penetapan
pedoman pembiayaan pedidikan, penetapan persyaratan, perpindahan, sertifikasi siswa,
warga belajar dan mahasiswa, menjaga kelangsungan proses pendidikan yang bermutu,
menjaga kesetaraan mutu antara daerah kabupaten/kota dan antara daerah provinsi agar
tidak terjadi kesenjangan yang mencolok, menjaga keberlangsungan pembentukan budi
pekerti, semangat kebangsaan dan jiwa nasionalisme melalui program pendidikan.
9
Peran pemerintah daerah adalah menfasilitasi dan membantu staf sekolah atas
tindakannya yang akan dilakukan sekolah, mengembangkan kinerja staf sekolah dan
kinerja siswa dan seleksi karyawan. Dalam kaitannya dengan kurikulum, menspesifikasi
tujuan, sasaran, dan hasil yang diharapkan dan kemudian memberikan kesempatan
kepada sekolah menentukan metode untuk menghasilkan mutu pembelajaran.

Pemerintah kabupaten/kota menjalankan tugas dan fungsi : 1) memberikan


pelayanan pengelolaan atas seluruh satuan pendidikan negeri dan swasta; 2) memberikan
pelayanan terhadap sekolah dalam mengelola seluruh aset atau sumber daya pendidikan
yang meliputi tenaga guru, prasarana dan sarana pendidikan, buku pelajaran, dana
pendidikan dan sebagainya; 3) melaksanakan pebertugas mbinaan dan pengurusan atas
tenaga pendidik yang bertugas pada satuan pendidikan. Selain itu dinas kab/kota bertugas
sebagai evaluator dan inovator, motivator, standarisator, dan informan, delegator dan
koordinator.

Peran Dewan Sekolah dan Pengawas Sekolah

Dewan sekolah (komite sekolah) memiliki peran: menetapkan kebijakan-


kebijakan yang lebih luas, menyatukan dan memperjelas visi baik untuk pemerintah
daerah dan sekolah itu sendiri, menentukan kebijakan sekolah, visi dan misi sekolah
dengan mengacu kepada ketentuan nasional dan daerah, menganalisis kebijakan
pendidikan, melakukan komunikasi dengan pemerintah pusat, menyatukan seluruh
komponen sekola.

Pengawas sekolah berperan sebagai fasilitator antara kebijakan pemda kepada


masing-masing sekolah antara lain menjelaskan tujuan akademik dan anggarannya serta
memberikan bantuan teknis ketika sekolah menghadapi masalah dalam menerjemahkan
visi pemda. Mereka memberikan kesempatan untuk mengembangkan profesionalisme
staf sekolah, melakukan eksperimen metode pengajaran, bertindak sebagai model dalam
melaksanakan MBS dengan cara melakukannya sendiri dan menciptakan jalur
komunikasi antara sekolah dan staf pemda.

Peran Kepala Sekolah

Pada tingkat sekolah, peran kepala sekolah sangat sentral sebagai figur pengambil
kebijakan dan keputusan strategis dalam pengembangan sekolah. Untuk itu dalam
kerangka MBS integritas dan profesionalitas kepala sekolah sangat dibutuhkan. Untuk itu
peran kepala sekolah memiliki banyak fungsi antara lain : Pertama, sebagai evaluator
melakukan pengukuran seperti kehadiran, kerajinan dan pribadi para guru, tenaga
kependidikan, administrasi sekolah dan siswa. Kedua, sebagai manajer memahami dan
mampu mengaplikasikan fungsi-fungsi manajerial (planning, organizing, actuating, dan
controling (lih. juga Ernie T. Sule dan Kurniawan Saefullah, 2005:6). Ketiga, sebagai
administrator bertugas, sebagai pengendali struktur organisasi (pelaporan dan kinerja
sekolah), melaksanakan administrasi substantif (kurikulum, siswa, personalia, keuangan,

10
sarana, humas dan administrasi umum). Keempat, sebagai supervisor (memberikan
pembinaan atau bimbingan kepada para guru dan tenaga kependidikan). Kelima, sebagai
leader (mampu menggerakkan orang lain agar melakukan kewajibannya secara sadar dan
sukarela). Keenam, sebagai inovator (cermat dan cerdas melakukan pembaharuan-
pembaharuan dan inovasi-inovasi baru). Ketujuh, sebagai motivator (memberikan
semangat dan dorongan kepada para guru dan staf untuk bergairah dalam pekerjaan).

Di samping enam fungsi di atas Wohlstetter dan Mohrman mengatakan bahwa


kepala sekolah adalah sebagai designer, motivator, fasilitator dan liasion. Sebagai
designer membuat rencana dengan memberikan kesempatan untuk terciptanya diskusi-
diskusi (secara demokratis) menyangkut isu-isu dan permasalahan di seputar sekolah
dengan tim pengambil keputusan sekolah. Sebagai fasilitator mendorong proses
pengembangan kemampuan seluruh staf dan mampu menyediakan dan mempergunakan
semua sumber daya untuk pengembangan sekolah. Sebagai liasion atau penghubung
sekolah dengan dunia di luar sekolah, membawa ide-ide baru dan hasil-hasil penelitian di
sekolah dan mampu mengkomunikasikan kinerja dan hasil sekolah kepada stakeholder di
luar sekolah (Nurkolis, 2003: 119-122). Dari fungsi-fungsi di atas E, Mulyasa (2005:97)
menambahkan satu fungsi lagi, yakni sebagai educator (pendidik), yakni mampu
memberikan pembinaan (mental, moral, fisik dan artistik) kepada para guru dan staf serta
para siswa untuk

Peran Para Guru


Pedagogi reflektif menunjuk tanggung-jawab pokok pembentukan moral maupun
intelektual dalam sekolah terletak pada para guru. Karena dengan dan melalui peran para
guru hubungan personal autentik untuk penanaman nilai-nilai bagi para siswa
berlangsung (Paul Suparno, dkk, 2002:61-62). Untuk itu guru yang profesional dalam
kerangka pengembangan MBS perlu memiliki kompetensi antara lain kompetensi
kepribadian (a.l. integritas, moral, etika dan etos kerja), kompetensi akademik (a.l.
sertifikasi kependidikan, menguasai bidang tugasnya dan belajar belajar) dan kompetensi
kinerja (a.l. terampil dalam pengelolaan pembelajaran).

Pemberdayaan dan akuntabilitas para guru adalah syarat penting dalam MBS.
Menurut Cheng (1996) peran para guru adalah sebagai rekan kerja, pengambil keputusan,
dan pengimplementasi program pengajaran (Nurkolis, 2003:123).

Peran Para Administrator


Cheng (1996) juga mengemukakan bahwa peran administrator sekolah dalam
MBS adalah pengembang dan pemimpin dalam mencapai tujuan. Mereka
mengembangkan tujuan-tujuan baru untuk sekolah secara kontekstual dan memimpin
warga sekolah untuk mencapai tujuan dan berkolaborasi dan terlibat penuh dalam fungsi-
fungsi sekolah. Mereka memperbesar sumber-sumber daya untuk mempromosikan
perkembangan sekolah (Nurkolis, 2003: 23).

Peran Orang Tua dan Masyarakat


Karakteristik yang paling menonjol dalam konsep MBS adalah pemberdayaan

11
partisipasi para orang tua dan masyarakat. Peran orang tua dan masyarakat secara
kelembagaan adalah dalam dewan sekolah atau komite sekolah. Filosofi yang menjadi
landasan adalah bahwa pendidikan yang pertama dan utama adalah dalam keluarga
(orang tua) dan masyarakat adalah pelanggan pendidikan yang perkembangannya
dipengaruhi oleh kualitas para lulusan. Sekolah memiliki fungsi subsidier, fungsi primer
pendidikan ada pada orang tua (Piet Go, 2000: 46). Untuk itu orang tua dan masyarakat
perlu dilibatkan dalam pengelolaan dan pengembangan sekolah.

