Anda di halaman 1dari 4

IZINKAN AKU TETAP SEKOLAH

Karya : Yuniar Dwi Putri Welori

Nanis merupakan anak bungsu dari pasangan keluarga miskin. Empat orang kakanya
hanya mampu menyelesaikan pendidikan sekolah dasar (SD), bahkan ibunya tak paham soal sekolah.
Kalo bicara soal pendidikan di keluarganya, yang paling tinggi adalah kakaknya yang nomor dua. Dia
sempat merasakan duduk di bangku SMP walau hanya satu semester, dan kemudian didepak
lantaran tidak bisa membayar biaya sekolah.

Sebagai orang desa yang serba susah, mimpi Nanis tidak muluk-muluk. Dia hanya ingin
bersekolah. Tidak peduli sekolah apapun namanya. Waktu duduk di bangku sekolah SD, Nanis
bersekolah di sekolah yang hanya bersetatus terdaftar. Soal prestasi sekolahnya, jangan ditanya.
Karena jika ditanya, itu hanya akan menjadi pertanyaan yang tidak pernah terjawab sepanjang masa,
dan akan menjadi rahasia yang tak terpecahkan, bahkan dengan mengerahkan intelejen sekelas FBI
sekalipun.

Gedung sekolah Nanis ketika itu lebih pantas dijadikan kadang kelinci, daripada kandang
ayam. Tapi Nanis tidak peduli. Buat Nanis, yang penting adalah status bersekolahnya, dan belajar
dengan giat. Soal sarana dan prasarana, itu urusan lain. Menurut Nanis, toh pada akhirnya yang
dilihat hanya ijazah, dan kemampuannya saja, tidak sampai gedung, pengajar, bocor atau tidak bocor
sekolahnya. Walau orang miskin, Nanis memang terkenal memiliki kecerdasan di atas rata-rata.
Hingga pada akhirnya, dengan menjunjung tinggi keyakinannya itu, Nanis dapat menyelesaikan
pendidikannya hingga lulus SMA.

Seperti kebanyakan siswa lainnya, Nanis pun ‘galau’ ketika harus memilih bekerja atau
kuliah. Jika kuliah, kuliah jurusan apa, di mana, bagaimana memulainya, dan segudang pertanyaan
lainnya. Pertanyaan tambahan bagi Nanis adalah, biayanya dari mana, bagaimana cara daftaranya,
dijemput atau tidak, dan beberapa pertanyaan polos yang sulit dicerna oleh kebanyakan orang.
Karena bagi kebanyakan orang, pertanyaan-pertanyaan Nanis bukanlah pertanyaan yang wajib
dijawab. Bahkan, jika diumpamakan sebuah ujian, pertanyaan Nanis itu masuk kategori pertanyaan
“Bonus”. Yang kalaupun salah menjawabnya, tetap dianggap benar oleh pembuat pertanyaan.

Hingga suatu ketika, Nanis memberanikan diri menyampaikan kebingungan kepada Ibunya yang
dianggap dapat memberikan solusi.

“…Bu, Aku bingung, aku sudah lulus SMA” keluh Nanis kepada ibunya.

“Terus, apa masalahmu?” Jawab ibunya.

“Aku bingung harus kuliah atau bekerja” lanjut Nanis ragu.

“Kita ini orang miskin, bekerja lebih baik buatmu. Tidak ada kata kuliah, bisa lulus SMA saja, kau
sudah banyak bikin ibu susah.!!” sahut ibunya sinis.

Nanis pun diam tanpa kata, karena menjawab pernyataan ibu, hanya akan mempersulit
perjuangannya. Nanis tidak menduga, ternyata mengeluh kepada ibunya jadi masalah baru.
Sekarang tantangan Nanis bertambah, selain kebingungannya memilih kerja atau kuliah, Nanis harus
meyakinkan ibunya agar memberi restu untuk melanjutkan kuliah.

Nanis tidak berani bercerita kepada Bapaknya tetang masalah yang sedang dialami, hal ini
dilakukan oleh dia bukan tanpa alasan. Mungkin karena sejak awal Nanis lahir, bapaknya memang
sudah tidak berniat untuk menyekolahkannya. Bagi bapaknya, menjadi kuli bangunan dari kampung
ke kampung sudah cukup terhormat. Itulah kalimat semboyan bapak Nanis sejak ibunya
mengandung Nanis dan empat orang saudaranya.

