Segala puji bagi Tuhan yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
sehingga kami dapat menyusun makalah Manajemen Pendidikan Kimia tentang Manajemen
Mutu Pendidikan ini hingga selesai. Dalam melaksanakan tugas ini tentulah tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Kasmadi Imam Supardi, M.S. selaku dosen pengampu mata kuliah
manajemen pendidikan kimia yang telah memberikan bimbingan serta arahan kepada
kami dengan sabar.
2. Seluruh pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi
maupun pikirannya.
Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu penulis sangat berterima kasih bila ada saran dan kritik yang
membangun demi sempurnanya penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB 1. PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 1
1.3 Tujuan dan Manfaat................................................................................. 2
BAB 2. KAJIAN PUSTAKA.............................................................................. 3
2.1 Pengertian Mutu Pendidikan.................................................................... 3
2.2 Pengertian Manajemen Mutu................................................................... 4
2.3 Peraturan Menteri mengenai Penjaminan Mutu...................................... 4
2.4 Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah.................................... 7
2.5 Perkembangan Mutu Pendidikan di Indonesia........................................ 10
2.6 Masalah dalam Manajemen Mutu............................................................ 15
2.7 Cara Memperbaiki Mutu Pendidikan....................................................... 21
2.8 Pengertian Penjaminan Mutu................................................................... 21
2.9 Tujuan Penjaminan Mutu......................................................................... 22
2.10 Akreditasi sebagai Sistem Penjaminan Mutu......................................... 23
BAB 3. PENUTUP.............................................................................................. 26
3.1 Simpulan.................................................................................................. 26
3.2 Saran........................................................................................................ 27
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 28
2
BAB 1
PENDAHULUAN
3
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan makalah ini, diantaranya :
1) Untuk memahami pengertian Mutu Pendidikan?
2) Untuk memahami pengertian Manajemen Mutu?
3) Untuk memahami peraturan Menteri terkait Mutu Pendidikan?
4) Untuk memahami Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah ?
5) Untuk memahami perkembangan mutu pendidikan di Indonesia?
6) Untuk memahami masalah yang muncul dalam manajemen mutu pendidikan?
7) Untuk memahami cara memperbaiki mutu pendidikan?
8) Untuk memahami pengertian penjaminan mutu?
9) Untuk memahami tujuan penjaminan mutu?
10) Memahami apa yang dapat digunakan untuk menjamin mutu pendidikan?
4
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
6
nasional, kurikulum pendidikan anak usia dini, dan akreditasi memerlukan penyesuaian
atas berbagai tantangan baru.
Pemerintah memandang perlu untuk melakukan evaluasi berskala nasional yang dapat
memantau dan memetakan tingkat pencapaian kompetensi peserta didik sebagaimana
ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan yang berfungsi sebagai salah satu sarana
penjaminan dan peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan. Dalam upaya
menyempurnakan kualitas pelaksanaannya, perlu memperhatikan data hasil belajar siswa
yang dihimpun yang mencerminkan kondisi pendidikan dari waktu ke waktu sehingga
lebih membantu menentukan langkah-langkah perbaikan mutu sebagaimana mestinya.
Perubahan mengenai kurikulum pendidikan anak usia dini dilakukan melalui
penyelenggaraan pendidikan anak usia dini yang dibangun melalui kesatuan substansi
kurikulum antara pendidikan anak usia dini di jalur formal, nonformal, dan informal
karena memiliki tujuan yang sama. Perubahan terkait dengan akreditasi yang
dilaksanakan oleh BAN PAUD dan PNF perlu memperhatikan penyelenggaraan
pendidikan anak usia dini. Badan Akreditasi Nasional perlu melibatkan peran pemerintah
daerah dalam pelaksanaan akreditasi untuk pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
dan pendidikan menengah. Berikut Peraturan Pemerintah sebagai dasar manajemen mutu
pendidikan.
PP no. 19/2005 tentang standar nasional pendidikan
Pasal 68
Hasil Ujian nasional digunakan sebagai dasar untuk: pemetaan mutu program
dan/atau satuan pendidikan; (a)
Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk
meningkatkan mutu pendidikan. (d)
Pasal 71
(1) Kriteria pencapaian Kompetensi lulusan dalam Ujian nasional dikembangkan oleh
BSNP.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria pencapaian kompetensi lulusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 72
1. Peserta Didik dinyatakan lulus dari satuan/program pendidikan pada pendidikan dasar
dan menengah setelah: a. menyelesaikan seluruh program Pembelajaran; b.
memperoleh nilai sikap/perilaku minimal baik; dan c. lulus Ujian satuan/program
pendidikan;
2. Kelulusan Peserta Didik dari satuan/program pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh satuan/program pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 86
1. Pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan
untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan.
2. Kewenangan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) dapat pula
dilakukan oleh lembaga mandiri yang diberi kewenangan oleh Pemerintah untuk
melakukan akreditasi.
3. Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai bentuk
akuntabilitas publik dilakukan secara obyektif, adil, transparan, dan komprehensif
7
dengan menggunakan instrumen dan kriteria yang mengacu kepada Standar Nasional
Pendidikan.