Menurut Cheng (1989) ada dua bentuk pendekatan untuk mengajak orang tua dan
masyarakat berpartisipasi aktif dalam pendidikan. Pertama, pendekatan school-based
dengan cara mengajak orang tua siswa datang ke sekolah melalui pertemuan-pertemuan,
konferensi, diskusi guru-orang tua dan mengunjungi anaknya yang sedang belajar di
sekolah. Kedua, pendekatan home-based, yaitu orang tua membantu anaknya belajar di
rumah bersama-sama dengan guru yang berkunjung ke rumah (Nurkolis, 2003:126).

Sedangkan peran masyarakat bukan hanya dukungan finansial, tetapi juga dengan
menjaga dan menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan tertib serta menjalankan
kontrol sosial dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. Peran tokoh-tokoh masyarakat
dengan jalan menjadi penggerak (menggerakkan masyarakat supaya berpartisipasi dalam
pendidikan), menjadi informan dan penghubung (menginformasikan harapan dan
kepentingan masyarakat kepada sekolah, dan menginformasikan sekolah kepada
masyarakat), koordinator (mengkoordinasikan kepentingan sekolah dengan kebutuhan
bisnis di lingkungan masyarakat, misalnya praktek, magang, dsb), pengusul
(mengusulkan kepada pemerintah daerah agar ada kebijakan, mis. pajak pendanaan
pendidikan).

2.5. Perkembangan Mutu Pendidikan di Indonesia


1. Kondisi Pendidikan Nasional Pada Masa Portugis
Karena berkembangnya perdagangan, pada awal abad ke-16 datanglah
Portugis ke Indonesia yang kemudian disusul bangsa Spanyol. Waktu orang-orang
Portugis datang ke Indonesia, mereka dibarengi oleh missionaris, yang diberi tugas
untuk menyebarkan agama Khatolik di kalangan penduduk Indonesia. Seorang di
antaranya adalah Franciscus Xaverius, berpendapat bahwa untuk memperluas
penyebaran agama Khatolik itu perlu sekali didirikan sekolah-sekolah.
Pada tahun 1536 didirikan sebuah seminarie di Ternate, yang merupakan
sekolah agama bagi anak-anak orang terkemuka. Selain pelajaran agama diberikan
juga pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Di Solor juga didirikan semacam
seminarie dan mempunyai ±50 orang murid, di sekolah ini juga diajarkan bahasa
Latin. Pada tahun 1546 di Ambon sudah ada tujuh kampung yang penduduknya
beragama Khatolik, ternyata di sana juga diselenggarakan pengajaran untuk rakyat
umum.
Karena sering timbul pemberontakan, maka pada akhir abad-16 habislah
kekuasaan Portugis di Indonesia. Ini berarti habis pula riwayat missi Khatolik di
Maluku.
2. Kondisi Pendidikan Nasional Pada Masa Belanda

12
Belanda semula datang ke Indonesia untuk berdagang. Orang Belanda, yang
telah bersatu dalam badan perdagangan VOC, menganggap perlu menggantikan
agama Khatolik yang telah disebarkan oleh orang Portugis dengan agamanya, yaitu
agama Protestan. Untuk keperluan inilah, maka didirikan sekolah-sekolah, terutama
di daerah yang dahulu telah dinasranikan oleh Portugis dan Spanyol.
1) Ambon
Sekolah pertama didirikan VOC di Ambon pada tahun 1607. Pelajaran yang
diberikan berupa membaca, menulis dan sembahyang. Kemudian dikirimkan
beberapa orang anak kepala-kepala di Ambon ke negeri Belanda, untuk mendapat
pendidikan guru. Sekembalinya ke tanah air, mereka diangkat sebagai guru.
Pada tahun 1627 di Ambon sudah ada 16 sekolah dan di pulau-pulau
sekitarnya ada 18 buah. Jumlah murid seluruhnya 1300 orang. Pengajaran sekolah di
luar Ambon dan Maluku juga hanya terbatas di daerah-daerah yang telah terkena
pengaruh Khatolik. Daerah-daerah yang tidak “di Nasranikan” oleh Portugis
dibiarkannya saja.
2) Jawa
Hubungan antara Kompeni dengan rakyat di Pulau Jawa tidak serapat di
Maluku. Sekolah pertama di Jakarta didirikan pada tahun 1617. Tujuan dari sekolah
ini adalah menghasilkan tenaga-tenaga kerja yang cakap, yang kelak dapat
dipekerjakan pada pemerintahan, administrasi dan gereja.
3. Kondisi Pendidikan Nasional Pada Masa Jepang
Zaman penjajahan Jepang berlangsung pendek (7 Maret 1942 – 17 Agustus
1945). Karena Indonesia dikuasai Jepang di masa perang, segala usaha Jepang
ditujukan untuk perang. Murid-murid disuruh bergotong-royong mengumpulkan
batu, kerikil dan pasir untuk pertahanan. Pekarangan sekolah ditanami dengan ubi
dan sayur-mayur untuk bahan makanan. Murid disuruh menanam pohon jarak untuk
menambah minyak untuk kepentingan perang.
Yang terpenting bagi kita di zaman Jepang ialah dengan kerobohan
kekuasaan Belanda diikuti pula tumbangnya sistem pendidikan kolonial yang
pincang. Karena pemerintahan militer Jepang menginternir banyak orang Belanda,
maka sekolah-sekolah untuk anak Belanda dan Indonesia kalangan atas ikut lenyap.
Tinggal susunan sekolah yang semata-mata untuk anak-anak Indonesia saja. Sekolah
rendah seperti Sekolah Desa 3 tahun, Sekolah Sambungan 2 tahun, ELS, HIS, HCS
yang masing-masing 7 tahun, Schakel School 5 tahun, dan MULO dihapus semua.
Yang ada hanya Sekolah Rakyat (Kokomin Gakko) yang memberikan pendidikan
selama 6 tahun, sekolah menengah yang dibuka ialah Cu Gakko (laki-laki) dan Zyu
Gakko (perempuan) yang lama pendidikannya selama 3 tahun. Selain sekolah
menengah, banyak pula didirikan sekolah kejuruan, yang terbanyak ialah sekolah
guru. Jepang menganggap sekolah guru penting sekali, karena sekolah itu yang akan
menyiapkan tenaga dalam jumlah yang besar untuk memompakan dan
mempropagandakan semangat Jepang kepada anak didik.
4. Kondisi Pendidikan Nasional Pada Zaman Kemerdekaan
Ada empat perguruan yang secara kronologis pertama berdiri di Indonesia.
Yaitu, Muhammadiyah, Taman Siswa, Ma’arif, dan INS Kayutanam. Keempatnya
dibicarakan disini karena sama-sama merupakan tanggapan bangsa Indonesia

13
terhadap keadaan pada masa penjajahan. Meskipun masing-masing lembaga
pendidikan tersebut berdiri dengan dasar dan tujuan yang berbeda-beda, namun misi
dan sifat pedagogis, nasional, politis, keagamaan, atau kombinasi nasional-
pedagogis, nasional-religius, atau nasional-politis. Dari keempat perguruan tersebut,
yang masih giat menyelenggarakan pendidikan dengan jangkauan yang luas di
Tanah Air adalah Muhammadiyah, Taman Siswa, dan Ma’arif. Sedangkan INS
Kayurtanam telah hancur secara fisik pada tahun 1949.
a) Muhammadiyah
Muhammadiyah lahir dibawah pengaruh kebangkitan nasionalisme bangsa
Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda yang dimulai dengaan
berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908. Muhammadiyah didirikan di kampung
Kauman, Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912. Sekolah Muhammadiyah
pertama didirikan tahun 1911, satu tahun sebelum Muhammadiyah berdiri. Dalam
perkembangan kemudian, sekolah ini menjadi Volksschool (Sekolah Rakyat) tiga
tahun. Sebagai pendiri, K.H. Achmad Dahlan telah aktif memberikan pendidikan
tentang agama dan pengetahuan lainnya kepada penduduk di sekitar kampungnya.
Dasar dari Muhammadiyah adalah pembaharuan di bidang agama yang pada
hakikatnya mengikuti gerak hidup zaman dan mengeluarkan golongan Islam dari
isolasi sekaligus secara positif bergerak di bidang sosial dan pendidikan.
b) Taman Siswa
Taman Siswa sejak pendiriannya mempunyai tujuan politik, yaitu kemerdekaan
Indonesia. Menurut Ki Hajar Dewantara, rakyat Indonesia harus benar-benar
menyadari arti kehidupan berbangsa dan bertanah air melalui pendidikan. Pendidikan
Taman Siswa selanjutnya mengakui hak-hak anak untuk bebas yang dinyatakan tidak
tanpa batas. Batas itu antara lain adalah lingkungan dan kebudayaan. Pengakuan atas
kebebasan anak adalah suatu prinsip pendidikan yang sangat pokok pada Taman
Siswa. Prinsip demokrasi dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara dengan penegrtian
sebagai berikut.
1. Anak dalam pendidikan merupakan pusat perhatian pendidik.
Dalam pertumbuhan dan perkembangan yang terus berjalan, lingkungan anak
makin luas dan segala sesuatu yang dijumpainya akan dijadikan miliknya. Hal
ini kemudian melahirkan prinsip konsentris, kontinue, dan konvergen yang
terkenal dengan istilah “tri-kon”
2. Musyawarah sebagai prinsip demokrasi tetapi menghargai pimpinan.
Ki Hajar Dewantara menganggap perlu ada suatu kewibawaan yang pada
suatu ketika mengarah pada musyawarah dan mufakat.
3. Dasar demokrasi membawa kewajiban untuk memikul tanggung jawab.
Dasar demokrasi yang mengakui hak anak untuk tumbuh dan berkembang
menurut kodratnya telah melahirkan metode “among” dengan semboyan “tut
wuri handayani” yang kemudian diadopsi menjadi semboyan pendidikan
nasional. dasar demokrasi telah membawa Taman Siswa menjadi tidak kaku
dan melahirkan prinsip hidup kekeluargaan yang dikalangan Taman Siswa
dipraktekan dengan sungguh-sungguh.
Dengan gambaran di atas, maka Taman Siswa, terutama dibidang
pendidikan dan kebudayaan, telah memberikan andil sangat besar terhadap

14
pendidikan nasional. Bahkan Undang-Undang Pendidikan No. 4 tahun 1950
praktis telah mencakup semua prinsip Taman Siswa.

c) Pendidian Ma’arif
Basis pendidikan Ma’arif pada dasarnya adalah pesantren yang juga
merupakan basis utama kegiatan pendidikan NU. Hal inilah antara lain
membedakannya dengan Muhammadiyah yang lebih agresif dan sistematis dalam
mengembangkan sistem pendidikan sekolahnya dengan menerapkan manajemen
modern.
Meskipun perkembangan lembaga pendidikan Ma’arif tidak secepat dan
seluas Muhammadiyah, pendidikan ini ikut memberikan andil dalam pendidikan
nasional, baik melalui pemikiran-pemikiran para tokohnya maupun melalui
lembaga-lembaga pendidikan yang dimilikinya.

d) INS Kayutanam
Kayutanam adalah suatu kota kecil dekat Padang Panjang. Di sanalah
pada tahun 1926 didirikan Indonesische Nederlandche School (INS), yang
kemudian dikenal dengan INS Kayutanam. Pendirinya adalah Muhammad Syafei
(1896-1966) bersama Marah Soetan. Sekolah tersebut semula dibawah pembinaan
Organisasi Pegawai Kereta Api dan Tambang Ombilin.
INS memupuk semangat nasionalisme di kalangan para siswanya. Hal ini
tampak dari tujuan pendidikannya yaitu agar siswa dapat berdiri sendiri dan tidak
perlu mencari jabatan di kantor pemerintahan yang saat itu dikuasai oleh
Pemerintah Kolonial Belanda. Muhammad Syafe’i menunjukkan sifat sebagai
pendidik yang demokratis dan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
tumbuh dan berkembang menurut garis masing-masing yang ditentukan oleh
bakat dan pembawaannya.
5. Kondisi Pendidikan Nasional Pada Zaman Orde Baru
Pemerintahan Orde Baru dengan tokoh-tokoh teknokrat dalam pucuk
pimpinan pemerintahan melancarkan usaha pembangunan terencana dalam Pelita I
sampai Pelita II, III dan seterusnya.
Dalam Pelita I inilah pendidikan dapat diperkembangkan menurut satu
rencana yang sesuai dengan keuangan negara. Keuangan negara agak membengkak
waktu harga minyak mentah meloncat dari harga $3 menjadi $12 per barrel. Hal ini
memungkinkan didirikannya SD Inpres (Instruksi Presiden) mengangkat guru-guru
dan mencetak buku pelajaran. Sebagai hasil Pelita I dalam bidang pendidikan telah
ditatar lebih dari 10.000 orang guru. Telah dibagikan lebih dari 63,5 juta buku SD
kelas I, telah dibangun 6000 buah gedung SD, telah diangkat 57.740 orang guru
terutama guru SD, serta dibangun 5 Proyek Pusat Latihan Teknik yaitu di Jakarta,
Bandung, Surabaya, Medan dan Ujung Pandang.
6. Kondisi Pendidikan Nasional Pada Zaman Reformasi
Pada era pemerintahan Habibie yang masih menggunakan kurikulum 1994
yang disempurnakan pada masa pemerintahan Gus Dur. Pada masa pemerintahan
Megawati terjadi beberapa perubahan tatanan pendidikan, antara lain: 

15
1. Diubahnya kurikulum 1994 menjadi kurikulum 2000 dan akhirnya
disempurnakan menjadi kurikulum 2002 (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
yang merupakan kurikulum yang berorientasi pada pengembangan 3 aspek
utama, antara lain aspek afektif, kognitif dan psikomotorik. 
2. Pada 8 Juli 2003 disahkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang memberikan dasar hukum untuk membangun pendidikan
nasional dengan menerapkan prinsip demokrasi, desentralisasi, otonomi,
keadilan dan menjunjung HAM.
Kemudian setelah Megawati turun dari jabatannya dan digantikan Susilo
Bambang Yudhoyono, UU No. 20/2003 masih tetap berlaku, namun pada masa SBY
juga ditetapkan UU RI No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Penetapan UU tersebut
disusul dengan pergantian kurikulum KBK menjadi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan. Kurikulum ini berasaskan pada PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. KTSP merupakan kurikum operasional yang disusun dan
dilaksanakan masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan,
tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan,
kalender pendidikan serta silabus (BSNP, 2006: 2). Tujuan pendidikan KTSP:
1. Untuk pendidikan dasar, di antaranya meletakkan dasar kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan hidup mandiri dan
mengikuti pendidikan lebih lanjut.
2. Untuk pendidikan menengah, meningkatkan kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut.
3. Untuk pendidikan menengah kejuruan, meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan hidup mandiri dan
mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Setelah itu pada pemerintahan Presiden Joko widodo diterapkan kurikulum
baru yaitu kurikulum 2013 atau yang sering disebuk K13. Kurikulum 2013
dikembangkan karena berbagai faktor yakni tantangan internal dan tantangan
eksternal. Tantangan internal antara lain terkait dengan kondisi pendidikan dikaitkan
dengan tuntutan pendidikan yang mengacu pada 8 Standar Nasional Pendidikan.
Tantangan internal lainnya terkait dengan perkembangan penduduk Indonesia dilihat
dari pertumbuhan penduduk usia produktif untuk mengupayakan agar sumberdaya
manusia usia produktif dapat ditransformasikan menjadi sumberdaya yang
berkompeten dan memiliki keterampilan. Tantangan eksternal terkait dengan arus
globalisasi dan berbagai isu tentang masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi
dan informasi, kebangkitan industri kreatif dan budaya, dan perkembangan
pendidikan di tingkat internasional.
Tabel Perbedaan kurikulum di Indonesia
Kurikulum Ciri-ciri
1994 • Menekankan pada  Caturwulan
penguasaan  SMA SMU
pengetahuan  SMP/SMEP/ST 
(berorientasi pada SLTP
materi)
16
• Bersifat populis
• Sumber belajar : guru
2004 • Menekankan pada
(KBK) pencapaian kompetensi
siswa (KKM)
• Sumber belajar : guru
dan media lain
KTSP • Menekankan pada
pencapaian kompetensi
siswa
• Pendekatan dan
metode pembelajaran
lebih bervariasi
• Kurikulum
dikembangan oleh
masing-masing satuan
pendidikan yang
disesuaikan oleh
potensi daerah
2013 • Menekankan pada
pencapaian kompetensi
dan pengembangan
kompetensi
• Menggunakan
pendekatan scientific

2.6. Masalah dalam Manajemen Mutu Pendidikan

Adanya pengelolaan mutu pendidikan nasional, dan kebijakan otonomi


pendidikan daerah pemerintah seharusnya lebih maksimal lagi dalam meningkatkan
mutu. Tapi saat ini proses pendidikan masih dirasakan belum sepenuhnya berjalan
dengan maksimal. Permasalahan mutu pendidikan tidak berdiri sendiri, tetapi terkait
dengan suatu sistem yang saling berpengaruh. Mutu keluaran dipengaruhi oleh mutu
masukan dan mutu proses. Pembahasan dalam hal ini didasarkan pada komponen
masukan, proses, dan keluaran.
Mutu masukan pendidikan dapat dilihat dari kesiapan murid dalam mendapatkan
kesempatan pendidikan. Data Pusjas tahun 2004 menunjukkan bahwa sebagian siswa
(46%) berada dalam kategori tingkat kebugaran kurang, dan (37%) dalam tingkat
kebugaran sedang. Data Susenas tahun 2003 mengungkapkan bahwa dari sekitar 18 juta
anak usia balita, sekitar 28% atau lima juta anak berstatus kekurangan gizi dan lebih dari
50% anak SD/MI menderita cacingan. (Depkes, 2003).
Secara eksternal, komponen masukan pendidikan yang secara signifikan
berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan meliputi (1) ketersediaan pendidik
17
dan tenaga kependidikan yang belum memadai baik secara kuantitas dan kualitas,
maupun kesejahteraannya; (2) prasarana dan sarana belajar yang belum tersedia dan
belum didayagunakan secara optimal; (3) pendanaan pendidikan yang belum memadai
untuk menunjang mutu pembelajaran; dan (4) proses pembelajaran yang belum efisien
dan efektif. (Suryana, 2011)

Ketersediaan Pendidik Dan Tenaga Kependidikan

Dalam kaitan dengan tenaga kependidikan, data Balitbang Depdiknas tahun


2003/2004 mengungkapkan bahwa pegawai administrasi di SD masih sangat kurang.
Jumlah SD 135.644 sekolah hanya memiliki pegawai administrasi 7.687 orang dan
penjaga sekolah 100.486 orang. Dari 21.256 SMP, terdapat 15.636 perpustakaan baru
memiliki 8.474 petugas perpustakaan, dari 14.900 laboratorium hanya tersedia 1.892
laboran. Pada 8.238 SMA dengan 5.598 perpustakaan baru memiliki 4.402 petugas
perpustakaan, dari 10.050 laboratorium baru memilki 1.555 laboran. Pada 5.115 SMK
dengan 3.745 perpustakaan baru memiliki 2.017 petugas perpustakaan, dari 1.461
laboratorium baru memilki 804 laboran. Tenaga kependidikan pada perpustakaan dan
laboratorium sebagian besar belum memiliki kualifikasi dan kompetensi yang memadai,
sehingga mutu layanan pendidikan belum optimal. Berdasarkan data tahun 2004 jumlah
pengawas 21.627 orang. Jumlah tersebut tidak sebanding dengan sekolah yang menjadi
sasaran supervisi, selain itu letak geografis sekolah yang menyulitkan supervisi, sehingga
pengawasan proses pembelajaran belum dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
Sampai dengan tahun 2002/2003 terdapat sekitar 2,7 juta guru dari jenjang
pendidikan prasekolah hingga menengah, baik pada sekolah negeri maupun swasta.
Namun jumlah tersebut belum memadai, karena itu masih diperlukan sekitar 400 ribu
orang. Kekurangan guru juga tidak diikuti dengan pendayagunaan guru secara efisien.
Beberapa faktor penyebab ketidakefisienan tersebut adalah terjadinya penumpukan guru
di daerah perkotaan, kurikulum yang sangat terspesialisasikan pada pendidikan
menengah, dan banyaknya sekolah dasar kecil dengan rata-rata jumlah murid di bawah
100 orang. Rasio pelayanan siswa per guru tersebut akan menjadi isu kebijakan penting
dalam peningkatan mutu dan efisiensi pendidikan, karena akan menghambat pemenuhan
pembiayaan untuk biaya operasi satuan pendidikan dan upaya untuk meningkatkan gaji
guru. Jumlah guru yang besar dan menumpuk pada lokasi tertentu dapat dimanfaatkan
untuk mendukung penyelenggaraan SMP Terbuka, baik sebagai guru bina maupun guru
pamong. Saat ini dari SMP Terbuka memerlukan 30.000 orang guru bina dan 13.000
guru pamong. Guru bina direkrut dari guru mata pelajaran SMP yang tugas mengajarnya
belum mencapai tugas maksimal sedang guru pamong pada umumnya diambil dari guru
SD/MI. Walaupun demikian kelebihan guru di sekolah-sekolah perkotaan merupakan
persoalan yang perlu ditangani secara serius.

18
Kualifikasi Pendidik Tahun 2002/2003

Sumber : BPS : 2005.

Kualifikasi pendidik ditinjau dari ijazah tertinggi menunjukkan keragaman. Pada


jenjang TK dan SD pendidik dengan kualifikasi sarjana (S1) persentasenya masih sangat
kecil. Sebagian besar pendidik pada TK adalah mereka yang berpendidikan di bawah D1,
sedangkan untuk SD mayoritas pendidikan berlatar belakang D1 dan D2. Untuk jenjang
pendidikan tinggi, persentase pengajar dengan ijazah sarjana (S1) lebih dari 50%. Hal ini
menunjukkan kondisi yang kurang baik dibandingkan dengan ijazah pendidik pada SMA
dan SMK dengan latar belakang S1 lebih dari 60%.
Masalah guru atau pendidik lainnya adalah masih terdapatnya kesenjangan guru
dilihat dari keahliannya. Guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang keahliannya
(mismatch) yang masih banyak terjadi terutama pada jenjang SM swasta dan MA. Dalam
kaitannya dengan kelayakan mengajar guru, data Balitbang tahun 2004 menyebutkan
bahwa persentase guru yang tidak layak mengajar masih cukup tinggi, terutama pada
jenjang SD yaitu sekitar 609.217 orang (49,3%) baik pada sekolah negeri maupun
swasta.
Proporsi guru yang berpendidikan di bawah kualifikasi minimal tersebut tentu
tidak memadai jika Pemerintah ingin menyediakan pelayanan pendidikan yang
berkualitas. Untuk jenjang pendidikan SMP dan SM yang menggunakan sistem guru
mata pelajaran, banyak pula terjadi ketidaksesuaian antara pelajaran yang diajarkan
dengan latar belakang pendidikan guru. Pada jenjang SMP, SMA dan SMK persentase
guru yang belum memiliki kualifikasi masing-masing adalah 36%, 33%, dan 43%. (BPS
2004)

Sarana dan Prasarana

Dari data BPS (2004) juga dilaporkan bahwa aspek fisik juga menujukan bahwa
kondisi prasarana dan sarana pendidikan belum sepenuhnya memadai, hal ini antara lain
dapat dilihat dari ketersediaan perpustakaan di sekolah. Secara nasional, baru 27,6% SD
yang sudah memiliki perpustakaan sekolah. Di samping itu, terjadi sebaran yang kurang
merata menurut provinsi. Di Yogyakarta, misalnya, terdapat 72,8% SD yang memiliki
perpustakaan sedangkan di Maluku Utara hanya lima persen yang sudah memiliki
perpustakaan sekolah. Selain kondisi fasilitas yang demikian, juga banyak ruang belajar
dan sarana belajar lain seperti laboratorium, sarana olahraga yang rusak. Pada tabel 4,
dari sekitar 865.258 ruang belajar (lokal) terdapat sekitar 500.818 lokal SD/MI (57,8%)
19
yang rusak ringan dan rusak berat. Sementara pada jenjang SMP dari sekitar 187.480
ruang belajar terdapat 31.198 lokal SMP/MTs (17,7%) yang juga mengalami rusak
ringan dan berat. Pada jenjang SM terdapat sekitar 13.777 lokal (15,6%) yang rusak
ringan dan rusak berat.

Kondisi Ruang Belajar Tahun 2003

Kondisi yang demikian, selain akan berpengaruh pada ketidaklayakan dan


ketidaknyamanan pada proses belajar mengajar, juga akan berdampak pada keengganan
orang tua untuk menyekolahkan anaknya.
Fasilitas lainnya yang turut mempengaruhi mutu pendidikan ialah ketersediaan
buku. Secara nasional, rata-rata rasio buku per siswa untuk SD, SMP, SMA, dan SMK
adalah 0,80; 0,85; 0,65; dan 0,25. Masih jauh dari kondisi ideal rasio 1:1, satu siswa satu
buku. Masalah yang lebih besar tidak hanya terletak pada ketersediaan buku tetapi juga
dalam pendayagunaan buku pelajaran tersebut dalam kerangka peningkatan mutu
pendidikan. Penelitian Balitbangdikbud (2004) melaporkan bahwa pada SMP Terbuka,
buku modul yang merupakan sumber belajar utama masih sangat kurang sehingga
menganggu proses belajar mandiri. Kekurangan juga terjadi pada media penunjang yang
lain, seperti laboratorium, ruang UKS, dan penunjang pembelajaran bahasa, terutama
bahasa Inggris dan pendidikan jasmani dan kesehatan.
Hal lain dalam kaitannya sarana dan prasarana pendidikan adalah penggunaan
dan pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi (information and communication
technology/ICT). Walaupun masih dalam lingkup yang terbatas, pendidikan di Indonesia
sudah memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), terutama dalam
pengelolaan dan pembelajaran. Pendidikan kejuruan yang dikelola oleh Direktorat
Pendidikan Menengah Kejuruan (Dikmenjur) Depdiknas, misalnya, telah merintis sistem
pengelolaan dan materi pembelajaran untuk siswa SMK yang disesuaikan dengan
kebutuhan keterampilan oleh industri. Program komputerisasi dimulai sejak tahun 1980,
dan menargetkan semua SMK di Indonesia sudah terhubung ke internet pada tahun 2006.
Program yang sudah dilaksanakan hingga 2004 ialah (a) jaring internet yang
menghubungkan 784 SMK; (b) jaringan info sekolah di 137 kabupaten/kota; (c) 31 wide
area network di 31 kabupaten/kota; (d) 44 ICT center di 44 kabupaten/kota; (e) 8 mobile
training unit di 8 lokasi; dan (f) pemetaan sekolah (school mapping) yang telah
dikembangkan oleh 271 SMK di seluruh tanah air.
20
Anggaran Pendidikan

Faktor lain yang berkaitan dengan peningkatan mutu dan daya saing adalah
anggaran pendidikan yang belum memadai, baik ketersediaannya maupun dalam efisiensi
pengelolaannya. Pembangunan pendidikan selama lima tahun terakhir (2000-2004) sudah
mendapat prioritas tertinggi dalam pembangunan nasional yang ditunjukkan oleh
penyediaan anggaran pembangunan dengan porsi terbesar dibandingkan dengan
bidangbidang pembangunan lainnya. Komitmen Pemerintah dalam melaksanakan UUD
1945 dan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam alokasi anggaran
pendidikan dari APBN/APBD, dan penyelenggaraan pendidikan dasar tanpa memungut
biaya secara bertahap mulai diwujudkan. Namun, anggaran tersebut baru mencapai 9,2%
dari APBN yang dibelanjakan oleh pemerintah pusat. Anggaran tersebut juga belum
termasuk anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah daerah melalui APBD.
Pemerintah dan pemerintah daerah juga belum mampu menyediakan pelayanan
pendidikan dasar secara cuma-cuma.
Apabila dibandingkan negara-negara lain, alokasi anggaran pendidikan di
Indonesia masih sangat rendah. Data laporan Human Development Indeks (2004)
mengungkapkan dalam kurun waktu 1999-2001 Indonesia hanya mengalokasikan
anggaran pemerintah (public expenditure) sebesar 1,3% dari produk domestik bruto
(PDB). Sementara itu dalam kurun waktu yang sama, Malaysia, Thailand, dan Filipina
secara berturut-turut telah mengalokasikan 7,9%, 5,0%, dan 3,2% dari PDB-nya masing-
masing. Namun Susenas 2003 mengungkapkan bahwa rata-rata pengeluaran per kapita
untuk pendidikan telah mencapai 2,2% untuk daerah perdesaan dan 4,5% untuk daerah
perkotaan atau rata-rata nasional sebesar 3,5%. Kontribusi masyarakat dalam penyediaan
anggaran pendidikan masih lebih besar dari kontribusi anggaran yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Hal ini menunjukkan sebuah potensi besar jika 20% dari APBN/APBD dapat
diwujudkan.
Satuan-satuan pendidikan dan pemerintah kabupaten/kota lebih banyak
mengalokasikan sebagian anggaran untuk gaji guru, sementara biaya operasi satuan
pendidikan di luar gaji hanya mencapai paling tinggi 5—10%. Akibatnya, pembiayaan
untuk sarana pembelajaran, biaya pembelajaran, pengembangan staf, dan biaya
perawatan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah sangat kecil sehingga tidak
menunjang upaya peningkatan mutu dan relevansi. Variasi antardaerah dan satuan
pendidikan mengenai pengeluaran biaya pendidikan, termasuk dalam pembiayaan untuk
gaji dan di luar gaji masih sangat besar sehingga menimbulkan potensi ketidakadilan
dalam pemerataan kesempatan belajar yang bermutu.

Proses Pembelajaran

Salah satu sebab rendahnya mutu lulusan adalah belum efektifnya proses
pembelajaran. Proses pembelajaran selama ini masih terlalu berorientasi terhadap
penguasaan teori dan hafalan dalam semua bidang studi yang menyebabkan kemampuan
belajar peserta didik menjadi terhambat. Metode pembelajaran yang terlalu berorientasi
pada guru (teacher oriented) cenderung mengabaikan hak-hak dan kebutuhan, serta
pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga proses pembelajaran yang
menyenangkan, mengasyikkan, dan mencerdaskan menjadi kurang optimal. Selain itu

21
makin tinggi jenjang pendidikan makin tinggi angka putus sekolah, sehingga makin
rendah angka efisiensi pengelolaan pendidikan. Dilihat dari perspektif gender, angka
putus sekolah anak laki-laki memiliki kecenderungan lebih tinggi dibandingkan dengan
anak perempuan.
Faktor yang turut berpengaruh terhadap rendahnya efisiensi pendidikan adalah
rendahnya kemampuan pengelolaan berbagai masukan pendidikan baik dalam
menjalankan proses pembelajaran maupun dalam pengelolaan pendidikan secara
keseluruhan, baik pada tingkat satuan pendidikan maupun pada pengelola pendidikan
yang ada di atasnya. Hal ini dilihat dari lemahnya fungsi supervisi pendidikan, baik yang
dilakukan oleh tenaga fungsional seperti pengawas sekolah untuk tingkat SD dan/atau
pengawas bidang studi untuk tingkat SMP dan SMA/SMK, maupun supervisi oleh kepala
sekolah sebagai manajer sekolah. Kelemahan pada aspek perencanaan, kegiatan
pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar tidak termonitoring secara efektif oleh para
supervisor, sehingga kelemahankelemahan pada proses pembelajaran tidak dapat
teridentifikasi secara akurat.

Mutu Hasil (Penilaian Pendidikan)

Sementara itu, rendahnya mutu hasil belajar ditandai oleh standar kelulusan yang
ditetapkan, yaitu 4,25 dari skala 10. Ini berarti bahwa seorang siswa dinyatakan lulus
apabila yang bersangkutan mampu menyerap mata pelajaran sebesar 4,25%. Dengan
standar kelulusan yang rendahpun masih banyak siswa yang tidak lulus. Pada Ujian
Nasional 2005 pada tingkat SMA/MA ketidaklulusan mencapai 20,6%, SMK 22,2%, dan
SMP/MTs/SMP Terbuka 13,4%.
Walaupun angka ketidaklulusan ujian nasional (UN) tahun 2004/2005 lebih tinggi
bila dibandingkan dengan tahun 2003/2004, namun sesungguhnya bila dilihat dari nilai
rata-rata yang dicapai terdapat peningkatan yang cukup berarti yakni dari 5,55 tahun
2003/2004 menjadi 6,76 pada tahun 2004/2005. Balitbangdikbud (2004)melaporkan
bahwa ada peningkatan nilai UN pada ketiga mata pelajaran, yaitu Bahasa Indonesia,
Bahasa Inggris, dan Matematika.hal ini membuktikan bahwa mutu pend idikan semakin
tahun tambah meningkat hasilnya.
Mutu akademik antarbangsa melalui programme for international student
assessment (PISA) 2003 menunjukkan bahwa dari 41 negara yang disurvei, untuk bidang
IPA, Indonesia menempati peringkat ke-38, sementara untuk bidang matematika dan
kemampuan membaca menempati peringkat ke-39. Jika dibandingkan dengan Korea,
peringkatnya sangat jauh, untuk bidang IPA menempati peringkat ke-8, membaca
peringkat ke-7 dan matematika peringkat ke-3. Walaupun mutu lulusan pada semua
jenjang pendidikan masih rendah, namun sesungguhnya potensi peserta didik kita cukup
tinggi, hal ini ditandai oleh berhasilnya siswa-siswa kita meraih berbagai kejuaraan
dalam olimpiade international bidang sains dan matematika. Berdasarkan data asal
sekolah peserta yang berhasil menjadi juara olimpiade, ternyata pada umumnya mereka
berasal dari sekolah-sekolah yang memiliki sistem pembinaan yang baik dan ditunjang
oleh guru-guru yang berkualitas. Hal ini menunjukkan bahwa potensi peserta didik kita
memiliki potensi yang baik, tetapi karena ditangani oleh suatu proses pembelajaran yang
kurang berkualitas dan belum optimal ditunjang dengan prasarana dan sarana pendidikan,
maka mutu lulusannya pada umumnya masih rendah.
22
Berikut beberapa masalah nyata lain terkait mutu pendidikan yang dirasakan
secara langsung oleh masyarakat:
1. Nilai UN yang relatif rendah dan berbagai kecurangan dalam hasil belajar siswa.
2. Adanya ketidak puasan berjenjang dan lulusan tidak siap memasuki dunia kerja.
3. Aliran dana pendidikan yang dikorupsi.
4. Perubahan kurikulum yang terlalu dekat. Kurikulum yang terlalu cepat berganti
seiring bergantinya pemerintahan dan kurangnya realisasi pendekatan kurikulum
yang baru serta pengawasan yang selalu putus ditengah jalan mengakibatkan pelaku
pendidikan menjadi kebingungan. Sehingga makin tak jelaslah arah dan tujuan
kurikulum yang ingin dicapai yang mengakibatkan semakin rendah kualitas
pendidikan.

Kemudian Kompasiana dalam M. Rifai menyebutkan ada tujuh persoalan yang


menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah, yaitu sebagai berikut:
1. Pembelajaran yang terpaku pada buku paket
2. Model pembelajaran ceramah
3. Kurangnya daya dukung sarana prasarana dari regulator
4. Peraturan yang membelenggu
5. Guru tidak mengajari keterampilan bertanya, murid tidak berani bertanya
6. Guru tidak berani mengajukan pertanyaan terbuka
7. Siswa menyontek, guru pun juga ikut mencontek.

2.7. Cara memperbaiki mutu pendidikan

Cara yang tepat untuk memperbaiki mutu pendidikan adalah dengan memperbaiki
manajemen mutu pendidikan. Yang berperan di dalam proses peningkatan mutu
pendidikan adalah organisasi-organisasi pendidikan.
Menurut Cheng, 1996 bahwa keefektifan sekolah dapat dilihat dari kemampuan
sekolah dalam menjalankan fungsinya dengan maksimal. Berikut ada beberapa indikator
manajemen mutu sekolah:
1. Lingkungan sekolah yang kondusif (aman dan tertib)
2. Mempunyai misi dan target mutu yang akan dicapai
4. Mempunyai kepemimpinan yang kuat
5. Ada harapan yang tinggi terhadap personel sekolah, diantaranya kepala sekolah,
guru, staf dan siswa untuk berprestasi
6. Ada pengembangan staf sekolah yang dilakukan terus menerus sesuai dengan
tuntutan iptek, pelaksanaan evaluasi secara terus menerus terhadap berbagai aspek
administratif dan akademik, dan pemanfaatan hasilnya untuk perbaikan mutu.
7. Adanya dukungan dan komunikasi intensif dari orang tua murid atau
masyarakat.       

2.8. Penjaminan Mutu

Penjaminan mutu dalam dunia pendidikan, memang harus ditingkatkan


mengingat mutu pendidikan di Indonesia pada khusuusnya jauh dari apa yang
23
diharapkan. Kita juga mengakui bahwa sekolah-sekolah baik dari tingkat menengah
maupun tingkat atas tentang kondisi sarana prasarana dan proses pembelajaran masih
kurang memuaskan, sehingga penjaminan mutu pendidikan merupakan program yang
utama bahkan amat sangat penting bagi menteri pedidikan dan tentunya bagi pemerintah.
Penjaminan mutu pendidikan itu sendiri merupakan kegiatan mandiri oleh lembaga
pendidikan tertentu, oleh karena itu harus disusun, diranacang, dan dilaksanakan sendiri.
Salah satu upaya dalam merelisasikan penjaminan mutu tersebut dapat dilakukan secara
bertahap oleh pihak sekolah, yakni dengan melakukan evaluasi diri, kemudian
ditindaklanjuti dengan monitoring sekolah oleh pihak pemerintah daerah, sehingga
penjaminan mutu pendidikan dapat dilakukan dengan baik.
Adapun pengertian Penjaminan mutu pendidikan (Quality Assurance) adalah
proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan secara konsisten dan
berkelanjutan, sehingga stakeholders memperoleh kepuasan. Penjaminan mutu atau
kualitas adalah seluruh rencana tindakan sistematis yang penting untuk menyediakan
kepercayaan yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan tertentu dari kualitas
(Elliot,1993) dalam Saputa H. Sistem penjaminan mutu. Sedangkan, menurut (Gryjna,
1988) dalam Saputra H. sistem penjaminan mutu, dalam (pp no. 19/ 2005 pasal
49) Penjaminan kualitas merupakan kegiatan untuk memberikan bukti untuk membangun
kepercayaan bahwa kualitas dapat berfungsi dengan baik dalam Penjaminan mutu
secara internal oleh satuan pendidikan adalah  pengelolaan satuan pendidikan pada
jenjang dikdasmen menerapkan manajemen berbasis sekolah: kemandirian, kemitraan,
partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas.
Dalam PP no. 19/2005 pasal 65 Satuan Pendidikan mengembangkan visi dan
misi dan evaluasi kinerja masing-masing. Sedangkan dalam PP no. 19/2005 pasal
91,  Satuan Pendidikan wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan untuk memenuhi
atau melampaui SNP. Secara singkat, implementasi SPMP terdiri dari rangkaian
proses/tahapan yang secara siklik dimulai dari (1) pengumpulan data, (2) analisis data,
(3) pelaporan/pemetaan, (4) penyusunan rekomendasi, dan (5) upaya pelaksanaan
rekomendasi dalam bentuk program peningkatan mutu pendidikan.
Sekolah perlu membentuk Tim Pengembang Sekolah (TPS) yang terdiri dari
berbagai unsur stakeholders, yaitu kepala sekolah, pengawas sekolah, perwakilan guru,
komite sekolah, orang tua, dan perwakilan lain dari kelompok masyarakat yang memang
dipandang layak untuk diikutsertakan karena kepedulian yang tinggi pada sekolah.

2.9. Tujuan Penjaminan Mutu


 Terbangunnya budaya mutu pendidikan formal dan nonformal.
 Adanya penetapan secara nasional mutu pendidikan formal dan nonformal menurut
provinsi, kabupaten/kota, dan satuan program pendidikan.
 Mencegah terjadinya kesalahan dalam produksi yang dilakukan dengan cara
mengefektifkan setiap langkah yang dilaksanakan memperhatikan setiap sumber daya
yang digunakan
 Setiap aspek yang terlibat dalam proses produksi dievaluasi secara terus menerus
untuk mencegah terjadinya kesalahan

24
25
2.10. Akreditasi sebagai Sistem Penjaminan Mutu di Indonesia

Akreditasi adalah suatu proses yang berkesinambungan dari evaluasi diri,


refleksi dan perbaikan. Akreditasi sekolah adalah kegiatan penilaian (asesmen sekolah)
secara sistematis dan komprehensif melalui kegiatan evaluasi diri dan evaluasi eksternal
(visitasi) untuk menentukan kelayakan kinerja sekolah.
Khusus dalam pelaksanaan akreditasi ini, ditetapkan dalam permendiknas No.29
tahun 2005, bahwa Badan Akreditasi Nasional Sekolah Madrasah (BAN-SM) merupakan
badan mandiri yang menetapkan kelayakan program dan atau satuan pendidikan jenjang
pendidikan dasar dan menengah jalur formal dengan mengacu standar Nasional
Pendidikan (SNP). BAN-SM ini merupakan badan non struktural yang bersifat nirlaba
dan mandiri yang bertanggungjawab kepada Mendiknas. Secara struktural ditingkat
Propinsi dibentuklah Badan Akreditasi Provinsi Sekolah dan Madrasah atau BAP-SM.
Kelembagaan akreditasi terdiri dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah
(BAN-S/M) dan Badan Akreditasi Propinsi Sekolah/Madrasah (BAP-S/M). Apabila
diperlukan BAP-SM dapat membentuk unit Pelaksana Akreditasi Sekolah / Madrasah
(UPA-S/M) Kabupaten/Kota. BAN-S/M berkedudukan di ibukota negara, BAP-SM
berkedudukan di ibukota provinsi, UPA-S/M dibentuk oleh BAP-S/M sesuai keperluan
dan kondisi masing-masing provinsi.
Badan Akreditasi Nasional-Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) merumuskan
kebijakan operasional, melakukan sosialisasi kebijakan dan melaksanakan akreditasi
S/M. Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/Madrasah (BAP-S/M) melaksanakan akreditasi
TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK dan SLB. Unit Pelaksana Akreditasi
(UPA)-Kabupaten/Kota membantu BAP-S/M melaksanakan akreditasi. Implementasi
Model Penjaminan Mutu
1. Persiapan
Hal-hal yang dilakukan dalam tahap persiapan adalah sebagai berikut.
a. Pemetaan awal kinerja sekolah
Kegiatan ini dilakukan melalui observasi dan pendataan sekolah dengan mengacu
pada standar-standar pendidikan yang ditetapkan BSNP. Kegiatan dimaksud
untuk memperoleh data dan informasi awal tentang kinerja sekolah. Data dan
informasi ini memungkinkan dilakukannya pemetaan profil mutu/kinerja sekolah
sebagai acuan awal dalam ancangan penetapan standar sekolah yang mengacu
pada ke 8 Standar Nasional Pendidikan yang ditetapkan oleh BSNP dan
implementasi model penjaminan mutu pendidikan.
b. Pembuatan Panduan Penjaminan Mutu
Pembuatan panduan penjaminan mutu dimaksudkan untuk memberikan pedoman
kepada sekolah dalam pelaksanaan model penjaminan mutu pendidikan yang
dilakukan sekolah dengan bimbingan/arahan/support oleh LPMP, Dinas
Pendidikan dan semua pihak-pihak pemangku kepentingan (stakeholder).
Pedoman ini akan membantu semua pemangku kepentingan dalam penyamaan
persepsi dalam pelaksanaan model.
c. Penyiapan Instrumen Monitoring
Setelah standar telah ditetapkan dan diimplementasikan di sekolah, pihak LPMP
menyusun instrumen monitoring sebagai alat untuk mengevaluasi keterlaksanaan
standar yang telah ditetapkan. Kegiatan penyiapan instrument monitoring melalui
26
tahapan; penyusunan instrument, uji coba, pengolahan dan analisis, review, dan
validasi instrument. Instrumen yang sudah divalidasi selanjutnya dapat digunakan
dalam kegiatan monitoring terhadap pelaksanaan standar tersebut.
d. Penyiapan instrumen SSE
Instrumen School Self-Evaluation (SSE) disusun sebagai alat untuk melakukan
evaluasi diri oleh sekolah masing-masing. Kegiatan ini disusun secara bersama-
sama antara sekolah, LPMP dan Dinas Pendidikan serta dengan dukungan para
pakar. Dalam penyiapan instrumen SSE tetap melalui tahapan kegiatan sebagai
berikut: penyusunan instrumen, uji coba, pengolahan dan analisis, review, dan
validasi instrumen.
e. Fasilitasi persiapan pelaksanaan SSE
Fasilitasi persiapan pelaksanaan SSE dimaksudkan untuk memberikan bimbingan
kepada pihak sekolah agar sekolah mempunyai kompetensi yang diperlukan
dalam melaksanakan SSE secara efektif. Kegiatan ini dilakukan oleh pihak
LPMP.
2. Pelaksanaan SSE
a. Penerapan Standar Nasional Pendidikan
PP NO.19 Tahun 2005 Pasal 94 poin b menyatakan bahwa satuan pendidikan
wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan PP ini paling lambat pada tahun
2012.
b. Monitoring
Kegiatan monitoring dilaksanakan pihak pengawas sekolah secara rutin
(bulanan) dengan mengacu pada standar-standar pendidikan yang telah
ditetapkan, sedangkan monitoring yang dilaksanakan LPMP sekurang-kurangnya
satu kali dalam enam bulan.
3. Fasilitasi persiapan pelaksanaan SSE.
Fasilitasi persiapan pelaksanaan SSE dimaksudkan untuk memberikan bimbingan
kepada pihak sekolah agar sekolah mempunyai kompetensi yang diperlukan dalam
melaksanakan SSE secara efektif. Kegiatan ini dilakukan oleh pihak LPMP
Pihak sekolah melakukan evaluasi dengan menggunakan instrumen SSE. Kegiatan
ini dilakukan sendiri oleh pihak sekolah secara mandiri. Laporan SSE dikirimkan
sekolah ke Dinas Pendidikan dan LPMP untuk dijadikan bahan tindaklanjut atau
program peningkatan mutu sekolah.
4. Audit Internal.
Audit internal dapat dilakukan oleh sekolah dalam bentuk peer-assessment.
Khususnya, yang berkaitan dengan proses pembelajaran, yang merupakan komponen
sangat penting dalam penjaminan mutu, peer-assessment dapat dilakukan dalam
bentuk observasi kelas antar guru semata pelajaran.
5. Perumusan program pengembangan/peningkatan mutu sekolah.
Hasil Evaluasi Mandiri dan hasil audit internal yang dilakukan sekolah dijadikan
bahan kajian oleh LPMP, Dinas Pendidikan dan sekolah terkait untuk merumuskan
program pengembangan/peningkatan mutu sekolah.
6. Pelaksanaan pengembangan/peningkatan mutu sekolah.