Bapak Nanis sseorang kuli bangunan. Saat ini, sedang merantau menyelesaikan sebuah
proyek gedung di kota bersama teman satu desanya. Biasanya, bapak Nanis balik saat proyek selesai
atau saat diberi kesempatan libur oleh Mandor.

Malam hari setelah Nanis pulang dari mushalla usai menjalankan shalat Isya, dia mencoba
menemui kakaknya yang nomor tiga, namanya Intan. Intan adalah anak perempuan satu-satunya di
keluarga Nanis. Selain memiliki sifat keibuan, Intan kadang bijak dalam memberi nasehat dan
arahan.

“Teh -teteh, sebutan kakak perempuan bagi orang sunda-, aku bingung” keluh Nanis pada Intan.

“Bingung kenapa kamu Nis?” sahut Intan.

“Teteh tahukan, aku baru saja dinyatakan lulus oleh sekolah” lanjut Nanis.

“Lalu, masalahmu apa? Tanya tetehnya kembali.

“Aku ingin kuliah, tapi aku tak tahu bagaimana caranya. Aku tak tahu harus memulai dari mana. Kita
tak punya uang, uang pendaftaran, uang macam-macam, semua kita tidak punya. Parahnya lagi, Ibu
malah menyuruhku untuk memilih bekerja. Aku tak tau harus bekerja apa” jawab Nanis panjang
menjulang.

“Nis, jika teteh harus menjawab jujur, mungkin mengeluh pada teteh juga akan menambah masalah
buatmu”. Sahut Intan dengan nada lemah. “Teteh tahu apa tentang sekolah” lanjutnya dengan mata
berkaca-kaca. “Tapi, rasanya, sebagai orang yang lebih tua, teteh tidak pantas membantah
keinginanmu yang mulia itu” lanjut Intan menenangkan. “Lalu.?” Tanya nanis penasaran. “Teteh
mendukungmu Nis, nanti teteh bantu kamu meyakinkan ibu” tegas intan meyakinkan.

Nanis girang bukan kepalang, “terima kasih Teh” sahut Nanis dengan wajah gembira. Nanis beranjak
ke kamar, Nanis tidur pulas malam ini.

Soal urusan lobi melobi ibu, Intan memang jagonya. Mungkin karena mereka sama-sama
perempuan, sehingga tahu dari mana dia harus memulai sebuah pembicaraan dan meyakinkan.
Keesokan harinya, Intan menyiapkan amunisi, siap berperang, siap menyerang. Menunggu hari
senja, Intan bergegas, bertanya kepada teman-temannya, mengapa kita harus sekolah, bagaimana
orang bisa sukses, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sudah disiapkan. Semua jawaban direkam
olehnya, dan akan dijadikan bahan obrolan saat meyakinkan ibunya nanti malam. Hari kembali senja,
perjuangan Intan dimulai.
Setelah shalat magrib, Intan mulai mendekati Ibunya. Muka ibu nampak sedang tidak sedap,
Intan urung. Bada Isya, muka ibu mulai cerah. Entah pembersih apa yang dipakai ibu Intan. Intan
mendekat, sedikit pura-pura santai, lalu intan menyapa.

“…Bu, aku lihat TV di rumah teman, banyak orang-orang sukses yang muncul disana” Intan memulai
pembicaraan dengan ibunya.

“Kenapa? Kamu ingin ibu belikan TV untuk kalian? Uang dari mana?” Sahut ibu menebak maksud
Intan.

“Bukan Bu” bantah Intan. “Dari tayangan itu, mereka berjuang menjadi sukses dan mereka sekolah”
jelas Intan dengan ragu.

“Pasti mereka berasal dari orang kaya” timpal ibu.

“…Betul bu” sahut Intan. “Tapi, yang paling penting, walau mereka kaya, mereka bersekolah sampai
tinggi. Sampai sarjana, malah di atasnya” Intan mulai mengarah kepada pokok pembicaraan.

“Ya, karena mereka kaya” bantah ibunya.