Pasal 87
(1) Akreditasi oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1)
dilaksanakan oleh: a. BAN-S/M terhadap program dan/atau satuan pendidikan jalur
formal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah; b. BAN-PT terhadap program
dan/atau satuan pendidikan jenjang pendidikan tinggi; dan c. BAN PAUD dan PNF
terhadap program dan/atau satuan PAUD dan pendidikan jalur nonformal.
(2) Dalam melaksanakan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BAN-S/M dan
BAN PAUD dan PNF dibantu oleh badan akreditasi provinsi yang dibentuk oleh
gubernur.
(2a) Pemerintah provinsi mengalokasikan dana untuk pelaksanaan akreditasi oleh
badan akreditasi provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(3) BAN-S/M dan BAN PAUD dan PNF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dan huruf c berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.
Pasal 91
1. Setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan nonformal wajib
melakukan penjamin mutu pendidikan.
2. Penjamin mutu pendidikan sebagiamana dimaksud pada ayat (1)
bertujuan untuk memenuhi atau melampaui standar nasional pendidikan.
3. Penjamin mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara bertahap, sistematis, dan terencana dalam suatu program penjamin
mutu yang memiliki target dan kerangka waktu yang jelas.
Pasal 92
1. Menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama melakukan supervisi
dan membantu madrasah dan satuan pendidikan keagamaan dalam melakukan
penjaminan mutu
2. Pemerintah provinsi melakukan supervisi dan membantu satuan pendidikan yang
berada di bawah kewenangannya untuk meyelenggarakan atau mengatur
penyelenggaraannya dalam rangka penjaminan mutu.
3. Pemerintah kabupaten/kota melakukan supervisi dan membantu satuan pendidikan
yang berada di bawah kewenangannya untuk menyelenggarakan atau mengatur
penyelenggaraannya dalam rangka penjaminan mutu.
4. LPMP melakukan supervisi dan membantu satuan pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah dalam rangka penjaminan mutu pendidikan.
5. Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (6), LPMP bekerja
sama dengan pemerintah daerah dan perguruan tinggi.
6. Menteri menerbitkan pedoman program penjaminan mutu untuk satuan pendidikan di
semua jenis dan jalur pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah.
8
2.4. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Model MBS di Indonesia disebut Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS). MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan
otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong
partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu
sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan
yang berlaku (Nurkolis, 2003:107, lih. juga Depdiknas, 2002:3). MPMBS merupakan
bagian dari manajemen berbasis sekolah (MBS). Jika MBS bertujuan untuk
meningkatkan semua kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu, efisiensi, inovasi,
relevansi dan pemerataan serta akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan pada
peningkatan mutu (Depdiknas, 2002:3-4).
Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus
kepentingan warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan
nasional yang berlaku. Sedangkan pengambilan keputusan partisipatif adalah cara untuk
mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik di
mana warga sekolah didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan
keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Sehingga
diharapkan sekolah akan menjadi mandiri dengan ciri-ciri sebagai berikut : tingkat
kemandirian tinggi, adaptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki jiwa kewirausahawan yang
tinggi, bertanggung-jawab terhadap kinerja sekolah, memiliki kontrol yang kuat terhadap
input manajemen dan sumber dayanya, memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi
kerja, komitmen yang tinggi pada dirinya dan prestasi merupakan acuan bagi
penilaiannya.
Tujuan MPMBS adalah memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui
pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih
besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi
warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan
(Depdiknas,2002:4).
Pada tingkat sekolah, peran kepala sekolah sangat sentral sebagai figur pengambil
kebijakan dan keputusan strategis dalam pengembangan sekolah. Untuk itu dalam
kerangka MBS integritas dan profesionalitas kepala sekolah sangat dibutuhkan. Untuk itu
peran kepala sekolah memiliki banyak fungsi antara lain : Pertama, sebagai evaluator
melakukan pengukuran seperti kehadiran, kerajinan dan pribadi para guru, tenaga
kependidikan, administrasi sekolah dan siswa. Kedua, sebagai manajer memahami dan
mampu mengaplikasikan fungsi-fungsi manajerial (planning, organizing, actuating, dan
controling (lih. juga Ernie T. Sule dan Kurniawan Saefullah, 2005:6). Ketiga, sebagai
administrator bertugas, sebagai pengendali struktur organisasi (pelaporan dan kinerja
sekolah), melaksanakan administrasi substantif (kurikulum, siswa, personalia, keuangan,
10
sarana, humas dan administrasi umum). Keempat, sebagai supervisor (memberikan
pembinaan atau bimbingan kepada para guru dan tenaga kependidikan). Kelima, sebagai
leader (mampu menggerakkan orang lain agar melakukan kewajibannya secara sadar dan
sukarela). Keenam, sebagai inovator (cermat dan cerdas melakukan pembaharuan-
pembaharuan dan inovasi-inovasi baru). Ketujuh, sebagai motivator (memberikan
semangat dan dorongan kepada para guru dan staf untuk bergairah dalam pekerjaan).
Pemberdayaan dan akuntabilitas para guru adalah syarat penting dalam MBS.
Menurut Cheng (1996) peran para guru adalah sebagai rekan kerja, pengambil keputusan,
dan pengimplementasi program pengajaran (Nurkolis, 2003:123).
11
partisipasi para orang tua dan masyarakat. Peran orang tua dan masyarakat secara
kelembagaan adalah dalam dewan sekolah atau komite sekolah. Filosofi yang menjadi
landasan adalah bahwa pendidikan yang pertama dan utama adalah dalam keluarga
(orang tua) dan masyarakat adalah pelanggan pendidikan yang perkembangannya
dipengaruhi oleh kualitas para lulusan. Sekolah memiliki fungsi subsidier, fungsi primer
pendidikan ada pada orang tua (Piet Go, 2000: 46). Untuk itu orang tua dan masyarakat
perlu dilibatkan dalam pengelolaan dan pengembangan sekolah.
Menurut Cheng (1989) ada dua bentuk pendekatan untuk mengajak orang tua dan
masyarakat berpartisipasi aktif dalam pendidikan. Pertama, pendekatan school-based
dengan cara mengajak orang tua siswa datang ke sekolah melalui pertemuan-pertemuan,
konferensi, diskusi guru-orang tua dan mengunjungi anaknya yang sedang belajar di
sekolah. Kedua, pendekatan home-based, yaitu orang tua membantu anaknya belajar di
rumah bersama-sama dengan guru yang berkunjung ke rumah (Nurkolis, 2003:126).
Sedangkan peran masyarakat bukan hanya dukungan finansial, tetapi juga dengan
menjaga dan menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan tertib serta menjalankan
kontrol sosial dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. Peran tokoh-tokoh masyarakat
dengan jalan menjadi penggerak (menggerakkan masyarakat supaya berpartisipasi dalam
pendidikan), menjadi informan dan penghubung (menginformasikan harapan dan
kepentingan masyarakat kepada sekolah, dan menginformasikan sekolah kepada
masyarakat), koordinator (mengkoordinasikan kepentingan sekolah dengan kebutuhan
bisnis di lingkungan masyarakat, misalnya praktek, magang, dsb), pengusul
(mengusulkan kepada pemerintah daerah agar ada kebijakan, mis. pajak pendanaan
pendidikan).
12
Belanda semula datang ke Indonesia untuk berdagang. Orang Belanda, yang
telah bersatu dalam badan perdagangan VOC, menganggap perlu menggantikan
agama Khatolik yang telah disebarkan oleh orang Portugis dengan agamanya, yaitu
agama Protestan. Untuk keperluan inilah, maka didirikan sekolah-sekolah, terutama
di daerah yang dahulu telah dinasranikan oleh Portugis dan Spanyol.
1) Ambon
Sekolah pertama didirikan VOC di Ambon pada tahun 1607. Pelajaran yang
diberikan berupa membaca, menulis dan sembahyang. Kemudian dikirimkan
beberapa orang anak kepala-kepala di Ambon ke negeri Belanda, untuk mendapat
pendidikan guru. Sekembalinya ke tanah air, mereka diangkat sebagai guru.
Pada tahun 1627 di Ambon sudah ada 16 sekolah dan di pulau-pulau
sekitarnya ada 18 buah. Jumlah murid seluruhnya 1300 orang. Pengajaran sekolah di
luar Ambon dan Maluku juga hanya terbatas di daerah-daerah yang telah terkena
pengaruh Khatolik. Daerah-daerah yang tidak “di Nasranikan” oleh Portugis
dibiarkannya saja.
2) Jawa
Hubungan antara Kompeni dengan rakyat di Pulau Jawa tidak serapat di
Maluku. Sekolah pertama di Jakarta didirikan pada tahun 1617. Tujuan dari sekolah
ini adalah menghasilkan tenaga-tenaga kerja yang cakap, yang kelak dapat
dipekerjakan pada pemerintahan, administrasi dan gereja.
3. Kondisi Pendidikan Nasional Pada Masa Jepang
Zaman penjajahan Jepang berlangsung pendek (7 Maret 1942 – 17 Agustus
1945). Karena Indonesia dikuasai Jepang di masa perang, segala usaha Jepang
ditujukan untuk perang. Murid-murid disuruh bergotong-royong mengumpulkan
batu, kerikil dan pasir untuk pertahanan. Pekarangan sekolah ditanami dengan ubi
dan sayur-mayur untuk bahan makanan. Murid disuruh menanam pohon jarak untuk
menambah minyak untuk kepentingan perang.
Yang terpenting bagi kita di zaman Jepang ialah dengan kerobohan
kekuasaan Belanda diikuti pula tumbangnya sistem pendidikan kolonial yang
pincang. Karena pemerintahan militer Jepang menginternir banyak orang Belanda,
maka sekolah-sekolah untuk anak Belanda dan Indonesia kalangan atas ikut lenyap.
Tinggal susunan sekolah yang semata-mata untuk anak-anak Indonesia saja. Sekolah
rendah seperti Sekolah Desa 3 tahun, Sekolah Sambungan 2 tahun, ELS, HIS, HCS
yang masing-masing 7 tahun, Schakel School 5 tahun, dan MULO dihapus semua.
Yang ada hanya Sekolah Rakyat (Kokomin Gakko) yang memberikan pendidikan
selama 6 tahun, sekolah menengah yang dibuka ialah Cu Gakko (laki-laki) dan Zyu
Gakko (perempuan) yang lama pendidikannya selama 3 tahun. Selain sekolah
menengah, banyak pula didirikan sekolah kejuruan, yang terbanyak ialah sekolah
guru. Jepang menganggap sekolah guru penting sekali, karena sekolah itu yang akan
menyiapkan tenaga dalam jumlah yang besar untuk memompakan dan
mempropagandakan semangat Jepang kepada anak didik.
4. Kondisi Pendidikan Nasional Pada Zaman Kemerdekaan
Ada empat perguruan yang secara kronologis pertama berdiri di Indonesia.
Yaitu, Muhammadiyah, Taman Siswa, Ma’arif, dan INS Kayutanam. Keempatnya
dibicarakan disini karena sama-sama merupakan tanggapan bangsa Indonesia
13
terhadap keadaan pada masa penjajahan. Meskipun masing-masing lembaga
pendidikan tersebut berdiri dengan dasar dan tujuan yang berbeda-beda, namun misi
dan sifat pedagogis, nasional, politis, keagamaan, atau kombinasi nasional-
pedagogis, nasional-religius, atau nasional-politis. Dari keempat perguruan tersebut,
yang masih giat menyelenggarakan pendidikan dengan jangkauan yang luas di
Tanah Air adalah Muhammadiyah, Taman Siswa, dan Ma’arif. Sedangkan INS
Kayurtanam telah hancur secara fisik pada tahun 1949.
a) Muhammadiyah
Muhammadiyah lahir dibawah pengaruh kebangkitan nasionalisme bangsa
Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda yang dimulai dengaan
berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908. Muhammadiyah didirikan di kampung
Kauman, Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912. Sekolah Muhammadiyah
pertama didirikan tahun 1911, satu tahun sebelum Muhammadiyah berdiri. Dalam
perkembangan kemudian, sekolah ini menjadi Volksschool (Sekolah Rakyat) tiga
tahun. Sebagai pendiri, K.H. Achmad Dahlan telah aktif memberikan pendidikan
tentang agama dan pengetahuan lainnya kepada penduduk di sekitar kampungnya.
Dasar dari Muhammadiyah adalah pembaharuan di bidang agama yang pada
hakikatnya mengikuti gerak hidup zaman dan mengeluarkan golongan Islam dari
isolasi sekaligus secara positif bergerak di bidang sosial dan pendidikan.
b) Taman Siswa
Taman Siswa sejak pendiriannya mempunyai tujuan politik, yaitu kemerdekaan
Indonesia. Menurut Ki Hajar Dewantara, rakyat Indonesia harus benar-benar
menyadari arti kehidupan berbangsa dan bertanah air melalui pendidikan. Pendidikan
Taman Siswa selanjutnya mengakui hak-hak anak untuk bebas yang dinyatakan tidak
tanpa batas. Batas itu antara lain adalah lingkungan dan kebudayaan. Pengakuan atas
kebebasan anak adalah suatu prinsip pendidikan yang sangat pokok pada Taman
Siswa. Prinsip demokrasi dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara dengan penegrtian
sebagai berikut.
1. Anak dalam pendidikan merupakan pusat perhatian pendidik.
Dalam pertumbuhan dan perkembangan yang terus berjalan, lingkungan anak
makin luas dan segala sesuatu yang dijumpainya akan dijadikan miliknya. Hal
ini kemudian melahirkan prinsip konsentris, kontinue, dan konvergen yang
terkenal dengan istilah “tri-kon”
2. Musyawarah sebagai prinsip demokrasi tetapi menghargai pimpinan.
Ki Hajar Dewantara menganggap perlu ada suatu kewibawaan yang pada
suatu ketika mengarah pada musyawarah dan mufakat.
3. Dasar demokrasi membawa kewajiban untuk memikul tanggung jawab.
Dasar demokrasi yang mengakui hak anak untuk tumbuh dan berkembang
menurut kodratnya telah melahirkan metode “among” dengan semboyan “tut
wuri handayani” yang kemudian diadopsi menjadi semboyan pendidikan
nasional. dasar demokrasi telah membawa Taman Siswa menjadi tidak kaku
dan melahirkan prinsip hidup kekeluargaan yang dikalangan Taman Siswa
dipraktekan dengan sungguh-sungguh.
Dengan gambaran di atas, maka Taman Siswa, terutama dibidang
pendidikan dan kebudayaan, telah memberikan andil sangat besar terhadap
14
pendidikan nasional. Bahkan Undang-Undang Pendidikan No. 4 tahun 1950
praktis telah mencakup semua prinsip Taman Siswa.
c) Pendidian Ma’arif
Basis pendidikan Ma’arif pada dasarnya adalah pesantren yang juga
merupakan basis utama kegiatan pendidikan NU. Hal inilah antara lain
membedakannya dengan Muhammadiyah yang lebih agresif dan sistematis dalam
mengembangkan sistem pendidikan sekolahnya dengan menerapkan manajemen
modern.
Meskipun perkembangan lembaga pendidikan Ma’arif tidak secepat dan
seluas Muhammadiyah, pendidikan ini ikut memberikan andil dalam pendidikan
nasional, baik melalui pemikiran-pemikiran para tokohnya maupun melalui
lembaga-lembaga pendidikan yang dimilikinya.
d) INS Kayutanam
Kayutanam adalah suatu kota kecil dekat Padang Panjang. Di sanalah
pada tahun 1926 didirikan Indonesische Nederlandche School (INS), yang
kemudian dikenal dengan INS Kayutanam. Pendirinya adalah Muhammad Syafei
(1896-1966) bersama Marah Soetan. Sekolah tersebut semula dibawah pembinaan
Organisasi Pegawai Kereta Api dan Tambang Ombilin.
INS memupuk semangat nasionalisme di kalangan para siswanya. Hal ini
tampak dari tujuan pendidikannya yaitu agar siswa dapat berdiri sendiri dan tidak
perlu mencari jabatan di kantor pemerintahan yang saat itu dikuasai oleh
Pemerintah Kolonial Belanda. Muhammad Syafe’i menunjukkan sifat sebagai
pendidik yang demokratis dan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
tumbuh dan berkembang menurut garis masing-masing yang ditentukan oleh
bakat dan pembawaannya.
5. Kondisi Pendidikan Nasional Pada Zaman Orde Baru
Pemerintahan Orde Baru dengan tokoh-tokoh teknokrat dalam pucuk
pimpinan pemerintahan melancarkan usaha pembangunan terencana dalam Pelita I
sampai Pelita II, III dan seterusnya.
Dalam Pelita I inilah pendidikan dapat diperkembangkan menurut satu
rencana yang sesuai dengan keuangan negara. Keuangan negara agak membengkak
waktu harga minyak mentah meloncat dari harga $3 menjadi $12 per barrel. Hal ini
memungkinkan didirikannya SD Inpres (Instruksi Presiden) mengangkat guru-guru
dan mencetak buku pelajaran. Sebagai hasil Pelita I dalam bidang pendidikan telah
ditatar lebih dari 10.000 orang guru. Telah dibagikan lebih dari 63,5 juta buku SD
kelas I, telah dibangun 6000 buah gedung SD, telah diangkat 57.740 orang guru
terutama guru SD, serta dibangun 5 Proyek Pusat Latihan Teknik yaitu di Jakarta,
Bandung, Surabaya, Medan dan Ujung Pandang.
6. Kondisi Pendidikan Nasional Pada Zaman Reformasi
Pada era pemerintahan Habibie yang masih menggunakan kurikulum 1994
yang disempurnakan pada masa pemerintahan Gus Dur. Pada masa pemerintahan
Megawati terjadi beberapa perubahan tatanan pendidikan, antara lain:
15
1. Diubahnya kurikulum 1994 menjadi kurikulum 2000 dan akhirnya
disempurnakan menjadi kurikulum 2002 (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
yang merupakan kurikulum yang berorientasi pada pengembangan 3 aspek
utama, antara lain aspek afektif, kognitif dan psikomotorik.
2. Pada 8 Juli 2003 disahkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang memberikan dasar hukum untuk membangun pendidikan
nasional dengan menerapkan prinsip demokrasi, desentralisasi, otonomi,
keadilan dan menjunjung HAM.
Kemudian setelah Megawati turun dari jabatannya dan digantikan Susilo
Bambang Yudhoyono, UU No. 20/2003 masih tetap berlaku, namun pada masa SBY
juga ditetapkan UU RI No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Penetapan UU tersebut
disusul dengan pergantian kurikulum KBK menjadi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan. Kurikulum ini berasaskan pada PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. KTSP merupakan kurikum operasional yang disusun dan
dilaksanakan masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan,
tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan,
kalender pendidikan serta silabus (BSNP, 2006: 2). Tujuan pendidikan KTSP:
1. Untuk pendidikan dasar, di antaranya meletakkan dasar kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan hidup mandiri dan
mengikuti pendidikan lebih lanjut.
2. Untuk pendidikan menengah, meningkatkan kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut.
3. Untuk pendidikan menengah kejuruan, meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan hidup mandiri dan
mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Setelah itu pada pemerintahan Presiden Joko widodo diterapkan kurikulum
baru yaitu kurikulum 2013 atau yang sering disebuk K13. Kurikulum 2013
dikembangkan karena berbagai faktor yakni tantangan internal dan tantangan
eksternal. Tantangan internal antara lain terkait dengan kondisi pendidikan dikaitkan
dengan tuntutan pendidikan yang mengacu pada 8 Standar Nasional Pendidikan.
Tantangan internal lainnya terkait dengan perkembangan penduduk Indonesia dilihat
dari pertumbuhan penduduk usia produktif untuk mengupayakan agar sumberdaya
manusia usia produktif dapat ditransformasikan menjadi sumberdaya yang
berkompeten dan memiliki keterampilan. Tantangan eksternal terkait dengan arus
globalisasi dan berbagai isu tentang masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi
dan informasi, kebangkitan industri kreatif dan budaya, dan perkembangan
pendidikan di tingkat internasional.
Tabel Perbedaan kurikulum di Indonesia
Kurikulum Ciri-ciri
1994 • Menekankan pada Caturwulan
penguasaan SMA SMU
pengetahuan SMP/SMEP/ST
(berorientasi pada SLTP
materi)
16
• Bersifat populis
• Sumber belajar : guru
2004 • Menekankan pada
(KBK) pencapaian kompetensi
siswa (KKM)
• Sumber belajar : guru
dan media lain
KTSP • Menekankan pada
pencapaian kompetensi
siswa
• Pendekatan dan
metode pembelajaran
lebih bervariasi
• Kurikulum
dikembangan oleh
masing-masing satuan
pendidikan yang
disesuaikan oleh
potensi daerah
2013 • Menekankan pada
pencapaian kompetensi
dan pengembangan
kompetensi
• Menggunakan
pendekatan scientific
18
Kualifikasi Pendidik Tahun 2002/2003
Dari data BPS (2004) juga dilaporkan bahwa aspek fisik juga menujukan bahwa
kondisi prasarana dan sarana pendidikan belum sepenuhnya memadai, hal ini antara lain
dapat dilihat dari ketersediaan perpustakaan di sekolah. Secara nasional, baru 27,6% SD
yang sudah memiliki perpustakaan sekolah. Di samping itu, terjadi sebaran yang kurang
merata menurut provinsi. Di Yogyakarta, misalnya, terdapat 72,8% SD yang memiliki
perpustakaan sedangkan di Maluku Utara hanya lima persen yang sudah memiliki
perpustakaan sekolah. Selain kondisi fasilitas yang demikian, juga banyak ruang belajar
dan sarana belajar lain seperti laboratorium, sarana olahraga yang rusak. Pada tabel 4,
dari sekitar 865.258 ruang belajar (lokal) terdapat sekitar 500.818 lokal SD/MI (57,8%)
19
yang rusak ringan dan rusak berat. Sementara pada jenjang SMP dari sekitar 187.480
ruang belajar terdapat 31.198 lokal SMP/MTs (17,7%) yang juga mengalami rusak
ringan dan berat. Pada jenjang SM terdapat sekitar 13.777 lokal (15,6%) yang rusak
ringan dan rusak berat.
Faktor lain yang berkaitan dengan peningkatan mutu dan daya saing adalah
anggaran pendidikan yang belum memadai, baik ketersediaannya maupun dalam efisiensi
pengelolaannya. Pembangunan pendidikan selama lima tahun terakhir (2000-2004) sudah
mendapat prioritas tertinggi dalam pembangunan nasional yang ditunjukkan oleh
penyediaan anggaran pembangunan dengan porsi terbesar dibandingkan dengan
bidangbidang pembangunan lainnya. Komitmen Pemerintah dalam melaksanakan UUD
1945 dan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam alokasi anggaran
pendidikan dari APBN/APBD, dan penyelenggaraan pendidikan dasar tanpa memungut
biaya secara bertahap mulai diwujudkan. Namun, anggaran tersebut baru mencapai 9,2%
dari APBN yang dibelanjakan oleh pemerintah pusat. Anggaran tersebut juga belum
termasuk anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah daerah melalui APBD.
Pemerintah dan pemerintah daerah juga belum mampu menyediakan pelayanan
pendidikan dasar secara cuma-cuma.
Apabila dibandingkan negara-negara lain, alokasi anggaran pendidikan di
Indonesia masih sangat rendah. Data laporan Human Development Indeks (2004)
mengungkapkan dalam kurun waktu 1999-2001 Indonesia hanya mengalokasikan
anggaran pemerintah (public expenditure) sebesar 1,3% dari produk domestik bruto
(PDB). Sementara itu dalam kurun waktu yang sama, Malaysia, Thailand, dan Filipina
secara berturut-turut telah mengalokasikan 7,9%, 5,0%, dan 3,2% dari PDB-nya masing-
masing. Namun Susenas 2003 mengungkapkan bahwa rata-rata pengeluaran per kapita
untuk pendidikan telah mencapai 2,2% untuk daerah perdesaan dan 4,5% untuk daerah
perkotaan atau rata-rata nasional sebesar 3,5%. Kontribusi masyarakat dalam penyediaan
anggaran pendidikan masih lebih besar dari kontribusi anggaran yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Hal ini menunjukkan sebuah potensi besar jika 20% dari APBN/APBD dapat
diwujudkan.
Satuan-satuan pendidikan dan pemerintah kabupaten/kota lebih banyak
mengalokasikan sebagian anggaran untuk gaji guru, sementara biaya operasi satuan
pendidikan di luar gaji hanya mencapai paling tinggi 5—10%. Akibatnya, pembiayaan
untuk sarana pembelajaran, biaya pembelajaran, pengembangan staf, dan biaya
perawatan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah sangat kecil sehingga tidak
menunjang upaya peningkatan mutu dan relevansi. Variasi antardaerah dan satuan
pendidikan mengenai pengeluaran biaya pendidikan, termasuk dalam pembiayaan untuk
gaji dan di luar gaji masih sangat besar sehingga menimbulkan potensi ketidakadilan
dalam pemerataan kesempatan belajar yang bermutu.
Proses Pembelajaran
Salah satu sebab rendahnya mutu lulusan adalah belum efektifnya proses
pembelajaran. Proses pembelajaran selama ini masih terlalu berorientasi terhadap
penguasaan teori dan hafalan dalam semua bidang studi yang menyebabkan kemampuan
belajar peserta didik menjadi terhambat. Metode pembelajaran yang terlalu berorientasi
pada guru (teacher oriented) cenderung mengabaikan hak-hak dan kebutuhan, serta
pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga proses pembelajaran yang
menyenangkan, mengasyikkan, dan mencerdaskan menjadi kurang optimal. Selain itu
21
makin tinggi jenjang pendidikan makin tinggi angka putus sekolah, sehingga makin
rendah angka efisiensi pengelolaan pendidikan. Dilihat dari perspektif gender, angka
putus sekolah anak laki-laki memiliki kecenderungan lebih tinggi dibandingkan dengan
anak perempuan.
Faktor yang turut berpengaruh terhadap rendahnya efisiensi pendidikan adalah
rendahnya kemampuan pengelolaan berbagai masukan pendidikan baik dalam
menjalankan proses pembelajaran maupun dalam pengelolaan pendidikan secara
keseluruhan, baik pada tingkat satuan pendidikan maupun pada pengelola pendidikan
yang ada di atasnya. Hal ini dilihat dari lemahnya fungsi supervisi pendidikan, baik yang
dilakukan oleh tenaga fungsional seperti pengawas sekolah untuk tingkat SD dan/atau
pengawas bidang studi untuk tingkat SMP dan SMA/SMK, maupun supervisi oleh kepala
sekolah sebagai manajer sekolah. Kelemahan pada aspek perencanaan, kegiatan
pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar tidak termonitoring secara efektif oleh para
supervisor, sehingga kelemahankelemahan pada proses pembelajaran tidak dapat
teridentifikasi secara akurat.
Sementara itu, rendahnya mutu hasil belajar ditandai oleh standar kelulusan yang
ditetapkan, yaitu 4,25 dari skala 10. Ini berarti bahwa seorang siswa dinyatakan lulus
apabila yang bersangkutan mampu menyerap mata pelajaran sebesar 4,25%. Dengan
standar kelulusan yang rendahpun masih banyak siswa yang tidak lulus. Pada Ujian
Nasional 2005 pada tingkat SMA/MA ketidaklulusan mencapai 20,6%, SMK 22,2%, dan
SMP/MTs/SMP Terbuka 13,4%.
Walaupun angka ketidaklulusan ujian nasional (UN) tahun 2004/2005 lebih tinggi
bila dibandingkan dengan tahun 2003/2004, namun sesungguhnya bila dilihat dari nilai
rata-rata yang dicapai terdapat peningkatan yang cukup berarti yakni dari 5,55 tahun
2003/2004 menjadi 6,76 pada tahun 2004/2005. Balitbangdikbud (2004)melaporkan
bahwa ada peningkatan nilai UN pada ketiga mata pelajaran, yaitu Bahasa Indonesia,
Bahasa Inggris, dan Matematika.hal ini membuktikan bahwa mutu pend idikan semakin
tahun tambah meningkat hasilnya.
Mutu akademik antarbangsa melalui programme for international student
assessment (PISA) 2003 menunjukkan bahwa dari 41 negara yang disurvei, untuk bidang
IPA, Indonesia menempati peringkat ke-38, sementara untuk bidang matematika dan
kemampuan membaca menempati peringkat ke-39. Jika dibandingkan dengan Korea,
peringkatnya sangat jauh, untuk bidang IPA menempati peringkat ke-8, membaca
peringkat ke-7 dan matematika peringkat ke-3. Walaupun mutu lulusan pada semua
jenjang pendidikan masih rendah, namun sesungguhnya potensi peserta didik kita cukup
tinggi, hal ini ditandai oleh berhasilnya siswa-siswa kita meraih berbagai kejuaraan
dalam olimpiade international bidang sains dan matematika. Berdasarkan data asal
sekolah peserta yang berhasil menjadi juara olimpiade, ternyata pada umumnya mereka
berasal dari sekolah-sekolah yang memiliki sistem pembinaan yang baik dan ditunjang
oleh guru-guru yang berkualitas. Hal ini menunjukkan bahwa potensi peserta didik kita
memiliki potensi yang baik, tetapi karena ditangani oleh suatu proses pembelajaran yang
kurang berkualitas dan belum optimal ditunjang dengan prasarana dan sarana pendidikan,
maka mutu lulusannya pada umumnya masih rendah.
22
Berikut beberapa masalah nyata lain terkait mutu pendidikan yang dirasakan
secara langsung oleh masyarakat:
1. Nilai UN yang relatif rendah dan berbagai kecurangan dalam hasil belajar siswa.
2. Adanya ketidak puasan berjenjang dan lulusan tidak siap memasuki dunia kerja.
3. Aliran dana pendidikan yang dikorupsi.
4. Perubahan kurikulum yang terlalu dekat. Kurikulum yang terlalu cepat berganti
seiring bergantinya pemerintahan dan kurangnya realisasi pendekatan kurikulum
yang baru serta pengawasan yang selalu putus ditengah jalan mengakibatkan pelaku
pendidikan menjadi kebingungan. Sehingga makin tak jelaslah arah dan tujuan
kurikulum yang ingin dicapai yang mengakibatkan semakin rendah kualitas
pendidikan.
Cara yang tepat untuk memperbaiki mutu pendidikan adalah dengan memperbaiki
manajemen mutu pendidikan. Yang berperan di dalam proses peningkatan mutu
pendidikan adalah organisasi-organisasi pendidikan.
Menurut Cheng, 1996 bahwa keefektifan sekolah dapat dilihat dari kemampuan
sekolah dalam menjalankan fungsinya dengan maksimal. Berikut ada beberapa indikator
manajemen mutu sekolah:
1. Lingkungan sekolah yang kondusif (aman dan tertib)
2. Mempunyai misi dan target mutu yang akan dicapai
4. Mempunyai kepemimpinan yang kuat
5. Ada harapan yang tinggi terhadap personel sekolah, diantaranya kepala sekolah,
guru, staf dan siswa untuk berprestasi
6. Ada pengembangan staf sekolah yang dilakukan terus menerus sesuai dengan
tuntutan iptek, pelaksanaan evaluasi secara terus menerus terhadap berbagai aspek
administratif dan akademik, dan pemanfaatan hasilnya untuk perbaikan mutu.
7. Adanya dukungan dan komunikasi intensif dari orang tua murid atau
masyarakat.
24
25
2.10. Akreditasi sebagai Sistem Penjaminan Mutu di Indonesia
27
Pelaksanaan pengembangan/peningkatan mutu sekolah berkaitan dengan standar
nasional pendidikan dilakukan oleh sekolah dengan pihak LPMP, Dinas Pendidikan
dan Perguruan Tinggi sesuai dengan kewenangannya masing-masing
28
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Kualitas atau mutu pendidikan adalah kemampuan lembaga dan
sistem pendidikan dalam memberdayakan sumber-sumber pendidikan untuk
meningkatkan kualitas yang sesuai dengan harapan atau tujuan pendidikan melalui
proses pendidikan yang efektif.
2. Manajemen mutu pendidikan dapat diartikan sebagai seni dan
ilmu dalam mengelola jasa untuk memberikan kepuasan melalui jaminan mutu
supaya tidak terjadi keluhan.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
Tentang Standar Nasional Pendidikan.
4. MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang
memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah, dan
mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk
meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Perkembangan mutu diindonesia dari periode hingga periode
mengalami perubahan yang signifikan, yaitu berkembang pesat dengan munculnya
beberapa sekolah yang bermutu bagus, namun tidak dipungkiri bahwa dalam
kurikulum indonesia masih mengalami kendala.
6. Masalah yang terjadi pada manajemen mutu diindonesia sangat
komplek mulai dari kemampuan keuangan yang tidak memadai, kepemimpinan
kepala sekolah yang tidak kompeten, organisasi dan komitmen yang masih rendah,
persepsi negative dari masyarakat, penataan staf, kurikulum yang tidak relevan,
konflik politik dan rasial, keterbatasan fasilitas, komunikasi yang tidak kondusif,
pelaksanaan manajemen berbasis sekolah yang tidak jelas, rendahnya peningkatan
mutu guru, sertifikasi pendidikan bagi guru, kepala sekolah dan pengawas belum
dipenuhi, peningkatan kesejahteraan guru yang belum terpenuhi.
7. Cara yang tepat untuk memperbaiki mutu pendidikan adalah
dengan memperbaiki manajemen mutu pendidikan. Yang berperan di dalam proses
peningkatan mutu pendidikan adalah organisasi-organisasi pendidikan.
8. Pengertian Penjaminan mutu pendidikan (Quality Assurance)
adalah proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan secara konsisten
dan berkelanjutan, sehingga stakeholders memperoleh kepuasan.
9. Tujuan dari adanya penjaminan mutu diantaranya untuk
mencegah terjadinya kesalahan dalam produksi yang dilakukan dengan cara
mengefektifkan setiap langkah yang dilaksanakan memperhatikan setiap sumber daya
yang digunakan.
10. Suatu hal yang dapat digunakan untuk menjamin mutu antara
lain sistem akreditasi sekolah yang dilakukan oleh BAN S/M selain itu terdapat
29
beberapa implementasi penjaminan mutu yang dilakukan oleh Lembaga penjamun
mutu pendidikan.
30
3.2. Saran
Berdasarkan hasil makalah yang telah penulis susun, masih banyak kekurangan dari
mutu pendidikan di Indonesia dan usaha pemerintah untuk meningkatkan mutu
pendidikan di Indonesia masih belum berjalan sesuai yang diharapkan karena terkendala
banyak permasalahan lain di bidang pendidikan. Untuk itu, sebagai generasi bangsa dan
pendidik hendaknya memahami benar apa yang menjadi kendala peningkatan mutu
pendidikan dan ikut melakukan dan mensukseskan usaha-usaha untuk meningkatkan mutu
pendidikan semaksimal mungkin.
31
DAFTAR PUSTAKA
Edward Sallis, Total Quality Management In Education, alih Bahasa Ahmad Ali Riyadi
(Jogjakarta : IRCiSoD, 2006), 33.
Joko Widodo. 2015. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2015.
Jakarta : Menteri HAM Republik Indonesia
Lalu Sumayang, Manajemen produksi dan Operasi (Jakarta : Salemba Empat, 2003), 322.
Suryana, S. 2011. Permasalahan Mutu Pendidikan Dalam Perspepektif Pembangunan
Pendidikan. Tahun 2011 No 1. Semarang : Fakultas Ilmu Pendidikan Unnes
Tim penyusun kamus besar bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai
Pustaka, 1991), 677.
32