27
Pelaksanaan pengembangan/peningkatan mutu sekolah berkaitan dengan standar
nasional pendidikan dilakukan oleh sekolah dengan pihak LPMP, Dinas Pendidikan
dan Perguruan Tinggi sesuai dengan kewenangannya masing-masing

28
BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Kualitas atau mutu pendidikan adalah kemampuan lembaga dan
sistem pendidikan dalam memberdayakan sumber-sumber pendidikan untuk
meningkatkan kualitas yang sesuai dengan harapan atau tujuan pendidikan melalui
proses pendidikan yang efektif.
2. Manajemen mutu pendidikan dapat diartikan sebagai seni dan
ilmu dalam mengelola jasa untuk memberikan kepuasan melalui jaminan mutu
supaya tidak terjadi keluhan.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
Tentang Standar Nasional Pendidikan.
4. MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang
memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah, dan
mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk
meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Perkembangan mutu diindonesia dari periode hingga periode
mengalami perubahan yang signifikan, yaitu berkembang pesat dengan munculnya
beberapa sekolah yang bermutu bagus, namun tidak dipungkiri bahwa dalam
kurikulum indonesia masih mengalami kendala.
6. Masalah yang terjadi pada manajemen mutu diindonesia sangat
komplek mulai dari kemampuan keuangan yang tidak memadai, kepemimpinan
kepala sekolah yang tidak kompeten, organisasi dan komitmen yang masih rendah,
persepsi negative dari masyarakat, penataan staf, kurikulum yang tidak relevan,
konflik politik dan rasial, keterbatasan fasilitas, komunikasi yang tidak kondusif,
pelaksanaan manajemen berbasis sekolah yang tidak jelas, rendahnya peningkatan
mutu guru, sertifikasi pendidikan bagi guru, kepala sekolah dan pengawas belum
dipenuhi, peningkatan kesejahteraan guru yang belum terpenuhi.
7. Cara yang tepat untuk memperbaiki mutu pendidikan adalah
dengan memperbaiki manajemen mutu pendidikan. Yang berperan di dalam proses
peningkatan mutu pendidikan adalah organisasi-organisasi pendidikan.
8. Pengertian Penjaminan mutu pendidikan (Quality Assurance)
adalah proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan secara konsisten
dan berkelanjutan, sehingga stakeholders memperoleh kepuasan.
9. Tujuan dari adanya penjaminan mutu diantaranya untuk
mencegah terjadinya kesalahan dalam produksi yang dilakukan dengan cara
mengefektifkan setiap langkah yang dilaksanakan memperhatikan setiap sumber daya
yang digunakan.
10. Suatu hal yang dapat digunakan untuk menjamin mutu antara
lain sistem akreditasi sekolah yang dilakukan oleh BAN S/M selain itu terdapat

29
beberapa implementasi penjaminan mutu yang dilakukan oleh Lembaga penjamun
mutu pendidikan.

30
3.2. Saran
Berdasarkan hasil makalah yang telah penulis susun, masih banyak kekurangan dari
mutu pendidikan di Indonesia dan usaha pemerintah untuk meningkatkan mutu
pendidikan di Indonesia masih belum berjalan sesuai yang diharapkan karena terkendala
banyak permasalahan lain di bidang pendidikan. Untuk itu, sebagai generasi bangsa dan
pendidik hendaknya memahami benar apa yang menjadi kendala peningkatan mutu
pendidikan dan ikut melakukan dan mensukseskan usaha-usaha untuk meningkatkan mutu
pendidikan semaksimal mungkin.

31
DAFTAR PUSTAKA

Edward Sallis, Total Quality Management In Education, alih Bahasa Ahmad Ali Riyadi
(Jogjakarta : IRCiSoD, 2006), 33.
Joko Widodo. 2015. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2015.
Jakarta : Menteri HAM Republik Indonesia
Lalu Sumayang, Manajemen produksi dan Operasi (Jakarta : Salemba Empat, 2003), 322.
Suryana, S. 2011. Permasalahan Mutu Pendidikan Dalam Perspepektif Pembangunan
Pendidikan. Tahun 2011 No 1. Semarang : Fakultas Ilmu Pendidikan Unnes
Tim penyusun kamus besar bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai
Pustaka, 1991), 677.

32

Anda mungkin juga menyukai