“kalau mereka saja yang sudah kaya mau sekolah, mengapa kita orang susah gak mau sekolah bu,
setidaknya, supaya kita lebih terhormat, sejajar dengan kebiasaan orang kaya, yaitu sekolah” Intan
mulai panas.

“Bagaimana kita bisa sekolah, kalo kita gak punya uang buat bayarnya. Sekolah itu hanya miliki
mereka yang ber-uang. Orang susah kayak kita mana bisa” Ibu terbakar.

“Sekolah itu sebab bu, bukan akibat. Orang sekolah, berilmu, sukses, lalu jadi orang kaya. Bukan
sebalikna. Setelah kaya, mereka menyekolahkan anak dan keturunannya. Bukankah ibu dulu yang
pernah bilang kepada Intan waktu kecil soal itu.!?” Intan mulai ngarang. Ibu mulai diam dan berpikir
sejenak, bingung, karena ibu merasa tidak pernah mengatakan hal itu sebelumnya. Tapi tetap meng-
amini, lalu menyahut.

“…Tan, orangtua selalu berbicara idealis kepada anak-anaknya, walaupun sesuatu yang tidak
mungkin sekalipun dicapainya. Itu kewajiban orangtua. Kenyataanya, tidak semudah yang ada pada
ucapan mereka. Paham kau Tan..!? bentak ibunya.

“…Sudahlah, usiamu sudah cukup tua untuk sekolah, tidak pantas anak SMP seusia kamu” kata ibu
mulai menutup pembicaraan.

“…bukan aku bu, tapi Nanis” Intan memelas.

Pembicaraan mereka berlanjut dengan tensi yang lebih rendah. Intan mulai menjalan
strategi memelas kepada Ibunya, si Ibu mulai merendah. Bertahan di tengah gempuran sang anak.
Berkali-kali Intan melakukan serangan, tapi tetap dimentahkan. Pembicaraan terus berlangsung,
hingga mereka tertidur.
Pagi buta Intan terbangun lebih dahulu dari ibunya. Intan bergegas, menjalankan shalat
subuh, membersihkan dapur, dan menyiapkan makanan seadanya. Tak lama kemudian ibu
terbangun. Intan berharap ibu lupa dengan perdebatan tadi malam. Walau ingat, Intan berharap ibu
menyetujui niat Nanis untuk melanjutkan kuliah.

Waktu sudah menunjukan pukul 09.00 pagi, tidak ada pembicaraan yang berarti hari ini. Ibu
malu menyapa, Intan enggan memulai. Sementara Nanis, menjalankan aktifitas rutinnya, menyemai
harapan.

Ibu mendekat pada Intan, dengan gerakan sedikit canggung, ibu menyapa.

“…Tan, kemana Nanis?” Tanya ibu penuh basa-basi

“Mungkin sedang keluar bersama teman-temannya bu” jawab Intan dengan nada kikuk.

“Jika Dia pulang nanti, bilang padanya…”

“Bilang apa bu?” potong Intan penasaran.

Ibu termenung dan terdiam sejenak. Sementara Intan menanti jawaban ibu dengan mata berbinar-
binar.

“Bapak minta Nanis menyusul ke kota, kontraktor tempat bapak bekerja membutuhkan kuli untuk
percepatan proyeknya. Tadi malam bapak menelepon lewat tetangga” jawab ibu dengan muka
penuh bersalah.

Intan terdiam, pikirannya melayang. Sang Negosiator handal ternyata harus bersimpuh
mengakui kekalahan yang tragis, kalah karena alasan kemiskinan. Negosiasi tadi malam berakhir, dan
pemenang sudah diumumkan. Hasilnya adalah Nanis menjadi Kuli.

Nanis belum tahu soal ini, karena hari ini Nanis sedang menemui guru-gurunya yang
dianggap bisa membantu meraih mimpinya itu.

Tapi palu sudah diketuk, sekuat apapun, hasil apapun yang nanis dapat, menjadi kuli adalah
jawabannya. Karena suara bapak adalah suara tuhan. Tidak ada yang bisa membantah keputusan
tersebut. Ini adalah pukulan hebat bagi Intan. Sementara Nanis masih tersenyum dikejauhan entah
dimana. Dia belum tahu, bahwa kuli adalah profesi dia selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai